Keadilan Restoratif.

Pikiran Rakyat
o Senin
123
17
OJan

18

19
8Peb

o Se/asa 0
4

20

@

o Mar

21


6

OApr

Rabu

7
22
OMel

0

.

Kamis

8
23


9

OJun

I(eadilan

24

10
OJul

25

Jumat
11

o Sabtu 0 Minggu
12

26


13
27

0 Ags OSep

14
28

OOkt

--

P

ONov

16
30


Kasus "sengatan lebah" bukan saja rnenyengat ernpati dan
keprihatinan dari ternan-ternan
sekolahnya, rnelainkan juga
rnernbuka Illata dan pikiran kita tentang sisi-sisi penegakan
hukurn selarna ini. Kerap kali
dijurnpai adanya pernikiran
bahwa setiap perkara pidana
harus diadili rnelalui rnekanisme peradilan pidana dan dipenjara sebagai buah dari perbuatan pelaku.
Dalarn tataran
tertentu,
rnungkin saja penghukuman pidana berupa penjara dapat
rnenjadi sarana efektif dalarn
rnencegab terjadinya kejahatan.
Namun perlu disadari, ternyata
kehidupan di lernbaga pernasyarakatan di burni pertiwi ini
rnasih rnenyisakan pekerjaan
rumah, yang berdampak negatif
dalarn perlakuan narapidanafwarga binaan.
''Keranjang sampah"
Dalam proses peradilan pidana di Indonesia, lernbaga pernasyarakatan rnasih dianggap sebagai "keranjang sampah", yaitu ternpat penarnpungan dari

berbagai kegiatan aparat penegak hukum lainnya. Dari rnulai
rnaling sandal jepit, bandar togel, pelaku rnutilasi, bandar
narkoba, sampai koruptor kelas
kakap bercampur aduk dan dipenjarakan di suatu lokasi. Belum lagi tersangka yang dititipkan oleh penyidik ataupun terdakwa yang sedaIi~ rnentalani

Kliping Humas Unpad 2010

31

ODes

Restoratif

Oleh ASEP N. MULYANA

ROSES peradilan terhadap DDY, rnurid kelas III SDN Dr. Sutorno
VIII Surabaya, rnenyeruak rnenjadi headline di berbagai media
rnassa. Seperti halnya perkara
pencurian buah sernangka, randu, tanarnan jagung, ataupun
pencurian biji kakao oleh Nenek

Minah, kasus DDYseakan-akan
rnenambah panjang potret diskriminasi dalam praktik penegakan hukum di negeri ini.
Tulisan ini tidak bermaksud
rnenjustifikasi apalagi rnenghakimi siapa yang salah dari fenornena yang terjadi, tetapi rnencoba rnengurai pokok persoalannya secara jernih. ltu disebabkan realitas yang terungkap
dalarn praktik penegakan hukum bukan rnerupakan sesuatu
yang seketika terjadi, rnelainkan
sebagai hasil interaksi dari proses sebab akibat dalam perspektif yang lebih luas.
Banyak yang rnenyayangkan
bergulirnya kasus yang rnenimpa DDY ke Pengadilan Negeri
Surabaya. Hakim Sutriadi Yahya yang rnernirnpin sidang kasus itu rnenilai, sebaiknya perkara DDY tidak harus sarnpai
ke persidangan. Kekesalan Sutriadi bukan saja tertuju pada
sekolah, tetapi juga tertuju kepada orang tua DDY4dan DN
yang dinilainya tidak bersikap
arif dan bijaksana untuk rnenyel~..xa
s~
dam~

15
29


bangan sistem peradilan pidana
dengan. menitikberatkan pada
pelibatan masyarakat dan korban dalam penyelesaian perkara pidana. Konsepsi yang berbasis pada penyelesaian perkara
secara musyawarah antara pelaku dan korban tersebut, dimaksudkan untuk menjadikan hukum berpihak kepada kelompok rentan hukum, termasuk di
dalamnya anak-anak, kelompok
manula, dan masyarakat miskin.
Menurut penulis, model keadilan restoratif tersebut tidak
saja mengakomodasi kepentingan masyarakat "rentan hukum", melainkan juga mencegah penumpukan perkara di
Mahkamah Agung (MA). Dalam praktik peradilan pidana,
seluruh perkara mulai dari pencurian sandal jepit sampai korupsi kelas kakap sekalipoo dapat dimintakan kasasi ke MA.
Bertumpuknyajumlah perkara pidana yang diselesaikan melalui proses peradilan, tidak saja melahirkan banyaknya orang
yang harns masuk "bui", tetapi
menjadikan aparat penegak hukum bekeIja layaknya mesin
produksi. Beroperasinya hukum
yang beIjalan secara mekanik
telah menjauhkan "mata hati"

proses persidangan, menambah
hiruk pikuknya serta sumpeknya lembaga pemasyarakatan.
Kondisi yang demikian itu

mengakibatkan fungsi-fungsi
pemasyarakatan tidak dapat
beIjalan sebagaimana mestinya.
Lembaga pemasyarakatan bukan lagi merupakan tempat melakukan rehabilitasi, reedukasi,
resosialisasi, dan reintegrasi sosial, melainkanjustru --meminjam istilah Prof. Barda Nawawi
Arief-- menjadi "perguruan
tinggi kejahatan" yang meningkatkan kualitas kejahatan narapidana. Sebagaimana dioogkapkan Ramsey Clark, "prisons factories of crime", lembaga pemasyarakatan merupakan pabrik
kejahatan.
Kultur penjara yang memengaruhi perilaku sipir selama ini telah memberikan andil
dan kontribusi tersendiri terhadap persoalan yang ada di lembaga-Iembaga pemasyarakatan.
Sebagaimana tulisan Donald
Taft & Ralph W. England yang
menyatakan, pidana penjara
yang dilaksanakan berdasarkan
pandangan yang bersifat pemidanaan semata-mata akan lebih

;;;

Menurut penulis, model keadilan restoratif
tersebut tidak saja mengakomodasi kepentingan masyarakat "rentan hukum", melainkanjuga mencegah penumpukan perkara

di Mahkamah Agung (MAJ.

banyak menghasilkan penjahat
daripada mencegahnya.
Ketika penulis bersama rekan-rekan dari kejaksaan diberikan kesempatan mengunjungi
institusi-institusi penegak hukum di AS pada akhir 2009, penulis mendapatkan gambaran
betapa selektifnya proses penahanan seseorang ketika akan dimasukkan ke dalam penjara.
Sebelum penyidik melakukan
penahanan terhadap tersangka,
misalnya, ja"ksaterlebih dahulu
harus mengajukannya ke hakim
melalui persidangan yang terbuka untuk umum. Dalam persidangan singkat tersebut, bukan hanya dihadiri tersangka

.dan

pengacaranya,

tetapi juga

dihadiri oleh US Marshal's Service sebagai institusi yang bertanggung jawab terhadap "pengelolaan" tahanan. llustrasi itu

memberikan pelajaran betapa
terpadunya aparat penegak hukum sejak awal penanganan
suatu perkara, dan begitu transparannya prosespenahanan seorang tersangka.
Adalah Menteri Hukum dan
HAM Patrialis Akbar yang
mengajukan konsepsi keadilan
restoratif, yaitu koilsepsi pemikiran yang merespons ~~em-_~

aparat dalam menangani suatu
kasus. Bagaimana mungkin
mengharapkan hati nurani aparat, sedangkan di kepalanya telah dihadapkan kembali dengan
tumpukan perkara lain yang harns segera diselesaikannya.
Barangkali ide yang dikemukakan Menkumham untuk memediasi perkara-perkara pidana
ringan perlu direspon. Konsep
mediasi perkara pidana tersebut
memoogkinkan perkara pencurian biji kakao yang dilakukan
Nenek Minah tidak perlu diajukan ke meja hijau, melainkan
cukup dengan memanggil pihak-pihak yang berperkara untuk diselesaikan di kepolisian.
Pada gilirannya, konsep mediasi diharapkan dapat mengurangi beIjubelnya terhukum di
lembaga pemasyarakatan serta

dapatmengeliminasitumpukan
perkara di MA.
Keadilan substantif
BekeIjanya hukum dalam
masyarakat seharusnya bertolak dari konsepsi law is mirror
society. Dalam tataran ini, hukum tidak saja merupakan cerminan masyarakat, melainkan
juga dapat meret1eksikan rasa
keadil~_m~tnya.
Pe.~e-

.

nuhan rasa keadilan tersebut
disebabkan masyarakat merupakan tempat bekeIjanya hukum.
Dalarnpraktikpenegakanhukum, pemenuhan rasa keadilan
substantif tersebut sering kali
berhadapan denganprosedural
hukum yang mengharuskanditempuhnya tata cara dan kaidah-kaidah baku. Dengan demikian, dalam implementasinya, pemenuhan terhadap kepastian hukum kerap kali
mengorbankan nilai-nilai keadilandan kemanfaatan.Begitu
pula halnyaketikakemanfaatan
hukum yang dikedepankan,
maka akan menerabas kepastian hukum dan tidak dapat
mengakomodasirasa keadilan.
Pertentangan pemenuhan ketiga tujuan hukum dalam waktu
bersarnaanmerupakanpersoalan klasik, yang disebut oleh
Gustav Radbuch sebagai spatnung verhatnis.
Mencermatikonsepsimediasi hukum sebagaimanayang dilontarkan oleh Menkumham,
tentunya harus diikuti dengan
percepatan pembaruan hukum
pidana (penal reform) yang selama ini digodok di Kementerian Hukum dan HAM. Menurut
hemat penulis, terdapat tiga hal
yang seharusnya diakomodasi.
Pertama, kategorisasi kejahatan dalam beberapa tingkatan. Dalam hal ini, pembedaan
tindak pidana ke dalam pelanggaran dan kejahatan yang selama ini dianut dalam KUHP, diganti menjadi kategorisasi kejahatan dalam tiga tingkatan yaitu: kejahatan ringan, sedang,
danberffi.Kategorisasik~ahffian sebagaimana yang dianut di
Jepang tersebut seharusnya diikuti dengan pembedaan tata
cara dan makanisme penyelesaian perkara. Misalnya, untuk
kategori kejahatan ringan, penyelesaian perkaranya cukup
melalui mediasi para pihak di
kepolisian. Kejahatan dengan
kategori sedang misalnya, tidak
dapat dilakukan upaya hukum
kasasi, tetapi telah mempunyai
kekuatan hukum tetap (inkracht) dalam tahapan pengadilan banding. Sementara itu,
semakin tinggi kategori kejahatan, semakin berat pula ancaman sanksinya. Misalnya untuk
kategori kejahatan berat, ancaman sanksinya dapat beruP1f
pidana 15tahoo, seumur hidup,
ataupoo pidana mati.
Kedua, perluasan konsepsi
alasan penghapus pidana. Selama ini dalam tataran teori hukum pidana yang menganut asas
perdamaian ataupoo pembayaran ganti rugi sekalipoo tidaklah
menghapus sifat melawan hukum suatu perbuatan. Meskipoo
pelaku membayar "uang kadeudeuh" sebagai bentuk perdamaian dengan korban, tetapi hal tersebut tidak menghentikan proses
pidananya melainkan hanya merupakan sesuatu yang dapat meringankan tuntutan pidana ter~dap pelaku..

Ketiga, adanya peradilan prajustisial (meminjam istilah Prof.
Ahmad Ramly), yaitu suatu model penyelesaian perkara sebelum diajukan ke pengadilan.
Peradilan prajustisial ini dimaksudkan agar korban dan pelaku
dapat mempunyai ruang yang
leluasa untuk menentukan penyelesaian perkara selanjutnya.
Kalaulah mereka bersepakat untuk menyelesaikannya secara
damai, dibuatkan akta perdamaian sehingga tidak perlu dilanjutkan lagi melalui proses pemeriksaan di sidang pengadilan.
Tentu saja mekanisme dan tata
cara model prajustisial seharusnya diakomodasi dalam pembaharuan KUHAP,sebagai payung
dalam penegakan hukum pidana fonnal (hukum acara).
Sejalan dengan pemikiran
Menkumham, ketiga substansi
penal law tadi diharapkan
menjadi mediasi perkara pidana sebagaimana yang diwacanakan, dan dapat diimplementasikan tanpa mengorbankan
kepastian
hukum.
Dengan
mengakomodasi konsepsi keadilan restoratif, setidakllya dapat membantah pemyataan
Gustav Radbuch yang senantiasa mempertentangkan antara
keadilan substantif dan kepastian hukum.
Yang paling penting dari semuanya yaitu memadukan antara keadilan dan kepastian hukum, bukan mempertentangkannya. Dengan demikian, pada gilirannya akan melahirkan
rasa keadilan masyarakyat yang
bersendikan kepastian hukum.
Bukankah Brian Z. Tamahana
mengatakan
bahwa hukum
yang baik adalah, hukum yang
merupakan cermin dari masyarakatnya. Semoga!!!***
Penulis, Kasubbid Pengajaran pada Diklat Teknis
Fungsional Pusat Diklat Kejaksaan Rl, peserta program doktor l!npad. =