Paradoks Kebhinnekaan Neoliberal Tinjaua pdf

PARADOKS KEBHINEKAAN NEOLIBERAL: TINJAUAN KRITIS ATAS PEMBANGUNAN DAN KEBHINEKAAN DI INDONESIA PASCA-ORDE BARU

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

Abstrak

Artikel ini bertujuan untuk memproblematisasi kembali hubungan antara proyek pembangunan (neo)liberal dan politik kebhinekaan di Indonesia setelah reformasi. Berbeda dengan kajian-kajian yang melihat bahwa kebhinekaan harus ditanamkan di masyarakat sebagai sebuah kerangka berpikir normatif dan harus dipertahankan dari negara yang otoriter atau fundamentalisme keagamaa, artikel ini berargumen bahwa politik kebhinekaan akan sangat susah ditanamkan di dalam struktur masyarakat yang neoliberal. Kepengaturan neoliberal telah mengubah struktur sosial masyarakat melalui ‘teknologi atas tubuh’ yang berhubungan dengan penguatan kapasitas agar masyarakat bisa kompetitif dan mampu beradaptasi dengan norma-norma kapitalisme neoliberal yang ditanamkan sebagai bagian dari perubahan struktur ekonomi di tingkat nasional. Kepengaturan tersebut, pada tingkat tertentu, akan berhadapan dengan perlawanan masyarakat yang merasa dirugikan karena akses mereka terhadap sumber daya ekonomi menjadi berkurang akibat liberalisasi yang ditanamkan hingga ke tingkat lokal. Seperti direfleksikan dalam kasus Kulon progo, dari kasus (1) perencanaan partisipatif dan yang lebih spesifik (2) konflik pertambangan di pesisir selatan Kulon Progo, kepengaturan neoliberal telah mengubah cara pandang kelompok-kelompok sosial masyarakat yang melihat ‘pesaing’ mereka sebagai ‘The Other’, bahkan dalam kasus konflik pasir besi melihat mereka sebagai musuh yang harus dieksklusi dari masyarakat. Dengan menggunakan pendekatan kritis, artikel ini mencoba untuk memaparkan

Paradoks Kebhinekaan Neoliberal: Tinjauan Kritis Atas Pembangunan dan Kebhinekaan Di Indonesia Pasca-Orde Baru

konstruksi-konstruksi yang ditimbulkan dari model kepengaturan neoliberal di pedesaan, implikasinya terhadap konteks kebhinekaan di aras lokal, dan kebijakan apa yang perlu diambil untuk mentransformasikan konflik menjadi hubungan antar-subjek yang lebih damai.

Kata Kunci: Kebhinekaan, Neoliberalisme, Indonesia, Perencanaan Pembangunan, Kepengaturan, Politik Lokal

“Lebih dari satu milyar orang masih belum mendapatkan akses untuk memperoleh air yang aman, dan setiap tahun 2,4 juta anak meninggal akibat penyakit yang menular melalui air…” (John Wolfensohn, dikutip dari Coen Husain Pontoh dkk.)

Pendahuluan

Proses transisi politik di tahun 1998 tidak hanya meruntuhkan Orde Baru sebagai tatanan politik, melainkan juga melahirkan diskursus baru dalam pembangunan di Indonesia. Setelah Soeharto jatuh pada tahun 1998, pemerintah mulai memperkenalkan skema desentralisasi atas nama “otonomi daerah”. Skema desentralisasi yang mulai diberlakukan pada permulaan era reformasi tersebut memberi dampak yang besar bagi tata perencanaan pembangunan daerah, tak terkecuali desa. Sistem perencanaan pembangunan yang pada awalnya bersifat top-down, berubah lambat laun menjadi bottom-up dengan model perencanaan berbasis Musrenbang (Musyawarah Rencana Pembangunan) secara berjenjang.

Era pasca-Orde Baru ditandai oleh munculnya satu wacana dominan: good governance. Dibawa satu paket bersama structural adjustment program dan beberapa mekanisme donor yang lain, good governance pada intinya menawarkan reformasi institusi negara yang berbasis pada “pembukaan dan perlindungan atas hak- hak individu, absennya korupsi, regulasi yang ramah-pasar, serta sesuai dengan kebijakan makroekonomi neoliberal” (World Bank via Carroll, 2009). Institusi menjadi salah satu poin penting dalam format reformasi Bank Dunia. Menurut skema yang diterapkan secara global ini, good governance mengisyaratkan bahwa tata kelola pemerintahan harus dibuat kompatibel untuk berjalannya mekanisme pasar yang efektif (Carroll, 2009; Abrahamsen, 2000). Untuk membuat governance yang kompatibel dengan pasar itu, diperkenalkanlah beberapa norma seperti transparansi, akuntabilitas, dan keterlibatan masyarakat sipil dalam proses-proses governance yang ada.

Wacana ini menguat seiring dengan masuknya beberapa skema donor yang

190 MAARIF Vol. 9, No. 2 — Desember 2014

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

ingin memberikan bantuan pembangunan kepada Indonesia. IMF memberikan bantuan pinjaman melalui berbagai Letter of Intent yang ditandatangani di akhir era kepemimpinan Soeharto. Di sisi lain, Bank Dunia juga memberikan bantuan melalui Kecamatan Development Program, sebuah proyek pembangunan yang bertujuan untuk menggalang kewirausahaan melalui modal sosial (Li, 2007; Carroll, 2012). Aktivitas donor ini berjalan seiring dengan proses demokratisasi yang segera berlangsung di Indonesia sejak 1999.

Tulisan ini mencoba untuk memproblematisasi kembali hubungan antara ‘politik pembangunan’ dengan ‘desain kebhinekaan’ di Indonesia setelah kejatuhan Soeharto di tahun 1998. Bertolak belakang dengan argumen liberal bahwa politik kebhinekaan dapat ditanamkan di masyarakat melalui pengarusutamaan pluralisme dan kebhinekaan di masyarakat, tulisan ini justru berargumen bahwa proses perencanaan pembangunaan di Indonesia, yang berbasis pada asumsi-asumsi neoliberal tentang masyarakat yang berdaya saing dalam logika pasar, justru membuat dimensi kebhinekaan berpotensi untuk hilang dalam struktur kelembagaan sosial masyarakat.

Perspektif tentang kebhinekaan selama ini banyak menganggap kebhinekaan adalah sesuatu yang harus dihormati dan ditanamkan di masyarakat untuk menghindari dominasi satu kelompok agama tertentu, misalnya fundamentalisme keagamaan (lihat Rachman et. al, 2011). Namun, perspektif ini luput untuk melihat, misalnya, dinamika ekonomi politik dan praktik kepengaturan yang bersifat teknis di masyarakat (Juru, 2010). Perspektif kebhinekaan yang berbasis pada kebhinekaan liberal gagal memberikan penjelasan mengapa pembangunan yang ditanamkan setelah Orde Baru, misalnya, justru melemahkan kelembagaan masyarakat dan pada titik tertentu melahirkan konflik (lihat Carroll, 2010; Li, 2007).

Tulisan ini mencoba untuk mempertanyakan sejauh mana model pembangunan neoliberal yang ditanamkan di Indonesia setelah Reformasi berdampak pada kerangka politik kebhinekaan baik di tingkat lokal maupun nasional. Analisis terhadap pertanyaan tersebut akan dimulai dengan pemetaan atas perspektif- perspektif dalam studi pembangunan.

Kebhinekaan, Kepengaturan, dan Pembangunan: Kerangka Teoretis

Secara konseptual, setidaknya ada tiga perspektif besar yang digunakan untuk

MAARIF Vol. 9, No. 2 — Desember 2014

Paradoks Kebhinekaan Neoliberal: Tinjauan Kritis Atas Pembangunan dan Kebhinekaan Di Indonesia Pasca-Orde Baru

memahami perencanaan pembangunan daerah pasca-Reformasi. Pertama, perspektif neo-liberal atau neo-institusionalis. Cara pandang ini banyak dibawa oleh beberapa lembaga donor dan international development dalam memahami desentralisasi. Argumen dasarnya adalah “upaya mempertahankan pertumbuhan, penyediaan lapangan kerja, dan peningkatan penghasilan kaum miskin melalui intervensi kebijakan eksplisit terhadap kebijakan pertumbuhan –suatu kebijakan pertumbuhan yang pro-poor” (Antlov, 2008).

Logika yang sangat khas bercorak neo-institusionalis tercermin dari semangat untuk memindahkan kewenangan negara kepada masyarakat dengan tujuan untuk memperkuat konsolidasi reformasi ekonomi berbasis pasar (Goldfrank, 2007; lihat juga Li, 2007). Sistem perencanaan model ini bertujuan meningkatkan kapasitas masyarakat dengan penekanan pada kesiapan menghadapi ekonomi pasar (Li, 2007). Dengan demikian, perspektif ini tidak memberikan kacamata analisis untuk melihat perjuangan kelompok-kelompok sosial yang termarjinalisasi oleh praktik pembangunan, terutama ketika berhadapan dengan struktur besar pasar.

Kritik terhadap pendekatan ini datang dari cara pandang kedua, yaitu pendekatan Marxis. Argumen dasarnya, skema desentralisasi dan perencanaan pembangunan yang terjadi di Indonesia pasca-Soeharto adalah bagian tak terpisahkan dari konsolidasi rejim free market yang bertujuan menjaga

kepemilikan pribadi –atau modal (Hadiz, 2004). 2 Hal ini dapat dilihat, misalnya, dari persetujuan pemerintah atas konsepsi Konsensus Washington yang percaya bahwa peran negara harus diminimalisasi dalam perekonomian dan sektor privat harus diperkuat. Dalam konteks ini, pembangunan dipercaya sebagai bagian dari “konsolidasi kapitalisme” di Indonesia dan hanya menguntungkan kelompok sosial tertentu yang memiliki modal yang kuat.

Secara garis besar, konsolidasi rejim free-market tersebut dioperasionalisasikan melalui proses transformasi kepentingan predatoris warisan Orde Baru yang menempatkan kelompok pemilik modal sebagai bagian tak terpisahkan dari struktur politik nasional. Artinya, pergeseran paradigma pembangunan tersebut, dalam perspektif ini, adalah re-konsolidasi oligarki yang tumbuh pada rejim Orde Baru, dan bukan bersifat partisipatif an sich (Hadiz dan Robison, 2004). Proses perencanaan pembangunan yang pro-poor perlu meletakkan analisis mengenai relasi dan arus modal yang beroperasi di sekitar proses perencanaan.

Sementara cara pandang ketiga diwarisi dari pendekatan post-strukturalis khas Foucauldian. Cara pandang ini melihat bahwa proses perencanaan pembangunan

192 MAARIF Vol. 9, No. 2 — Desember 2014

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

di Indonesia adalah injeksi dan manifestasi dari proses kekuasaan tertentu. Foucault memperkenalkan istilah “Government” untuk melihat manifestasi dari proses pelembagaan pembangunan tertentu di masyarakat. Hakikat dari “government” adalah mengubah persepsi dan perilaku masyarakat melalui tindakan-tindakan yang telah dikalkulasikan sebelumnya secara programatik, dengan mendidik semangat, hasrat, serta mendorong aspirasi untuk melakukan

sesuatu (Li, 2007). 3 Tentu saja, upaya programatik tersebut didorong untuk sampai pada satu

muara tertentu. Inilah yang disebut oleh Foucault sebagai “proses kekuasaan tertentu” 4 . Tujuan dari “government” adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat, meningkatkan kapasitas masyarakat, dan sejenisnya. Perspektif ini tidak melihat sebatas relasi-relasi modal di sekitar proses perencanaan pembangunan daerah di Indonesia, tetapi juga relasi-relasi kekuasaan (Sheridan, 1981).

Dalam perdebatan tiga perspektif besar inilah wacana mengenai kebhinekaan dan pembangunan diletakkan. Dalam perspektif kebhinekaan liberal, kebhinekaan dipandang sebagai sesuatu yang bersifat given, dalam arti ia sudah ada di masyarakat dan harus dipertahankan dari dominasi kelompok tertentu, terutama negara. Oleh sebab itu, negara harus menjamin kebhinekaan agar tidak dirusak baik oleh kelompok fundamentalis keagamaan atau kekuatan lain yang koersif (Rachman et. al, 2011). Namun, perspektif ini memiliki beberapa keterbatasan ketika negara dihadapkan pada kekuatan-kekuatan sosial yang saling berkepentingan dalam memperebutkan sumber daya ekonomi. Dalam masyarakat kapitalis, “kebhinekaan” harus dihadapkan dengan kekuatan sosial yang memiliki modal kuat dan mendapatkan resistensi dari kelompok- kelompok lain, seperti buruh dan petani.

Oleh sebab itu, paradigma “kebhinekaan” sebagai norma yang harus di-impose di masyarakat dan dipertahankan oleh negara, sebagaimana argumen Rachman et. al (2011), menjadi problematis karena pada dasarnya masyarakat tak lepas dari konflik-konflik yang punya basis material di ranah produksi, yakni ekonomi-politik. Pada titik inilah kritik Marxian diajukan. Menurut argumen ini, kebhinekaan harus diletakkan di atas persamaan derajat semua golongan, baik ras, kelas, maupun identitas (Glynn, 2006). Prasyarat adanya kebhinekaan ‘radikal’ tersebut adalah kesetaraan kelas, di mana dominasi borjuis atas proletariat harus terlebih dulu dienyahkan (Glynn, 2006; Sandner, 2005).

Namun, logika kesetaraan kelas sebagai prasyarat untuk membangun politik kebhinekaan juga mendapatkan tantangan, antara lain dari perspektif kritis

MAARIF Vol. 9, No. 2 — Desember 2014

Paradoks Kebhinekaan Neoliberal: Tinjauan Kritis Atas Pembangunan dan Kebhinekaan Di Indonesia Pasca-Orde Baru

yang melihat bahwa politik kebhinekaan bukan hanya dipengaruhi oleh kesetaraan di wilayah yang bersifat material, melainkan juga pada ‘konsensus’ dan ‘hegemoni’ yang beroperasi di masyarakat (Beverley, 2003). Kebhinekaan bukanlah sesuatu yang ada dengan sendirinya, melainkan harus diperjuangkan dalam politik. Dalam perspektif ini, tantangan politik kebhinekaan adalah eksklusi atas identitas tertentu (Juru, 2010). Oleh sebab itu, untuk membangun tatanan masyarakat yang “multicultural”, penting mempertemukan dan mengontestasikan berbagai identitas secara terus-menerus. Kebhinekaan harus dibangun melalui kontestasi dan politik (Beverley, 2003; Mouffe, 2011; Juru, 2010). Oleh sebab itu, bentuk-bentuk kepengaturan, baik yang ditanamkan oleh masyarakat, pasar, maupun negara, menjadi penting untuk dibongkar agar tidak ada “hegemoni” yang beroperasi dan memarjinalisasi identitas-identitas tertentu.

Tulisan ini akan beranjak pada konsepsi ketiga tentang kebhinekaan dan pembangunan. Keberadaan masyarakat yang ‘multikultur/bhineka’ akan sangat ditentukan oleh keberadaan identitas-identitas yang ada di masyarakat dan pola-pola kepengaturan yang bermain di tingkat lokal. Selama ini, pola kepengaturan neoliberal yang beroperasi di Indonesia telah banyak mengubah struktur kelembagaan masyarakat (Carroll, 2012; Li, 2007). Pola pembangunan yang diadopsi oleh PNPM/KDP dari Bank Dunia menciptakan pola masyarakat yang siap dengan skema kelembagaan pasar di tingkat lokal (Li, 2007). Dengan demikian, pembangunan menjadi instrumen bagi pelembagaan neoliberalisme di Indonesia. Teknologi-teknologi yang dikembangkan untuk keperluan pembangunan, seperti teknologi partisipasi, menjadi penting untuk dilihat sebagai sarana pelembagaan neoliberalisme di Indonesia.

Dalam perspektif ini, kebhinekaan akan sangat dipengaruhi oleh teknologi- teknologi sosial yang diaplikasikan dalam politik pembangunan. Kebhinekaan, mengacu pada argumen-argumen kritis, tidak hanya mengacu pada ‘hubungan pasif’ antara warga negara yang difasilitasi oleh negara, melainkan pada ‘hubungan aktif’ antar-warga negara dalam sebuah struktur politik yang ada. Hubungan aktif tersebut kemudian mentransformasikan individu sebagai ‘subjek’ yang aktif memerjuangkan identitasnya (Juru, 2010). Dalam konteks pembangunan, kebhinekaan hanya bisa tercapai jika subjek mampu mengartikulasikan identitasnya secara politis. Namun, dengan adanya struktur ekonomi-politik neoliberal yang ingin mengatur masyarakat dalam logika pasar- bebas, ruang-ruang artikulasi subjek menjadi tergerus oleh teknologi-teknologi sosial yang diaplikasikan oleh diskursus pembangunan tersebut, semisal

194 MAARIF Vol. 9, No. 2 — Desember 2014

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

partisipasi dan musyawarah rencana pembangunan (Li, 2007). Oleh sebab itulah, artikel ini berargumen bahwa ‘politik pembangunan’ yang

diejawantahkan melalui teknologi-teknologi intervensi di masyarakat, dalam konteks perencanaan pembangunan, menjadi salah satu batu sandungan utama dalam proyeksi politik kebhinekaan di Indonesia. Untuk melacak dan membuktikan hal tersebut secara empiris, tulisan ini akan mendiskusikan lahirnya logika pembangunan Orde Baru dan bagaimana ia bertransformasi setelah kejatuhan Soeharto tahun 1998 dalam proses pembangunan pedesaan di Indonesia.

Birokrasi sebagai Pusat: Pembangunan Indonesia Era Orde Baru

Uraian tentang kebhinekaan dan pembangunan tersebut akan dimulai dengan mengulas bagaimana wacana-wacana ekonomi politik saling bertarung satu sama lain di era Orde Baru. Richard Robison mencatat, ada setidaknya empat kekuatan yang saling berkontestasi untuk mendefinisikan ‘Indonesia’ di sekeliling Soeharto. Pertama, kelompok liberal yang menginginkan ‘negara’ hanya hadir untuk memfasilitasi terciptanya pasar yang efisien. Kedua, kelompok nasionalis yang menginginkan peran sentral negara dalam mengelola perekonomian. Ketiga, kelompok reformis yang menginginkan ‘negara’ meng- address masalah-masalah ketimpangan yang ada; serta Keempat, kelompok borjuis kecil yang menginginkan perombakan total dan demokratisasi secara menyeluruh (Robison, 1986; lihat Umar, 2014).

Beberapa peneliti mencatat, wacana pembangunan Orde Baru di awal pembentukannya (1966-1980an) ditandai oleh beberapa hal, antara lain munculnya kapitalisme negara melalui proyek-proyek industrialisasi substitusi impor (ISI), keterbukaan ekonomi dan penanaman modal baik asing maupun domestik, pembenahan struktur dan aparatus negara, serta menguatnya rezim pembangunan yang berbasis pada perencanaan (Hill dan Narjoko, 2008; Hadiz dan Chalmers, 1997; Robison, 1986; Hiariej, 2003; Hadiz dan Robison, 2004). Beberapa hal tersebut mengisyaratkan dominannya peran kaum nasionalis dalam pengambil keputusan ekonomi Indonesia.

Corak ekonomi yang ‘nasionalis’ semacam ini dimungkinkan oleh adanya goncangan minyak (‘oil boom’) yang memungkinkan dana mengucur dari sektor migas dan memberi ‘energi’ bagi proses-proses pembangunan. Rezim Orde Baru, melalui kaum teknokrat yang menguat perannya pada tahun 1970an,

MAARIF Vol. 9, No. 2 — Desember 2014

Paradoks Kebhinekaan Neoliberal: Tinjauan Kritis Atas Pembangunan dan Kebhinekaan Di Indonesia Pasca-Orde Baru

menggunakan dana tersebut untuk membangun proyek industrialisasi dan melakukan modernisasi di banyak sektor (Hill dan Narjoko, 2008), Proses- proses industrialisasi tersebut melahirkan basis konglomerasi baru di Indonesia yang mengambil keuntungan akibat keterbukaan ekonomi dan investasi (Kunio, 1989; Umar, 2014).

Di level yang lebih mikro, corak ekonomi yang nasionalis ini diperkuat oleh negara yang sangat sentral perannya dalam mengatur masyarakat. Pada era ini, proses pembangunan dibangun dalam logika sentralisasi dan bersifat top-down. Pada era Orde Baru, paradigma pembangunan bercorak sentralistik dengan struktur besar negara sebagai pengendali utama. Karl Jackson menggunakan konsep bureaucratic polity –yang juga terjadi pada kasus Thailand— untuk menjelaskan fenomena pemusatan kekuasaan pada birokrasi. Pemerintah Orde Baru mengkorporatisasi pemerintah desa dengan logika birokratik-politis mereka—meminjam Karl D. Jacson. Akibatnya, dalam struktur pemerintah desa era Orde Baru, Posisi Pemerintah Desa adalah posisi birokrasi—alat negara—dan menjadi instrumen kepengaturan penting dalam rezim Orde Baru. Sehingga, birokrasi, termasuk birokrasi di Desa, akhirnya memiliki fungsi-fungsi politik dan begitu sentral perannya di masyarakat (Jackson, 1987).

Pada era ini, relasi yang terjalin antara birokrasi (kekuatan negara) dengan kekuatan-kekuatan di luar negara (pelaku bisnis, masyarakat, media, dsb.) bersifat klientelistik (patron-client). Beberapa kajian menyebut fenomena ini sebagai negara yang oligarkis dan tertutup, senyap, dipenuhi oleh berbagai praktik korupsi (Brown, 1996; lihat juga Hadiz dan Robison, 2004; Pratikno, 2009). Pada tipe birokrasi yang sangat kuat ini, proses pembangunan didasarkan pada paradigma yang bercorak top-down, atau dikendalikan oleh negara secara hierarkis dan sentralistik.

Melalui aparatus birokratis ini, pemerintah meredam semua bentuk gerakan kritis rakyat dengan berbagai bentuk kebijakan. Pertama kali yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru adalah membersihkan PKI. Partai berhaluan komunis ini, hingga tahun 1965, menjadi partai yang paling berkuasa di tingkat desa. Sel-sel mereka mampu menggerakkan petani untuk menuntut hak mereka atas tanah. Alat tani mereka di desa-desa adalah BTI. Gerakan ini jelas akan sangat merintangi kerja pemerintah, dan segera diberangus sebagai momentum konsolidasi pertama rezim Orde Baru (lihat Herlambang, 2013).

Petani kemudian “dimodifikasi” dalam bentuk-bentuk yang baru. Inilah yang disebut oleh Michael Foucault -dikutip juga oleh Prof. Li dalam salah satu

196 MAARIF Vol. 9, No. 2 — Desember 2014

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

artikelnya tentang World Bank—sebagai “Government”. Modelnya tidak jauh berbeda dengan “discipline” dan “punishment”, yaitu mengubah persepsi dan perilaku. Hanya saja, government ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, meningkatkan kapasitas masyarakat, dan lain sebagainya (Li, 2005). Dengan cara inilah pembangunan menjadi instrumen bagi negara untuk menerapkan practice of governmentality kepada masyarakatnya.

Dengan demikian, proses pembangunan menjadi lebih mudah diinternalisasi kepada masyarakat. Negara Orde Baru menjadikan ‘pembangunan’ sebagai ideologi yang membuat kepengaturan negara menjadi total di masyarakat (Li, 2012). Di saat yang bersamaan, negara dengan semua aparatusnya berkepentingan untuk menanamkan ideologi mereka kepada masyarakat agar semua bentuk dan potensi perlawanan dari masyarakat dapat dibungkam. Sehingga, proses perencanaan dan pembangunan di era Orde Baru pada dasarnya embedded dengan proses pembentukan dan konsolidasi rejim politik otoriter.

Pembangunan di masa Orde Baru ditandai oleh adanya ‘keseragaman’, dengan melakukan sentralisasi birokrasi di tingkat pusat dan penyeragaman ‘nama’ hingga tingkat desa (lihat Collins, 2007). Keseragaman ini punya implikasi di tingkat lokal, sebagaimana ditunjukkan oleh studi etnografis Collins (2007) dan Li (2007) yang melihat bahwa model pembangunan semacam ini menyebabkan terjadinya marjinalisasi pada identitas tertentu, seperti etnis. Sentralisasi birokrasi membuat kekuasaan pemerintah menjadi sangat kuat dan hegemonik, tetapi di sisi lain juga menyebabkan banyak identitas yang termarjinalkan karena gagal menghadapi proseduralisme birokratis yang ditanamkan oleh rejim baru.

Totalitas makna pembangunan yang ditanamkan oleh rejim tersebut kemudian membuat kepengaturan berjalan dan dipimpin oleh negara. Namun, pada tahun 1990an, kepengaturan tersebut mulai goyah. Gerakan-gerakan oposisi seperti buruh atau Mega-Bintang di tahun 1997 mulai marak hadir dalam politik nasional (Hadiz, 2005). Munculnya oposisi tersebut dimungkinkan oleh mulai melemahnya kapasitas intervensionis rejim. Pembangunan yang awalnya menjadi alat ‘disiplin’ dan ‘kepengaturan’ kemudian harus dihadapkan pada pilihan untuk melakukan efisiensi. Studi Hiariej (2005) berpendapat bahwa struktur ekonomi-politik Orde Baru yang rapuh ini memiliki kontribusi atas jatuhnya Orde Baru.

Sebagaimana dicatat dengan baik oleh Robison (1986), “kapitalisme negara” yang dibangun oleh Soeharto di awal-awal kepemimpinannya sangat diuntungkan oleh adanya oil boom –produksi minyak Indonesia yang menyebabkan devisa

MAARIF Vol. 9, No. 2 — Desember 2014

Paradoks Kebhinekaan Neoliberal: Tinjauan Kritis Atas Pembangunan dan Kebhinekaan Di Indonesia Pasca-Orde Baru

meningkat dan Indonesia meraup untung yang besar (lihat Umar, 2012; Arfani, 2013; Robison, 1986; Hadiz dan Robison, 2004). Namun, di tahun 1990an, terjadi resesi dan penurunan produktivitas energi Indonesia. Hal ini segera direspons oleh pemerintah Orde Baru dengan melaksanakan paket kebijakan deregulasi (Hadiz dan Robison, 2004). Pergeseran haluan kebijakan di tahun 1990an ini memang tidak mengubah pola kepengaturan di tingkat lokal, tetapi sedikit banyak membuat ‘kue’ ekonomi pemerintah berkurang dan pendekatan koersif yang memakan banyak biaya harus banyak dikurangi.

Adanya struktur ekonomi dan politik yang oligarkhis, lalu kerapuhan yang melanda kapitalisme telah membuat Orde Baru sangat rentan dengan krisis. Menurut Hiariej, adanya gelombang demonstrasi dan kerusuhan hanya implikasi dari kontradiksi ekonomi politik yang telah terbangun sejak 1966. Crony Capitalism telah mengakibatkan akumulasi kapital yang tak terkendali di kalangan konglomerat dan kroni Soeharto. Akibatnya, kapitalisme yang diharapkan dapat memberikan kesejahteraan, gagal menjawab tantangan- tantangan yanga ada. Sehingga, ketika krisis terjadi, developmentalisme tidak dapat memberikan jawaban konkret untuk mengatasi krisis moneter, sehingga dan harus takluk di tangan Letter of Intent dengan IMF yang membuka pintu neoliberalisme di Indonesia.

Jatuhnya Soeharto menandai adanya pergeseran dari ‘developmentalisme’ ke ‘neoliberalisme’. Pergeseran ini dimulai dengan adanya ‘desentralisasi’ yang secara diskursif mengubah paradigma pembangunan yang dianut oleh pemerintah. Desentralisasi, yang kemudian juga berjalan hingga ke desa, dengan baik menunjukkan cara kerja ekonomi politik neoliberal yang ingin menanamkan model kepengaturan baru di masyarakat dengan penekanan utama pada ‘pasar-bebas’.

Pergeseran-Pergeseran Neoliberal: Pembangunan Indonesia Pasca-Orde Baru

Pada tahun 1998, Soeharto jatuh. Setelah Orde Baru runtuh, model kepengaturan tersebut kemudian berubah haluan. BJ Habibie yang menjadi Presiden baru mulai memperkenalkan skema desentralisasi atas nama “otonomi daerah”. Desentralisasi menemui momentum pada tahun 1999 ketika Presiden BJ. Habibie membentuk Tim 10 yang diketuai oleh Prof. Dr. Ryaas Rasyid untuk merumuskan konsep desentralisasi yang akhirnya melahirkan produk UU No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah (Sulistyanto dan Erb, 2004). Konsep

198 MAARIF Vol. 9, No. 2 — Desember 2014

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

desentralisasi ini memindahkan kewenangan pengelolaan pemerintahan— termasuk keuangan— kepada pemerintah daerah, dengan pengecualian hanya pada 5 urusan penting. Perkembangan yang lebih mutakhir, desentralisasi telah sampai pada bentuk demokrasi langsung dalam bentuk pemilihan kepala daerah dan pemilihan kepala desa (lihat UU 23/2004).

Skema desentralisasi yang mulai diberlakukan pada permulaan era reformasi tersebut memberi dampak yang besar bagi tata perencanaan pembangunan daerah, tak terkecuali desa. Sistem perencanaan pembangunan yang pada awalnya bersifat top-down, berubah lambat laun menjadi bottom-up melalui beberapa perangkat hukum, di antaranya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan

Pembangunan Nasional. 5 Proses perencanaan berbasis Musrenbang (Musyawarah Rencana Pembangunan) secara berjenjang tersebut mempengaruhi model penganggaran yang digunakan.

Dua pergeseran paradigma tersebut (sistem demokrasi langsung di tingkat desa dan sistem perencanaan bottom-up) memberikan peran yang sangat strategis bagi pemerintah desa sebagai pelaku utama pembangunan. Di satu sisi, model baru tersebut mengharuskan Desa untuk membuat kerangka perencanaan tersendiri, baik secara jangka pendek (tahunan) maupun jangka menengah (lima-tahunan). Hal ini memberikan keuntungan bagi masyarakat untuk mengusulkan kebutuhannya dalam pembangunan serta memberikan ruang advokasi bagi masyarakat sipil dalam konteks perencanaan dan penganggaran desa (Sumpeno, 2011).

Pergeseran ini juga bisa diamati dalam konteks yang lain, yakni semakin banyaknya aktor-aktor di sekeliling pemerintahan baru. Jika dulu, melalui sentralisasi birokrasi, negara punya peran dalam menjalankan fungsi kepengaturannya, maka pada era ini muncul banyak aktor yang bermain dengan pendekatan- pendekatan yang dianut. Salah satu aktor yang masuk adalah lembaga-lembaga donor asing, macam World Bank atau International Development dari masing- masing negara. Perubahan paradigma yang terjadi adalah pemindahan otoritas dari “negara” ke kekuatan “pasar” melalui berbagai injeksi programatik.

Tania Murray Li (2005) memotret bagaimana transfer otoritas tersebut terjadi melalui program yang dulu “sangat kiri” alias digunakan oleh kelompok anti- Orba sebagai alat perlawanan. Lembaga donor masuk, di tahun 2002, misalnya, melalui Program Pengembangan Kecamatan yang kini menjadi PNPM Mandiri. Model yang digunakan, seperti dipotret dalam studi Li di Sulawesi

MAARIF Vol. 9, No. 2 — Desember 2014

Paradoks Kebhinekaan Neoliberal: Tinjauan Kritis Atas Pembangunan dan Kebhinekaan Di Indonesia Pasca-Orde Baru

Tengah dan model perencanaan Bank Dunia di Indonesia, adalah Participatory Rural Appraisal (PRA) yang memosisikan masyarakat sebagai “subjek kajian”. Model kajian yang dikembangkan oleh Robert Chambers ini pada mulanya digunakan, terutama oleh fasilitator pembangunan dunia ketiga seperti Freire dkk,, sebagai alat penyadaran kritis dalam pendidikan model Marxis, Akan tetapi, kini fungsinya justru berubah arah oleh masuknya kelompok lembaga donor ini pada proses pembangunan.

Tak hanya itu, proses perencanaan pembangunan pun segera dikonstruksi dengan model-model neoliberal (Li, 2005). Model dasarnya adalah pemindahan logika menjadi bottom-up. Sekilas, hal ini tidak jauh berbeda dengan logika demokrasi yang mengarusutamakan suara rakyat secara partisipatoris. Akan tetapi, tujuan dasarnya justru bertolak belakang. Partisipasi bukan untuk memerjuangkan kesetaraan, tetapi menginjeksi masyarakat dengan logika ekonomi pasar dan memindahkan tugas-tugas negara. Hal ini terlihat dari model partisipasi yang dibangun oleh antropolog Bank Dunia, Scott Guggenheim, pada proyek Kecamatan Development Program yang kemudian bertransformasi menjadi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).

Model Guggenheim menempatkan partisipasi masyarakat sebagai dasar untuk merencanakan pembangunan di tingkat lokal. Partisipasi tersebut dibangun dengan membangun kelompok-kelompok masyarakat, yang diberdayakan untuk membuat proposal pembangunan dan mengajukannya kepada PNPM. Proposal tersebut harus sesuai dengan guidelines PNPM, yang pada praktiknya sangat kental dengan upaya membangun kewirausahaan dan mendorong masyarakat untuk berkompetisi melalui proposal tersebut. Jika proposal disetujui, Bank Dunia dan pengelola PNPM akan mengawasi mereka apakah sesuai dengan prosedur yang dibangun atau tidak. 6

Asumsi dasarnya bisa dijelaskan seperti ini. Dalam konteks kepengaturan baru ini, otoritas “untuk mengatur” (to govern) diberikan kepada masyarakat, tetapi tetap dengan asistensi –baik dari donor, PNPM, atau bahkan LSM— agar penerimaan terhadap logika ekonomi pasar masuk. Instrumennya adalah perangkat advokasi masyarakat sipil (Umar, 2014). Itulah sebabnya World Bank dan kawan-kawannya begitu getol memberikan uang untuk mendanai proyek masyarakat sipil untuk program pembangunan mereka. Tujuan utamanya bukan sekadar memberi kapasitas berlebih kepada masyarakat, melainkan juga memberi kapasitas kepada masyarakat untuk mengerti dan mampu beradaptasi dengan ekonomi pasar yang diinternalisasikan dari ‘atas’.

200 MAARIF Vol. 9, No. 2 — Desember 2014

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

Perkembangan selanjutnya adalah munculnya diskursus partisipasi dalam proses perencanaan pembangunan. Pihak yang getol mengkampanyekan ini adalah World Bank—salah satu institusi yang dimasukkan oleh John Williamson (1990) sebagai bagian The Washington Consensus. Ada lagi beberapa institusi yang memberikan pendanaan pembangunan dari negara-negara maju, macam USAID, European Committee, AusAid, NZAid, dan lain sebagainya.

Perlu dicatat, International Development ini memiliki posisi kementerian di masing-masing negara. UK dan Australia memiliki ini. Artinya, jika bicara soal World Bank, USAID, AusAid, dan lain-lain, kepentingan masing-masing negara terlihat. Walaupun, mereka hanya menggelontorkan dana tanpa mengharap kembali. Sebagai contoh, World Bank membiayai beberapa project pemberdayaan masyarakat yang terkait dengan perencanaan. Hasil dari project ini adalah panduan perencanaan berbasis perdamaian untuk wilayah konflik, seperti Aceh. Yang diarusutamakan adalah peace mainstreaming.

World Bank memang tidak berkepentingan dengan dana yang digelontorkan. Akan tetapi, apa yang menjadi tujuannya? Peace mainstreaming, jika diletakkan dalam konteks global, adalah upaya sistematis untuk memasukkan logika perdamaian kepada masyarakat dunia ketiga. Peace Mainstreaming sarat dengan asumsi bahwa jika logika perdamaian diinjeksikan kepada masyarakat, pola hidup mereka akan lebih terbuka dan kebhinekaan dapat terbangun. Jika dikaitkan dengan politik luar negeri AS beberapa dasawarsa terakhir, peace mainstreaming erat kaitannya dengan politik kontraterorisme yang dijalankan melalui jalur preventif (lihat Rabasa, 2010).

Namun, agenda Peace Mainstreaming yang diajukan oleh Bank Dunia, terutama untuk masyarakat pasca-konflik, memiliki satu kelemahan: tidak meng- address penyebab persoalan konflik yang terjadi. Hal ini akan tergambar dari kasus Kulon Progo yang akan penulis bahas di bab selanjutnya. Dalam kasus konflik yang melibatkan perusahaan dan masyarakat, peace mainstreaming dalam perencanaan gagal menyelesaikan masalah karena tidak menyentuh akar persoalannya. Sehingga, logika peace mainstreaming terbatas oleh struktur sosiologis masyarakat dimana perencanaan itu diterapkan.

Pada titik mana logika peace mainstreaming dan model pembangunan partisipatif

a la Bank Dunia ini kita letakkan? Secara teoretis, ada diskursus/wacana yang cukup mendasar yang diletakkan sebagai ‘ruh’ dari kebijakan pembangunan saat ini, yaitu partisipasi berbasis ekonomi pasar. Kata kuncinya adalah daya saing. Dalam wacana ini, penguatan kapasitas masyarakat ditujukan untuk

MAARIF Vol. 9, No. 2 — Desember 2014

Paradoks Kebhinekaan Neoliberal: Tinjauan Kritis Atas Pembangunan dan Kebhinekaan Di Indonesia Pasca-Orde Baru

membuatnya berdaya saing dan bisa berkompetisi dalam persaingan pasar yang kian bebas. Sehingga, pada titik ini, paradigma yang bermain adalah paradigma tentang persaingan di dalam masyarakat yang mengasumsikan masyarakat memiliki modal sosial dan perlu diatur agar memiliki daya saing di alam ekonomi pasar (lihat Harriss, 2004). Oleh sebab itu, dalam konsep pembangunan saat ini, terutama yang dianut oleh PNPM-Mandiri, masyarakat diminta untuk membentuk kelompok dan proposal-proposal yang didanai akan didasarkan pada kelompok tersebut serta seberapa besar daya saing yang mereka miliki untuk memperkuat sistem ekonomi pasar (Carroll, 2012).

Logika peace mainstreaming juga tidak lepas dari skema ini. Argumen yang dikembangkan oleh Sumpeno (2007) melihat isu perdamaian sebagai cross- cutting issues untuk menilai komponen lain dalam pembangunan. Ada empat cara yang dilakukan untuk mengarusutamakan perdamaian, antara lain (1) mengintegrasikan pengarusutamaan perdamaian dalam strategi kebijakan pembangunan desa; (2) mengaitkan analisis peka konflik (conflict sensitivity approach ) dengan visi, misi dan tujuan pembangunan desa; (3) memastikan proses perencanaan peka terhadap dinamika konflik dan mendorong penguatan perdamaian; serta (4) memercepat tindakan pencegahan dan penanganan konflik dalam program pembangunan desa selama lima tahun (Sumpeno, 2007).

Empat prinsip yang digunakan oleh Sumpeno dalam pendekatan perdamaiannya, walaupun berbasis pada penguatan kapasitas masyarakat, sama sekali tidak meng-address dimensi ekonomi-politik yang melahirkan konflik. Pendekatan itu memang bisa membuat masyarakat siap dengan resolusi konflik, tetapi tidak melihat apa yang menjadi akar masalah konfliknya. Bahkan, jika melihat kajian etnografis Li (2012), program-program penguatan masyarakat justru tidak berjalan ketika terjadi dinamika konflik yang menyangkut isu-isu sensitif, seperti soal tanah (Li, 2012; lihat juga Pontoh dkk, 2003). Secara lebih jauh, pendekatan ini justru sangat kental dengan ‘governmentalitas neoliberal’ yang menginginkan masyarakat diatur dengan penerimaan terhadap mekanisme ekonomi pasar tanpa ada kritisisme terhadap kepentingan di balik mekanisme dan pendekatan teknokratis yang ada.

“Membumikan” Neoliberalisme: Dari Desentralisasi ke Pembangunan Desa

Di Indonesia, proses perencanaan partisipatif mulai digunakan seiring dengan

202 MAARIF Vol. 9, No. 2 — Desember 2014

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

dimulainya proses desentralisasi. Sistem perencanaan pembangunan yang pada awalnya bersifat top-down, berubah lambat laun menjadi bottom-up melalui beberapa perangkat hukum, di antaranya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Proses perencanaan berbasis Musrenbang (Musyawarah Rencana Pembangunan) secara berjenjang tersebut mempengaruhi model penganggaran yang digunakan.

Secara umum, proses perencanaan pembangunan di Indonesia dilakukan ke dalam tiga tahap. Pertama, proses partisipatif. Proses ini melibatkan warga dalam pengusulan program pembangunan yang akan dibiayai baik pada level desa maupun daerah. Kedua, proses teknokratik. Hasil usulan prioritas yang dibahas pada level partisipatif akan dibawa ke tingkat SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah) untuk dimasukkan ke dalam draft RAPBD. Proses ini dilakukan oleh masing-masing satuan kerja dan menyesuaikan visi kepala daerah. Ketiga proses politik. Setelah SKPD memasukkan usulan ke program mereka, RAPBD akan dibahas oleh DPRD dan akan disahkan pada masa persidangan.

Proses ini menempatkan perencanaan di tingkat paling bawah pada wilayah partisipatif. Artinya, semua usulan akan berasal dari masyarakat. Oleh sebab itulah partisipasi masyarakat dalam mengajukan usulan sangat penting. Usulan tersebut tak hanya diajukan, tetapi juga mesti dikawal dan diperjuangkan sampai ke tingkat yang lebih tinggi. Sebab, kepastian apakah proyek pembangunan yang diusulkan akan didanai akan ditentukan pada proses teknokratis dan politis di atasnya.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 72 Tahun 2005, pemerintahan desa wajib memiliki Rencana Pembangunan Menengah Desa (RPJMDes) dan Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKP Desa). RPJM-Desa merupakan langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh pemerintah desa selama 5 (lima) tahun. RPJM-Desa tersebut memuat arah kebijakan pembangunan desa, arah kebijakan keuangan desa, kebijakan umum, dan program, dan program Satuan Kerja Perangkat Desa (SKPD), lintas SKPD dan program prioritas kewilayahan dengan disertai rencana kerja atau program indikatif.

Keharusan desa untuk memiliki RPJMDes dikuatkan dengan adanya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 66 Tahun 2007 tentang Perencanaan Pembangunan Desa. Pada peraturan tersebut, dijelaskan di pasal 2 ayat 3 bahwa RPJMDes memuat: 1) arah kebijakan keuangan desa, 2) strategi pembangunan desa, dan 3) program kerja indikatif desa. RPJMDes memuat rencana kegiatan

MAARIF Vol. 9, No. 2 — Desember 2014

Paradoks Kebhinekaan Neoliberal: Tinjauan Kritis Atas Pembangunan dan Kebhinekaan Di Indonesia Pasca-Orde Baru

selama 5 tahun ke depan. Sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 66 Tahun 2007, proses

penyusunan RPJM-Desa dimulai dari penggalian aspirasi dan usulan masyarakat di tingkat terbawah. Skema RPJM-Desa yang ditawarkan oleh Permendagri tersebut disusun dari proses penggalian aspirasi di tingkat basis terkecil melalui mekanisme Musyawarah Dukuh, kemudian dikaji melalui alat kajian partisipatif (sketsa desa, kalender musim, dan analisis bagan kelembagaan) (Permendagri 66/2007; lihat juga Sumpeno, 2011). Metode kajian partisipatif tersebut dikenal juga dengan Participatory Planning Events.

Setelah itu, proses masuk pada pra-Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang Desa) untuk melakukan pemeringkatan masalah dan penentuan program indikatif. Proses ini akan melihat program mana saja yang akan jadi prioritas serta berapa besaran dana yang akan diperlukan. Setelah itu, RPJM-Desa disahkan pada Musrenbang Desa atas persetujuan dari Badan Permusyawaratan Desa.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa akan dijabarkan menjadi Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKP-Desa), yaitu dokumen perencanaan untuk periode 1 (satu) tahun yang merupakan penjabaran dari RPJM-Desa. RKP- Desa memuat rancangan kerangka ekonomi desa dengan mempertimbangkan kerangka pendanaan yang dimutakhirkan, program prioritas pembangunan desa, rencana kerja dan pendanaan serta perkiraan maju, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah desa maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat dengan mengacu kepada RPJM-Desa. RKP- Desa selanjutnya akan dijabarkan menjadi Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes).

RPJM-Desa didesain dengan menggunakan desain Metode Participatory Rural Appraisal (PRA) sebagai basis perencanaan partisipatoris. Oleh sebab itu, penyusunan dokumen perencanaan membutuhkan partisipasi dan pelibatan masyarakat hingga tingkat terbawah. Metode ini memungkinkan semua kelompok sosial untuk terlibat dalam perencanaan (Chambers, 2004). Model perencanaan partisipatif ini sekilas menakjubkan. masyarakat bisa berkembang secara mandiri dengan kajian-kajian partisipatifnya. Keterlibatan masyarakat dalam perencanaan didorong. Hak-hak masyarakat diadvokasi.

Akan tetapi, dengan kecurigaan Foucauldian, kita bisa mempertanyakan: apa maksud dari semua ini? Sebagaimana isyarat Foucault, seluruh aktivitas

204 MAARIF Vol. 9, No. 2 — Desember 2014

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

manusia adalah practice of politics. Ada relasi kekuasaan yang eksternal dari perencanaan partisipatif itu. Dari yang awal mulanya adalah mendorong partisipasi masyarakat, apa yang diinginkan oleh pemberi donor? Tania Murray Li dengan cermat membaca kelemahan model tersebut: Paradigma yang sangat khas neoliberal, dan ini bersifat fundamental, membatasi ‘area kerja’ dari model perencanaan. Paradigma neoliberal tidak mengarahkan pandangannya pada problem-problem struktural yang ada di masyarakat. Pembangunan hanya diarahkan pada bagaimana membangun kemandirian masyarakat melalui stimulus modal, bukan pada kerangka struktur sosial-politik-ekonominya. Padahal, sebagaimana dikatakan oleh Vedi Hadiz (2004), semua bentuk aktivitas partisipasi, perencanaan, pembangunan, akuntabilitas, atau hak-hak ekosob sebenarnya terikat pada sebuah proses pergulatan kepentingan antar- kelas dan kelompok sosial secara historis. Ini berarti, ada sebuah missing link dari pembangunan dan perencanaan berbasis masyarakat dengan lingkungan eksternalnya. Ini nanti yang akan kita elaborasi di pesisir selatan.

Asumsi dasar neoliberal adalah menggeser kekuasaan negara kepada publik, melalui desentralisasi. Vedi Hadiz sudah membaca hal ini (2004) dengan melihat proses desentralisasi Indonesia sebagai injeksi formasi kekuasaan pasar dalam struktur ekonomi-politik Indonesia. Melalui desentralisasi dan partisipasi, negara tidak terlalu powerful, dan kekuasaan pasar dapat terkonsolidasi dengan bantuan masyarakat yang sudah terinjeksi dengan penguatan kapasitas khas negara neoliberal.

Pada titik ini, perencanaan menjadi vital. Dengan adanya perencanaan, potensi-potensi pembangunan yang pro-pasar dapat didaftar terlebih dulu. Perumusan RPJMDesa, misalnya, terlebih dulu dilakukan dengan mendaftar semua potensi dan permasalahan yang ada. Masyarakat tentu saja akan lebih senang mendaftar semua permasalahan dan potensi mereka secara mandiri, yang berarti pemenuhan kebutuhan dasar, dan lain-lain. Infrastruktur lebih gampang dijangkau. Bukankah itu lebih memudahkan bagi warga desa?

Meminjam analisa James Scott (1982), masyarakat pertanian pada dasarnya tak menyukai perjuangan revolusioner. Mereka adalah ‘orang yang bersifat pasrah’ terhadap pembangunan yang ada, tetapi pada dasarnya ingin terlibat. Mereka berkepentingan terhadap pembangunan, tetapi tidak berniat mengkritisi terlalu jauh di luar kepentingan mereka. Sehingga, proses injeksi model pembangunan jenis apapun tidak akan begitu susah.

Sehingga, dengan logika partisipatif, proses injeksi logika neoliberal ke

MAARIF Vol. 9, No. 2 — Desember 2014

Paradoks Kebhinekaan Neoliberal: Tinjauan Kritis Atas Pembangunan dan Kebhinekaan Di Indonesia Pasca-Orde Baru

masyarakat desa menjadi lebih mudah. Target yang lebih mudah, yang dicapai oleh logika ini, adalah mengurangi tanggung jawab negara dan menyerahkannya kepada masyarakat. Hal ini akan beriringan dengan logika ekonomi pasar yang diusung pada level makro.

Sehingga, skemanya menjadi bisa lebih mudah dipetakan. Di atas, pembangunan ekonomi diusung dengan logika teknokratis. Sementara di bawah, pendekatan yang dicapai semakin partisipatif. Partisipasi tentu akan dikerangkai oleh logika politik birokrasi dan logika ekonomi teknokrasi. Sehingga, pembangunan masyarakat akan sejalan dengan logika ekonomi pasar yang berjalan di negeri ini. Pada seting inilah relasi kekuasaan dari proses perencanaan di tingkat desa itu terjalin. Artinya, kepentingan lembaga donor mengadvokasi partisipasi publik, pada hakikatnya –dengan kecurigaan post-strukturalis— adalah upaya meneguhkan kekuasaan pasar yang melekat pada tujuan-tujuan skema pembangunan neoliberal ala Bank Dunia.

Pembangunan Neoliberal dan Politik Kebhinekaan: Pembelajaran dari Kulon Progo

Pembacaan teoretis di atas dimaksudkan untuk menelaah hubungan yang lebih rumit antara ‘politik kebhinekaan’ di masyarakat dengan ‘perencanaan pembangunan’ di pedesaan dengan mengacu pada kasus yang terjadi di beberapa desa di pesisir selatan Kulon Progo. Berdasarkan kajian di lapangan yang dilakukan pada tahun 2012, proses perencanaan desa pasca-Orde Baru melahirkan banyak implikasi. Dalam kasus Kulon Progo, ada beberapa hal yang perlu dicermati: pengelolaan pertambangan, kepemilikan dan distribusi lahan, serta posisi kaum miskin pedesaan yang tak kunjung terangkat dalam relasi modal secara eksternal.

Ada dua isu yang menarik untuk disoroti di Kulon Progo. Pertama, pelaksanaan perencanaan partisipatif di beberapa desa dan persoalan tambang pasir besi yang menjadi cermin utama konflik yang berlatar ekonomi-politik di tingkat lokal. Setelah Permendagri 66/2007 disahkan, beberapa desa mulai mengadopsi, walaupun secara terbatas, model perencanaan yang digariskan dalam peraturan tersebut. Namun, jika penyusunan RPJM Desa dilaksanakan hanya dengan mengandalkan prosedur standard dari PP 66/2007 tentang penyusunan RPJM Desa, ada beberapa implikasi yang dihasilkan. Pertama, perencanaan desa bisa menjadi sesuatu hal yang sangat memusingkan, tidak hanya bagi perangkat desa apalagi bagi warga desa, tetapi juga bagi mahasiswa. Sebab, selain prosedurnya

206 MAARIF Vol. 9, No. 2 — Desember 2014

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

sangat birokratis, prosesnya juga susah dipahami oleh warga desa yang umumnya berprofesi sebagai petani.

Dalam perspektif elit desa, logika partisipasi tersebut sangat susah dimengerti, terutama oleh pamong desa yang terpilih bukan karena kompetensi, melainkan karena proses pemilihan. Hal ini terlihat dari tidak adanya elit desa yang memahami secara keseluruhan proses perencanaan pembangunan yang partisipatif. Hal ini, menurut salah satu elit desa, terjadi karena sosialisasi yang minim dari pemerintah, juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan masyarakat yang tidak memadai untuk membaca proses perencanaan tersebut secara lebih komprehensif. 7

Kedua, proses akan diikuti hanya oleh elit-elit desa yang berkepentingan. Sebab, masyarakat selain tidak berkepentingan, juga bersikap acuh dengan prosedur yang sangat berbelit-belit tersebut. Sebelum tahun 2012, Musyawarah Rencana Pembangunan Desa hanya dilakukan oleh perwakilan-perwakilan kelompok masyarakat yang dianggap sebagai peserta musyawarah. Menurut seorang tokoh perempuan di Desa, tidak banyak perempuan yang dilibatkan dalam proses penyusunan tersebut. Akibatnya, proses akan sangat rawan dengan elitisme dari pemangku kepentingan atau birokrasi di tingkat desa.

Ketiga, proses penyusunan RPJM Desa akhirnya tidak memperkuat dimensi citizenship, di mana masyarakat tidak dapat merumuskan, menegosiasikan, atau menuntut hak-haknya untuk dimasukkan ke dalam agenda pembangunan. Ini akan membuat warga tidak mandiri dan hak-hak warga tidak akan sampai ke tangan yang berhak. Akibatnya, proses perencanaan tidak representatif terhadap kepentingan masyarakat di akar rumput.

Proses perencanaan yang berlangsung di Kecamatan Temon memperlihatkan bahwa bukan hanya proses perencanaan yang berlangsung sangat elitis dan bergantung pada fasilitasi eksternal, tetapi juga proses perencanaan tersebut didominasi oleh elit-elit tertentu sebagai cara untuk mempertahankan legitimasinya. Di sisi lain, proses perencanaan juga tidak memberikan ruang- ruang perdebatan yang utuh dalam kerangka pembangunan, sehingga dalam beberapa kasus membuat beberapa kelompok masyarakat (seperti perempuan) tidak banyak punya kesempatan memberikan suaranya dalam proses perencanaan yang ada.

Hal inilah yang patut menjadi kritik pertama dari proses perencanaan partisipatif yang sebenarnya tak lepas dari relasi kekuasaan di luar dirinya. Partisipasi

MAARIF Vol. 9, No. 2 — Desember 2014

Paradoks Kebhinekaan Neoliberal: Tinjauan Kritis Atas Pembangunan dan Kebhinekaan Di Indonesia Pasca-Orde Baru

masyarakat tidak sepenuhnya dibaca sebagai “emansipasi” masyarakat dari kepentingan apapun yang menindas. Justru sebaliknya, negara malah menjadi agen kekuatan modal asing yang tak lepas perannya dari lembaga-lembaga donor dan International Development itu. Artinya, logika partisipatif yang dirancang oleh perencanaan pembangunan hasil advokasi lembaga-lembaga donor itu, memang tidak memadai jika dibenturkan dengan problem struktural. Jawabnya, dalam hipotesis saya, adalah karena memang kepentingan mereka justru terletak pada penegasan struktur tersebut.

Selain itu, kooptasi elit-elit lokal, baik di tingkat kabupaten maupun desa itu sendiri, kentara sekali terlihat. Pemerintah yang membakukan perencanaan partisipatif dalam serangkaian Permendagri jelas tidak mempersiapkan postur birokrasi yang mendukung partisipasi. Kasus perencanaan partisipatif di beberapa desa menunjukkan bahwa partisipasi di masyarakat dilakukan melalui sistem perwakilan oleh elit-elit desa, yang menyebabkan proses Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) menjadi sangat elitis. Di salah satu desa di Kecamatan Temon, sebelum tahun 2012, Musrenbang dilakukan dengan model ‘undangan’ dan ditentukan oleh pamong desa. Konsekuensinya, ada beberapa kelompok masyarakat seperti kelompok perempuan yang tidak direpresentasikan dalam Musrenbang tersebut.