MAKALAH ILMU PENDIDIKAN Peran Pendidikan

MAKALAH ILMU PENDIDIKAN
“Peran Pendidikan dalam Pengembangan Wujud Sifat Hakekat
Manusia dan Dimensi – Dimensi Kemanusiaan”

Disusun oleh :
Kelompok 4
ZIDNI NUROL FAHMI
RONI IRAWAN

(11504241010)

(115042410)

WAHYU HENDRA S

(115042440)

AHMAD FAJAR F

(114042440)


NURWIYADI KUSUMA

(115042440)

FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2012

1. PENDAHULUAN

2. PEMBAHASAN
Sifat Hakikat Manusia
Sifat hakikat manusia menjadi bidang kajian filsafat, khususnya filsafat antropologi. Hal ini
menjadi keharusan oleh karena pendidikan bukanlah sekedar soal praktek melainkan praktek
yang berlandaskan dan bertujuan. Sedangkan landasan dan tujuan pendidikan itu sendiri
sifatnya filosofis normative. Bersifat filosofis karena untuk mendapatkan landasan yang
kukuh diperlukan adanya kajian yang bersifat mendasar, sistematis, dan universal tentang ciri
hakiki

manusia.


Bersifat

normative

karena

pendidikan

mempunyai

tugas

untuk

menumbuhkembangkan sifat hakikat manusia tersebut sebagai sesuatu yang bernilai luhur,
dan hal itu menjadi keharusan.
Pengertian sifat hakikat manusia
Sifat hakikat manusia diartikan sebagai ciri-ciri karakteristik, yang secara prinsipil (jadi
bukan hanya gradual) membedakan manusia dari hewan. Meskipun antara manusia dengan

hewan banyak kemiripan terutama jika dilihat dari segi biologisnya.
Beberapa filosof seperti Socrates menamakan manusia itu Zoon Politicon (hewan yang
bermasyarakat), Max Scheller menggambarkan manusia sebagai Das Kranke Tier (hewan
yang sakit) yang selalu gelisah dan bermasalah.
Wujud Sifat Hakikat Manusia


Kemampuan menyadari diri

Kaum rasionalis menunjuk kunci perbedaan manusia dengan hewan pada adanya kemampuan
menyadari diri yang dimiliki oleh manusia. Manusia menyadari bahwa dirinya (akunya)
memiliki ciri khas atau karakteristik diri. Hal ini menyebabkan manusia dapat membedakan
dirinya dengan aku-aku yang lain (ia, mereka) dan dengan non-aku (lingkungan fisik) di

sekitarnya. Bahkan bukan hanya membedakan, lebih dari itu manusia dapat membuat jarak
(distansi) dengan lingkungannya, baik berupa pribadi maupun nonpribadi/benda.
Kemampuan membuat jarak dengan lingkungannya berarah ganda, yaitu arah keluar dan ke
dalam.
Dengan arah keluar, aku memandang dan menjadikan lingkungan sebagai objek, selanjutnya
aku memanipulasi ke dalam lingkunganu memenuhi kebutuhan aku. Puncak aktivitas yang

mengarah keluar ini dapat dipandang sebagai gejala egoisme. Dengan arah ke dalam, aku
memberi status kepada lingkungan (dalam hal ini kamu, dia mereka) sebagai subjek yang
berhadapan dengan aku sebagai objek, yang isinya adalah pengabdian, pengorbanan,
tenggang rasa, dan sebagainya. Dengan kata lain aku keluar dari dirinya dan menempatkan
aku pada diri orang lain. Di dalam proses pendidikan, kecenderungan dua arah tersebut perlu
dikembangkan secara berimbang. Pengembangan arah keluar merupakan pembinaan aspek
sosialitas, sedangkan pengembangan arah ke dalam berarti pembinaan aspek individualitas
manusia.
Yang lebih istimewa ialah bahwa manusia dikaruniai kemampuan untuk membuat jarak
(distansi) diri dengan akunya sendiri.


Kemampuan bereksistensi

Dengan keluar dari dirinya, dan dengan membuat jarak antara aku dengan dirinya sebagai
objek, lalu melihat objek itu sebagai sesuatu, berarti manusia itu dapat menembus atau
menorobos dan mengatasi batas-batas yang membelenggu dirinya. kemampuan menorobos
ini bukan saja dalam kaitannya dengan soal ruang, melainkan juga dengan waktu.
Kemampuan menempatkan diri dan menerobos inilah yang disebut kemampuan bereksistensi.
Adanya kemampuan bereksistensi inilah pula yang membedakan manusia sebagai makhluk

human dari hewan selaku makhluk infra human, dimana hewan menjadi onderdil dari
lingkungan, sedangkan manusia menjadi manajer terhadap lingkungannya. Oleh karena itu
kemampuan bereksistensi inilah perlu dibina melalui pendidikan.


Pemilikan kata hati (conscience of man)

Kata hati atau conscience of man juga sering disebut dengan istilah hati nurani, lubuk hati,
suara hati, pelita hati, dan sebagainya. Conscience ialah pengertian yang ikut serta atau
pengertian yang mengikut perbuatan. Manusia memiliki pengertian yang menyertai tentang
apa yang akan, yang sedang, dan yang telah dibuatnya.
Jadi pelita hati atau hati nurani menunjukkan bahwa kata hati itu adalah kemampuan pada diri
manusia yang memberi penerangan tentang baik buruknya perbuatannya sebagai manusia.
Orang yang tidak memiliki pertimbangan dan kemampuan untuk mengambil keputusan
tentang yang baik/benar dan yang buruk/salah ataupun kemampuan dalam mengambil
keputusan tersebut hanya dari sudut pandangan tertentu (misalnya sudut kepentingan diri),
dikatakan bahwa kata hatinya tidak cukup tajam. Jadi, kriteria baik/benar dan buruk/salah
harus dikaitkan dengan baik/benar dan buruk/salah bagi manusia sebagai manusia. Drijarkara
menyebutnya dengan baik yang integral.
Orang yang memiliki kecerdasan akal budi sehingga mampu menganalisis dan mampu

membedakan yang baik/benar dengan yang buruk/salah bagi manusia sebagai manusia
disebut tajam kata hatinya.
Dapat disimpulkan bahwa kata hati itu adalah kemampuan membuat keputusan tentang yang
baik/benar dan yang buruk/salah bagi manusia sebagai manusia. Dalam kaitan dengan moral
(perbuatan), kata hati merupakan petunjuk bagi moral/perbuatan’. Usaha untuk mengubah
kata hati (gewetan ferming).


Moral

Jika kata hati diartikan sebagai bentuk pengertian yang menyertai perbuatan, maka yang
dimaksud dengan moral (yang sering juga disebut etika) adalah perbuatan itu sendiri.
Disini tampak bahwa masih ad jarak antara kata hati dengan moral. Artinya seseorang yang
telah memiliki kata hati yang tajam belum otomatis perbuatannya merupakan realisasi dari
kata hatinya itu. Untuk menjembatani jarak yang mengantarai keduanya masih ada aspek
yang diperlukan yaitu kemauan. Bukankah banyak orang yang memiliki kecerdasan akal
tetapi tidak cukup memiliki moral (keberanian berbuat). Itulah sebabnya maka pendidikan
moral juga sering disebut pendidikan kemauan.

Etika biasanya dibedakan dari etiket. Jika moral (etika) menunjuk kepada perbuatan yang

baik/benar ataukah yang salah, yang berperikamanusiaan atau yang jahat, maka etiket hanya
berhubungan dengan soal sopan santun. Karena moral bertalian erat dengan keputusan kata
hati, yang dalam hal ini berarti bertalian erat dengan nilai-nilai, maka sesungguhnya moral itu
adalah nilai-nilai kemanusiaan.


Kemampuan bertanggung jawab

Kesediaan untuk menanggung segenap akibat dari perbuatan yang menuntut jawab,
merupakan pertanda dari sifat orang yang bertanggung jawab. Wujud bertanggung jawab
bermacam-macam. Ada tanggung jawab kepada diri sendiri, tanggung jawab kepada
masyarakat, dan tanggung jawab kepada Tuhan. Tanggung jawab kepada diri sendiri berarti
menanggung tuntutan kata hati, misalnya dalam bentuk penyesalan yang mendalam.
Bertanggung jawab kepada masyarakat berarti menanggung tuntutan norma-norma sosial.
Bentuk tuntutannya berupa sanksi-sanksi sosial seperti cemoohan masyarakat, hukuman
penjara dan lain-lain. Bertanggung jawab kepada Tuhan berarti menanggung tuntutan normanorma agama, misalnya perasaan berdosa dan terkutuk.
Disini tampak betapa eratnya hubungan antara kata hati, moral, dan tanggung jawab. Kata
hati memberi pedoman, moral melakukan, dan tanggung jawab merupakan kesediaan
menerima konsekuensi dari perbuatan.
Dengan demikian, tanggung jawab dapat diartikan sebagai keberanian untuk menentukan

bahwa sesuatu perbuatan sesuai dengan tuntutan kodrat manusia.


Rasa kebebasan (kemerdekaan)

Merdeka adalah rasa bebas (tidak merasa terikat oleh sesuatu), tetapi sesuai dengan tuntutan
kodrat manusia. Dalam pernyataan ini ada dua hal yang kelihatannya saling bertentangan
yaitu ‘rasa bebas’ dan ‘sesuai dengan tuntutan kodrat manusia’ yang berarti ada ikatan.
Kemerdekaan dalam arti yang sebenanrya memang berlangsung dalam keterikatan. Artinya,
bebas berbuat sepanjang tidak bertentangan dengan tuntutan kodrat manusia. Pernyataan
tersebut menunjukkan bahwa merdeka tidak sama dengan berbuat bebas tanpa ikatan.
Perbuatan bebas membabibuta tanpa memperhatikan petunjuk kata hati, sebenarnya hanya
merupakan kebebasan semu. Sebab hanya kelihatannya bebas, tetapi sebenarnya justru tidak

bebas, karena perbuatan seperti itu segera disusul dengan sanksi-sanksinya. Di sini terlihat
bahwa kemerdekaan berkaitan erat dengan kata hati dan moral. Seseorang mengalami rasa
merdeka apabila segenap perbuatannya (moralnya) sesuai dengan apa yang dikatakan oleh
kata hatinya yaitu kata hati yang sesuai dengan tuntutan kodrat manusia. Implikasi
pedagogisnya adalah sama dengan pendidikan moral yaitu mengusahakan agar peserta didik
dibiasakan menginternalisasikan nilai-nilai, aturan-aturan ke dalam dirinya, sehingga

dirasakan sebagai miliknya. Dengan demikian aturan-aturan itu tidak lagi dirasakan sebagai
sesuatu yang merintangi gerak hidupnya.


Kesediaan melaksanakan kewajiban dan menyadari hak

Kewajiban dan hak adalah dua macam gejala yang timbul sebagai manifestasi dan manusia
sebagai makhluk sosial. Yang satu ada hanya oleh karena adanya yang lain. Tak ada hak tanpa
kewajiban. Jika seseorang mempunyai hak untuk menuntut sesutu maka tentu ada pihak lain
yang berkewajiban untuk memenuhi hak tersebut. Sebaliknya kewajiban ada oleh karena ada
pihak yang harus dipenuhi haknya. Pada dasarnya, hak itu adalah sesuatu yang masih kosong.
Sedangkan kewajiban dipandang sebagi sesuatu beban. Ternyata bukan beban melainkan
keniscayan artinya, selama seseorang menyebut dirinya manusia dan mau dipandang sebagai
manusia,maka kewajiban itu menjadi keniscayaan baginya. Sebab jika mengelakkannya maka
ia berarti mengingkari kemanusiannya (yaitu sebagai kenyataan makhluk sosial). Karena itu
seseorang yang semakin menyatu dengan kewajiban, nilai, maka martabat kemanusiaannya
semakin tinggi di mata masyarakat. Dengan kata lain, melaksanakan kewajiban itu adalah
suatu keluhuran.
Wajib bukanlah ikatan, melainkan suatu keniscayaan. Karena wajib adalah keniscayaan,
maka terhadap apa yang diwajibkan manusia menjadi tidak merdeka. Mau atau tidak harus

menerimanya. Tetapi terhadap keniscayaan itu sendiri manusia bisa taat dan bisa juga
melanggar.
Pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban bertalian erat dengan soal keadilan. Dalam
hubungan ini mungkin dapat dikatakan bahwa keadilan terwujud bila hak sejalan dengan
kewajiban. Karena pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban dibatasi oleh situasi dan
kondisi, yang berarti tidak seluruh hak dapat dipenuhi dan tidak segenap kewajiban dapat
sepenuhnya dilakukan.

Kemampuan menghayati kewajiban sebagai keniscayaan tidaklah lahir dengan sendirinya,
tetapi bertumbuh melalui suatu proses. Usaha menumbuhkembangkan rasa wajib sehingga
dihayati sebagai suatu keniscayaan dapat ditempuh melalui pendidikan disiplin.


Kemampuan menghayati kebahagiaan

Kebahagiaan adalah suatu istilah yang lahir dari kehidupan manusia. Penghayatan hidup yang
disebut kebahagiaan ini meskipun tidak mudah untuk dijabarkan tetapi tidak sulit untuk
dirasakan. Dapat diduga, bahwa hampir setiap orang pernah mengalami rasa bahagia.
Sebagian lagi menganggap bahwa rasa senang hanya merupakan aspek dari kebahagiaan,
sebab kebahagiaan sifatnya lebih permanen dari pada perasaan senang yang sifatnya lebih

temporer. Dengan kata lain, kebahagiaan lebih merupakan integrasi atau rentetan dari
sejumlah kesenangan. Proses integrasi dari kesemuanya yang menyenangkan maupun yang
pahit menghasilkan suatu bentuk penghayatan hidup yang disebut bahagia.
Kebahagiaan itu lebih dapat dirasakan daripada dipikirkan. Pada saat orang menghayati
kebahagiaan, aspek rasa lebih berperan daripada aspek nalar. Oleh karena itu dikatakan
bahwa kebahagiaan itu sifatnya irasional. Padahal kebahagiaan yang tampaknya didominasi
oleh perasaan itu ternyata tidak demikian, karena aspek-aspek kepribadian yang lain seperti
akal pikiran juga ikut berperan.
Dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan itu dapat diusahakan peningkatannya. Ada dua hal
yang dapat dikembangkan, yaitu kemampuan berusaha dan kemampuan menghayati hasil
usaha dalam kaitannya dengan takdir. Dengan demikian pendidikan mempunyai peranan
penting sebagai wahana untuk mencapai kebahagiaan, utamanya pendidikan keagamaan.
Dimensi-dimensi Hakikat Manusia serta Potensi, Keunikan dan Dinamikanya
Telah diuraikan sifat hakikat manusia. Pada bagian ini sifat hakikat tersebut akan dibahas lagi
dimensi-dimensinya atau ditilik dari sisi lain. Ada 4 macam dimensi yang akan dibahas,
yaitu:
o Dimensi Keindividualan

Lysen mengartikan individu sebagai orang seorang, sesuatu yang merupakan suatu keutuhan
yang tidak dapat dibagi-bagi (in devide). Selanjutnya individu diartikan sebagai pribadi.
(Lysen, individu dan masyarakat). Setiap anak manusia yang dilahirkan telah dikaruniai
potensi untuk menjadi berbeda dari yang lain, atau menjadi (seperti) dirinya sendiri. Tidak
ada diri individu yang identik di muka bumi. Demikian kata M.J. Langeveld (seorang pakar
pendidikan yang tersohor di Negeri Belanda) yang mengatakan bahwa setiap orang memiliki
individualitas. Bahkan dua anak kembar yang berasal satu telur pun, yang lazim dikatakan
seperti pinang dibelah dua, serupa dan sulit dibedakan satu dari yang lain, hanya serupa tetapi
tidak sama, apalagi identik. Hal ini berlaku baik pada sifat-sifat fisiknya maupun hidup
kejiwaannya (kerohaniannya). Dikatakan bahwa setiap individu bersifat unik (tidak ada tara
dan bandingannya). Karena adanya individualitas itu setiap orang memiliki kehendak,
perasaan, cita-cita, kecenderungan, semangat, dan daya tahan yang berbeda.
o Dimensi Kesosialan
Setiap bayi lahir dikaruniai potensi sosialitas (MJ. Langeveld 54) pernyataan tersebut
diartikan bahwa setiap untuk bergaul. Artinya, setiap orang dapat saling berkomunikasi yang
pada hakikatnya daidalamnya terkandung unsur saling memberi dan menerima, dipandang
sebagai kunci sukses pergaulan. Adanya dorongan untuk meerima dan memberi itu sudah
menggejalah mulai masa bayi.
Adanya dimensi kesosialan pada diri manusia tampak lebih jelas pada dorongan untuk
bergaul. Dengan adanya dorongan untuk bergaul, setiap orang ingin bertemu dengan
sesamanya.
Imannual Khan seorang filosofi tersohor bangsa Jerman menyatakan bahwa manusia hanya
menjadi manusia jika berada diantara manusia. Seseorang dapat mengembangkan
kegemerannya, sikapnya, cita-citanya didalam interaksi dengan sesamanya, seseorang
berkesempatan untuk belajar dari orang lain, mengidentifikasi sifat-sifat yang dikagumi dari
orang lain itu untuk dimilikinya, serta menolak sifat-sifat tidak disukainya.
Hanya dalam berinteraksi dengan sesamanya, dalam saling menerima dan memberi seseorang
menyadari dan menghayati kemanusiaannya. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa anak
manusia tidak akan menjadi manusia bila tidak berada diantara manusia.

o Dimensi Kesusilaan
Susila berasal dari kata su dan sila yang artinya kepantasan yang lebih tinggi. Akan tetapi,
didalam kehidupan bermasyarakat orang tidak cukup hanya berbuat yang pantas jika didalam
yang pantas atau sopan itu misalnya terkandung kejahatan terselubung. Karena itu maka
pengertian susila berkembang sehingga memiliki perluasan arti menjadi kebaikan yang lebih.
Dalam bahasa ilmiah sering digunakan dua macam istilah yang mempunyai konotasi berbeda
yaitu etiket (persoalan kepantasan dan kesopanan) dan etika (persoalan kebaikan). Orang
yang berbuat jahat berarti melanggar hak orang lain dan dikatakan tidak beretika atau tidak
bermoral. Sedangkan tidak sopan diartikan sebagai tidak beretiket. Jika etika dilanggar ada
orang lain yang merasa dirugikan, sedangkan pelanggaran etiket hanya mengakibatkan
ketidak senangangan orang lain.
Pada hakikatnya manusia memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan susila, serta
melaksanakannya sehingga dikatakan manusia itu adalah makhluk susila. Drijarkara
mengartikan manusia susila sebagai manusia yang memiliki nilai-nilai, menghayati dan
melaksanakan nilai-nilai tersebut dalam perbuatan. Nilai-nilai merupakan sesuatu yang
dijunjung tinggi oleh manusia karena mengandung makna kebaikan, keluhuran, kemuliaan
dan sebagainya, sehingga dapat diyakini dan dijadikan pedoman dalam hidup. Dilihat asal
dari mana nilai-nilai itu diproduk dibedakan atas tiga macam, yaitu nilai otonom yang bersifat
individual (kebaikan menurut pendapat seseorang), nilai heteronom yang bersifat kolektif
(kebaikan menurut kelompok), dan nilai keagamaan yaitu nilai yang berasal dari Tuhan).
o Dimensi Keberagamaan
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk religious. Sejak dahulu kala, sebelum manusia
mengenal agama mereka telah percaya bahwa diluar alam yang dapat dijangkau dengan
perantaraan alat indranya. Diyakini akan adanya kekuatan supranatural yang menguasai
hidup alam semesta ini. Untuk dapat berkomunikasi dan mendekatkan diri kepada kekuatan
tersebut diciptakanlah mitos-mitos. Misalnya untuk meminta sesuatu dari kekuatan-kekuatan
tersebut, dilakukan bermacam-macam upacara menyediakan sesajen-sesajen dan lain-lain.
Kemudian setelah ada agama maka manusia mulai menganutnya. Beragama merupakan
kebutuhan manusia karena manusia adalah makhluk yang lemah sehingga memerlukan
tempat bertopang. Manusia memerlukan agama demi keselamatan hidupnya. Dapat dikatakan

bahwa agama menjadi sandaran vertical manusia. Manusia dapat menghayati agama melalui
proses pendidikan agama.
Pengembangan Dimensi Hakikat Manusia
Sasaran pendidikan adalah manusia sehingga dengan sendirinya pengembangan dimensi
hakikat manusia menjadi tugas pendidikan.
Manusia lahir telah dikaruniai dimensi hakikat manusia tetapi masih dalam wujud potensi,
belum teraktualisasi menjadi wujud kenyataan atau aktualisasi. Dari kondisi ‘potensi’ menjadi
wujud aktualisasi terdapat rentangan proses yang mengundang pendidikan untuk berperan
dalam memberikan jasanya.
Setiap manusia lahir dikaruniai naluri yaitu dorongan-dorongan yang alami (dorongan
makan, seks, mempertahankan diri, dan lain-lain). Jika seandainya manusia dapat hidup
hanya dengan naluri maka tidak bedanya dengan hewan. Hanya melalui pendidikan status
hewani itu dapat diubah kea rah status manusiawi.

3. KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa sifat hakikat manusia dan segenap pengembangan dimensinya
hanya dimiliki oleh manusia dan tidak terdapat pada hewan. Ciri-ciri yang khas tersebut dapat
membedakan secara principal antara hewan dengan manusia. Meskipun dari segi biologisnya
masih banyak kemiripannya.
Adanya sifat hakikat tersebut dapat memberikan tempat kedudukan pada manusia sedemikian
rupa sehingga derajatnya lebih tinggi dari pada hewan dan sekaligus dapat menguasai hewan.
Salah satu sifat hakikat yang istimewa adalah adanya kemampuan menghayati kebahagiaan
pada

manusia,

dan

semua

sifat

hakikat

manusia

tersebut

dapat

dan

harus

ditumbuhkembangkan melalui pendidikan.
Berkat adanya pendidikan maka sifat hakikat manusia dapat ditumbuhkembangkan secara
selaras dan berimbang sehingga menjadi manusia yang utuh dan sempurna.

4. SARAN

Dalam mempelajari hakikat manusia dan pengembangannya ini maka kita dapat mengetahui
tentang perbedaan manusia dengan hewan dan juga kita dapat mengetahui kekurangan
maupun kelebihan.
Dengan mempelajari ini mudah-mudahan pengetahuan kita tentang sifat hakikat manusia dan
pengembangan ini dapat menambah pengetahuan kita dan dapat bermanfaat bagi kita.

5. DAFTAR PUSTAKA
http://www.masbied.com/2010/06/04/hakikat-manusia-dan-pengembangannya/
http://nahulinguistik.wordpress.com/2012/09/04/hakikat-manusia-dan-pengembangannya/