PERSANDIAN DALAM BAHASA PEDALANGAN GAYA SURAKARTA (KAJIAN BENTUK, FUNGSI, DAN MAKNA)

PERSANDIAN DALAM BAHASA PEDALANGAN GAYA SURAKARTA

(KAJIAN BENTUK, FUNGSI, DAN MAKNA)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Mencapai Gelar Sarjana Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa

Universitas Sebelas Maret

Disusun oleh

HERWENING RORO KUSUMANINGSIH

C0107007

FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2011

commit to user

commit to user

commit to user

PERNYATAAN

Nama : Herwening Roro Kusumaningsih NIM : C0107007

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Persandian dalam Bahasa Pedalangan Gaya Surakarta (Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna) adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal- hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut.

Karanganyar, Desember 2011 Yang membuat pernyataan,

Herwening Roro Kusumaningsih

commit to user

MOTTO

Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia

akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. (Q. S. Muhammad: 7)

Kebodohan merupakan tanda kematian jiwa, terbunuhnya kehidupan, dan membusuknya umur. (DR. 'Aidh al-Qarni)

Bahasa lebih penting bagi pikiran daripada cahaya bagi mata. (Annie Sullivan)

Berusaha, berdoa, dan bertawakal. (Penulis)

commit to user

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan kepada:

1. Ibu dan Bapak tercinta.

2. Kakak-kakakku dan Adikku tersayang.

3. Keluarga besar Majelis Tafsir Al-Qur‟an (MTA).

4. Keluarga besar Padepokan Seni Sarotama.

5. Almamaterku.

commit to user

KATA PENGANTAR

Syukur kehadirat Allah SWT, berkat limpahan rahmat, taufiq, hidayah, serta inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Persandian dalam Bahasa Pedalangan Gaya Surakarta (Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna) ”. Skripsi tersebut disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna melengkapi gelar sarjana sastra jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapat dorongan, bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Drs. Riyadi Santosa, M.Ed., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta beserta staf yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

2. Drs. Supardjo, M.Hum. selaku Ketua Jurusan Sastra Daerah yang telah memberikan kesempatan dan kemudahan bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

3. Dra. Dyah Padmaningsih, M.Hum selaku Sekretaris Jurusan Sastra Daerah yang senantiasa menasihati, mengarahkan serta memberi motivasi kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

4. Drs. Sri Supiyarno, M.A. selaku Pembimbing Akademik yang telah sabar

membimbing dan menasehati penulis dari awal hingga akhir kuliah.

5. Prof. Dr. Drs. H. Sumarlam, M.S. selaku dosen Pembimbing I yang selalu

memberikan semangat, kemudahan, dan bimbingan kepada penulis.

commit to user

6. Drs. Y. Suwanto, M.Hum. selaku dosen Pembimbing II yang telah banyak mamberikan bimbingan, nasihat dan arahan kepada penulis.

7. Bapak dan Ibu dosen Jurusan Sastra Daerah yang telah memberikan bekal ilmu dan pengalaman kepada penulis.

8. Seluruh staf Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa dan Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret yang telah menyediakan berbagai referensi.

9. Kepada para informan, Sumanto, S.Kar., M.S., Bambang Murtiyoso, S.Kar., M. Hum., Bambang Suwarno, S.Kar., M.Hum., dan Endang Supadma, S.Pd. terimakasih atas segala informasi yang diberikan kepada penulis.

10. Bapak dan Ibu tercinta, Mas Wawan, Mas Toro, Mas Anggo dan Dik Ndari tersayang, juga ketiga kakak iparku Mbak Dian, Mbak Dona, dan Mbak Dian Jakarta, terima kasih atas doa dan semangat yang luar biasa.

11. Keluarga besar Padepokan Seni Sarotama, Mas Rasino dan Mbak Sri, Mbak Vidi dan Mas Ali, terima kasih karena selalu mendukungku dengan untaian kata penuh semangat.

12. Teman seperjuangan, Laphie Cute, Nur, Zulfa, Fajar, Ifa, Kade, Astri, anak- anak Linguistik 2007, dan mahasiswa Sastra Daerah angkatan 2007.

13. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam proses pembuatan skripsi. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Mohon saran dan kritik yang membangun demi perbaikan penulisan di masa yang akan datang. Besar harapan penulis, karya sederhana ini bermanfaat bagi semua pembaca.

Karanganyar, Desember 2011

Penulis

commit to user

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Bentuk-Bentuk Persandian dalam Bahasa Jawa ................................

14

Tabel 2. Persandian dengan Kedudukan Kata Pertama Berakhir Bunyi [ O ] ....

39

Tabel 3. Persandian dengan Kedudukan Kata Pertama Berakhir Bunyi [ i ] .....

52

Tabel 4. Persandian dengan Kedudukan Kata Pertama Berakhir Bunyi [ u ] ....

53

Tabel 5. Bentuk Persandian dalam Bahasa Pedalangan Gaya Surakarta .........

76

Tabel 6. Persentase Bentuk Persandian ............................................................ 77 Tabel 7. Persentase Makna Persandian ............................................................

79

commit to user

DAFTAR SINGKATAN, TANDA, DAN LAMBANG

A. Daftar Singkatan

BUL : Bagi Unsur Langsung

G : Ginem HBSP

: Hubung Banding Sama Pokok J

: Janturan P

: Pocapan pen

: peneliti (menurut peneliti) PUP

: Pilah Unsur Penentu S

: Sulukan

B. Daftar Tanda

+ : artinya bergabung dengan - : menandai keterikatan morfem tertentu serta letaknya di dalam struktur

morfemis  : menandai proses perubahan …

: menandai bahwa terdapat tuturan sebelumnya atau sesudahnya „…‟

: menandai bahwa formatif yang ada di dalamnya makna atau glos sebuah satuan lingual “…”

: menandai bahwa formatif yang ada di dalamnya berupa konsep atau

menggambarkan kemungkinan lain dari sebuah distribusi

(…)

: menandai konstituen di dalamnya bersifat opsional

[…] : menandai bahwa formatif yang ada di dalamnya bentuk fonetis /…/

: menandai bahwa formatif yang ada di dalamnya bentuk fonemis

commit to user

C. Daftar Lambang

I : Janturan Wayang – Purwa. Ki Suryosaputro. 1983. Surakarta.

II : Diktat Sulukan Ringgit Purwa Cengkok Mangkunegaran. Ki Ng. Suyatno Ws. 1993. Surakarta. III

: Pakeliran Padat Lakon “Ciptaning” Naskah Susunan Bambang Suwarno . Sinarto. 1987. ASKI Surakarta.

IV : Naskah Pakeliran Ringkas “Adon-Adon Rajamala”. Penyusun: Anom Suroto & penyunting: Purbo Asmoro. 2004. STSI Surakarta.

V : Naskah Pekeliran Ringkas “Sinta Prasetya”. Endang Supadma. 2006. SMKN 8 Surakarta.

[ a ] : untuk a seperti pada arep [ar |p ] „akan‟ [ e ]

: untuk é seperti pada élok [ elO? ] „hebat‟ [ | ]

: untuk ê seperti pada emoh [ | mOh ] „enggan‟ [ E ]

: untuk è seperti pada èdi [ Ed]i ] „indah‟ [ i ]

: untuk i seperti pada iki [ iki ] „ini‟ [ I ]

: untuk i seperti pada wit [ wIt ] „pohon‟ [ o ]

: untuk o seperti pada loro [ loro ] „dua‟ [ O ]

: untuk a seperti pada lara [ lOrO ] „sakit‟ [ u ]

: untuk u seperti pada kuru [ kuru ] „kurus‟ [ U ]

: untuk u seperti pada mung [ mUG ] „hanya‟ [ ? ]

: untuk k seperti pada umuk [ umU? ] „sombong‟ [ G ]

: untuk ng seperti pada ngarep [ Gar| p ] „depan‟

commit to user

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Data .................................................................................................. 86 Lampiran Foto .................................................................................................. 91

commit to user

ABSTRAK

Herwening Roro Kusumaningsih. C0107007. 2011. Persandian dalam Bahasa Pedalangan Gaya Surakarta (Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna). Skripsi: Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini yaitu (1) bagaimanakah bentuk persandian dalam bahasa pedalangan gaya Surakarta? (2) Bagaimanakah fungsi persandian dalam bahasa pedalangan gaya Surakarta? (3) Bagaimanakah makna persandian dalam bahasa pedalangan gaya Surakarta?

Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan bentuk persandian dalam bahasa pedalangan gaya Surakarta. (2) Menjelaskan fungsi persandian dalam bahasa pedalangan gaya Surakarta. (3) Menjelaskan makna persandian dalam bahasa pedalangan gaya Surakarta.

Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Data berupa satuan lingual (kata) yang mengandung persandian dalam bahasa pedalangan gaya Surakarta. Sumber data berasal dari naskah lakon wayang, buku kumpulan janturan, dan buku kumpulan sulukan bergaya Surakarta. Populasi dalam penelitian ini adalah wacana tulis pakeliran gaya Surakarta berupa naskah lakon wayang dan buku- buku pewayangan gaya Surakarta. Sampel yang digunakan yaitu: (1) Janturan Wayang – Purwa, (2) Diktat Sulukan Ringgit Purwa Cengkok Mangkunegaran, (3) Pakeliran Padat Lakon “Ciptaning” Naskah Susunan Bambang Suwarno, (4) Naskah Pakeliran Ringkas “Adon-Adon Rajamala”, dan (5) Naskah Pakeliran Ringkas “Sinta Prasetya”. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak dan metode cakap. Metode simak dengan teknik dasar pustaka dan teknik lanjutan berupa teknik catat. Matode cakap dengan teknik dasar pancing dan teknik lanjutan berupa teknik CS, teknik rekam, dan teknik catat. Metode analisis data yang digunakan adalah metode distribusional (agih) dengan teknik dasar bagi unsur langsung (BUL) yaitu untuk menganalisis bentuk persandian, dan metode padan referensial dengan teknik dasar pilah unsur penentu (PUP) dengan daya pilah referensial untuk menganalisis fungsi persandian. Teknik lanjutan berupa teknik HBSP untuk analisis makna persandian. Penyajian hasil analisis menggunakan metode informal dan formal.

Simpulan dalam penelitian ini: (1) ada 10 macam bentuk persandian yang ditemukan dalam bahasa pedalangan gaya Surakarta: (a) [ O ]+[ a ]=[ a ], (b) [ O ]+ [ a ]=[ O ], (c) [ O ]+[ e ]=[ E ], (d) [ O ]+[ i ]=[ E ], (e) [ O ]+[ I ]=[ E ], (f) [ O ]+[ I ]= [e], (g) [ O ]+[ u ]=[ o ], (h) [ i ]+[ a ]=[ ya ], (i) [ u ]+[ a ]=[ wa ], dan (j) [ u ]+[ I ]=

[ wE ]. Bentuk yang paling banyak digunakan adalah bentuk [ O ] + [ I ] = [ E ]. (2)

Fungsi persandian dalam bahasa pedalangan gaya Surakarta adalah untuk: (a) memunculkan kesan estetis, (b) mengungkapkan ekspresi, (c) menyingkat bunyi, (d) variasi bentuk, dan (e) memperhalus bentukan kata. (3) Persandian dalam bahasa pedalangan gaya Surakarta dapat menyebabkan makna komponen-

commit to user

komponennya lebur atau tetap. Dalam penelitian ini lebih banyak ditemukan p ersandian dengan kedudukan “makna komponen tetap”.

SARI PATHI

Herwening Roro Kusumaningsih. C0107007. 2011. Persandian dalam Bahasa Pedalangan Gaya Surakarta (Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna). Skripsi: Jurusan Sastra Dhaerah Fakultas Sastra lan Seni Rupa Pawiyatan Luhur Sebelas Maret Surakarta Hadiningrat.

Prêkawis ingkang dipunrêmbag wontên panalitèn mênika (1) kados pundi wujud persandian wontên basa pêdhalangan gagrag Surakarta? (2) Kados pundi ginanipun persandian wontên basa pêdhalangan gagrag Surakarta? (3) Kados pundi têgêsipun persandian wontên basa pêdhalangan gagrag Surakarta?

Ancasing panalitèn punika (1) ngandharakên wujud persandian wontên basa pêdhalangan gagrag Surakarta. (2) Ngandharakên ginanipun persandian wontên basa pêdhalangan gagrag Surakarta. (3) Ngandharakên têgêsipun persandian wontên basa pêdhalangan gagrag Surakarta.

Jinising panalitèn inggih punika panalitèn deskriptif kualitatif. Dhata awujud satuan lingual (têmbung) ingkang ngêmu persandian wontên basa pêdhalangan gagrag Surakarta. Sumber dhata mênika saking naskah lakon wayang, buku kêmpalan janturan, saha buku kêmpalan sulukan gagrag Surakarta. Populasi wontên panalitèn mênika wacana tulis pakêliran gagrag Surakarta arupi naskah lakon wayang saha buku-buku pêwayangan gagrag Surakarta. Sampel ingkang dipun-ginakaken inggih mênika: (1) Janturan Wayang – Purwa, (2) Diktat Sulukan Ringgit Purwa Cengkok Mangkunêgaran, (3) Pakêliran Padhat Lakon “Ciptaning” Naskah Susunan Bambang Suwarno, (4) Naskah Pakêliran Ringkas “Adon-Adon Rajamala”, saha (5) Naskah Pakêliran Ringkas “Sinta Prasêtya”. Anggènipun ngêmpalakên dhata wontên panalitèn mênika migunakakên metode simak saha metode cakap. Metode simak kanthi teknik dasar pustaka saha teknik lanjutan- ipun teknik catat. Metode cakap kanthi teknik dasar pancing saha teknik lanjutan -ipun teknik CS, teknik rekam, saha teknik catat. Metode analisis dhata ingkang dipun-ginakakên inggih mênika metode distribusional (agih) kanthi teknik dasar bagi unsur langsung (BUL) kanggé nganalisis wujud persandian, saha metode padan referensial kanthi teknik dasar pilah unsur penentu (PUP) kanthi daya pilah referensial kanggé nganalisis ginanipun persandian. Teknik salajêngipun awujud teknik HBSP kanggé nganalisis têgêsipun persandian. Sêratan asil analisis mênika ngginakakên metode informal saha formal.

Dudutan panalitèn punika: (1) wontên 10 wujud persandian ing basa pêdhalangan gagrag Surakarta inggih mênika: (a) [ O ]+[ a ]=[ a ], (b) [ O ]+[ a ]= [ O ], (c) [ O ]+[ e ]=[ E ], (d) [ O ]+[ i ]=[ E ], (e) [ O ]+[ I ]=[ E ], (f) [ O ]+[ I ] = [e], (g) [ O ]+[ u ]=[ o ], (h) [ i ]+[ a ]=[ ya ], (i) [ u ]+[ a ]=[ wa ], dan (j) [ u ]+[ I ]=[ wE ]. Wujud ingkang paling kathah dipun-ginakakên inggih mênika wujud [ O ] + [ I ] = [ E ]. (2) Ginanipun persandian wontên basa pêdhalangan gagrag Surakarta

antawisipun kanggé: (a) nélakakên rasa éndah, (b) nélakakên ekspresi, (c) nyingkat uni, (d) variasi wujud, saha (e) ngalusakên wujudipun têmbung. (3)

commit to user

Persandian wontên basa pêdhalangan gagrag Surakarta sagêd damêl têgês komponen-komponen- ipun lebur utawi têtêp. Wontên panalitèn mênika langkung kathah persandian ingkang “têgês komponen-ipun têtêp”.

ABSTRACT

Herwening Roro Kusumaningsih. C0107007. 2011. Persandian dalam Bahasa Pedalangan Gaya Surakarta (Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna). Thesis: Javanese Literature Program, Fine Arts and Literature Faculty, Sebelas Maret University Surakarta.

Problems discussed in this study are (1) how is the form of encoding in puppetry of Surakarta style? (2) What is the function of encoding in puppetry of Surakarta style? (3) What is the meaning of encoding in puppetry of Surakarta style?

The purposes of this study are to (1) describe the form of encoding in puppetry of Surakarta style. (2) Explain the functions of encoding in puppetry of Surakarta style.(3) Explain the meaning of encoding in puppetry of Surakarta style.

This research is a qualitative descriptive. The data is in the form of lingua (words) which contains coding in puppetry of Surakarta style. Source data are taken from the original puppet plays, janturan book collections, and sulukan book collections, Surakarta-style. The population in this study is the discourse of the writing of a manuscript pakeliran Surakarta-style and puppetry of Surakarta style books.The samples are: (1) Janturan Wayang – Purwa, (2) Diktat Sulukan Ringgit Purwa Cengkok Mangkunegaran, (3) Pakeliran Padat Lakon “Ciptaning” Naskah Susunan Bambang Suwarno , (4) Naskah Pakeliran Ringkas “Adon-Adon Rajamala”, and (5) Naskah Pakeliran Ringkas “Sinta Prasetya”. In collecting data, it is used refer to method and capable method. Refer to method with the basic technique literary technique and the continuous technique is note technique. Capable method with the basic technique fishing technique and the continuous technique is CS technique, recording technique, and note technique . The data analysis method is distributional method (agih) with the basic techniques for the direct element (BUL) is to analyse the form of encoding and method of reference coincident with the basic technique PUP, with the aggregation to analyze function of encoding. The continuous technique is HBSP to analyze the meaning of encoding. The result of analysis is presented by using formal and informal methods.

Based on the results of data analysis and discussion, we can conclude that: (1) there are 10 types of encodings that are found in Surakarta style puppetry,

such as: (a) [ O ]+[ a ]=[ a ], (b) [ O ]+[ a ]=[ O ], (c) [ O ]+[ e ]=[ E ], (d) [ O ]+[ i ]= [ E ], (e) [ O ]+[ I ]=[ E ], (f) [ O ]+[ I ] = [e], (g) [ O ]+[ u ]=[ o ], (h) [ i ]+[ a ]=[ ya ], (i) [ u ]+[ a ]=[ wa ], and (j) [ u ]+[ I ]=[ wE ]. The most commonly used form is the form [ O ]+[ I ]=[ E ]. (2) The function of encoding in Surakarta style puppetry are to: (a)

impress the aesthetic, (b) reveal the expression, (c) compress the sound, (d) vary the form, and (e) enhance the formation of words. (3) Encoding in Surakarta style

commit to user

puppetry can cause the component-component meaning melting or fixed. In this study it is found more en coding which “component meaning fixed ".

Herwening Roro Kusumaningsih 1 Prof. Dr. Drs. H. Sumarlam, M.S. 2 Drs. Y. Suwanto, M.Hum. 3

ABSTRAK

2012. Skripsi: Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini yaitu (1) bagaimanakah bentuk persandian dalam bahasa pedalangan gaya Surakarta? (2) Bagaimanakah fungsi persandian dalam bahasa pedalangan gaya Surakarta? (3) Bagaimanakah makna persandian dalam bahasa pedalangan gaya Surakarta? Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan bentuk persandian dalam bahasa pedalangan gaya Surakarta. (2) Menjelaskan fungsi persandian dalam bahasa pedalangan gaya Surakarta. (3) Menjelaskan makna persandian dalam bahasa pedalangan gaya Surakarta. Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Data berupa satuan lingual (kata) yang mengandung persandian dalam bahasa pedalangan gaya Surakarta. Sumber data berasal dari naskah lakon wayang, buku kumpulan janturan, dan buku kumpulan sulukan bergaya Surakarta. Populasi dalam penelitian ini adalah wacana tulis pakeliran gaya Surakarta berupa naskah lakon wayang dan buku-buku pewayangan gaya Surakarta. Sampel yang digunakan yaitu: (1) Janturan Wayang – Purwa, (2) Diktat Sulukan Ringgit Purwa Cengkok Mangkunegaran, (3) Pakeliran Padat Lakon “Ciptaning” Naskah Susunan Bambang Suwarno, (4) Naskah Pakeliran Ringkas “Adon-Adon Rajamala”, dan (5) Naskah Pa keliran Ringkas “Sinta Prasetya”. Pengumpulan data dalam

1 Mahasiswa Jurusan Sastra Daerah dengan NIM C0107007 2 Dosen Pembimbing I 3 Dosen Pembimbing II

dan teknik lanjutan berupa teknik CS, teknik rekam, dan teknik catat. Metode analisis data yang digunakan adalah metode distribusional (agih) dengan teknik dasar bagi unsur langsung (BUL) yaitu untuk menganalisis bentuk persandian, dan metode padan referensial dengan teknik dasar pilah unsur penentu (PUP) dengan daya pilah referensial untuk menganalisis fungsi persandian. Teknik lanjutan berupa teknik HBSP untuk analisis makna persandian. Penyajian hasil analisis menggunakan metode informal dan formal. Simpulan dalam penelitian ini: (1) ada 10 macam bentuk persandian yang ditemukan dalam bahasa pedalangan gaya

Surakarta: (a) [ O ]+[ a ]=[ a ], (b) [ O ]+[ a ]=[ O ], (c) [ O ]+[ e ]=[ E ], (d) [ O ]+[ i ]=[ E ], (e) [ O ]+[ I ]=[ E ], (f) [ O ]+[ I ] = [e], (g) [ O ]+[ u ] = [ o ], (h) [ i ] +[ a ] = [ ya ], (i) [ u ] + [ a ]= [ wa ], dan (j) [ u ] + [ I ]= [ wE ]. Bentuk yang paling banyak digunakan adalah bentuk [ O ] + [ I ] = [ E ]. (2) Fungsi persandian dalam bahasa pedalangan gaya

Surakarta adalah untuk: (a) memunculkan kesan estetis, (b) mengungkapkan ekspresi, (c) menyingkat bunyi, (d) variasi bentuk, dan (e) memperhalus bentukan kata. (3) Persandian dalam bahasa pedalangan gaya Surakarta dapat menyebabkan makna komponen- komponennya lebur atau tetap. Dalam penelitian ini lebih banyak ditemukan p ersandian dengan kedudukan “makna komponen tetap ”.

commit to user

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bahasa merupakan salah satu medium dalam dunia seni pedalangan. Kehadirannya sering disebut dengan bahasa pedalangan (basa pedhalangan) atau catur . Sebagai media ungkap, bahasa pedalangan meliputi janturan, pocapan, ginem , ngudarasa, sulukan, dan kombangan. Karena bahasa termasuk satu dari beberapa medium penting seni pedalangan, maka seringkali bahasa atau catur menjadi satu tolok ukur kesuksesan sebuah pakeliran. Kesuksesan sebuah pakeliran dari sisi bahasa atau catur seringkali pula merambah pada kesuksesan seorang dalang. Faktanya ada beberapa dalang menjadi populer karena bahasa atau catur-nya, seperti Ki Nartosabdo dan Ki Anom Suroto, keduanya populer dengan sebutan “dhalang catur” .

Dalam seni pedalangan mengenal adanya istilah garap dan sanggit. Keduanya merupakan suatu proses yang dilakukan oleh seorang dalang untuk mewujudkan sebuah pakeliran yang berkualitas. Beranjak dari sini muncul pula istilah garap catur dan sanggit catur. Dalam sebuah pakeliran, garap catur maupun sanggit catur tidak lepas dari kesan literer, arkhais, estetis, ekspresif, serta imajinatif. Untuk menggambarkan kesan-kesan tersebut, seorang dalang atau penyusun naskah pakeliran seringkali bermain dengan unsur-unsur bahasa, salah satunya adalah unsur bunyi. Sehubungan dengan unsur bunyi, dalam bahasa Jawa mengenal adanya “persandian”.

commit to user

Ada dua fakta dengan perbedaan yang cukup signifikan terkait dengan pengertian persandian. Fakta pertama menyatakan bahwa persandian merupakan luluhan bunyi yang terjadi dalam rangkaian lingga dan afiks (awalan, sisipan, dan akhiran) atau rangkaian dua kata dengan dua vokal yang berturut-turut (P.J. Zoetmulder dan I.R. Poedjawijatna, 1992:3). Perlu dijelaskan terlebih dahulu untuk pemahaman lebih lanjut bahwa bentuk persandian yang terjadi pada rangkaian lingga dan afiks disebut dengan “sandi dalam” dan persandian yang terjadi pada rangkaian dua kata disebut dengan “sandi luar” (P.J. Zoetmulder dan I.R. Poedjawijatna, 1992:3). Fakta kedua menyatakan bahwa persandian merupakan hubungan dua kata yang mengakibatkan perubahan bunyi (Maryono, dkk. dalam Sumadi, 1984/1985:56).

Dalam hal ini peneliti lebih cenderung menggunakan pengertian yang kedua yaitu persandian merupakan hubungan dua kata yang mengakibatkan perubahan bunyi. Jika peneliti menggunakan dasar bahwa persandian juga merupakan rangkaian lingga dan afiks, maka pokok kajiannya menjadi rancu yaitu ke arah morfofonemik.

Contoh persandian dalam bahasa pedalangan adalah sebagai berikut. (1) Leng-leng gatiningkang,

„Mengasyikkan keberadaan,‟ hawan saba-saba,

„jalan pendopo-pendopo kraton,‟ nikeng Ngastino (pen: Ngastina),

„itu di Ngastina,‟

samantara tekeng, „sementara itu sampai di,‟ tegal Kuru Narar,

„tanah lapang Kuru,‟ ya Kresna lakunira,

„Prabu Kresna dalam berjalan,‟ Parasu Rama Kanwa Janaka O.

„Parasu Rama Kanwa Janaka, O.‟

Kutipan di atas merupakan bahasa pedalangan yang berbentuk sulukan. Ada dua kata yang mengandung persandian dalam sulukan tersebut di atas, yaitu

kata nikeng [ nikEG ] „itu di‟ dan tekeng [ t| kEG ] „sampai di‟. Kata nikeng [ nikEG ]

commit to user

„itu di‟ apabila diurai terdiri dari kata nika [ nikO ] „itu‟ dan ing [ IG ] „di‟. Ada

pertemuan dua bunyi vokal dalam proses penggabungan dua kata tersebut, yaitu

bunyi [ O ] pada akhir kata nika [ nikO ] „itu‟ dan bunyi [ I ] pada awal kata ing [ IG ]

„di‟. Dari pertemuan dua bunyi vokal tersebut terjadi proses peleburan atau

sintesis yang menyebabkan munculnya vokal baru berbunyi [ E ]. Demikian juga

pada bentukan kata tekeng [ t| kEG ] „sampai di‟, apabila diurai terdiri dari kata teka

[ t| kO ] „sampai‟ dan ing [ IG ] „di‟. Bunyi [ O ] pada akhir kata teka [ t| kO ] „sampai‟ bertemu dengan bunyi [ I ] pada awal kata ing [ IG ] „di‟ menyebabkan kedua bunyi

tersebut lebur dan muncul bunyi baru [ E ].

Jika diperhatikan dengan seksama, (a) terlihat kekonsistenan pola dari dua kata yang bergabung, yaitu bunyi akhir kata pertama [ O ] yang bergabung dengan bunyi awal kata kedua [I] menyebabkan kedua bunyi tersebut lebur dan muncul

bunyi baru yaitu bunyi [ E ]. Sehingga dapat dirumuskan bahwa bentuk persandian tersebut di atas adalah [ O ] + [I] = [ E ]. (b) Terjadi proses pengurangan jumlah suku kata dalam persandian tersebut. Kata nika [ nikO ] „itu‟dan ing [ IG ] „di‟ berjumlah

tiga suku kata, setelah disandikan menjadi nikeng [ nikEG ] „itu di‟ berjumlah dua suku kata. Demikian juga dengan bentukan kata tekeng [ t| kEG ] „sampai di‟.

Menurut Bambang Suwarno (wawancara, tanggal 11 Mei 2011), pengurangan jumlah suku kata ini dimaksudkan agar katanya lebih ringkas. (c) Makna yang muncul merupakan gabungan makna dari masing-masing kata, atau dengan kata lain persandian yang terjadi tidak menyebabkan makna komponen-komponenya lebur melainkan tetap.

commit to user

Penelitian yang pernah dilakukan atau pustaka yang terkait dengan masalah persandian antara lain:

1) Ngengrengan Kasusastran Djawa (1953:43) oleh S. Padmosoekotjo, bentuk buku. Dalam buku ini, istilah sandi (persandian) disebut juga dengan

“tembung garba”. Tembung garba atau sandi (persandian) ini banyak ditemukan dalam karya sastra yang berbentuk tembang, fungsinya adalah untuk memenuhi tuntutan guru wilangan.

2) Morfologi Bahasa Jawa (1978:196) oleh Soepomo Poedjosoedarmo, bentuk

buku. Dalam Bab IX Perubahan Bunyi, persandian disinggung dalam pembicaraan perubahan bunyi karena tuntutan guru wilangan sub “kontraksi” yaitu pengurangan jumlah suku kata dengan menggabungkan dua kata menjadi satu kata. Soepomo menjelaskan bahwa proses penggabungan tersebut selalu mengikuti hukum sandi.

3) Kawisastra (1982:5-6) oleh S. Wojowasito, bentuk buku. Dalam buku ini

dijelaskan bahwa istilah sandi muncul akibat pengaruh bahasa Sanskerta. Selain itu Wojowasito juga menjelaskan jenis sandi (sandi dalam dan sandi luar) dan beberapa hukum sandi.

4) Struktur Bahasa Jawa Kuna (1984:37-38) oleh L. Mardiwarsito dan Harimuti

Kridalaksana, bentuk buku. Buku ini membahas jenis (sandi dalam dan sandi luar), bentuk serta contoh-contoh persandian kaitannya dengan perubahan morfofonemik.

5) “Persandian dalam Bahasa Jawa Suatu Studi Perbandingan” (1989) oleh Sri

Hartati, bentuk skripsi. Skripsi ini membahas bentuk dan fungsi persandian

commit to user

yang terdapat dalam bahasa Jawa Kuno, bahasa Jawa Tengahan, dan bahasa Jawa Baru.

6) “Bentuk Persandian dalam Bahasa Jawa (Suatu Tinjauan Komparatif)” (1991)

oleh Sumadi, bentuk laporan penelitian. Penelitian ini mendeskripsikan bentuk persandian serta keberlakuannya dalam bahasa Jawa Kuno, bahasa Jawa Pertengahan, dan bahasa Jawa Modern. Dalam penelitian ini Sumadi juga menyinggung beberapa fungsi persandian dalam kerangka teorinya.

7) Bahasa Parwa I (1992:3-4) oleh P. J. Zoetmulder dan I. R. Poedjawijatna,

bentuk buku. Berisi pembahasan mengenai jenis (sandi dalam dan sandi luar) dan bentuk persandian dalam bahasa Jawa Kuno.

8) Bahasa Jawa Kuna: Sejarah, Struktur dan Leksikonnya (2007:36-38) oleh

Wakit Abdullah dan Sri Lestari, bentuk buku. Persandian disinggung dalam pembicaraan mengenai morfofonemik dalam bahasa Jawa Kuna. Dalam buku ini, penulis juga menjelaskan kaidah-kaidah yang dimiliki proses morfofonemik (persandian) dalam bahasa Jawa Kuno.

Berdasarkan pengamatan peneliti, belum banyak kajian tentang persandian yang dituangkan dalam bentuk tulisan ilmiah. Kebanyakan masih dalam tingkat wacana, seperti dalam buku-buku Tata Bahasa Jawa Kuno sebagaimana tersebut di atas. Karena sebatas pada bacaan dan uraian singkat, maka kajiannya pun masih terbatas pada jenis, bentuk serta contoh-contoh persandian. Dalam penelitian ini, selain mengkaji bentuk persandian, peneliti juga mengkaji fungsi, dan makna persandian. Kemudian objek yang dikaji juga bukan bahasa Jawa secara umum, namun bahasa Jawa yang khusus digunakan dalam seni pedalangan.

commit to user

Hal lain yang menarik peneliti untuk meneliti masalah ini yaitu: (1) kekhasan dari persandian sendiri, yaitu terjadinya perubahan bunyi ketika sebuah kata bergabung dengan kata lain. Selain menyebabkan perubahan bentuk, persandian juga dapat menyebabkan makna komponen-komponenya lebur atau tetap. (2) Gaya Surakarta menjadi batasan dalam penelitian ini karena gaya Surakarta merupakan gaya pakeliran yang paling populer. Di samping mempunyai pendukung yang paling banyak, gaya Surakarta juga banyak digunakan oleh dalang-dalang tenar seperti Nartosabdo, Anom Suroto, Manteb Sudarsono, Purbo Asmoro, dan Enthus.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil simpulan bahwa pembahasan secara khusus dan mendalam mengenai persandian dalam bahasa pedalangan gaya Surakarta belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, kiranya cukup beralasan apabila peneliti mengkaji bentuk, fungsi serta makna persandian yang terdapat dalam bahasa pedalangan gaya Surakarta. Selanjutnya, penelitian ini akan dituangkan dalam sebuah judul yaitu “Persandian dalam Bahasa Pedalangan Gaya Surakarta (Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna)”.

B. Pembatasan Masalah

Dalam sebuah penelitian, berbagai masalah sering muncul secara bersama dan saling mempengaruhi satu sama lain. Oleh karena itu, perlu adanya pembatasan masalah agar penelitian menjadi terarah dan fokus. Pembatasan masalah dalam penelitian ini ditujukan pada bentuk, fungsi, dan makna persandian dalam bahasa pedalangan gaya Surakarta.

commit to user

C. Rumusan Masalah

Mengacu pada pembatasan masalah di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. Bagaimanakah bentuk persandian dalam bahasa pedalangan gaya Surakarta?

2. Bagaimanakah fungsi persandian dalam bahasa pedalangan gaya Surakarta?

3. Bagaimanakah makna persandian dalam bahasa pedalangan gaya Surakarta?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan bentuk persandian dalam bahasa pedalangan gaya Surakarta.

2. Menjelaskan fungsi persandian dalam bahasa pedalangan gaya Surakarta.

3. Menjelaskan makna persandian dalam bahasa pedalangan gaya Surakarta.

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat menambah teori linguistik

Jawa, khususnya masalah persandian.

2. Manfaat Praktis

a. Menambah referensi dalam penelitian bidang fonologi atau morfologi.

b. Menambah referensi penelitian tentang persandian.

c. Dapat digunakan sebagai salah satu acuan bagi peneliti selanjutnya yang relevan dengan penelitian ini.

d. Memberikan informasi tentang bahasa pedalangan gaya Surakarta.

commit to user

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan penelitian ini terdiri dari lima bab, antara lain sebagai berikut. BAB I

Pendahuluan Berisi latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penelitian.

BAB II Kajian Pustaka dan Kerangka Pikir Kajian pustaka meliputi pengertian persandian, persandian dan morfofonemik, bentuk persandian, fungsi persandian, makna persandian, ciri-ciri persandian, bahasa pedalangan gaya Surakarta, dan kerangka pikir.

BAB III Metode Penelitian Berisi jenis penelitian, data dan sumber data, alat penelitian, populasi dan sampel, metode dan teknik pengumpulan data, metode dan teknik analisis data, dan metode penyajian hasil analisis.

BAB IV Analisis Data dan Pembahasan Berisi analisis data dan pembahasan mengenai bentuk, fungsi, dan makna persandian dalam bahasa pedalangan gaya Surakarta.

BAB V Penutup Berisi simpulan dan saran dari hasil analisis data dan pembahasan yang telah dilakukan.

commit to user

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Kajian Pustaka

Dalam kajian pustaka ini akan dijelaskan mengenai dasar-dasar teori ilmiah, konsep-konsep, serta temuan penelitian terdahulu yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini. Kajian pustaka ini antara lain meliputi: (1) persandian, (2) persandian dan morfofonemik, (3) bentuk persandian, (4) fungsi persandian, (5) makna persandian, (6) ciri-ciri persandian, (7) bahasa pedalangan gaya Surakarta.

1. Persandian

Beberapa pengertian tentang persandian menurut para pakar adalah sebagai berikut.

a) Sandi adalah hasil luluhan dua vokal (L. Mardiwarsito dan Harimurti

Kridalaksana, 1984:37).

b) Persandian merupakan luluhan bunyi yang terjadi dalam rangkaian lingga dan

afiks (awalan, sisipan, dan akhiran) atau rangkaian dua kata dengan dua vokal yang berturut-turut (P. J. Zoetmulder dan I. R. Poedjawijatna, 1992:3).

c) Persandian adalah proses peluluhan dua bunyi vokal yang cenderung

menghasilkan satu bunyi vokal; dapat terjadi pada gabungan kata dengan kata atau kata dengan afiks (Sumadi, 1990/1991:8).

d) Dalam tata bahasa Kawi yang sangat terpengaruh oleh bahasa Sanskerta,

sandhi berarti menghubungkan dua buah perkataan atau lebih menjadi satu, yang dihubungkan terutama vokal-vokal perkataan (Wojowasito, 1982:5).

commit to user

e) Persandian yaitu hubungan dua kata yang mengakibatkan perubahan bunyi

(Maryono, dkk. dalam Sumadi, 1990/1991:8).

f) Sandi disebut juga dengan tembung garba, dalam Ngengrengan Kasusastran

Djawa oleh S. Padmosoekotjo (1953:43), tembung garba berarti “tembung rerangken, tembung sesambungan, tembung kang kadadean saka gandhenge tembung loro utawa luwih ” (rangkaian kata, kata sambungan, kata yang terbentuk dari bergabungnya dua kata atau lebih).

Berdasarkan uraian di atas, ada dua pengertian tentang persandian. Pertama, persandian merupakan proses peluluhan dua bunyi vokal yang terjadi pada gabungan kata dengan kata atau kata dengan afiks. Kedua, persandian merupakan proses peluluhan dua bunyi vokal yang terjadi pada gabungan kata dengan kata. Secara lingkup proses, pengertian pertama lebih luas daripada pengertian kedua. Pada pengertian pertama, persandian dapat terjadi dalam proses penggabungan kata dengan kata atau kata dengan afiks. Pada pengertian kedua, persandian hanya terjadi dalam proses penggabungan kata dengan kata. Dalam penelitian ini, sebagaimana tersebut pada latar belakang, peneliti akan menggunakan pengertian yang kedua sebagai konsep dasar untuk analisis lebih lanjut.

Dalam penelitian ini, yaitu terkait dengan proses persandian, peneliti tidak menggunakan istilah peluluhan bunyi sebagai akibat pertemuan dua bunyi vokal. Hal ini dikarenakan proses peluluhan bunyi lebih mengarah pada perubahan fonem dalam proses morfofonemik, sebagai contoh peluluhan bunyi konsonan pada: N- + pacul „cangkul‟  macul „mencangkul‟, N- + cokot „gigit‟  nyokot „menggigit‟, dan N- + kukur „garuk‟  ngukur „menggaruk‟. Bentuk nasal (N-)

commit to user

yang diikuti dengan fonem /p/ pada pacul „cangkul‟, fonem /c/ pada cokot „gigit‟, dan fonem /k/ pada kukur „garuk‟ luluh menjadi satu dengan N- beralomorf /m-/, /ny-/, dan /ng-/.

Dalam hal ini peneliti lebih cenderung menggunakan istilah peleburan bunyi atau sintesis sebagai akibat pertemuan dua bunyi vokal. Sebagaimana menurut Jos Daniel Parera (2007:45), proses morfofonemik sandi (persandian) merupakan proses peleburan atau sintesis dua fonem vokal atau lebih menjadi satu fonem vokal.

Proses dasar dalam persandian adalah proses bergabungnya sebuah kata dengan kata lain. Proses tersebut masih harus memenuhi syarat, yaitu kata pertama harus diakhiri dengan bunyi vokal dan kata kedua harus diawali dengan bunyi vokal pula. Dengan demikian akan terjadi pertemuan dua bunyi vokal dari dua kata yang bergabung. Pertemuan ini menyebabkan terjadinya proses peleburan atau sintesis yang semula terdiri dari dua bunyi vokal cenderung berubah menjadi satu bunyi vokal.

Contoh : leneng [ lenEG ] „mati di‟ Kata leneng [ lenEG ] „mati di‟ merupakan gabungan dari kata lena [ lenO ] „mati‟

sebagai kata pertama dan ing [ IG ] „di‟ sebagai kata kedua. Bunyi [ O ] pada akhir kata lena [ lenO ] „mati‟ bertemu dengan bunyi [ I ] pada awal kata ing [ IG ] „di‟. Terjadi proses peleburan atau sintesis ketika bunyi [ O ] dan [ I ] bertemu, hal ini

menyebabkan muncul satu bunyi vokal baru yaitu bunyi [ E ].

Istilah “cenderung” digunakan karena hasil peleburan atau sintesis dalam persandian tidak selalu berbentuk satu bunyi vokal, tetapi juga dapat berbentuk

commit to user

semivokal yang umumnya diikuti dengan vokal tetap di belakangnya, seperti [wV] dan [yV]. Dalam Ngengrengan Kasusastran Djawa oleh S. Padmosoekotjo (1953:45), hasil persandian yang menyebabkan munculnya bunyi [w] disebut

dengan “garba sutrawan” dan hasil persandian yang menyebabkan munculnya bunyi [y] disebut dengan “garba sutraye”.

Contoh: - tumujweng [ tumujwEG ] „menuju di‟

- samyantuk [ samy antU? ] „saling mendapat‟

Kata tumujweng [ tumujwEG ] „menuju di‟ diturunkan dari kata tumuju [ tumuju ]

„menuju‟ dan ing [ IG ] „di‟. Setelah digabung dan mengalami proses persandian

muncul bunyi [ wE ]. Begitu juga dengan kata samyantuk [ samy antU? ] „saling mendapat‟, yang mana merupakan gabungan dari kata sami [ sami ] „saling‟ dan antuk [ antU? ] „mendapat‟. Setelah digabung dan mengalami proses persandian

muncul bunyi [ ya ].

2. Persandian dan Morfofonemik

Penggabungan antara morfem satu dengan morfem lain dalam proses morfologis sering menimbulkan perubahan-perubahan bentuk fonem. Perubahan- perubahan fonem yang timbul sebagai akibat pertemuan morfem dengan morfem lain dipelajari dalam morfofonemik (Tarigan, 1985:27). Menurut Asfandi (1990:9), morfofonemik adalah perubahan-perubahan yang terjadi sebagai akibat pelekatan imbuhan tertentu terhadap bentuk dasar. Pelekatan imbuhan tertentu terhadap bentuk dasar ini menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan bentuk dasar menjadi bentuk baru. Perubahan bentuk ini mengakibatkan pula perubahan fungsi dan arti.

commit to user

Dari dua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa morfofonemik adalah perubahan-perubahan fonem yang timbul sebagai akibat pertemuan morfem bebas

(kata) dengan morfem terikat (afiks). Sebagai contoh yaitu kata ucap [ ucap ] „ucap‟ yang mendapat prefiks {ka-} [ka-]. Akan terjadi proses peluluhan bunyi ketika bentuk dasar ucap [ ucap ] „ucap‟ bergabung dengan prefiks {ka-} [ka-]. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh fonem yang ada di sekitarnya, yaitu bunyi

[a] pada prefiks {ka-} [ka-] yang bertemu dengan bunyi [u] pada kata ucap [ ucap ] „ucap‟ luluh menjadi bunyi [o]. Sehingga hasil dari gabungan dua bentuk tersebut menjadi kocap [ kocap ] „terucap‟.

Jika diperhatikan dari proses tersebut, prefiks di atas diakhiri dengan bunyi vokal dan bentuk dasarnya diawali dengan bunyi vokal pula. Adanya pertemuan dua bunyi vokal tersebut menyebabkan perubahan bentuk fonem. Dalam hal ini adalah perubahan bentuk yang semula dari dua bunyi vokal cenderung menjadi satu bunyi vokal. Konsep perubahan bentuk tersebut juga terdapat dalam proses persandian, yaitu kata pertama harus diakhiri dengan bunyi vokal dan kata kedua harus diawali dengan bunyi vokal pula. Pertemuan dua bunyi vokal ini menyebabkan terjadinya proses peleburan atau sintesis yang semula terdiri dari dua bunyi vokal cenderung berubah menjadi satu bunyi vokal.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa persandian termasuk dalam cakupan proses morfologis dan proses morfofonemik. (1) Termasuk proses morfologis karena dalam persandian terlihat adanya proses penggabungan dua kata atau lebih. (2) Termasuk dalam cakupan proses morfofonemik karena dalam persandian juga tejadi proses perubahan bunyi sebagaimana wujud perubahan fonem dalam proses morfofonemik.

commit to user

3. Bentuk Persandian

Persandian dalam bahasa Jawa mempunyai beberapa bentuk, berikut bentuk-bentuk persandian beserta contoh-contohnya.

Tabel 1. Bentuk-Bentuk Persandian dalam Bahasa Jawa

No. Bentuk Persandian

Contoh

1. [ O ]+[ a ]=[ a ]

[ s| dy O ] +[ arsO ] =[ s| dy arsO ] „niat‟

2. [ O ]+[ a ]=[ O ]

[ sesoty a ]+[ adi ]=[ s| soty Odi ] „intan yang indah ‟

3. [ O ]+[ e ]=[ E ]

[ dady O ]+[ ewUh ]=[ dady EwUh ] „menjadi tidak mudah ‟

4. [ O ]+[ E ]=[ E ]

[ warnO ]+[ Edi ]=[ warnEdi ] „warna indah‟

5. [ O ]+[ i ] =[ E ]

[ sadOy O ]+[ iku ]=[ sadOy Eku ] „semua itu‟

6. [ O ]+[ I ]=[ E ]

[ OnO ]+[ IG ]=[ anEG ] „ada di‟

7. [ O ]+[ I ]=[ e ]

[ nOrO ]+[ IndrO ]=[ narendrO ] „ratu‟

8. [ O ]+[ u ]=[ o ] [ sOrO ]+[ utOmO ]=[ sarotOmO ] „panah utama‟

9. [ i ]+[ a ]=[ ya ]

[ dupi ]+[ arsO ] = [dupy arsO ] „ketika akan‟

10. [ i ]+[ I ]=[ i ]

[ kawi ]+[ IndrO ]=[ kawindrO ] „ratu pujangga‟

11. [ u ]+[ a ]=[ wa ]

[ nuju ]+[ arIp ]=[ nujwarIp ] „mengantuk‟

12 [ u ]+[ I ]=[ wE ]

[ lumaku ]+[ IG ]=[ lumakwEG ] „berjalan di‟

Contoh-contoh persandian di atas diambil dari buku Ngengrengan Kasusastran Djawa oleh S. Padmosoekotjo (1953:44-45) dan Parama Sastra Bahasa Jawa oleh Aryo Bimo Setiyanto (2007: 93-94).

commit to user

4. Fungsi Persandian

Fungsi persandian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah fungsi berdasarkan penggunaan bahasa untuk suatu tujuan tertentu, bukan fungsi yang didasarkan atas hubungan sintagmatis (struktural) atau sebagaimana fungsi dalam satuan sintaksis. Hal ini disebabkan karena dalam proses persandian tidak mengubah fungsi baik secara gramatik maupun sintaktik dari bentuk semula.

Dalam pembicaraan mengenai penelitian yang pernah dilakukan atau pustaka yang terkait dengan masalah persandian, sebagaimana tersebut pada latar belakang masalah. Ada dua penelitian yang membahas tentang fungsi persandian, yaitu “Persandian dalam Bahasa Jawa Suatu Studi Perbandingan” (1989) oleh Sri Hartati, bentuk skripsi dan “Bentuk Persandian dalam Bahasa Jawa (Suatu Tinjauan Komparatif)” (1991) oleh Sumadi, bentuk laporan penelitian.

Menurut Sri Hartati (1989:42-48), fungsi persandian berdasarkan penggunaan bahasa untuk suatu tujuan tertentu, maksudnya adalah dalam penggunaan persandian, ada tujuan tertentu yang hendak dicapai oleh penggunanya atau pemakainya. Adapun macam fungsi persandian tersebut antara lain: (1) memperlancar dan mempercepat pengucapan, (2) memberi kesan keindahan, (3) Memenuhi aturan puisi (tembang) yaitu guru wilangan dan guru lagu , dan (4) menunjukkan kesatuan bentuk.

Dalam penelitian Sumadi (1990/1991:13-15), fungsi persandian tidak menjadi bagian dari analisis data. Fungsi pesandian hanya disinggung dalam kerangka teori sebagai acuan penulisan. Beberapa fungsi persandian tersebut antara lain: (1) memenuhi ketentuan guru wilangan atau chanda, (2) penyingkatan bunyi, (3) memperlancar bunyi, dan (4) memancarkan keindahan.

commit to user

Dari macam fungsi persandian menurut Sri Hartati dan Sumadi di atas, maka dapat disimpulkan beberapa fungsi persandian sebagai berikut.

a. Memperlancar dan Mempercepat Pengucapan

Proses morfofonemik berupa persandian umumnya ditujukan untuk mempercepat dan memperlancar pengucapan (Jos Daniel Parera dalam Sri Hartati, 1989:43). Sri Hartati (1989:43) dalam memberikan contoh fungsi ini lebih mengarah pada persandian dalam, yaitu bentuk persandian yang terjadi pada

rangkaian kata dan afiks. Seperti bentukan kata kelingan [ kEliGan ] „teringat‟ yang diturunkan dari bentuk dasar eling [ eliG ] „ingat‟ dan konfiks {ka-an}. Bentukan yang dihasilkan dari proses tersebut seharusnya *kaelingan [ kaeliGan ] „teringat‟,

namun ternyata bentuk tersebut tidak lancar dan sukar untuk diucapkan. Untuk memperlancar dan mempercepat pengucapan tersebut, maka bunyi [a] yang

bergabung dengan bunyi [e] lebur menjadi bunyi [ E ].

Contoh persandian yang diberikan oleh Sumadi (1990/1991:15) dalam fungsi ini yaitu bentukan kata amatemwaken [ amat| mwak| n ] „menemukan‟ dan

muktyaneng [ mUkty anEG ] „mulia di‟. Bentuk persandian [ wa ] pada amatemwaken [ amat| mwak| n ] „menemukan‟ merupakan hasil persandian bunyi vokal [u] dengan bunyi vocal [a]. Bentuk persandian [ya] pada muktyaneng [ mUkty anEG ]

„mulia di‟ merupakan hasil persandian bunyi vokal [i] yang bertemu dengan bunyi vokal [a]. Munculnya bentuk persandian [wa] dan [ya] dapat memperlancar pelafalan bunyi pada bentukan kata tersebut di atas.

commit to user

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa: (1) menurut Sri Hartati, fungsi ini banyak dijumpai pada bentukan-bentukan kata yang mengarah pada persandian dalam, yang umumnya berhubungan dengan proses morfofonemik. (2) Fungsi persandian untuk memperlancar dan mempercepat pengucapan oleh Sumadi lebih ditekankan pada bentuk persandian yang dihasilkan, yaitu berbentuk semivokal dan vokal seperti [wV] atau [yV]. Dalam hal ini peneliti lebih cenderung menggunakan pendapat Sumadi untuk acuan dalam menganalisis data.

Contoh: dupyarsa [ dupy arsO ] „ketika akan‟ Kata dupyarsa [ dupy arsO ] „ketika akan‟ merupakan gabungan dari kata dupi [ dupi ] „ketika‟ dan arsa [ arsO ] „akan‟. Setelah bergabung dan mengalami proses persandian, muncul bunyi [ya]. Munculnya bunyi [ya] pada dupyarsa [ dupy arsO ] „ketika akan‟ ini dirasakan lebih memperlancar dan mempercepat pelafalan atau

pengucapan daripada bentuk *dupiarsa [ dupiarsO ].

b. Memancarkan Kesan Keindahan

Persandian berfungsi untuk memancarkan kesan keindahan (Maryono dkk. dalam Sri Hartati, 1989:43). Sumadi (1990/1991:15) menjelaskan bahwa fungsi jenis ini banyak dimanfaatkan dalam ragam literer bahasa Jawa. Sebagaimana yang kita ketahui, bahasa pedalangan merupakan bahasa Jawa yang literer, maka banyak persandian yang digunakan dengan tujuan untuk memancarkan kesan keindahan. Sri Hartati (1989:79-80) menambahkan bahwa dari semua persandian yang ada, yang terbanyak memberi kesan keindahan adalah persandian dengan

commit to user

preposisi ing „di‟ atau dengan pronominal penunjuk iki „ini‟, iku „itu‟, ika „itu‟, dan ikang „itu‟.

Contoh: sireku [ sirEku ] „kamu itu‟ Kata sireku [ sirEku ] „kamu itu‟ diturunkan dari kata sira [ sirO ] „kamu‟ dan iku

[ iku ] „itu‟. Setelah bergabung dan mengalami proses persandian, muncul bunyi [ E ]

menjadi sireku [ sirEku ] „kamu itu‟. Jika bentukan tersebut disajikan tanpa menggunakan persandian, yaitu sira iku [ sirO iku ] „kamu itu‟, maka tidak ditemui kesan keindahan di dalamnya. Lain halnya dengan bentukan sireku [ sirEku ] „kamu itu‟, kata tersebut dirasa lebih memancarkan kesan keindahan.

c. Memenuhi Aturan Guru Wilangan

Dalam Ngengrengan Kasusastran Djawa (S. Padmosoekotjo, 1953:43), persandian banyak ditemukan dalam karya sastra yang berbentuk tembang, fungsinya adalah untuk memenuhi tuntutan guru wilangan. Yang dimaksud dengan guru wilangan adalah “cacahing wanda saben gatra” (jumlah suku kata pada tiap baris) (S. Padmosoekotjo, 1956:27). Apabila dalam satu baris mempunyai jumlah suku kata yang melebihi aturan, maka harus dilakukan pengurangan jumlah suku kata. Soepomo Poedjosoedarmo (1978:195-196) menjelaskan bahwa pengurangan jumlah suku kata dapat terjadi karena synkope atau kontraksi. Contoh yang terjadi karena proses synkope seperti: nagari – nagri „negara‟, nerak – nrak „menerjang‟, terang – trang „jelas‟, dan weruh – wruh „tahu‟. Adapun yang dimaksud dengan kontraksi yaitu pengurangan jumlah suku kata dengan menggabungkan dua kata menjadi satu kata. Penggabungan ini selalu mengikuti hukum sandi.

commit to user

Contoh: engetan prasetyamba „teringat setiaku‟ Contoh di atas merupakan cuplikan baris keempat dari bait tembang Pangkur Dhudha Kasmaran . Menurut aturan guru wilangan, dalam baris tersebut harus terdiri dari tujuh suku kata, dan baris di atas sudah memenuhi aturan tersebut, terbukti:

e- nget- a pra- se- tyam- ba

„ingatlah setiaku‟