Pengaruh Fisioterapi Dada Terhadap Saturasi Oksigen Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik Di Ruang Penyakit Dalam RSUD Buleleng.

SKRIPSI
PENGARUH FISIOTERAPI DADA TERHADAP SATURASI
OKSIGEN PADA PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF
KRONIK DI RUANG PENYAKIT DALAM
RSUD KABUPATEN BULELENG

OLEH:
LUH AYU SUARDIANI
NIM. 1302115004

KEMENTERIAN KEPENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015

PENGARUH FISIOTERAPI DADA TERHADAP SATURASI OKSIGEN
PADA PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF
KRONIK DI RUANG PENYAKIT DALAM
RSUD KABUPATEN BULELENG


Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan

OLEH:
LUH AYU SUARDIANI
NIM. 1302115004

KEMENTERIAN KEPENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
i

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama


: Luh Ayu Suardiani

NIM

: 1302115004

Fakultas

: Kedokteran

Program Studi

: Ilmu Keperawatan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini benarbenar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau
pikiran orang lain yang saya aku sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri. Apabila
dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa Tugas Akhir ini adalah hasil jiplakan,
maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.


Denpasar , Februari 2015
Yang membuat pernyataan,

(luh Ayu suardiani)

ii

ABSTRACT
Suardiani, Luh Ayu 2015. Effect of Chest Physiotherapy Against Oxygen
Saturation in Patients with Chronic Obstructive Pulmonary Disease In
Space Medicine Hospital Buleleng. Final, Nursing Science, Faculty of
Medicine, University of Udayana. Supervisor (1) nurses. Ni Ketut
Guruprapti, S.Kep, MNS. (2) nurses, I Komang Widarma Atmaja,
S.Kep.
Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is a disease state characterized
airflow limitation that is not fully irreversible. Some techniques intervention
COPD include pharmacological and non-pharmacological therapies. Chest
physiotherapy is one no pharmacological therapies used secrete mucus secretion
in patients with COPD. COPD patients often experience excessive mucus
production, damage to the walls of the alveoli and pulmonary elastic decline,

causing hypoxemia, which can lead to hypoxia. Patients that hypoxia can be
observed with a decrease in the number of cases of COPD oxygen. enhancement
saturation supported by rising risk factors, namely life expectancy, smoking and
air pollution. This study aims to determine the effect of chest physiotherapy on
oxygen saturation. Using a quasi-experimental research design. Samples of 20
persons, 10 treatment and 10 control persons. Measurements were performed
using pulse oximetry, pretest and posttest in the treatment group and the group
control. chest physiotherapy intervention there is an increased oxygen saturation
was not significant. The results of the study p> 0.005, so Ha rejected. Expected to
further after researchers to conduct studies with sample sizes that more and more
time,
Keywords: chest physiotherapy, oxygen saturation and pasien COPD.

ABSTRAK
Suardiani, Luh Ayu 2015. Pengaruh Fisioterapi Dada Terhadap Saturasi Oksigen
Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik Di Ruang Penyakit
Dalam RSUD Buleleng. Tugas Akhir, Program Studi Ilmu
Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana Denpasar.
Pembimbing (1) Ners. Ni Ketut Guruprapti, S.Kep, MNS . (2) Ners, I
Komang Widarma Atmaja, S.Kep.

Penyakit Paru Obstruktif Kronik(PPOK) adalah keadaan penyakit yang ditandai
keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya irreversibel. Tehnik
penataksanaan PPOK meliputi terapi farmakologis dan non farmakologis.
Fisioterapi dada merupakan salah satu terapi non farmakologis yang digunakan
untuk mengeluarkan sekresi mukus pada pasien PPOK. Pasien PPOK sering
mengalami produksi mukus berlebihan, kerusakan dinding alveoli dan penurunan
elastis paru, sehingga menyebabkan hipoksemia, yang dapat mengarah pada
hipoksia. Pasien yang hipoksia dapat diobservasi dengan adanya penurunan
saturasi oksigen .Peningkatan jumlah kasus PPOK didukung oleh kenaikan faktor
risiko yaitu umur harapan hidup, perilaku merokok dan polusi udara. Penelitian
ini bertujuan mengetahui pengaruh fisioterapi dada terhadap saturasi oksigen.
Rancangan penelitian menggunakan quasi eksperimen. Sampel berjumlah 20
orang, sepuluh orang perlakuan dan sepuluh orang kontrol. Pengukuran dilakukan
menggunakan oksimetri nadi, pretest dan postest pada kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol. Setelah intervensi fisioterapi dada terdapat peningkatan
saturasi oksigen secara tidak signifikan. Hasil penelitian p> 0,005, sehingga Ha
ditolak. Diharapkan kepada peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian
dengan jumlah sampel yang lebih banyak dan waktu yang lebih lama,
Kata kunci: fisioterapi dada, saturasi oksigen dan pasien PPOK.


KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
karunia-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul ’’Pengaruh
Fisioterapi Dada Terhadap Saturasi Oksigen pada pasien Penyakit Paru Obstruktif
Kronik Di Ruang Penyakit Dalam RSUD Buleleng”. Selama proses penyusunan
skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan berupa bimbingan, arahan, motivasi
dan dukungan moril maupun material dari berbagai pihak, maka dalam
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr.dr. Putu Astawa, Sp.OT (K), M.Kes, sebagai dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan
menuntut ilmu di PSIK Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar.
2. Prof. dr Ketut Tirtayasa, MS, AIF, sebagai ketua PSIK Fakultas Kedokteran
Udayana Denpasar yang memberikan pengarahan dalam proses pendidikan di
PSIK Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar.
3.

Ns. Ni Ketut Guruprapti, S. Kep, MNS sebagai pembimbing utama yang telah
memberikan bantuan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu.

4.


Ns. I Komang Widarma Atmaja, S.Kep sebagai pembimbing pendamping
telah memberikan bantuan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat
waktu.

5. Seluruh dosen yang terlibat dalam pengajaran riset keperawatan yang telah
memberikan ilmunya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyusun
skripsi ini.

iv

6. Suami, anak dan semua keluarga yang telah memberikan bantuan dan
dorongan demi terselesainya skripsi ini.
7. Rekan-rekan mahasiswa PSIK Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Denpasar yang juga telah memberikan motivasi demi terselesainya skripsi ini.
8. Pasien dan keluarga pasien yang membantu penelitian ini.
9. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu dalam membantu
penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan tugas akhir ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu penulis membuka diri untuk menerima saran dan kritik yang

membangun. Akhirnya, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang
membutuhkan.

Denpasar, Januari 2015

Penulis

v

DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ....................................................................................................
LEMBAR PERSETUJUAN....................................................................
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................
KATA PENGANTAR.............................................................................
DAFTAR ISI ...........................................................................................
DAFTAR TABEL ...................................................................................
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................
DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................


i
ii
iii
iv
vi
vii
viii
ix

BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...............................................................................
1.2 Rumusan Masalah .........................................................................
1.3 Tujuan Penelitian ...........................................................................
1.4 Manfaat Penelitian .........................................................................

1
6
6
7


BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep PPOK...............................................................................
2.2 Fisioterapi Dada.............................................................................
2.3 Saturasi Oksigen.............................................................................
2.4 Tehnik-Tehnik Pengukuran Saturasi Oksigen ...............................
2.5 Hipoksia..........................................................................................

8
14
18
20
23

BAB III. KERANGKA KONSEP
3.1 Kerangka Konsep ..........................................................................
3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ...............................
3.3 Hipotesa Penelitian.........................................................................

25
27

28

BAB IV. METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian ..............................................................................
4.2 Kerangka Kerja ..............................................................................
4.3 Tempat dan Waktu Penelitian .......................................................
4.4 Populasi, Teknik Sampling dan Sampel Penelitian .......................
4.5 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ................................................
4.6 Pengolahan dan Analisa Data ........................................................

30
31
32
32
35
38

BAB V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Penelitian ..............................................................................
5.2 Pembahasan Hasil Penelitian..........................................................
5.3 Keterbatasan Penelitian ........ .......................................................

41
46
50

vi

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan ..............................................................................
6.2 Saran .......................................................................................

vii

51
52

DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1 Jumlah Pasien PPOK di Ruang Penyakit Dalam RSUD
Buleleng Bulan Juli, Agustus, September.....................

3

Tabel 2 Definsi operasinal Variabel Pengaruh Fisioterapi Dada
Tarhadap Saturasi Oksigen.......................................
Tabel 3 Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Umur .....
Tabel 4 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin..........
Tabel 5 Saturasi Oksigen Pretest.................................................

28
42
42
43

Tabel 6 Saturasi Oksigen Postest................................................

43

Tabel7 Perbedaan saturasi oksigen pre-post test pada kelompok
kontrol .........................................................................

44

Tabel 8 Perbedaan Saturasi Oksigen Pre-Post Test Pada Kelompok
Perlakuan......................................................................
Tabel 9 Perbedaan perubahan nilai saturasi oksigen pada kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol .........................................

viii

44

45

DAFTAR GAMBAR
Halaman

Gambar 1 Kerangka Konsep Pengaruh Fisioterapi Dada
Terhadap Saturasi Oksigen........................

Gambar 2

26

Kerangka kerja Pengaruh Fisioterapi Dada
Terhadap Saturasi Oksigen ...........................

ix

32

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian.
Lampiran 2. Surat Permohonan Menjadi Responden
Lampiran 3. Lembar Persetujuan menjadi Responden
Lampiran 4. Lembar Observasi.
Lampiran 5. Prosedur Fisioterapi Dada
Lampiran 6. Prosedur Penggunaan Oksimetri Nadi
Lampiran 7. Anggaran Biaya Penelitian.
Lampiran 8. Hasil Analisis Uji Statistik Penelitian

x

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) akan mengalami peningkatan
beban kerja pernafasan,

yang menimbulkan sesak nafas, sehingga pasien

mengalami penurunan kualitas hidup. Kualitas hidup penderita PPOK merupakan
ukuran penting karena berhubungan dengan keadaan sesak. Sesak menyulitkan
penderita melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari atau terganggunya status
fungsionalnya seperti merawat diri, mobilitas, makan, berpakaian dan aktivitas
rumah tangga

(Khotimah, 2013). Keterbatasan aktivitas merupakan keluhan

utama penderita PPOK yang sangat mempengaruhi kualitas hidup. Disfungsi otot
merupakan hal yang berperan dalam keterbatasan aktivitas (Oemati, 2013).
Prevalensi PPOK di Asia Fasifik rata-rata 5,9%, yang terendah 3,5% di Hongkong
dan Singapura, dan tertinggi di Vietnam 6,7%. Estimasi prevalensi PPOK di
Indonesia pada laki-laki umur ≥ 30 tahun sebesar 1,6% dan perempuan 0,9%
(Patriani, Paramastri & Priyanto, 2010). Jumlah pasien PPOK derajat sedang dan
berat pada tahun 2006 di Asia mencapai 56,6 juta dengan prevalensi 6,3% . Di
Indonesia belum ada data yang akurat tentang prevalensi PPOK (Avridoss, 2014).
Di Rumah Sakit Persahabatan sebagai pusat rujukan paru, PPOK menduduki
peringkat kelima dari jumlah yang berobat jalan dan peringkat keempat dari
penderita yang dirawat inap (Abidin, Yunus, Wiyono & Ratnawati, 2009).
Kunjungan rawat jalan pasien PPOK di Rumah Sakit Persahabatan Jakarta,

1

2

meningkat dari 616

tahun 2000

menjadi 1.735 pada tahun 2007 (Susanto,

Prasenohadi & Yunus, 2010).

Organisasi Kesehatan Dunia

menyatakan bahwa PPOK adalah penyebab

kematian terbesar keempat pada tahun 2011, dengan tiga juta kematian di seluruh
dunia, yang mewakili 5,8% dari total mortality. Di Itali, jumlah kematian yang
terjadi untuk penyakit pernafasan pada tahun 2008 adalah 37.659 (6,5%) dari total
kematian, 20.786 (sekitar 50%) yang terkait dengan PPOK (Roggeri, Michellato
& Roggeri, 2014). Di Indonesia PPOK adalah salah satu dari 10 penyebab utama
kematian

(Patriani, Paramastri & Priyono, 2010). Menurut prediksi WHO,

diperkirakan pada tahun 2020, PPOK akan menjadi penyebab kematian urutan
ketiga di seluruh dunia (Oemati, 2013).

Peningkatan jumlah kasus PPOK di Indonesia didukung oleh kenaikan faktor
risiko yaitu umur harapan hidup, perilaku merokok dan polusi udara
(Patriani, Paramastri & Priyanto, 2010). Faktor risiko utama PPOK antara lain,
merokok, polutan indor, out door dan polutan di tempat kerja. Faktor risiko lain
PPOK yaitu, genetik, usia, konsumsi alkohol dan kurang aktivitas fisik. Rokok
merupakan penyebab PPOK terbanyak (95%) di negara berkembang. Perokok
aktif dapat mengalami hipersekresi mukus dan obstruksi jalan napas. Perokok
pasif juga menyumbang terhadap sympton saluran napas dan peningkatan
kerusakan paru akibat partikel dan menghisap gas-gas berbahaya (Oemati, 2013).

Data rekam medis RSUD Buleleng tahun 2014 dalam tiga bulan terakhir (Juli,
Agustus, September) dari ketiga ruang penyakit dalam dapat dilihat pada tabel 1.

3

Tabel 1. Jumlah Pasien PPOK Di Ruang Penyakit Dalam RSUD Buleleng, bulan Juli,
September 2014

Ruangan

Juli

Agustus

Agustus,

September

Pasien

PPOK

%

Pasien

PPOK

%

Pasien

PPOK

%

Anggrek

80

3

3,8

121

2

1,7

117

4

3,4

Cempaka

113

6

5,3

101

1

1,0

110

3

2,7

Jempiring

111

3

2,7

156

6

3,8

174

7

4,0

304

12

11,8

378

9

6,5

401

14

10,2

Jumlah

Berdasarkan tabel di atas, dapat disimpulkan pasien PPOK paling banyak
terdapat di ruang Jempiring dan paling banyak jumlahnya pada bulan
September. Hal ini disebabakan karena jumlah pasien di ruang Jempiring lebih
banyak daripada ruang Anggrek dan ruang Cempaka. Adanya penurunan jumlah
pasien bulan Agustus dibandingkan bulan Juli, dan adanya peningkatan jumlah
pasien bulan September dibandingan bulan Agustus. Di ruang Jempiring, adanya
peningkatan pasien PPOK, dari bulan Juli, Agustus dan September. Hari rawat
pasien PPOK cukup lama, lebih dari lima hari, sehingga jumlah pasien yang
dirawat tiap bulan kurang dari 6 %.

Menurut Pedoman Diagnosis dan Penatalaksaan PPOK di Indonesia, PPOK dapat
menyebabkan gagal nafas (gagal nafas kronik dan akut), infeksi berulang, dan kor
pulmonal. Pada gagal nafas kronik ditemukan hasil analisa gas darah PO2
60mmHg dan pH normal (Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, 2003). Pada penderita PPOK akan terjadi penurunan kapasitas dan
kualitas kerja, peningkatan biaya hidup dan ketidakmampuan fisik. Pada pasien

4

PPOK, ditemukan kelemahan otot pernafasan, disebabkan hipoksia, hiperkapnia,
inflamasi dan malnutirsi kronis (Ikalius, Yunus, Suradi & Rahma, 2007).

Salah satu indikator adanya hipoksemia adalah terjadinya penurunan saturasi
oksigen. Pengukuran saturasi oksigen dapat dilakukan dengan beberapa tehnik
yaitu dengan gas darah arteri dan oksimetri nadi. Penggunaan oksimetri nadi
merupakan tehnik yang efektif untuk memantau pasien terhadap perubahan
saturasi oksigen yang kecil atau mendadak (Brunner & Suddart, 2002).

Beberapa tehnik penatalaksanaan pasien PPOK, yang berkisar dari latihan olah
raga, konseling nutrisi, penyuluhan, terapi obat, penggunaan oksigen dan
pembedahan dapat efektif dalam terapi PPOK (Morton, Fontaine, Hudak & Gallo,
2012).

Penatalaksanaan PPOK secara umum meliputi, edukasi, obat-obatan,

terapi oksigen ventilasi mekanik, nutrisi dan rehabilitasi (Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia, 2003). Rehabilitasi paru pada penderita PPOK merupakan
pengobatan yang standar yang bertujuan untuk mengontrol, mengurangi gejala,
meningkatkan kapasitas fungsional secara optimal sehingga pasien dapat hidup
mandiri dan berguna bagi masyarakat (Khotimah, 2013). Pada pasien PPOK yang
telah mengalami rehabilitasi paru, gejala sesak nafasnya akan berkurang dan
pernafasannya menjadi efektif karena sputum dapat dimobilisasi (Ikalius, Yunus,
Suradi & Rahma, 2007).

Salah satu metode non farmakologis untuk mengeluarkan sekresi mukus pada
klien PPOK adalah fisioterapi dada. Fisioterapi dada merupakan kelompok terapi
yang digunakan dengan kombinasi untuk memobilisasi sekresi pulmonar.

5

Fisioterapi dada direkomendasikan untuk klien-klien yang memproduksi sputum
lebih dari 30cc per hari atau menunjukkan bukti atelektasis dengan sinar X dada.
Terapi ini terdiri dari drainase postural, perkusi dada dan vibrasi. Fisioterapi dada
harus diikuti dengan batuk produktif dan penghisapan pada klien yang mengalami
penurunan kemampuan untuk batuk (Potter & Perry, 2006). Pasien yang
mengalami retensi sekresi dan gangguan oksigenasi, seperti pneumonia dan PPOK
membutuhkan fisioterapi dada untuk mengencerkan dan membuang sekresi.
Waktu yang optimal untuk melakukan tehnik ini adalah sebelum klien makan dan
sebelum klien tidur. Respon yang diharapkani, pengumpulan sekresi dapat
dicegah, drainase traheobranbronkhial dapat ditingkatan dan ventilasi dapat
diperbaiki (Asih & Effendy, 2004). Pasien dengan sekret yang banyak dilakukan
perkusi dan drainase postural untuk membuang sekret yang menyumbat, yang
menjadi faktor predisposisi infeksi ( Price & Wilson, 2006)

Penatalaksanaan PPOK di RSUD Buleleng dengan memberikan oksigen,
nebulizer, memberikan obat injeksi dan obat oral. Bila pasien direncanakan
pulang, nebulizer dihentikan dan diberikan obat inhalasi. Berdasarkan survey
pendahuluan peneliti di RSUD Buleleng, menunjukkan tindakan fisioterapi dada
belum dilakukan. Hal ini disebabkan perawat kurang terpapar imformasi tentang
fisioterapi dada. Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui
pengaruh fisioterapi dada terhadap

saturasi oksigen pada pasien PPOK,

mengingat tanggung jawab perawat untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia
yaitu memenuhi kebutuhan oksigenasi.

6

1.2

Perumusan masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan
masalah penelitian ’’apakah ada pengaruh fisioterapi dada terhadap saturasi
oksigen pada pasien PPOK”

1.3

Tujuan penelitian

1.3.1 Tujuan umum
Mengetahui pengaruh fisioterapi dada terhadap saturasi oksigen pada pasien
PPOK di Ruang Penyakit Dalam RSUD Buleleng.

1.3.2 Tujuan khusus
a. Mengidentifikasi saturasi oksigen pre test

pada kelompok perlakuan dan

kelompok kontrol pasien PPOK di Ruang Penyakit Dalam RSUD Buleleng.
b. Mengidentifikasi saturasi oksigen

post test

kelompok perlakuan dan

kelompok kontrol pada pasien PPOK di Ruang Penyakit Dalam RSUD
Buleleng.
c. Menganalisis perbedaan saturasi oksigen pada masing-masing kelompok pada
pasien PPOK di Ruang Penyakit Dalam RSUD Buleleng.
d. Menganalisis perbedaan pengaruh fisioterapi dada antara kelompok perlakuan
dan kelompok kontrol pada pasien PPOK di Ruang Penyakit Dalam RSUD
Buleleng.

7

1.4

Manfaat penelitian

1.4.1 Secara Praktis
Meningkatkan kemampuan perawat dalam melakukan fisioterapi dada sehingga
mengurangi keluhan pasien mengakibatkan hari rawat inap pasien PPOK menjadi
lebih singkat dan kualitas hidup pasien meningkat.

1.4.2 Secara Teoritis
a. Tersusun protap tentang tindakan fisoterapi dada pada pasien PPOK.
b. Sebagai acuan bagi peneliti selanjutnya untuk lebih mengembangkan penelitian
tentang fisioterapi dada.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Konsep Penyakit Paru Obstuktif Kronik (PPOK)

2.1.1 Definisi
PPOK adalah klasifikasi luas dari gangguan yang mencakup bronkhitis kronis,
bronkiektasis, emfiesema, dan asma. PPOK merupakan kondisi irreversibel yang
berkaitan dengan diaspneu saat beraktivitas dan penurunan aliran udara masuk
dan keluar paru-paru (Bruner & Suddarth, 2002). PPOK adalah istilah umum yang
digunakan untuk menggambarkan kondisi obstruksi irreversibel progresif aliran
udara ekspirasi. Kelainan utama yang tampak pada individu dengan PPOK adalah
bronkhitis kronis, emfisema dan asma (Asih & Effendy, 2004).

PPOK merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit
paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap
aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Bronkhitis kronik,
emfesema paru dan asma bronkhial membentuk kesatuan yang disebut PPOK
(Price & Wilson, 2006).

PPOK adalah keadaan penyakit

yang ditandai

keterbatasan aliran udara yang tidak irreversibel sepenuhnya. Keterbatasan aliran
udara biasanya progresif dan berkaitan dengan respon inflamasi abnormal pada
paru terhadap partikel dan gas berbahaya. Istilah PPOK digunakan untuk beberapa
gabungan penyakit meliputi emfisema dan bronkitis kronis (Morton, Fontaine,
Hudak & Gallo, 2012).

8

9

PPOK dianggap sebagai penyakit yang berhubungan dengan interaksi genetik
dengan lingkungan. Merokok, polusi udara, dan pemajanan di tempat kerja
(terhadap batubara, kapas, padi-padian) merupakan faktor-faktor risiko penting
yang menunjang pada terjadinya pada penyakit ini. Prosesnya dapat terjadi dalam
rentang lebih dari 20 sampai 30 tahun (Brunner & Suddarth, 2002). Meski setiap
penyakit bermanifestasi dalam bentuk murninya, adalah lazim penyakit bronkhitis
kronis dan emfisema untuk timbul bersamaan pada klien yang sama. Asma lebih
mudah dipisahkan dari bronkhitis kronis dan emfisema karena awitanya yang
mendadak (Asih & Effendy, 2004).

a. Definisi Bronkitis Kronik
Bronkitis didefinisikan sebagai adanya batuk produktif yang berlangsung tiga
bulan dalam satu tahun selama dua tahun berturut-turut (Brunner & Suddarth,
2002). Bronkhitis kronis secara fisiologi ditandai oleh hipertropi dan hipersekresi
kelenjar mukosa bronkhial, dan perubahan struktur bronkhi dan bronkhioles (Asih
& Effendy, 2004).

Bronkhitis kronis didefinisikan sebagai adanya batuk produktif lebih dari 250cc
per hari selama minimal tiga bulan per tahun berturut-turut, tanpa ada penyebab
medis lain (Morton, Fontane, Hudak & Gallo, 2012). Bronkhitis kronis
merupakan gangguan klinis yang ditandai pembentukan mukus berlebihan dalam
bronkus dan bermanifestasi sebagai batuk kronik dan pembentukan sputum
selama tiga bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dalam dua tahun berturut-

10

turut. Sputum yang terbentuk dapat mukoid atau mukopurulen (Price & Wilson,
2006).

Pada pasien dengan bronkitis kronik lebih rentan terhadap kekambuhan infeksi
saluran pernapasan bawah. Kisaran infeksi virus, bakteri dan mikroplasma yang
luas dapat menyebabkan episode bronkitis akut. Eksaserbasi bronkitis kronik
hampir terjadi selama musim dingin (Brunner & Suddarth, 2002).

b. Definisi Emfisema Paru
Emfisema paru didefinisikan sebagai suatu distensi abnormal ruang udara di luar
bronkiulus terminal dengan kerusakan dinding alveoli. Pada kenyataannya, ketika
pasien mengalami gejala, fungsi paru sering mengalami kerusakan yang
ireversibel (Brunner & Suddarth, 2002). Emfisema didefinisikan sebagai
kehilangan elastik paru dan pembesaran abnormal dan permanen pada ruang udara
yang jauh dari bronkiolus terminal dengan destruksi dinding alveolar dan bantalan
kapiler tanpa fibrosis yang nyata (Morton, Fontaine, Hudak & Gallo, 2012).

Emfisema paru adalah perubahan anatomis dari parenkim paru yang ditandai
pembesaran abnormal alveoli dan duktus alveolar serta kerusakan dinding
alveolar (Asih & Effendy, 2004). Emfisema paru merupakan suatu perubahan
anatomi parenkim paru yang ditandai oleh pembesaran alveolus dan duktus
alveolaris yang tidak normal serta destruksi dinding alveolar. Emfesema dapat
didiagnosis secara tepat menggunakan CT scan resolusi tinggi (Price &
Wilson, 2006).

11

2.1.2 Manisfestasi Klinis
a. Manisfestasi Klinis Bronkitis Kronis
Batuk produktif kronis pada bulan-bulan musim dingin adalah tanda dini bronkitis
kronis. Batuk mungkin dapat diperburuk oleh cuaca yang dingin, lembab dan
iritan paru. Pasien biasanya mempunyai riwayat merokok dan sering mengalami
infeksi pernapasan (Brunner & Suddarth, 2002). Tanda dan gejala bronkhitis
kronis adalah batuk produktif ketika bangun tidur pagi (Asih & Effendy, 2004).
Tanda dan gejala bronkitis kronis, ekspektorasi sputum yang berlebih saat tidur,
peningkatan volume sputum dan perubahan warna sputum dari putih sampai
kuning atau hijau, hemoptisis selama eksaserbasi akut, penurunan suara napas,
mengi atau ronkhi, frekuensi pernapasan yang lebih dari 16 kali permenit, waktu
ekspirasi kuat yang lama (lebih 4 detik normal) (Morton, Fontaine, Hudak &
Gallo, 2012).

b. Manisfestasi Klinis Emfisema Paru
Ketika insfeksi, pasien biasanya tampak mempunyai barrel chest akibat
terperangkapnya udara, penipisan masa otot, pernapasan dengan bibir dirapatkan.
Pernapasan dada, pernapasan abnormal tidak efektif dan penggunaan otot-otot
aksesori pernapasan (sternokleidomastoid) adalah umum terjadi. Pada tahap lanjut
dispnea terjadi saat aktivitas kehidupan sehari-hari, seperti makan dan mandi .
Ketika dada diperiksa, ditemukan hiersonans dan penur Auskultasi menunjukkan
tidak terdengarnya bunyi napas dengan krekles, ronki dan perpanjangan ekspirasi.
Kadar oksigen yang rendah (hipoksemia) dan kadar karbon dioksida yang tinggi
(hiperkapnea) pada tahap penyakit lanjut (Brunner & Suddarth, 2002). Gejala

12

yang menandakan emfesema adalah dispnea, pembentukan sputum sedikit atau
tidak ada, penggunaan otot-otot eksesori pernapasan peningkatan

frekuensi

pernapasan dan perpanjangan fase ekspiratori (Asih & Effendy, 2004). Keluhan
utama emfesema, dispnea, batuk jarang terjadi, pasien kurus disertai penurunan
berat badan, dada tanpa suara tambahan, tidak terjadi edema perifer, pasien
tampak tidak nyaman dengan penggunaan otot bantu pernafasan (Morton,
Fontaine, Hudak & Gallo, 2012).

2.1.3 Penatalaksanaan PPOK
a. Terapi Non Farmakologi
Terapi non farmakologi terdiri dari, program aktivitas olah raga, konseling nutrisi
dan penyuluhan. Program aktivitas terdiri dari, sepeda ergometri, latihan tredmill,
atau berjalan dengan diatur waktunya, setiap hari dari durasi 10 menit sampai 45
menit per sesi. Konseling nutrisi diberikan karena 50% pasien PPOK yang masuk
ke rumah sakit mengalami malnutrisi. Malnutrisi mengakibatkan penurunan otot
pernafasan dan kelemahan otot pernafasan lebih lanjut. Memperbaiki status nutrisi
pasien PPOK yang mengalami penurunan berat badan dapat meningkatkan
kekutaan otot pernafasan .Penyuluhan tentang berhenti merokok merupakan
metode tunggal yang paling efektif dalam mengurangi resiko terjadinya PPOK
dan memperlambat kemajuan penyakit (Morton, Fontaine, Hudak & Gallo, 2012).
Menurut Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan PPOK di Indonesia,
penatalaksanaan PPOK non farmakologi meliputi, edukasi, terapi oksigen, nutrisi
dan rehabilitasi (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003). Pengobatan non
farmakologi pasien PPOK meliputi, menghentikan merokok, perkusi dan drainase

13

postural, pengobatan dengan oksigen aliran rendah, hidrasi dan program kerja
fisik (Price & Wilson, 2006).

b. Terapi Farmakologi
Menurut GOLD (2001), terapi farmakologi untuk pasien PPOK adalah
bronkodilator dan glukokortikosteroid. Bronkodilator memperbaiki pengosongan
paru, mengurangi hiperinflasi pada saat istirahat dan selama latihan, dan
memperbaiki perfoma latihan. Terapi inhalasi glukortikokoid yang lama dapat
mengurangi gejala, namun tidak merubah penurunan jangka panjang forced
expiratory volume (FEV), yang biasanya dilihat pada pasien PPOK (Morton,
Fontaine, Hudak & Gallo, 2012). Pengobatan farmakologi pasien PPOK meliputi,
antibiotik, vaksin pneumokus dan influenza, bronkodilator, alfa 1-antitripsin,
reseksi bedah (pada kasus-kasus tertentu) (Price & Wilson, 2006). Menurut
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan PPOK di Indonesia, penatalaksanaan
farmakologi meliputi, ventilasi mekanik dan obat-obatan. Obatan-obatan yang
diberikan yaitu bronkodilator, antiinflamasi, antibiotika, antioksidan, mukolitik,
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

2.1.4 Pendidikan Pasien dan Pertimbangan Perawatan di Rumah
Pasien diintruksikan untuk menghindari panas dan dingin yang ekstrim. Panas
meningkatkan suhu tubuh, karenanya meningkatkan kebutuhan oksigen tubuh.,
dingin cenderung meningkatkan bronkospasme. Tempat ketinggian (seperti
pegunungan) memperburuk hipoksia. Pasien

PPOK

harus diimformasikan

dengan jelas dan tegas bahwa merokok sangat berbahaya. Pasien juga dianjurkan

14

melakukan aktivitas sedang. Situasi yang menekan, yang dapat mencetuskan
batuk atau gangguan emosional harus dihindari (Brunner & Suddarth, 2002).
Menurut Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan PPOK di Indonesia, edukasi
yang perlu diberikan antara lain berhenti merokok, penggunan obat dengan tepat,
mengenal dan mengataasi efek samping obat dan oksigen, penilaian tanda
eksaserbasi akut (sesak bertambah, batuk bertambah, sputum berubah warna),
menghindari pencetus eksaserbasi, menyesuaikan keterbatasan hidup dengan
aktivitas (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

2.2

Fisioterapi Dada

Fisioterapi dada merupakan kelompok terapi yang digunakan dengan kombinasi
untuk memobilisasi sekresi pulmonal. Terapi ini terdiri dari drainase postural,
perkusi dada, dan vibrasi. Klien yang mengalami retensi sekresi dan gangguan
oksigenasi, seperti pneumonia,

penyakit paru obstuksf kronik membutuhkan

bantuan ini untuk mengencerkan dan mengeluarkan sekresi. Fisioterapi dada
mencakup tiga tehnik

drainase postural, perkusi dada dan vibrasi (Asih &

Effendy, 2004). Drainase postural, perkusi, dan vibrasi dada merupakan metode
fisioterapi dada yang digunakan untuk memperbesar upaya klien dan memperbaiki
fungsi paru. Metode ini dapat digunakan secara berurutan pada posisi drainase
yang berbeda dan harus diawali dengan bronkodilator (jika diprogramkan), dan
dilanjutkan dengan napas dalam dan batuk (Morton, Fontaine, Hudak & Gallo,
2012).

2.2.1 Drainase Postural

15

Drainase postural

menggunakan posisi spesifik yang memungkinkan gaya

gravitasi untuk membantu membuang sekresi pulmonal. Jika drainase postural
digunakan, pasien dibaringkan secara bergantian dalam posisi yang berbeda,
sehingga gaya gravitasi membantu mengalirkan sekresi dari jalan nafas bronkial
yang lebih kecil ke bronki yang lebih besar dan trakea. (Brunner, Suddart, 2002).
Posisi drainase postural memfasilitasi drainase sekret paru ke arah bronkus utama
dan trakea dengan bantuan gaya gravitasi berdasarkan anatomi segmen-segmen
paru (Morton, Fontaine, Hudak & Gallo, 2012).

Pengaturan posisi pasien dengan menempatkan paru yang sakit di sebelah bawah
cenderung menyebabkan hipoksia, yang disertai ketidakselarasn ventilasi - perfusi
dan pemintasan. Akan tetapi pertukaran posisi tersebut diubah jika pasien
mengalami abses paru

(Morton, Fontaine, Hudak & Gallo, 2012). Latihan

drainase dapat diarahkan pada semua segmen paru (Brunner & Suddart, 2002).

Pasien dibaringkan dalam lima posisi meliputi kepala lebih rendah, pronasi, lateral
kanan dan kiri serta duduk tegak. Satu posisi untuk mendrainase setiap lobus.
Bronkus lobus yang lebih rendah dan lobus tengah mengalir lebih efektif jika
kepala lebih rendah, bronkus lobus yang atas mengalir lebih efektif bila kepala
tegak (Brunner & Suddart, 2002). Bantu klien memperoleh posisi yang tepat
untuk drainse area yang mengalami penumpukan sekresi. Bantu klien memilih
posisi sesuai kebutuhan dan ajarkan memposisikan tubuh, lengan dan kaki yang
tepat . Letakkan bantal untuk menyangga dan memberi kenyamanan (Eni
Kusyanti dkk, 2013).

16

Pasien diinstruksikan untuk tenang dalam setiap posisi selama 10 sampai 15 menit
dan menghirup dengan lambat melalui hidung. Kemudian menganjurkan
menghembuskan napas dengan perlahan sambil merapatkan bibir untuk
membantu mempertahankan jalan napas terbuka sehingga sekresi dapat dialirkan
ketika dalam berbagai posisi (Brunner & Suddarth, 2002). Minta klien untuk
mempertahankan posisi selama 15 sampai 45 menit. Pada klien anak-anak
prosedur ini membutuhkan waktu 3-5 menit (Eni Kusyanti dkk, 2013).

Kontra indikasi untuk drainase postural: peningkatan tekanan intra intrakranial,
setelah makan dan pemberian makan melalu selang, tidak mampu batuk, hipoksia,
ketidaksatabilan hemodinamik, penurunan status mental, setelah operasi mata,
obesitas (Morton, Fontaine, Hudak & Gallo, 2012).

2.2.2 Perkusi Dada (Clapping)
Perkusi dada dilakukan dengan mengetuk dinding dada di atas daerah yang akan
didrainase. Tangan diposisikan sehingga jari-jari dan ibu jari saling menyentuh
dan tangan membentuk mangkuk. Perkusi pada permukaan dinding dada akan
mengirimkan gelombang berbagai amplitudo dan frekuensi melalui sehingga
mengubah konsistensi dan lokasi sputum. Perkusi dada dilakukan dengan
mengubah gerakan tangan melawan dinding dada. Perkusi dilakukan di atas
sebuah lapisan pakaian, tidak di atas kancing, kancing jepret, atau risleting (Potter
& Perry, 2006). Pergelangan tangan secara bergantian dan fleksi dan ektensi
sehingga dada dipukul atau ditepuk tidak menimbulkan nyeri. Pakaian halus atau
handuk dapat diletakkan di atas segmen dada yang ditepuk untuk mencegah iritasi

17

kulit dan kemerahan akibat kontak langsung. (Brunner & Suddarth, 2002). Perkusi
setiap segmen paru selama 1-2 menit. Hindari melakukan perkusi pada struktur
yang mudah cidera seperti payudara, sternum, kolumna spinalis dan ginjal (Eni
Kusyanti dkk, 2013).

2.2.3 Vibrasi
Vibrasi adalah tehnik memberikan kompresi dan getaran manual pada dinding
dada selama fase ekshalasi pernapasan. Maneuver ini membantu meningkatkan
velositas udara yang diekspirasi dari jalan napas yang kecil sehingga mampu
membebaskan mukus. Setelah tiga atau empat kali vibrasi, pasien dianjurkan
untuk batuk dengan menggunakan otot-otot abdomen untuk meningkatkan
keefektifan batuk (Brunner & Suddart, 2002). Vibrasi dilakukan saat pasien
menghembuskan nafas (ekhalasi) melalui mulut. Vibrasi meningkatkan kecepatan
dan turbulensi udara ekhalasi guna melepas sekret. Tehnik ini dilakukan dengan
menempatkan kedua tangan secara berdampingan, posisi jari tangan ekstensi, dan
telapak tangan menempel

di area dada yang mengalami gangguan. Pasien

mengambil nafas dalam dan kemudian menghembuskannya secara perlahan. Saat
pasien ekhalasi, perawat memvibrasi dada pasien dengan mengencangkan dan
melemaskan kedua otot lengan dan bahu dalam gerak yang cepat. Vibrasi sebagai
pengganti perkusi, jika dinding dada mengalami nyeri (Morton, Fontaine, Hudak
& Gallo, 2021). Vibrasi meningkatkan pengeluaran udara yang terperangkap dan
menggoyangkan mukus sehingga lepas dan menyebabkan batuk (Potter & Perry,
2006).

18

Kontra indikasi perkusi /vibrasi, Fraktur tulang iga atau osteoporosis, pembedahan
pada dada atau abdomen, hemoragi atau emboli paru, malignansi dada/masktomi,
pneumotorak/emfesema subkutan, trauma medula servikal, tuberkulosis, efusi
fleura/emfiema, asma (Morton, Fontaine, Hudak & Gallo, 2012). Sebagai
kewaspadaan, perkusi di atas selang drainase dada, sternum, tulang belakang,
ginjal, limpa, atau payudara (pada wanita) dihindari (Brunner & Suddarth, 2002).

2.3

Saturasi Oksigen

Saturasi oksigen (O2 sat) adalah presentase haemoglobin yang disaturasi oksigen
(Potter & Perry, 2006). Oksigen (O2) dapat diangkut dari paru-paru ke jaringan
melalui dua jalan, secara fisik larut dalam plasma atau secara kimiawi berikatan
dengan Hb (HbO2). Ikitan kimia O2 dengan Hb ini bersifat irreversibel, yang
jumlah sesungguhnya yang diangkut dalam bentuk ini mempunyai hubungan
nonlinear dengan tekanan parsial O2 dalam darah arteri (PaO2), yang ditentukan
oleh jumlah O2 secara fisik larut dalam plasma. Selanjutnya jumlah O2 yang
terlarut dalam plasma mempunyai hubungan langsung dengan tekanan parsial
alveoli (PAO2) (Price &Wilson, 2006).

Pada keadaan normal, kira-kira 97 persen oksigen yang ditranspor dari paru ke
jaringan dibawa dalam campuran kimiawi dengan hemoglobin dalam sel darah
merah. Tiga persen sisanya dibawa dalam cairan plasma dan sel. Dengan
demikian, dalam keadaan normal, oksigen dibawa ke jaringan hampir seluruhnya
oleh hemoglobin (Guyton, 2000). Pada tingkat jaringan, O2 akan melepaskan diri
dari Hb ke dalam plasma dan berdifusi dari plasma ke sel-sel jaringan tubuh untuk

19

memenuhi kebutuhan jaringan yang bersangkutan. Meskipun kebutuhan jaringan
bervariasi, namun sekitar 75% hb masih berikatan dengan O2 pada waktu Hb
kembali ke paru dalam bentuk vena darah campuran. Jadi hanya 25% O2 dalam
darah arteri yang digunakan dalam keperluan jaringan (Price & Wilson, 2006).

Oksigen dibutuhkan untuk memenuhi katabolisme kimia yang terjadi dalam
memproduksi energi seluler. Saat difusi dari paru-paru ke darah, sebagian kecil
dari oksigen akan larut dalam plasma dan cairan sel, tetapi lebih dari 60 kali
banyaknya berikatan cepat dengan hemoglobin. Pada PAO2 100mm Hg, hampir
96% dari semua molekul hemoglobin telah berkombinasi dengan oksigen.
Persentase ini menunjukkan saturasi hemoglobin atau saturasi oksigen arteri
(SaO2) (Guyton, 2000). Jumlah oksigen yang bergabung dengan haemoglobin
juga tergantung padaPaO2, tetapi hanya paO2 sekitar 150 mmHg. Jika Pao2 kurang
dari 150 mmHg, prosentase haemoglobin yang tersaturasi akan lebih reendah.
Sebagai contoh, pada PaO2 100 mmHg (nilai normal ), saturasi oksigen 97%, dan
pada PaO2 40 mmHg saturasi adalah 70% (Brunner & Suddarth, 2002).

Faktor saturasi dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut : CO2, pH , suhu, dan 2,3
disfogliserat (Price & Wilson,2006). Dengan haemoglobin normal yaitu 15g/100
ml dan tingkat PaO2 40 mmHg (saturasi oksigen 75%), tersedia oksigen yang
adekuat untuk jaringan tetapi tidak untuk cadangan. Ketika terjadi insiden serius
(misal bronkopasme, aspirasi, hipotensi, disritmia jantung) yang mengurangi
masukan oksigen dari paru-paru, akan tejadi hipoksia jaringan. Nilai normal PaO2

20

adalah 80 sampai 100 mmHg. Dengan tingkat oksigenasi ini, terdapat batas
kelebihan oksigen 155 tersedia untuk jaringan (Brunner & Suddarth, 2002).

2.4 Tehnih-Tehnik Pengukuran Saturasi Oksigen Arteri
Pengukuran Saturasi oksigen arteri dapat dilakukan dengan dua cara :
2.4.1 Gas Darah Arteri
Tekanan oksigen arteri (PaO2) menunjukkan derajat oksigenasi darah dan tekanan
karbon

dioksida

arteri,

menunjukkan

keaadekuatan

ventilasi

alveolar.

Pemeriksaan gas darah arteri membantu mengkaji tingkat tingkat dimana paruparu mampu memberikan oksigen yang adekuat dan membuang karbon dioksida
serta tingkat dimana ginjal mampu menyerap kembali dan mengekskresikan ionion bikarbonat untuk mempertahankan pH darah yang normal (Brunner
&Suddarth, 2002). Artei radialis (brakialis) sering dipilh karena arteri mudah
dicapai. Gas-gas darah arteri didapat melalui fungsi arteri pada arteri radialis,
arteri brakiali, arteri femoralis atau melalui arteri indwwlling (Brunner &
Suddarth, 2002) Pergelangan tangan diektensikan dengan menempatkan di atas
gulungan handuk, setelah kulit disterilkan, lalu arteri distabilkan dengan dua jari
dari satu tangan, sedangkan tangan yang lain menusuk arteri tersebut dengan alat
suntik yang berisi heparin. Setelah lima ml darah terhisap ke dalam alat suntik ,
udara dikeluarkan, dan darah disimpan di atas es dan langsung dibawa ke
laboratorium (Price & Wilson, 2006)

Bila PaCO2 meningkat, penyebab langsung hipoventilasi alveolar. Hipoventilasi
menyebabkan asidosis respiratorik dan penurunan pH darah. Hipoventilasi dapat

21

meterjadi pada kelebihan dosis narkotik atau barbiturat. Penyebab PaCO2 menurun
adalah selalau hiperventilasi alveolar. Hiperventilasi menyebabkan alkalosis
respiratorik dan kenaikan pH darah. Hiperventilasi sering timbul pada asma dan
pneumonia dan menggambarkan usaha tubuh

untuk meningkatkan PaCO2

dengan usaha membuang CO2 yang berlebihan dari paru (Price &Wilson, 2006).
PaO2 (tekanan parsial kelarutan oksigen di dalam darah), nilai normal 80-100
mmHg. PaCO2 (tekanan kelarutan parsial CO2 dalam darah), nilai normal 38-45
mmHg. SaO2 (presentasi ikatan oksigen dengan haemoglobin), nilai normal
95%-98%. Kosentrasi ion hidrogen (pH), nilai normal 7,35-7,45 (Asih &
Effendy, 2006). Kosentrasi bikarbonat HCO3, nilai normal 22-26 mEq/L (Price
& Wilson, 2006). Perubahan asam - basa pada asidosis dan alkalosis yaitu, (a)
asidosis respiratorik: pH menurun, HCO3 meningkat, PaCO2 meningkat, (b)
alkalosis respiratorik: pH meningkat, HCO3 menurun, PaCO3 menurun, (c)
asidosis metabolik: pH menurun, HCO3 menurun, PaCO2 menurun, Alkalosi
metabolik: pH meningkat, HCO3 meningkat, PaCO2 meningkat (Price & Wilson,
2006).

2.4.2 Oksimetri Nadi (Pulse Oximetry)
Oksimetri nadi adalah metode pemantauan non invasif, secara kontinu terhadap
saturasi oksigen haemoglobin (SaO2). Meski oksimetri arteri tidak bisa
menggantikan gas-gas darah arteri, oksimetri nadi merupakan suatu cara efektif
untuk memantau terhadap perubahan saturasi oksigen yang kecil dan mendadak
(Brunner & Suddarth, 2002). Oksimetri tidak menimbulkan nyeri jika
dibandingkan pungsi arteri. Menurut Ahrens & Ruhterford (1993), klien yang

22

mengalami kelainan perfusi/ventilasi, seperti pneumonia, emfesema, bronkitis
kronik, asma, embolisme pulmonar, gagal jantung merupakan kandidat ideal
untuk menggunakan oksimetri nadi (Potter & Perry, 2006).

Oksimetri nadi digunakan dalam banyak lingkungan, termasuk unit perawatan
kritis, unit perawatan umum, Oksimetri nadi juga digunakan pada area diagnostik
dan pengobatan selama pelaksanaan prosedur. (Brunner & Sudarth, 2002).
Pemantauan saturasi oksigen yang kontinu bermanfaat dalam pengkajian
gangguan tidur, toleransi dalam latihan fisik, penyapihan dari ventilasi mekanis
dan penurunan sementara saturasi oksigen (Potter & Perry, 2006).

Sensor atau probe dilekatkan pada ujung jari, dahi, daun telinga atau batang
hidung. Sensor mendeteksi perubahan tingkat saturasi oksigen dengan memantau
signal cahaya yang dibangkitkan oleh oksimetri dan direfleksikan oleh darah yang
berdenyut melalui jaringan pada probe (Brunner, Suddarth, 2002). Nasal probe
(alat yang menyelidiki kedalaman) direkomendasikan untuk kondisi perfusi darah
yang rendah. Keakuratan nilai oksimetri nadi secara tidak langsung berhubungan
dengan perfusi di daerah probe. Pengukuran oksimetri nadi di daerah yang
memiliki perfusi jaringan buruk, yang disrbabkan oleh syok, hipotermi, atau
penyakit vaskuler perifer mungkin tidak dapat dpercaya (Potter & Perry, 2006)

Saturasi oksigen arteri (SpO2) normal adalah 95% sampai 100%. Nilai dibawah
85% menunjukkan bahwa jaringan tidak mendapatkan cukup oksigen dan pasien
membutuhkan evaluasi lebih jauh (Brunner & Suddarth, 2002). Respon yang

23

diharapkan saturasi oksigen klien 96% sampai 100% , dan klien mamapu
metoleransi prosedur (Asih & Effendy, 2006).

2.5 Hipoksia
Hipoksia adalah oksigenasi jaringan yang tidak adekuat pada tingkat jaringan.
Kondisi ini terjadi akibat penggunaan oksigen di selluler dan difisiensi
penghantaran oksigen di seluler (Potter & Perry, 2006). Hipoksia dapat
disebabkan oleh :
1. Penurunan kadar haemoglobin dan penurunan kapasitas darah yang membawa
oksigen.
2. Penurunan kosentrasi oksigen yang diinspirasi.
3. Ketidakmampuan jaringan untuk mengambil oksigen dari darah, seperti pada
kasus keracunan sianida.
4. Penurunan difusi oksigen dari alveoli ke darah, seperti pada kasus pneumonia.
5. Perfusi darah yang mengandung oksigen di jaringan yang buruk, seperti pada
pasien syok.
6. Kerusakan ventilasi seperti yang terjadi pada fraktur iga multiple dan trauma
dada.

Tanda dan gejala hipoksia (Potter & Perry, 2006)
Gelisah,

rasa

takut

dan

ansietas,

disorientasi,

penurunan

kemampuan

berkosentrasi, penurunan tingkat kesadaran, peningkatan keletihan, pusing,
peningkatan nadi, peningkatan frekuensi dan kedalaman pernapasan, peningkatan
tekanan darah, disritmia jantung, pucat, sianosis,clubbing dan dispnea. Hipoksia

24

merupakan kondisi yang mengancam kehidupan. Apabila tidak ditangani
menyebabkan disritmia jantung yang menyebabkan kematian. Hipoksia ditangani
dengan pemberian oksigen

dan mencari penyebab yang mendasari seperti

obstruksi jalan napas (Potter & Perry, 2006). Hipoksemia (penurunan tekanan
arteri dalam darah) muncul sebagai perubahan status mental (yang berkembang
mulai dari gangguan penilaian, agitasi, disorientasi, kelam pikir, letargi, koma),
dispnea, peningkatan tekanan darah, perubahan frekuensi jantung, disritmia,
sianosis sentral (tanda lnjut), diaforesis dan ektremita dingin. Hipoksemia
biasanya mengarah pada hipoksia, yaitu penurunan suplai oksigen ke jaringan.
Hipoksia jika cukup parah dapat mengancam nyawa. Hipoksia jangka panjang
pada pasien PPOK dan gagal jantung kronik menimbulkan keletihan, mengantuk,
apatis, tidak perhatian (Brunner & Suddarth, 2002).