INOVASI PAKAN TERNAK UNTUK INDONESIA BER (1)
INOVASI PAKAN TERNAK UNTUK INDONESIA BERKETAHANAN
[Meneropong Agribisnis Peternakan Ayam Pedaging di Maluku Utara]
ABSTRAK
Ketahanan
Indonesia
dapat
ditopang
dari pembangunan
di segala
sektor terutama
ketahanan
pangan yang
menjadi prioritas
dalam
pembangunan nasional. Pembangunan berkelanjutan yang pada masa kini dikenal
dengan suistainable
development
goals (SDGs) pun menargetkan
pengentasan
kelaparan (zero hunger). Gerakan global untuk mengakhiri kelaparan (end hunger) ini
juga sesuai dengan agenda prioritas Kabinet Kerja Presiden Jokowi-Jusuf Kalla tahun
2014 – 2019 yang dituangkan dalam nawacita.
Permintaan daging ayam yang tinggi dipengaruhi oleh kesadaran masyakat akan
pangan sehat dan bergizi tinggi. Kecenderungan memilih daging ayam sebagai
penyuplai protein disebabkan karena harga daging ayam yang relatif lebih terjangkau
dibandingkan daging sapi. Peluang tersebut mencadi peluang dan sekaligus tantangan
bagi subsektor peternakan sebagai penyedia pangan berbasis protein hewani. Wilayah
Maluku Utara menjadi objek kajian karena merupakan propinsi dengan produksi daging
terendah dibandingkan 34 propinsi lainnya padahal jumlah penduduk Maluku Utara
setiap tahunnya semakin meningkat. Konsumsi daging ayam diasumsikan semakin
meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk.
Sebagai subsektor yang berperan strategis dalam penyedia pangan, peternakan
tak hanya memberikan peluang-peluang yang menggiurkan, tetapi juga mengisahkan
beragam permasalahan krusial khususnya pada aspek pakan (feeding). Hal ini yang
mendasari inkonsistensi sektor peternakan baik di bagian barat sampai timur Indonesia.
Padahal pakan menjadi kunci utama atau penggerak dalam budidaya ternak
khususnya ayam broiler atsu pedaging. Hampir 70% modal produksi ternak ayam
broiler terserap untuk penyediaan pakan. Sehingga diperlukan inovasi pakan ternak
untuk menopang ketahanan pangan berbasis protein hewani. Pemanfaatan pakan lokal,
limbah sayuran pasar, limbah pertanian dan industri menjadi solusi alternatif.
Pengolahan bahan pakan dengan pendekatan fisik dan kimia dapat menjadi jawaban
untuk permasalahan pakan ternak khususnya di wilayah Maluku Utara yang selama ini
masih bergantung pada keran impor. Kedaulatan pangan dapat dimulai dengan
kedaulatan pakan.
Kata Kunci : Ketahanan Pangan, Inovasi Pakan ternak, Pemanfaatan Pakan Lokal
dan Limbah
INOVASI PAKAN TERNAK UNTUK INDONESIA BERKETAHANAN [Meneropong
Agribisnis Peternakan Ayam Pedaging di Maluku Utara]
Ketahanan Indonesia dapat ditopang dari pembangunan di segala sektor
diantaranya pendidikan, perekonomian, pertanian, peternakan, perikanan maupun
pertahanan dan keamanan negara. Ketahanan pangan merupakan kondisi
terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari
tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam,
bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan
budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan
(Undang-Undang Pangan tahun 2012). Ketahanan pangan menjadi prioritas dalam
pembangunan nasional. Pembangunan berkelanjutan yang pada masa kini dikenal
dengan suistainable
development
goals (SDGs) pun menargetkan
pengentasan
kelaparan (zero hunger). Hal tersebut mencakup upaya dalam penyediaan pangan
secara berkesinambungan untuk konsumsi masyarakat.
Gerakan global untuk mengakhiri kelaparan (end hunger) ini juga sesuai dengan
agenda prioritas Kabinet Kerja Presiden Jokowi-Jusuf Kalla tahun 2014 – 2019 yang
dituangkan dalam nawacita. Merujuk pada arah pembangunan nasional maka
setidaknya terdapat empat butir nawacita yang secara langsung bersentuhan dengan
diskursus pangan. Adapun diantaranya yaitu butir ketiga, membangun Indonesia dari
pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa; butir kelima, meningkatkan
kualitas hidup manusia Indonesia; butir keenam, meningkatkan produktivitas rakyat dan
daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit;
dan butir ketujuh yaitu mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan
ekonomi domestik.
Peningkatan permintaan produk protein hewani semakin menggeliat seiring
dengan peningkatan jumlah penduduk. Hasil proyeksi Badan Pusat Statistik tahun 2016
menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia mencapai 258 juta orang dan akan
mengalami peningkatan setiap tahunnya. Data menunjukkan bahwa konsumsi protein
per kapita sehari untuk daging pada tahun 2014 sebesar 2,68 gram, meningkat sebesar
8,50 persen dibandingkan konsumsi tahun 2013 sebesar 2,47 gram. Paradigma
masyarakat telah bergeser untuk mengonsumsi pangan sehat dengan gizi tinggi.
Daging ayam sebagai produk peternakan dengan kandungan asam amino esensial
yang kompleks menjadi primadona pilihan meja karena harganya terjangkau. Harga
daging ayam Rp. 33.000 per kg lebih rendah dibandingkan daging sapi yang mencapai
Rp. 120.000 per kg (SP2KP Kemendag, 2017).
Meneropong Agribisnis Peternakan Ayam Broiler di Maluku Utara
Peternakan merupakan subsektor penyedia pangan berbasis protein hewani
berupa daging, telur dan susu dari hulu sampai hilir. Sebagai subsektor yang berperan
strategis dalam penyedia pangan, peternakan tak hanya memberikan peluang-peluang
yang menggiurkan, tetapi juga mengisahkan beragam permasalahan krusial khususnya
pada aspek pakan (feeding). Hal ini yang mendasari inkonsistensi sektor peternakan
baik di bagian barat sampai timur Indonesia. Padahal pakan menjadi kunci utama atau
penggerak dalam budidaya ternak khususnya ayam broiler atsu pedaging. Hampir 70%
modal produksi ternak ayam broiler terserap untuk penyediaan pakan. Sebagaimana
ditegaskan Mathius dan Sinurat (2001) bahwa pakan merupakan komponen biaya
tertinggi dalam usaha peternakan yang dipelihara secara intensif.
Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2015 menunjukkan bahwa
Maluku Utara merupakan propinsi yang memiliki produksi daging paling rendah
dibandingkan 33 propinsi lainnya di Indonesia. Data menunjukkan bahwa produksi
daging Maluku Utara pada tahun 2015 yaitu 2.333 per tahun lebih rendah dibandingkan
Maluku, Gorontalo dan Sulawesi Selatan yang masing-masing memiliki angka produksi
yaitu 3.413 ton, 6.765 ton dan 118.255 ton per tahun. Padahal jumlah penduduk Maluku
Utara dari tahun ke tahun semakin meningkat yang berarti kebutuhan konsumsi pun
meningkat seiring dengan peningkatan jumah penduduk. Data BPS Maluku Utara
(2017) menunjukkan jumlah penduduk Maluku Utara tahun 2014, 2015 dan 2016
berturut-turut yaitu 1.138.667 ; 1.162.345 dan 1.185.912 jiwa. Stagnansi peternakan
ayam pedaging diasumsikan karena modal produksi ayam per masa pemeliharaan
cukup tinggi. Selain itu ketersediaan bibit dan pakan pun masih bergantung impor dari
daerah Jawa. Alhasil sektor peternakan di wilayah Maluku Utara terkesan berjalan di
tempat. Kebutuhan daging lebih digantungkan dari ayam beku yang juga disuplai dari
daerah Jawa.
Berikut ini disajikan modal produksi yang dibutuhkan dalam pemeliharaan ayam
broiler dengan input produksi diantaranya bibit, pakan, vitamin dan upah kerja. Adapun
perhitungan matematis secara sederhana disajikan pada Tabel 1.1 berikut ini :
Tabel 1.1 Modal produksi 100 ekor ayam broiler masa pemeliharaan 28-30 hari
Kebutuhan
Kapasitas
(Unit)
Harga
Satuan
Total
Rp.
1
Bibit / DOC (Day old chick)
Pakan
2
100 ekor
4 Karung (50
kg)
2 pak
3
8.000
410.000
4
800.000
1.640.000
Vitamin (Vittachick & Neubro)
30.000
60.000
Sekam + Air + Listrik dan lain-lain
400.000
Upah Tenaga Kerja
1 orang
300.000
300.000
Sumber : Laporan Produksi Triwulan (Juli – September) Kelompok Mitra Peternakan –
LMP Indonesia, Maluku Utara tahun 2016
Tabel 1.1 menggambarkan bahwa pakan menyerap biaya produksi yang cukup besar
dibandingkan input produksi lainnya.
Untuk pemeliharaan ayam broiler selama satu bulan dibutuhkan anggaran
sebesar satu juta enam ratus empat puluh ribu rupiah selanjutnya disusul biaya untuk
bibit DOC dan lain-lain (studi di Kota Ternate Maluku Utara). Hal ini semakin diperparah
karena belum adanya pabrik pakan ternak unggas yang dapat menyuplai kebutuhan
pakan di wilayah Maluku Utara. Feedmill atau pabrik pakan yang tersedia milik
pemerintah pun hanya berskala kecil. Input produksi tidak didapatkan secara mandiri
melainkan impor. Kondisi geografis berupa wilayah kepulauan juga berpengaruh pada
harga DOC dan pakan. Biaya transportasi untuk pengiriman meningkatkan modal
produksi.
Inovasi Pakan Ternak dengan Pemanfaatan Pakan Lokal, Limbah Pertanian dan
Industri sebagai Solusi Alternatif
Subekti Endah (2009) mengungkapkan bahwa rendahnya tingkat produktivitas
ternak dipengaruhi oleh beragam faktor diantaranya adalah ketersediaan pakan yang
tidak menentu, kualitas-kuantitas pemberian pakan yang relatif masih rendah dan harga
pakan yang cenderung setiap saat naik, dimana kenaikan harga pakan ini sering tidak
bisa diimbangi oleh naiknya harga produk ternak itu sendiri. Berdasarkan hasil analisa
bahwa kemampuan produksi ternak yang relatif rendah berkaitan erat dengan kualitas
dan kuantitas pakan yang tersedia sepanjang tahun. Ketersediaan pakan yang
berfluktuasi tidak akan mencukupi kebutuhan gizi ternak untuk mengekspresikan
potensi genetiknya secara maksimal. Hal ini menyebabkan produktivitas ternak relatif
rendah. Sehingga diperlukan upaya dalam melakukan inovasi pakan ternak dengan
memanfaatan bahan baku pakan lokal maupun limbah sayuran pasar, hasil pertanian
dan industri. Inovasi merupakan suatu ide, praktek atau produk yang dianggap baru
yang mana mempunyai tiga komponen yaitu ide atau gagasan, metode atau praktek
dan produk (barang dan jasa). Inovasi pakan ternak merupakan upaya pemanfaatan
bahan pakan lokal, limbah sayuran pasar, pertanian dan industri untuk menjaga
ketersediaan pakan ternak khususnya ternak ayam pedaging di Maluku Utara.
Bahan pakan merupakan setiap bahan yang dapat dimakan, disukai, dapat
dicerna sebagian atau seluruhnya, dapat diabsorpsi dan bermanfaat bagi ternak. Bahan
pakan lokal yang dimaksudkan disini adalah bahan baku dalam pembuatan pakan yang
memiliki ketersediaan berlimpah di suatu wilayah, harganya relatif terjangkau dan
memenuhi syarat-syarat dalam penggunaan pakan yaitu ketersedian, kandungan gizi,
harga, kemungkinan adanya faktor pembatas seperti zat racun atau zat anti nutrisi serta
perlu atau tidaknya bahan tersebut diolah sebelum dapat digunakan sebagai pakan
ternak. Adapun beberapa jenis bahan pakan lokal, limbah pertanian dan
industri beserta nilai gizinya yang mana ketersediaannya dapat dijumpai di wilayah
Maluku Utara. Data tersebut disajikan pada Tabel 1.2 sebagai berikut :
Tabel 1.2 Nilai Gizi Bahan Pakan Lokal, Limbah Pertanian dan Industri
Jenis bahan
Energi
Protein
Metioni
Lisin
Ca (%)
P (%)
metabolis
kasar
n (%)
(%)
(kkal/kg)
(%)
1
2
3
4
5
6
7
Dedak padi halus
2.400
12,0
0,25
0,45
0,20
1,00
Jagung
3.300
8,50
0,18
0,20
0,02
0,30
Tepung singkong
3.200
2,00
0,01
0,07
0,33
0,40
Tepung sagu
2.900
2,20
0,53
0,09
Tepung ikan
2.960
55,00
1,79
5,07
5,30
2,85
Tepung
daun
850
23,40
0,31
1,55
0,60
0,10
lamtoro
Ampas tahu*
30,80*
Sumber : Sinurat (1999) dan *Putri A. Diwiyacitta, et al (2016)
Limbah sayuran pasar merupakan bahan yang dibuang dari usaha memperbaiki
penampilan barang dagangan berbentuk sayur-mayur yang akan dipasarkan
(Muwakhid, 2005). Sayuran merupakan salah satu limbah padat yang jika dibiarkan
akan menimbulkan masalah. Limbah padat organik banyak mengandung mineral
nitrogen (N), fosfor (P), kalium (K), dan vitamin B12 (Djaja, 2008). Sedangkan limbah
pertanian dan industri merupakan hasil sampingan daikutan dari proses produksi
pertanian atau industri yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak karena
kandungan gizi yang dimiliki masih tersedia serta masih bersifat palatable pada ternak.
Bahan pakan lokal, limbah sayuran pasar, limbah pertanian maupun industri
yang berlimpah akan bernilai tambah bila diproses lebih lanjut. Limbah pertanian akan
bernilai ekonomis tinggi bila dilakukan pengolahan lebih lanjut. Sejalan dengan
perkembangan bioteknologi, pemanfaatan mikroba dalam proses biokonversi limbah
dapat dilakukan guna mendapatkan nilai tambah dari bahan limbah tersebut menjadi
produk lain seperti pupuk, bioetanol, pakan ternak dan sebagainya (Anindyawati
Trisanti, 2010). Untuk limbah industri juga dibutuhkan adanya pengolahan terlebih
dahulu sebelum diberikan kepada ternak seperti perlakuan secara fisik maupun kimiawi
yaitu pengubahan bentuk, pengeringan ataupun fermentasi.
Limbah sayuran pasar juga dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Beberapa
contoh limbah sayuran pasar yang melimpah di Kota Ternate berdasarkan hasil
pengamatan yaitu limbah daun kol dan sawi. Hasil analisa menunjukan bahwa tepung
daun kembang kol mempunyai kadar protein yang cukup tinggi yaitu 25,18 g/100g dan
kandungan energi metabolisme sebesar 3523 kcal/kg. selain limbah daun kol limbah
sawi juga memiliki kandungan yang potensial sebagai pakan. Kadar air yang limbah
sawi mencapai lebih dari 95%. Nilai energi dan protein setelah ditepungkan hampir
berada pada kisaran 3200-3400kcal/kg dan 25-32 g/100g. Hasil penelitian
Hersoelistyorini dkk (2011) juga menunjukkan bahwa ekstraksi fermentasi limbah sayur
kubis dan sawi memiliki potensi sebagai starter fermentasi dengan kandungan mikroba
seperti Lactobacillus sp, Saccharomyces sp, Aspergillus sp dan Rhizopus sp.
Penutup
Untuk merealisasikan pembangunan berkelanjutan dalam hal pengentasan
kelaparan (zero hunger) dan berusaha mewujudkan nawacita yang dapat diterjemahkan
sebagai suatu upaya memperkokoh kemampuan bangsa untuk mencukupi kebutuhan
pangan dari produksi dalam negeri, mengatur pangan secara mandiri serta melindungi
dan menyejahterakan petani/peternak sebagai pelaku utama usaha pertanian maka
diperlukan sebuah inovasi. Untuk mewujudkan ketahanan pangan berbasis protein
hewani maka perlu menggerakan inovasi pakan dengan memanfaatkan potensi pakan
lokal, limbah sayuran pasar, limbah pertanian dan industri. Inovasi pakan ternak akan
menjadi solusi alternatif untuk menekan harga pakan dan dapat menjadi jawaban atas
permasalahan peternakan khususnya peternakan ayam pedaging di Maluku Utara.
Diskursus pangan akan tetap menjadi isu menarik untuk diperbincangkan karena
sejatinya pangan adalah soal hidup dan matinya bangsa. Diperlukan komitmen yang
kuat dari semua steakholder dalam hal ini peternak, pemerintah maupun pihak
perbankan serta LSM yang bergerak pada bidang pangan dan peternakan. Jika
ketersediaan pakan sudah tercukupi maka secara otomatis ketahanan pangan berbasis
protein hewani dapat terjaga. Alhasil, tantangan pembangunan berkelanjutan yaitu zero
hunger dapat diwujudkan. Kedaulatan pangan dapat dimulai dengan kedaulatan pakan.
Majukan Indonesia, tingkatkan ketahanan pakan dan pangan kita!
Referensi
[SP2KP] Sistem Pemantauan Pasar Kebutuhan Pokok. Informasi Harga Sembilan
Bahan Pokok Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. 2017. Diakses
dari https://ews.kemendag.go.id [Akses tanggal 20 November 2017]
Badan Pusat Statistik [BPS] Propinsi Maluku Utara Statistik Propinsi Maluku Utara
Edisi Juli 2017. Sensus Ekonomi – Katalog BPS : 3101021.82
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kementerian 2015. Statistik
Peternakan
dan
Kesehatan
Hewan
Tahun
2015.
Diunduh
dari http://ditjennak.pertanian.go.id [Akses tanggal 18 November 2017]
Kamal, M. 1998. Bahan Pakan dan Ransum Ternak. Fakultas Peternakan, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Laporan Produksi Triwulan (Juli–September) Kelompok Mitra Peternakan–LMP
Indonesia, Maluku Utara tahun 2016. unpublish
Mathhius I.W dan Sinurat A.P. 2001. Pemanfaatan Bahan Pakan Konvensional untuk
Ternak. Wartazoa Vol. 11 No. 2 Tahun 2001.
Putri Antya D dan Yuwono S. Sudarminto. 2016. Pengaruh Penambahan Tepung Ampas
Tahu dan Jenis Koagulan pada Pembuatan Tahu Berserat. Jurnal Pangan dan
Agroindustri Vol. 4 No. 1 p.321-328, Januari 2016.
Sinurat. 1999. Penggunaan Bahan Pakan Lokal dalam Pembuatan Ransum Ayam
Buras. Wartazoa Vol. 9 No. 1 Tahun 1999.
Subekti Endah. 2009. Ketahanan Pakan Ternak Indonesia. Mediagro. Jurnal ilmu-ilmu
Pertanian Vol 5 No. 2, 2009 : Hal 63 – 71.
Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo. 1999. Ilmu makanan
Ternak Dasar. Gadjah Mada university Press, Yogyakarta.
Trisanti Anindyawati. 2010. Potensi Selulase dalam Mendegradasi Lignoselulosa
Limbah Pertanian untuk Pupuk Orgnik. Pusat Penelitian Bioteknologi. Berita
Selulosa Vol. 45 No. 2 Desember 2010 : 70 – 77.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Diunduh
dari www.bpkp.go.id [Akses tanggal 20 November 2017]
Tulisan ini diikutsertakan pada Youlec Essay CompetittionTema Generasi Millenial
[Meneropong Agribisnis Peternakan Ayam Pedaging di Maluku Utara]
ABSTRAK
Ketahanan
Indonesia
dapat
ditopang
dari pembangunan
di segala
sektor terutama
ketahanan
pangan yang
menjadi prioritas
dalam
pembangunan nasional. Pembangunan berkelanjutan yang pada masa kini dikenal
dengan suistainable
development
goals (SDGs) pun menargetkan
pengentasan
kelaparan (zero hunger). Gerakan global untuk mengakhiri kelaparan (end hunger) ini
juga sesuai dengan agenda prioritas Kabinet Kerja Presiden Jokowi-Jusuf Kalla tahun
2014 – 2019 yang dituangkan dalam nawacita.
Permintaan daging ayam yang tinggi dipengaruhi oleh kesadaran masyakat akan
pangan sehat dan bergizi tinggi. Kecenderungan memilih daging ayam sebagai
penyuplai protein disebabkan karena harga daging ayam yang relatif lebih terjangkau
dibandingkan daging sapi. Peluang tersebut mencadi peluang dan sekaligus tantangan
bagi subsektor peternakan sebagai penyedia pangan berbasis protein hewani. Wilayah
Maluku Utara menjadi objek kajian karena merupakan propinsi dengan produksi daging
terendah dibandingkan 34 propinsi lainnya padahal jumlah penduduk Maluku Utara
setiap tahunnya semakin meningkat. Konsumsi daging ayam diasumsikan semakin
meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk.
Sebagai subsektor yang berperan strategis dalam penyedia pangan, peternakan
tak hanya memberikan peluang-peluang yang menggiurkan, tetapi juga mengisahkan
beragam permasalahan krusial khususnya pada aspek pakan (feeding). Hal ini yang
mendasari inkonsistensi sektor peternakan baik di bagian barat sampai timur Indonesia.
Padahal pakan menjadi kunci utama atau penggerak dalam budidaya ternak
khususnya ayam broiler atsu pedaging. Hampir 70% modal produksi ternak ayam
broiler terserap untuk penyediaan pakan. Sehingga diperlukan inovasi pakan ternak
untuk menopang ketahanan pangan berbasis protein hewani. Pemanfaatan pakan lokal,
limbah sayuran pasar, limbah pertanian dan industri menjadi solusi alternatif.
Pengolahan bahan pakan dengan pendekatan fisik dan kimia dapat menjadi jawaban
untuk permasalahan pakan ternak khususnya di wilayah Maluku Utara yang selama ini
masih bergantung pada keran impor. Kedaulatan pangan dapat dimulai dengan
kedaulatan pakan.
Kata Kunci : Ketahanan Pangan, Inovasi Pakan ternak, Pemanfaatan Pakan Lokal
dan Limbah
INOVASI PAKAN TERNAK UNTUK INDONESIA BERKETAHANAN [Meneropong
Agribisnis Peternakan Ayam Pedaging di Maluku Utara]
Ketahanan Indonesia dapat ditopang dari pembangunan di segala sektor
diantaranya pendidikan, perekonomian, pertanian, peternakan, perikanan maupun
pertahanan dan keamanan negara. Ketahanan pangan merupakan kondisi
terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari
tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam,
bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan
budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan
(Undang-Undang Pangan tahun 2012). Ketahanan pangan menjadi prioritas dalam
pembangunan nasional. Pembangunan berkelanjutan yang pada masa kini dikenal
dengan suistainable
development
goals (SDGs) pun menargetkan
pengentasan
kelaparan (zero hunger). Hal tersebut mencakup upaya dalam penyediaan pangan
secara berkesinambungan untuk konsumsi masyarakat.
Gerakan global untuk mengakhiri kelaparan (end hunger) ini juga sesuai dengan
agenda prioritas Kabinet Kerja Presiden Jokowi-Jusuf Kalla tahun 2014 – 2019 yang
dituangkan dalam nawacita. Merujuk pada arah pembangunan nasional maka
setidaknya terdapat empat butir nawacita yang secara langsung bersentuhan dengan
diskursus pangan. Adapun diantaranya yaitu butir ketiga, membangun Indonesia dari
pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa; butir kelima, meningkatkan
kualitas hidup manusia Indonesia; butir keenam, meningkatkan produktivitas rakyat dan
daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit;
dan butir ketujuh yaitu mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan
ekonomi domestik.
Peningkatan permintaan produk protein hewani semakin menggeliat seiring
dengan peningkatan jumlah penduduk. Hasil proyeksi Badan Pusat Statistik tahun 2016
menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia mencapai 258 juta orang dan akan
mengalami peningkatan setiap tahunnya. Data menunjukkan bahwa konsumsi protein
per kapita sehari untuk daging pada tahun 2014 sebesar 2,68 gram, meningkat sebesar
8,50 persen dibandingkan konsumsi tahun 2013 sebesar 2,47 gram. Paradigma
masyarakat telah bergeser untuk mengonsumsi pangan sehat dengan gizi tinggi.
Daging ayam sebagai produk peternakan dengan kandungan asam amino esensial
yang kompleks menjadi primadona pilihan meja karena harganya terjangkau. Harga
daging ayam Rp. 33.000 per kg lebih rendah dibandingkan daging sapi yang mencapai
Rp. 120.000 per kg (SP2KP Kemendag, 2017).
Meneropong Agribisnis Peternakan Ayam Broiler di Maluku Utara
Peternakan merupakan subsektor penyedia pangan berbasis protein hewani
berupa daging, telur dan susu dari hulu sampai hilir. Sebagai subsektor yang berperan
strategis dalam penyedia pangan, peternakan tak hanya memberikan peluang-peluang
yang menggiurkan, tetapi juga mengisahkan beragam permasalahan krusial khususnya
pada aspek pakan (feeding). Hal ini yang mendasari inkonsistensi sektor peternakan
baik di bagian barat sampai timur Indonesia. Padahal pakan menjadi kunci utama atau
penggerak dalam budidaya ternak khususnya ayam broiler atsu pedaging. Hampir 70%
modal produksi ternak ayam broiler terserap untuk penyediaan pakan. Sebagaimana
ditegaskan Mathius dan Sinurat (2001) bahwa pakan merupakan komponen biaya
tertinggi dalam usaha peternakan yang dipelihara secara intensif.
Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2015 menunjukkan bahwa
Maluku Utara merupakan propinsi yang memiliki produksi daging paling rendah
dibandingkan 33 propinsi lainnya di Indonesia. Data menunjukkan bahwa produksi
daging Maluku Utara pada tahun 2015 yaitu 2.333 per tahun lebih rendah dibandingkan
Maluku, Gorontalo dan Sulawesi Selatan yang masing-masing memiliki angka produksi
yaitu 3.413 ton, 6.765 ton dan 118.255 ton per tahun. Padahal jumlah penduduk Maluku
Utara dari tahun ke tahun semakin meningkat yang berarti kebutuhan konsumsi pun
meningkat seiring dengan peningkatan jumah penduduk. Data BPS Maluku Utara
(2017) menunjukkan jumlah penduduk Maluku Utara tahun 2014, 2015 dan 2016
berturut-turut yaitu 1.138.667 ; 1.162.345 dan 1.185.912 jiwa. Stagnansi peternakan
ayam pedaging diasumsikan karena modal produksi ayam per masa pemeliharaan
cukup tinggi. Selain itu ketersediaan bibit dan pakan pun masih bergantung impor dari
daerah Jawa. Alhasil sektor peternakan di wilayah Maluku Utara terkesan berjalan di
tempat. Kebutuhan daging lebih digantungkan dari ayam beku yang juga disuplai dari
daerah Jawa.
Berikut ini disajikan modal produksi yang dibutuhkan dalam pemeliharaan ayam
broiler dengan input produksi diantaranya bibit, pakan, vitamin dan upah kerja. Adapun
perhitungan matematis secara sederhana disajikan pada Tabel 1.1 berikut ini :
Tabel 1.1 Modal produksi 100 ekor ayam broiler masa pemeliharaan 28-30 hari
Kebutuhan
Kapasitas
(Unit)
Harga
Satuan
Total
Rp.
1
Bibit / DOC (Day old chick)
Pakan
2
100 ekor
4 Karung (50
kg)
2 pak
3
8.000
410.000
4
800.000
1.640.000
Vitamin (Vittachick & Neubro)
30.000
60.000
Sekam + Air + Listrik dan lain-lain
400.000
Upah Tenaga Kerja
1 orang
300.000
300.000
Sumber : Laporan Produksi Triwulan (Juli – September) Kelompok Mitra Peternakan –
LMP Indonesia, Maluku Utara tahun 2016
Tabel 1.1 menggambarkan bahwa pakan menyerap biaya produksi yang cukup besar
dibandingkan input produksi lainnya.
Untuk pemeliharaan ayam broiler selama satu bulan dibutuhkan anggaran
sebesar satu juta enam ratus empat puluh ribu rupiah selanjutnya disusul biaya untuk
bibit DOC dan lain-lain (studi di Kota Ternate Maluku Utara). Hal ini semakin diperparah
karena belum adanya pabrik pakan ternak unggas yang dapat menyuplai kebutuhan
pakan di wilayah Maluku Utara. Feedmill atau pabrik pakan yang tersedia milik
pemerintah pun hanya berskala kecil. Input produksi tidak didapatkan secara mandiri
melainkan impor. Kondisi geografis berupa wilayah kepulauan juga berpengaruh pada
harga DOC dan pakan. Biaya transportasi untuk pengiriman meningkatkan modal
produksi.
Inovasi Pakan Ternak dengan Pemanfaatan Pakan Lokal, Limbah Pertanian dan
Industri sebagai Solusi Alternatif
Subekti Endah (2009) mengungkapkan bahwa rendahnya tingkat produktivitas
ternak dipengaruhi oleh beragam faktor diantaranya adalah ketersediaan pakan yang
tidak menentu, kualitas-kuantitas pemberian pakan yang relatif masih rendah dan harga
pakan yang cenderung setiap saat naik, dimana kenaikan harga pakan ini sering tidak
bisa diimbangi oleh naiknya harga produk ternak itu sendiri. Berdasarkan hasil analisa
bahwa kemampuan produksi ternak yang relatif rendah berkaitan erat dengan kualitas
dan kuantitas pakan yang tersedia sepanjang tahun. Ketersediaan pakan yang
berfluktuasi tidak akan mencukupi kebutuhan gizi ternak untuk mengekspresikan
potensi genetiknya secara maksimal. Hal ini menyebabkan produktivitas ternak relatif
rendah. Sehingga diperlukan upaya dalam melakukan inovasi pakan ternak dengan
memanfaatan bahan baku pakan lokal maupun limbah sayuran pasar, hasil pertanian
dan industri. Inovasi merupakan suatu ide, praktek atau produk yang dianggap baru
yang mana mempunyai tiga komponen yaitu ide atau gagasan, metode atau praktek
dan produk (barang dan jasa). Inovasi pakan ternak merupakan upaya pemanfaatan
bahan pakan lokal, limbah sayuran pasar, pertanian dan industri untuk menjaga
ketersediaan pakan ternak khususnya ternak ayam pedaging di Maluku Utara.
Bahan pakan merupakan setiap bahan yang dapat dimakan, disukai, dapat
dicerna sebagian atau seluruhnya, dapat diabsorpsi dan bermanfaat bagi ternak. Bahan
pakan lokal yang dimaksudkan disini adalah bahan baku dalam pembuatan pakan yang
memiliki ketersediaan berlimpah di suatu wilayah, harganya relatif terjangkau dan
memenuhi syarat-syarat dalam penggunaan pakan yaitu ketersedian, kandungan gizi,
harga, kemungkinan adanya faktor pembatas seperti zat racun atau zat anti nutrisi serta
perlu atau tidaknya bahan tersebut diolah sebelum dapat digunakan sebagai pakan
ternak. Adapun beberapa jenis bahan pakan lokal, limbah pertanian dan
industri beserta nilai gizinya yang mana ketersediaannya dapat dijumpai di wilayah
Maluku Utara. Data tersebut disajikan pada Tabel 1.2 sebagai berikut :
Tabel 1.2 Nilai Gizi Bahan Pakan Lokal, Limbah Pertanian dan Industri
Jenis bahan
Energi
Protein
Metioni
Lisin
Ca (%)
P (%)
metabolis
kasar
n (%)
(%)
(kkal/kg)
(%)
1
2
3
4
5
6
7
Dedak padi halus
2.400
12,0
0,25
0,45
0,20
1,00
Jagung
3.300
8,50
0,18
0,20
0,02
0,30
Tepung singkong
3.200
2,00
0,01
0,07
0,33
0,40
Tepung sagu
2.900
2,20
0,53
0,09
Tepung ikan
2.960
55,00
1,79
5,07
5,30
2,85
Tepung
daun
850
23,40
0,31
1,55
0,60
0,10
lamtoro
Ampas tahu*
30,80*
Sumber : Sinurat (1999) dan *Putri A. Diwiyacitta, et al (2016)
Limbah sayuran pasar merupakan bahan yang dibuang dari usaha memperbaiki
penampilan barang dagangan berbentuk sayur-mayur yang akan dipasarkan
(Muwakhid, 2005). Sayuran merupakan salah satu limbah padat yang jika dibiarkan
akan menimbulkan masalah. Limbah padat organik banyak mengandung mineral
nitrogen (N), fosfor (P), kalium (K), dan vitamin B12 (Djaja, 2008). Sedangkan limbah
pertanian dan industri merupakan hasil sampingan daikutan dari proses produksi
pertanian atau industri yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak karena
kandungan gizi yang dimiliki masih tersedia serta masih bersifat palatable pada ternak.
Bahan pakan lokal, limbah sayuran pasar, limbah pertanian maupun industri
yang berlimpah akan bernilai tambah bila diproses lebih lanjut. Limbah pertanian akan
bernilai ekonomis tinggi bila dilakukan pengolahan lebih lanjut. Sejalan dengan
perkembangan bioteknologi, pemanfaatan mikroba dalam proses biokonversi limbah
dapat dilakukan guna mendapatkan nilai tambah dari bahan limbah tersebut menjadi
produk lain seperti pupuk, bioetanol, pakan ternak dan sebagainya (Anindyawati
Trisanti, 2010). Untuk limbah industri juga dibutuhkan adanya pengolahan terlebih
dahulu sebelum diberikan kepada ternak seperti perlakuan secara fisik maupun kimiawi
yaitu pengubahan bentuk, pengeringan ataupun fermentasi.
Limbah sayuran pasar juga dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Beberapa
contoh limbah sayuran pasar yang melimpah di Kota Ternate berdasarkan hasil
pengamatan yaitu limbah daun kol dan sawi. Hasil analisa menunjukan bahwa tepung
daun kembang kol mempunyai kadar protein yang cukup tinggi yaitu 25,18 g/100g dan
kandungan energi metabolisme sebesar 3523 kcal/kg. selain limbah daun kol limbah
sawi juga memiliki kandungan yang potensial sebagai pakan. Kadar air yang limbah
sawi mencapai lebih dari 95%. Nilai energi dan protein setelah ditepungkan hampir
berada pada kisaran 3200-3400kcal/kg dan 25-32 g/100g. Hasil penelitian
Hersoelistyorini dkk (2011) juga menunjukkan bahwa ekstraksi fermentasi limbah sayur
kubis dan sawi memiliki potensi sebagai starter fermentasi dengan kandungan mikroba
seperti Lactobacillus sp, Saccharomyces sp, Aspergillus sp dan Rhizopus sp.
Penutup
Untuk merealisasikan pembangunan berkelanjutan dalam hal pengentasan
kelaparan (zero hunger) dan berusaha mewujudkan nawacita yang dapat diterjemahkan
sebagai suatu upaya memperkokoh kemampuan bangsa untuk mencukupi kebutuhan
pangan dari produksi dalam negeri, mengatur pangan secara mandiri serta melindungi
dan menyejahterakan petani/peternak sebagai pelaku utama usaha pertanian maka
diperlukan sebuah inovasi. Untuk mewujudkan ketahanan pangan berbasis protein
hewani maka perlu menggerakan inovasi pakan dengan memanfaatkan potensi pakan
lokal, limbah sayuran pasar, limbah pertanian dan industri. Inovasi pakan ternak akan
menjadi solusi alternatif untuk menekan harga pakan dan dapat menjadi jawaban atas
permasalahan peternakan khususnya peternakan ayam pedaging di Maluku Utara.
Diskursus pangan akan tetap menjadi isu menarik untuk diperbincangkan karena
sejatinya pangan adalah soal hidup dan matinya bangsa. Diperlukan komitmen yang
kuat dari semua steakholder dalam hal ini peternak, pemerintah maupun pihak
perbankan serta LSM yang bergerak pada bidang pangan dan peternakan. Jika
ketersediaan pakan sudah tercukupi maka secara otomatis ketahanan pangan berbasis
protein hewani dapat terjaga. Alhasil, tantangan pembangunan berkelanjutan yaitu zero
hunger dapat diwujudkan. Kedaulatan pangan dapat dimulai dengan kedaulatan pakan.
Majukan Indonesia, tingkatkan ketahanan pakan dan pangan kita!
Referensi
[SP2KP] Sistem Pemantauan Pasar Kebutuhan Pokok. Informasi Harga Sembilan
Bahan Pokok Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. 2017. Diakses
dari https://ews.kemendag.go.id [Akses tanggal 20 November 2017]
Badan Pusat Statistik [BPS] Propinsi Maluku Utara Statistik Propinsi Maluku Utara
Edisi Juli 2017. Sensus Ekonomi – Katalog BPS : 3101021.82
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kementerian 2015. Statistik
Peternakan
dan
Kesehatan
Hewan
Tahun
2015.
Diunduh
dari http://ditjennak.pertanian.go.id [Akses tanggal 18 November 2017]
Kamal, M. 1998. Bahan Pakan dan Ransum Ternak. Fakultas Peternakan, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Laporan Produksi Triwulan (Juli–September) Kelompok Mitra Peternakan–LMP
Indonesia, Maluku Utara tahun 2016. unpublish
Mathhius I.W dan Sinurat A.P. 2001. Pemanfaatan Bahan Pakan Konvensional untuk
Ternak. Wartazoa Vol. 11 No. 2 Tahun 2001.
Putri Antya D dan Yuwono S. Sudarminto. 2016. Pengaruh Penambahan Tepung Ampas
Tahu dan Jenis Koagulan pada Pembuatan Tahu Berserat. Jurnal Pangan dan
Agroindustri Vol. 4 No. 1 p.321-328, Januari 2016.
Sinurat. 1999. Penggunaan Bahan Pakan Lokal dalam Pembuatan Ransum Ayam
Buras. Wartazoa Vol. 9 No. 1 Tahun 1999.
Subekti Endah. 2009. Ketahanan Pakan Ternak Indonesia. Mediagro. Jurnal ilmu-ilmu
Pertanian Vol 5 No. 2, 2009 : Hal 63 – 71.
Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo. 1999. Ilmu makanan
Ternak Dasar. Gadjah Mada university Press, Yogyakarta.
Trisanti Anindyawati. 2010. Potensi Selulase dalam Mendegradasi Lignoselulosa
Limbah Pertanian untuk Pupuk Orgnik. Pusat Penelitian Bioteknologi. Berita
Selulosa Vol. 45 No. 2 Desember 2010 : 70 – 77.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Diunduh
dari www.bpkp.go.id [Akses tanggal 20 November 2017]
Tulisan ini diikutsertakan pada Youlec Essay CompetittionTema Generasi Millenial