4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tanaman Bunga Jeumpa 2.1.1 Nama daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tanaman Bunga Jeumpa

  2.1.1 Nama daerah

  Nama daerah dari tanaman bunga jeumpa adalah jeumpa (Aceh), cempaka kuning (Indonesia), campaga (Minagkabau), kantil, pecari (Jawa), kembhang koneng, compaka (Madura), campaca (Bali), bunga eja (Makasar), cupaka, hapaka (Halmahera utara), copaka goraci (Ternate) (Heyne, 1987).

  2.1.2 Morfologi

  Tanaman bunga jeumpa adalah berupa pohon dengan tinggi 15 - 25 m, ujung ranting berambut. Daun bulat telur bentuk lanset, dengan ujung dan pangkal runcing. Bunga berdiri sendiri, berwarna orange, baunya sangat harum. Bakal buah lebih dari 20, berjejal-jejal, bentuk telur yang pipih dan berambut. Buah berbentuk bola memanjang, mula-mula berwarna hijau, kemudian abu-abu pucat. Biji masak berwarna merah tua (Steenis, 2005).

  2.1.3 Sistematika

  Sistematika tanaman bunga jeumpa Anonim, (2014), adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Bangsa : Magnoliales Suku : Magnoliaceae Marga : Magnolia Species : Magnolia champaca L.

  Sinonim : Michelia champaca L.

  2.1.4 Kandungan Kimia

  Tanaman bunga jeumpa memiliki kandungan minyak atsiri, damar, (Hariana, 2008), polifenol seperti asam galat (Ahmad, et al., 2011), alkaloid, saponin, tanin, sterol, flavonoid dan triterpenoid (Khan, 2002).

  2.1.5 Manfaat

  Tanaman bunga jeumpa atau cempaka kuning oleh masyarakat Aceh digunakan sebagai obat reumatik, peluruh angin, malaria, sakit mata, bau badan, cacar, keputihan, demam, obat bisul dan gatal-gatal (Zumaidar, 2009). Khasiat lainnya, yaitu untuk dismenore, batuk (Seong, et al., 2011), antidiabetes, menyembuhkan luka, antiinflamasi, antitumor, anti infeksi (Ananthi, 2013), antimikroba dan antioksidan (Kumar, et al., 2011; Seong, et al., 2011; Ananthi, 2013).

2.2 Metode Ekstraksi

  Ekstraksi merupakan proses penarikan suatu senyawa kimia dari jaringan tumbuhan atau hewan dengan menggunakan penyari tertentu. Cara ekstraksi yang tepat tergantung pada bahan tumbuhan yang diekstraksi dan jenis senyawa yang diisolasi (Depkes RI, 2000). Ekstrak adalah sediaan kering, kental, atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, diluar pengaruh cahaya matahari langsung, ekstrak kering harus mudah digerus menjadi serbuk. Cairan penyari dapat digunakan air, eter atau campuran etanol dan air (Depkes RI, 1979). Metode ekstraksi dapat dilakukan dengan berbagai cara (Depkes RI, 2000) antara lain:

  1. Cara dingin a.

  Maserasi Maserasi adalah proses penyarian dengan merendam simplisia dalam pelarut yang sesuai dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan dan terlindung dari cahaya.

  b.

  Perkolasi Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan.

  2. Cara panas a.

  Refluks Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

  b.

  Soxhlet Soxhlet adalah proses ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

  c.

  Digesti Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum

  o

  dilakukan pada temperatur 40 - 50 C. d.

  Infus Infus adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut air pada suhu

  o

  penangas air (temperatur terukur 96 - 98

  C) selama waktu tertentu (15 - 20) menit.

  e.

  Dekok

  o

  Dekok adalah penyarian dengan menggunakan air pada suhu 90 C selama 30 menit.

2.3 Kandungan Senyawa Kimia

2.3.1 Flavonoid

  Golongan senyawa flavonoid dapat digambarkan sebagai deretan senyawa C -C -C yang artinya kerangka karbon C (cincin benzene tersubstitusi)

  6

  3

  6

  6

  disambungkan oleh rantai alifatik 3-karbon. Flavonoid umumnya terdapat pada tumbuhan sebagai glikosida (Robinson, 1995).

Gambar 2.1 Kerangka flavonoid

  Flavonoid berupa senyawa fenol (Harborne, 1987), dan telah diketahui memiliki respon terhadap mikroba (Robinson, 1995; Havsteen, 2002).

  Aktivitasnya dikarenakan kemampuannya membentuk kompleks dengan protein seluler dan dinding sel bakteri (Cowan, 1999), dan menghambat enzim virus seperti reverse transcriptase dan protease (Havsteen, 2002).

  2.3.2 Tanin

  Tanin pada tanaman merupakan senyawa fenolik yang larut dalam air yang memiliki berat molekul antara 300 - 3000 dan menghasilkan reaksi warna biru dengan besi (III) klorida. Tanin berasal dari bahasa Prancis 'tanin' yang merupakan fenol alami (Khanbabaee, 2001). Secara kimia tanin tumbuhan terbagi dua, yaitu tanin terkondensasi (tanin katekin) dan tanin terhidrolisis (Robinson, 1995).

  Tanin memiliki kemampuan untuk mengendapkan protein (Robinson, 1995; Ashok, 2012), memiliki aktivitas sebagai antioksidan, antitumor (Robinson, 1995), antidiare, disentri, antiinflamasi, menyembuhkan luka bakar, antikoagulan, antibakteri dan antiparasit (Ashok, 2012). Sifat antibakteri tanin berhubungan dengan kemampuannya membentuk komplek dengan protein bakteri (Cowan, 1999).

  2.3.3 Saponin

  Saponin berasal dari kata Latin sapo, yang berarti “sabun” karena molekul saponin membentuk busa sabun ketika dikocok dengan air. Saponin memiliki molekul struktur beragam yang secara kimia disebut sebagai triterpen glikosida atau steroid glikosida. Saponin terdiri dari aglikon non-polar ditambah dengan satu atau lebih gugus monosakarida. Kombinasi struktur polar dan non-polar dalam molekul saponin menyebabkan sifat seperti sabun dalam air (Vincken, et al., 2007).

  Struktur kimia tersebut menetukan sifat biologis saponin sebagai deterjen alami yang memiliki efek hemolitik, antiinflamasi, antibakteri, antialergi, anti jamur dan antivirus (Arabski, et al., 2012). Aktivitasnya sebagai antibakteri dipengaruhi oleh sifatnya sebagai detergen atau surfaktan (surface active agent), yang dapat menyebabkan terganggu permeabilitas dinding sel bakteri (Arabski, et al., 2012).

  2.3.4 Alkaloid

  Alkaloid adalah senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam bentuk gabungan dan digunakan luas dalam bidang pengobatan. Secara kimia alkaloid merupakan senyawa heterogen dan memiliki rasa pahit. Fungsi alkaloid dalam tumbuhan sebagai pengatur tumbuh, penghalau atau penarik serangga (Harborne, 1987). Alkaloid memiliki aktivitas sebagai halusinogen, neurotoksin, teratogenik dan antialergi (Waller, 1978) antibakteri dan antivirus (Waller, 1978; Ozcelik, et, al., 2011).

  2.3.5 Steroid/triterpenoid

  Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C asiklik yaitu

  3 ,

  skualen (Harborne, 1987). Senyawa triterpenoid telah digunakan untuk penyakit diabetes, gangguan menstruasi, gangguan kulit, kerusakan hati, malaria, antifungus, insektisida dan antivirus (Robinson, 1995). Uji yang banyak digunakan ialah reaksi Liebermann-Burchard (anhidrida asetat-H

  2 SO 4 pekat) yang memberikan warna hijau biru (Harborne, 1987).

  Steroid adalah triterpenoid yang kerangka dasarnya sistem cincin siklopentana perhidrofenatren (Harborne, 1987). Senyawa terpenoid aktif sebagai antibakteri (Cowan, 1999; Robinson, 1995), aktivitasnya dipengaruhi oleh interaksi dengan fosfolipid penyusun dinding sel bakteri (Fransisco, et al., 2014).

Gambar 2.2 Struktur dasar steroidGambar 2.3 Struktur dasar triterpenoid

2.3.6 Glikosida

  Glikosida adalah suatu golongan senyawa bila dihidrolisis akan terurai menjadi gula (glikon) dan senyawa lain (aglikon atau genin). Umumnya glikosida mudah terhidrolisis oleh asam mineral atau enzim. Hidrolisis oleh asam memerlukan panas, sedangkan hidrolisis oleh enzim tidak memerlukan panas (Sirait, 2007). Berdasarkan ikatan antara glikon dan aglikon, glikosida dapat dibedakan menjadi (Sirait, 2007):

  1. Tipe O-glikosida: yaitu ikatan antara glikon dan aglikon melalui jembatan O, contohnya dioscin.

  2. Tipe N-glikosida, yaitu ikatan antara glikon dan aglikon melalui jembatan N, contohnya adenosine.

  3. Tipe S-glikosida, yaitu ikatan antara glikon dan aglikon melalui jembatan S, contohnya sinigrin.

4. Tipe C-glikosida, yaitu ikatan antara glikon dan aglikon melalui jembatan C, contohnya barbaloin.

2.3.7 Glikosida antrakinon

  Golongan kuinon alam terbesar terdiri dari antrakinon. Beberapa antrakinon merupakan zat warna penting dan yang lainnya sebagai pencahar.

  Keluarga tumbuhan yang kaya akan senyawa ini ialah Rubiaceae, Rhamnaceae dan Polygonaceae (Robinson, 1995). Golongan kuinon aktif sebagai antibakteri yang dapat menginaktifkan protein bakteri (Cowan, 1999).

2.4 Bakteri

  Bakteri merupakan sekelompok mikroba atau mikroorganisme yang bersel satu, berkembangbiak dengan membelah diri, karena bentuknya sangat kecil sehingga hanya dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop. Nama bakteri berasal dari kata “bakterion” yang berarti tongkat atau batang (Dwidjoseputro, 1987). Bakteri pada umumnya terdiri tiga bentuk dasar, yaitu: bentuk bulat (kokus), batang (basilus) dan spiral (Fardiaz, 1992; Pratiwi, 2008).

  Berdasarkan reaksi bakteri terhadap pewarnaan Gram, maka bakteri dapat dibedakan menjadi dua bagian: a.

  Bakteri Gram positif, yaitu bakteri yang dapat mengikat zat warna utama (kristal violet) sehingga tampak berwarna ungu tua.

  b.

  Bakteri Gram negatif, yaitu bakteri yang kehilangan warna utama (kristal voilet) ketika dicuci dengan alkohol dan menyerap zat warna kedua sewaktu pemberian safranin tampak berwarna merah (Suryanto, 2006).

  2.4.1 Bakteri Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif, selnya berbentuk

  bulat, biasanya tersusun dalam rangkaian tak beraturan seperti anggur. Bakteri

  o

  ini tumbuh baik pada suhu 37 C dan mempunyai pigmen kuning emas (Anonim, 2003; Jawetz, et al., 2001). Sistematika Staphylococcus aureus menurut (Dwidjoseputro 1994; Irianto, 2006) adalah sebagai berikut:

  Kingdom : Plantae Divisi : Protophyta Kelas : Schizomycetes Ordo : Eubacteriales Famili : Micrococaceae Genus : Staphylococcus Spesies : Staphylococcus aureus

  2.4.2 Bakteri Escherichia coli Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif, aerob atau anaerob

  fakultatif, berbentuk batang, tidak bergerak. Escherichia coli biasanya terdapat dalam saluran cerna sebagai flora normal (Jawetz, et al., 2001; Dwidjoseputro,

  o

  1987; Irianto, 2006). Bakteri ini tumbuh baik pada suhu 37

  C, membentuk koloni yang bundar, halus dan tepi rata. Bakteri ini dapat menjadi patogen bila berada di luar usus atau di lokasi lain dalam jumlah yang banyak (Jawetz, et al., 2001). Sistematika bakteri Escherichia coli (Dwidjoseputro, 1987; Irianto, 2006) adalah sebagai berikut:

  Kingdom : Plantae Divisi : Protophyta

  Kelas : Schizomycetes Ordo : Eubacteriales Famili : Enterobacteriaceace Genus : Escherichia Species : Escherichia coli

2.5 Fase Pertumbuhan Mikroorganisme

  Fase pertumbuhan menurut (Pratiwi, 2008; Irianto, 2006) terbagi menjadi empat macam, yaitu:

  1. Fase lag (fase adaptasi)

  Merupakan fase penyesuaian mikroorganisme pada suatu lingkungan baru dan bakteri belum mengadakan pembiakan. Ciri fase lag adalah tidak adanya peningkatan jumlah sel tetapi peningkatan ukuran sel.

  2. Fase log

  Merupakan fase dimana mikroorganisme tumbuh dan membelah pada kecepatan maksimum tergantung sifat media dan kondisi pertumbuhan. Sel baru terbentuk dengan laju konstan dan massa yang bertambah secara eksponensial.

  3. Fase stasioner (konstan)

  Merupakan fase dimana pertumbuhan mikrooganisme berhenti dan dapat terjadi keseimbangan antara jumlah sel yang membelah dengan jumlah sel yang mati.

  4. Fase kematian

  Merupakan fase dimana jumlah sel yang mati meningkat, penyebabnya adalah ketidaktersediaan nutrisi dan akumulasi produk buangan yang toksik.

  2.6 Faktor Pertumbuhan Mikroorganisme

  Faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dapat dibedakan menjadi faktor fisik dan faktor kimia. Faktor fisik meliputi temperatur, pH, dan tekanan osmosis (Irianto, 2006; Pratiwi, 2008). Faktor kimia meliputi karbon, oksigen,

  trace element dan faktor-faktor pertumbuhan organik termasuk nutrisi yang ada dalam media pertumbuhan (Pratiwi, 2008).

  2.7 Antibakteri

  Antibakteri adalah senyawa yang digunakan untuk mengendalikan pertumbuhan bakteri yang bersifat merugikan. Antimikroba meliputi golongan antibakteri, antimikotik dan antiviral (Ganiswara, 1995). Senyawa antibakteri dapat bekerja secara bakteriostatik dan bakterisidal (Pelczar, 1988). Obat yang digunakan untuk membasmi bakteri penyebab penyakit infeksi pada manusia harus memiliki sifat toksisitas yang selektif yaitu toksis terhadap bakteri tetapi relatif tidak toksis terhadap hospes (Jawetz, et al, 2001; Ganiswara, 1995).

  Kadar minimal yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan mikroba atau membunuhnya, masing-masing dikenal sebagai kadar hambat minimal (KHM) dan kadar bunuh minimal (KBM). Antimikroba tertentu aktivitasnya dapat meningkat dari bakteriostatik menjadi bakterisid bila kadar antimikrobanya ditingkatkan melebihi KHM (Ganiswara, 1995). Ada beberapa hal yang harus dipenuhi oleh suatu bahan antimikroba, seperti mampu mematikan mikroorganisme, mudah larut dan bersifat stabil, tidak bersifat racun bagi manusia dan hewan, efektif pada suhu kamar dan suhu tubuh, tidak menimbulkan karat dan warna, berkemampuan menghilangkan bau yang kurang sedap, murah dan mudah didapat (Pelczar, 1988).

2.8 Metode Pengujian Aktivitas Antimikroba

  Pengujian aktivitas bahan antimikroba secara in vitro dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu metode difusi dan metode dilusi (Anonim, 2003; Pratiwi, 2008; Jawezt, et al., 2001; Irianto, 2006). Pembagian metode difusi dan dilusi menurut Pratiwi, (2008), yaitu:

1. Metode difusi a.

  Metode disc diffusion (tes Kirby& bauer) Piringan yang berisi agen antimikroba diletakkan pada media agar yang telah ditanami mikroorganisme yang akan berdifusi pada media agar tersebut.

  Area jernih mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh agen antimikroba pada permukaan media agar.

  b.

  E-test Metode E-test digunakan untuk mengestimasi MIC (minimum inhibitory

  

concentration ) atau KHM (kadar hambat minimum), yaitu konsentrasi minimal

suatu agen antimikroba untuk dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme.

  Pada metode ini digunakan strip plastik yang mengandung agen antimikroba dari kadar terendah hingga tertinggi dan diletakkan pada permukaan media agar yang telah ditanami mikroorganisme.

  c.

  Ditch-plate technique Pada metode ini sampel uji berupa agen antimikroba yang telah diletakkan ada parit yang dibuat dengan cara memotong media agar dalam cawan petri pada pada bagian tengah secara membujur dan mikroba uji (maksimum 6 macam) lalu digoreskan ke arah parit yang berisi agen antimikroba.

  d.

  Cup-plate technique Metode ini serupa dengan metode disc diffusion, dimana dibuat sumur pada media agar yang telah ditanami dengan mikroorganisme dan pada sumur tersebut diberi agen antimikroba yang akan diuji.

2. Metode dilusi

  Metode dilusi dibagi menjadi dua, yaitu dilusi padat (solid dilution) dan dilusi cair (broth dilution) a.

  Metode dilusi cair/broth dilution test (serial dilution) Metode ini untuk mengukur MIC (minimum inhibitory concentration atau kadar hambat minimum, KHM) dan MBC (minimum bactericidal consentration atau kadar bunuh minimum, KBM). Cara yang dilakukan adalah dengan membuat seri pengenceran agen antimikroba pada medium cair yang ditambahkan dengan mikroba uji.

  b.

  Metode dilusi padat/solid dilution test Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan media padat (solid).

2.9 Sterilisasi

  Sterilisasi dalam mikrobiologi berarti proses penghilangan semua jenis organisme hidup yang terdapat pada atau di dalam suatu benda. Metode sterilisasi dibagi dua, yaitu: sterilisasi fisik (menggunakan panas), baik panas basah atau panas kering dan sterilisasi kimia (menggunakan gas atau radiasi) (Pratiwi, 2008).

  1. Sterilisasi fisik a.

  Sterilisasi panas basah

  o

  Sterilisasi panas basah dapat dilakukan pada suhu air mendidih 100 C selama 10 menit yang efektif untuk sel-sel vegetatif, namun tidak efektif untuk

  o

  endospora bakteri. Sterilisasi panas basah menggunakan temperatur diatas 100 C dilakukan dengan uap yaitu menggunakan autoklaf. Proses sterilisasi dengan cara mendenaturasi atau mengkoagulasi protein pada enzim dan membran sel

  o

  mikroorganisme (Pratiwi, 2008), dengan suhu 121 C (dengan tekanan 15 psi) selama 15-20 menit (Anonim, 2003; Irianto, 2006).

  b.

  Sterilisasi panas kering Metode sterilisasi ini tidak memerlukan air sehingga tidak ada uap air yang membasahi alat atau bahan yang disterilkan (Anonim, 2003; Pratiwi, 2008). Ada dua metode sterilisasi panas kering yaitu dengan insenerasi, yaitu pembakaran

  o

  menggunakan api dari bunsen dengan temperatur sekitar 350 C dan dengan udara

  o

  panas oven dengan temperatur sekitar 160-170 C (Pratiwi, 2008), selama 1-2 jam (Anonim, 2003).

Dokumen yang terkait

Evaluasi Status Hara Tanah Berdasarkan Posisi Lahan Di Kebun Inti Tanaman Gambir (Uncaria gambir Roxb.) Kabupaten Pakpak Bharat

0 0 17

Evaluasi Status Hara Tanah Berdasarkan Posisi Lahan Di Kebun Inti Tanaman Gambir (Uncaria gambir Roxb.) Kabupaten Pakpak Bharat

0 0 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Elektrokimia 2.1.1. Pengertian Elektrokimia - Pengaruh Waktu Terhadap Kecepatan Korosi Logam Fe, Ni, Dan Cr Pada Korosi Baja SS 304 Dalam Medium Asam Sulfat ( H2SO4 ) 1M

1 1 21

BAB II PENGELOLAAN KASUS A. Konsep Dasar Keperawatan Dengan Masalah Kebutuhan Nutrisi 1. Konsep Dasar 1.1. Nutrisi 1.1.1. Definisi nutrisi - Asuhan Keperawatan pada An. R dengan Prioritas Masalah Gangguan Nutrisi Kurang dari Kebutuhan Tubuh di Perumahan V

0 0 56

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Teoritis 2.1.1 Pasar Modal - Analisis Perbedaan Abnormal Return dan Trading Volume Activity (TVA) Saham Sebelum dan Sesudah Stock Split (Studi Kasus pada Perusahaan Go Public di BEI yang Melakukan Stock Split Tahun 2009-

0 0 20

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Analisis Perbedaan Abnormal Return dan Trading Volume Activity (TVA) Saham Sebelum dan Sesudah Stock Split (Studi Kasus pada Perusahaan Go Public di BEI yang Melakukan Stock Split Tahun 2009-2013)

0 1 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Pasar Modal - Analisis Pengaruh EPS, PER dan M/B terhadap Return Saham pada Perusahaan Properti dan Real Estate yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 25

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pasar Modal - Pengaruh Umur Perusahaan, Persentase Penawaran Saham dan Ukuran Perusahaan Terhadap Tingkat Underpricing saat Penawaran Umum Perdana (Studi Kasus Perusahaan Yang Terdaftar di BEI Tahun 2010-20

0 0 18

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kompresi Data - Analisis Perbandingan Kinerja Algoritma Fixed Length Binary Encoding (Flbe) Dengan Algoritma Sequitur Dalam Kompresi File Teks

0 0 8

Skrining Fitokimia Dan Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Dan Fraksi-Fraksi Daun Bunga Jeumpa (Magnolia Champaca L.)

0 0 19