BENTUK , FUNGSI, SIMBOL DAN MAKNA TARI GATOTKACA GAYA SUMEDANG DAN GAYA GARUT.

(1)

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan

Program Studi Pendidikan Seni Konsentrasi Seni Tari

Oleh : Agus Sudirman

1303228

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SENI SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG


(2)

Oleh

Agus Sudirman, S.Pd

Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, 2013

Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd)

pada Program Studi Pendidikan Seni Sekolah Pascasarjana

© Agus Sudirman

Universitas Pendidikan Indonesia 2015

Hak Cipta dilindungi undang-undang

Tesis ini tidak boleh diperbanyak seluruh atau sebagiannya Dengan dicetak ulang, difoto copy, atau cara lainnya tanpa ijin penulis


(3)

(4)

Gatotkaca Gaya Sumedang dan Gaya Garut?3. Bagaimana symbol dan makna gerak tari Gatotkaca Gaya Sumedang dan Gaya Garut ?. Tujuan penelitian ini untuk meneliti keunikan dari bentuk, fungsi, simbol dan makna tari Gatotkaca gaya Sumedang dan gaya Garut. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis, dengan menggunakan kajian Etnokoreologi sebagai pisau bedahnya. Hasi lpenelitian menunjukan bahwa tari Gatotkaca gaya Sumedang lebih terkesan klasik dan tari Gatotkaca gaya Garut mendekati gaya klasik-romantik. Hal ini terlihat pada bentuk tari Gatotkaca gaya Sumedang lebih sederhana, baik dari segi struktur gerak, rias serta busana yang digunakan.Fungsi dari tari Gatotkaca gaya Sumedang sebagai sarana hiburan pribadi dan fungsi tari Gatotkaca gaya Garut mengalami perubahan fungsi yang asalnya hiburan pribadi menjadi kepentingan pendidikan dan nilai estetis. Jika ditinjau berdasarkan karakte rmasyarakat Sunda, seperti pribahasa dalam bahasa Sunda yaitu kudu leuleus jeujeu liat tali, yaitu hidup itu harus kuat, menanggung beban sebarat apapun jangan menyerah, oleh sebab itu masyarakat Sunda menjadikan tokoh Gatotkaca sebagai sosok ideal masyarakat Sunda yang bersifat jujur dan pemberani serta gesit dalam bekerja layaknya Gatotkaca.

Kata Kunci: Bentuk, Fungsi, Simbol, Makna, Tari Gatotkaca, Gaya Sumedang, Gaya Garut.


(5)

Gatotkaca dance style Sumedang and the style of Garut?3 .How a symbol and the meaning of motion on Gatotkaca dance Sumedang and the style of Garut? .The purpose of this research to scrutinize the uniqueness of a form , the function of , symbols and the meaning of Gatotkaca dance Sumedang style and the style of Garut .This study using a method of descriptive analysis , by using the study Etnokoreologi as a scalpel. Research results show that the dance style gatotkacasumedang more impressed classical and dance style gatotkacagarut style klasik-romantik approaching .This looks on the form of a style of dance gatotkacasumedang more simple , both in terms of the structure of motion , as well as fashion make-up used The function of the dance style GatotkacaSumedang as a means of personal entertainment and dance function GatotkacaGarut style native functionality changes into a personal entertainment and educational purposes aesthetic value. If the review is based on the character of the Sundanesepeople , such as the Sundanese proverb, kudu leuleus jeujeur liat tali, it means that life have to be strong , to bear the burden of any heavy, never give up , therefore the Sundanese people make Gatotkaca figures as the ideal figure of the Sundanese people who are honest and brave as well as agile in works like Gatotkaca .

Keywords: Form, Function, Symbol, Meaning, Gatotkaca Dance, Garut and Sumedang Style


(6)

ABSTRAK ……….. ii

UCAPAN TERIMAKASIH ………. iv

DAFTAR ISI ……….. vi

DAFTAR TABEL ………. viii

DAFTAR GAMBAR ………. ix

DAFTAR LAMPIRAN ………... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………. 1

B. Rumusan Masalah ………..….. 7

C. Tujuan Penelitian ……….. 7

D. Metode Penelitian ……….…... 8

E. Manfaat Penelitian... ……….... 13

F. Instrumen Penelitian... 13

G. Sistematika Penulisan 14 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu ………... 16

B. Kajian Teori ………... 35

1. Struktur Koreografi ………..…….... 35

2. Elemen-Elemen Koreografi ...………... 36

3. Tari Wayang... 38

4. Karakter Tari Wayang... 39

5. Koreografi Tari Wayang... 40

6. Tata Rias Dan Busana... 40

7. Teori Fungsi... 45

8. Etnokoreologi ... 47


(7)

2. Rias Tari Gatotkaca Gaya Sumedang... 68

3. Busana Tari Gatotkaca Gaya Sumedang... 74

4. Iringan Tari Gatotkaca Gaya Sumedang 79 B. Fungsi Tari Gatotkaca Gaya Sumedang ………... 81

C. Simbol Dan Makna Tari Gatotkaca Gaya Sumedang………... 82

BAB IV BENTUK, FUNGSI DAN MAKNA TARI GATOTKACA GAYA GARUT A. Latar Belakang Tari Gatotkaca Gaya Garut………... 86

1. Struktur Gerak Tari Gatotkaca Gaya Garut... 89

2. Rias Tari Gatotkaca gaya Garut... 117

3. Busana Tari Gatotkaca gaya Garut... 122

4. Iringan Tari Gatotkaca Gaya Garut... 128

B. Fungsi Tari Gatotkaca Gaya Garut………... 133

C. Simbol Dan Makna Tari Gatotkaca Gaya Garut... 134

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan ………... 136

B. Rekomendasi ……….... 137

GLOSARIUM ……….... 139

DAFTAR PUSTAKA ……….…... 169

LAMPIRAN 170


(8)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Tari Wayang adalah salah satu kelompok atau genre tari yang latar belakangnya dari cerita Wayang.Tari ini tumbuh mekar di wilayah Jawa Barat. Di antara sekian banyaknya kesenian atau tarian yang ada di Jawa Barat,tari Wayang adalah salah satunya. Pada awalnya tari Wayang tampil dalam kesenian Wayang Orang, yaitu suatu bentuk teater daerah yang tempat pementasan dan perlengkapannya sudah mengikuti teater modern Barat. Misalnya pentasnya yang berbentuk proscenium (satu arah) serta menggunakan layar depan, layar belakang dan seben (penyekat samping). Kemudian pentas itu pun menggunakan setting yang merupakan layar belakang atau layar samping yang bergambar dan disesuaikan dengan cerita, serta menggunakan tata cahaya dan tata suara seperti pentas modern Barat. Cerita yang dipentaskan dalam kesenian Wayang Orang adalah cerita Wayang, tetapi dimainkan oleh para pemeran yang harus menguasai gerak tari Wayang.Suara para pemeran pun harus disesuaikan dengan peran Wayang yang diperankannya. Setiap tokoh-tokoh Wayang memiliki patokan tersendiri mengenai gaya bicaranya dan geraknya. Dan ini harus sesuai dengan nada-nada tertentu, sehingga tidaklah mudah menjadi pemain Wayang orang.Pemain Wayang orang harus pandai menari serta mempunyai perbendaharaan gerakan Wayang untuk mewujudkan atau membangun karakter tokoh yang diperankan.

Lahirnya Wayang Wong Priangan di Sumedang diperkirakan sekitar abad ke XIX dan di Garut, Bandung serta Sukabumi sekitar awal abad ke XX.Adapun pertumbuhannya yang relatif baik dan yang cukup lama bertahan adalah di Sumedang, Garut, dan Bandung.Bahkan di Garut dan Bandung, pertunjukan Wayang Wong ini hidup sekaligus di dua macam kondisi sosial, yakni tumbuh di kalangan menak dan kalangan rakyat. Menginjak di awal tahun 1950-an kehidupan Wayang Wong ini secara merata tidak lagi terkotak-kotak yang dibatasi oleh derajat sosialnya, para seniman sebagai pelakunya sudah berbaur


(9)

luluh antara yang beridentitas kaum menak dan rakyat. Terjadi kelangkaan pertunjukan Wayang Wong di kota Sumedang dan Garut sekitar akhir tahun 1950-an d1950-an mendekati pertengah1950-an tahun 1960-1950-an y1950-ang men1950-andai lenyapnya pertunjukan, sedangkan di sekitar wilayah Bandung terjadi kelangkaannya di pertengahan tahun 1960-an dan di akhir tahun 1960-an adalah sebagai tanda kehidupan Wayang Wong ini hanya tinggal kenangan.

Terungkap pula khususnya di wilayah Sumedang, pernyataan yang dikemukakan oleh Rd. Djuardi dan R. Wahyudin yang merupakan hasil wawancara oleh Iyus Rusliana 4 Agustus 1998 pada buku Khazanah Tari Wayang (2001: hlm.22), sebagai berikut.

Rd. Ono Lesmana Kartadikusumah adalah salah seorang penggarap Wayang Wong Priangan di Sumedang ketika menjadi Camat di Kecamatan Conggeang tahun 1950-1952, dan setelah pindah ke pusat kota Sumedang aktivitasnya beralih dengan melatih tari-tarian Wayang yang juga sekaligus mendirikan perkumpulan tarinya.

Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa, mulai disangganya Wayang Wong dan tari-tarian Wayang oleh masyarakat dalam wadah yang disebut dengan perkumpulan tari adalah di awal 1950-an, baik di Sumedang, Garut, maupun di Bandung.

Seiring dengan berjalannya waktu dan bergantinya jaman, para penggarap kesenian Wayang Orang kemudian mengkemas dalam bentuk tarian.Puncak kejayaan tari Wayang yakni pada masa berakhirnya penjajahan Jepang.Pada masa itu, banyak bermunculan perkumpulan kesenian Wayang orang yang mengajarkan tari Wayang. Menurut Iyus Ruliana dalam bukunya Sekelumit Tari Wayang Jawa Barat (1989: hlm.12) menjelaskan bahwa:

Mula-mula adanya kebutuhan para anggota Wayang wong atau Wayang orang untuk kaulan atau sumbangan kesenian atas nama pribadi atau perkumpulan dalam acara tertentu yang singkat, maka yang disajikannya adalah tarian-tarian khusus dari tarian Wayang wongnya dengan tata rias dan busananya pun seperti layaknya dalam pertunjukan Wayang wong tersebut. Lama-kelamaan tarian-tarian ini banyak yang mengemasnya dan kemudian secara khusus banyak yang mempelajarinya pula.


(10)

Dari sinilah di antaranya yang menjadi cikal-bakal lahirnya tarian-tarian Wayang termasuk yang sejak awal sudah lebih dulu membentuk sebagai tarian tersendiri dalam pertunjukan Wayang Wong, yakni tari badaya yang biasa disajikan sebagai awal pertunjukan Wayang Wong Priangan.Selain itu, tari Wayang pun dianggap penting untuk menyambut secara khusus para tokoh seniman yang berjasa menghidupkan pertunjukan Wayang Wong Priangan.

Menurut hasil disertasi Lilis Sumiati (2014: hlm.4), tari Wayang yang dianggap eksis pada 1950-1960-an tersebar pada tiga wilayah, yaitu Sumedang, Garut, dan Bandung. Karya-karya nyata tari Wayang dari ketiga wilayah tersebut akan diperinci sebagai berikut.

1. Tari Wayang Sumedang terdiri dari Jakasona, Ekalaya, Jayengrana, Adipati Karna, Srikandi, Gatotkaca Gandrung, Antareja, Gandamanah, Yudawiyata, dan Abimanyu.

2. Tari Wayang Garut terdiri dari Arayana, Gatotkaca (Purabaya), Baladewa, Subadra, Arimbi, Badaya, Srikandi-mustakaweni, Rahwana, Bambang Somantri, dan Bima Kuntet.

3. Tari Wayang Bandung terdiri dari Arjuna Sastrabahu-Somantri, Gatotkaca-Sakipu, Arayana, Purabaya (Gatotkaca), Baladewa, Sencaki, Srikandi-Larasati.

Berdasarkan data empiris yang diperoleh, peneliti mengambil tari Gatotkaca karena dari ketiga daerah tersebut memiliki tari Gatokaca. TariGatotkaca yang masih berkembang adalah gaya Sumedang, gaya Garut, dan gaya Bandung. Gatotkaca adalah figur ideal yang dimiliki oleh masyarakat Sumedang. Hal ini tampak tokoh Gatotkaca dibeberapa seni pertunjukan yang berada di wilayah Jawa Barat pada umumnya dan Kabupaten Sumedang pada khususnya, salah satunya adalah kesenian Kuda Rengggong. Di mana pada setiap pertunjukan Kuda Renggong pada acara khitanan, anak laki-laki yang akan atau sudah dikhitan selalu menggunakan kostum Gatotkaca. Selain itu juga kuda tersebut sering dikenakan atribut atau aksesoris tokoh Gatotkaca, baik itu berupa mahkota yang dikenakan di kepala kuda ataupun tunggangan kuda yang menyerupai Badong.

Adapun wilayah Bandung, menurut pemaparan Rusliana (2012: hlm.80) yang diajarkan bersumber dari Kabupaten Garut.


(11)

...tetapi yang hendak dideskripsikan adalah tarian Gatotkaca dari Kabupaten Garut.Tari Gatotkaca ini lahir sebagai produk Wayang Wong Priangan di Garut pimpinan Dalang Bintang yang embrionya dari tari ngalaga ketika tokoh Gatotkaca menjadi sekar lalakon dalam kisah Jabang Tutuka sebelum menewaskan Prabu Naga Percona.Lahirnya tarian ini pada tahun 1931 yang dipertunjukan dalam acara kaulan-kaulan.

Dari paparan di atas dapat dikatakan bahwa tari Gatotkaca yang dipelajari di Institut Seni Budaya (ISBI) merupakan tari Gatotkaca gaya Garut. Selain gaya tersebut, tari Gatotkaca yang berkembang di wilayah Sumedang memiliki tingkat validitas sumbernya masih akurat, hal ini diperkuat oleh pernyataan Rusliana (2001: hlm.17) bahwa.

Kehidupan tari Wayang yang tumbuh di Sumedang didukung pula adanya tulisan, bahwa di sekitar tahun 1918 priyayi yang dijuluki Aom Ino memangku jabatan Bupati Sumedang, beliau memulai dengan kegiatan mempopulerkan tarian yang berpolakan tarian Wayang seperti Arjuna, Arayana, Baladewa dan sebagainya, para menak yang tadinya gemar Tayuban beralih kepada menarikan tarian Wayang. Nama lengkap Bupati Sumedang antara tahun 1883-1919 adalah Pangeran Aria Suriatmaja.

Hal ini terbukti sampai dengan saat ini, tari Gatotkaca masih diterapkan di Padepokan Sekar Pusaka yang dilatih langsung oleh cucu dari Raden Ono Lesmana Kartadikusumah yaitu Raden Widawati Noer Lesmana. Maka tari Gatotkaca Gaya Sumedang dan gaya Garut ini yang akan dijadikan sampel untuk penelitian ini. Untuk gaya Sumedang peneliti mengambil dari karya Raden Ono Lesmana Kartadikusumah yang diajarkan di Padepokan Sekar Pusaka Kabupaten Sumedang dan gaya Garut peneliti mengambil dari karya Iyus Rusliana yang diajarkan di Institut Seni Budaya Indonesia Bandung. Dari kedua tarian yang telah dipaparkan di atas dalam kajian Etnokoreologi disebut dengan analisis teks dan konteks

Dari berbagai tokoh Wayang Golek, maka tokoh pewayangan Gatotkaca atau dikenal pula dengan Purabaya, adalah salah satu tokoh yang menjadi idola masyarakat Sunda umumnya, dan Priangan pada khususnya.Kondisi ini pun ternyata berpengaruh kuat hingga dalam dunia tari Wayang Priangan, bahwa tarian Gatotkaca berkembang di setiap daerah yang menyangga tari Wayang.


(12)

Tokoh Gatotkaca dikenal sebagai seorang kesatria yang tangguh, jujur, amat setia, dan berani berkorban jiwa dan raga demi membela negara dan bangsanya. Oleh karena itu, pantaslah jika ia diangkat oleh para petinggi Amarta atau Pandawa menjadi seorang senapati yang amat diandalkan. Gatotkaca adalah putera Bima dari Dewi Arimbi yang menjadi Ratu Pringgandani, dan kakaknya tetapi berbeda ibu yaitu Antareja dan Jakatawang. Setelah Gatotkaca menikah dengan Dewi Sampani berputera Jaya Sumpena, dengan Dewi Pergiwa berputera Sasikirana, dan dengan Dewi Suryawati berputera Suryakencana atau dikenal dengan sebutan Bambang Kaca yang selanjutnya di zaman Prabu Parikesit menjadi salah satu senopatinya.

Analisis teks adalah analisis yang dapat dilihat secara langsung yaitu seperti gerak, rias, busana, musik, dan gending-gending yang mengiringi tari. Analisis konteks yaitu analisis tari yang berhubungan dengan sejarah, latar belakang, estetika, fungsi, nilai pendidikan, makna dan simbol.Pengkajian tari melalui pendekatan Etnokoreologi ini terfokus pada bagian atau lapis teks dan konteks.Adapun lapisan teks ini meliputi gerak, rias, dan busana. Hal tersebut bertujuan untuk mengetahui karakteristik dari gerak, rias, dan busana pada tari Gatotkaca gaya Sumedang dan gaya Garut. Pada lapisan konteks meliputi perkembangan sejarah, antropologi, filologi, psikologi, dan perbandingan. Lapisan konteks yang dikaji dalam penelitian ini untuk mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam tari Gatotkaca gaya Sumedang dan gaya Garut.

Tari Gatotkaca gaya Sumedang dan gaya Garut dilihat dalam lapisan teks yang memiliki kekhasan terutama dalam geraknya yang hampir sama, tetapi yang membedakan dari segi tenaga, ruang, dan waktu serta fokus pandangan yang berbeda. Tari Gatotkaca gaya Sumedang pandangan selalu lurus ke depan terkadang ke bawah, sedangkan tari Gatotkaca gaya Garut pandangan hampir selalu ke bawah.

Dalam segi busana tidak ada perbedaan yang signifikan antara busana tari Gatotkaca gaya Sumedang dan gaya Garut, karena memiliki motif yang sama, yaitu bunga teratai. Busana tari Wayang Garut bersumber kepada Wayang


(13)

Golek.Seperti yang dipaparkan oleh Iyus rusliana yang merupakan hasil wawancara oleh Lilis Sumiati pada tanggal 16 April 2004,

“Pada awalnya bahan yang dipakai untuk mahkota terbuat dari daluang atau karton.Adapun pemakaian motif-motif yang bergaya Jawa bukan semata-mata bersumber dari Jawa, namun disebabkan pada waktu itu di Priangan belum ada pengrajin busana tari.Karena itu orang mengambil jalan termudah yaitu menggunakan pakaian yang sudah jadi yakni yang berasal dari Jawa tersebut. Busana tari Wayang Sumedang berbeda dengan daerah lain karena busana tari Wayang Sumedang bersumber pada beberapa tarian yang dibuat sendiri oleh penciptanya, seperti tari Jayengrana dan Jakasona. Selain itu, terdapat perbedaan dari segi pemasangan kerisnya, untuk tari Gatotkaca gaya Sumedang pemasangan keris disimpan di bagian belakang, sedangkan tari Gatotkaca gaya Garut posisi keris disimpan di depan.

Dalam segi konteksnya, tari Gatotkaca gaya Sumedang dengan gaya Garut tidak memiliki perbedaan yang signifikan.Raden Ono Lesmana Kartadikusumah menciptakan dua bentuk penyajian tari Gatotkaca, yaitu tari Gatotkaca bentuk tarian tunggal dan tari Gatotkaca Gandrung yang bentuk tariannya kelompok. Adapun yang akan peneliti kaji adalah tari Gatotkaca bentuk tarian tunggal.Tari Gatotkaca diciptakan oleh Raden Ono Lesmana Kartadikusumah pada tahun 1942 yang menggambarkan kegagahan Gatotkaca yang sedang mengelilingi wilayah negerinya untuk menjaga wilayah Amarta. Untuk tari Gatotkaca gaya Garut menggambarkan ketika Gatotkaca ”ngalanglang nagara amarta” atau tengah memeriksa keamanan negara Amarta. Dalam hal sistem pewarisan tari Gatotkaca gaya Sumedang pernah ditampilkan pada Pergelaran Pewarisan Tari Wayang karya Raden Ono Lesmana Kartadikusumah, dimana sebelumnya para murid dari Padepokan Sekar Pusaka dilatih oleh Raden Widawati Noer Lesmana untuk membawakan tari karya Raden Ono Lesmana Kartadikusumah dan dilatihkan kembali di daerah-daerah wilayah Kabupaten Sumedang. Adapun untuk tari Gatotkaca gaya Garut sistem pewarisannya secara tidak langsung diterapkan kepada para peserta didik/mahasiswa yang menempuh pendidikan di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) lewat mata kuliah tari Wayang yang diampu oleh Iyus Rusliana.


(14)

Oleh karena itu, maka peneliti tertarik mengambil salah satu dari karya tari Gatotkaca gaya Sumedang dan gaya Garut. Untuk wilayah Garut peneliti mengambil tari Gatotkaca karya Iyus Rusliana di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) dengan judul Bentuk, Fungsi, Simbol Dan Makna Tari Gatotkaca Gaya Sumedang Dan Gaya Garut.

B. RumusanMasalah

Berdasarkan judul penelitian serta latar belakang masalah yang peneliti paparkan di atas, maka peneliti merumuskan beberapa permasalahan, diantaranya: 1. Bagaimana bentuk gerak pada tari Gatotkaca Gaya Sumedang dan Gaya

Garut ?

2. Bagaimana fungsi tari Gatotkaca Gaya Sumedang dan Gaya Garut ?

3. Bagaimana simbol dan makna gerak pada tari Gatotkaca Gaya Sumedang dan Gaya Garut ?

C. TujuanPenelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan yang telah dirumuskan, tujuan penelitian untuk mendeskripsikan dan menganalisis dan juga untuk memberikan informasi mengenai bentuk, fungsi, simbol dan makna tari Gatotkaca gaya Sumedang dan gaya Garut.

1. TujuanUmum

Manfaat dari penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dalam mengolah bahan ajar untuk SMP, SMA, maupun Perguruan Tinggi.

2. TujuanKhusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini, diantaranya :

a. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang bentuk tari Gatotkaca gaya Sumedang dan gaya Garut.

b. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang fungsi tari Gatotkaca gaya Sumedang dan gaya Garut.

c. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang makna tari Gatotkacagaya Sumedang dan Gaya Garut.


(15)

D. Metode Penelitian

Metode penelitian berguna untuk mempermudah dalam pengambilan dan perhitungan data, sehingga data yang didapatkan berkualitas dan berkuantitas.Sugiyono (2012: hlm.2) memaparkan bahwa “Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu”. Penelitian itu sendiri pada dasarnya bertujuan untuk mencari kebenaran tentang apa yang akan diteliti. Pemilihan metode dalam setiap penelitian akan berbeda, hal tersebut dipengaruhi oleh kesesuaian metode terhadap pemasalahan yang menjadi fokus penelitian.

Peneliti menggunakan metode deskriptif analisis, dengan menggunakan kajian Etnokoreologi sebagai pisau bedahnya.Metode deskriptif analisis merupakan suatu metode penelitian yang menguraikan atau mendeskripsikan data atau fakta untuk kemudian dianalisis. Kegiatan analisis dimaksudkan untuk lebih memahami fakta-fakta yang ditemukan, sehingga bisa menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini.

Etnokoreologi merupakan salah satu ilmu yang digunakan untuk mengkaji ataupun menganalisis sebuah pertunjukan atau karya tari namun tidak untuk menghilangkan ciri khas dari tarian tersebut. Selain dari ilmu Etnokoreologi, terdapat juga berbagai pendekatan lain seperti antropologi tari, dan koreologi tari. Kajian Etnokoreologi tari ini merupakan perpaduan dari beberapa pendekatan yaitu pendekatan tekstual dan kontekstual, sehingga dapat dikatakan sebuah pendekatan yang multidisiplin. Adapun didalam analisis tekstual merupakan analisis tari yang bisa dilihat secara langsung yaitu gerak, rias, busana, serta musik, sedangkan dalam analisis kontekstual merupakan analisis tari yang berhubungan dengan kehidupan dari masyarakat tersebut, dari sejarah, latar belakang, simbol, makna, serta fungsi dari sebuah pertunjukan atau karya tari. Dengan menggunakan Etnokoreologi, peneliti dapat mengungkap dan menganalisis gerak-gerak Gatot Kaca gaya Sumedang dan gaya Garut yang memiliki nilai dan simbol yang makna. Menurut Narawati (2003:hlm.135) gerak-gerak tari dapat dikategorikan menjadi empat macam, yaitu gerak-gerak berpindah


(16)

tempat (locomotion), gerak murni (pure movement), gerak maknawi (gesture), dan gerak penguat ekspresi (baton signal).

1. Setting Penelitian

a. Tempat/ Lokasi Penelitian

Tempat/ Lokasi penelitian yang diobservasi pada penelitian ini adalah Padepokan Sekar Pusaka yang beralamatkan di jalan Pangeran Santri No. 31B RT 01 RW 13 Kelurahan Kota Kaler Kecamatan Sumedang Selatan Kabupaten Sumedang milik Raden Ono Lesmana Kartadikusumah serta dan Institut Seni Budaya Indonesia yang beralamatkan di jalan Buah Batu No. 212 Bandung b. Waktu

Penelitian ini dilakukan dari bulan Januari hingga bulan Mei 2015. Proses penelitian dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap persiapan materi untuk penelitian lapangan, penelitian lapangan selanjutnya pengecekan hasil laporan penelitian.

2. Sumber Data a. Narasumber

Narasumber merupakan orang yang dapat memberikan informasi mengenai topik yang akan diteliti. Narasumber yang menjadi kunci pada penelitian ini adalah cucu dari Raden Ono Lesmana Kartadikusumah yang meneruskan jejaknya dalam melestarikan tari Wayang yaitu Widawati Noer Lesmana serta Iyus Rusliana yang merupakan dosen pengampu dalam mata kuliah tari Wayang di Institut Seni Budaya (ISBI) Bandung yang kiprahnya dulu menerapkan tari Gatotkaca gaya Garut yang dikembangkan di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung.

b. Objek Penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah Bentuk, Fungsi, Simbol, dan Makna tari Gatotkaca gaya Sumedang dan gaya Garut.

c. Pustaka


(17)

buku-buku mengenai tari Wayang, bentuk, fungsi, simbol, dan makna serta buku-buku dan jurnal yang relevan dengan topik penelitian.

d. Dokumen

Sumber data yang digunakan dalam dokumen mengenai tari Gatotkaca. Dokumen tersebut diperoleh dalam bentuk video dan karya ilmiah.

3. Teknik Pengumpulan Data

Ada beberapa teknik yang dilakukan peneliti untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini, diantaranya:

a. Observasi

Observasi merupakan suatu cara untuk mendapatkan ataupun mengumpulkan data-data penelitian secara langsung mengenai hal-hal yang akan diteliti. Anas Sugiono (1998:hlm.76) menyatakan secara umum pengartian observasi adalah cara menghimpun bahan-bahan keterangan (data) yang dilakukan dengan mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap fenomena-fenomena yang sedang dijadikan sasaran pengamatan. Observasi ini merupakan acuan dalam menentukan fokus penelitian. Observasi ini dilakukan pada minggu pertama dan kedua bulan Februari ke Padepokan Sekar Pusaka Kabupaten Sumedang serta ke Institut Seni Budaya Indonesia untuk mengamati penelitian terdahulu, struktur gerak serta dokumentasi-dokumentasi terdahulu dari hasil pementasan tari Gatotkaca gaya Sumedang karya Raden Ono Lesmana Kartadikusumah dan gaya Garut karya Iyus Rusliana. Dari hasil observasi inilah peneliti dapat mengamati yang berkaitan dengan fungsi, bentuk penyajian, susunan koreografi, serta simbol dan makna tari Gatotkaca Gaya Sumedang dan gaya Garut.

b. Wawancara

Wawancara merupakan hal terpenting dalam sebuah penelitian. Menurut A. Muri Yusuf dalam bukunya Metodologi Penelitian Wawancara (2005:hlm.140) menjelaskan bahwa:


(18)

Wawancara adalah proses antara pewawancara (Interviewer) dengan yang diwawancarai (interviewee) melalui komunikasi langsung atau dapat juga dikatakan sebagai proses percakapan tatap muka (face to face) antara interviewer dengan interviewee dimana pewawancara bertanya langsung tentang sesuatu aspek yang dinilai dan telah dirancang sebelumnya.

Tujuan dari wawancara adalah untuk mendapatkan informasidi mana sang pewawancara melontarkan pertanyaan-pertanyaan untuk dijawab oleh orang yang diwawancarai. Jenis wawancara yang dilakukan peneliti adalah wawancara langsung. Dalam wawancara ini peneliti bertanya langsung pada narasumber yaitu cucu dari Raden Ono Lesmana Kartadikusumah, Raden Widawati Noer Lesmana S.Sen yang berkaitan dengan susunan koreografi, ragam gerak, simbol dan makna, serta busana pada tari Gatotkaca gaya Sumedang. Sedangkan untuk tari Gatotkaca gaya Garut peneliti bertanya langsung kepada narasumber yaitu Iyus Rusliana. Wawancara akan dilaksanakan pada minggu kedua bulan Februari setelah observasi awal.

c. Studi Pustaka

Studi pustaka sangatlah berperan penting dalam sebuah prose penelitian, karena seperti yang dikemukakan oleh Nazir (1998:hlm.112) bahwa: “studi kepustakaan merupakan langkah yang penting dimana setelah seorang peneliti menetapkan topik penelitian, langkah selanjutnya adalah melakukan kajian yang berkaitan dengan teori yang berkaitan dengan topik penelitian”.

Dalam pencarian teori inilah, peneliti akan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya mengenai kajian yang akan diteliti. Untuk memecahkan permasalahan yang ada pada penelitian, peneliti melakukan studi pustaka dengan cara membaca buku-buku referensi, internet, hasil-hasil penelitian, serta hal-hal lain yang relevan dengan permasalahan yang diteliti tentang struktur tari Wayang, jenis-jenis tari Wayang, bentuk penyajian tari Wayang, simbol dan makna tari Wayang, busana tari Wayang serta hal-hal yang berkaitan tentang tari Wayang.


(19)

d. Studi Dokumentasi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dokumentasi merupakan sesuatu yang tertulis, tercetak atau terekam yang dapat dipakai sebagai bukti atau keterangan. Dalam penelitian ini pendokumentasiannya dengan menggunakan alat perekam suara Handphone, dan kamera foto.

Alat perekam suara ini digunakan untuk melakukan observasi secara langsung atau wawancara. Alat perekam ini berfungsi untuk merekam keseluruhan hasil wawancara yang dilakukan langsung antara peneliti dengan narasumber.

Kamera foto digunakan peneliti untuk mendapatkan gambar atau foto tentang gerak dan busana pada tari Gatotkaca gaya Sumedang dan gaya Garut, foto wawan cara peneliti dengan narasumber, dan lain-lain. Selain kamera foto, peneliti juga menggunakan dokumentasi foto yang telah ada di Padepokan Sekar Pusaka semasa Raden Ono Lesmana sampai dengan sekarang, serta foto-foto dokumentasi dari Iyus Rusliana.

Selain itu, peneliti juga menggunakan hasil dokumentasi pribadi milik Padepokan Sekar Pusaka serta Iyus Rusliana yang sudah berbentuk video hasil rekaman.Video ini digunakan peneliti sebagai acuan untuk mengetahui dan membandingkan bentuk Gatotkaca karya Raden Ono Lesmana Kartadikusumah dan Iyus Rusliana.

4. Teknik Analisis Data

Peneliti menggunakan teknik pengamatan data dengan cara mengkategorikan, mengelompokan dalam satuan urain dasar demi kepentingan penulisan dan mengecek data tersebut ke dalam sumber tertulis. Data-data yang diperoleh diberi kode agar memudahkan dalam pembahasan dan membuat laporan penelitian. Keabsahan data yang digunakan peneliti dari data hasil penelitian, akan dilakukan dengan pengecekan data-data yang didapat. Analisis data dalam kajian ini menggunakan triangulasi data dengan menggabungkan data hasil penelitian, observasi, studi pustaka, dan studi dokumentasi.


(20)

E. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini, adalah : 1. Peneliti

Dengan adanya penelitian ini, dapat memberikan wawasan yang luas serta beberapa pengalaman, terutama pengalaman melakukan penelitian mengenai bentuk, fungsi, simbol dan makna tari Gatotkaca gaya Sumedang dan gaya Garut. 2. MahasiswaUpi

Dengan adanya penelitian tentang kajian bentuk, fungsi, simbol dan maknatari Gatotkaca gaya Sumedang dan gaya Garut, memberikan pengetahuan baru serta memberikan informasi pada mahasiswa tentang keberadaan tari Gatotkaca gaya Sumedang dan gaya Garut ditinjau dari segi bentuk, fungsi, simbol dan makna.

3. Lembaga ( UPI )

Dengan adanya penelitian tentang kajian bentuk, fungsi dan makna tari Gatotkaca gaya Sumedang dan gaya Garut dapat memberikan informasi serta menambah literature di perpustakaan UPI.

4. Pihak Lain

Dengan adanya penelitian ini, peneliti berharap dapat memberikan informasi tentang bentuk, fungsi dan makna tari Gatotkaca gaya Sumedang dan gaya Garut dan memberikan wawasan bagi masyarakat luas, seniman, dan generasi muda. Peneliti juga mengajak kepada masyarakat luas dimanapun berada untuk menghargai, mempertahankan, melestarikan seni budaya bangsa setempat. Serta dari penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dalam mengolah bahan ajar untuk SMP, SMA, maupun Perguruan Tinggi.

F. Instrumen Penelitian

Untuk memperoleh data mengenai Kajian Struktur, Fungsi, Simbol, dan Makna tari Gatotkaca gaya Sumedang dan gaya Garut, maka peneliti menggunakan instrumen penelitian sebagai berikut.


(21)

Lembar observasi yang digunakan dalam penelitian ini, memuat pedoman pengamatan/observasi mengenai struktur, fungsi, simbol dan makna terhadap tari Gatotkaca gaya Sumedang dan gaya Garut.

2. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara digunakan sebagai acuan untuk mengajukan sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengan rumusan masalah penelitian. Hasil pedoman wawancara ini dimaksudkan untuk mendapatkan data-data penelitian tentang struktur gerak, ragam gerak, dan lain sebagainya sesuai dengan apa yang dibutuhkan dari kajian struktur, fungsi, simbol, dan makna tari Gatotkaca gaya Sumedang dan gaya Garut, yang selanjutnya dijadikan salah satu referensi untuk membuat laporan hasil penelitian.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini berdasarkan Pedoman Penulisan Karya Ilmiah yang dikeluarkan oleh UPI. Penelitian ini terdiri dari lima bab yang menjelaskan sebagai berikut.

BAB I

Bab I merupakan bab pendahuluan yang mencakup latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, manfaat penelitian, instrumen penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB II

Bab II merupakan kajian pustaka yang mengaitkan teori, konsep, dan topik penelitian.Bab ini memaparkan penelitian terdahulu serta teori-teori yang relevan dengan topik penelitian.

BAB III

Bab III merupakan Metode Penelitian.Menguraikan tentang pendekatan dan metode penelitian.Lokasi dan subjek penelitian, definisi operasional, instrument penelitian, teknik pengumpulan data, tahapan penelitian dan teknik analisis data. BAB IV

Bab IV merupakan bab hasil penelitian dan pembahasan yang berisi tentang analisi hasil temuan serta analisis keterkaitan antara teori, konsep dan data hasil


(22)

temuan mengenai simbol dan makna tari Gatotkaca gaya Sumedang dan gaya Garut. Analisi meliputi gerak, rias, dan busana tari Gatotkaca gaya Sumedang dan gaya Garut

BAB V

Bab V merupakan bab simpulan dan saran yang berisi tentang kesimpulan peneliti terhadap hasil analisis temuan penelitian dan saran peneliti untuk pihak-pihak yang memiliki keterkaitan dengan hasil kajian.


(23)

BAB III

BENTUK, FUNGSI, SIMBOL DAN MAKNA TARI GATOTKACA GAYA SUMEDANG A. Latar Belakang Tari Gatotkaca Gaya Sumedang

Raden Ono Lesmana Kartadikusumah menciptakan dua bentuk penyajian tari Gatotkaca, yaitu tari Gatotkaca bentuk tarian tunggal dan tari Gatotkaca Gandrung yang bentuk tariannya kelompok. Tari Gatotkaca diciptakan oleh Raden Ono Lesmana Kartadikusumah pada tahun 1942 yang menggambarkan kegagahan Gatotkaca yang sedang mengelilingi wilayah negerinya untuk menjaga wilayah Amarta.

Tari Gatot Kaca Gandrung ini diciptakan karena terilhami oleh tari Gatotkaca Gandrung gaya Solo yang ditarikan oleh Risman. Dimana dua putri yang digandrunginya divisualisasikan secara nyata. Akhirnya Raden Ono Lesmana terdorong hatinya untuk membuat tari Gatot Kaca Gandrung menurut versinya sendiri sekitar tahun 1957 (Wawancara Widawati, 16 Mei 2015).

Bentuk tarian yang diciptakan Raden Ono Lesmana Kartadikusumah ini berupa petilan dari cerita pewayangan ketika Gatot Kaca dari Pringgandani setelah menemui ibunya dan mengelilingi wilayah negerinya dengan terbang melayang di angkasa, terkena panah asmara dan tergila-gila terhadap Dewi Pergiwa, sehingga jatuh di hutan belantara. Dalam bayangannya selalu sang Dewi kembar tersebut serasa bertaut di matanya. Tetapi alangkah murkanya Gatot Kaca,

ketika Dewi yang dipujanya itu adalah Buta raseksa “Cakil” maka terjadilah

peperangan yang pada akhirnya dimenangkan oleh Gatotkaca. Yang akan dibahas pada penelitian ini adalah tari Gatotkaca dengan bentuk penyajian tari tunggal.

Adapun struktur gerak tari Gatot Kaca gaya Sumedang adalah sebagai berikut.

1) Trisi hiber


(24)

3) Adeg-adeg capang, sawang, cindek 4) Ngaca

5) Laras konda

6) Sembada, ungkleuk, obah bahu, cindek 7) Gedig, capang, sawang, cindek

8) Jangkung ilo, sonteng 9) Gedut

10) Mincid siku

11) Gedig, capang, sawang, cindek 12) Jangkung ilo, tumpang tali 13) Laras konda

14) Ungkleuk

15) Gedig, capang, sawang, cindek 16) Adeg-adeg sabukan

17) Adeg-adeg Makutaan 18) Pakbang

19) Laras konda 20) Ungkleuk 21) Gedig anca 22) Adeg-adeg jurus 23) Nenjrag bumi 24) Trisi hiber


(25)

1. Struktur Gerak Tari Gatotkaca Gaya Sumedang

No Nama Gerak Deskripsi Foto Gerak Kategori Gerak

1 Trisi Hiber Gerak awal berjalan

jinjit/trisi dengan posisi

tangan kanan tutup

selendang dan tangan kiri kesamping kemudian gerak selanjutnya bergantian

Locomotion (gerak berpindah tempat)

2 Sembahan

Awal (Calik Jengkeng)

Posisi duduk dengan kaki kanan sebagai tumpuan dan kaki kiri ke depan dan ditekuk dengan posisi tangan kanan di pinggang dan tangan kiri di atas kaki kiri. Kemudian tangan kiri ke depan sedikit ditekuk dan tangan kiri di tengah-tengah tangan kanan, lalu kedua tangan dibuka, tangan kiri ke samping kiri dan tangan kanan kesamping kanan atas dan arah pandangan ke

telapak tangan kanan,

kemudian posisi tangan

kembali lagi ke awal (tangan kiri di atas kaki kiri dan tangan kanan di pinggang). Kemudian kedua tangan ukel lalu kedua tangan ditarik

ketengah dengan posisi

ujung telapak tangan

bersentuhan terlebih dahulu kemudian dirapatkan dan berada di depan wajah.

Pure Movement (gerak murni)


(26)

3 Adeg-adeg capang, sawang, cindek

Posisi kedua kaki dibuka selebar bahu, posisi kedua

tangan kanan disamping

tangan kiri kemudian tangan kanan sejajar dengan kepala, kemudian posisi tangan kiri kesamping kiri dan posisi tangan kanan di depan dada.

Pure Movement (gerak murni)


(27)

4 Ngaca Posisi badan condong ke depan dengan posisi tangan kiri di depan wajah dan tangan kanan di samping telinga

Gesture (gerak maknawi)

5 Laras konda Posisi badan ke depan

dengan melakukan gerakan tangan capang (tangan kiri kedepan dan tangan kanan ditekuk sehingga telapak tangan kanan berada di tengah-tengan tangan kiri).

Kemudian gerakan

selanjutnya tangan kiri di simpan di pinggang dan

tangan kanansawang

(gerakan tangan ditekuk ke atas dan telapak tangan menghadap ke wajah)

Pure Movement (gerak murni)

6 Sembada,

ungkleuk, obah bahu, cindek

posisi kedua kaki dibuka selebat bahu, dengan posisi tangan kanan di depan dada dan tangan kiri disamping

kiri. Kemudian

menggerakan kedua bahu ke atas dan ke bawah.

Pure Movement (gerak murni)

7 Gedig,

capang, sawang, cindek

Gerak melangkah dengan posisi tangan kanan di depan

dada dan tangan kiri

dipinggang, kemudian

langkah selanjutnya gerakan kedua tangan di depan dada dengan posisi tangan kanan diatas tangan kiri

Locomotion (gerak berpindah tempat)


(28)

8 Jangkung ilo, sonteng

Posisi badan menghadap ke kiri kemudian kaki kiri diangkat dan kaki kanan sebagai tumpuan , tangan kanan ke depan dan tangan kiri di pinggang, berikutnya tangan kanan bergerak ukel, setelah ukel kaki kiri di turunkan ke samping kiri dan tangan kanan diayunkan ke kiri dan ke kanan diikuti oleh gerakan kepala

Pure Movement (gerak murni)

9 Gedut Posisi awal badan ke depan

dengan posisi kaki kanan di depan kaki kiri, kemudian

posisi badan diangkat

dengan posisi mengarah

serong kiri kemudian

ditahan oleh kaki kanan kemudian posisi badan ke

Pure Movement (gerak murni)


(29)

tengah lagi. Begitu pula sebaliknya bergantian ke kiri.

10 Mincid siku Posisi badan ke depan

dengan langkah kaki mundur kebelakang yang diikuti oleh gerakan tangan capang kiri dan capang kiri

11 Gedig, capang, sawang, cindek

Gerak melangkah dengan posisi tangan kanan di depan

dada dan tangan kiri

dipinggang, kemudian

langkah selanjutnya gerakan kedua tangan di depan dada dengan posisi tangan kanan diatas tangan kiri

Locomotion (gerak berpindah tempat)


(30)

12 Jangkung ilo, tumpang tali

Gerakan awal posisi badan serong ke kanan dengan posisi kaki kiri di depan kemudian gerakan tangan

tumpang tali (posisi tangan

kanan di atas tangan kiri), gerakan kedua kedua tangan diarahkan di depan atas

kepala/mahkota, kemudian

arah hadap ke samping kanan dengan posisi tangan

sembada kanan (tangan kanan ditekuk di depan dada, tangan kiri kesamping

kiri. Gerak tangan

selanjutnya melakukan

sawang kiri (posisi tangan

kiri di atas dan ditekuk dengan posisi telapak tangan kiri menghadap wajah) dan di akhiri dengan posisi tangan kiri ditekuk dan kaki kiri ditarik.

Pure Movement (gerak murni)


(31)

13 Laras konda Posisi badan serong kanan dengan posisi kedua tangan direntangkan serta kedua kaki sedikit dirapatkan dan

jinjit, gerakan selanjutnya

kaki dibuka dengan tumpuan dikaki kiri dengan posisi kedua tangan tumpang tali dengan posisi sedikit naik ke atas kanan

Pure Movement (gerak murni)

14 Ungkleuk Posisi badan serong ke arah kiri dengan posisi kaki kanan di depan kaki kiri, posisi tangan kiri memegang sampur dan tangan kiri di bawah tangan kanan dengan kepala bergerak ke atas dan ke bawah

Pure Movement (gerak murni)

15 Gedig, capang, sawang, cindek

Gerak melangkah dengan posisi tangan kanan di depan

dada dan tangan kiri

dipinggang, kemudian

langkah selanjutnya gerakan kedua tangan di depan dada dengan posisi tangan kanan diatas tangan kiri

Locomotion (gerak berpindah tempat)


(32)

16 Adeg-adeg sabukan

Posisi kedua kaki dibuka selebar bahu dengan sikap tangan kanan diatas tangan kiri

Gesture (gerak maknawi)

17 Adeg-adeg Makutaan

Posisi badan condong ke depan dengan kaki kanan kedepan dan tangan kiri di depan wajah dan tangan kanan didekat telinga

Gesture (gerak maknawi)

18 Pakbang Melangkah kanan kiri kanan

dengan tangan mengayun, kemudian adeg-adeg tengah dengan kedua tangan

lontang kanan dan lontang

kiri

Pure Movement (gerak murni)


(33)

19 Laras konda Posisi badan serong kiri dengan kedua kaki jinjit diikuti posisi kedua tangan ke depan atas kemudian kedua kaki dibuka dan

diikuti kedua tangan

direntangkan sambil gerakan

tersebut diulang dan

perputar berlawanan arah jarum jam.

Pure Movement (gerak murni)

20 Ungkleuk Posisi badan serong ke arah kiri dengan posisi kaki kanan di depan kaki kiri, posisi tangan kiri memegang sampur dan tangan kiri di bawah tangan kanan dengan kepala bergerak ke atas dan ke bawah

Pure Movement (gerak murni)

21 Gedig anca Langkah kaki kanan jadi

tumpuan dan kaki kiri

diangkat posisi tangan kanan ditekuk dan tangan kiri di pinggang kiri dengan arah hadap kepala ke kanan bawah gerakan ini dilakukan secara bergantian

Locomotion (gerak berpindah tempat)

22 Adeg-adeg jurus

Posisi kaki kanan di depan kaki kiri, dengan sikap tangan kanan kedepan dan tangan kiri disamping tangan kanan

Gesture (gerak maknawi)


(34)

23 Nenjrag bumi Posisi badan serong kekanan

dengan kedua tangan

mengepal dan disimpan di samping kiri dengan arah pandangan ke bawah lalu kaki kanan diangkat dan

dihentakkan ke bawah

sebanyak tiga kali.

Gesture (gerak maknawi)

24 Trisi hiber Kedua tangan direntangkan kedepan dengan posisi kaki kanan kedepan, tangan kiri

tutup selendang tangan

kanan lurus kebelakang

kemudian diakhiri dengan gerak trisi keluar.

Locomotion (gerak berpindah tempat)

Tabel 3.1

Tabel Struktur Koreografi Tari Gatotkaca Gaya Sumedang

Berdasarkan analisis Etnokoreologi mengenai kategori locomotion (gerak berpindah tempat), pure movement (gerak murni), gesture (gerak maknawi), dan


(35)

baton signal (gerak penguat ekpresi) yang terdapat pada tari Gatotkaca gaya Sumedang. Tarian ini memiliki 9 gerak yang masuk ke dalam kategori Puremovement yaitu gerak murni yang hanya menitikberatkan pada keindahan semata diantaranya, Sembahan awal (calik jengkeng), (Sembada, ungkleuk, obah bahu, cindek), (Adeg-adeg capang, sawang, cindek) (Jangkung ilo, sonteng), Laras konda,Gedut, (Jangkung ilo, tumpang tali), Pakbang dan Ungkleuk.

Apabila ditilik dari desain yang terdapat pada gerak Puremovement, maka peneliti mengambil desain atas untuk melihat kekuatan pada setiap geraknya yang terlihat dari depan atau dilihat dari penonton. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Soedarsono bahwa desain atas adalah desain yang berada di atas lantai yang dilihat oleh penonton, yang tampak terlukis pada ruang yang berada di atas lantai. Untuk memudahkan penjelasan ini dilihat dari satu arah penonton saja yaitu dari depan (1986:hlm.105).Dengan desain atas peneliti dapat mengetahui sentuhan emosional pada setiap gerakan. Dan untuk melihat karakter gerak, dilihat dari level yang digunakan, arah, intensitas atau aliran tenaga menggunakan analisis Laban. Seperti yang dikemukakan Rudolf Laban (1975), bahwa gerak merupakan fungsional dari Body (gerak bagian kepala, kaki, tangan, badan), Space (ruang gerak yang terdiri dari level, jarak, atau tingkatan gerak), Time (berhubungan dengan durasi gerak perubahan sikap, posisi, dan kedudukan),

Dinamyc, (kualitas gerak menyangkut kuat, lemah, elastis, dan penekanan gerak). Berpijak kepada pendapat tersebut, unsur gerak sebagai unsur utama, ruang, waktu, dan tenaga dalam kategori Puremovement pada tari Gatotkaca gaya Sumedang cenderung menggunakan ruang yang luas, hal tersebut dapat dilihat pada gerak tangan yang cenderung lebar. Untuk unsur waktu, ragam gerak yang termasuk ke dalam kategori Puremovement cenderung menggunakan tempo sedang dan cepat. Adapun untuk intensitas tenaga, ragam gerak yang termasuk ke dalam kategori Puremovement ini menggunakan tenaga yang kuat namun tertahan.

Pada gerak Sembahan awal (calik jengkeng) termasuk kedalam desain rendah yaitu desain yang dipusatkan pada daerah yang berkisar antara pinggang penari sampai lantai. Desain ini memberikan kesan penuh daya hidup. Daya hidup


(36)

di sini jika dikaitkan dengan tema pada tari Gatotkaca gaya Sumedang diartikan sebagai perjuangan Gatotkaca untuk menjaga wilayah Amarta dengan penuh tanggung jawab. Gerak (Adeg-adeg capang, sawang, cindek), Laras konda, (Sembada, ungkleuk, obah bahu, cindek), (Jangkung ilo, sonteng), Gedut, (Jangkung ilo, tumpang tali), Pakbangdan Ungklek termasuk kedalam desain medium atau tengah dimana desain yang dipusatkan pada daerah sekitar dada ke bawah sampai pinggang penari. Desain ini memberikan kesan penuh emosi. Hampir pada setiap gerak tangan dan kaki menggunakan tekukan-tekukan seperti pada lutut, sikut, pergelangan tangan dan pergelangan kaki. Pola gerak tersebut termasuk kedalam desain bersudut yang menimbulkan kesan penuh kekuatan.Hal ini senada dengan karakter serta tema tarian pada tari Gatotkaca gaya Sumedang yaitu karakter monggawa lungguh yang memiliki ciri bergerak dengan tenaga yang kuat, anggota tubuhnya terbuka dengan badan dan arah pandangnya sedikit condong ke depan dengan levelnya medium dan tinggi ketika berdiri. Tema pada tari Gatotkaca gaya Sumedang menggambarkan kegagahan Gatotkaca yang sedang mengelilingi wilayah negerinya untuk menjaga wilayah Amarta.

Gerak yang termasuk kedalam Locomotion atau gerak berpindah tempat memiliki 4 gerak diantaranya, Trisi hiber, (Gedig, capang, sawang, cindek), Mincid siku, dan Gedig anca. Pada keempat gerakan tersebut, secara keseluruhan menggunakan desain medium atau tengah dengan menggunakan tekukan-tekukan seperti pada lutut, sikut, pergelangan tangan dan pergelangan kaki pada setiap gerak tangan dan kaki. Pola gerak tersebut memberikan kesan penuh emosi dan menimbulkan kesan penuh kekuatan.Hal ini sesuai dengan karakter serta tema pada tari Gatotkaca gaya Sumedang yaitu monggawa lungguh yang memiliki ciri bergerak dengan tenaga yang kuat, anggota tubuhnya terbuka dengan badan dan arah pandangnya sedikit condong ke depan dengan levelnya medium dan tinggi ketika berdiri serta batas mengangkat kaki sekitar lutut. Dan dari keempat gerak tersebut mewakili gambaran dari tema pada tari Gatotkaca gaya Sumedang yaitu menjaga serta mengelilingi wilayah Amarta. Dari gerak Locomotion pada tari Gatotkaca gaya Sumedang memiliki keunikan terutama dalam melangkah, tangan serta kaki selalu bersamaan dalam istilah bahasa Sunda sering disebut Ngarodon.


(37)

Gerakan ini terdapat pada gerak Gedig Anca, dimana pada gerak kaki kanan melangkah diikuti dengan tangan kanan ke depan dan arah pandangan ke kanan.

Foto 3.1 Gerak Gedig Anca (Foto Sudirman, 2015)

Pada gerak Gesture atau gerak maknawi memiliki 4 gerak diantaranya, Ngaca, Adeg-adeg sabukan , Adeg-adeg Makutaan dan Adeg-adeg jurus. Untuk gerak Ngaca diartikan sebagai persiapan Gatotkaca menjaga Negara Amarta yang diawali dari kelengkapan yang Gatotkaca kenakan. Pada posisi ini sikap badan condong ke depan dengan posisi tangan kiri di depan wajah dan tangan kanan di samping telinga. Sikap badan termasuk kedalam desain dalam yang apabila dilihat dari arah penonton, badan penari tampak memiliki perspektif dalam. Anggota badan seperti kaki dan lengan diarahkan ke depan dan ke belakang. Desain ini memberikan kesan perasaan yang dalam. Perasaan yang dalam jika dikaitkan dengan tema pada tari Gatotkaca gaya Sumedang memiliki arti rasa tanggung jawab Gatotkaca terhadap wilayah Amarta, dimana tugasnya menjaga keamanan wilayah Amarta.


(38)

Foto 3.2 Gerak Ngaca (Foto Sudirman, 2015)

Gerak Adeg-adeg sabukan \dan Adeg-adeg Makutaan memiliki arti yang sama yaitu sebagai persiapan Gatotkaca menjaga Negara Amarta yang diawali dari memeriksa kelengkapan, seperti baju, sabuk atau ikat pinggang serta mahkuta yang dipakai Gatotkaca. Pada gerakan ini menggambarkan Gatotkaca sedang mengencangkan sabuk dan mahkota yang dipakai oleh Gatotkaca. Hal ini sesuai dengan tema pada tari Gatotkaca gaya Sumedang dimana Gatotkaca akan menjaga wilayah Amarta yang dimulai dengan persiapan sebelum mengelilingi wilayah Amarta. Untuk gerak Adeg-adeg sabukan menggunakan desain gerak medium bersudut dimana desain yang dipusatkan di daerah sekitar dada ke bawah sampai pinggang dengan menggunakan tekukan-tekukan tajam pada sendi-sendi tangan, sikut dan lutut, sehingga memberikan kesan penuh emosi serta kesan penuh kekuatan. Hal ini sesuai dengan karakter pada tari Gatotkaca gaya Sumedang yaitu monggawa lungguh dimana memiliki ciri bergerak dengan tenaga yang kuat, anggota tubuhnya terbuka dengan badan dan arah pandangnya sedikit condong ke depan dengan levelnya medium dan tinggi ketika berdiri.


(39)

Foto 3.3

Gerak Adeg-adeg Sabukan (Foto Sudirman, 2015)

Pada Adeg-adeg Makutaan sikap badan termasuk kedalam desain dalam bersudut. Anggota badan seperti kaki dan lengan diarahkan ke depan dengan posisi badan condong ke depan dan pada gerak tangan menggunakan tekanan-tekanan tajam pada pergelangan tangan dan sikut. Desain ini memberikan kesan perasaan yang dalam serta kesan penuh kekuatan. Perasaan yang dalam serta kekuatan di sini diartikan sebagai persiapan Gatotkaca untuk menjaga wilayah Amarta dengan penuh rasa tanggung jawab serta kekuatan yang semaksimal mungkin dikeluarkan Gatotkaca demi menjaga keamanan wilayah Amarta. Hal ini sejalan dengan karakter dan tema pada tari Gatotkaca gaya Sumedang yaitu menggambarkan kegagahan Gatotkaca yang sedang mengelilingi wilayah negerinya untuk menjaga wilayah Amarta dengan karakter monggawa lungguh dimana memiliki ciri bergerak dengan tenaga yang kuat, anggota tubuhnya terbuka dengan badan dan arah pandangnya sedikit condong ke depan dengan levelnya medium dan tinggi ketika berdiri.


(40)

Foto 3.4

Gerak Adeg-adeg Makutaan (Foto Sudirman, 2015)

Dan pada gerak Adeg-adeg jurus sama dengan gerak Adeg-adeg sabukan menggunakan desain gerak medium bersudut dimana desain yang dipusatkan di daerah sekitar dada ke bawah sampai pinggang dengan menggunakan tekukan-tekukan tajam pada sendi-sendi tangan, sikut dan lutut sehingga memberikan kesan penuh emosi serta kesan penuh kekuatan. Adeg-adeg jurus ini diartikan sebagai persiapan Gatotkaca apabila menghadapi musuh. Hal ini sesuai dengan karakter serta tema pada tari Gatotkaca gaya Sumedang yaitu berkarakter monggawa lungguh dimana memiliki ciri bergerak dengan tenaga yang kuat, anggota tubuhnya terbuka dengan badan dan arah pandangnya sedikit condong ke depan dengan levelnya medium dan tinggi ketika berdiri. Tenaga yang kuat tergambarkan pada setiap gerak Adeg-adeg jurus, dimana kekuatan di sini dipergunakan Gatotkaca untuk melindungi dan menjaga keamanan wilayah Amarta. Gerakan ini sesuai dengan tema pada tari Gatotkaca gaya Sumedang yaitu menggambarkan kegagahan Gatotkaca yang sedang mengelilingi wilayah negerinya untuk menjaga wilayah Amarta.


(41)

Foto 3.5 Gerak Adeg-adeg Jurus

(Foto Sudirman, 2015)

Baton Signal atau gerakan penguat ekspresi terdapat pada gerak Nenjrag Bumi. Gerakan ini diartikan ketika Gatotkaca akan menggunakan ajian atau jurus waringin sungsang. Gatotkaca terkenal dengan kesaktiannya yaitu waringin sungsang yang merupakan kesaktiannya untuk bisa terbang. Kesaktian ini terdapat pada pada gerak Baton Signal yaitu Nenjrag Bumi. Nenjrag Bumi dalam bahasa Indonesia memiliki arti menghentakkan kaki dipermukaan tanah. Gerak tersebut merupakan gerak yang termasuk ke dalam desain bersudut, karena gerak ini menggunakan tekukan-tekukan tajam pada sendi-sendi seperti lutut, siku, dan pergelangan tangan. Narawati (2009:hlm.35) mengemukakan bahwa desain

bersudut adalah “desain anggota tubuh seperti tungkai dan lengan yang banyak

menggunakan tekukan-tekukan tajam pada sendi-sendi seperti lutut, pergelangan

kaki, siku, dan pergelangan tangan”. Desain bersudut gerak Nenjrag Bumi memberikan kesan penuh dengan kekuatan yang dimiliki oleh tokoh Gatotkaca. Dari gerak Nenjrag Bumi ini jelas terlihat kekuatan serta tenaga yang terdapat pada tari Gatotkaca gaya Sumedang sangat kuat, hal ini sesuai dengan karakter


(42)

dari tari Gatotkaca gaya Sumedang yaitu monggawa lungguh memiliki ciri bergerak dengan tenaga yang kuat dan ritme serta temponya sedang dan cepat. Anggota tubuhnya terbuka dengan badan dan arah pandangnya sedikit condong ke depan. Levelnya medium dan tinggi ketika berdiri dengan ruang gerak yang digunakan terbuka, dan kualitas gerak yang diungkapkan perkusi dan menahan. Perkusi di sini dimaksudkan kepada kualitas gerak yang lahir ketika mengungkapkan elemen-elemen gerak terasa tekanan-tekanannya.

Foto 3.6 Gerak Nenjrag Bumi (Foto Sudirman, 2015)

2. Rias Tari Gatotkaca gaya Sumedang

Pada dasarnya, tata rias bukan sesuatu yang asing bagi semua orang, khususnya kaum wanita sebab tata rias merupakan aspek untuk mendukung penampilan dan sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Tujuan dari tata rias yaitu untuk mengubah penampilan fisik yang dinilai kurang sempurna. Adapun tata rias untuk koreografi merupakan kelengkapan penampilan atau sebuah pertunjukan.

Selain itu, rias merupakan perwujudan dari karakter-karakter yang ditampilkan dalam sebuah tarian. Hal ini senada dengan pernyataan Claire Holt


(43)

(1967:hlm.193), dalam bukunya Art in Indonesia: Continuities and Change, yang berjudul “The Wayang World”, ketika menjelaskan berbagai karakter pewayangan menggunakan istilah Ikonografi untuk menyelami bentuk-bentuk wajah, tubuh, atribut-atribut boneka wayang, untuk membedakan dan memperjelas karakter-karakter penting pada wayang. Untuk itu, peneliti dalam mengkaji dan menganalisis rias pada sebuah tari Gatotkaca gaya Garut menggunakan pendekatan phisiognomi. Narawati dalam buku Wajah Sunda Dari Masa Ke Masa (2003:hlm.42) menegaskan bahwa: “pendekatan Phisiognomi yang mampu mengamati wajah dari bentuk garis-garis mata, alis, mulut, dan

bentuk hidung untuk mencermati karakter”.


(44)

\.

b. Pasu Teleng a. Alis Masekon .

c. Eye Shadow d. Eye Liner

e. Pasu Damis f. Kumis

g. Cedo

Foto 3.7

Rias Tari Gatotkaca dilihat dari depan (Foto Sudirman, 2015)


(45)

h. Godeg Satria

Foto 3.8

Rias Tari Gatotkaca dilihat dari samping (Foto Sudirman, 2015)

Adapun penjelasan tata rias yang dipergunakan pada tari Gatotkaca gaya Sumedang adalah sebagai berikut.

a. Alis Masekon

Bentuk alis yang ditarik ke atas dari pangkal alis, kemudian dilengkungkan menurun dan ditarik kebelakang.

b. Pasu Teleng

Garis rias diantara kedua alis sejajar dengan hidung yang berbentuk seperti tanda seru.


(46)

c. Eye Shadow

Make Up untuk memperindah mata sekaligus memberi bayangan mata. Pada tari Gatotkaca gaya Sumedang menggunakan eye shadow berwarna hitam untuk bagian pinggir, biru tua untuk bagian tengah dan putih untuk bagian atas.

d. Eye Liner

Garis mata yang berfungsi untuk mempertegas mata. Pada tari Gatotkaca gaya Sumedang menggunakan eye liner berwarna hitam. e. Pasu Damis

Hiasan pada kedua pipi yang berbentuk seperti tanda petik yang diberi warna putih untuk bagian tengah dan garis pinggiran berwarna hitam.

f. Kumis

Rambut diantara hidung dan bibir. Untuk tari Gatotkaca gaya Sumedang menggunakan kumis buatan supaya terlihat gagah. g. Cedo

Garis di bawah bibir menuju dagu berwarna hitam. h. Godeg satria

Jambang yang menyerupai cerurit atau sabit melengkung ke bawah.

Tata rias pada tari Gatotkaca gaya Sumedang lebih kepada hasil kreasi Raden Ono Lesmana Kartadikusumah, karena beliau bukan lulusan dari sekolah seni, maka tata rias yang digunakan apa yang beliau lihat (wawancara Widawati, 16 Mei 2015). Hal ini jelas terlihat pada foto 3.3, bahwa warna dasar pada riasan wajah sesuai dengan warna kulit. Untuk bagian alis masekon, pasu teleng berbentuk tanda seru, eye shadow disesuaikan dengan bentuk kelopak mata, eye liner disesuaikan dengan bentuk mata bagian bawah, tidak menggunakan janggut hanya memakai cedo,dan godegnya pun menyerupai cerurit. Jika ditinjau berdasarkan tata rias karakter, maka tata rias tari Gatotkaca gaya Sumedang lebih kepada satria ladak, karena hanya terdapat garis-garis rias di kening, alis,


(47)

jambang, kumis, dan dagu. Hanya saja pada satria ladak tidak terdapat garis di pipi atau pasu damis. Seharusnya seperti yang sudah diterangkan sebelumnya menurut Rusliana (2001:hlm.63-66), bahwa bahwa, perbedaan yang mendasar antara garis-garis rias untuk tarian Wayang jenis putri dan putra sebagai berikut.

1) Tarian jenis putri, terdapat garis-garis rias dikening, alis, dan jambang. 2) Tarian jenis putra satria lungguh, terdapat garis-garis rias di kening, alis,

dan jambang.

3) Tarian jenis putra satria ladak, terdapat garis-garis rias di kening, alis, jambang, kumis, dan dagu.

4) Tarian jenis putra monggawa lungguh, monggawa dangah, danawa patih, dan danawa raja, terdapat garis-garis rias di kening, alis, jambang, kumis, pipi, dan dagu.

Tata rias untuk tari Gatotkaca yang berkarakter monggawa lungguh seharusnya terdapat garis-garis rias di kening, alis, jambang, kumis, pipi, dan dagu. Di mana pada alis berbentuk cagak dua, pada kening terdapat pasu teleng berbentuk huruf V terbalik, cedo dan janggut menyatu, dan godeg atau jambang yang tebal seperti huruf J. Selain itu, jika ditinjau dari rias karakter monggawa lungguh menurut Richard Corson dalam Narawati (2003: hlm.238) menyatakan, bahwa.

Secara Phisiognomi karakter ini memiliki mata yang terbuka lebar dengan kedua ujung matanya segaris dengan pangkalnya, demikian pula alisnya. Hanya saja, karena karakter ini gagah, alisnya yang dikenakan terkesan tebal atau lebat. Hidungnya agak besar, demikian pula mulutnya. Kedua ujung kiri dan kanan mulut hampir segaris, demikian pula kumisnya yang tebal dan lebat di bawah hidung yang besar. Ciri-ciri phisiognomi semacam ini memberikan kesan, bahwa kesatria ini sangat pemberani serta kokoh dalam pendirian.

Rias Phisiognomi pada garis-garis wajah bagian mata untuk tari Gatotkaca gaya Sumedang tidak menggunakan garis-garis yang tebal dan warna yang tegas, bentuk alisnya masekon. Rias pada matanya berbentuk kedhelen yang sedikit agak membelalak dan menggunakan warna atau eye shadow yang tegas, bentuk hidung yang ambangir. Adapun bentuk alisnya masekon. Phisiognomi untuk bentuk mulut dhamis dengan memakai kumis tebal serta cedo satria. Jika ditinjau berdasarkan paparan tersebut, tari Gatotkaca gaya Sumedang lebih kepada karakter satria ladak tetapi menggunakan pasu damis.


(48)

3. Busana Tari Gatotkaca gaya Sumedang

Busana tari wayang Priangan dipengaruhi oleh budaya Jawa Tengah. Jika kita lihat awal terciptanya tari Wayang Priangan ini berasal dari tari Wayang Wong Priangan, sehingga busana tari Wayang Priangan mendapat pengaruh besar dari tari Wayang Wong priangan, seperti yang telah diungkapkan oleh Narawati dalam bukunya Soedarsono sebagai berikut.

Secara langsung dan tidak langsung, busana, rias, serta gerak tari wayang wong Priangan mendapat pengaruh yang cukup besar dari karakterisasi busana, rias dan d tari wayang wong Jawa. Memang, pengaruh itu setelah berkembang dan dikembangkan oleh seniman-seniman Priangan menjadi khas Priangan, hingga busana, rias, dan gerak tari wayang wong Priangan menjadi khas gaya Priangan, dan bukan lagi sebagai busana, rias dan gerak tari Jawa gaya Priangan. (Narawati, 2003:hlm.37)

Terlihat adanya kontak budaya antara budaya Jawa dengan budaya Priangan. Selain adanya pengaruh dari tari wayang wong Priangan, busana tari wayang Priangan juga mengikuti karakterisasi pada busana wayang golek. Seperti yang diungkapkan Soedarsono sebagai berikut.

Maka tak heran apabila busana wayang wong Priangan juga mengikuti karakterisasi pada busana wayang golek Sunda. Sudah barang tentu karena adanya perbedaan antara boneka wayang golek yang terbuat dari kayu dan penari wayang wong Priangan yang manusia, walaupun terdapat banyak persamaan antara keduanya tetapi terdapat beberapa perbedaan. (Soedarsono 2011:hlm.168)

Oleh karena itu, pada busana tari Gatotkaca gaya Sumedang memiliki kesamaan dengan karakteristik pada busana Wayang Golek Sunda, tetapi terdapat perbedaan pula. Hal ini dikarenakan dengan kebutuhan pada tarian tersebut. Busana tari merupakan satu bantuan yang nyata pada si penari, khususnya pada tari yang berkembang dari tari tradisional ataupun klasik, karena selain dapat membantu gerak dalam bentuk koreografi yang utuh, juga mempunyai fungsi-fungsi simbolis. Busana tari yang berhasil, mempunyai nilai yang sejajar dengan keadaan penerangan yang baik, latar belakang, lagu pengiring dan teknis pentas.


(49)

Busana dalam sebuah karya tari merupakan satu kesatuan fasilitas bagi penari untuk menata rupa visualisai tubuhnya yang sesuai dengan tarian yang disajikan. Untuk itu, dengan adanya busana dalam sebuah tari maka pertunjukan sebuah karya tari tersebut akan lebih hidup. Adapun bentuk busana tari Gatotkaca gaya Sumedang dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

a. Mahkota Gelung Pelengkung Garuda Mungkur

b.Susumping c.Badong

d. Baju Kutung e.Kilat Bahu

f. Ikat Pinggang/Beubeur

h. Kewer/Ampleh g.Gelang Tangan

i.Tali Uncal j.Sampur

k.Sinjang Dodot l.Celana Sontog

Foto 3.9

Busana Tari Gatotkaca dilihat dari depan (Foto Sudirman, 2015)


(50)

m.Keris n. Melati

o. Gelang Kaki

Foto 3.10

Busana Tari Gatotkaca Dilihat dari Belakang (Foto Sudirman, 2015)


(51)

Warna Busana yang digunakan dalam tari Gatotkaca gaya Sumedang menggunakan warna dasar hitam dengan tidak menggunakan banyak motif pada pola busananya dan pada setiap busana yang Raden Ono Lesmana Kartadikusumah memiliki cirri khas motif bunga teratai (WawancaraWidawati, 16 Mei 2015).

Adapun uraian busana tari Gatotkaca gaya Sumedang sebagai berikut. a. Mahkuta Gelung Pelengkung Garuda Mungkur

Bagian busana penutup kepala yang berbentuk melengkung dengan tambahan garuda mungkur atau motif burung garuda yang menghadap ke bawah.

b. Susumping

Hiasan telinga yang terbuat dari kulit. c. Badong

Hiasan busana bagian belakang yang terbuat dari kulit yang berbentuk seperti sayap.

d. Baju Kutung warna hitam

Baju tanpa lengan yang berwarna hitam dan berbahan bludru dengan motif bintang segi delapan.

e. Kilat Bahu

Aksesoris terbuat dari kulit yang dikenakan pada tangan bagian atas.

f. Ikat Pinggang/Beubeur

Ikat pinggang berbahan dasar bludru berwarna hitam. g. Gelang Tangan

Aksesoris tangan yang terbuat dari bahan bludru yang dipayet. h. Kewer/Ampleh

Kain kecil dan pendek yang merupakan hiasan yang dikenakan menggantung pada kain sabuk.

i. Tali Uncal

Aksesoris yang terbuat dari kulit yang mirip tanduk kijang atau dalam bahasa Sunda disebut uncal.


(52)

j. Sampur

Selendang yang dipergunakan sebagai bagian busana, atau bahkan properti tari.

k. Sinjang dodot

Kain batik berbentuk lereng yang sudah dilipat atau dilamban. l. Celana Sontog warna hitam

Celana tiga perempat yang terbuat dari bahan bludru. Untuk tari Gatotkaca gaya Sumedang memakai celana sontog berwarna hitam dengan Payet berwarna emas.

m. Keris

Keris pada tari Gatotkaca gaya Sumedang dipergunakan sebagai bagian dari busana dan dipasang di belakang.

n. Melati

Hiasan pelengkap keris yang dipasang melingkar dipangkal keris. o. Gelang kaki

Aksesoris yang dikenakan pada pergelangan kaki yang berbentuk bulat serta berwarna emas.

Busana tari Gatotkaca gaya Sumedang lebih terlihat sederhana, hal ini terlihat pada motif baju dengan motif payet hanya menggunakan satu warna yaitu emas dengan warna busana hitam. Hitam adalah warna tegas, solid, dan kuat (http://mangkoko.com/ruang_baca/psikologi-warna-biarkan-warna-berbicara), sesuai dengan sosok dari Gatotkaca itu sendiri yang berjiwa tegas, bijaksana dan kuat.

Jika ditinjau berdasarkan karakteristik penciptanya yaitu Raden Ono Lesmana Kartadikusumah merupakan sosok orang yang sangat bersahaja dan sederhana meskipun Raden Ono Lesmana keturunan menak, tetapi pada kenyataannya Raden Ono Lesmana Kartadikusumah hidup dengan kesederhanaan (Wawancara Widawati, 16 Mei 2015). Oleh sebab itu, keseharian dari Raden Ono Lesmana Kartadisumah tercermin pada busana tari Gatotkaca gaya Sumedang yang lebih sederhana dengan motif payet hanya menggunakan satu warna, yaitu


(53)

warna emas.Warna emas secara sekilas akan serupa dengan warna kuning, sehingga maknanya pun ada yang sama, yaitu melambangkan kemakmuran. Namun warna emas juga memiliki kesan yang aktif, dan juga dinamis (http://ensiklo.com/2014/10/makna-psikologi-warna). Dalam hal ini warna emas menyimbolkan pengertian yang sama pada setiap gerak tari Gatotkaca gaya Sumedang, yaitu gerak yang aktif.

4. Iringan Tari Gatotkaca Gaya Sumedang MACAN UCUL

Laras : Salendro/Pelog

NG

Pangkat : 3 1 2 4 5 3 4

Embat : Sawilet

P N P N P PN P NG

|| . . . 5 | . . . 1 | . . . 5 | . . . 4 ||

Embat : Dua wilet

P N P N

|| . . . 3 | . . . 5 | . . . 3 | . . . 1 |

P PN P NG

|| . . . 3 | . . . 5 | . . . 3 | . . . 4 | Kakawen

Wayahipun tumaruna Tumariping awak mani Tur linuting watani


(54)

Pinancak suci kembar Kakalih samta marapi Adem ing siang

Tutug Raden Gatotkaca mapagkeun ajian waringin sungsang Bade ngalajengkeun tugas ti ingkang dewi sang su dewiwalaarimba Lajeng Raden Gatotkaca Nenjrang Bumi tilu kali.

Embat : Kering

P P P N P PN P NG || . . . 1 | . . . 4 ||

Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa iringan tari Gatotkaca gaya Sumedang memiliki tiga struktur, antara lain irama cepat, sedang, dan diakhiri dengan pola irama cepat. Menurut Upandi (1978: hlm.23) yang dimaksud dengan embat adalah sama dengan istilah tempo dalam musik yang menitikberatkan pada ukuran waktu atau kecepatan pukulan instrumen dalam lagu. Pada tari Gatotkaca gaya Sumedang terdapat beberapa embat, diantaranya embat sawilet, embat dua wilet, dan embat kering. Alat musik yang paling dominan di sini adalah tepakan kendang sangat dominan pada tari Gatotkaca gaya Sumedang, istilahnya adalah mungkus atau dibungkus, artinya hampir setiap gerakan diikuti dengan tabuhan kendang. Hanya sebagian kecil saja yang tidak diikuti tepakan kendang. Dalam iringan tari Gatotkaca gaya Sumedang hanya ada vokal sinden, dan kakawen. Dalam tari Gatotkaca gaya Sumedang tidak terdapat nyandra. Nyandra merupakan narasi awal yang dilakukan oleh dalang untuk memberi gambaran tokoh yang akan dimunculkan, baik mengenai namanya maupun kegiatannya. Kemunculan Gatotkaca diawali denganirama cepat dengan gerak trisi hiber. Kemudian dari gerak sembahan sampai dengan adeg-adeg jurus masih menggunakan pola irama sedang yang diikuti oleh vokal sinden. Kawihatau vokal


(55)

yang dilakukan oleh sinden. Memang pada umumnya tari-tari tradisional Sunda iringan tarinya disertai dengan adanya vokal, seperti tari Keurseus maupun tari Rakyat, demikian pula dalam tari Wayang, termasuk tari Gatotkaca. Adanya vokal dalam tari Gatotkaca gaya Sumedang tidak mutlak harus ada, namun adanya vokal ternyata memberi pengaruh terhadap memperkuat suasana yang disajikan. Selain adanya kawih, dalam tari Gatotkaca gaya Sumedang terdapat kakawen yang dilantunkan ketika akan memperlihatkan ajian untuk dapat terbang. Kakawen ini dilantunkan menjelang akhir tarian.Keunikan pada kakawen serta gerak pada tari Gatotkaca gaya Sumedang terdapat kakawen serta gerak nenjrag bumi tilu kali atau menghentakan kaki ke permukaan bumi tiga kali.

B. Fungsi Tari Gatotkaca Gaya Sumedang

Fungsi tari Gatotkaca gaya Sumedang dari dulu hingga sekarang tidak mengalami pergeseran fungsi, hal ini diperkuat oleh pernyataan cucunya Raden Ono Lesmana Kartadikusumah yaitu Raden Widawati Noer Lesmana bahwa tari Gatotkaca gaya Sumedang memiliki fungsi sebagai seni pertunjukan hanya saja yang membedakannya berupa petilan atau tambahan cerita. (wawancara Widawati, 16 Mei 2015).

Seperti halnya pernyataan Soedarsono (2002:hlm.121-123) mengelompokan rumusan berbagai fungsi seni tersebut ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok fungsi primer dan kelompok fungsi sekunder. Fungsi primer

dibagi ke dalam tiga kategori berdasarkan ‘siapa’ yang menjadi penikmat seni

pertunjukan itu. Apabila penikmatnya adalah kekuatan yang tak kasat mata seperti halnya Dewa atau Roh, maka seni pertunjukan berfungsi sebagai ritual. Apabila penikmatnya adalah pelakunya sendiri seperti seorang penari pada pertunjukan tayub, ketuk tilu, topeng banjet, deger kontrak, bajidoran, dan disko, maka seni pertunjukan itu berfungsi sebagai sarana hiburan pribadi. Jika penikmat seni pertunjukannya itu penonton yang kebanyakan harus membayar,seni pertunjukan itu berfungsi sebagai presentasi estetis.

Jadi dapat dikatakan bahwa, tari Gatotkaca gaya Sumedang termasuk kedalam fungsi primer yang berdasarkan siapa penikmatnya, di mana penikmat


(56)

adalah pelakunya sendiri karena kecintaan Raden Ono Lesmana Kartadikusumah terhadap tarian dan tidak mengalami perubahan fungsi sampai kepada cucunya yaitu Raden Widawati Noer Lesmana (Wawancara Widawati, 16 Mei 2015). C. Simbol Dan Makna Tari Gatotkaca Gaya Sumedang

Simbol dalam karya tari adalah makna-makna yang terkandung dalam suatu tarian. Simbol dalam karya tari terdapat dalam gerak, busana, tata rias, dan perlengkapan tari yang lain. Tari merupakan ekspresi jiwa, oleh karena itu didalam tari mengandung maksud-maksud tertentu. Dari maksud yang jelas dan dapat dirasakan oleh manusia. Maksud atau simbol gerak yang dapat dimengerti atau abstrak yang sukar untuk dapat dimengerti tetapi masih tetap dapat dirasakan keindahannya.

Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa, tari Gatotkaca gaya Sumedang memiliki latar cerita yang menggambarkan kegagahan Gatotkaca yang sedang mengelilingi wilayah negerinya untuk menjaga wilayah Amarta. Adegan yang tergambarkan diawali dengan gerakan Sembahan Awal (Calik Jengkeng) yang merupakan awal mulainya Gatotkaca menjaga atau mengawasi keamanan wilayah Amarta. Gerakan selanjutnya merupakan gerakan persiapan Gatotkaca untuk menjaga wilayah Amarta, yaitu Ngaca, Laras konda, (Sembada, ungkleuk, obah bahu, cindek),Jangkung ilo (Sonteng), Jangkung ilo, tumpang tali, Laras konda, Adeg-adeg sabukan, Adeg-adeg Makutaan, Laras konda, dan Gedig anca. Dan di akhiri dengan gerakan Gatotkaca kembali ke Amarta untuk melaporkan keadaan wilayah Amarta yang diungkapkan dengan gerakGedut, Mincid siku, Ungkleuk, Pakbang, Adeg-adeg jurus, dan Nenjrag bumi.

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa, tari Gatotkaca gaya Sumedang menggambarkan Gatotkaca yang sedang memeriksa dan menjaga Negara Amarta. Di mana dengan ketangkasan, kekuatan dan kelincahannya Gatotkaca ketika sedang mengelilingi wilayah negerinya untuk menjaga wilayah Amarta. Selain itu, Gatotkaca terkenal dengan kesaktiannya yaitu waringin sungsang yang merupakan kesaktiannya untuk bisa terbang. Kesaktian ini terdapat pada pada gerak Baton Signal yaitu Nenjrag Bumi. Nenjrag Bumi dalam bahasa Indonesia memiliki arti menghentakkan kaki dipermukaan tanah. Menghentakkan kaki ke


(1)

Agus Sudirman, 20135

BENTUK , FUNGSI, SIMBOL DAN MAKNA TARI GATOTKACA GAYA SUMEDANG DAN GAYA GARUT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

umum hal ini membuat tari gaya Yogyakarta tampak lebih maskulin daripada gaya Surakarta. Sebagai tambahan, tata busana Wayang Wong gaya Yogyakarta lebih sederhana dari tata busana Wayang Wong gaya Mangkunegara di Surakarta.

Selain pernyataan Soedarsono, Narawati (2003:hlm.239) menjelaskan pula bahwa, busana Wayang Wong Jawa Tengah lebih berkesan klasik bagi gaya Yogyakarta, dan klasik-romantik bagi gaya Mangkunegara-Surakarta.

Berdasarkan hasil analisis tari Gatotkaca gaya sumedang, dan berdasarkan pendapat Soedarsono dan Narawati di atas dapat dikatakan bahwa, tari Gatotkaca gaya Sumedang termasuk ke dalam gaya klasik.


(2)

Agus Sudirman, 20135

BENTUK , FUNGSI, SIMBOL DAN MAKNA TARI GATOTKACA GAYA SUMEDANG DAN GAYA GARUT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa tari Gatotkaca gaya Sumedangdiciptakan oleh Raden Ono Lesmana Kartadikusumah pada tahun 1942 yang menggambarkan kegagahan Gatotkaca yang sedang mengelilingi wilayah negerinya untuk menjaga wilayah Amartadan tari Gatotkaca yang dipelajari di STSI Bandung (sekarang ISBI), khususnya bersumber dari daerah Garut yang diajarkan oleh seorang tokoh tari Wayang bernama Amar kepada muridnya yaitu Iyus Rusliana, yang kini menjabat sebagai ketua prodi seni Pascasarjana Institut Seni Budaya Indonesia Bandung. Tarian ini lahir pada tahun 1931 yang dipertunjukan dalam acara

kaulan.Tari Gatotkaca ini menggambarkan ketika Gatotkaca “ngalanglang nagara

Amarta” atau tengah memeriksa keamanan negara Amarta. Jenis tarian ini

berkarakter monggawa lungguh yang berbentuk tunggal.Hasil penelitian menunjukan bahwa tari Gatotkaca gaya Sumedang lebih terkesan bergaya klasik dan tari Gatotkaca gaya Garut mendekati gaya klasik-romantik. Hal ini terlihat pada bentuk tari Gatotkaca gaya Sumedang lebih sederhana, baik dari segi struktur gerak, rias serta busana yang digunakan.Dalam gerak tari Gatotkaca gaya Sumedang banyak menggunakan garis-garis lurus serta bergerak secara langsung tidak menggunakan banyak variasi gerak. Untuk tari Gatotkaca gaya Garut memiliki tingkat kerumitan tersendiri, baik dalam gerak, rias serta busana yang digunakan. Dalam gerak tari Gatotkaca gaya Garut banyak menggunakan gerak yang asimetris serta garis-garis lengkung. Selain itu, perbedaan yang terlihat dalam kedua tarian ini terletak dari latar belakang penciptanya yang menghasilkan gaya pada kedua tarian tersebut. Hal ini terlihat jelas pada riasan wajah tari Gatotkaca gaya Sumedang yang terkesan rapih dan tidak banyak menggunakan berbagai macam warna serta tidak terlalu tebal, karena latar belakang penciptanya berasal dari golongan menak di mana dalam


(3)

Agus Sudirman, 20135

BENTUK , FUNGSI, SIMBOL DAN MAKNA TARI GATOTKACA GAYA SUMEDANG DAN GAYA GARUT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

menjalankan keseharian dan kehidupan seorang menak memiliki tata cara dan tata krama tersendiri yang berbeda dengan kalangan lainnya. Sedangkan tari Gatotkaca gaya Garut memiliki ketegasan pada rias wajahnya yang tebal serta mengunakan berbagai macam warna, karena latar belakang dari penciptanya berasal dari golongan rakyat biasa, di mana dalam menjalankan kehidupannya tidak mempunyai tata cara dan tata krama yang mengikat sehingga memberikan keleluasaaan dalam berekspresi dan berkarya.

Fungsi dari tari Gatotkaca gaya Sumedang sebagai sarana hiburan pribadi dari dulu sampai sekarang dan fungsi tari Gatotkaca gaya Garut mengalami perubahan fungsi yang asalnya hiburan pribadi menjadi kepentingan pendidikan dan nilai estetis setelah dibawa oleh Iyus Rusliana sebagai bahan ajar tari Wayang di Institut Seni Budaya Indonesia Bandung.

Simbol gerak nenjrag bumi pada tari Gatotkaca gaya Sumedang memiliki arti kekuatan yang siap menjaga Negara Amarta dari terjangan musuh. Simbol gerak

ngawatek ajian pada tari Gatotkaca gaya Garut memiliki arti yang sama yaitu

kekuatan, ketangkasan, waspada Gatotkaca ketika menjaga Negara Amarta.Jika ditinjau berdasarkan karakter masyarakat Sunda, seperti pribahasa dalam bahasa Sunda yaitu kudu leuleus jeujeur liat tali, yaitu hidup itu harus kuat, menanggung beban sebarat apapun jangan menyerah, oleh sebab itu masyarakat Sunda menjadikan tokoh Gatotkaca sebagai sosok ideal masyarakat Sunda yang bersifat jujur dan pemberani serta gesit dalam bekerja layaknya Gatotkaca.

B. Rekomendasi

Berdasarkan hasil dari penelitian, peneliti mengajukan rekomendasi sebagai berikut .

Rekomendasi untuk jurusan Pendidikan Seni Tari UPI, dengan adanya laporan peneliti ini, mahasiswa berharap dalam mata kuliah tari Wayang sebagai


(4)

Agus Sudirman, 20135

BENTUK , FUNGSI, SIMBOL DAN MAKNA TARI GATOTKACA GAYA SUMEDANG DAN GAYA GARUT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

acuan mata kuliah khususnya tari Gatotkaca. Menurut hemat penulis tari Gatotkaca gaya Sumedang dan gaya Garut kompeten untuk dijadikan salah satu bahan ajar mata kuliah praktik tari di jurusan Seni Tari UPI. Karena tarian ini memiliki kandungan nilai kearifan budaya lokal.

Penelitian ini agar dilanjutkan oleh Mahasiswa Program Studi Pendidikan Seni Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Karena penelitian tari Wayang Gatotkaca gaya Sumedang dan gaya Garut yang telah dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan kajian Etnokoreologi, fungsi, serta simbol dan makna belum terungkap secara mendalam. Namun hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan khususnya bagi mahasiswa Program Studi Pendidikan Seni Sekolah Pascasarjana, tingkat akhir yang sedang mengontrak mata kuliah tugas akhir atau tesis.


(5)

Agus Sudirman, 20135

BENTUK , FUNGSI, SIMBOL DAN MAKNA TARI GATOTKACA GAYA SUMEDANG DAN GAYA GARUT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

DAFTAR PUSTAKA

Holt, Claire. (1967). Art In Indonesia: Continuities And Change. Ithaca, New York. Ornell University Press.

Littlejohn, Stephen W, (2009) . Teori Komunikasi Theories of Human

Communication edisi 9. Jakarta. Salemba Humanika.

Kayam, Umar. (1982). Kreativitas Dalam Seni Dan Masyarakat Dalam

Proses Pembentukan Nilai Budaya Dalam Masyarakat. Dek.Dikbud.,

Jakarta

Kriyantono, Rachmat. (2007). Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana

Mudhofor, A. (2001). Kamus Istilah Filsafat dan Ilmu. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Murgiyanto, Sal. (1986). Pengetahuan Elementer Tari Dan Beberapa

Masalah Tari. Direktorat Kesenian Proyek Pengembangan Kesenian.

Jakarta.

____________. (1992). Koreografi. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Narawati, Tati. (2003). Wajah Tari Sunda Dari Masa Ke Masa. Bandung: P4ST UPI

___________. (2009). EtnokoreologiSebagai Sebuah Disiplin Kajian Tari. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia

Rusliana, Iyus. (2001). Khazanah Tari Wayang. Bandung: STSI PRESS ___________ . (1989).Sekelumit Tari Wayang Jawa Barat. Bandung: STSI

PRESS

___________ . (2009).Kompilasi Istilah Tari Sunda. Bandung: STSI PRESS ___________ . (2012). Tari Wayang. Bandung: STSI PRESS

Okke K. S. Zaimar. (1991). Menelusuri Ziarah. Jakarta: Intermasa

Rosala, Dedi. dkk. (1999). Bunga Rampai Tarian Khas Jawa Barat. Bandung:Humaniora Utama Press


(6)

Agus Sudirman, 20135

BENTUK , FUNGSI, SIMBOL DAN MAKNA TARI GATOTKACA GAYA SUMEDANG DAN GAYA GARUT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Soedarsono, R.M. (2002). Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

Sugiyono. (2012). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: ALFABETA Sumardjo, J. (2006). Estetika Paradoks. Bandung: Sunan Ambu Press

Sumiati, Lilis. (2014). Transformasi Tari Jayengrana Karya Raden Ono

Lesmana Kartadikusumah. Disertasi UNPAD Bandung: tidak

diterbitkan.

Suratman Risman. (2008). Pemahaman Tentang Karya Tari. SMKI Bandung Universitas Pendidikan Indonesia. (2013). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah.

Bandung: UPI Press

Upundi, Pandi. (1978). Pengetahuan Karawitan Tari Sunda. Bandung: Pengembangan Institut Karawitan Indonesia, ASTI

http://arifbudi.lecture.ub.ac.id/2014/03/semiotik-simbol-tanda-dan-konstruksi-makna/

(05-05-2015) www.Bimbingan.org/pengetahuan-kostum-dalam-seni.html

(05-05-2015)www.Internet-jendela-ilmu-blogspot.com/2011/03/tata-rias-dan busana.html

(04-06-2015) www.kaikanika.blogspot.com

http://ensiklo.com/2014/10/makna-psikologi-warna/

http://mangkoko.com/ruang_baca/psikologi-warna-biarkan-warna-berbicara http://www.studiotari.com/2012/10/pengetahuan-dasar-tata-rias.html