KEADILAN RESTORATIF BAGI KORBAN DARI SUATU TINDAK PIDANA DALAM PROSES PERADILAN PIDANA.

(1)

SKRIPSI

KEADILAN RESTORATIF BAGI KORBAN DARI

SUATU TINDAK PIDANA DALAM PROSES

PERADILAN PIDANA

NI MADE DWITA SETYANA WARAPSARI NIM. 1203005217

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

ii

SKRIPSI

KEADILAN RESTORATIF BAGI KORBAN DARI

SUATU TINDAK PIDANA DALAM PROSES

PERADILAN PIDANA

NI MADE DWITA SETYANA WARAPSARI NIM. 1203005217

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

KEADILAN RESTORATIF BAGI KORBAN DARI

SUATU TINDAK PIDANA DALAM PROSES

PERADILAN PIDANA

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

NI MADE DWITA SETYANA WARAPSARI NIM. 1203005217

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(4)

(5)

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”KEADILAN RESTORATIF BAGI

KORBAN DARI SUATU TINDAK PIDANA DALAM PROSES

PERADILAN PIDANA”.Skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Melalui kesempatan ini tidak lupa penulis sampaikan rasa terima kasih kepada berbagai pihak yang sangat berperan dalam proses penyelesaian skripsi ini, diantaranya:

1. Bapak Prof. Dr. I Made Arya Utama, S.H., M.Hum, selaku Dekan

Fakultas Hukum Universitas Udayana.

2. Bapak Dr. Gde Made Swardhana, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Udayana.

3. Ibu Ni Ketut Sri Utari, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Udayana.

4. Bapak Dr. I Gede Yusa, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Udayana.

5. Bapak Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH.M.,Hum., selaku Pembimbing

Akademik yang telah membimbing penulis dari awal kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana.


(7)

6. Bapak Dr. Ida Bagus Surya Darmajaya, S.H., M.H., selaku Dosen Ketua Bagian Hukum Pidana.

7. Prof. Dr. I Ketut Mertha, SH.,M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang

telah memberikan bimbingan, pengarahan, saran, dukungan, dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan ini.

8. I Gusti Ngurah Parwata,SH.,MH., selaku Dosen Pembimbing II yang

telah memberikan bimbingan, pengarahan, saran, dukungan, dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan ini.

9. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah

menuntun dan memberikan ilmu pengetahuan selama kuliah sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini.

10. Bapak dan Ibu Staf Perpustakaan, Staf Laboratorium, dan Tata Usaha yang

telah memberikan bantuan selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

11. Dewan Penguji Skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk menguji

skripsi ini.

12. Keluarga penulis I Wayan Setia, S.H (bapak), Ni Putu Janawati, S.H.,M.H

(ibu), Gita Setyana, dan Tria Setyana terimakasih atas doa dan dorongan morilnya kepada penulis selama mengikuti pendidikan.

13.Kepada sahabat-sahabat seperjuangan penulis Edy Bun, Ika, Mia, Edes, Prila,

Srigati, Cintya, Dewi, Gek Emik, Jerry yang sudah memberi dukungan dan semangat dari awal perkuliahan hingga pada penyelesaian skripsi ini.


(8)

viii

Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak kekurangan dalam penelitian

ini, semoga dikemudian hari penulis dapat lebih meningkatkan

kemampuannnya.Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat.

Denpasar, 11 April 2016


(9)

(10)

x DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN ... i

HALAMAN SAMPUL DALAM ... ii

HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iv

HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... v

KATA PENGANTAR ... vi

HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... ix

DAFTAR ISI ... x

ABSTRAK ... xiv

ABSTRACT ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 11

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 11

1.4 Tujuan Penelitian ... 12

1.4.1 Tujuan umum ... 12

1.4.2 Tujuan Khusus ... 12

1.5 Manfaat Penelitian ... 13

1.5.1 Manfaat teoritis ... 13


(11)

1.6 Landasan Teoritis ... 13

1.7 Metode Penelitian ... 18

1.7.1 Jenis penelitian ... 18

1.7.2 Jenis pendekatan... 19

1.7.3 Sumber bahan hukum ... 21

1.7.4 Teknik pengumpulan bahan hukum ... 21

1.7.5 Teknik analisa bahan hukum ... 21

BAB II TINJAUAN UMUM ... 23

2.1 Keadilan Restoratif ... 23

2.1.1 Pengertian keadilan restoratif ... 23

2.1.2 Pendekatan dan prinsip keadilan restoratif ... 25

2.2 Korban Tindak Pidana ... 28

2.2.1 Pengertian dan tipelogi korban ... 28

2.2.2 Pengertian tindak pidana ... 31

2.2.3 Akibat menjadi korban tindak pidana ... 33

2.3 Proses Peradilan Pidana ... 35

BAB III PERAN NEGARA DALAM PROSES PERADILAN PIDANA UNTUK MEMENUHI HAK-HAK KORBAN DARI SUATU TINDAK PIDANA YANG BERSIFAT KONVENSIONAL ………. ... 39


(12)

xii

3.1 Fungsi dan Wewenang Penegak Hukum dalam Proses Peradilan

Pidana ... 39

3.1.1 Fungsi dan wewenang lembaga kepolisian ... 40

3.1.2 Fungsi dan wewenang lembaga kejaksaan ... 42

3.1.3 Fungsi dan wewenang lembaga pengadilan ... 43

3.2 Peran Negara untuk Memenuhi Hak-Hak Korban dari Suatu Tindak Pidana ... 44

3.2.1 Peran kepolisian selaku penyidik dalam memenuhi hak-hak korban dari suatu tindak pidana ... 45

3.2.2 Peran kejaksaan selaku penuntut umum dalam memenuhi hak-hak korban dari suatu tindak pidana ... 47

3.2.3 Peran pengadilan selaku hakim dalam memenuhi hak-hak korban dari suatu tindak pidana ... 48

BAB IV WUJUD KEADILAN RESTORATIF BAGI KORBAN SUATU TINDAK PIDANA YANG BERSIFAT KONVENSIONAL DALAM PROSES PERADILAN PIDANA ... 55

4.1 Pemberian Restitusi dan Kompensasi ... 56

4.1.1 Pengaturan ganti kerugian terhadap korban dalam KUHP ... 60

4.1.2 Pengaturan ganti kerugian terhadap korban dalam KUHAP ... 61


(13)

4.3 Pelayanan atau Bantuan Medis ... 65

4.4 Pendampingan atau Bantuan Hukum ... 67

BAB V PENUTUP ... 70

5.1 Kesimpulan ... 70

5.2 Saran ... 70 DAFTAR PUSTAKA


(14)

xiv ABSTRAK

Terjadinya berbagai tindak pidana berdampak pada jatuhnya korban yang tentunya menimbulkan berbagai bentuk kerugian baik kerugian materiil, fisik maupun psikis. Berkaitan dengan pemeriksaan tindak pidana, sering kali korban hanya diposisikan sebagai pemberi kesaksian, sebagai pelapor dalam proses penyidikan dan sebagai sumber informasi atau sebagai salah satu kunci penyelesaian perkara. Diharapkan antara tersangka dengan korban tindak pidana dalam proses peradilan pidana mempunyai kedudukan yang sama, kenyataan undang-undang lebih memperhatikan hak-hak pelaku tindak pidana. Hak-hak korban tidak diatur secara terinci dalam undang-undang sehingga disini nampak adanya kekosongan hukum.

Keadilan restoratif merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya itu sendiri.Korban dari suatu tindak pidana pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita, namun tidak memperoleh perlindungan sebagaimana yang diperoleh oleh pelaku tindak pidana sesuai yang diberikan oleh undang-undang.

Berdasarkan uraian diatas dapat diangkat judul skripsi “Keadilan

Restoratif bagi korban dari suatu tindak pidana dalam proses peradilan pidana”,

dengan permasalahan yaitu bagaimana peran negara memenuhi hak-hak korban tindak pidana dalam proses peradilan pidana dan bagaimana wujud keadilan restoratif bagi korban tindak pidana yang bersifat konvensional.

Metode penelitian dalam tulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum dengan menelaah suatu undang-undang (KUHAP). Sedangkan jenis pendekatan digunakan adalah pendekatan

perundang-undangan (the statute approach) dan pendekatan analisa konsep hukum

(analytical & conceptual approach) yang artinya suatu masalah akan dilihat dengan menelaah semua undang-undang dan menganalisa konsep hukum.

Landasan teori yang digunakan adalah teori keadilan restoratif, serta pendapat ahli hukum pidana Muladi tentang argument kontrak sosial dan argument solidaritas sosial dan dengan pendekatan model pelayanan. Peran negara dalam memenuhi hak-hak korban tindak pidana dalam proses peradilan pidana ditingkat penyidikan adalah menangkap dan menahan pelaku tindak pidana, ditingkat penuntutan memberikan hak kepada saksi untuk tidak hadir dalam persidangan dengan membacakan Berita Acara Pemeriksaan saksi yang sudah disumpah dalam Pasal 172 dan 173 KUHAP, peran hakim antara lain menjatuhkan pidana bersyarat terhadap pelaku diatur dalam Pasal 14 huruf c, Pasal 166, Pasal 178 ayat (1), Pasal 178 ayat (2) KUHAP). Sedangkan wujud keadilan restoratif bagi korban tindak pidana yang bersifat konvensional dengan pemberian restitusi dan kompensasi, adanya konseling, adanya pelayanan atau bantuan medis, dan pendampingan atau bantuan hukum.

Kata kunci: keadilan restoratif, korban tindak pidana, proses peradilan pidana.


(15)

ABSTRACT

The occurrence of various criminal acts have an impact on casualties that would cause various forms of losses for both material losses, physical and psychological. In connection with the examination of criminal offenses, often victims only positioned as giving testimony, as the complainant in the investigation process and as a source of information or as one of the keys for settling disputes.Expected between the accused and victims of crime in criminal proceedings has the same position, the fact the legislation more attention to the rights of the offender. The rights of victims are not set out in detail in the legislation so that here appear to have legal vacuum.

Restorative justice is an approach that focuses on the creation of conditions of fairness and balance to the offender and the victim itself. The victim of a criminal act is basically being worst affected, but did not obtain protection as that obtained by the criminal they are given by law.

Based on the description above can be lifted thesis title "Restorative Justice for the victims of an offense in the criminal justice process", the problem is how the role of the state fulfill the rights of victims of crime in the criminal justice process and how a form of restorative justice for victims of criminal acts that are conventional.

The research method in this paper uses normative legal research methods, namely legal research by studying for a law (Criminal Procedure Code). While this type of approach used is the approach of legislation (the statute approach) analysis of legal concepts and approaches (analytical and conceptual approach) which means that a problem will be seen by examining all the legislation and analyzing the draft law.

The cornerstone of the theory used the theory of restorative justice, as well as criminal law Muladi expert opinion on the social contract argument and the argument of social solidarity and with a service model approach. The state's role in fulfilling the rights of victims of crime in the criminal justice process in the investigation was arrested and detained perpetrators of criminal acts, level of prosecution gives the right to the witness not to attend the hearing by reading the Minutes of examination of witnesses who have been sworn to in Article 172 and 173 Criminal Procedure Code , the role of judges among other things conditional convict the perpetrator stipulated in Article 14 letter c, Article 166, Article 178 paragraph (1), Article 178 (2) criminal Procedure Code). While a form of restorative justice for victims of crime that is conventional with restitution and compensation, their counseling, their service or medical assistance, and assistance or legal aid.


(16)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warganegara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Begitu pula dalam proses peradilan pidana, antara tersangka atau terdakwa dengan pelapor atau saksi korban dari suatu tindak pidana diharapkan mempunyai kedudukan yang sama dalam proses hukum dalam rangka mencari keadilan. Saksi korban dari suatu tindak pidanaakan memberikan kesaksian untuk mengungkap tindak pidana disamping dukungan dari alat bukti lain. Untuk memberantas suatu kejahatan harus ada kesaksian, dan untuk mendapatkan kesaksian yang benar diperlukan saksi dan/ atau saksi korban yang berani bersaksi secara jujur dalam mengungkap kebenaran tentang apa yang dilihat, didengar dan dialami sendiri. Pada banyak kasus tidak gampang untuk membuat seseorang bersedia menjadi saksi, apalagi pada kasus yang menyangkut kesusilaan seperti pemerkosaan.Hal tersebut dikarenakan adanya perasaan malu, takut dikriminalisasi, rasa takut disakiti, takut dibunuh dan sederet rasa takut lainnya.

Untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat mengungkap tindak pidana, perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan perlindungan


(17)

2

hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang terjadi dan melaporkannya kepada pihak berwajib (penegak hukum) guna mendapatkan rasa keadilan, terlebih bagi korban dari suatu tindak pidana.

Terjadinya berbagai tindak pidana dalam masyarakat merupakan suatu indikasi pula bahwa korban demi korban dari kejahatan itu juga terus berjatuhan dengan berbagai bentuk kerugian yang tidak terelakkan.Kerugian yang timbul itu bisa diderita oleh korban sendiri secara langsung. Jenis kerugian yang diderita korban bukan saja dalam bentuk fisik seperti biaya-biaya yang dikeluarkan untuk penyembuhan luka fisik serta kemungkinan hilangnya pendapatan ataupun keuntungan yang mungkin akan diperoleh, tetapi juga kerugian yang bersifat nonfisik yang susah bahkan mungkin tidak dapat dinilai dengan uang. Hilangnya keseimbangan jiwa, hilangnya semangat hidup dan kepercayaan diri karena kecemasan dan ketakutan dari bayang-bayang kejahatan yang selalu menghantui, adalah salah satu dari sekian banyak kerugian nonfisik yang bisa timbul.

Korban kejahatan pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana, tetapi justru tidak memperoleh perlindungan sebagaimana yang diperoleh oleh pelaku tindak pidana sesuai yang diberikan oleh undang-undang kepada pelaku kejahatan. Akibatnya pada saat pelaku kejahatan telah dijatuhi sanksi pidana oleh pengadilan, kondisi korban kejahatan seperti tidak di pedulikan sama sekali. Padahal masalah keadilan dan penghormatan hak asasi manusia tidak hanya berlaku terhadap pelaku kejahatan saja, tetapi juga terhadap korban kejahatan.


(18)

3

Dalam setiap penanganan perkara pidana, aparat penegak hukum (polisi, jaksa) sering kali dihadapkan pada kewajiban untuk melindungi dua kepentingan yang terkesan saling berlawanan, yaitu kepentingan korban yang harus dilindungi untuk memulihkan penderitaanya karena telah menjadi korban kejahatan (secara mental, fisik, maupun materiil) dan kepentingan tertuduh atau tersangka sekalipun ia bersalah, tetapi ia tetap sebagai manusia yang memiliki hak asasi yang tidak boleh dilanggar, terlebih apabila atas perbuatannya itu belum ada putusan hakim yang menyatakan bahwa pelaku bersalah. Oleh karena itu, pelaku harus dianggap

sebagai orang yang tidak bersalah (asas praduga tidak bersalah).1

Dalam penyelesaian perkara pidana, seringkali hukum terlalu

mengedepankan hak-hak tersangka atau terdakwa, sementara hak korban diabaikan, sebagaimana dikemukakan oleh Andi Hamzah sebagai berikut:

”Dalam membahas hukum acara pidana khususnya yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia, ada kecenderungan untuk mengupas hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak tersangka tanpa memperhatikan pula hak-hak

korban”2

Dalam penyelesaian perkara pidana, apabila dikaji dari tujuan pemidanaan dalam hukum pidana positif, pelaku kejahatan lebih mendapat perhatian seperti

rehabilitasi, treatment of offenders, readapsi sosial, pemasyarakatan, dan

lain-lain.3Sedangkan korban kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai,

1

Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatri Gultom, 2006, UrgensiPerlindungan Korban Kejahatan Antara Norma Dan Realita, Raja Grafindo, Jakarta, (selanjutnya disingkat Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom II), hal. 24.

2

Andi Hamzah, 1986, Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Binacipta, Bandung, Hal. 33.

3

C. Maya Indah S., 2014, Perlindungan Korban: Suatu persektif Viktimologi dan Kriminologi, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, hal. 97.


(19)

4

baik perlindungan yang sifatnya materiil maupun imateriil, sebagaimana Geis

berpendapat :”Too much attention has been paid to offenders and their rights, to neglect of the victims.” Korban kejahatan ditempatkan sebagai alat bukti yang memberi keterangan yaitu hanya sebagai saksi sehingga kemungkinan bagi korban

untuk memperoleh keleluasaan dalam memperjuangkan haknya adalah kecil.4

Korban tidak diberi kewenangan dan tidak terlibat secara aktif dalam proses penyidikan maupun dipersidangan sehingga ia kehilangan kesempatan untuk memperjuangkan hak-hak dan memulihkan keadaanya akibat suatu

kejahatan.5

Dalam kaitan pemeriksaan suatu tindak pidana, sering kali korban hanya diposisikan sebagai pemberi kesaksian, sebagai pelapor dalam proses penyidikan

dan sebagai sumber informasi atau sebagai salah satu kunci penyelesaian perkara.6

Sebaliknya, pada saat korban tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai saksi dipersidangan, ia dikenakan sanksi.

Jika disimak pasal demi pasal yang tertera pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP), hanya mengatur tentang hak-hak tersangka, dan sangat tidak seimbang dengan hak-hak korban dari suatu tindak pidana, atau tidak diatur secara jelas apa yang menjadi hak-hak dari korban suatu tindak pidana. Pada KUHAP disana hanya mengatur tentang hak-hak tersangka sejak dalam proses

4

Chaerudin Syarif Fadillah, 2004, Korban Kejahatan Dalam Perspektif Viktimologi dan Hukum Pidana Islam, Ghalia Press, Jakarta, hal. 47.

5


(20)

5

penyidikanhingga sampai dilakukan pemeriksaan ditingkat pengadilan. Ditingkat penyidikan, hak tersangka adalah untuk mendapatkan pendampingan dari penasehat hukum hingga hak tersangka untuk menuntut aparat penegak hukum(penyidik) melalui lembaga praperadilan ketika terjadi kesalahan atau ketidaksahan dalam hal adanya penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, sedangkan hak tersangka ditingkat pengadilan adalah berhak mendapatkan pendampingan penasehat hukum, apalagi ancaman pidana bagi tersangka diatas 5 (lima) tahun menjadi kewajiban bagi negara untuk menyediakan Penasehat Hukum bagi tersangka secara cuma-cuma apabila tersangkanya tidak mampu membayar penasehat hukum. Selama ini keadilan dalam hukum pidana sudah dianggap ditegakkan apabila pelaku tindak pidana sudah dijatuhi sanksi pidana melalui putusan hakim di Pengadilan. Dengan kata lain, kerugian atau penderitaan korban dari suatu tindak pidana dianggap sudah diimpaskan, dibayar atau dipulihkan oleh pelaku tindak pidana apabila pelaku tindak pidana telah menjalani pidananya di lembaga pemasyarakatan.Sanksi

pidana lebih merupakan “pembayaran atau penebusan” kesalahan pelaku kepada

negara daripada wujud pertanggungjawaban pelaku atas perbuatan jahatnya kepada korban.

Mengenai kepentingan korban, apakah dengan di pidananya si pelaku, kepentingan dan kerugian korban telah tercapai pemenuhannya. Belum tentu hal itu dapat dipenuhi dengan cara penjatuhan pidana terhadap pelaku. Korban kejahatan adalah merupakan pihak yang langsung mengalami penderitaan atau kerugian akibat dari suatu tindak pidana, sedangkan pelaku adalah pihak yang


(21)

6

mendapatkan atau berusaha mendapatkan keuntungan dari kejahatannya, sebagai pihak yang mengalami penderitaan, korban justru sering dilupakan oleh aparat penegak hukum, khususnya polisi, jaksa dan hakim. Fokus perhatian dan energi aparat penegak hukum hampir selalu terkonsentrasi pada pelaku. Meskipun demikian apabila hal ini dianggap suatu kesalahan, maka kesalahan tersebut tidak seluruhnya dapat ditimpakan kepada aparat penegak hukum karena aparat penegak hukum dalam proses peradilan pidana menerapkan aturan hukum pidana yang selama ini menjadi acuan yang dipegang yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Selebihnya hak korban dari suatu tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP hanya ada dalam hal untuk menuntut adanya penghentian penyidikan, dan penghentian penuntutan melalui lembaga praperadilan.

Hukum pidana yang dibangun atas dasar fiksi hukum, negara mengambil alih peranan penuntutan yang menjadi hak korban dengan alasan untuk meminimalkan potensi pembalasan yang bersifat personal dan untuk pemidanaan yang tepat atas dasar pertimbangan rasional demi korban dan masyarakat secara

keseluruhan.7Hak dari korban tindak pidana hanya diwakili oleh negara, pada

tingkat pemeriksaan hak korban telah diwakili oleh penyidik (Polri), pada tingkat penuntutan hak korban diwakili oleh penuntut umum (Jaksa) dan pada tingkat persidangan hak korban telah diwakili oleh pengadilan (Hakim).Seperti halnya

7


(22)

7

peran jaksa penuntut umum untuk melakukan upaya hukum apabila putusan yang dijatuhi oleh hakim terhadap terdakwa dirasa tidak memenuhi rasa keadilan.Kadangkala peranan negara untuk memperjuangkan hak korban dari suatu tindak pidana dirasa kurang memuaskan, karena kemungkinan-kemungkinan adanya ketidakseriusan dari aparat negara dalam hal ini jaksa penuntut umum untuk memperjuangkan hak korban tindak pidana baik melalui upaya hukum banding, upaya hukum kasasi maupun upaya hukum peninjauan kembali.Substansi maupun prosedur penyelesaian tindak pidana melalui jalur hukum pidana yang selama ini dijalankan hampir tidak membawa manfaat apapun bagi pemulihan penderitaan korban.

Menurut G. Widiartana, ada 2 (dua) alasan penyelesaian tindak pidana melalui jalur hukum pidana tidak membawa manfaat bagi pemulihan penderitaan korban yaitu :

Pertama, yaitu orientasi dalam pemidanaan lebih terfokus pada pelaku (offender oriented) sehingga penderitaan atau kerugian korban diabaikan; kedua, prosedur penyelesaian tindak pidana melalui jalur hukum pidana yang selama ini dijalankan tidak memungkinkan bagi korban untuk turut serta secara aktif menentukan cara bagaimana konflik itu diselesaikan. Bahkan sikap dan tindakan aparat penegak hukum yang menjalankan prosedur penyelesaian perkara pidana seringkali justru menimbulkan

penderitaan lain pada korban (secondary victimization).8

Berpegang pada alasan yang dikemukakan oleh G. Widiartana, kiranya pemerintah perlu membuat suatu kebijakan dibidang penegakan hukum pidana untuk memberikan solusi mendapatkan keadilan bagi korban suatu tindak pidana.

Menurut Muladi, penegakan hukum pidana pada hakekatnya merupakan penegakan kebijakan melalui beberapa tahap:

8


(23)

8

1. Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum oleh badan pembuat undang-undang. Tahap ini dapat pula disebut tahap kebijakan legislatif. 2. Tahap aplikasi yaitu tahap penegakan hukum pidana oleh aparat-aparat

penegak hukum mulai dari Kepolisian sampai pengadilan. Tahap ini dapat pula disebut tahap kebijakan yudikatif.

3. Tahap ekskusi yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkrit oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Tahap ini dapat disebut tahap

kebijakan ekskutif atau administratif.9

Kebijakan dibidang penegakan hukum pidana dalam rangka memperoleh keadilan bagi korban tindak pidana hendaknya dimulai dari tahap formulasi atau tahap legislatif yang nantinya dapat dijadikan payung hukum bagi penegak hukum melaksanakan tahap berikutnya yaitu tahap aplikasi atau tahap yudikatifmulai dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Tidak dapat dipungkiri, kedepannya nanti konflik atau pertikaian dalam kehidupan masyarakat akan terus menjadi fenomena biasa dalam masyarakat, baik yang terkait antara dua individu maupun lebih. Situasi ini akan semakin mempersulit dunia hukum dan peradilan apabila semua konflik, sengketa atau pertikaian itu diproses secara hukum oleh peradilan. Oleh karena itu, perlu dicari upaya-upaya lain dalam prosedur peradilan pidana yang sudah ada, agar masyarakat tidak hanya tergantung pada prosedur yang ada saat ini, namun tetap mendapatkan keadilan dan penyelesaian masalah terutama untuk korban sebagai pihak yang paling dirugikan atau menderita.

Saat ini proses peradilan pidana merupakan konsep yang tidak memberikan perlindungan dan penghargaan kepada kepentingan korban tindak pidana maupun pelaku tindak pidana.

Robert Reif mengemukakan asumsi bahwa:

9

Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponogoro, Semarang, hal. 13.


(24)

9

“The problem of crime, always gets reduced to “what can be done about criminal”. No body asks, “what can be done about victims?” everyone

assume the best way to help the victim is to catch the criminal as though

the offender is the only souce of the victim trouble”. (suatu masalah dalam

hukum pidana, selalu mereduksi “apa yang dapat dilakukan terhadap penjahat” tidak seorangpun bertanya “apa yang dapat dilakukan terhadap

korban”. Setiap orang berasumsi cara yang paling baik untuk membantu korban adalah menangkap penjahat sebagai pemikiran bahwa pelaku

adalah sumber penderitaan korban).10

Konteks diatas, menegaskan perlindungan terhadap korban kejahatan penting eksistensinya.Pada asasnya dapat dikatakan penderitaan korban akibat suatu kejahatan belumlah berakhir dengan penjatuhan dan selesainya hukuman kepada pelaku. Oleh karena itu, maka sistem peradilan pidana hendaknya menyesuaikan, menserasikan kualitas dan kuantitas penderitaan serta kerugian yang diderita korban, sehingga perlu diterapkan konsep keadilan restoratif dalam proses peradilan pidana di Indonesia.

Konsep pendekatan keadilan restoratif merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri.Pendekatan keadilan restoratif diasumsikan sebagai pergeseran paling mutahir dari berbagai model dan mekanisme yang bekerja dalam sistem peradilan pidana dalam menangani

perkara-perkara pidana.Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Basic

Principles yang telah digariskannya menilai bahwa, pendekatan keadilan restoratif adalah pendekatan yang dapat dipakai dalam sistem peradilan pidana yang rasional.

10

Parman Soeparman, 2007, Pengaturan Hak Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana Bagi Korban Kejahatan, Refika Aditama, Bandung, hal. 69.


(25)

10

Menurut Dr. Eva Achjani Zulfa, keadilan restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitik beratkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini.11

Dengan demikian, menurut penulis terkait dengan keadilan yang bisa diperoleh korban dari suatu tindak pidana yang bersifat konvensional dalam proses penegakan hukum di Indonesia belum diatur secara jelas dalam undang-undang tersendiri sehingga disini ditemukan adanya kekosongan hukum dalam rangka mencari keadilan bagi korban suatu tindak pidana. Hak-hak korban dari suatu tindak pidana yang ada saat ini tersebar dalam berbagai undang-undang seperti ada pada Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Seharusnya hak-hak korban dari suatu tindak pidana sudah mendapat perhatian yang sama dengan hak-hak tersangka, seperti hak untuk mendapatkan bantuan hukum baik diminta maupun tidak oleh korban. Hal ini penting mengingat masih rendahnya tingkat kesadaran hukum dari sebagian besar korban yang menderita akibat kejahatan, sikap membiarkan korban kejahatan tidak memperoleh bantuan hukum yang layak dapat mengakibatkan pada semakin terpuruknya kondisi korban kejahatan.

11 Eva Achjani Zulfa, 2009, “


(26)

11

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, penulis tertarik untuk mengangkat tentang hak-hak korban dari suatu tindak pidana khususnya tindak

pidana yang bersifat konvensional dalam judul penelitian tentang “KEADILAN

RESTORATIF BAGI KORBAN DARI SUATU TINDAK PIDANA DALAM PROSES PERADILAN PIDANA

1.2 Rumusan Masalah

Perumusan masalah ini penting dilakukan untuk dapat memfokuskan permasalahan tersebut sehingga sasaran dan tujuan diharapkan dapat tercapai. Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat ditarik isu hukum atau permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana peran negara dalam proses peradilan pidana untuk memenuhi

hak-hak korban dari suatu tindak pidana yang bersifat konvensional?

2. Bagaimana wujud keadilan restoratif bagi korban suatu tindak pidana yang

bersifat konvensional dalam proses peradilan pidana?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Setiap penulisan karya ilmiah perlu ditegaskan mengenai ruang lingkup masalah tentang materi yang diuraikan sehingga jelas batasannya.Hal ini dimaksudkan untuk mencegah agar materi yang dibahas tidak menyimpang dari pokok permasalahan. Pada permasalahanpertama akan dibahas mengenai peran negara dalam hal ini Polisi selaku penyidik, Jaksa selaku jaksa penuntut umum, dan Hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara atau kasus di


(27)

12

pengadilan dalam memenuhi hak-hak dari korban suatu tindak pidana. Tindak pidana yang dimaksud disini adalah tindak pidana yang bersifat konvensional (tindak pidana yang tercantum dalam KUHP), bukan tindak pidana khusus.Sedangkan dalam permasalahan kedua dibatasi dalam hal seperti apa wujud keadilan restoratif bagi korban suatu tindak pidana dalam proses peradilan pidana.

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penulisan ini adalah:

1. Untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi khususnya

pada bidang penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa.

2. Untuk melatih mahasiswa dalam usaha mengungkapkan pemikiran

secara ilmiah melalui tulisan.

3. Untuk dapat mengetahui batasan serta wujud keadilan restoratif

bagi korban dari suatu tindak pidana dalam proses peradilan pidana.

1.4.2 Tujuan Khusus

Tujuan Khusus dari penulisan ini adalah:

1. Untuk mengetahui peran negara dalam proses peradilan pidana

dalam memenuhi hak-hak korban dari suatu tindak pidana.

2. Untuk mengetahui wujud keadilan restoratif bagi korban suatu


(28)

13

1.5 Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Seluruh hasil penelitian ini dibuat untuk memperolehgelar sarjana srata satu (S1) pada Fakultas Hukum Universitas Udayanadan dapat dijadikan sebagai bahan laporan bagi lembaga Fakultas HukumUniversitas Udayana serta dapat digunakan sebagai bahan refrensi pada perpustakaan.

b. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk dijadikan pedoman dalam pembuatan skripsi untuk memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana di tahun-tahun berikutnya dan memberikan pengalaman belajar dan bekerja bagi mahasiswa sehingga mahasiswa mengetahui cara pembuatan skripsi dalam masalah hukum.

1.6 Landasan Teoritis

Pemikiran-pemikiran revolusioner menghendaki perhatian terhadap korban dalam suatu tindak pidana lebih proporsional, tidak saja mengenai peranannya dalam suatu tindak pidana tetapi juga tentang akibat tindak pidana tersebut bagi

korban.12Pemikiran-pemikiran revolusioner akhirnya memunculkan adanya ilmu

baru yang mempelajari tentang korban yang disebut dengan Viktimologi.

Terpinggirkannya kepentingan korban dari suatu tindak pidana dalam

penyelesaian perkara pidana melalui jalur hukum pidana (penal) tersebut tidak

12


(29)

14

terlepas dari dominasi paradigma retributif dalam pembentukan dan penerapan hukum pidana.

Dalam paradigma retributif, kejahatan didefinisikan sebagai perbuatan melanggar aturan-aturan hukum yang ditetapkan oleh negara untuk menjaga

ketertiban, ketentraman, dan keamanan kehidupan masyarakat.13 Konsep utama

dari teori keadilan retributif adalah ganjaran atau hukuman balasan setimpal yang menunjukan prinsip bahwa pidana harus dijatuhkan kepada orang yang menurut rasa keadilan layak dipidana sebanding dengan kejahatan yang dilakukannya, bukan tentang apa yang dianggap perlu untuk tujuan pencegahan atau rehabilitasi.

Sedangkan paradigma restoratif memandang kejahatan bukan hanya sebagai perbuatan melanggar hukum pidana sebagai hukum negara, tetapi juga sebagai suatu perbuatan yang menimbulkan kerugian terhadap korban (viktimisasi).14Persepsi tentang kejahatan menurut paradigma restoratif, mengandung konsekuensi harus dipertimbangkan juga aspek korban dalam penanggulangan kejahatan, sehingga sanksi pidana yang dirumuskan dan kemudian dijatuhkan tidak saja berguna bagi pelaku dan masyarakat luas, tetapi juga berguna bagi pemulihan penderitaan atau kerugian korban.

Muladi, memberikan argumentasi untuk mengedepankan perlindungan

hukum terhadap korban kejahatan berdasarkan argumen kontrak sosial (social

contract argument) dan argumen solidaritas sosial (social solidarity argument).

“Yang pertama menyatakan bahwa negara boleh dikatakan memonopoli

seluruh reaksi sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan-tindakan

13

Ibid, hal 136.

14


(30)

15

yang bersifat pribadi.Maka dari itu bilamana terjadi kejahatan dan membawa korban, maka negara juga harus bertanggungjawab untuk memperhatikan kebutuhan para korban tersebut.Argumen yang kedua menyatakan bahwa, negara harus menjaga warganegaranya dalam memenuhi kebutuhannya apabila warganegaranya mengalami kesukaran, melalui kerjasama dalam masyarakat menggunakan sarana-sarana yang disediakan oleh negara.Hal ini bisa dilakukan baik melalui peningkatan

pelayanan maupun melalui pengaturan hak”.15

Mengenai pengaturan hukum pidana terhadap korban tindak pidana, Muladi secara mendasar memperkenalkan dua model, yakni Model Hak-hak

Prosedural (the procedural rights model) dan Model Pelayanan (the services

model).

“Pada model yang pertama penekanan diberikan pada dimungkinkannya si

korban untuk memainkan peranan aktif didalam proses kriminal atau didalam jalannya proses peradilan. Dalam hal ini si korban kejahatan diberi hak untuk mengadakan tuntutan pidana atau untuk dihadirkan dan didengar disetiap tingkatan sidang pengadilan dimana kepentingannya terkait didalamnya, termasuk hak untuk diminta konsultasi oleh lembaga pemasyarakatan sebelum diberikan lepas bersyarat dan pada akhirnya hak

untuk mengadakan perdamaian atau peradilan perdata”.16

“Selanjutnya pada model pelayanan (service model), penekanan diletakkan pada perlunya diciptakan standar-standar baku bagi pembinaan korban kejahatan yang dapat digunakan oleh polisi, misalnya dalam bentuk pedoman dalam rangka motifikasi kepada korban dan atau kejaksaan dalam rangka penanganan perkaranya, pemberian kompensasisebagai sanksi pidana yang bersifat restitutif dan dampak pernyataan-pernyataan korban sebelum pidana dijatuhkan. Pendekatan ini melihat korban kejahatan sebagai sasaran khusus untuk dilayani dalam kerangka kegiatan

polisi dan para penegak hukum yang lain”.17

Mirian Liebman menyebutkan lima hal yang merupakan pendekatan dalam keadilan restoratif, yaitu:

15

Muladi, Op. Cit., hal 66.

16

Ibid, hal 67.

17


(31)

16

a. Prioritas utama merupakan dukungan dari korban dan pemulihan keadaan seperti sebelum terjadinya tindak pidana. Sistem peradilan pidana secara umum merupakan rangkaian tindakan seperti mengidentifikasi pelaku, menangkap pelaku, menahan pelaku, mengadili dan lalu menghukum mereka. Padahal setelah Mirian melakukan riset kecil terhadap orang yang pernah menjadi korban dari suatu tindak pidana dan apa yang mereka inginkan, apa yang telah diambil oleh para pelaku tindak pidana dikembalikan kepada korban. Hal ini menandakan bahwa hukuman yang dijatuhi kepada pelaku tindak pidana tidak serta merta memulihkan perasaan para korban karena pada dasarnya yang diinginkan para korban dari penegak hukum adalah mendapat informasi dan pengertian apa yang sebenarnya terjadi, mendapat jawaban dari pertanyaan pertanyaan para korban dan mendapat barangnya kembali daripada penjatuhan hukuman kepada pelaku.

b. Pelaku tindak pidana bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya. Pelaku tindak pidana telah mendapatkan sanksi atas apa yang telah diperbuat, tetapi sanksi ini tidak setara dengan apa yang menjadi tanggungjawab atas perbuatannya. Sering terdengar bahwa para pelaku merasa telah selesai dengan hukuman yang telah dijalaninya, padahal dalam kenyataan dampak perbuatannya telah mengakibatkan kerugian materiil terhadap masyarakat atas perbuatan pidana yang telah dilakukannya.Hal yang patut ditanamkan dalam


(32)

17

konsep keadilan restoratif adalah “Ya, saya telah melanggar hukum

dan saya bertanggung jawab atas kerugian akibat perbuatan

saya”.Itulah pandangan awal dari keadilan restoratif.

c. Adanya dialog antar pelaku dan korban untuk mencapai suatu kesepahaman. Sejatinya, korban tindak pidana selalu dikelilingi oleh pertanyaan mengapa si pelaku tega melakukan perbuatan ini?apa tujuan dari pelaku untuk melakukan kejahatan tersebut? apakah pelaku akan mengulangi perbuatannya lagi? Begitu pula dengan pelaku tindak pidana yang dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan ini.

d. Ada upaya untuk menghilangkan kerugian. Cara yang paling tepat dilakukan untuk bertanggung jawab atas kejahatan adalah dengan memulihkan kerugian yang di derita korban.

e. Pelaku dapat melihat kedepan bagaimana caranya agar kelak ia tidak melakukan tindak pidana lagi. Unsur preventif dan perasaan jera jelas ada dalam prinsip ini. Pelaku harus disadarkan bahwa perbuatannya adalah salah dan sangat merugikan orang lain sehingga ia akan

mempertimbangkan untuk tidak melakukan kejahatan itu lagi.18

Terkait dengan permasalahan yang diajukan diatas, maka landasan teoritis yang digunakan untuk menjawab permasalahan diatas adalah dengan melihat kejahatan dari paradigma restoratif.Paradigma restoratif memandang kejahatan bukan hanya sebagai perbuatan melanggar hukum pidana sebagai hukum negara, tetapi juga sebagai suatu perbuatan yang menimbulkan kerugian terhadap korban

18

Miriam Liebman, 2007, Restorative justice: How It Works, Jessica Kingsley Publishers, London, hal. 27 .


(33)

18

(viktimisasi).Sanksi pidana yang dirumuskan dan kemudian dijatuhkan tidak saja berguna bagi pelaku dan masyarakat luas, tetapi juga berguna bagi pemulihan penderitaan atau kerugian korban.

Mengenai pengaturan hukum pidana terhadap korban tindak pidana, lebih

ditekankan pada Model Pelayanan (the services model) yang diperkenalkan oleh

Muladi. Pada Model Pelayanan (service model), penekanan diletakkan pada

perlunya diciptakan standar-standar baku bagi pembinaan korban kejahatan yang dapat digunakan oleh polisi, misalnya dalam bentuk pedoman aturan tersendiri dalam rangka motifikasi kepada korban dan atau kejaksaan dalam rangka penanganan perkaranya, pemberian kompensasi sebagai sanksi pidana yang bersifat restitutif dan dampak pernyataan-pernyataan korban sebelum pidana dijatuhkan. Pendekatan ini melihat korban kejahatan sebagai sasaran khusus untuk dilayani dalam kerangka kegiatan polisi dan para penegak hukum yang lain.

1.7 Metode Penelitian a. Jenis Penelitian

Penulisan ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif.Penelitian hukum normatif bertujuan melakukan penelitian hukum dengan menelaah suatu perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.


(34)

19

Penelitian hukum normatif mencoba menemukan kebenaran berdasarkan

logika keilmuan hukum dari sisi normatif.19Menurut Abdulkadir Muhammad,

penelitian hukum normatif sering juga disebut penelitian hukum dogmatik atau

penelitian hukum teoritis (dogmatic or theoretical law research), yaitu penelitian

hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek yaitu; aspek teori, aspek

sejarah, aspek filosofi, aspek perbandingan, struktur, dan komposisi.20 Dari

perspektif tujuannya, penelitian hukum normatif dibagi menjadi tujuh jenis, yaitu:

1. Penelitian inventarisasi hukum positif

2. Penelitian hukum klinis

3. Penelitian asas-asas hukum

4. Penelitian hukum yang mengkaji sistematika perundang-undangan

5. Penelitian yang menelaah sinkronisasi suatu

perundang-undangan

6. Penelitian perbandingan hukum

7. Penelitian sejarah hukum.21

b. Jenis Pendekatan

Berdasarkan buku pedoman Fakultas Hukum Universitas Udayana, penelitian normatif umumnya mengenal 7 (tujuh) jenis pendekatan, antara lain:

a. Pendekatan Kasus (the case approach);

b Pendekatan Perundang-undangan (the statute approach);

c. Pendekatan Fakta (the fact approach);

19

Johny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodelogi Hukum Normatif, Bayu Medik Publishing, Malang, hal. 57.

20

Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bahakti, Bandung, hal. 101.

21

Amiruddin, H. Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, P.T. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 123.


(35)

20

d. Pendekatan Analisa Konsep Hukum (analitycal &conseptual

approach);

e. Pendekatan Frasa (words & phrase approach);

f. Pendekatan Sejarah (historical approach);

g. Pendekatan Perbandingan (comparative approach).

Adapun pendekatan terhadap permasalahan dalam penelitian ini

menggunakan pendekatan perundang-undangan (the statute approach) yang

dilakukan dengan menelaah undang-undang dan regulasi yang bersangkut-paut

dengan isu hukum yang sedang ditangani.22

Disamping itu juga dalam membahas permasalahan ini digunakan

pendekatan analisa konsep hukum (analitycal conceptualapproach).Pendekatan

analisa konsep hukumdilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari aturan

hukum yang ada.23Hal itu dilakukan karena memang belum atau tidak ada aturan

hukum untuk masalah yang dihadapi.Dalam menggunakan pendekatan analisa konsep hukum, peneliti perlu merujukprinsip-prinsip hukum.Prinsip-prinsip ini dapat ditemukan dalam pandangan-pandangan sarjana ataupun doktrin-doktrin hukum.Meskipun tidak secara eksplisit, konsep hukum dapat juga ditemukan didalam undang-undang.Disamping dalam perundang-undangan, konsep hukum

dapat juga ditemukan didalam putusan-putusan pengadilan.24

22

Ibid.

23

Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Hal 137.

24


(36)

21

c. Sumber Bahan Hukum

Penulisan ini menggunakan penelitian normatif, sehingga bahan hukum yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat authoritative,

artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah dalam pembuatan

perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.25

2. Bahan hukum sekunder terdiri dari; buku-buku teks (literature), kamus

hukum, jurnal hukum, karya tulis dalam bentuk artikel yang berkaitan dengan hukum, serta bahan jurnal non hukum, seperti buku-buku ilmu politik, filsafat, dan jurnal non hukum lainnya sepanjang mempunyai

relevansi dengan topik penelitian ini, serta internet.26

d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum/ Data

Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penulisan penelitian ini adalah mencatat melalui sistem kartu terhadap data kepustakaan, yaitu berupa undang-undang, artikel-artikel, putusan hakim, dan buku-buku referensi yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini.

e. Teknik Analisis

Sebagaimana sifat penelitian hukum normatif karena yang dianalisis bukanlah data tetapi bahan hukum yang diperoleh lewat penelusuran dengan

25

Ibid, hal. 144.

26


(37)

22

metode sebagaimana tersebut di atas, maka analisis bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan dengan:

1. Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat

dihindari penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum.

2. Teknik evaluasi adalah penelitian berupa tepat atau tidak tepat,

setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan baik yang tertera dalam bahan primer maupun dalam bahan hukum sekunder.

3. Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi

karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Dalam pembahasan permasalahan hukum makin banyak argumen makin menunjukkan kedalaman penalaran hukum.

4. Teknik sistematisasi adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan

suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun yang tidak sederajat.


(38)

23 BAB II

TINJAUAN UMUM

2.1 Keadilan Restoratif

2.1.1 Pengertian keadilan restoratif

Istilah restorative justice merupakan terminologi asing yang baru dikenal

di Indonesia sejak era tahun 1960-an dengan istilah Keadilan Restoratif. Di beberapa negara maju keadilan restoratif bukan sekedar wacana oleh para akademisi hukum pidana maupun kriminologi. Amerika Utara, Australia dan beberapa negara di Eropa keadilan restoratif telah diterapkan dalam tahap proses peradilan pidana yang konvensional, mulai dari tahap penyidikan, penuntutan,

ajudikasi dan tahap eksekusi.27

PBB mendefinisikan keadilan restoratif sebagai a way of responding to

criminals behavior by balancing the needs of the community, the victims and the offender.28 (Sebuah penyelesaian terhadap perilaku pidana dengan cara melaraskan kembali harmonisasi antara masyarakat, korban dan pelaku).

Miriam Liebman mendefinisikkan keadilan restoratif sebagai berikut:29

Restorative justice has become the term generally used for an approach to criminal justice (and other justice systems such as a school diclipinary system) that emphasizes restoring the victim and community rather than punishing the

27

Eriyantouw Wahid, 2009, Keadilan Restoratif Dan Peradilan Konvensional Dalam Hukum Pidana, Universitas Trisakti, Jakarta, hal. 1.

28

Handbook on Restorative Justice Programme, New York: United Nations, 2006, hal. 6.

29

Miriam Liebman, 2007, Restorative justice: How It Works, Jessica Kingsley Publishers, London, hal. 27.


(39)

24

offender” (Keadilan restortif telah menjadi suatu istilah yang sudah umum digunakan dalam pendekatan pemidanaan (sebagai sistem pemidanaan seperti sistem sekolah kedisiplinan) yang menekankan kepada konsep menempatkan kembali korban dan lingkungan kepada keadaan semula dibanding menghukum sang pelaku tindak pidana).

Menurut Eva Achjani Zulfa, keadilan restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisih dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada

pada saat ini.30

Menurut Bagir Manan, secara umum pengertian keadilan restoratif adalah penataan kembali sistem pemidanaan yang lebih adil, baik bagi pelaku, korban

maupun masyarakat.31

Berbagai definisi dari keadilan restoratif dapat diklasifikasikan ke dalam kelompok yang sempit dan luas.Definisi-definisi yang sempit mengutamakan makna pertemuan antar pihak yang berkepentingan dalam kejahatan dan periode sesudahnya, sedangkan definisi-definisi yang luas mengutamakan nilai-nilai kedilan restoratif. Kemudian lahir definisi-definisi yang menggabungkan keduanya dan salah satunya dirumuskan oleh Van Ness dari Canada sebagai

berikut: “Restorative justice is a theory of justice that emphasizes repairing the

30

Eva Achjani Zulfa, 2009, Keadilan Restoratif, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 65.

31

Albert Aries, 2006, Penyelesaian Perkara Pencurian Ringan dan Keadilan Restoratif, Majalah Varia Peradilan, Tahun XX. No. 247, (Penerbit Ikatan Hakim Indonesia, Juni 2006).hal. 3.


(40)

25

harm caused or revealed by criminal behavior. It is best accomplished through inclusive and cooperative process” (Keadilan restoratif adalah teori keadilan yang mengutamakan pemulihan kerugian akibat perilaku jahat, dimana pemulihannya

tuntas melalui proses yang inklusif dan kooperatif).32

Berdasarkan definisi tersebut diatas, dapat dirumuskan bahwa keadilan restoratif merupakan suatu jalan untuk menyelesaikan kasus pidana yang melibatkan masyarakat, korban dan pelaku kejahatan dengan tujuan agar tercapainya keadilan bagi seluruh pihak, sehingga diharapkan terciptanya keadaan yang sama seperti sebelum terjadinya kejahatan dan mencegah terjadinya

kejahatan lebih lanjut.33

2.1.2 Pendekatan dan Prinsip Keadilan Restoratif

Van Ness, seperti yang dikutip oleh Mudzakkir, mengatakan bahwa keadilan restoratif dicirikan dengan beberapa preposisi, yaitu:

a. Kejahatan adalah konflik antar individu yang mengakibatkan kerugian pada korban, masyarakat dan pelaku itu sendiri.

b. Tujuan yang harus dicapai dari proses peradilan pidana adalah melakukan rekonsiliasi diantara pihak-pihak sambil memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan.

32

Johnstone dan Van Ness, 2005, The Meaning of Restorative Justice, Makalah untuk Konfrensi Lima Tahunan PBB ke-11, Workshop 2, Bangkok-Thailand, hal. 2-3.

33

Amelinda Nurrahmah, 2012, Restorative Justice,

http://m.kompasiana.com/amelindanurrahmah/restorative-justice_55101738813311ae33bc6294.


(41)

26

c. Proses peradilan pidana harus dapat memfasilitasi partisipasi aktif para korban, pelanggar dan masyarakat. Tidak semestinya

peradilan pidana didominasi oleh negara dengan

mengesampingkan yang lainnya.34

Keadilan restoratif akan bertentangan dengan asas legalitas dan kepastian

hukum (rechtzakerheid). Hal ini karena keadilan restoratif tidak berfokus pada

hukuman penjara, melainkan pada bagaimana perbaikan atau pemulihan keadaan korban pasca terjadinya suatu tindak pidana.Dalam hal ini, pelaku tindak pidana dapat diwajibkan untuk membayar ganti rugi, melakukan kerja sosial, atau tindakan wajar lainnya yang diperintahkan oleh penegak hukum atau pengadilan.

Pendekatan keadilan restoratif dalam hukum pidana memiliki kekuatan yang mampu memulihkan hubungan antar pihak yang menjadi pelaku dan yang menjadi korban.Juga memiliki kekuatan untuk mencegah adanya permusuhan lebih mendalam antar para pihak dan mendorong rekonsilisasi antara pihak pelaku dan korban secara sukarela. Kekuatan lainnya ialah mendorong adanya partisipasi warga masyarakat lainnya, misalnya anggota keluarga atau tetangga serta menekankan pentingnya peran korban dalam suatu proses menuju keadilan.

Di sisi korban, keadilan restoratif memberi kekuatan untuk memberi kesempatan pada pelaku untuk mengungkapkan rasa penyesalan kepada korban dan lebih baik bila difasilitasi bertemu dalam pertemuan yang dilakukan secara professional.Perspektif keadilan restoratif ini sebagai akibat adanya pergeseran

hukum dari lex talionis atau retributive justice dengan menekankan pada upaya


(42)

27

pemulihan (restorative).Dalam upaya pemulihan korban bilamana dengan pilihan

pendekatan yang lebih retributive dan legalistic sulit untuk mengobati luka

korban. Maka keadilan restoratif berupaya untuk menekankan tanggung jawab

pelaku atas perilakunya yang menyebabkan kerugian orang lain.35

Di sisi bantuan hukum, secara umum tidak selalu tersedia atau kalaupun tersedia biaya pranata hukum tidak murah dan kesadaran akan peran para pihak sendiri dalam menentukan keputusan masih membutuhkan pengalaman dan konsistensinya. Implikasi dari keadilan restoratif ini, diharapkan dapat berkurangnya jumlah orang yang masuk dalam proses peradilan pidana khususnya dalam lembaga pemasyarakatan, berkurangnya beban sistem peradilan pidana dan

meningkatnya partisipasi publik dalam membantu penyelesaian kasus hukum.36

Adapun prinsip-prinsip keadilan restoratif menurut Adrinus Meliala adalah sebagai berikut:

a. Menjadikan pelaku tindak pidana bertanggung jawab memperbaiki kerugian yang ditimbulkan akibat kesalahannya.

b. Memberikan kesempatan kepada pelaku tindak pidana membuktikan kapasitas dan kualitasnya disamping mengatasi rasa bersalahnya secara konstruktif.

c. Melibatkan korban, keluarga dan pihak-pihak lain dalam hal penyelesaian masalah.

35

H. Siswanto Sunarso,2014, Viktimologi dalam sistem peradilan pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 157.

36


(43)

28

d. Menciptakan forum untuk bekerja sama dalam menyelesaikan masalah.

e. Menetapkan hubungan langsung dan nyata antara perbuatan yang dianggap salah atau jahat dengan reaksi sosial yang formal.

2.2 Korban Tindak Pidana

2.2.1 Pengertian dan Tipelogi Korban

Arif Gosita menyatakan secara umum yang dimaksud dengan korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang

bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita.37Mereka disini

dapat berarti individu atau kelompok, baik swasta maupun pemerintah.

Muladi menyatakan yang dimaksud dengan korban adalah orang-orang yang baik secara individu maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana dimasing-masing negara, termasuk penyalahgunaan

kekuasaan.38

Menurut Deklarasi PBB dalam The Declaration of Basic Principles of

Justice for Victims of Crime and Abuse of Power 1985 dikatakan korban (victims) means person who, individually or collectively, have suffered harm, including

37

Arif Gosita, 1993, Masalah Korban Kejahatan,Akademika Pressindo, Jakarta, hal. 6.

38


(44)

29

physical or mental injury, emotional suffering, economic loss and substantial impairment of their fundamental rights, trough acts or omissions that are in violation of criminal laws operative within member state, including those laws

proscribing criminal abuse of power”(Korban adalah orang-orang baik secara individual maupun kolektif, yang menderita kerugian baik kerugian fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau kerusakan substansial dari hak-hak asasi mereka, yang melanggar hukum pidana yang berlaku disuatu

negara, termasuk peraturan-peraturan yang melarang penyalahgunaan

kekuasaan).39

Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.

Dalam pengertian yang luas korban diartikan sebagai orang yang menderita atau dirugikan akibat pelanggaran baik pelanggaran yang bersifat

hukum pidana (penal) maupun diluar hukum pidana (nonpenal) atau dapat juga

termasuk korban akibat penyalahgunaan kekuasaan (victim abuse of

power).Sedangkan pengertian korban dalam arti sempit dapat diartikan sebagai victim of crime yaitu korban kejahatan yang diatur dalam hukum pidana.Adapun ciri yang melekat dari pengertian korban tersebut adalah bahwa korban

mengalami penderitaan (suffering) dan ketidak adilan (injustice).

39

Lilik Mulyadi, 2008, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif, Teoritis dan Praktek, PT. Alumni, Bandung, hal. 247.


(45)

30

Sellin dan Wolfgang mengemukakan tipologi korban sebagai berikut: 1. Primary victimization adalah korban individual. Jadi korbannya adalah

orang perorangan (bukan kelompok);

2. Secondary victimization,yang menjadi korban adalah kelompok, misalnya badan hukum;

3. Tertiary victimization,yang menjadi korban adalah masyarakat luas; 4. Mutual victimization,yang menjadi korban adalah si pelaku sendiri,

misalnya pelacuran, perzinahan, dan narkotika;

5. No victimization,yang dimaksud bukan berarti tidak ada korban melainkan korban tidak segera dapat diketahui. Misalnya konsumen

yang tertipu dalam menggunakan suatu hasil produksi.40

Dari perspektif ilmu viktimologi, selain mengajak masyarakat untuk lebih memperhatikan posisi korban juga memilah-milah jenis korban hingga kemudian munculah berbagai jenis korban, yaitu sebagai berikut:

a. Nonparticipating victims, yaitu mereka yang tidak peduli terhadap upaya penanggulangan kejahatan;

b. Latent victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu sehingga cinderung menjadi korban;

c. Procative victims, yaitu mereka yang menimbulkan rangsangan terjadinya kejahatan;

d. Participating victims, yaitu mereka yang dengan perilakunya memudahkan dirinya menjadi korban;

e. False victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan yang

dibuatnya sendiri.41

40


(46)

31

2.2.2 Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana

Belanda, yaitu strafbaarfeit.42Kata strafbaarfeit terdiri dari feit yang dalam bahasa

Belanda berarti sebagian dari suatu kenyataan atau een gedeelte van de

werkelijkheid, sedangkan strafbaar berarti dapat dihukum, sehingga secara

harafiah perkataan strafbaarfeit diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu

kenyataan yang dapat dihukum.”43

Menurut Wirjono Prodjodikoro tindak pidana berarti suatu perbuatan yang

pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.44Sedangkan Soerdjono Soekanto

dan Purnadi Purwacaraka, tindak pidana diartikan sebagai sikap tindak pidana atau perilaku manusia yang masuk kedalam ruang lingkup tingkah laku perumusan kaidah hukum pidana yang melanggar hukum dan didasari

kesalahan.45

Seorang ahli hukum pidana, yaitu Moeljatno yang berpendapat bahwa pengertian tindak pidana yang menurut istilah beliau yakni perbuatan pidana

adalah: ”Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai

42

Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana I; Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, P.T Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 67.

43

P. A. F Lamintang, 1984, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, hal. 172.

44

Wirjono Prodjodikoro, 1986, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Eresco, Bandung, hal. 55.

45

Soerdjono Soekanto dan Purnadi Purwacaraka, 1992, Sendi-sendi dan Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 82.


(47)

32

ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar

larangan tersebut.”46

Kanter dan Sianturi, pengertian tindak pidana didefinisikan sebagai suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu, yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang hukum pidana, bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.

Menurut Pompe, pengertian tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tata tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan hukum.Sementara menurut Van Hamel, pengertian tindak pidana ialah suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain.

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian tindak pidana ialah suatu perbuatan yang dilakukan manusia yang dapat bertanggung jawab yang mana perbuatan tersebut dilarang atau diperintahkan atau diperbolehkan oleh undang-undang hukum pidana yang diberi sanksi berupa sanksi pidana.Untuk membedakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana atau bukan tindak pidana ialah apakah perbuatan tersebut diberi sanksi

pidana atau tidak diberi sanksi pidana.47

46

Moeljatno, 1987, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, hal. 54.

47


(48)

33

2.2.3 Akibat Menjadi Korban

Berdasarkan pengertian korban, dapat diketahui bahwa seseorang, kelompok atau masyarakat dikualifikasikan sebagai korban tindak pidana apabila ia mengalami penderitaan, kerugian atau kehilangan akibat dari perbuatan orang atau pihak lain yang melanggar ketentuan-ketentuan pidana dalam undang-undang. Penderitaan atau kerugian yang dialami korban itu bervariasi antara penderitaan atau kerugian materiil, fisik, psikis dan sosial.

Penderitaan atau kerugian materiil dialami korban jika harta benda miliknya hilang dari kekuasaannya atau rusak sehingga nilai kegunaannya berkurang atau lenyap sama sekali. Termasuk dalam kerugian materiil ini adalah hilangnya mata pencaharian, hilangnya atau berkurangnya keuntungan yang seharusnya diperoleh dan biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh korban untuk melakukan pemulihan.

Korban dikatakan mengalami penderitaan fisik apabila badannya mengalami sakit, luka atau cacat akibat kejahatan yang terjadi.Termasuk dalam pengertian ini adalah hilangnya kemerdekaan dan nyawa si korban.

Penderitaan psikis dialami oleh korban apabila tindak pidana, khususnya kejahatan yang terjadi kepadanya mengakibatkan gangguan pada psikis atau kejiwaan, mulai dari tingkat yang paling ringan sampai yang berat.Termasuk dalam cakupan ini adalah munculnya perasaan takut, gelisah dan cemas sebagai akibat dari pengalaman menjadi target kejahatan.

Dikaitkan dengan tindak pidana selain korban mengalami penderitaan materiil, fisik dan psikis, korban tindak pidana kurang dianggap sebagai fungsi


(49)

34

dari proses peradilan pidana. Korban diberitahu bahwa jika ia ingin memulihkan kerugian, ia harus menyewa pengacara dan menuntut di pengadilan sipil. Sistem peradilan pidana tidak untuk kepentingannya tetapi untuk masyarakat.Tujuannya adalah untuk mencegah kejahatan, merehabilitasi penjahat, menghukum penjahat, dan melakukan keadilan, tetapi tidak untuk mengembalikan korban ke keutuhan mereka atau untuk membela mereka. Hukum secara konseptual menegaskan bahwa satu-satunya cara untuk membuat korban tindak pidana menjadi merasakan suatu keadilan adalah dengan memberikan hukuman dan pembalasan yang seberat-beratnya pada pelaku tindak pidana. Namun, hal tersebut tidak selamanya menjadi acuan dan menjadi pedoman dari aparatur penegak hukum untuk menegakan hukum tersebut. Terkadang korban juga membutuhkan alternatif cara lain untuk memperoleh pemenuh dari apa yang disebutnya sebagai keadilan, misalnya dengan retribusi, kompensasi, ataupun restitusi.

Selain itu, seringkali korban juga harus menerima “label” dari masyarakat

yang dapat mempengaruhi kehidupan sosialnya. Berat ringannya penderitaan sosial ini akan sangat tergantung pada penilaian masyarakat terhadap status individu dan struktur sosial yang berlaku.

Dikaitkan dengan upaya pemulihan yang dapat dilakukan oleh korban, penderitaan psikis pada umumnya lebih sulit untuk dipulihkan dibanding dengan pemulihan terhadap jenis penderitaan atau kerugian yang lain. Trauma psikis akan membekas dalam pikiran dan perasaan korban sehingga sulit untuk menyembuhkannya. Sifat lebih sulitnya pemulihan penderitaan psikis itu termasuk juga dalam tenggang waktu yang diperlukan untuk pemulihan serta


(50)

35

biaya yang perlu ditanggung, yang biasanya lebih besar dan waktu pemulihannya lebih lama.

Secara terperinci Dionysios D. Spinellis menyebutkan beberapa akibat yang dialami oleh seseorang yang menjadi korban tindak pidana, yaitu:

a. bodily injures or deterioration of health; b. loss of property of damage to it;

c. loss of income;

d. damage to reputation;

e. disturbance of marriage and family; f. phychic or emotional consequences.48

2.3 Proses Peradilan Pidana

Hukum acara pidana di Indonesia diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yakni Undang-Undang Nomer 8 Tahun 1981, yang diundangkan dalam Lembar Negara (LN) No. 76/1981 dan penjelasan dalam Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia (TLNRI) No. 3209. Dengan diundangkannya Undang-undang tentang Hukum Acara Pidana Nasional tersebut, maka bangsa Indonesia telah selangkah lebih maju dalam usaha mengadakan pembaharuan hukum, yaitu dari hukum kolonial menjadi hukum nasional. Undang-undang yang lebih dikenal dengan KUHAP ini menjelaskan suatu

perombakan total dari Hukum Acara Pidana Kolonial yaitu HIR (Herzienne

Indische Reglement). KUHAP memuat perubahan yang sangat mendasar dalam aturan secara pidana dan secara konseptual obyektifitas, keprofesionalan aparat penegak hukum dalam melindungi hak asasi manusia.

48


(51)

36

Ditinjau dari dimensi lain maka sistem peradilan pidana yang berlandaskan KUHAP memiliki asas-asas sebagai berikut:

1. Perlakuan yang sama didepan hukum bagi setiap orang (equality

before the law);

2. Praduga tidak bersalah (presumption of innoncent)

3. Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi;

4. Hak untuk memperoleh bantuan hukum;

5. Hak adanya kehadilan terdakwa didepan persidangan;

6. Peradilan bebas dilakukan secara cepat, sederhana dan biaya ringan;

7. Peradilan terbuka untuk umum;

8. Pelanggaran hak-hak warga negara (penangkapan, penahanan,

pengeledahan dan penyitaan) harus didasarkan pada undang-undang yang dilakukan dengan surat perintah tertulis;

9. Hak seorang tersangka untuk diberitahu tentang persangkaan dan

dakwaan terhadapnya; dan

10.Kewajiban pengadilan untuk mengamati pelaksanaan putusannya.49

Dalam pandangan sistem peradilan pidana, terdapat beberapa institusi penegak hukum yang ikut mengambil peran dalam melakukan proses peradilan pidana. Proses pidana dilalui dalam berbagai tahapan yang masing-masing tahapan diwadahi oleh institusi dengan struktur dan kewenangan sendiri-sendiri. Dengan melalui berbagai institusi, maka proses peradilan pidana dimulai dari

49

Lilik Mulyadi, 2010, Kompilasi Hukum Pidana dalam Prespektif Teoritis dan Praktek Peradilan, CV. Mandar Maju, Jakarta, hal. 85.


(52)

37

institusi Kepolisian, diteruskan ke institusi Kejaksaan, sampai ke institusi Pengadilan dan berakhir di institusi Lembaga Pemasyarakatan. Masing-masing institusi ini bertanggung jawab dan bekerja sesuai dengan tugas dan kewajibannya untuk mencapai tujuan mewujudkan keadilan sebagaimana yang dicita-citakan

oleh semua pihak.50

Keseluruhan rangkaian proses peradilan pidana dapat dikelompokan menjadi 4 (empat) tahap, yakni: 1) Tahap penyelidikan dan penyidikan, yang menjadi tanggung jawab institusi Kepolisian; 2) Tahap penuntutan, yang menjadi tanggung jawab institusi Kejaksaan; 3) Tahap Pemeriksaan, Mengadili dan Memutus, yang menjadi tanggung jawab institusi Pengadilan; dan 4) Tahap eksekusi, yang menjadi tanggung jawab institusi Lembaga Pemasyarakatan.

Hakekat aparat penegak hukum tersebut memiliki hubungan erat satu sama

lain sebagai suatu proses (criminal justice process) yang dimulai dari proses

penangkapan, pengeledahan, penahanan, penuntutan, pembelaan dan pemeriksaan dimuka sidang pengadilan serta diakhiri dengan pelaksanaan pidana di lembaga pemasyarakatan. Apabila dikaji dan dianalisis lebih intens hakekatnya penyelesaian perkara pidana berdasarkan KUHAP mengenal 4 (empat) proses

pentahapan, yaitu: Pertama,proses penyelesaian perkara pidana dimulai dengan

suatu penyelidikan oleh penyelidik. Kedua, dalam proses penyelesaian perkara

pidana berupa penangkapan (Bab V bagian Kesatu Pasal 16-19 KUHAP). Ketiga,

proses penyelesaian perkara pidana berupa penahanan (Bab V bagian Kedua Pasal

20-31 KUHAP).Keempat, proses penyelesaian perkara pidana berupa

50


(53)

38

pemeriksaan dimuka sidang pengadilan yang diawali pemberitahuan untuk datang kesidang pengadilan setelah dipanggil secara patut dan sah menurut

undang-undang (Pasal 145, 146 KUHAP).51


(1)

2.2.3 Akibat Menjadi Korban

Berdasarkan pengertian korban, dapat diketahui bahwa seseorang, kelompok atau masyarakat dikualifikasikan sebagai korban tindak pidana apabila ia mengalami penderitaan, kerugian atau kehilangan akibat dari perbuatan orang atau pihak lain yang melanggar ketentuan-ketentuan pidana dalam undang-undang. Penderitaan atau kerugian yang dialami korban itu bervariasi antara penderitaan atau kerugian materiil, fisik, psikis dan sosial.

Penderitaan atau kerugian materiil dialami korban jika harta benda miliknya hilang dari kekuasaannya atau rusak sehingga nilai kegunaannya berkurang atau lenyap sama sekali. Termasuk dalam kerugian materiil ini adalah hilangnya mata pencaharian, hilangnya atau berkurangnya keuntungan yang seharusnya diperoleh dan biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh korban untuk melakukan pemulihan.

Korban dikatakan mengalami penderitaan fisik apabila badannya mengalami sakit, luka atau cacat akibat kejahatan yang terjadi.Termasuk dalam pengertian ini adalah hilangnya kemerdekaan dan nyawa si korban.

Penderitaan psikis dialami oleh korban apabila tindak pidana, khususnya kejahatan yang terjadi kepadanya mengakibatkan gangguan pada psikis atau kejiwaan, mulai dari tingkat yang paling ringan sampai yang berat.Termasuk dalam cakupan ini adalah munculnya perasaan takut, gelisah dan cemas sebagai akibat dari pengalaman menjadi target kejahatan.

Dikaitkan dengan tindak pidana selain korban mengalami penderitaan materiil, fisik dan psikis, korban tindak pidana kurang dianggap sebagai fungsi


(2)

dari proses peradilan pidana. Korban diberitahu bahwa jika ia ingin memulihkan kerugian, ia harus menyewa pengacara dan menuntut di pengadilan sipil. Sistem peradilan pidana tidak untuk kepentingannya tetapi untuk masyarakat.Tujuannya adalah untuk mencegah kejahatan, merehabilitasi penjahat, menghukum penjahat, dan melakukan keadilan, tetapi tidak untuk mengembalikan korban ke keutuhan mereka atau untuk membela mereka. Hukum secara konseptual menegaskan bahwa satu-satunya cara untuk membuat korban tindak pidana menjadi merasakan suatu keadilan adalah dengan memberikan hukuman dan pembalasan yang seberat-beratnya pada pelaku tindak pidana. Namun, hal tersebut tidak selamanya menjadi acuan dan menjadi pedoman dari aparatur penegak hukum untuk menegakan hukum tersebut. Terkadang korban juga membutuhkan alternatif cara lain untuk memperoleh pemenuh dari apa yang disebutnya sebagai keadilan, misalnya dengan retribusi, kompensasi, ataupun restitusi.

Selain itu, seringkali korban juga harus menerima “label” dari masyarakat yang dapat mempengaruhi kehidupan sosialnya. Berat ringannya penderitaan sosial ini akan sangat tergantung pada penilaian masyarakat terhadap status individu dan struktur sosial yang berlaku.

Dikaitkan dengan upaya pemulihan yang dapat dilakukan oleh korban, penderitaan psikis pada umumnya lebih sulit untuk dipulihkan dibanding dengan pemulihan terhadap jenis penderitaan atau kerugian yang lain. Trauma psikis akan membekas dalam pikiran dan perasaan korban sehingga sulit untuk menyembuhkannya. Sifat lebih sulitnya pemulihan penderitaan psikis itu termasuk juga dalam tenggang waktu yang diperlukan untuk pemulihan serta


(3)

biaya yang perlu ditanggung, yang biasanya lebih besar dan waktu pemulihannya lebih lama.

Secara terperinci Dionysios D. Spinellis menyebutkan beberapa akibat yang dialami oleh seseorang yang menjadi korban tindak pidana, yaitu:

a. bodily injures or deterioration of health; b. loss of property of damage to it;

c. loss of income;

d. damage to reputation;

e. disturbance of marriage and family; f. phychic or emotional consequences.48

2.3 Proses Peradilan Pidana

Hukum acara pidana di Indonesia diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yakni Undang-Undang Nomer 8 Tahun 1981, yang diundangkan dalam Lembar Negara (LN) No. 76/1981 dan penjelasan dalam Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia (TLNRI) No. 3209. Dengan diundangkannya Undang-undang tentang Hukum Acara Pidana Nasional tersebut, maka bangsa Indonesia telah selangkah lebih maju dalam usaha mengadakan pembaharuan hukum, yaitu dari hukum kolonial menjadi hukum nasional. Undang-undang yang lebih dikenal dengan KUHAP ini menjelaskan suatu perombakan total dari Hukum Acara Pidana Kolonial yaitu HIR (Herzienne Indische Reglement). KUHAP memuat perubahan yang sangat mendasar dalam aturan secara pidana dan secara konseptual obyektifitas, keprofesionalan aparat penegak hukum dalam melindungi hak asasi manusia.

48


(4)

Ditinjau dari dimensi lain maka sistem peradilan pidana yang berlandaskan KUHAP memiliki asas-asas sebagai berikut:

1. Perlakuan yang sama didepan hukum bagi setiap orang (equality before the law);

2. Praduga tidak bersalah (presumption of innoncent)

3. Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi; 4. Hak untuk memperoleh bantuan hukum;

5. Hak adanya kehadilan terdakwa didepan persidangan;

6. Peradilan bebas dilakukan secara cepat, sederhana dan biaya ringan; 7. Peradilan terbuka untuk umum;

8. Pelanggaran hak-hak warga negara (penangkapan, penahanan, pengeledahan dan penyitaan) harus didasarkan pada undang-undang yang dilakukan dengan surat perintah tertulis;

9. Hak seorang tersangka untuk diberitahu tentang persangkaan dan dakwaan terhadapnya; dan

10.Kewajiban pengadilan untuk mengamati pelaksanaan putusannya.49

Dalam pandangan sistem peradilan pidana, terdapat beberapa institusi penegak hukum yang ikut mengambil peran dalam melakukan proses peradilan pidana. Proses pidana dilalui dalam berbagai tahapan yang masing-masing tahapan diwadahi oleh institusi dengan struktur dan kewenangan sendiri-sendiri. Dengan melalui berbagai institusi, maka proses peradilan pidana dimulai dari

49

Lilik Mulyadi, 2010, Kompilasi Hukum Pidana dalam Prespektif Teoritis dan Praktek Peradilan, CV. Mandar Maju, Jakarta, hal. 85.


(5)

institusi Kepolisian, diteruskan ke institusi Kejaksaan, sampai ke institusi Pengadilan dan berakhir di institusi Lembaga Pemasyarakatan. Masing-masing institusi ini bertanggung jawab dan bekerja sesuai dengan tugas dan kewajibannya untuk mencapai tujuan mewujudkan keadilan sebagaimana yang dicita-citakan oleh semua pihak.50

Keseluruhan rangkaian proses peradilan pidana dapat dikelompokan menjadi 4 (empat) tahap, yakni: 1) Tahap penyelidikan dan penyidikan, yang menjadi tanggung jawab institusi Kepolisian; 2) Tahap penuntutan, yang menjadi tanggung jawab institusi Kejaksaan; 3) Tahap Pemeriksaan, Mengadili dan Memutus, yang menjadi tanggung jawab institusi Pengadilan; dan 4) Tahap eksekusi, yang menjadi tanggung jawab institusi Lembaga Pemasyarakatan.

Hakekat aparat penegak hukum tersebut memiliki hubungan erat satu sama lain sebagai suatu proses (criminal justice process) yang dimulai dari proses penangkapan, pengeledahan, penahanan, penuntutan, pembelaan dan pemeriksaan dimuka sidang pengadilan serta diakhiri dengan pelaksanaan pidana di lembaga pemasyarakatan. Apabila dikaji dan dianalisis lebih intens hakekatnya penyelesaian perkara pidana berdasarkan KUHAP mengenal 4 (empat) proses pentahapan, yaitu: Pertama,proses penyelesaian perkara pidana dimulai dengan suatu penyelidikan oleh penyelidik. Kedua, dalam proses penyelesaian perkara pidana berupa penangkapan (Bab V bagian Kesatu Pasal 16-19 KUHAP). Ketiga, proses penyelesaian perkara pidana berupa penahanan (Bab V bagian Kedua Pasal 20-31 KUHAP).Keempat, proses penyelesaian perkara pidana berupa

50


(6)

pemeriksaan dimuka sidang pengadilan yang diawali pemberitahuan untuk datang kesidang pengadilan setelah dipanggil secara patut dan sah menurut

undang-undang (Pasal 145, 146 KUHAP).51

51