BAB II HAMBATAN PELAKSANAAN PERPANJANGAN SERTIPIKAT HAK GUNA BANGUNAN ATAS TANAH HAK PENGELOLAAN PEMERINTAH KOTA PEKANBARU A. Hak Pengelolaan 1. Pengertian Hak Pengelolaan - Tinjauan Yuridis Tentang Pelaksanaan atas Perpanjangan Sertipikat Hak Guna Bangun

BAB II HAMBATAN PELAKSANAAN PERPANJANGAN SERTIPIKAT HAK GUNA BANGUNAN ATAS TANAH HAK PENGELOLAAN PEMERINTAH KOTA PEKANBARU A. Hak Pengelolaan

1. Pengertian Hak Pengelolaan

  Hak Pengelolaan adalah suatu hak atas tanah yang sama sekali tidak ada istilahnya dalam Undang-Undang Pokok Agraria dan khusus hak ini demikian

  51 pula luasnya terdapat diluar ketentuan dari UUPA .

  Hak Pengelolaan ini lahir dan berkembang sesuai dengan terjadinya perkembangan suatu daerah. Suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa banyak perkantoran yang terdapat di kota-kota besar mempergunakan tanah

  52 dengan Hak Pengelolaan .

  Menurut Effendi Perangin, nama Hak Pengelolaan berasal dari Bahasa Belanda yaitu beheersrecht yang diterjemahkan dengan hak penguasaan. Hak

  53 Penguasaan ini dimiliki oleh Instansi Pemerintah, jawatan atau departemen.

  Menurut R. Atang Ranoemihardja, Hak Pengelolaan adalah Hak atas tanah yang diberikan atas tanah yang dikuasai Negara dan hanya dapat diberikan

  51 52 A.P. Parlindungan, Op.Cit, hlm. 1. 53 Supriadi, Hukum Agraria,Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 148.

  Effendi Perangin, Op.Cit, hlm. 311.

  25 kepada badan-badan hukum Pemerintah atau Pemerintah Daerah baik untuk

  54 dipergunakan untuk usahanya sendiri maupun untuk kepentingan pihak ketiga.

  Menurut Maria S.W. Sumardjono, Hak Pengelolaan (HPL) merupakan “bagian” dari Hak Mengusai Negara (HMN) (sebagian) kewenangannya dilimpahkan kepada pemegang Hak Pengelolaan (HPL). Oleh karena itu, Hak Pengelolaan (HPL) merupakan fungsi/kewenangan publik sebagaimana Hak Mengusai Negara (HMN), dan tidak tepat untuk disamakan dengan “hak” sebagaimana diatur dalam Pasal

  16 UUPA

  55 karena hak atas tanah hanya menyangkut aspek keperdataan.

  Adanya Hak Pengelolaan dalam Hukum Tanah Nasional tidak disebut dalam Undang-Undang Pokok Agraria, secara implisit pengertian itu diturunkan dari Pasal 2 ayat (4) UUPA yang berbunyi sebagai berikut :

  Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah. Kemudian daripada, dalam Penjelasan Umum II (2) UUPA disebutkan

  56

  bahwa: “Kekuasaan Negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh. Dengan berpedoman pada tujuan yang disebutkan di atas, Negara dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau badan- badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya hak milik, hak guna-usaha, hak guna-bangunan, 54 atau hak pakai atau memberikannya dalam pengelolaan kepada suatu

  R. Atang Ranoemihardja, Perkembangan Hukum Agraria Di Indonesia, Aspek-Aspek

Dalam Pelaksanaan UUPA Dan Peraturan Perundangan Lainnya Dibidang Agraria Di Indonesia, Tarsito, Bandung, 1982 hlm. 16. 55 Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya, penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2008 hlm. 202. 56 Penjelasan Umum II (2) UUPA Tahun 1960 Badan Penguasa (Departemen, Jawatan atau daerah Swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing”. Istilah Hak Pengelolaan muncul pertama kali dalam Peraturan Menteri

  Agraria (PMA) Nomor 9 Tahun 1965 Tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara dan Ketentuan-ketentuan Tentang Kebijaksanaan

  57 Selanjutnya. Pada Pasal 2 disebutkan bahwa:

  “Jika tanah negara sebagai dimaksud dengan Pasal 1, selain dipergunakan untuk kepentingan instansi-instansi itu sendiri dimaksudkan juga untuk dapat diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak ketiga, maka hak penguasaan tersebut di atas dikonversi menjadi hak pengelolaan sebagai dimaksud dalam Pasal 5 dan 6, yang berlangsung selama tanah tersebut dipergunakan untuk keperluan itu oleh instansi yang bersangkutan”.

  Dalam pada itu, penegasan tentang hak pengelolaan tercantum dalam

  Pasal 5 Peraturan Menteri Agraria (PMA) Nomor 9 Tahun 1965 Tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara dan Ketentuan-

  58

  ketentuan Tentang Kebijaksanaan Selanjutnya yang berbunyi sebagai berikut: Apabila tanah-tanah negara sebagai dimaksud dalam Pasal 4 di atas, selain dipergunakan oleh instansi-instansi itu sendiri, juga dimaksudkan untuk diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak ketiga, maka oleh Menteri Agraria tanah tersebut akan diberikan dengan hak pengelolaan.

  Pengertian hak pengelolaan ini kemudian dipertegas lagi dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 Tentang Tata Cara Permohonan Dan Penyelesaian Pemberian Hak Atas Bagian-Bagian Tanah Hak Pengelolaan Serta Pendaftarannya. Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri 57 58 Maria S.W. Sumardjono, Ibid, hlm. 199.

Pasal 5 Peraturan Menteri Agraria (PMA) Nomor 9 Tahun 1965 Tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara dan Ketentuan-ketentuan Tentang Kebijaksanaan Selanjutnya

  Nomor 1 Tahun 1977 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “hak pengelolaan “ dalam Peraturan ini adalah:

  

59

  a. Hak Pengelolaan, yang berisi wewenang untuk : 1). Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan; 2). menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan usahanya; 3). menyerahkan bagian-bagian dari tanah itu kepada pihak ketiga menurut persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan pemegang hak tersebut, yang meliputi segi-segi peruntukan, penggunaan, jangka waktu dan keuangannya, dengan ketentuan bahwa pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga yang bersangkutan dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berwenang, sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

  b. Hak Pengelolaan yang berasal dari pengkonversian hak penguasaan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 Tentang “Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara Dan Ketentuan Tentang Kebijaksanaan Selanjutnya” yang memberi wewenang sebagaimana tersebut dalam Ayat (1) di atas dan yang telah didaftarkan di Kantor Sub Direktorat Agraria setempat serta sudah ada sertifikatnya. Bahkan Menurut HM. Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis:

  60

  “Hak Pengelolaan, tidak terdapat istilahnya dalam UUPA, sungguhpun secara substansial hak semacam itu sudah ada jauh sebelum UUPA dan juga dapat ditafsirkan sebagai hak yang diatur dalam Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 16 ayat (1) huruf h UUPA

  Pengertian Hak Pengelolaan, lebih lanjut dapat dilihat pada Peraturan Menteri Negara/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 59 Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 Tentang Tata Cara

  Permohonan Dan Penyelesaian Pemberian Hak Atas Bagian-Bagian Tanah Hak Pengelolaan Serta Pendaftarannya. 60 HM. Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis, Kepemilikan Property Di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1012, Hlm 118

  Tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan, Pasal 1 angka (3) yang menyebutkan bahwa: “Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya”.

2. Subyek dan Obyek Hak Pengelolaan

a. Subyek Hak pengelolaan

  Adapun yang dapat menjadi subyek Hak Pengelolaan pada awalnya hanya Departemen, Jawatan dan Daerah Swatantra. Dalam perkembangan selanjutnya

  61

  dapat diketahui bahwa subyek Hak Pengelolaan adalah :

  1. Badan Penguasa (Departemen, Jawatan, Daerah Swatantra) dan masyarakat-masyarakat hukum adat (Penjelasan Umum UUPA dan Pasal 2 ayat (4) UUPA);

  2. Badan Hukum milik pemerintah yang seluruh modalnya dimiliki Pemerintah/Pemerintah Daerah dalam rangka pembangunan dan Pengembangan wilayah, industri, pariwisata, pelabuhan, perumahan/pemukiman (Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974);

  3. Perum, Persero atau bentuk lain yang bergerak dibidang penyediaan, pengadaan dan pematangan tanah bagi kegiatan usaha (Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974);

  4. Badan Otorita (Keppres Nomor 41 Tahun 1973 Jo. Nomor 94 Tahun 1988).

  Perkembangan selanjutnya tentang subyek hak pengelolaan dapat diketahui dari Pasal 67, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 yang mana dinyatakan bahwa yang dapat sebagai subyek hak pengelolaan adalah: 61 Oloan Sitorus dan H.M. Zaki Sierrad, Op Cit, hlm. 154-155.

  62

  a). Instansi Pemerintah termasuk Pemerintah daerah:

  b). Badan Usaha Milik Negara;

  c). Badan Usaha Milik Daerah;

  d). PT. Persero;

  e). Badan Otorita; f). Badan-badan Hukum Pemerintah lainnya yang ditunjuk Pemerintah.

  Dalam ayat (2) disebutkan bahwa: “Badan-badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan Hak Pengelolaan sepanjang sesuai dengan tugas dan fungsinya berkaitan dengan pengelolaan tanah”.

b. Obyek Hak Pengelolaan

  Menurut Ramli Zein, bahwa dengan berpedoman pada Pasal 2 Undang- Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, maka objek dari hak pengelolaan

  63 seperti juga hak-hak atas tanah lainnya adalah tanah yang dikuasai oleh negara.

  Pendapat yang sama mengenai obyek hak pengelolaan menurut Oloan Sitorus dan H.M. Zaki Sierrad, bahwa berdasarkan pengaturan Hak Pengelolaan di atas, dapat diketahui bahwa Hak Pengelolaan hanya dapat diberikan di atas tanah negara. Oleh karena itu, jika di atas tanah yang akan diberikan Hak Pengelolaan masih ada hak-hak atas tanah yang lain (seperti HGB atau HP,”hak garap”), wajib terlebih dahulu dibebaskan oleh calon pemegang Hak

64 Pengelolaan.

  62 Pasal 67, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 63 Ramli Zein, Hak Pengelolaan Dalam Sistem UUPA, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1995, hlm.63 64 Oloan Sitorus dan H.M. Zaki Sierrad, Op.Cit, hlm. 157

3. Wewenang Pemegang Hak Pengelolaan

  Sehubungan dengan isi wewenang hak pengelolaan, menurut Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 Tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara Dan Ketentuan-Ketentuan Tentang Kebijaksanaan Selanjutnya, Pasal 6 ayat (1) yang berbunyi bahwa:

  Hak Pengelolaan sebagaimana disebut pada Pasal 2 dan Pasal 5 di atas memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk : a. merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah tersebut;

  b. menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya ;

  c. menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dengan hak pakai yang berjangka waktu 6 (enam) tahun; d. menerima uang pemasukan/ganti rugi dan/atau uang wajib tahunan.

  Wewenang pemegang Hak Pengelolaan ini, kemudian diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 Tentang Tata Cara Permohonan Dan Penyelesaian Pemberian Hak Atas Bagian-Bagian Tanah Hak Pengelolaan Serta Pendaftarannya, Pasal 1 ayat (1), pemegang hak pengelolaan mempunyai kewenangan untuk: a). merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan; b). menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan usahanya; c). Menyerahkan bagian-bagian daripada tanah itu kepada pihak ketiga menurut persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan pemegang hak tersebut, yang meliputi segi-segi peruntukan, penggunaan, jangka waktu dan keuangannya, dengan ketentuan bahwa pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga yang bersangkutan dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berwenang, sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Dari ketentuan tersebut di atas dapat diketahui bahwa pemegang Hak

  Pengelolaan selain berwenang untuk menggunakan tanah hak pengelolaan itu untuk keperluan pelaksanaan usahanya, ia berwenang pula untuk menyerahkan bagian-bagian dari tanah hak pengelolaan itu kepada pihak ketiga dengan persyaratan-persyaratan tertentu, baik mengenai peruntukan, penggunaan maupun mengenai jangka waktu dan keuangannya, dengan ketentuan bahwa pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga yang bersangkutan dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berwenang dan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

4. Perjanjian Antara Pemegang Hak Pengelolaan Dengan Pihak Ketiga

  Penyerahan bagian-bagian tanah Hak Pengelolaan kepada pihak ketiga harus diwujudkan dengan membuat perjanjian tertulis antara pemegang tanah Hak Pengelolaan dengan pihak ketiga yang mengajukan permohonan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 Tentang Tatacara Permohonan dan Penyelesaian Pemberian Hak Atas Bagian-bagian Tanah Hak Pengelolaan Serta

65 Pendaftarannya yang berbunyi:

  a). Setiap penyerahan penggunaan tanah yang merupakan bagian dari tanah hak pengelolaan kepada pihak ketiga oleh pemegang hak pengelolaan, baik yang disertai ataupun tidak disertai dengan pendirian bangunan diatasnya, wajib dilakukan dengan pembuatan perjanjian tertulis antara pihak-pihak pemegang hak pengelolaan dan pihak ketiga yang bersangkutan. b).Perjanjian termaksud dalam ayat (1) pasal ini memuat antara lain keterangan mengenai : 65 1). identitas pihak-pihak yang bersangkutan.

Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 Tentang Tata Cara Permohonan Dan Penyelesaian Pemberian Hak Atas Bagian-Bagian Tanah Hak Pengelolaan Serta Pendaftarannya

  2). letak, batas-batas dan luas tanah yang dimaksud. 3). jenis penggunaannya. 4). Hak atas tanah yang dimintakan untuk diberikan kepada Pihak ketiga yang bersangkutan dan keterangan mengenai Jangka waktu serta kemungkinan untuk memperpanjangnya. 5) jenis-jenis bangunan yang akan didirikan diatasnya dan ketentuan mengenai pemilikan bangunan-bangunan tersebut pada berakhirnya hak tanah yang diberikan. 6). Jumlah uang pemasukan dan syarat-syarat pembayarannya. 7). Syarat-syarat lain yang dipandang perlu.

  Hubungan hukum yang menjadi dasar pemberian hak atas tanah oleh pemegang Hak Pengelolaan kepada pihak ketiga dinyatakan dalam Surat Perjanjian Penggunaan Tanah (SPPT). Dalam praktek, SPPT tersebut dapat disebut dengan nama lain, misalnya: Perjanjian penyerahan, penggunaan, dan pengurusan Hak Atas Tanah (selanjutnya disebut “Perjanjian”).

  66 Perjanjian yang dilakukan antara Pemerintah Kota Pekanbaru sebagai

  pemegang Hak Pengelolaan dengan pihak ketiga yang mengajukan permohonan, diwujudkan dengan membuat perjanjian tertulis sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 Tentang Tatacara Permohonan dan Penyelesaian Pemberian Hak Atas Bagian-bagian Tanah Hak Pengelolaan Serta Pendaftarannya. Namun perjanjian yang dilakukan tidak berdasarkan prinsip kesetaraan dan kemandirian masing-masing pihak, sebagaimana lazimnya hubungan hukum dua pihak atau lebih dalam bidang perdata.

67 Pemerintah selaku wakil dari badan hukum

  Menurut Ridwan H.R,

  dapat melakukan tindakan-tindakan hukum keperdataan, namun ketika pemerintah menggunakan instrumen hukum keperdataan, tidak serta 66 Maria S.W. Sumardjono, Op.Cit, hlm. 208. 67 Ridwan H.R, Op.Cit, hlm. 228-230.

  merta terjadi hubungan hukum antara pemerintah dengan seseorang atau badan hukum perdata berdasarkan prinsip kesetaraan dan kemandirian masing-masing pihak, sebagaimana lazimnya hubungan hukum dua pihak atau lebih dalam hukum perdata.

  Dengan kata lain, ketika pemerintah menggunakan instrumen hukum keperdataan, tidak serta merta pemerintah melibatkan diri dalam hubungan hukum berdasarkan hukum perdata. Pemerintah menggunakan instrumen hukum keperdataan sebagai alternatif atau cara dalam rangka menjalankan tugas-tugas pemerintahan, tanpa harus menempatkan diri dalam hubungan hukum yang setara dengan pihak lainnya, sebab dalam hal-hal tertentu pemerintah tidak sepenuhnya dapat melepaskan diri dari misi yang diembannya yang melekat dalam setiap tindakan pemerintah.

  Dengan demikian ada dua kemungkinan kedudukan pemerintah dalam menggunakan instrumen hukum keperdataan, antara lain: a).Pemerintah menggunakan instrumen hukum keperdataan sekaligus melibatkan diri dalam hubungan hukum keperdataan dengan kedudukan yang tidak berbeda dengan seseorang atau badan hukum perdata. b).Pemerintah menggunakan instrumen hukum keperdataan tanpa menempatkan diri dalam kedudukan yang sejajar dengan seseorang atau badan hukum. Dalam hal ini terdapat perjanjian dengan persyaratan yang ditentukan sepihak oleh pemerintah. Secara garis besar, isi Surat Perjanjian Tentang Penyerahan Dan

  Penggunaan Bagian Tanah Diatas Tanah Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Pekanbaru mengatur hal-hal sebagai berikut :

  68

68 Surat Perjanjian Tentang Penyerahan Dan Penggunaan Bagian Tanah Diatas Tanah

  Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Pekanbaru tanggal 13 Juni 2008 Nomor: 05/HPL/2008

  1). Identitas para pihak yang menandatangani Surat Perjanjian yaitu Pemerintah Kota Pekanbaru dalam hal ini diwakili oleh Walikota dan Pihak ketiga.

  2). Lokasi/letak tanah, jalan, Surat Ukur, luas dan batas-batas tanah. 3). Kewajiban pihak ketiga untuk membayar uang pemasukan setiap tahun, dan denda yang harus dibayar jika terlambat membayar uang pemasukan tersebut. 4). Jenis hak yang diberikan, jangka waktu hak yang diberikan dan ketentuan bahwa apabila pihak Pemerintah Kota Pekanbaru menghendaki tanah tersebut maka pihak ketiga tersebut harus melepaskan hak tanah tersebut dan menyerahkannya kepada Pemerintah Kota Pekanbaru. 5). Penyelesaian Sertifikat oleh pihak ketiga tersebut setelah mendapat rekomendasi/persetujuan dari Pemerintah Kota dengan catatan segala akibat, untung rugi serta pajak dan biaya-biaya lain yang timbul menjadi tanggungjawab pihak ketiga.

  6). Berakhirnya hak atas tanah yang diberikan menyebabkan tanah tersebut kembali sepenuhnya menjadi Hak Pemerintah Kota Pekanbaru dan pihak ketiga tersebut menjamin bahwa pada saat pengembalian hak atas tanah beserta bangunan yang ada diatasnya, tanah tersebut bebas dari segala macam bentuk ikatan, sitaan, dan tuntutan hukum atas dasar apapun.

  7). Ketentuan mengenai cedera janji yakni apabila pihak ketiga tersebut tidak mampu atau lalai dalam memenuhi kewajibannya telah terbukti dengan lewatnya waktu sehingga tidak diperlukan surat peringatan (somatie) sehingga Pemerintah Kota berhak mencabut surat penetapan dan penyerahan hak atas tanah.

  8). Apabila pihak ketiga melepaskan haknya sebelum hak atas tanah tersebut berakhir, maka perjanjian menjadi batal dengan sendirinya tanpa diperlukan surat pembatalan dari Pengadilan Negeri dan pihak ketiga tersebut wajib mengembalikan tanah dalam keadaan sebelaum terjadinya perikatan selambat-lambatnya 3 bulan sejak pembatalan. 9). Peralihan hak atas tanah tersebut oleh pihak ketiga kepada pihak lain harus dengan persetujuan Pemerintah Kota Pekanbaru. Untuk memperoleh persetujuan tersebut pihak ketiga harus memberikan pernyataan tertulis tentang alasan atau sebab peralihan itu. Pemerintah Kota Pekanbaru berhak menolak memberikan persetujuan dan atas keputusan penolakan tersebut, pihak ketiga tidak mempunyai hak banding. Apabila permohonan peralihan hak itu disetujui oleh Pemerintah Kota Pekanbaru, maka pihak ketiga diwajibkan membayar biaya peralihan sebesar 5 % ( lima persen) dari jumlah uang pemasukan pada saat itu dan segala biaya yang timbul dari peralihan hak tersebut menjadi beban dan tanggungjawab pihak ketiga sepenuhnya.

  10).Hal-hal yang belum diatur dalam Surat Perjanjian itu, akan ditetapkan kemudian dan apabila ada perselisihan dan atau perbedaan pendapat antara kedua belah pihak akan diselesaikan secara musyawarah. Dalam hal musyawarah mufakat tidak tercapai, maka para pihak sepakat untuk menyelesaikan perselisihan tersebut melalui Pengadilan Negeri Pekanbaru.

  Bentuk Surat Perjanjian Tentang Penyerahan Dan Penggunaan Bagian Tanah Diatas Tanah Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Pekanbaru telah dipersiapkan oleh Pemerintah Kota Pekanbaru, dalam hal ini Bagian Hukum Pemerintah Kota Pekanbaru. Perjanjian tersebut dibuat dibawah tangan. Isi perjanjian tersebut standar atau baku.

  Menurut Shidarta, Perjanjian standar adalah perjanjian yang ditetapkan secara sepihak, yakni oleh produsen/penyalur produk (penjual), dan mengandung ketentuan yang berlaku umum (massal), sehingga pihak yang lain

  69 (konsumen) hanya memiliki dua pilihan: menyetujui atau menolaknya.

  Menurut Mariam Darus Badrulzaman, sebagaimana dikutip oleh Herlien

  70 Budiono, ciri-ciri perjanjian baku adalah sebagai berikut : 69 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT. Grasindo, Jakarta, 2004, hlm. 147. 70 Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang Kenotariatan, PT.

  Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hlm. 136.

  (a) . Isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditor yang posisinya relatif kuat dari debitor. (b). Debitor sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian itu. (c). Terdorong oleh kebutuhannya debitor terpaksa menerima perjanjian itu. (d). Bentuknya tertulis. (e). Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau individual

  Sebagaimana telah dikemukakan di atas, Perjanjian Tentang penyerahan Dan Penggunaan Bagian Tanah Diatas Tanah Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Pekanbaru adalah perjanjian yang dibuat dalam bentuk sedemikian rupa dan isinya baku atau standar. Namun perlu diketahui bahwa perjanjian tersebut bukan bukti peralihan hak atas tanah dari Pemerintah Kota Pekanbaru kepada pihak ketiga yang bersangkutan, melainkan bukti telah terjadi hubungan hukum. Tanah tersebut akan kembali dalam penguasaan Pemerintah Kota Pekanbaru apabila jangka waktu sertifikat hak atas tanah tersebut berakhir.

B. Hak Guna Bangunan

1. Pengertian Hak Guna Bangunan

  Pengertian Hak Guna Bangunan diatur dalam Pasal 35 UUPA juncto Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Menurut ketentuan Pasal 35 UUPA bahwa yang dimaksud dengan Hak Guna Bangunan adalah: a. Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.

  b. Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dalam ayat (1) dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.

  c. Hak Guna Bangunan dapa t beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

  Menurut A.P. Parlindungan, pembatasan dari Hak Guna Bangunan ini adalah untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang

  71 bukan miliknya sendiri.

  Dari defenisi tersebut di atas, dapat diketahui bahwa Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu selama 30 tahun, apabila jangka waktunya berakhir, dapat diperpanjang paling lama 20 tahun serta dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

2. Subyek dan obyek Hak Guna Bangunan

a. Subyek Hak Guna Bangunan

  Subyek Hak Guna Bangunan menurut UUPA Pasal 36 juncto Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah adalah Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

  Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja tentang badan hukum yang dapat memperoleh Hak Guna Bangunan, dua ketentuan tersebut yaitu didirikan menurut ketentuan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia 71 A.P. Parlindungan, Op.Cit , hlm 181. adalah dua unsur yang secara bersama-sama harus ada, jika badan hukum

  72 tersebut ingin mempunyai Hak Guna Bangunan di Indonesia.

b. Obyek Hak Guna Bangunan

  Tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Bangunan menurut ketentuan Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah menentukan

  73

  bahwa: Tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Bangunan adalah :

  1). Tanah Negara; 2). Tanah Hak Pengelolaan; 3). Tanah Hak Milik.

  Lebih lanjut mengenai terjadinya Hak Guna Bangunan atas Tanah Negara dan Tanah Hak Pengelolaan dapat dilihat pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak

  74 Pakai Atas Tanah, yang menyebutkan bahwa:

  a). Hak Guna Bangunan atas tanah negara diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

  b). Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang Hak Pengelolaan.

  72 73 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.Cit, hlm 191-192.

Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah

  74 Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah

  Sedangkan terjadinya Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik

  75

  tercantum dalam Pasal 24 ayat (1) yang menyebutkan bahwa: “Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik terjadi dengan pemberian oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah”.

3. Hak dan Kewajiban pemegang Hak Guna Bangunan

  a. Hak pemegang Hak Guna Bangunan

  Hak pemegang Hak Guna Bangunan dalam hal ini kewenangan secara umum dan kewenangan secara khusus.

  Kewenangan secara umum dapat dilihat pada Pasal 4 ayat (2) UUPA yang menyebutkan bahwa: “hak-hak atas tanah memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-Undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi”.

  Kewenangan secara khusus dapat dilihat pada Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah yang berbunyi: “Pemegang Hak Guna Bangunan berhak menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan selama waktu tertentu untuk mendirikan dan mempunyai bangunan untuk keperluan pribadi atau usahanya serta untuk mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain dan membebaninya”.

  b. Kewajiban pemegang Hak Guna Bangunan

  Kewajiban pemegang Hak Guna Bangunan dapat dilihat pada Pasal 30 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah yang menyebutkan bahwa: 75 Pasal 24 ayat (1) Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak

  Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah

  1) Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya; 2) Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan

  Persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan dan perjanjian pemberiannya; 3) Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup; 4) Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak

  Guna Bangunan kepada Negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sesudah Hak Guna Bangunan itu hapus;

  5) menyerahkan sertifika t Hak Guna Bangunan yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan.

  Pengaturan lebih lanjut mengenai kewajiban pemegang Hak Guna Bangunan tercantum dalam Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah yang menyebutkan bahwa:

  “Jika tanah Hak Guna Bangunan karena keadaan geografis atau lingkungan atau sebab-sebab lain letaknya sedemikian rupa sehingga mengurung atau menutup pekarangan atau bidang tanah lain dari lalu lintas umum atau jalan air, pemegang Hak Guna Bangunan wajib memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung itu”.

4. Peralihan Hak Guna Bangunan

  Pasal 35 ayat (3) Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 secara tegas menyatakan bahwa Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Ketentuan ini selanjutnya dipertegas dalam Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah yang menyatakan bahwa: a). Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. b). Peralihan Hak Guna Bangunan terjadi karena : 1). jual beli; 2). tukar menukar; 3). penyertaan dalam modal; 4). hibah; 5). pewarisan.

  c). Peralihan Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan.

  d). Peralihan Hak Guna Bangunan karena jual beli kecuali jual beli melalui lelang, tukar menukar, penyertaan dalamk modal, dan hibah harus dilakukan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.

  e). Jual beli yang dilakukan melalui pelelangan dibuktikan dengan Berita Acara Lelang.

  f). Peralihan Hak Guna Bangunan karena pewarisan harus dibuktikan dengan surat wasiat atau surat keterangan waris yang dibuat oleh instansi yang berwenang.

  g). Peralihan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan harus dengan persetujuan tertulis dari pemegang Hak Pengelolaan.

  h). Peralihan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik harus dengan persetujuan tertulis dari pemegang Hak Milik yang bersangkutan.

  Dari ketentuan tersebut diatas dapat dilihat bahwa secara tegas dibedakan syarat peralihan Hak Guna Bangunan atas tanah Negara dengan Hak Guna Bangunan yang diberikan di atas tanah Hak Milik atau di atas tanah Hak Pengelolaan.

  Terhadap Hak Guna Bangunan yang diberikan di atas tanah Hak Pengelolaan, setiap perbuatan hukum yang berhubungan dengan Hak Guna Bangunan di atas bidang tanah tersebut, haruslah terlebih dahulu memperoleh persetujuan tertulis dari pemegang Hak Pengelolaan atas bidang tanah tersebut.

5. Pembebanan Hak Tanggungan Atas Hak Guna Bangunan

  Hak Guna Bangunan sebagai hak atas tanah yang dapat dibebankan dengan Hak Tanggungan dapat dilihat pada Pasal 39 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah yang menyatakan bahwa: “Hak Guna Bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan”.

  Ketentuan ini kemudian dipertegas dalam Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah yang menyatakan bahwa:

  a). Hak Guna Bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan. b).Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hapus dengan hapusnya Hak Guna Bangunan.

  Lebih lanjut, ketentuan mengenai pembebanan Hak Tanggungan tersebut dipertegas kembali dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan

  

76

Dengan Tanah, yang menyatakan bahwa:

  (1). Hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah : (a). Hak Milik; (b). Hak Guna Usaha; (c). Hak Guna Bangunan;

  (2). Selain hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga 76 dibebani Hak Tanggungan.

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan

  (3). Pembebanan Hak Tanggungan pada Hak Pakai atas tanah Hak Milik akan diataur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. (4). Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan didalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan. (5). Apabila bangunan, tanaman dan hasil karya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dimiliki oleh pemegang hak atas tanah, pembebanan

  Hak Tanggungan atas benda-benda tersebut hanya dapat dilakukan dengan penandatanganan serta pada Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa untuk itu olehnya dengan akta otentik.

6. Hapusnya Hak Guna Bangunan

  Ketentuan mengenai hapusnya Hak Guna Bangunan dapat ditemukan dalam Pasal 40 UUPA, yang menyatakan bahwa: Hak Guna Bangunan hapus karena :

  a). jangka waktunya berakhir;

  b). Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak terpenuhi; c). Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir; d). dicabut untuk kepentingan umum;

  e). diterlantarkan;

  f). tanahnya musnah; g). ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2).

  Ketentuan Pasal 40 UUPA tersebut di atas selanjutnya dipertegas kembali dalam Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah, yang juga memberikan ketentuan mengenai hapusnya Hak Guna Bangunan, yaitu:

  (1). Berakhirnya jangka waktu sebagimana ditetapkan dalam Keputusan pemberian atau perpanjangannya atau dalam perjanjian pemberiannya; (2). Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang Hak

  Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sebelum jangka waktunya berakhir. karena : (a) tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

  Pasal 30, Pasal 31 dan Pasal 32; atau (b) tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian hak Hak Guna Bangunan antara pemegang Hak Guna Bangunan dan pemegang Hak Milik atau perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan; atau

  (c) putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap; (d). dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir;

  (e). Dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961;

  (f). ditelantarkan; (g). tanahnya musnah;

  Dalam Pasal 36 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah menyebutkan bahwa: “Hapusnya Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 mengakibatkan tanahnya kembali ke dalam penguasaan pemegang Hak Pengelolaan”.

  Lebih lanjut, Pada Pasal 38 disebutkan bahwa:

  77 Apabila Hak Guna

  bangunan atas tanah Hak Pengelolaan atau atas tanah Hak Milik hapus sebagaimana dimaksud Pasal 35, maka bekas pemegang Hak Guna Bangunan wajib menyerahkan tanahnya kepada pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik dan memenuhi ketentuan yang sudah disepakati dalam perjanjian 77 Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak

  Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah penggunaan tanah Hak Pengelolaan atau perjanjian pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik

7. Perpanjangan Hak Guna Bangunan

  Ketentuan mengenai Perpanjangan Hak Guna Bangunan dapat ditemukan dalam Pasal

  26 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah yang menyatakan bahwa: a. Hak Guna Bangunan atas tanah Negara sebagaimana dimaksud dalam

  Pasal 22, atas permohonan pemegang hak dapat diperpanjang atau diperbaharui, jika memenuhi syarat : 1). tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak tersebut; 2) syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak; 3). pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19. 4). tanah tersebut masih sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang bersangkutan.

  b. Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan diperpanjang atau diperbaharui atas permohonan pemegang Hak Guna Bangunan setelah mendapat persetujuan dari pemegang Hak Pengelolaan. Lebih lanjut, pada Pasal 27 ayat (1) dinyatakan bahwa: “Permohonan perpanjangan jangka waktu Hak Guna Bangunan atau pembaharuannya diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka waktu Hak Guna Bangunan tersebut atau perpanjangannya”.

  Dari ketentuan-ketentuan yang telah diuraikan diatas dapat diketahui bahwa pada dasarnya pangaturan tentang Hak Guna Bangunan telah mempunyai dasar hukum yang konkrit.

  

D. Hambatan Pelaksanaan Perpanjangan sertifikat Hak Guna Bangunan

Atas Tanah Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Pekanbaru

  Sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor

  40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai

  78 Atas Tanah yang menyatakan bahwa: “Hak Guna Bangunan atas tanah Hak

  Pengelolaan diperpanjang atau diperbaharui atas permohonan pemegang Hak Guna Bangunan setelah mendapat persetujuan dari pemegang Hak Pengelolaan”.

  Untuk mengetahui masalah yang menghambat perpanjangan sertifikat Hak Guna Bangunan 1 diatas tanah Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Pekanbaru, te

Pasal 26 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak

  1 Pakai Atas Tanah wawancara dengan Sugiarto, selaku Kepala Seksi Hak Tanah Dan Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru, pada tanggal 24 Januari 2012

  rlebih dahulu dipaparkan hasil penelitian mengenai masalah-masalah yang menghambat perpanjangan sertifikat Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan tersebut.

  Dari hasil wawancara dengan Sugiarto selaku Kepala Seksi Hak Tanah Dan Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru, pada tanggal 24 Januari 2012 diperoleh jawaban bahwa masalah–masalah yang menghambat perpanjangan sertifikat Hak Guna Bangunan diatas tanah Hak Pengelolaan

  79 Pemerintah Kota Pekanbaru adalah sebagai berikut:

  1. Pemohon belum melengkapi Persyaratan perpanjangan sertifikat Hak Guna Bangunan atas Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Pekanbaru, sehingga 78 Pasal 26 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna

  Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah 79

wawancara dengan Sugiarto, selaku Kepala Seksi Hak Tanah Dan Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru, pada tanggal 24 Januari 2012 permohonan perpanjangan sertifikat Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Pekanbaru tersebut belum dapat diproses oleh Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru.

  Persyaratan yang dimaksud berdasarkan wawancara berkaitan dengan perpanjangan sertifikat Hak Guna Bangunan diatas tanah Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Pekanbaru, diperoleh keterangan sebagai berikut: Perpanjangan sertifikat Hak Guna Bangunan diatas tanah Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Pekanbaru hanya dapat diproses oleh Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru sepanjang persyaratan yang ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang telah dipenuhi oleh pemohon. Karena kelengkapan persyaratan menjadi syarat mutlak untuk dapat diprosesnya permohonan perpanjangan sertifikat tersebut.

  Lebih lanjut, diperoleh keterangan bahwa persyaratan yang harus dipenuhi oleh pihak ketiga sebagai pemegang sertipikat Hak Guna Bangunan diatas tanah Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Pekanbaru sebelum mengajukan permohonan perpanjangan sertifikat Hak Guna Bangunan, antara lain: a. Untuk Perorangan

  1). Surat Permohonan 2). Identitas diri pemohon dan atau kuasanya Fotocopy KTP

  (Kartu Tanda Penduduk) dan KK (Kartu Keluarga) yang masih berlaku). 3). Bukti tertulis yang membuktikan adanya hak yang bersangkutan yaitu: Sertifikat Hak Guna Bangunan yang akan diperpanjang. 4). SPPT PBB (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak

  Bumi Dan Bangunan) dan STTS (Surat Tanda Terima Setoran) tahun berjalan. 5). IMB ( Ijin Mendirikan Bangunan).

  6). Surat Perjanjian Tentang Penyerahan Dan Penggunaan Bagian Tanah Diatas Tanah Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Pekanbaru dan Petikan Keputusan Walikota Pekanbaru.

  b. Untuk Badan Hukum 1). Surat Permohonan 2). Akta Pendirian beserta bukti pengesahan dari instansi terkait. 3). Identitas diri pemohon dan atau kuasanya Foto copy KTP (Kartu Tanda Penduduk yang masih berlaku). 4). Bukti tertulis yang membuktikan adanya hak yang bersangkutan yaitu: Sertifikat Hak Guna Bangunan yang akan diperpanjang. 5). SPPT PBB (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak

  Bumi Dan Bangunan) dan STTS (Surat Tanda Terima Setoran) tahun berjalan. 6). IMB ( Ijin Mendirikan Bangunan). 7). SITU (Surat ijin Tempat Usaha) 8). SIUP (Surat Ijin Usaha Perdagangan) 9). NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) 10). Surat Perjanjian Tentang Penyerahan Dan Penggunaan

  Bagian Tanah Diatas Tanah Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Pekanbaru dan Petikan Keputusan Walikota Pekanbaru. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, tindakan Kantor Pertanahan Kota

  Pekanbaru menolak permohonan pendaftaran perpanjangan sertifikat Hak Guna Bangunan diatas tanah Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Pekanbaru tanpa adanya surat perjanjian dan penunjukan dari Pemerintah Kota Pekanbaru sebagai pemegang Hak Pengelolaan tersebut adalah tindakan yang benar dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  Disamping itu, terkait dengan perpanjangan dan atau pembaharuan sertifikat Hak Guna Bangunan diatas Tanah Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Pekanbaru menurut keterangan Sugiarto, selaku Kepala Seksi Hak Tanah Dan Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru harus memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam pasal 26 dan pasal 27 Peraturan Pemerintah nomor 40 Tahun 1996, terutama mengenai pengajuannya yaitu diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhir jangka waktu Hak Guna Bangunan tersebut.

  Hal ini penting untuk ditanyakan karena terdapat sertifikat Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Pekanbaru atas nama Henry Yacup yang telah berakhir jangka waktu haknya pada tanggal 23 Oktober 2009, sedangkan permohonan perpanjangan sertipikat Hak Guna Bangunan tersebut diajukan pada tahun 2010, Atas pertanyaan tersebut diperoleh jawaban bahwa:

  Permohonan perpanjangan sertifikat Hak Guna Bangunan diatas tanah Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Pekanbaru yang telah berakhir jangka waktunya tetap diproses, tetapi bukanlah disebut sebagai permohonan perpanjangan hak melainkan pembaharuan hak, asalkan persyaratan yang dibutuhkan telah dilengkapi oleh pemohon dengan ketentuan bahwa pemberian haknya dimulai pada saat jangka waktu berakhirnya.

  Jika dilihat pada Pasal 27 juncto Pasal 47 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah, memang dinyatakan bahwa permohonan perpanjangan jangka waktu Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atau pembaharuannya diajukan selambat- lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka waktu Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai tersebut atau perpanjangannya.

  Ketentuan tersebut kemudian dipertegas dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas tanah Negara Dan Hak Pengelolaan, namun dengan penambahan bahwa sertifikat Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang telah berakhir jangka waktunya masih dapat diajukan permohonan pembaharuan hak.

  Pada Pasal 41 dinyatakan bahwa: ”Permohonan perpanjangan jangka waktu Hak Guna Bangunan diajukan oleh pemegang hak dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun sebelum berakhirnya jangka waktu hak tersebut”. Kemudian pada

  80 Pasal 42 dinyatakan bahwa: ”Sesudah jangka waktu Hak Guna Bangunan atau

  perpanjangannya berakhir kepada pemegang hak dapat diberikan pembaruan Hak Guna Bangunan di atas tanah yang sama”.

  Dari ketentuan tersebut di atas dapat diketahui bahwa permohonan perpanjangan hak diajukan 2 (dua) tahun sebelum jangka waktu berlakunya hak atas tanah yang bersangkutan berakhir, sedangkan jika jangka waktu berlakunya hak yang bersangkutan telah berakhir maka yang diajukan adalah permohonan pembaruan hak.

  Dari hasil penelitian, juga ditemukan pada sertifikat Hak Guna Bangunan yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Pekanbaru tidak penunjukan bahwa sertifikat Hak Guna Bangunan tersebut merupakan bagian dari tanah Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Pekanbaru. mengenai hal tersebut 80 Pasal 42 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional

  Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas tanah Negara Dan Hak Pengelolaan

  Sugiarto, selaku Kepala Seksi Hak Tanah Dan Pendaftaran Tanah Kantor

  81 Pertanahan Kota Pekanbaru, menerangkan bahwa:

  Penunjukan bahwa sertifikat tanah tersebut merupakan tanah Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Pekanbaru dapat dilihat pada buku tanah sertifikat yang bersangkutan, memang terdapat beberapa sertipikat Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Pekanbaru yang belum mencantumkan tanda Hak Pengelolaan, hal ini disebabkan kelalaian pihak kami pada masa lalu, tetapi pada saat ini setiap pengajuan permohonan pendaftaran tanah baik peralihan hak pembebanan hak maupun perbuatan hukum lainnya akan diperiksa dan disesuaikan dengan peta Hak Pengelolaan ada dikantor Kami, sehingga dikemudian hari tidak akan terjadi permasalahan yang sama.

  82 Menurut Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis Bahwa: ”sesuai

  ketentuan Pasal 19 ayat (2) UUPA terdapat tugas-tugas Pendaftaran Tanah yang merupakan tugas administrasi dan tugas teknis, tugas administrasi menyangkut, pembukuan hak-hak atas tanah pendaftaran peralihan dan pemberian tanda bukti hak. terkait segi administratif sebagai data yuridis, data yuridis maksudnya ada keterangan mengenai status hukum bidang tanah yang didaftar, pemegang hak dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebani, bila dinyatakan sebagai status hukum bidang tanah yang terdaftar, berarti terdaftar bukti yang menunjukan adanya hubungan hukum antara dengan tanahnya”

  Sedangkan menurut ketentuan pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24

  83 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah bahwa:

  a). Untuk memberikan Kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada 81 pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak

  Wawancara dengan. Sugiarto selaku Kepala Seksi Hak Tanah Dan Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru, pada tanggal 24 Januari 2012 82 83 Mhd. Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis, Op Cit, hlm 208

Dokumen yang terkait

4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan

0 0 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persalinan 2.1.1 Pengertian Persalinan - Pengaruh Hypnobirthing terhadap Lama Persalinan pada Ibu Bersalin di Klinik Bersalin Eka Sri Wahyuni Kecamatan Medan Denai Tahun 2014

0 0 49

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Hypnobirthing terhadap Lama Persalinan pada Ibu Bersalin di Klinik Bersalin Eka Sri Wahyuni Kecamatan Medan Denai Tahun 2014

2 10 8

BAB 2 LANDASAN TEORI - Analisis Ketahanan Watermarking Citra dengan Algoritma Modified Least Significant Bit (MLSB)

0 0 16

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Pengetahuan - Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu dengan Status Imunisasi Anak di Sekolah Dasar Negeri 064979 Medan

0 0 17

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Perancangan Elevator dan Pembuatan Prototipe Pengendali Otomatis Elevator Berbasis Mikrokontroler ATmega 8535

0 0 28

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Reformasi Perpajakn - Pengaruh Reformasi Pajak Tahun 2008 Terhadap Kinerja Keuangan pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 38

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Pengaruh Reformasi Pajak Tahun 2008 Terhadap Kinerja Keuangan pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 9

BAB II URAIAN TEORITAS TENTANG MUSEUM 2.1 Pengertian Museum - Museum Perjuangan Sebagai Salah Satu Objek Wisata Sejarah di Kota Medan

0 0 11

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Teori Dasar Jaringan Komputer - Implementasi Windows Server Workstation pada Sistem Jaringan Komputer Tanpa Harddisk

0 0 18