BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Reformasi Perpajakn - Pengaruh Reformasi Pajak Tahun 2008 Terhadap Kinerja Keuangan pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Reformasi Perpajakn

  Reformasi perpajakan adalah perubahan yang mendasar di segala aspek perpajakan, reformasi pajak dilakukan agar sistem perpajakan dapat lebih efektif dan efisien, sejalan dengan perkembangan globalisasi yang menuntut daya saing tinggi dengan Negara lain. Tentu saja dengan memperhatian prinsip-prinsip perpajakan yang sehat seperti persamaan

  equality , kesederhanaan, simplicity, keadilan (fairness), sehingga tidak

  hanya berdampak terhadap peningkatan kapasitas fiskal, melainkan juga terhadap perkembangan kondisi ekonomi makro. Gunadi (2002:3) berpendapat bahwa “tujuan umum reformasi pajak adalah meningkatkan responsivitas dan stabilitas penerimaan, meningkatkan keadilan mengurangi inefisiensi dan distorsi ekonomi, penyederhanaan administrasi dan struktur pajak, mengurangi biaya kepatuhan dan peningkatan kesadaran masyarakat, mengurangi dorongan penghindaran dan penyelundupan pajak. Dalam hal ini reformasi perpajakan akan menjadikan sistem yang berlaku menjadi lebih sederhana, yang mencakup penyederhanaan jenis pajak, tarif pajak, dan pembayaran pajak.

  Secara lebih lengkap Gill (2003 1) menyatakan suatu sistem Penerimanaan Negara yang mengurusi masalah pajak perlu direformasikan dengan empat alasan utama. Pertama, ketika hukum dan kebijakan pajak menciptakan potensi peningkatan penerimaan pajak, jumlah aktual pajak yang mengalir ke kas Negara tergantung pada efisiensi dan efektivitas administrasi penerimaan Negara. Kedua, kualitas dari administrasi penerimaan pajak mempengaruhi iklim investasi dan pengembangan sektor swasta. Ketiga, administrasi perpajakan secara rutin muncul dalam daftar teratas organisasi dengan kasus korupsi tertinggi. Keempat, reformasi perpajakan diperlukan untuk memungkinkan sistem perpajakan mengikuti perkembangan terbaru dalam aktivitas bisnis dan pola penhindaran pajak yang semakin canggih.

  Adapun langkah-langkah reformasi perpajakan tersebut antara lain, meliputi:

  1. langkah langkah pembaruan kebijakan (tax policy reform) melalui perubahan UU PPh, perubahan UU PPN dan PPnBM, Perubahan UU

  PBB, perubahan UU Bea Materai, serta UU kepabeanan dan UU cukai. Pada intinya paket amandemen undnag-undang perpajakan ini lebih dititik beratkan pada pemberian rasa keadilan dan kepastian hukum di bidang perpajakan yang bertujuan untuk mendorong investasi, serta mengoptimalkan penerimaan perpajakan.

  2. langkah langkah pembaharuan administrasi perpajakan (tax

  administrative reform ) meliputi: a.

  Penyempurnaan peraturan pelaksanaan undang undang perpajakan; b.

  Pembentukan dan perluasan kantor pelayanan Pajak (KPP) khusus wajib pajak (WP) besar (large Taxpayer Office, LTO) diantaranya meliputi pembentukan organisasi berdasarkan fungsi, pengembangan sistem administrasi perpajakan yang terintegrasi dengan pendekatan fungsi dan impelementasi dari prinsip prinsip

  Good Corporate Governance ; c.

  Pengembangan basis data, pembayaran pajak dan penyampaian SPT secara online d. Perbaikan manajemen pemeriksaan pajak e. Peningkatan efektivitas penerapan kode etik dijajaran Direktorat Jenderal Pajak dan komisi Ombudsman Nasional.

2.1.2 Sejarah reformasi Perpajakan di Indonesia

  Langkah perubahan yang dilakukan pemerintah terhadap undang undang perpajakan telah mencapai lima kali. Liberty (2002:3) mengatakan bahwa “perubahan undang undang perpajakan diakibatkan oleh cepatnya terjadi perubahan yang bersifat fundamental baik dalam bidang ekonomi, sosial budaya maupun politik perubahan ini dipengaruhi oleh faktor internal didalam negeri dan faktor eksternal dari luar negeri.

  Adapun perkembangan reformasi perpajakan yang dilakukan oleh pemerintah atas undang undang perpajakan adalah sebagai berikut:

1. Reformasi Perpajakan (Tax Reform) tahun 1983

  Reformasi pajak (tax reform) atau pembaharuan perpajakan, telah dilakukan sejak tanggal 1 januari 1984. Bersamaan dengan dikeluarkannya serangkaian undang undang yaitu UU nomor 6 tahun 1983. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). UU Nomor 7 tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan (PPh). Kedua undang undang tersebut berlaku sejak 1 januari 1984. UU nomor 8 tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN/PPnBM), direncanakan diberlakukan tahun 1984 juga, tetapi karena masih ada sesuatu yang harus dipersiapkan lebih matang maka undang undang tersebut diperlakukan mulai 1 April 1985. UU No. 12 Tahun 1985 dan undang-undang No 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan diubah dengan undang-undang No.7 Tahun 1991.

  2. Reformasi Pajak (Tax Reform) Tahun 1994 Reformasi perpajakan tidak berhenti begitu saja, tetapi terus dilakukan perubahan dan penyempurnaan sesuai dengan tuntutan perubahan sistem perekonomian. Pada tahun 1992, perubahan pertama dilakukan terhadap pajak penghasilan. Kemudian pada tahun 1994, setelah satu dasawarsa peraturan pajak dilaksankan diadakan lagi serangkaian perubahan terhadap peraturan perpajakan. Undang- undang pajak yang dikeluarkan adalah: a.

  UU Nomor 9 Tahun 1994 Tentang perubahan Atas UU Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), b.

  UU Nomor 10 Tahun 1994 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan (PPh) sebagaimana telah dirubah dengan UU Nomor 7 Tahun 1991 c.

  UU Nomor 11 Tahun 1994 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertumbuhan Atas Barang Mewah (PPN/PPnBM), d. UU Nomor 12 Tahun 1994 Tentang Perubahan Atas UU Nomor

  12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) selanjutnya tahun 1997 dikeluarkan lagi serangkaian undang- undang baru untuk melengkapi undang-undang yang telah ada.

  Selanjutnya tahun 1997 dikeluarkan lagi serangkaian undang- undang baru untuk melengkapi undang-undang yang telah ada, yaitu:

  1. UU Nomor 17 Tahun 1997 Tentang Badan Penyelesaian Sangketa Pajak,

  2. UU Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,

  3. UU Nomor 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak dan Surat Paksa,

  4. UU Nomor 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak,

  5. UU Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

  3. Reformasi Pajak (Tax reform) Tahun 2000 Pada tahun 2000 seiring dengan perkembangan sosial dan ekonomi, pemerintah kembali mengeluarkan serangkaian undang- undang untuk mengubah undamg-undang yang telah ada, yaitu: a.

  UU Nomor 16 Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 6 tahun 1983 Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), b. UU Nomor 17 Tahun 2000 Tentang Perubahan Ketiga Atas UU

  Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan (PPh), c. UU Nomor 18 Tahun 2000 Tahun Tentang Perubahan Kedua

  Atas UU Nomor 8 tahun 1983 Tentang Pajak Pertambaha Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, d. UU Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak dengan

  Surat Paksa e. UU Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Bea Perolehan Hak atas

  Tanah atau Bangunan, f. UU Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Perubahan atas UU Nomr 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

  4. Reformasi Pajak (Tax Reform) 2008 Pada tahun 2008, terjadi perubahan undang-undang dan disahkan UU No. 28/2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

  Perpajakan, Serta UU No 36/2008 Tentang Pajak Penghasilan.

2.1.3 Undang- Undang No 36 Tahun 2008

  Berdasarkan pertimbangan Presiden Republik Indonesia dalam upaya mengamankan penerimaan negara yang semakin meningkat, mewujudkan sistem perpajakan yang netral, sederhana, stabil, lebih memberikan keadilan, dan lebih dapat menciptakan kepastian hukum serta transparansi maka dengan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden Republik Indonesia menetapkan Undang- Undang No 36 Tahun 2008 tentang pajak penghasilan.

  Pokok-pokok pikiran dalam UU No. 36 Tahun 2008 adalah: 1. Penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh). Penurunan tarif PPh ini untuk mengimbangi tarif PPh yang berlaku di negara-negara tetangga yang relatif lebih rendah, meningkatkan daya saing di dalam negeri, mengurangi beban pajak dan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak (WP).

  a.

  Bagi WP orang pribadi, tarif PPh tertinggi diturunkan dari 35% menjadi 30% dan menyederhanakan lapisan tarif dari 5 lapisan menjadi 4 lapisan, namun memperluas masing-masing lapisan penghasilan kena pajak (income bracket), yaitu lapisan tertinggi dari sebesar Rp 200 juta menjadi Rp 500 juta.

  b.

  Bagi WP badan, tarif PPh yang semula terdiri dari 3 lapisan, yaitu 10%, 15% dan 30% menjadi tarif tunggal 28% di tahun 2009 dan 25% tahun 2010. Penerapan tarif tunggal dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan prinsip kesederhanaan dan international best practice. Selain itu, bagi WP badan yang telah go public diberikan pengurangan tarif 5% dari tarif normal dengan kriteria paling sedikit 40% saham dimiliki oleh masyarakat. Insentif tersebut diharapkan dapat mendorong lebih banyak perusahaan yang masuk bursa sehingga akan meningkatkan good corporate governance dan mendorong pasar modal sebagai alternatif sumber pembiayaan bagi perusahaan.

  c.

  Bagi WP UMKM yang berbentuk badan diberikan insentif pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif normal yang berlaku terhadap bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8 miliar. Pemberian insentif tersebut dimaksudkan untuk mendorong berkembangnya UMKM yang pada kenyataannya memberikan kontribusi yang signifikan bagi perekonomian di Indonesia. Pemberian insentif juga diharapkan dapat mendorong kepatuhan WP yang bergerak di UMKM.

  d.

  Bagi WP orang pribadi Pengusaha Tertentu, besarnya angsuran PPh Pasal 25 diturunkan dari 2% menjadi 0,75% dari peredaran bruto. Penurunan tarif tersebut dimaksudkan untuk membantu likuiditas WP dengan pembayaran angsuran pajak yang lebih rendah serta memberikan kepastian dan kesederhanaan penghitungan PPh. e.

  Bagi WP pemberi jasa yang semula dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto menjadi 2% dari peredaran bruto. Perubahan tarif tersebut dimaksudkan untuk memberikan keseragaman pemotongan pajak yang sebelumnya ada yang didasarkan pada penghasilan bruto dan sebagian didasarkan pada penghasilan neto. Dengan metode ini, penerapan perpajakan diharapkan dapat lebih sederhana dan tarif relatif lebih rendah sehingga dapat meningkatkan kepatuhan WP.

  f.

  Bagi WP penerima dividen yang semula dikenai tarif PPh progresif dengan tarif tertinggi sampai dengan 35%, menjadi tarif final 10%. Penurunan tarif tersebut dimaksudkan untuk mendorong perusahaan untuk membagikan dividen kepada pemegang saham, mendorong tumbuhnya investasi di Indonesia karena dikenakan tarif lebih rendah dan meningkatkan kepatuhan WP.

  2. Pembebasan kewajiban pembayaran fiskal luar negeri bagi WP yang telah mempunyai NPWP fiskal sejak 2009 serta penghapusan pemungutan fiskal luar negeri pada tahun 2011. Pembayaran fiskal luar negeri adalah pembayaran pajak di muka bagi orang pribadi yang akan bepergian ke luar negeri. Kebijakan penghapusan kewajiban pembayaran fiskal luar negeri bagi WP yang memiliki NPWP dimaksudkan untuk mendorong WP memiliki NPWP sehingga memperluas basis pajak. Diharapkan pada 2011 semua masyarakat yang wajib memiliki NPWP telah memiliki NPWP sehingga kewajiban pembayaran fiskal luar negeri layak dihapuskan.

  3. Peningkatan nilai Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk diri WP orang pribadi sebesar 20% dari Rp 13,2 juta menjadi Rp 15,84 juta, sedangkan untuk tanggungan istri dan keluarga ditingkatkan sebesar 10% dari Rp 1,2 juta menjadi Rp 1,32 juta dengan paling banyak 3 tanggungan setiap keluarga. Hal ini dimaksudkan untuk menyesuaikan PTKP dengan perkembangan ekonomi dan moneter serta mengangkat pengaturannya dari peraturan Menteri Keuangan menjadi undang-undang.

  4. Penerapan tarif pemotongan/pemungut an PPh yang lebih tinggi bagi WP yang tidak memiliki NPWP a.

  Pengenaan tarif 20% lebih tinggi dari tarif normal untuk WP non NPWP yang menerima penghasilan dipotong PPh Pasal 21.

  b.

  Pengenaan tarif 100% lebih tinggi dari tarif normal untuk WP non NPWP yang menerima penghasilan dipotong PPh Pasal 23.

  c.

  Pengenaan tarif 100% lebih tinggi dari tarif normal untuk WP non NPWP yang menerima penghasilan dipotong PPh Pasal 22 5. Perluasan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

  Dimaksudkan bahwa pemerintah memberikan fasilitas kepada masyarakat yang secara nyata ikut berpartisipasi dalam kepentingan sosial, dengan diperkenankannya biaya tersebut sebagai pengurang penghasilan bruto.

  a.

  Sumbangan dalam rangka penganggulangan bencana nasional dan infrastruktur sosial b.

  Sumbangan dalam rangka fasilitas pendidikan, penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia.

  c.

  Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga dan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia.

  6. Pengecualian dari objek PPh a.

  Sisa lebih yang diterima atau diperoleh lembaga atau badan nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan atau bidang penelitian dan pengembangan yang ditanamkan kembali paling lama dalam jangka waktu 4 tahun tidak dikenai pajak.

  b.

  Beasiswa yang diterima atau diperoleh oleh penerima beasiswa tidak dikenai pajak.

  c.

  Bantuan atau santunan yang diterima dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial tidak dikenai pajak

  7. Penegasan surplus Bank Indonesia sebagai objek pajak. Aturan ini dimaksudkan untuk memberikan penegasan terhadap penafsiran yang berbeda tentang surplus BI. Menurut UU No.7 Tahun 1983 tentang PPh, pengertian penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh WP dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian surplus BI adalah tambahan kemampuan ekonomis yang termasuk objek PPh yang diatur dalam UU PPh.

  8. Peraturan perpajakan untuk industri pertambangan minyak dan gas bumi, bidang usaha panas bumi, bidang usaha pertambangan umum termasuk batubara dan bidang usaha berbasis syariah, diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.

  Berdasarkan UU No. 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang No. 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, tarif pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan kena pajak baik untuk WP Perseorangan (WP OP) maupun WP Badan telah terjadi perubahan.

  Khusus untuk WP Badan sebelumnya berlaku tarif progresif yaitu 10%, 15% dan 30% [UU No. 17 tahun 2000 pasal 17 ayat (1b)], sedangkan berdasarkan Pasal 17 ayat (1b) UU No. 36 tahun 2008 dikenakan tarif tunggal sebesar 28%. Kemudian, dalam ayat 2a diatur lebih lanjut bahwa mulai tahun pajak 2010 tarif yang berlaku diturunkan lagi menjadi 25%.

  UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 berlaku efektif per 1 Januari 2009, dimana tarif PPh Badan menggunakan tarif tunggal 28% untuk tahun pajak 2009 (Pasal 17 ayat 1 huruf b) dan berubah menjadi 25% untuk tahun pajak 2010 (Pasal 17 ayat (2a)).

  Sesuai Pasal 31E ayat (1) menyatakan bahwa : Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam

  Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

2.1.4 Pajak Penghasilan (PPh) Badan

  2.1.4.1 Subjek Pajak Badan Subjek pajak PPh badan bukan hanya perusahaan. Yang dimaksud dengan badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan comanditer, perseroan lainnya BUMN, BUMD dengan nama bentuk apapun, termasuk firma, kongsi, koperasi, dana pension, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi masa, organisasi sosial politik atu organisasi sejenis, lembaga, Bentuk Usaha Tetap (BUT), dan bentuk badan lainnya.

  Subjek PPh badan dibedakan menjadi subjek PPH badan dalam negeri dan subjek Pajak Badan Luar Negeri. Subjek Pajak Badan Dalam Negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. Kewajiban pajak subjektifnya dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat badan tersebut dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia. Subjek Pajak Badan Luar Negeri adalah badan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang memperoleh atau menerima penghasilan di Indonesia baik melalui BUT maupun tidak. Kewajiban pajak subjektifnya dimulai pada saat menjalankan usaha melalui BUT atau pada saat menerima dan memperoleh penghasilan. Sedangkan berakhirnya pada saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan di Indonesia.

  Badan yang dikecualikan sebagai subjek PPh (pasal 3 UU PPh) adalah : 1.

  Badan Perwaiklan Negara Asing (Kedutaan Besar), 2. Organisasi- organisasi Internasional yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan dengan syarat : a.

  Indonesia menjadi organisasi tersebut; b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran anggota. Contoh : UNESCO, UNICEF, WHO, dan lain- lain.

  3. Unit tertentu badan pemerintah yang memenuhi kriteria : a.

  Dibentuk berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku; b.

  Dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN dan APBD; c.

  Penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Daerah; d.

  Pembukuannya diperiksan oleh Aparat Pengawasan Fungsional Negara.

2.1.4.2 Objek Pajak Badan

  Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima oleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

  Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada wajib pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi :

  1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan, 2.

  Penghasilan dari modal (bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta),

  3. Penghasilan lain- lain (pembebasan hutang, hadiah, laba selisih kurs).

  Objek Pajak Badan yaitu : 1. Laba Usaha, 2. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk : a. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, atau badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyerta modal;

  b. Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota yang diperoleh perseroan , persekutuan , dan badan lainnya;

  c. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecaha, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apapun; d. Keuntungan karena pengalihan harta.

  3. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak,

  4. Bunga termasuk premium diskonto,

  5. Dividen,

  6. Royalti atau imbalan atas penggunaan harta,

  7. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta,

  8. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala,

  9. Keuntungan karena pembebasan hutang,

  10. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing,

  11. Keuntungan karena penilaian kembali aktiva,

  12. Premi asuransi, 13. Imbalan bunga.

  Tidak semua penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak adalah objek PPh, pasal 4 ayat 3 UU PPh mengatur penghasilan yang tidak menjadi objek pajak, antara lain : 1.

  Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia; 2. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana maksud dalam pasal 2 ayat (1) huruf b sebagi pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal; 3. Pengganti atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura atau kenikmatan; 4. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat : a.

  Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan, dan; b.

  Bagi perseroan terbatas, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal disetor.

  5. Beasiswa yang diberikan kepada warga negara Indonesia dalam rangka mengikuti pendidikan di dalam negeri dengan syarat penerimaan beasiswa tidak mempunyai hubungan istimewa dengan pemilik, komisaris, direksi, pengurus wajib pajak yang memberikan beasiswa;

  6. Iuran yang diterima atau diperoleh dan pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik dibayar pemberi kerja maupun pegawai;

  7. Penghasilan yang diberikan dari modal yang ditanamkan oleh dana pension yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;

  8. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota perseroan comanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham- saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak invetsasi kolektif;

  9. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan tersebut : a.

  Memperoleh perusahaan mikro, kecil, menegah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor- sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan b. Sahamnya tidak diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia.

  10. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

  11. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

  12. Bantuan atau sumbangan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada wajib pajak tertentu.

2.1.5 Analisis Kinerja Keuangan Bank

  Kinerja keuangan bank merupakan bagian dari kinerja bank secara keseluruhan yang dicapai bank dalam operasinya, baik menyangkut aspek keuangan, pemasaran, penghimpunan dan penyaluran dana, teknologi maupun sumber daya manusia. Sawir ( 2005:1) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan “kinerja keuangan adalah ukuran mengenai seberapa jauh perusahaan- perusahaan berada dari batas normal agar perusahaan dapat dikatakan sehat dan berjalan baik sehingga dapat memenuhi kewajiban dan menghasilkan keuntungan dimasa yang akan datang.”

  Dari penjelasan diatas maka dapat diambil suatu kesimpulan mengenai arti kinerja keuangan yaitu keadaan atau potensi keuangan yang dimiliki oleh perusahaan dalam rangka mencapai tujuan. Kinerja keuangan dapat dilihat dan diukur melalui laporan keuangan. Laporan keuangan dapat dijadikan jendela untuk melihat kondisi atau aktivitas yang telah dijalankan perusahaan. Dengan menilai dan menganalisa laporan keuangan tersebut akan ditemukan tanda- tanda permasalahan dan kondisi perusahaan secara lebih spesifik mengenai kinerja perusahaan.

  Langkah- langkah dalam penghitungan tingkat kesehatan bank adalah :

1. Menghitung rasio berdasarkan rumus yang ditetapkan;

  2. Menghitung besarnya nilai kredit (credit point) untuk masing- masing komponen CAMELS;

  3. Mengalikan nilai kredit (credit point) tersebut dengan bobot masing- masing komponen CAMELS;

  4. Menjumlah seluruh nilai komponen CAMELS; 5.

  Memperhitungkan nilai keseluruhan berkaitan dengan pemberian batas kredit;

  6. Menetapkan kategori kesehatan bank.

2.1.6 Laporan Keuangan Bank

2.1.6.1 Pengertian Laporan Keuangan

  Untuk mengetahui perkembangan suatu perusahaan, maka perlu mengetahui keadaan keuangan perusahaan yang bersangkutan.

  Keadaan keuangan suatu perusahaan perusahaan dapat diketahui dari laporan keuangan.

  Laporan keuangan merupakan alat yang sangat penting untuk memperoleh informasi mengeai posisi keuangan dan hasil yang telah dicapai oleh perusahaan yang bersangkutan. Laporan keuangan menggambarkan informasi prestasi keuangan pada masa lalu dan dapat memberikan petunjuk untuk menetapkan kebijakan pada masa yang akan datang. Informasi yang tersedia dalam laporan keuangan terutama menyangkut bentuk keuangan, yang diukur dan dinyatakan dalam unit uang, biasanya dirangkum dan disajikan dalam periode yang telah ditentukan sebelumnya. Akan tetapi bagaimanapu hebatnya laporan keuangan jika belum dianalisis tidak memberikan informasi apa- apa.

  Menurut Munawir (2004:2) “laporan keuangan pada dasarnya adalah hasil dari proses akuntansi yang dapat digunakan sebagai alat komunikasi antara data keuangan atau aktivitas suatu perusahaan dengan pihak yang berkepentingan dengan data atau aktivitas dari perusahaan tersebut”. Laporan keuangan menggambarkan kondisi keuangan suatu bank juga menilai kinerjas manajemen apakah manajemen berhasil atau tidak dalam menjalankan perusahaan. Kasmir (2008:253) menyatakan bahwa “laporan keuangan bank menunjukkan kondisi keuangan bank secara keseluruhan. Dari laporan ini akan terbaca bagaimana kondisi bank yang sesungguhnya. Laporan ini juga menunjukkan inerja manajemen bank selama satu periode”.

2.1.6.2 Tujuan Laporan Keuangan

  Tujuan laporan keuangan yaitu : 1. Memberikan informasi kas yang dapat dipercaya mengenai posisi keuangan perusahaan (termasuk bank) pada saat tertentu; 2. Memberikan informasi keuangan yang dapat dipercaya mengenai hasil usaha perusahaan selama periode akuntansi tertentu;

  3. Memberikan informasi yng dapat membantu pihak- pihak yang berkepentingan untuk menilai atau menginterpretasikan kondisi dan potensi suatu perusahaan; 4. Memberikan informasi penting lainnya yang relevan dengan kebutuhan pihak- pihak yang berkepentingan dengan laporan keuangan yang bersangkutan.

2.1.6.3 Laporan Keuangan Menurut Jenisnya

   Sama seperti lembaga lainnya, bank juga memiliki

  beberapa jenis laporan keuangan yang disajikan sesuai SAK dan SKAPI. Jenis- jenis laporan keuangan bank yang dimaksud adalah sebagai berikut :

  1. Neraca Neraca bank adalah suatu laporan keuangan yang diterbitkan setiap hari kerja oleh satuan kerja akunting. Laporan tersebut menunjukkan posisi saldo serta mutasi- mutasi dari rekening subgroup yang dikelola oleh satuan kerja akunting yang bersangkutan. Aktiva bank pada umumnya terdiri atas alat- alat likuid, aktiva produktif, dan aktiva tidak produktif. Sisi pasiva menggambarkan kewajiban bank yang berupa klaim pihak ketiga atau pihak lainnya atas kekakayaan bank yang dinyatakan dalam bentuk rekening giro, deposito berjangka, tabungan, dan instrumen kewajiban lainnya serta ekuitas yang menggambarkan nilai buku pemilik saham.

  2. Penghitungan Laba Rugi Penyusunan penghitungan laba rugi bank dilakukan dengan menganut konsep konservatisme, yang menekankan bahwa pendapatan yang diperhitungkan adalah pendapatan yang benar- benar telah diterima secara efektif, seperti bunga atau pendapatan lain yang telah diterima oleh bak dari nasabah secara tunai atau atas beban giro nasabah yang saldonya masih mencukupi.

  Perlakuan terhadap biaya operasional dan non operasional yang dilakukan dengan memnggunakan prinsip accrual basis, yaitu biaya yang akan dibayar dimasa yang akan datang sudah diperhitungkan penjelasan pos komitmen dan kontijensi bank umum konvensional.

  3. Laporan Komitmen dan Kontijensi Pengguna laporan keuangan perlu mengetahui komitmen dan kontinjensi yang tidak dapat dibatalkan dari suatu bank karena komitmen dan kontijensi tersebut dapat mempengaruhi likuiditas dan solvabilitas bank, serta dapat menimbulkan kerugian suatu bank. Para pengguna juga memerlukan informasi yang memadai tentang gambaran dan jumlah transaksi diluar neraca yang dilakukan oleh bank. Sistematika penyajian laporan komitmen dan kontinjensi disusun berdasarkan uraian tingkat kemungkinan pengaruhnya terhadap perubahan posisi dan hasil usaha bank. Komitmen dan kontijensi, baik yang bersifat tagihan maupun kewajiban, masing- masing disajikan secara tersendiri tanpa pos lawan.

  4. Laporan Arus Kas Laporan arus kas merupakan laporan keuangan yang menunjukkan semua aspek yang berkaitan dengan kegiatan bank, baik yang berpengaruh langsung maupun yang tidak langsung terhadap kas. Laporan arus kas harus disusun berdasarkan konsep kas selama periode laporan.

  5. Catatan atas Laporan Keuangan Catatan atas laporan keuangan menginformasikan kebijaksanaan akuntansi yang mempengaruhi posisi keuangan dari hasil keuangan perusahaan. Catatan atas laporan keuangan merupakan lampiran yang berisi catatan tersendiri mengenai posisi devisa neto, menurut jenis mata uang dan aktivtas lainnya.

  6. Laporan Keuangaan Gabungan dan Konsolidasi Laporan gabungan merupakan laporan dari seluruh cabang bank yang bersangkutan, baik yang ada di dalam negeri maupun di luar negeri, sedangkan laporan konsolidasi merupakan laporan bank yang bersangkutan dengan anak perusahaannya.

2.1.7 Rasio CAMELS Perbankan

2.1.7.1 Pengertian Rasio Camels

  Rasio camel adalah rasio yang menggambarkan suatu hubungan atau perbandingan antara suatu jumlah tertentu dengan jumlah lain yang terdapat dalam laporan keuangan suatu lembaga keuangan. Dengan analisis rasio dapat diperoleh gambaran baik buruknya keadaan posisi keuangan suatu lembaga keuangan pada tahun berjalan. Dalam kamus perbankan (Institus Bankir Indonesia, 1999) dinyatakan bahwa CAMELS adalah aspek paling banyak berpengaruh terhadap tingkat kesehatan lembaga keuangan.

  CAMELS merupakan tolak ukur objek pemeriksaan bank yang dilakukan oleh pengawas bank.

2.1.7.2 Komponen Rasio Camels

  Sesuai dengan Surat Edaran Bank Indonesia N0.06/23/DPMP/2004, tingkat kesehatan bank merupakan hasil penelitian kuantitatif dan kualitatif terhadap faktor- faktor CAMELS, berarti selain melakukan peniliaian secara kualitatif, Bank Indonesia juga menerapkan rasio- rasio yang berkaitan dengan faktor- faktor CAMELS, yang dinilai melalui rasio CAMELS ini adalah sebagai berikut :

  1. Permodalan (capital) Aspek permodalan sering disebut juga sebagai aspek solvabilitas , dimana aspek ini menilai permodalan yang dimiliki bank didasarkan kepada kewajiban penyediaan modal minimum bank. Jumlah modal yang ada dalam sebuah bank menunjukkan tingkat kemampuan sebuah bank dalam menutup resiko kerugian dan tingkat kemampuan bank dalam meningkatkan pertumbuhan bank (Sudirman, 2013: 110). Bank Indonesia mnetapkan Capital

  

Adequacy Ratio (CAR) yaitu kewajiban penyediaan modal minimum

  yang harus selalu dipertahankan oleh setiap bank sebagai suatu proporsi tertentu dari total Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR). Perbandingan rasio CAR adalah rasio terhadap modal terhadap ATMR (Kasmir,2008) yang dapat dirumuskan sebagai berikut :

  CAR = x 100% Keterangan : Modal = Modal Inti + Modal Pelengkap ATMR = ATMR kredit + ATMR resiko pasar

  Aktiva Tertimbang Menurut Resiok (ATMR) adalah nilai total masing- masing aktiva bank setelah dikalikan dengan masing- masing bobot resiko aktiva tersebut. Aktiva yang paling tidak beresiko diberi bobot 100%. Dengan demikian, ATMR menunjukkan nilai aktiva beresiko yang memerlukan antisipasi modal dalam jumlah yang cukup. Menurut Peraturan Bank Indonesia No.14/37/DPNP/2012 Bank Indonesia telah menetapkan kewajiban penyediaan modal inti minimum bank umum sebesar 8% dari Aset Tertimbang Menurut Resiko untuk bank dengan profil resiko peringkat satu, 9% sampai kurang dari 10% dari ATMR untuk bank dengan profil resiko peringkat dua, 10% sampai kurang 11% dari ATMR untuk bank dengan profil resiko peringkat 3, 11% sampai dengan 14% untuk bank dengan profil peringkat empat dan lima.

  2. Kualitas Aktiva Produktif ( Asset Quality ) Penilaian asset harus sesuai dengan peraturan oleh Bank

  Indonesia dengan memperbandingkan antara aktiva produktif (Kasmir, 2005:49). Menurut Peraturan Bank Indonesia No 14/15/PBI/2012 aset produktif adalah penyediaan dana bank untuk memperoleh penghasilan dalam bentuk kredit, surat berharga, penempatan dana antar bank, tagihan akseptasi, tagihan atas surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali (reserve repurchase

  

agreement ), tangguhan derivative, penyertaan, transaksi rekening

  administratif serta bentuk penyediaan dana lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu. Penilaian kualitas asset merupakan penilaian terhadap kondisi asset bank dan kecukupan manajemen resiko kredit. Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor kualitas asset dilakukan melalui penilaian terhadap komponen berikut : a.

  Aktiva Produktif Yang Diklasifikasikan (APYD) disbanding dengan Total Aktiva Produktif (AP), b.

  Debitur ini kredit diluar pihak terkait dibandingkan dengan total kredit, c.

  Perkembangan aktiva produktif bermasalah/ non performing asset dibandingkan dengan aktiva produktif, d.

  Tingkat keukupan pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP)] e. Kecukupan kebijakan dan prosedur aktiva produktif, sstem kaji ulang (review) internal terhadap aktiva produktif, f.

  Dokumentasi aktiva produktif, g.

  Kinerja penanganan aktiva produktif bermasalah.

  Indikator kualitas aktiva yang dipakai dalam penelitian ini diproksikan dengan RORA (Return Of Risk Asset ) yang merupakan rasio antara pendapatan operasi (bunga) dengan risk asset . Risk

  

asset merupakan penjumlahan kredit yang diberikan ditambah

  dengan penanaman dalam surat berharga . RORa diformulasikan sebagai berikut : RORA =

  3. Manajemen (Management) Manajemen untuk memastikan kualitas dan tingkat kedalaman penerapan prinsip manajemen bank yang sehat, terutama uyang terkait dengan manajemen umum dan manajemen resiko penilaian kualitatif terhadap manajemen mencakup beberapa komponen yaitu manajemen resiko dan manajemen umum. Manajemen umum meliputi strategi/ sasaran perusahaan, struktur organisasi, sistem operasional, sumber daya manusia, kepemimpinan dan budaya kerja.

  Sedangkan manajemen resiko meliputi resiko likuiditas, resiko pasar, resiko operasional dan resikohukum.

  Dalam penelitian ini aspek manajemen yang dianalisis adalah analisis kualitatif terhadap manajemen resiko. Manajemen resiko merupakan inti dari pengukuran masyarakat apakah sebuah bank telah dikelola berdasarkan asas- asas perbankan yang sehat atau dikelola secara tidak sehat. Indikator yang digunakan untuk mengukur manajemen resiko secara kuantitatif dapat terlihat dari besarnya Profit Marfgin Net Profi Margin adalah indikator yang digunakan untuk mengukur kemampuan bank seberapa efektif dan efisien bank tersebut memanfaatkan potensi yang ada dilihat dari besarnya laba operasi. Semakin tinggi profit margin makan semakin besar tingkat laba yang diperoleh bank dari pendapatan yang diterima dalam kegiatasn operasionalnya. NPM diperoleh dengan perbandingan laba operasi dibandingkat pendapatan operasional.

  Net Profit Margin =

  4. Earning (Rentabilitas) Tingkat rentabilitas mencerminkan kemampuan modal bank dalam menghasilkan keuntungan. Dengan demikian tingkat rentabilitas dapat digunakan untuk mengukur efisiensi perusahaan. Laba yang besar yang dihasilkan perusahaan belum merupakan ukuran perusahaan telah bekerja dengan efisien. Pandia (2012:64) menyimpulkan bahwa “rentabilitas (earning) adalah suatu alat untuk mengukur kemampuan bank dalam menghasilkan laba dengan membandingkan laba dengan aktiva atau modal dalam periode tertentu. Pendekatan penilaian kuantitatif dan kualitatif faktor rentabilitas antara lain dilakukan melalui peniliaain terhadap komponen- komponen berikut : a.

  Return On total Assets (ROA) Rasio laba sebelum pajak dalam 12 bulan terakhir terhadap rata- rata volume usaha (ROA) dalam periode yang sama. ROA menggambarkan perputaran aktiva yang diukur dari volume penjualan. Rasio ini igunakan untuk mengukur kemampuan bank dalam memperoleh keuntungan secara keseluruhan. Rasio ini dirumuskan dengan :

   Return On Assets =

  b. Return On Equity

  Return On Equity merupakan indikator yang amat

  penting bagi para pemegang saham dan calon investor untuk mengukur kemampuan bank dalam memperoleh laba bersih yang dikaitkan dengan pembayaran dividen. Kenaikan rasio ini berarti terjadi kenaikan laba bersih dari laba yang bersangkutan yang selanjutnya dikaitkan dengan pembayaran dividen (terutama bagi bank yang telah go public ).

  Rasio ini sebagai perbandingan antara laba bersih pajak dengan modal sendiri (equity). Rasio ini driumuskan sebagai berikut :

   Return On Equity = x 100%

  c. Net Interest Margin (NIM) Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan manajamen bank dalam mengelola aktiva produktifnya untuk menghasilkan pendapatan bunga bersih. Pendapatan bunga bersih diperoleh dari pendapatan bunga dikurangi beban bunga.

  NIM=

  d. Rasio Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO)

  Rasio ini adalah perbandingan antara biaya operasional dengan pendapatan perasional dalam mengukur tingkat efisiensi dan kemampuan bank dalam melakukan kegiatan operasinya. Dalam hal ini perlu diketahui bahwa usaha utama bank adalah menghimpun dana dari masyarakat dan selanjutnya menyalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentu kredit, sehingga beban bunga dan hasil bunga merupakan porsi terbesar bagi bank. Rasio ini dirumuskan sebagai berikut :

  BOPO =

  5. Likuiditas (Liquitdity ) Peniliaian likuiditas merupakan penilaian terhadap kemampuan bank untuk memelihara dan memenuhi kebutuhan likuiditas yang memadai dan kecukupan manajemen resiko likuiditas. Rasio ini mengukur kemampuan bank untuk menyeimbangkan antara likuiditasnya dengan rentabilitasnya (Harahap, 1998:320). Bank dikatakan likuid apabila mempunyai alat pembayaran berupa harta lancar lebih besar dibandingkan kewajiban seluruhnya. Penilaian tehadap faktof didasarkan pada : a. Cash Ratio

  Rasio ini mengukur perbandingan alat likuid terhadap dana pihak ketiga yang terhimpun bank yang harus segera dibayar.

  Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan bank dalam membayar kembali simpanan nasabah.

  Cash Ratio =

  b. Loan to Deposi Ratio (LDR) Rasio ini adalah rasio yang mengukur perbandingan jumlah kredit yang diberikan bank dengan dana yang diterima oleh bank, yang menggambarkan kemampuan bank dalam membayar kembali penarikan dana oleh deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya.

  Loan to Deposit Ratio =

  c. Net Call Money to current asset Ratio (NCMR) Rasio ini menunjukkan besarnya kewajiban bersih call money terhadap aktiva lancar atau aktiva yang paling likuid dari bank, yang dirumuskan sebagai berikut :

  

Net Call Money Ratio = x 100%

  6. Sensitivitas terhadap Resiko Pasar ( Sensitivity to Market Risk) Penilaian sensitivitas terhadap resiko pasar merupakan penilaian terhadap kemampuan modal baik untuk mengcover akibat yang ditimbulkan oleh perubahan resiko pasar dan kecukupan manajemen resiko pasar. Berdasarkan SE Bank Indonesia No.6/23/DPNP/2004 penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif terhadap resiko pasar antara lain dilakukan melalui penelitian terhadap komponen- komponen sebagai berikut : a.

  Modal atau cadangan yang dibentuk untuk mengcover fluktuasi suku bunga dibandingkan dengan potensial loss sebagai akibat fluktuasi (adverse movement) suku bunga, b. Modal atau cadangan yang dibentuk untuk mengcover fluktuasi nilai tukar dibandingkan dengan potensial loss sebagai akibat fluktuasi (adverse movement) nilai tukar, c. Kecukupan penerapan sistem manajemen resiko pasar dengan indikator.

  Dalam penelitian ini tidak menggunakan variabel sensitivity

  to market risk dikarenakan keterbatasan data yang ada. Data- data

  yang berhubungan dengan sensitivitas resiko pasar tersebut tiudak dipublikasikan oleh bank cenderung bersifat internal perusahaan.

  2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu Peneliti Judul Variabel Metode analisis Hasil Penelitian

  Sofiatun Gudono (2002)

  Penelitian atas Pengaruh Reformasi Pajak Tahun 1994 pada Sruktur Biaya, Pengeluaran Modal, dan Keunggula Kompetitif Perusahaan

  Struktur Biaya Pengeluaran Modal dan Pajak yang Dibayar

  Alat statistik uji t beda dua sampel yang dilanjutkan dengan regresi

  Reformasi 1994 tidak secara signifikan mengubah pengeluaran modal, struktur biaya, hubungan antara biaya dan modal, efisiensi biaya dan profitabilitas perusahaan dan reformasi pajak secara signifikan meningkatkan pendapatan pemerintah dan pajak. Ellija Setyawan (2004)

  Dampak Reformasi Pajak Tahun 2000 pada Struktur Biaya, Pengeluaran Modal dan Profitabilias

  Struktur biaya pengeluaran modal dan profitabilitas perusahaan

  Uji beda dua sampel dan model regresi

  Reformasi pajak tahun 2000 tidak secara signifikan mengubah pengeluaran modal, struktur biaya, dampak pengeluaran modal dan jumlah biaya Perusahaan (Studi pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Jakarta) produksi, profitabilitas perusahaan dan meningkatkan pajak pemerintah

  Peneliti Judul Variabel Metode Analisis

  Hasil Penelitian Erlita Dwi Kartika Sari (2010)

  Pengaruh Reformasi Pajak Tahun 2008 Terhadap Kinerja Keuangan pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di BEI

  Rasio CAR, RORA, NPM, dan ROA

  Analisis deskriptif, normalitas, uji grafik, uji kolmogrov smirnov, dan uji hipotesis

  Reformasi pajak secara signifikan dapat menunjukkan bahwa kinerja keuangan perusahaan pada periode sesudah reformasi perpajakan ternyata lebih baik dibanding pada periode sebelum reformasi perpajakan tahun 2008

  Tengku Hasan Basri

  Pengaruh Rasio CAMEL terhadap Kinerja Keuangan Perbankan yang Terdapat di BEI periode 2008- 2010

  Rasio CAR, NPL, ROA, ROE, NIM, BOPO, LDR terhadap pertumbuhan laba

  Proses analisis data adalah uji asumsi klasik dan pengujian hipotesis. Metode statistic yang digunakan adalah regresi linier berganda

  CAR, NPL, ROA, ROE, NIM, BOPO, LDR tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan laba pada perusahaan perbankan yang terdaftar di BEI

  Sumber: Penulis

  2.3 Kerangka Konseptual

  Kerangka teoritis yang digunakan untuk merumuskan hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut : Uji Beda

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

  Sumber : Penulis, 2014

  2.4 Hipotesis

  Sebelum Reformasi Pajak ( 2005,2006,2007,2008) X1 = Capital X2 = Assets X3 = Management X4 = Earnings

  Setelah Reformasi Pajak ( 2009,2010,2011,2012) X1 = Capital X2 = Assets X3 = Management X4 = Earnings Menurut Erlina (2008:49) “hipotesis adalah prososisi yang dirumuskan dengan maksud untuk diuji secara empiris. Hipotesis merupakan dugaan atau jawaban sementara terhadap masa;ah yang diteliti, melalui analisis data yang relevan dan kebenarannya akan diketahui setelah dilakukan penelitan.

  Berdasarkan tinjauan teoritis dan kerangka konseptual yang diuraikan sebelumnya, maka hipotesis penelitian dapat disusun sebagai berikut : H

  

1 : Terdapat perbedaan Capital pada perusahaan perbankan yang go public

di BEI sebelum dan sesudah diberlakukannya tarif pajak tahun 2008.

  H

  

2 : Terdapat perbedaan Assets pada perusahaan perbankan yang go public di

BEI sebelum dan sesudah diberlakukannya tarif pajak tahun 2008.

  H

  

3 : Terdapat perbedaan Management pada perusahaan perbankan yang go

public di BEI sebelum dan sesudah diberlakukannya tarif pajak tahun 2008.

  H

  

4 : Terdapat perbedaan Earning pada perusahaan perbankan yang go public

di BEI sebelum dan sesudah diberlakukannya tarif pajak tahun 2008.