Cerpen Staccato Ditinjau Dari Sifat Seni

Cerpen Staccato Karya Djenar Maesa Ayu Ditinjau Dari
Sifat Seni

Disusun oleh:
Dewi Tri Utami

FAKULTAS FILSAFAT
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2014

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
“... Sudah terlalu banyak kita membuang-buang air liur dalam debat selama
ini, dan yang diperdebatkan kadang tidak jelas agendanya, apalagi dasar
pembicaraan juga tidak jelas.” (Sumardjo, 2000: 23). Kutipan tulisan Jakob
Sumardjo dalam buku “Filsafat Seni” menunjukkan adanya perdebatan dalam
pembahasan seni di Indonesia. Sayangnya, perdebatan tentang seni di Indonesia
hanyalah sebuah debat kusir yang tidak jelas arah dan tujuannya. Setiap
perdebatan hanya akan berakhir dengan simpulan yang menggantung dan

terkesan subjektif, sehingga sulit untuk mengembangkan teori seni di Indonesia.
Suzanne K. Langer (dalam powerpoint presentation kuliah Filsafat Seni 2014)
mendefinisikan seni sebagai “bentuk ekspresi perasaan insani yang diciptakan
bagi persepsi kita lewat indra atau pencitraan”. Terbentuknya seni berasal dari
ekspresi yang bersifat pribadi. Akan tetapi, setelah berada di publik seni, seni
harus mampu terpahami dan tergali oleh penikmat seni. Seni sastra merupakan
sebuah karya seni yang menggunakan kata-kata sebagai mediumnya. Melalui
kata serta gaya bahasa, seorang penulis dapat memberikan warna khas dalam
tulisannya.
Cerita pendek merupakan salah satu seni sastra yang memperlihatkan
ekspresi dari penulisnya. Setiap penulis tentu memiliki gaya tulisan khas dalam
tulisannya yang membedakan dirinya dari penulis yang lain. Sayangnya,
perkembangan sastra di Indonesia tidak terlalu baik terbukti dengan keseragaman
yang sering terjadi antar penulis. Gaya tulisan serta jalan cerita yang seragam
tidak dapat lepas dari permintaan pasar. Tidak dapat dipungkiri, beberapa
penerbit memang lebih mengutamakan keuntungan dibandingkan dengan
kualitas buku terbitannya. Kondisi memprihatinkan tersebut diungkapkan oleh
Jakob Sumardjo (2000: 19) yang menyatakan bahwa mayoritas seni di Indonesia
1


hanya sekedar “ikut arus”, sehingga sulit untuk melihat perkembangan dalam
seni itu sendiri. Terlepas dari kondisi yang memprihatinkan tersebut, setidaknya
terdapat nama-nama besar sastrawan Indonesia yang berkarya karena seni tidak
sekedar untuk meraup keuntungan.
Cerita pendek berjudul “Staccato” karya Djenar Maesa Ayu merupakan
sebuah terobosan baru bagi dunia sastra di Indonesia. Djenar Maesa Ayu mampu
menghadirkan perspektif baru dalam menyuguhkan cerita dan membuat
pembaca dapat berimajinasi semakin luas. Di tengah keseragaman yang mengikat
dalam industri sastra Indonesia, Djenar mampu menunjukkan eksistensinya
sebagai seorang seniman. Seniman yang menjadikan karyanya sebagai ekspresi
dari dalam dirinya, bukan sekedar mengikuti arus seperti yang dikatakan Jakob
Sumardjo. Jika melihat sejarah awal kemunculan filsafat seni, dapat dilihat bahwa
semula seni diartikan sebagai ketrampilan. Akan tetapi, perkembangan zaman
menjadikan seni berbeda dengan ketrampilan. Sifat-sifat dasar dalam karya seni
merupakan pembahasan dalam filsafat seni yang dapat memperlihatkan sebuah
karya dikatakan sebagai seni atau hanya ketrampilan. Dalam makalah ini, sifatsifat dasar seni akan dijadikan objek formal untuk menganalisis cerita pendek
berjudul “Staccato” karya Djenar Maesa Ayu.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, dapat ditarik rumusan masalah sebagai
berikut:

a. Bagaimana sifat-sifat dasar dalam karya seni?
b. Mengapa memilih cerita pendek “Staccato” karya Djenar Maesa Ayu
sebagai objek material?
c. Dapatkah cerita pendek “Staccato” dimasukkan ke dalam kategori seni?
Apa saja sifat dasar seni yang ada dalam cerita pendek “Staccato” karya
Djenar Maesa Ayu?

2

BAB II
CERITA PENDEK “STACCATO” KARYA DJENAR MAESA AYU DITINJAU
DARI SIFAT DASAR SENI
2.1 Sifat Dasar Seni Dalam Filsafat Seni
Filsafat seni merupakan cabang filsafat khusus yang membahas tentang seni.
The Liang Gie (powerpoint presentation mata kuliah Filsafat Seni 2014)
mendefenisikan filsafat seni sebagai salah satu cabang filsafat khusus yang
membahas tentang seni, meliputi pengertian, sifat dasar, fungsi, penggolongan,
medium, unsur, serta teori seni. Pembahasan mengenai filsafat seni harus diawali
terlebih dahulu dengan pembahasan mengenai “seni”. Jakob Sumardjo (2000: 24)
menuliskan bahwa “seni” semula disamakan dengan teknik, pertukangan, serta

ketrampilan. Pengertian tersebut didapatkan dari kata “techne” dalam bahasa
Yunani. Akan tetapi, seni mengalami perubahan arti di pertengahan abad 17. Di
Eropa, terjadi dua pembagian, yakni: keindahan umum (termasuk alam) dan
keindahan karya seni atau benda seni. Seni dikategorikan sebagai benda buatan
manusia yang dikategorikan dalam tiga golongan sebagai berikut (Sumardjo,
2000: 24):
“... Pada dasarnya artefak itu dapat dikategorikan menjadi tiga golongan,
yakni benda-benda yang berguna tetapi tidak indah, kedua, benda-benda
yang berguna dan indah, serta ketiga benda-benda yang indah tapi tak ada
kegunaan praktisnya. ...”
Susanne K. Langer (Sumardjo, 2000: 66) mendefinisikan seni sebagai wujud
ekspresi perasaan manusia yang tercipta melalu indera dan pencitraan. Meski pun
karya seni menjadi wujud ekspresi perasaan manusia, Langer menolak
pandangan yang menyatakan bahwa ekspresi perasaan yang diwujudkan dalam
seni hanyalah sebuah perasaan subjektif. Langer lebih menekankan adanya
sebuah kebenaran umum yang harus dicapai oleh seniman, sehingga seni bukan
sekedar bersifat subjektif. Langer menunjukkan bahwa seni memiliki tiga prinsip

3


yang harus diterapkan supaya seniman tidak terjebak dalam perasaan subjektif.
Tiga prinsip seni antaralain (Sumardjo, 2000: 67-68):
a. Prinsip ekspresi yang diterjemahkan dan disesuaikan dengan bentuk seni
yang dipilihnya, sehingga terdapat perbedaan diantara bentuk seni. Prinsip
ekspresi berlaku untuk semua golongan seni, seperti: seni musik, seni
sastra, seni rupa, seni teater, seni tari, dan seni film.
b. Prinsip kreasi yang menunjukkan tercipta atau terwujudnya sesuatu baru
yang sebelumnya tidak ada. Prinsip kreasi bukan merupakan konsepsi
nilai, sehingga seni benar-benar mendapatkan ruang yang bebas: tidak ada
ukuran benar-salah atau baik-buruk.
c. Prinsip bentuk memiliki artian abstrak yang menunjukkan adanya
keterkaitan berbagai aspek dalam karya seni yang berhubungan secara
menyeluruh. Oleh sebab itu, karya seni harus selalu bersifat organis,
dinamis, hidup, penuh vitalitas.
Prinsip kreasi dalam seni mengakibatkan sulitnya mengadakan batasan
dalam seni. Tidak akan ditemukan satu kebenaran mutlak tentang batasan seni
yang selalu menjadi perdebatan dalam masyarakat. Batasan seni mengacu pada
latar belakang filosofis yang dianut oleh seseorang. Seni adalah persolan nilai dan
penilaian, tidak akan ada batasan pasti sebuah karya dinyatakan sebagai seni atau
bukan seni (Sumardjo, 2000: 50-52). Meski pun sulit atau bahkan tidak mungkin

mengadakan pembatasan seni, tetap terdapat sifat-sifat khusus yang termuat
dalam sebuah karya seni. Persoalan nilai dan penilaian dalam seni mengacu pada
bentuk abstrak seni atau seni sebagai kualitas. Predikat tersebut menjadikan seni
sebagai sesuatu yang lebih dari sekedar informasi mengenai kenyataan. Dalam
mata kuliah Filsafat Seni 2014, dijelaskan mengenai lima sifat dasar seni. Seni
sebagai hasil kreasi akal-budi dan rasa manusia akan senantiasa hadir sepanjang
masa dan dikagumi oleh sesamanya tanpa batasan ruang dan waktu. Sifat-sifat
dasar dalam seni menjadi pembeda antara karya seni dengan bukan karya seni.
Lima sifat dasar seni antara lain (powerpoint presentation mata kuliah Filsafat Seni
2014):
4

a. Seni bersifat kreatif
Pada sifat pertama, karya seni merupakan karya yang selalu baru dan
orisinal. Artinya, seni menjadi sebuah perwujudan sesuatu yang
sebelumnya tidak ada. The Liang Gie (powerpoint presentation mata kuliah
Filsafat Seni 2014) menjelaskan apabila seseorang hanya melukis ulang
karya batik yang telah dibuat orang lain, maka ia hanyalah seorang
pengrajin.
b. Seni bercorak individualis

Sifat kedua dalam seni memiliki kaitan erat dengan sifat pertama. Seni
sebagai karya yang baru tentu tidak dapat lepas dari corak khas kreatornya.
Inilah yang menjadi karakter khas suatu seni yang dapat membedakan
antara seniman satu dengan yang lainnya.
c. Seni adalah ekspresif
Sifat seni yang ekspresif sudah menjadi keniscayaan karena setiap karya
seni harus berasal atau tercipta dari ekspresi perasaan seniman. Perasaan
tersebut dapat diperoleh dari pengalaman serta lingkungan seniman yang
bersifat kualitatif. Oleh sebab itu, seni tidak akan dapat dinilai dengan
ukuran yang mutlak, melainkan relatif dan spekulatif karena seni berkaitan
dengan kualitas estetis.
d. Seni adalah abadi
Sifat seni yang abadi dapat berasal dari kedinamisan dalam karya seni.
Suatu karya seni baru yang “hidup” akan senantiasa dikenang dan melekat
dalam kehidupan. Selain mengandung unsur yang dinamis, seni juga
mengandung nilai-nilai kehidupan yang berbeda-beda, sehingga tidak
dapat digantikan dengan seni yang lainnya.
e. Seni bersifat semesta
Seni bersifat semesta karena seni senantiasa mampu menciptakan
komunikasi antar manusia tanpa batasan ruang dan waktu. Melalui bahasa

perasaan, seorang remaja di Indonesia dapat terharu melihat film “La Vita
E Bella” yang diproduksi di Italia.
5

2.2 Cerita Pendek Staccato Karya Djenar Maesa Ayu
Cerita pendek (cerpen) “Staccato” menjadi objek material yang menarik
untuk dibahas dalam makalah ini karena cerpen tersebut merupakan karya yang
memberi warna baru bagi seni sastra di Indonesia. Dengan ide cerita sederhana,
Djenar Maesa Ayu mampu menyuguhkan sebuah karya yang membuat imajinasi
pembaca berkembang ke berbagai arah. Kata-kata singkat menjadi pesona
tersendiri dalam gaya penulisan sastra di Indonesia. Selain itu, penggunaan alur
campuran menjadikan pembaca harus benar-benar mengerti kaitan antar kalimat,
sehingga dapat memperoleh makna yang utuh dari cerita tersebut.
Cerita pendek berjudul “Staccato” karya Djenar Maesa Ayu menceritakan
tentang kehidupan seorang perempuan yang ber-setting waktu pagi, siang, sore,
dan malam hari. Di awal cerita, tokoh utama digembarkan sedang mengadakan
serangkaian rutinitas hariannya. “Pagi. Rokok. Kopi. Gosok gigi. Mandi. Apalagi?
Pagi. Rokok. Kopi. Tidak gosok gigi. Tidak mandi. Tidur lagi. Hmmm... normal
sekali. Pagi. Rokok. Kopi. Tambah roti. Supaya ada energi. Lari pagi, dong...” (Ayu,
2003: 173). Setelah menceritakan pagi hari, tokoh utama melakukan flashback ke

malam sebelumnya: “... Malam hari. Rokok. Whiskey. Ecstasy. Laki-laki. Birahi. Di
mana? Diskotik, dong! Yang ada house music! Malam hari. Diskotik. House music.
Rokok. Whiskey. Ecstasy. Laki-laki. Birahi. Memang bisa lihat laki-laki?” (Ayu, 2003:
74). Setelah cerita malam, pembaca akan terus dibawa masuk ke dunia tokoh
utama dengan cara flashback: sore hari – siang hari – pagi hari.
“... Sore hari. Suami tidak bisa dihubungi. Katanya banyak meeting hari ini.
Tidak mau diganggu dan ponselnya mati. Padahal sudah janji ikut ke party.
Padahal sudah khusus beli baju seksi. Buat suami. j[J]arang disentuh akhirakhir ini. Pesan taksi. Pergi ke salon Sugi. Dandan funky. r[R]ambut gimbal.
Kaus ketat. Sepatu boot. Rok mini. Ngambek, nih?...” (Ayu, 2003: 76).
“... Siang hari. Dapat telepon dari Presdir Plaza Senayan Mr. Takashi Ichiki.
Sale... sale... sale! Kebetulan sekali! Langsung pergi. Pilih sana pilih sini. Tak
ada yang disukai. Tapi ada party malam nanti. Tak punya baju seksi seperti
yang dipakai Jennifer Lopez pujaan suami. Padahal suami janji ikut ke party.
Jarang-jarang dia mau temani. Dan pasti banyak perempuan-perempuan a la
J-Lo di party. Perempuan-perempuan yang akan main mata dengan suami.
6

Muda, ganteng, kayo lagi! sementara istrinya tak bisa menyesuaikan diri.”
(Ayu, 2003: 78).
“Pagi hari. Rokok. Kopi. Gosok gigi. Mandi. Apa lagi? Pagi hari. Rokok. Kopi.

Roti. Lari pagi. Gosok gigi. Mandi. Lantas?” (Ayu, 2003: 79).
Meski pun terkesan mengulang-ulang kata, Djenar ingin menunjukkan adanya
penegasan dalam setiap ceritanya. Tokoh utama dalam cerpen digambarkan
sebagai seorang wanita metropolitan yang kaya, gemar berpesta, mabuk, dan
telah bersuami.
“... Suami tidak bisa dihubungi. Katanya banyak meeting hari ini. Tidak mau
diganggu dan ponselnya mati. Padahal sudah janji ikut ke party. Padahal
sudah khusus beli baju seksi. Harganya mahal sekali. Buat suami. j[J]arang
disentuh akhir-akhir ini. Sakit hati. Pesan taksi. Pergi ke salon Sugi. Dandan
funky. rambut gimbal. Kaus ketat. Sepatu boot. Rok mini. The show must go
on eh...? absolutely!...” (Ayu, 2003: 76-77).
Dari kutipan tersebut terlihat karakter seorang wanita yang telah bersuami, tetapi
merasa kesepian. Hilangnya perhatian dari suami menjadikan tokoh utama
kehilangan kasih sayang dan mengalihkannya pada kehidupan malam. Tokoh
utama memilih untuk menghabiskan waktu dengan pesta, diskotik, alkohol,
ekstasi, hingga berselingkuh.
“... Party. Kafe. Live music. Tamu saling diperkenalkan. Makanan ringan.
Obrolan ringan. Rokok. Whiskey. Tipsy. Ada yang menarik hati. Lempar
umpan. Buka pembicaraan. Humor ringan. Pura-pura geli lantas tergelak
sambil menyentuh tangan sasaran. Umpan termakan. Obrolan makin

mengasyikkan. Ada yang terisi. Kekosongan dalam hati. Mana suami? Tak
peduli. Lupa diri. Mulai memisahkan diri. Berdua di tempat yang lebih sepi.
Saling membuka diri. Berbagi.” (Ayu, 2003: 75).
Djenar Maesa Ayu mencoba untuk bercerita dengan gaya yang ringan dan
membebaskan imajinasi dirinya serta pembaca. Djenar sendiri tidak mengadakan
batasan dalam ceritanya dan membiarkan pembaca menerka kelanjutan setiap
adegan. Djenar adalah seorang seniman sastra yang sering mengangkat tematema yang kontroversional dan dianggap tabu dalam masyarakat. Dalam cerpen
maupun novelnya, Djenar berani menyuguhkan sebuah cerita yang berbeda dan
terkesan menunjukkan sisi kehidupan yang sesungguhnya.
7

2.3 Analisis Cerita Pendek Staccato Karya Djenar Maesa Ayu Ditinjau Dari
Sifat Dasar Seni
Cerita pendek (cerpen) berjudul “Staccato” karya Djenar Maesa Ayu
merupakan sebuah cerpen dengan gaya penulisan baru. Cerpen tersebut
merupakan karya Djenar yang ditulis tahun 2003. Sebagai seorang penulis yang
inovatif, Djenar mencoba untuk mengeksplorasi tulisannya. Arti kata menjadi
medium bagi seni sastra. Kata-kata sederhana menjadi penuh makna manakala
Djenar menggabung-gabungkannya dengan urutan yang berbeda. Jalan cerita
mundur menjadi pilihan Djenar untuk menguraikan kisah unik berjudul
“Staccato”. Dalam buku “Jangan Main-Main (Dengan Kelaminmu)”, Richard Oh
memberikan tulisan pengantar yang menunjukkan kepiawaian Djenar dalam
menulis.
“..., Djenar berhasil menciptakan satu dampak yang memberi nilai tambah.
Efek satu dunia di mana para karakternya bermain-main dengan kata dan
manipulasi pernyataan tampak amat nyata.
Staccato sebenarnya juga menggunakan metode serupa tapi jauh lebih ketat
karena dalam paragraf yang sama urutan fakta sengaja dijungkirbalikkan
dan kadang disempurnakan di kalimat berikut.” (Ayu, 2003: 17-18).
Richard Oh menambahkan bahwa Djenar memberikan warna baru dalam dunia
sastra Indonesia. Setting waktu maupun karakter tidak terlihat jelas atau tidak
dinyatakan secara gamblang dalam tulisan. Djenar menunjukkan bahwa sastra
tidak harus selalu mengikuti aturan penulisan formal. Melalui keberaniannya
menciptakan gaya baru dalam menulis sastra, Djenar mencoba untuk
menunjukkan bahwa karyanya adalah sebuah seni. Dalam pembahasan filsafat
seni, terdapat lima sifat dasar yang harus ada di dalam seni. Kelima sifat dasar
tesebut dapat terlihat dari uraian berikut:
1. Seni bersifat kreatif
Cerita pendek “Staccato” karya Djenar tentu terlihat sebagai sebuah karya
dengan gaya penulisan yang baru dan orisinal. Pada umumnya, seniman sastra di
Indonesia terikat dengan struktur kalimat minimal dengan komponen SubjekPredikat-Objek atau Pelengkap. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan untuk
8

menuliskan kalimat dengan satu kata, misalnya dalam cerpen Dewi Lestari
berjudul “Filosofi Kopi”: “Kopi... k-o-p-i. Sudah ribuan kali aku mengeja sembari
memandangi serbuk hitam itu. Memikirkan kira-kira sihir apa yang dimilikinya
hingga ada satu manusia yang begitu tergila-gila. Ben. B-e-n.” (Lestari, 2012: 1).
Gaya penulisan Djenar dalam “Staccato” mungkin dapat dikaitkan dengan
gaya tulisan dalam puisi mbeling Sutardji Calzoum Bachri berjudul “Tragedi
Winka dan Sihka”. Dalam puisi tersebut, Sutarji hanya menggunakan empat suku
kata, yakni: win, ka, sih, dan ku. Suku kata win, ka, dan sih diletakkan dalam
urutan yang berbeda-beda dan menghadirkan sebuah makna baru. Meski pun
begitu, Djenar mencoba untuk berinovasi dalam tulisannya dengan menggunakan
kata-kata singkat di setiap kalimat dalam tulisannya. Selain kata-kata yang
singkat, Djenar juga mengulangi beberapa kata dengan susunan yang berbeda
atau ditambah dengan kata yang lain. Selain itu, Djenar mengajak pembaca untuk
masuk dan ikut merasakan proses penulisan cerpen tersebut. Terkadang muncul
sebuah kalimat yang dicetak italic untuk menegaskan adanya rasa tidak puas atau
kebingungan dalam diri penulis. Kalimat italic tersebut akan mendapat jawaban
di kalimat selanjutnya: “... Bosan dengar komentar kanan kiri. Bosan dengan
complain suami. Jadi mau kasih kejutan? Ya, sekali-sekali. ...” (Ayu, 2003: 78).
Pengulangan serta penambahan kata dalam kalimat tentu memberikan sebuah
makna baru dalam kalimat. Makna baru tersebut dapat sekedar berupa penegasan
atau memang menghadirkan cerita baru.
2. Seni bercorak individualis
Seni bercorak individualis terlihat dari gaya penuturan Djenar Maesa Ayu
saat

menceritakan

tentang

kebiasaan

hura-hura

tokoh

utama.

Djenar

menggambarkan kehidupan malam dengan nada sinis dan gamblang. Seolah-olah
sulit untuk ditemukan kelembutan dalam setiap kalimat yang ditulis oleh Djenar.
Hal tersebut tentu berbeda dengan tulisan Dewi Lestari yang cenderung lebih
lembut dan puitis.

9

“... Malam hari. Party. Karaoke. House music. Rokok. Whiskey. Ecstasy.
Laki.laki. birahi. Main mata. Basa-basi. Haha hihi. Memperkenalkan diri.
Basa-basi? Apa yang bisa diomongin ribut begitu? Huaduh! Benar juga, ya? ...”
(Ayu, 2003: 74).
“Jiwa Nelly dibasuh saat panas dan peluh dari lengan-le-ngan Probo
merengkuh tubuhnya, membisikkan kata cinta. Nelly selalu berandai-andai,
cinta itu hanya untuk dirinya seorang. Namun, Probo seolah melampaui itu
semua. Probo yang berkata cinta cenderung mirip Nabi yang mengatakan
cinta kepada pengikutnya. Seorang bin-tang kepada penggemar.” (Lestari,
2012: 103).
Dari kedua kutipan di atas, terlihat corak individualis seorang penulis dalam
menyampaikan ceritanya. Meski pun Djenar dan Dee sama-sama menuliskan
tentang diskotik dan hasrat seksual, keduanya memiliki perbedaan yang
mencolok. Djenar cenderung lebih gamblang dengan menuliskan kata “birahi”.
Sementara itu Dee memperhalusnya dengan ungkapan puitis: “dibasuh saat
panas dan peluh dari lengan-le-ngan Probo merengkuh tubuhnya”.
3. Seni adalah ekspresif
Seni bersangkut paut dengan perasaan seniman (powerpoint presentation mata
kuliah Filsafat Seni). Oleh sebab itu, tidak ada penilaian benar-salah menurut
aturan susila maupun agama dalam seni. Pengungkapan Djenar dalam “Staccato”
yang begitu gamblang tidak dapat disalahkan, begitu pula dengan cara
pengungkapan Dee dalam cerpen “Budha Bar”. Kedua cerpen tersebut hanyalah
berbeda dalam hal penyampaian gagasan. Seorang seniman sastra tentu memiliki
gaya tersendiri yang akan membuat karyanya menjadi khas dan dapat dikenali
oleh publik seni.
4. Seni adalah abadi
Secara tidak langsung, cerpen “Staccato” karya Djenar mampu melampaui
zamannya. Cerpen tersebut ditulis tahun 2003, tetapi masih dinikmati oleh
pembaca sebelas tahun kemudian. Hal tersebut menunjukkan bahwa cerpen
karya Djenar Maesa Ayu bersifat abadi.
5. Seni bersifat semesta

10

Cerita pendek “Staccato” juga menunjukkan seni yang bersifat semesta
karena cerpen tersebut merupakan sebuah karya hasil ekspresi perasaan
penciptanya. Ekspresi perasaan Djenar yang digambarkan dalam “Staccato”
memungkinkan terjadinya komunikasi antar manusia melalui bahasa perasaan
(powerpoint presentation mata kuliah Filsafat Seni 2014).
Dari analisis di atas, dapat dipastikan bahwa cerita pendek berjudul “Staccato”
karya Djenar Maesa Ayu adalah sebuah seni. Djenar memberikan sebuah warna
baru bagi dunia sastra di Indonesia. Kemunculan Djenar yang berani
menampilkan gaya tulisan yang kreatif dan inovatif seharusnya dapat mendorong
kemajuan seni sastra di Indonesia.

11

BAB III
KESIMPULAN
Filsafat seni merupakan cabang filsafat khusus yang membahas tentang seni.
Seni dapat diartikan sebagai sebuah pengungkapan ekspresi perasaan seseorang.
Meski pun begitu, seni bukanlah sekedar pengungkapan ekspresi yang bersifat
subjektif. Seni memiliki lima sifat dasar yang membedakannya dengan sesuatu
yang bukan seni (alam, ketrampilan). Sifat-sifat dasar seni antaralain: 1) kreatif, 2)
individualis, 3) ekspresif, 4) abadi, dan 5) semesta. Cerita pendek berjudul
“Staccato” karya Djenar Maesa Ayu dipilih menjadi objek material karena
memiliki gaya penulisan yang baru dan menunjukkan karakter khas dari
penulisnya. “Staccato” menceritakan kehidupan tokoh utamanya yang terbangun
di pagi hari dan lupa dengan kejadian semalam. Tokoh utama mulai mengingatingat kejadian di hari sebelumnya disertai dengan cerita sedih kehidupannya.
Dari analisis yang telah dilakukan, cerita pendek Djenar Maesa Ayu berjudul
“Staccato” memiliki corak khas yang menjadikan cerita pendek tersebut tidak
sekedar mengikuti tren yang sedang berkembang. Djenar Maesa Ayu memastikan
dirinya menjadi seorang seniman sastra melalui karya yang bersifat kreatif,
individualis, ekspresif, abadi, dan semesta.

12

DAFTAR PUSTAKA
Ayu, Djenar Maesa, 2003, Jangan Main-Main (Dengan Kelaminmu), Jakarta:
Gramedia.
Lestari, Dewi, 2012, Filosofi Kopi: Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade,
Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Sumardjo, Jakob, 2000, Filsafat Seni, Bandung: Penerbit ITB.

Parmono, Kartini, -, Powepoint Presentation Mata Kuliah Filsafat Seni 2014.

13