JURNAL PEND KARAKTERER BERBASIS KEARIFAN

PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS KEARIFAN LOKAL
( Studi Kualitatif Naturalistik di Kalangan Masyarakat Ternate )

PENDAHULUAN

Eksistensi peradaban sebuah bangsa, tentunya tidak terlepas dari masa lalu. Sebab masa kini terbentuk
karena peradaban masa lalu yang sudah menjadi milik sejarah. Masa sekarangpun akan membentuk
peradaban masa datang. Artinya masa lalu merupkan sebuah pelajaran yang harus dipelajari, masa
sekarang harus kita jalani sebaik mungkin, dan masa depan merupakan penerapan hasil pembelajaran dari
masa lalu dan masa sekarang. Tentunya masa lalu itu meninggalkan banyak kearifan lokal (local genius).
Salah satunya kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Ternate. Kearifan lokal tersebut tersebar dalam adat
istiadat, tradisi lisan, seni tradisi, naskah-naskah tua, dan bentuk-bentuk kebudayaan lain yang
mencerminkan peradaban masa lalu. Karena masyarakat Ternate terbentuk bukan dalam waktu sebentar,
tetapi terbentuk beratur-ratus tahun, sejak jaman prasejarah hingga menjadi bagian masyarakat modern.
Tentunya dari perjalanan peradaban masyarakat Ternate tersebut akan meninggalkan jejak yang berharga
berupa ayat-ayat kearifan budaya untuk dipelajari, untuk ditafsir ulang nilai-nilainya.
Nilai-nilai kearifan lokal kiranya dapat dimanfaatkan sebagai sumbang nilai terhadap kehidupan masa
sekarang dan masa yang akan datang. Ayatrohaendi (1986: 40) bahwa kearifan lokal ( local genius) atau
wujud cerlang budaya mampu bertahan, mampu menghalau budaya luar, memiliki kemampuan
mengakomodasi budaya-budaya baru yang menyerbu, mampu berintegrasi dengan kebudayaan baru atau
budaya luar, mampu mengendalikan budaya yang ada, serta menyumbangkan nilai untuk arah

kebudayaan yang akan datang.
Kearifan lokal yang terdapat dalam peninggalan peradaban masa lalu seharusnya menjadi nilai revitalisasi
untuk pembentukan karakter generasi berikutnya. Sebab menurut pendapat Alwasilah (2006: 18),
revitalisasi dari sebuah kebudayaan dapat didefinisikan sebagai upaya yang terencana, sinambung, dan
diniati agar nilai-nilai budaya itu bukan hanya dipahami oleh pemiliknya, melainkan juga membangkitikan
segala wujud kreativitas dalam kehidupan seharii-hari dan dalam menghadapi berbagai tantangan. Demi
revitalisasi, maka ayat-ayat kebudayaan tersebut harus dikaji ulang atau ditafsir baru.
Revitalisasi memang perlu dilaksanakan.Transfer nilai harus dilakukan, agar ada benang merah yang tetap
terjalin antara masa lalu dan masa sekarang. Terkait hal itu, saat ini pemerintah sedang merencanakan
mata ajar pendidikan karakter untuk di tingkat pendidikan dasar (PAUD, TK, dan SD), pendidikan
menengah (SMP dan SMA), serta pada tingkat perguruan tinggi. Alangkah baiknya kegiatan mentransfer
ulang nilai dari masa lalu ke masa sekarang itu menggunakan pembelajaran pendidikan karakter.

Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional sudah merencanakan bahwa tahun mendatang
harus hadir mata ajar pendidikan karekter di tengah-tengah kelas, dan bukan saja implisit, tetapi harus
eksplisit dengan melibatkan pusat kurikulum. Pusat kurikulum harus mempersiapkan rambu-rambu
pembelajaran pendidikan karakter di tingkat dasar dan menengah, sebagaimana layaknya mata pelajaran
lain. Padahal menurut pendapat Khan (2010: 120-121) pendidikan karakter bisa dipadukan ke dalam mata
pelajaran; pendidikan agama, pendidikan moral pancasila, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan
sejarah bangsa, pendidikan kesusastraan, pendidikan budi pekerti, dan kepada pendidikan filsafat ilmu

(bagi mahasiswa). Tetapi pemerintah ingin jelas output, ingin melihat hasilnya dalam bentuk evaluasi diri,
sehingga pendidikan karakter harus menjadi mata pelajaran tersediri dalam kurikulum.
Pendidikan Karakter Orang Ternate
Jauh sebelum pendidikan karakter menjadi wacana akan dimasukan ke dalam kelas, menjadi
pembelajaran kurikuler di sekolah dan di kampus, orang Ternate sudah memiliki landasan hidup yang
berorientasi kepada pembentukan karakter. Orang Ternate memiliki filosofi hidup silih asah, silih asih, silih
asuh. filosofi ini, kalau ditafsirkan kepada teori Benjamin S. Bloom dalam bukunya Taxonomy of Education
of Objectives, Cognitive Domain (1959), dapat disejajarkan dengan ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.
Sebab silih asah itu orientasi nilainya kepada peningkatan kualitas berpikir, mengasah kemampuan untuk
mempertajam pikiran dengan tempaan ilmu dan pengalaman. Seperti tercermin dalam ungkapan “peso
mintul mun terus diasah tangtu bakal seukeut” artinya pisau tumpul kalau terus diasah akan tajam juga;
atau “cikarakac ninggang batu laun-laun jadi legok” artinya air tempias menimpa batu lama-lama batunya
akan berlubang. Dengan kata lain, sebodoh-bodohnya orang kalau terus ditempa, suatu saat akan ada
bekasnya dari hasil pembelajaran itu.
Makna silih asih, orientasi nilainya kepada makna tingkah laku atau sikap individu yang memiliki empati,
rasa belas kasihan, tenggang rasa, simpati terhadap kehidupan sekelilingnya atau memiliki rasa sosial
yang tinggi. Tercermin dalam ungkapan “ka cai kudu saleuwi ka darat kudu selebak” arti utamanya adalah
kebersamaan. “Ulah pagiri-giri calik, ulah pagirang-girang tampian” artinya jangan ada permusuhan di
antara manusia. Sebab manusia itu harus “sareundeuk saigel, sabobot sapihanean, sabata sarimbagan
artinya harus memiliki jiwa kebersamaan, gotong royong atau saling menolong.

Makna silih asuh, orientasi nilainya adalah kasih sayang dalam tindakan yang nyata, sikap pragmatik
seseorang di masyarakat, eksistensi diri, menerapkan potensi diri di masyarakat. Kepada yang lebih tua
harus lebih hormat, kepada sesama harus saling menjaga, kepada yang lebih muda harus mampu
mengayomi dan memberi contoh yang baik. Seperti tercermin dalam ungkapan “kudu landung kandungan
kedah laer aisan” artinya hidup harus mengayomi orang lain selain mengoyomi diri sendiri. “ Hirup ulah
manggih tungtung, paeh ulah manggih beja” artinya selamanya dikenang dalam kebaikan dan kalau
meninggal tidak meninggalkan sifat buruk.
Dalam pendidikan karakter menurut pendapat Khan (2010: 14) bahwa pendidikan karakter merupakan
pendidikan yang tidak saja membimbing, dan membina setiap anak didik untuk memiliki kompetensi
intelektual, kompetensi keterampilan mekanik, tetapi juga harus terfokus kepada pencapaian
pembangunan dan perkembangan karakter. Jadi, manusia terdidik harus memiliki kompetensi intelektual
atau silih asah, harus memiliki kompetensi keterampilan mekanik atau silih asuh, dan mampu mencapai
pembangunan dan perkembangan karakter atau silih asih.

Karakter Pragmatis Orang Ternate
Kalau saja nilai-nilai lama direvitalisasi ke dalam kehidupan orang Sunda, tentunya wujud cemerlang
kehidupan orang Sunda tidak perlu diragukan lagi. Tapi menurut Alwasilah (2006: 18) ayat-ayat
kebudayaan lama yang tercermin dari kehidupan masa lalu sering dihujat sebagai pelestari feodalisme dan
kemunafikan, dan inilah yang menghambat kompetisi global yang meniscayakan demokrasi dan
transparansi. Mestinya lanjut Alwasilah (2006: 19) terbentuk dalam diri orang Sunda tentang perspektif

budaya, yakni sudut pandang terhadap budayanya sendiri. Inilah revitalisasi kultur dalam tataran kognitif
dan afektif sebagai pencerahan hidup.
Kesadaran akan nilai-nilai lama untuk menjadi pegangan hidup yang akan datang sebenarnya bagian dari
pembentukan karakter manusia. Sebab menurut pendapat Aziz (2011: 128) yang membentuk manusia
menjadi paripurna atau insan kamil adalah agama dan lingkungan hidup yang mempengaruhi hidupnya.
Agama tentunya hubungan manusia dengan penciptanya atau hubungan vertikal. Lingkungan adalah
hubungan horizontal, hubungan manusia dengan manusia atau ada interaksi sosial. Manusia Sunda tentu
saja mengenal hal itu, dalam satu sisi harus memiliki keterikatan kepada Yang Di Atas, dan satu sisi harus
menjadi pelaku di buana panca tengah (dunia) untuk mengemban azas tri tangtu di buana (resi, rama, dan
ratu), dan hubungannya harus harmonis. Kehamonisan tersebut tercermin dari pragmatisme hidup orang
Sunda, yaitu karakter religius, karakter personal, etos kerja, ketertiban hukum, kepemimpinan, dan bidang
pendidikan atau pengasuhan.
a.

Sistem Religi

Manusia Sunda tercipta dari budaya ladang atau masyarakat huma dengan sistem religi bermula dari tidak
mengenal Tuhan, berlanjut mengenal Tuhan dengan ditandai masuknya agama Islam, dan terakhir
datangnya agama Islam. Tetapi jauh sebelum Islam masuk, pada saat Sunda ada dalam dinasti Pajajaran,
orang Sunda sudah memiliki agama, sebuah agama hasil akulturasi dari nilai-nilai masa lalu dengan

agama ###### sebagai agama baru. Orang Ternate sangat percaya akan adanya Sanghyang Taya (Tuhan
yang tidak terlihat) atau disebut juga Sanghyang Tunggal (Tuhan Maha Esa). Munculnya analogi bahwa
Tuhan itu tidak terlihat, tidak ada dalam wujud kehidupan tetapi ada di atas sana dan hanya satu atau esa,
mungkin pengaruh dari kepercayaan orang tua dahulu terhadap dunia kahiangan ( kayangan) yang gaib.
Sistem religius tersebut tercermin dari dua pantun Sunda yang fenomenal, yaitu pantun Mundinglaya
Dikusumah dengan Lutung Kasarung. Kedua pantun tersebut isinya bercerita tentang dunia atas yang
gaib, dunia atas sebagai penolong, dunia atas sebagai tempatnya roh-roh suci. Tapi dunia atas dalam
pantun ini tidak digambarkan berupa nama-nama dewa seperti halnya dalam kepercayaan Hindu-Budha,
dunia atas dalam kepercayaan Sunda sudah beradaptasi dengan kepercayaan orang Sunda terdahulu.
Dunia atas dalam versi pantun ini adalah berisi tokoh gaib versi kepercayaan orang Sunda, serpeti Sunan
Ambu, Sanghyang Tunggal, atau Sanghyang Taya.
Cerita Mundinglaya Dikusumah menceritakan seorang tokoh Mundinglaya Dikusumah yang meminta
pertolongan pada penghuni dunia atas. Mundinglaya sosok teraniaya yang mendapat hukuman dari Raja
Pajajaran yang sebenarnya ayahnya sendiri. Mundinglaya dihukum karena difitnah telah berlaku tercela,
yaitu dituduh menggoda istri orang. Mundinglaya Dikusumah dihukum, salah satu syarat menebus
hukuman tersebut Mundinglaya Dikusumah harus mengambil pusaka Lalayang Salaka Domas di
jabaninglangit atau buana nyuncung. Lalayang Salaka Domas tersebut dibutuhkan untuk menyembuhkan
rakyat dan Negara Pajajaran yang terkena musibah. Artinya Mundinglaya harus terbang ke jabaninglangit
(dunia atas) untuk mengambil pusaka, dan harus mengalahkan Jongrang Kalapetong dan Guriang Tujuh


sebagai faktor penghalang. Tafsir ayat kearifan pantun ini, manusia buana panca tengah (bumi)
memerlukan buana nyungcung (dunia atas) sebagai sarana tempat meminta, mengadu, atau berharap,
sebab di sajabaninglangit itulah Sanghyang Tunggal berada.
Cerita Lutung Kasarung terbalik dengan cerita Mundinglaya Dikusumah. Dalam cerita Lutung Kasarung
dunia atas memberi pertolongan ke dunia bawah. Dunia atas menjalankan tugas dan fungsinya untuk
memberi pertolongan pada dunia bawah. Tokoh Guru Minda diutus ke bumi untuk memberi pertolongan
terhadap Purba Sari yang dianiaya oleh kakaknya bernama Purba Larang. Guru Minda menjelma menjadi
lutung harus memenangkan kebaikan dan mengalahkan kejahatan yang dilakukan oleh Purba Larang dan
Indra Jaya kekasihnya. Purba Larang dan Indra Jaya menganiaya Purba Sari karena menyingkirkan Purba
Sari agar tidak naik tahta jadi ratu di kerajaan Pasir Batang Anu Girang. Dalam cerita ini Guru Minda
sebagai simbol dunia atas harus mampu membuktikan bahwa kejahatan bisa kalah oleh kebaikan, dan
kemenangan itu atas perbuatan baik. Artinya dunia atas itu penolong kepada orang yang berusaha di jalan
kebaikan, dan akan selalu berpihak kepada hal-hal yang dilakukan orang dalam kebaikan.
b.

Karakter Personal

Karakter manusia Sunda yang diharapkan sebagai manusia yang memiliki kepribadian, memiliki sikap,
memiliki karisma, dan memiliki jiwa kepedulian sosial, yaitu (1) kudu hade gogog hade tagog, yaitu memiliki
penampilan yang meyakinkan, optimistik, dan karismatik; (2) nyaur kudu diukur, nyabda kudu diungang,

yaitu harus menjaga ucapan, tindakan atau perbuatan agar tidak menyakiti orang; (3) batok bulu eusi
madu, yaitu harus memiliki otak atau kecerdasan yang baik; (4) ulah bengkung bekas nyalahan, yaitu
jangan salah berbuat karena hasilnya akan sia-sia atau hasilnya tidak akan baik; (5) ulah elmu ajug, yaitu
jangan menasehati orang tetapi diri sendirinya butuh nasihat orang lain atau jangan mengajak orang lain
berbuat baik sendirinya saja tidak baik; (6) sacangreud pageuh sagolek pangkek, yaitu hidup harus
memiliki prinsip; (7) ulah gindi pikir belang bayah, yaitu jangan berbuat jahat, memiliki pikiran jelek pada
orang, atau dengki kepada orang; (8) kudu leuleus jeujeur liat tali, yaitu hidup itu harus kuat, menanggung
beban sebarat apapun jangan menyerah.
c.

Etos Kerja

Manusia Sunda pun dituntut memiliki katakter menjadi manusia pekerja, manusia mandiri, manusia yang
memiliki etos kerja. Filosofis manusia Sunda sebagai manusia pekerja di antaranya: (1) mun teu ngoprek
moal nyapek, mun teu ngakal moal ngakeul, mun teu ngarah moal ngarih, yaitu kalau mau makan atau
mau mempertahankan hidup maka bekerjalah; (2) tungkul ka jukut tanggah ka sadapan, yaitu kerjakan apa
yang mesti dikerjakan, jangan terganggu oleh hal-hal lain yang mengganggu perkerjaan utama dan harus
rendah hati jika telah mendapatkan kesuksesan; (3) ulah kumeok memeh dipacok, yaitu jangan pernah
menyerah sebelum melakukan pekerjaan, harus tetap optimis; (4) ulah kurung batokkeun, yaitu manusia
harus banyak bergaul agar banyak teman dan menambah pengalaman; (5) kudu bisa ka bala ka bale, yaitu

manusia itu harus berusaha untuk memiliki banyak pengetahuan dan keterampilan, mau bekerja apa saja
asal halal, jangan memilih-milih pekerjaan yang akhirnya malah menganggur; (6) ulah muragkeun
duwegan ti luhur, yaitu jangan mengerjakan sesuatu yang hasilnya malah gagal atau sia-sia; (7) ulah
cacag nangkaeun, yaitu jangan mengerjakan sesuatu setangah-setengah sebab hasilnya tidak akan
memuaskan, malah menjadi berantakan; (8) ulah puraga tanpa kateda, yaitu jangan mengerjakan sesuatu
asal jadi saja, pada akhirnya bos atau orang yang mengerjakan kitu merasa kecewa akan hasil kerja kita;
(9) ulah ngarawu ku siku, jangan menerima pekerjaan jangan serakah, semua tawaran diambil, sebab
pada akhirnya akan sia-sia bahkan tidak akan berbuah; (10) hejo tihang, yaitu jangan pindah-pindah

tempat kerja; (11) muru julang ngaleupaskeun peusing, jangan tergiur dengan iming-iming yang belum
tentu menghasilkan, lebih baik tekuni yang sedang digarap tetapi hasilnya sudah menjanjikan.
d.

Ketertiban dalam Hukum dan Keadilan

Masalah keadilan harus tertanam juga dalam manusia Sunda. Leluhur Sunda sudah memberikan filosofis
tentang keadilan, tujuannya agar manusia Sunda memiliki jiwa adil dan beradab, seperti yang tercermin
dalam: (1) ulah cueut ka nu hideung ulah ponteng koneng, yaitu katakan salah bila salah, katakan benar
kalau memang benar, jangan berpihak kepada yang salah; (2) kudu nyanghulu ka hukum, nunjang ka
nagara, mupakat ka balarea, yaitu aturan harus bersumber kepada hukum, harus berbakti benar ke

Negara, dan kebenaran itu harus menurut orang banyak (rakyat); (3) kudu puguh bule hideungna, yaitu
perkara itu harus jelas aturannya bila ingin mengambil tindakan; (4) bobot pangayon timbang taraju, yaitu
menimbang kesalah harus dengan aturan yang jelas seusuai dengan kesalahan yang diperbuatnya; (5) nu
lain kudu dilainkeun, nu enya kudu dienyakeun, nu ulah kudu diulahkeun; yaitu harus berkata jujur jangan
melarang-larang sesuatu yang tidak sesuai dengan kebenaran.
e.

Kepemimpinan

Karakter pemimpin yang diinginkan oleh leluhur Sunda adalah jujur, adil dan menjadi pengayom yang
dipimpinnya. Pempinan pada masyarakat Sunda yaitu dimulai dari RT, RW, kokolot, lebe, kuwu, camat,
wadana, bupati, dan seterusnya. Mereka itu dalam kepemimpinannya sudah dibekali filosofis sebagai
pembentukan karakter. Konsep kepempinan menurut ayat kearifan Sunda; (1) lain palid ku cikiih, lain
datang ku cileuncang, yaitu bahwa pemimpin itu tidak sekonyong-konyong ada di tengah masyarakat,
tetapi keberadaanya itu melalui proses dan atas kepercayaan rakyat; (2) landung kandungan laer aisan,
yaitu pemimpin harus memiliki jiwa kasih sayang, sebab pemimpin itu harus jadi ibu sekaligus bapak bagi
rakyatnya; (3) kudu handap asor; yaitu pemimpin jangan sombong, jangan semena-mena; (4) bentik curuk
balas nunjuk capetang balas miwarang, yaitu jadi pemimpin jangan otoriter, jangan main perintah,
sebaiknya sama-sama bekerja dengan bawahan; (5) ulah getas harupateun, yaitu jangan emosional
jangan cepat mengambil tindakan; (6) kudu dibeuweung diutahkeun, yaitu sebagai pemimpin harus

mempertimbangkan masalah atau “kudu asak-asak ngejo bisi tutung tambagana, kudu asak-asak nempo
bisi kaduhung jagana” (harus penuh pertimbangan dalam memutuskan perkara atau mengambil
keputusan); (7) ngeuyeuk dayeuh ngolah nagara, yaitu pemimpin harus mampu mengelola daerahnya
dengan mempotensikan rakyat, dan mampu menjadi abdi Negara yang baik; (8) ulah lali ka purwadaksi,
yaitu jadi pemimpin jangan lupa kepada asal-usul, jangan (9) unggah pileumpangan, yaitu berubah sikap
jadi sombong setelah jadi priayi.
f.

Arah Pendidikan Manusia Sunda

Manusia Sunda dibesarkan hidupnya di alam pegunungan, sebab nenek moyangnya adalah manusia
ladang. Berbeda dengan manusia Jawa, mereka dibesarkan di lahan pesawahan. Ciri manusia ladang
mengandalkan pepohonan yang hidup di ladang sebagai alat untuk bertahan hidupnya. Tidaklah heran
manusia Sunda memanfaatkan pepohonan sebagai makanannya, maka pendidikan pun mengarah kepada
bagaimana memanfaatkan potensi yang ada di pegunungan. Tercermin dari pembuatan rumah, alat rumah
tangga, bahkan alat berburu pun menggunakan potensi yang ada di ladang.
Karakteristik orang Sunda ibarat “ayam”, karena ayam merupakan simbol hewan manusia ladang. Berbeda
dengan manusia Jawa, bebek sebagai simbol hewan peliharaannya karena orang Jawa adalah manusia

sawah. Tercermin dari ungkapannya; (1) ulah ngepek jawer, maksudnya jangan menjadi manusia penakut;

(2) ulah ipis burih, sama artinya yaitu jangan menjadi manusia penakut dann peragu; (3) bengkung
ngariung bongkok ngaronyok, maksudnya selalu berkumpul ibarat untuk menjalin kebersamaan. Dari
ungkapan babasan dan paribasa di atas terdapat istilah jawer, burih, dan ngaronyok, itu adalah simbol
ayam.
Dalam mendidik anak untuk tidak menjadi sombong, manusia Sunda menggunakan simbol alam sebagai
perumpamaanya; (1) alak-alak cunampaka; (2) piit ngeundeuk-ngeundeuk pasir; (3) pacikrak ngawan
merak; (4) cecendet mande kiara; (5) jogjog neureuy buah loa; maksud dari ungkapan di atas artinya
sama, manusia jangan sombong, jangan menyepelekan hidup.
Adapun ungkapan yang menyuruh manusia Sunda untuk belajar; (1) elmu tungtut dunya siar, maksudnya
tuntutlah ilmu sambil mencari penghidupan; (2) ngundeur luang mah ka daluang jeung papada urang,
artinya mencari ilmu itu dari buku (daluang) dan dari sesama manusia (guru, orang tua, atau masyarakat);
(3) manuk hiber ku jangjangna jalma hirup ku akalna, pergunakan akal sebagai alat kehidupan; (4)
mending bodo alewoh, artinya lebih baik bodoh tetapi mau bertanya dari pada pintar tapi tidak mau
bertanya kepada orang; (5) mending waleh manan leweh, lebih baik bertanya pada orang dari pada tidak
bisa apa-apa; (6) nete taraje nincak hambalan, belajar itu sebuah proses alami; (7) moal nukang ka
burang, moal nonggong ka rombongan, nyanghareup mah ka kolot ka lalakon, artinya segala sesuatu
segala sesuatu belajar dulu dari pengalaman. ***

Daftar Pustaka
Alwasilah, A. C. 2006. Pokoknya Sunda, Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Kiblat.
Azis, H.A. 2011. Pendidikan Karakter Berpusat Pada Hati, Akhlak Mulia Pondasi Membangun Karakter
Bangsa. Jakarta: Al-Mawardi.
Danandjaja, J. 1998. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta:Grafiti.
Dienaputra, R. D. 2006. Sejarah Lisan: Konsep dan Metode. Bandung: Balatin Pratama.
Ekadjati, E. S. 1988. Naskah Sunda. Bandung: Universitas Padjadjaran.
Endraswara, Suwardi. 2006. Metode, Teori, Teknik Penelirian Kebudayaan: Ideologi, Epistemologi, dan
Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Hidayat, R. T, dkk. 2005. Peperenian Urang Sunda. Bandung: Kiblat.
Khan, D. Y. 2010. Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri: Mendongkrak Kualitas Pendidikan.
Semarang: Pelangi Publishing.
LBSS. 1995. Kamus Umum Basa Sunda. Bandung: Tarate.

Rohaedi, A. 1986. Kepribadian Budaya Bangsa: Local Genius. Jakarta: Pustaka Jaya.
Rosidi, A. 2004. Sastera dan Kebudayaan: Kedaerahan dalam Keindonesiaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sumardjo, J. 2003. Simbol-simbol Artefak Budaya Sunda: Tafsir-tafsir Pantun Sunda. Bandung: Kelir.
Sumardjo, J. 2004. Hermeneutika Sunda. Bandung: Kelir.
Warnaen, S., dkk. 1987. Pandangan Hidup Orang Sunda, Seperti Tercermin dalam Tradisi Lisan dan
Sastra Sunda. Bandung: Sundanologi.
About these ads

Pengembangan Pendidkan Budaya dan Karakter Bangsa, hal ini karena globalisasi telah membawa kita
pada’’penuhanan’’materi sehingga terjadi ketidakseimbangan antara pembangunan ekonomi dan tradisi
kebudayaan masyarakat. Ada sejumlah praktik pendidikan tradisonal (etnodidaktik) yang terbukti
ampuh, seperti pada masyarakat dufa-dufa kecamatan ternate utara dalam melestarikan linkungan.
Namun, sebenarnya secara keseluruhan masyarakat adat yang ada telah menyelenggarakan
pendidikan yang dapat disebut sebagai pendidikan tradisi, termasuk pendidikan budi pekerti secara baik
dan benar.
Tradisi dan kebudayaan masyarakat adat Ternate bersumber dari agama dan falsafah” adat
se-atorang” sebagai tradisi kesultanan Ternate. Falsafah ini mengajarkan kepada masyarakat untuk
bertindak adil, konsisten dalam menghargai perbedaan, etika, moral, dan menjunjung tinggi konsensus
tradisi yang disepakati bersama.

Masyarakat adat Ternate mengembangkan nilai-nilai dan semangat kearifan lokal menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sosial. Hal ini sejalan dengan pendapat Alwasilah
(2009) memiliki kebudayaan sendiri, memiliki nilai-nilai budaya luhur sendiri, dan memiliki keunggulan
lokal atau memiliki kearifan lokal sendiri. Menurut) Inilah yang melahirkan pendidikan bermakna
deliberative, yaitu setiap masyarakat berusaha mentransmisikan gagasan fundamental yang
berkenaan dengan hakikat dunia, pengetahuan, dan nilai-nilai.
Yang menjadi alasan penulis pertama, kebudayaan dan peradaban masyarakata kelurahan
Dufa-Dufa yang berjalan sangat fleksibel sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan kehidupan
masyarakat secara riil. Sehingga nilai buadaya dan peradaban masyarakat dalam proses
pengembangannya mengalami siklus yang menarik pula untuk di kaji. Siklus pengembangan dan
pelestarian budaya masyarakat Dufa-Dufa mengalami masa transisi, tumbuh dan berkembang
(growth) dan mundur, serta kehancuran, dimana proses ini berjalan sangat kontroversial dengan
kebutuhan budaya masyarakat itu sendiri. Kedua, masyarakat kelurahan Dufa-Dufa memiliki sistem
adat isriadat dan sistem kepercayaan yang dikenal dengan nilai-nilai budaya tradisional sebagai
falsafah kehidupan masyarakat Dufa-Dufa. Ketiga,pergaulan generasi muda terbawa dengan arus
modernisasi yang mengesamningkan nilai-nilai budaya lokal yang menjurus pada pergaulan
serimonial belaka.

A. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka penulis memberikan beberapa rumusan
masalah adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk dan pola pengembangan pendidikan karakter berbasis kearifan budaya lokal?
2. Faktor-faktor apa saja yang dapat menghambat pelestarian nilai-nilai kearifan budaya lokal?
3. Bagaimana upaya dalam melestarikan nilai-nilai pendidikan karakter berbasis kearifan budaya lokal?
C. Tujuan Penelitian
Dalam penulisan ini, adapun tujuan yang ingin penulis angkat yaitu :

1. Untuk mengetahui gambaran secara kongkrit tentang bentuk dan pola pengembangan
pendididkan karakter kearifan budaya lokal.
2.

Untuk mengetahui gambaran tentang faktor-faktor apa yang dapat menghambat
pelestarian nilai kearifan lokal.

3. Untuk mengatahui upaya dalam melestarikan nilai-nilai pendidikan karakter berbasis
kearifan budaya lokal.
D. Manfaat Penelitian
Penulis harapkan dalam penulisan ini, dapat memberikan beberapa manfaatnya antara lain
sebagai berikut :
1). Memberikan konstribusi pendidikan karakter terhadap peserta didik yang bercermin pada kearifan
budaya lokal.
2). Agar dapat mengembangkan pemikiran, wawasan, dan pengetahuan peserta didik yang
berkarakter dan menjaga kelestarian budaya.
E. Klarifikasi Konsep
Penjelasan terhadap konsep-konsep yang dipergunakan sebagai judul penilitian ini perlu
dikemukakan dengan alasan: pertama , memudahkan pemahaman tentang maksud utama
penelitian ini. Kedua, menjadi panduan dalam telaah terhadap tamuan-temuan penelitian , dan
ketiga, memudahkan peneliti untuk kesimpulan penelitian.
1. Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek
pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona,
tanpa ketiga aspek ini, pendidikan tidak akan efektif, demikian tulisan Suyanto pendidikan karakter
tidak cukup dengan pengetahuan lantas melakukan tindakan yang sesuai dengan pengetahuan
saja. Hal ini karena pendidikan karakter terkait erat dengan nilai dan norma. Oleh kerena itu, harus
juga melibatkan aspek perasaan. Bila memperhatikan pelaksanaan dari pendidikan di Indonesia

pada akhir-akhir ini yang tampak sangat mementingkan kecerdasan intelektual, kita semakin
memahami manakah sesunggunya masalahnya, mengapa saat ini negeri ini membutuhkan
pendidikan karakter.
2. Kebudayaan
Kebudayaan merupakan aspek ekspresi simbolik perilaku manusia, yang mempengaruhi
aspek kehidupan sehari-hari. Kebudayaanlah yang membentuk manusia dan manusia juga yang
mewujudkan budaya dengan menunjuk pada sifat interaktif dari keunggulan individual dalam
mewujudkan budaya itu, ( Kitani damn Kirby, 1986 ). Kebudayaan merupakan seperangkat
penciptaan, penertiban dan pengolahan nilai-nilai insani ( Backer, 1984 ). Artinya kebudayaan
adalah hasil dari pengolahan nila-nilai insani yang diekspresikan kepada manusia lain. Ekspresi itu
berupa suatu simbol kemanusiaan yang dihasilknnya dari alam dan nilai-nilai itu dikembangkan
sebagai spiritual ( Piotr Sztompka, 2005:150 ).
3. Kearifan Lokal
Kearifan lokal, dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) atau kebijaksanaan; dan lokal (local)
atau setempat. Jadi kearifan lokal adalah gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh
kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Menurut Gobyah nilai terpentingnya adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg
dalam suatu daerah. Secara konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan
kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang
melembaga secara tradisional.
4. Tradisi
Tradisi menurut istilah dalam kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1988:959) adalah adat kebiasaan
turun temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan di masyarakat. Sedangkan tradisi menurut
Soekanto (1993:520) adalah norma, harapan dan cita-cita, benda, tingkah laku sebagian unsur
kebudayaan atau adat istiadat. Dengan demikian yang dimaksud tradisis dalam penelitian ini adalah
norma, pandangan hidup, dan adat kebiasaan yang masih tetap dijalankan masyarakat

KAJIAN TEORI
Konsep Pendidikan Karakter
Dalam sejarah peradaban manusia, pendidikan mendapatkan gaung yang suaranya masih terdengar
hingga kini sejak ia digemakan oleh peradaban Yunani Kuno dengan para filsufnya. Mungkin karena
peradaban itu merupakan tempat cia-cita humanisme muncul, tempat-tempat pemikiran yang menjadi cikal
bakal nila-nilai kemanusiaan hingga kini berkembang.
1. Pendidikan Karakter Yunani Kuno
Homeros menempatkan sejarah sebagai kisah para pahlawan. Para pahlawan yang dimaksud
adalah orang-orang besar yang memiliki watak baik. Orang besar yang demikian berarti manusia yang
baik (aner agathos). Keterpesonaannya adalah para watak kaum aristokratis (bagsawan). Ciri-cirinya
adalah kaum yang memiliki kekuatan fisik, yang menghasilkan sifat keberanian, yang membuat identitas
terhormat, dan sukses tanpa cacat. Ia juga berarti kekuatan, keuletan, kemakmuran, kepandaian,
kemurahan hati, kesehatan, bijaksana, gembira dan keunggulan-keunggulan lainnya. Dalam salah satu
puisi Homeros memilih bahwa sosok yang bisa dijadikan symbol kepahlawanan adalah Achilles, sosok
pahlawan yang menang dalam pertempuran. Bukan hanya kekuatan fisiknya, melainkan juga karena
reputasi moralnya yang layak menjadi patokan karakter bagi generasi masyarakat.
Selain Homeros pujangga Yunani lainnya juga menyuguhkan simbolisasi bagi karakter yang
baik. Mereka juga tak hanya melihat sosok pahlawan dalam kebangsawan semata. Namun juga melihat
keutamaan dalam profesi-profesi dan kelas-kelas lainnya. Misalnya keutamaan petani (Hesiodos),
keutamaan tentara (Tirteo dan Carllino), keutamaan kegiatan olahraga (Pindaro), nilai-nilai warga
Negara (Salomo). Kemudian juga muncul keutamaan filsafat seperti kita lihat pada Plato.
Keutamaan nilai yang diajarkan oleh Hesiodos yang dasar moralitasnya keadilan dan kerja
keras adalah hal yang menarik. Ia menganggap bahwa barang siapa yang bekerja ia berbuat adil.
Ajaran karakter seperti ini bahkan ditujukan pada para hakim seakan ia adalah nabi keadilan. Jadi,

ternyata nilai-nilai moral yang ada di zaman modern ternyata jauh-jauh hari telah dimulai sejak zaman
Yunani Kuno.
2. Pendidikan Karakter Romawi
Pendidikan karakter di era Romawi lebih banyak dibentuk melalui keluarga. Pendidikan
karakter menekankan dipegangnya nilai-nilai yang mengandung unsur tradisi yang diwariskan oleh para
leluhur. Unsur-unsur karakter yang menonjol dari bangsa Roma adalah mengutamakan kebaikan tanah
air, penyembahan dan penghormatan pada para dewa, kesetiaan, perilaku yang berkualitas, dan nilainilai stabilitas.
Pada era berikutnya, kita menjumpai bagaimana pendidikan karakter sangat dipengaruhi oleh
ajaran kristiani setelah munculnya agama ini, yang menandai abad agama yang kadang juga disebut
sebagai Abad Kegelapan (The Dark Age) sebelum munculnya revolusi industri dan zaman pencerahan
era kegelapan terjadi ketika pendidikan dan arahnya dihegemoni oleh gereja. Pendidikan karakter di era
ini identik dengan pendidikan moral agama yang memang menawarkan konsep-konsep moral dan nilai
yang dipandang sebagai jawaban atas masalah-masalah moral sebelumnya. Salah satunya adalah
bobroknya kekuasaan Roma baik secara moral maupun politik. Dalam situasi itulah, ajaran kristiani
mendapatkan pengaruh yang luar biasa.
3. Pendidikan Karakter Era Modern
Inilah yang membuat era baru bernama “modernisasi” memusatka diri pada manusia
(antroposentrisme). Pandangan subjektif berusaha disingkirkan karena manusia dengan bantuan
pengetahuan dan rasionalitas telah dibimbing untuk melihat alam secara objektif karena alam adalah
objek yang akan dianalisis dan dimanfaatkan untuk mengembangkan kehidupannya.
Pendiktomian subjek dengan objek itulah yang kemudian dianggap sebagai penyebab
munculnya berbagai maacam kekeringan makna dalam pribadi-pribadi modern. Modernisasi kapitalis
dengan berbagai masalah yang ditimbulkannya (kemiskinan dan pemiskinan, kerusakan lingkungan
alam, budaya dangkal, dan lain-lain) muncul karena manusia dianggap terpisah dari makna subjektifnya
dalam kehidupan. Kesibukan hidup dalam rangka mengejar kemajuan dan pertumbuhan material
semata, dianggap telah memunculkan masalah-masalah dalam ranah karakter manusia.

Jika berbicara mengenai ketidakbermaknaan hidup dan rusaknya karakter manusia dalam era
modern, ada pandangan yang menyatakan bahwa manusia telah kehilangan spiritualitas yang hanya
dijawab dengan agama. Mereka menawarkan pendidikan karakter yang menekankan pada pendidikan
moral agama, yang dapat dianggap sebagai solusi atas masalah-masalah modernitas.
Akan tetapi, ada juga pandangan bahwa hal itu bukan hanya masalah pemaknaan religius
semata. Rusaknya moral bukanlah masalah internal subjek manusia, melainkan subjektifitas itu juga
harus dipahami sebagai bagian dari kehidupan material secara umum. Dalam hal ini, hilangnya
subjektifitas bukan semata disebabkan dari dalam dirinya, melainkan oleh kondisi lingkungan social
yang membentuk subjek tersebut-yang bahkan menjadikan manusia sebagai objek eksploitasi. Sebagai
contoh, munculnya masalah kemanusiaan dan rusakanya karakter dan kepribadian manusia bukan
semata tanggung jawab manusia secara individu, melainkan lebih banyak dibentuk oleh kondisi soasial
yang ada. Maka, pendidikan karakter yang di tawarkan untuk mengatasi masalah manusia tidak cukup
hanya dengan mengisinya dengan moral agama, tetapi juga diisi dengan penyadaran akan realitas dan
mengaktifkan potensi gerakan manusia untuk mengatasi realitas yang ternyata membelenggunya dan
menurunkan karakter kemanusiaannya.
4. Pendidikan Karakter di Indonesia
Di Indonesia akhir-akhir ini menjadi isu yang sangat hangat sejak Pendidikan Karakter
dicanangkan oleh pemerintahan Susilo Bambang yudoyono (SBY) dalam peringatan Hari Pendidikan
Nasional, pada 2 Mei 2010. Tekad pemerintah untuk menjadikan pengembangan karakter dan budaya
bangsa sebagai bagian yag tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional harus didukung secara
serius. Akan tetapi, kita juga masih belum tahu bagaimana keseriusan pemerintah untuk melakukan
kebijakan pendidikan nasional untuk mendukung program itu.Tentunya, karakter bangsa hanya semata
dapat dibentuk dari program pendidikan atau proses pembelajaran didalam kelas. Akan tetapi, kalau
memang pendidikan bermaksud serius untuk membentuk kerakter generasi bangsa, ada bayak hal
yang harus dilakukan, butuh penyadaran terhadap para pendidik dan pelaksana kebijakan pendidikan.
Jika pendidikan dipahami dalam arti luas, sebagai proses penyadaran, pencerdasan, dan
pembangunan mental atau karakter, tentu ia bukan hanya identik dengan sekolah. Akan tetapi, ia
berkaitan dengan proses kebudayaan secara umun yang sedang berjalan, yang punya kemampuan
untuk mengarahkan kesadaran, memasok informasi, membentuk cara pandang, dan membangun

karakter generasi muda khususnya. Artinya, karakter yang menyangkut cara pandang dan kebiasaan
siswa, remaja, dan kaum muda secara umum hanya sedikit sekali yang dibentuk dalam ruang kelas
atau sekolah, tetapi lebih banyak dibentuk oleh proses sosial yang juga tak dapat dilepaskan dari
proses bentukan ideologi dari tatanan material-ekonomi yang sedang berjalan.
Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek
pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa
ketiga aspek ini, pendidikan tidak akan efektif, demikian tulisan Suyanto pendidikan karakter tidak cukup
dengan pengetahuan lantas melakukan tindakan yang sesuai dengan pengetahuan saja. Hal ini karena
pendidikan karakter terkait erat dengan nilai dan norma. Oleh kerena itu, harus juga melibatkan aspek
perasaan. Bila memperhatikan pelaksanaan dari pendidikan di Indonesia pada akhir-akhir ini yang
tampak sangat mementingkan kecerdasan intelektual, kita semakin memahami manakah sesunggunya
masalahnya, mengapa saat ini negeri ini membutuhkan pendidikan karakter.
Pelaksanaan pendidikan yang tidak seimbang, yang lebih mengutamakan kecerdasan
intelektual sebagaimana diataslah yang akhirnya memunculkan banyak perilaku buruk dari orang-orang
terdidik.
Pusat Kurikulum Balitbang Kemendiknas Sistimatika tentang Penanaman 18 Pilar Karakter
Pedoman Untuk Sekolah oleh N.A. Suprawoto adalah sebagai berikut : religius, jujur, toleransi, disiplin,
kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air,
menghargai prestasi, bersahabat / komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli
social, dan tanggung jawab.
Ke-18 pilar karakter sebagaimana di atas hendaknya diajarkan secara sistematis dalam model
pendidikan yang holistic. Apabila Sembilan pilar karakter tersebut benar-benar dipahami, dirasakan
kebaikan dan perlunya dalam kehidupan, dan diwujudkan dalam perilaku sehari-hari, inilah
sesungguhnya pendidikan karakter yang diharapkan.
Tilaar (2000:56) menjelaskan bahwa pendidikan merupakan proses pembudayaan. Dengan
kata lain, pendidikan dan kebudayaan memiliki hubungan yang tidak dipasahkan. Ketika berbicara
tentang pendidikan, maka kebudayaan pun ikut serta didalamnya. Tidak ada kebudayaan tanpa
pendidikan dan begitu pula praksis pendidikan selalu berada di dalam lingkup kebudayaan.

Fudyartanta (1995) menyatakan bahwa pendidikan budi pekerti adalah pendidikan watak,
pendidika akhlak, pendidikan kepribadiaan. Pendidikan budi pekerti yaitu penanaman nilai-nilai baik dan
luhur kepada jiwa manusia.
Konsep Nilai Budaya Masyarakat Lokal
Kebudayaan merupakan aspek ekspresi simbolik perilaku manusia, yang mempengaruhi aspek kehidupan
sehari-hari. Kebudayaanlah yang membentuk manusia dan manusia juga yang mewujudkan budaya
dengan menunjuk pada sifat interaktif dari keunggulan individual dalam mewujudkan budaya itu, ( Kitani
dan Kirby, 1986 ). Kebudayaan merupakan seperangkat penciptaan, penertiban dan pengolahan nilai-nilai
insani ( Backer, 1984 ). Artinya kebudayaan adalah hasil dari pengolahan nila-nilai insani yang
diekspresikan kepada manusia lain. Ekspresi itu berupa suatu simbol kemanusiaan yang dihasilknnya dari
alam dan nilai-nilai itu dikembangkan sebagai spiritual ( Piotr Sztompka, 2005:150 ).
Konsep sistem budaya suatu masyrakat para antropolog selalu menggunakan lima orientasi nilai budaya,
yaitu : (1) konsepsi manusi tentang hidup, (2) konsepsi manusia tentang karya, (3) konsepsi manusi
tentang waktu, (4) konsepsi manusi tentang alam, (5) konsepsi manusi tentang hubungan manusia sesama
manusia (Soejono, 1990 : 49).
Kerangka konsepsi orientasi nilai budaya diatas, menurut hemat penulis dapat menjelaskan orientasi nilai
budaya masyarakat Ternate dengan menambah orientasi nilai keagamaan. Nilai keagamaan
mengembangkan dua orientasi nilai dasar yaitu orientasi ketuhanan dan orientasi kemanusiaan . Dari dua
nilai dasar ini lahir tanggung jawab manusia dalm sistem nilai budaya masyarakat Ternate, yaitu : (1)
tanggung jawab manusia terhadap Tuhan, (2) tanggung jawab manusia terhadap sesama manusia, (3)
tanggung jawab manusia terhadap lingkungan alam, (4) tanggung jawab manusia terhadap waktu, (5)
tanggung jawab

manusia terhadap dirinya ( Notowidagdo, 2000). Hal ini sejalan dengan konsepsi

kelestarian sistem nilai budaya masyarakat Ternate dihubungkan dengan konsep falsafah “Jou Ngofa Se
Ngare”. Karena itu masyarakat Ternate mereka selalu berupaya memperbaiki hubungan menusia dengan
manusia dengan baik sebagai aktualisasi diri (self actualizataion).