STATUS ANAK DARI PERNIKAHAN BEDA AGAMA D
STATUS ANAK DARI PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM
PERSPEKTIF ISLAM DAN HAM
DIBUAT GUNA MEMENUHI TUAGS UAS
MATA KULIAH : ISLAM, HAM DAN HUKUM KELUARGA
DISUSUN OLEH:
ZERA AGUSTINA
1420310053
DOSEN PENGAMPU:
EUIS NURLAELAWATI, Ph.D
PROGRAM STUDI HUKUM ISLAM
KONSENTRASI HUKUM KELUARGA
PASCASARJANA UIN SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015
A. Pendahuluan
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan
kuatsebagai penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita
dalam membentuk suatu keluarga atau rumah tangga. Dalam
membentuk suatu
keluarga tentunya memerlukan suatu komitmen yang kuat diantara pasangan
tersebut. Sehingga dalam hal ini Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974
pada pasal 2 ayat 1menyatakan bahwa suatu perkawinan dapat dinyatakan sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan
pasangan yang melakukan pernikahan.
Landasan hukum agama dalam melaksanakan sebuah perkawinan
merupakan hal yang sangat penting dalam UU No. 1 Tahun 1974, sehingga
penentuan boleh tidaknya perkawinan tergantung pada ketentuan agama.Hal ini
berarti juga bahwa hukum agama menyatakan perkawinan tidak boleh,maka tidak
boleh pula menurut hukum negara. Jadi dalam perkawinan berbeda agama yang
menjadi boleh tidaknya tergantung pada ketentuan agama. Perkawinan beda
agama bagi masing-masing pihak menyangkut akidah dan hukum yang sangat
penting bagi seseorang. Hal ini berarti menyebabkan tersangkutnya dua peraturan
yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan
sesuai dengan hukum agamanya masing-masing.
Pada dasarnya, hukum perkawinan di Indonesia tidak mengatur secara
khusus mengenai perkawinan pasangan beda agama sehingga ada kekosongan
hukum. Mengenai sahnya perkawinan adalah perkawinan yang dilakukan sesuai
agama dan kepercayaannya sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUP. Hal
ini berarti UU Perkawinan menyerahkan pada ajaran dari agama masing-masing.
Namun, permasalahannya apakah agama yang dianut oleh masing-masing
pihak tersebut membolehkan untuk dilakukannya perkawinan beda agama.
Misalnya, dalam ajaran Islam wanita tidak boleh menikah dengan laki-laki yang
tidak beragama Islam (al Baqarah [2]: 221). Selain itu, juga dalam ajaran Kristen
perkawinan beda agama dilarang (II Korintus 6: 14-18).
1
B. Kedudukan Anak Dalam Perniakahan Beda Agama
Mengenai kedudukan hukum anak yang lahir dari pasangan pernikahan
beda agama ini, kita dapat merujuk pada ketentuan Pasal 42 UUP yang
menyebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah. Jadi, anak yang dilahirkan dari perkawinan
yang sah yang dilakukan baik di Kantor Urusan Agama (untuk pasangan yang
beragama Islam) maupun Kantor Catatan Sipil (untuk pasangan yang beragama
selain Islam), maka kedudukan anak tersebut adalah anak yang sah di mata hukum
dan memiliki hak dan kewajiban anak dan orang tua seperti tertuang dalam Pasal
45 s.d. Pasal 49 UUP.
Selain itu, orang tua yang berbeda agama juga perlu memperhatikan
ketentuan Pasal 42 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UUPA”)
yang berbunyi:
(1) Setiap anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agamanya.
(2) Sebelum anak dapat menentukan pilihannya, agama yang dipeluk anak
mengikuti agama orang tuanya.
Di dalam penjelasan Pasal 42 ayat (2) UUPA diterangkan bahwa anak
dapat menentukan agama pilihannya apabila anak tersebut telah berakal dan
bertanggung jawab, serta memenuhi syarat dan tata cara sesuai dengan ketentuan
agama yang dipilihnya, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Fatwa MUI melarang perkawinan beda agama. Pada prinsipnya, bukan
hanya agama Islam. Semua agama tidak memperbolehkan perkawinan beda
agama. Umatnya saja yang mencari-cari peluang. Perkawinannya dianggap tidak
sah, dianggap tidak ada perkawinan, tidak ada waris, anaknya juga ikut hubungan
hukum dengan ibunya. Meskipun UU tidak memperbolehkan kawin beda agama,
tetapi Kantor Catatan Sipil bisa menerima pencatatan perkawinan beda agama
yang dilakukan di luar negeri. Pemerintah tidak tegas, seharusnya yang dicatat
Kantor Catatan Sipil adalah sesuai dengan hukum Indonesia.
2
Fenomena
perkawinan
beda
agama
yang
terjadi
di
kalangan
masyarakat Indonesia bisa menimbulkan berbagai macam permasalahan dari segi
hukum, seperti dalam masalah hukum kewarisan. perkawinan dan hukum
kewarisan merupakan dua hal yang saling berkaitan dalam kehidupan manusia,
karena dengan proses perkawinan akan terjadi saling mewarisi. Dalam hukum
waris Islam, perbedaan agama tidak bisa saling mewarisi antara satu dengan yang
lain. Demikian juga anak yang dilahirkan dari perkawinan beda agama tidak bisa
mewarisi pula. Adapun mengenai hukum warisnya, menurut fiqh anak dari
perkawinanbeda agama bisa mendapatkan warisan melalui wasiat wajibah yang
tidak bolehlebih dari 1/3 dari harta muwaris. Sedangkan menurut KHI, anak
tersebut tidakbisa mewarisi dari bapaknya dan hanya bisa mewarisi dari pihak ibu
dan keluarga ibunya.
Permasalahan lain yang akan timbul di dalam keluarga beda agama ialah
harapan akan lahirnya keluarga sakinah akan sulit dicapai pasangan suami-istri
yang berbeda agama, bagaimana mendidik anak-anak mereka. Seorang anak akan
kebingungan untuk mengikuti ayahnya atau ibunya. Perkawinan baru akan
langgeng dan tenteram jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antar suami dan
istri, karena jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya, atau bahkan
perbedaan tingkat pendidikan antara suami dan istri pun tidak jarang
mengakibatkan kegagalan perkawinan.
Keabsahan perkawinan yang akan menimbulkan hak dan kewajiban antara
suami isteri ialah hak pemeliharaan terhadap anak yang dimiliki orang tuanya,
hanya akan dapat diperoleh apabila orang tua memiliki status perkawinan yang
sah. Sebaliknya, perkawinan beda agama yang telah memiliki bukti otentik berupa
Buku Nikah dapat diajukan pembatalan dengan alasan bahwa perkawinan tersebut
tidak sah karena tidak sesuai dengan ketentuan hukum agama sebagaimana diatur
oleh peraturan perundang-undang yang berlaku, yaitu Kompilasai Hukum Islam
(KHI) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal ini
karena anak yang lahir dari perkawinan yang tidak sah hanya mempunyai
hubungan hukum dengan ibunya, sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menentukan bahwa; ”Anak yang
3
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya, keluarga ibunya”, sehingga segala hak anak terhadap bapaknya akan
hilang dan tidak diakui oleh hukum.
C. Kesimpulan
Kedudukan anak yang lahir dari perkawinan orang tuanya yang beda
agama, akan berdampak pada hak waris ketika salah seorang dari orang tuanya
meninggal dan hak asuh anak ketika orang tua berpisah atau bercerai. Mengenai
hak waris, anak yang lahir dari perkawinan beda agama tidak akan mendapatkan
warisan, karena menurut pasal 171 KHI bahwasannya hukum waris Islam tidak
memberikan hak mewarisi antar orang yang berbeda agama. Akan tetapi
pemberian harta antar orang yang berbeda agama hanya dapat dilakukan dengan
cara pemberian hibah atau wasiat. Kemudian juga mengenai hak asuh anak ketika
orang tuanya bercerai, anak yang lahir dari perkawinan beda agama bukanlah
anak yang sah menurut hukum, karena hukum Negara Indonesia tidak melegalkan
perkawinan beda agama. Oleh karena itu anak tersebut bukan anak yang sah,
maka hak asuh anak tersebut hanya jatuh kepada ibu dan keluarga ibunya saja
bukan kepada bapaknya.
4
PERSPEKTIF ISLAM DAN HAM
DIBUAT GUNA MEMENUHI TUAGS UAS
MATA KULIAH : ISLAM, HAM DAN HUKUM KELUARGA
DISUSUN OLEH:
ZERA AGUSTINA
1420310053
DOSEN PENGAMPU:
EUIS NURLAELAWATI, Ph.D
PROGRAM STUDI HUKUM ISLAM
KONSENTRASI HUKUM KELUARGA
PASCASARJANA UIN SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015
A. Pendahuluan
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan
kuatsebagai penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita
dalam membentuk suatu keluarga atau rumah tangga. Dalam
membentuk suatu
keluarga tentunya memerlukan suatu komitmen yang kuat diantara pasangan
tersebut. Sehingga dalam hal ini Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974
pada pasal 2 ayat 1menyatakan bahwa suatu perkawinan dapat dinyatakan sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan
pasangan yang melakukan pernikahan.
Landasan hukum agama dalam melaksanakan sebuah perkawinan
merupakan hal yang sangat penting dalam UU No. 1 Tahun 1974, sehingga
penentuan boleh tidaknya perkawinan tergantung pada ketentuan agama.Hal ini
berarti juga bahwa hukum agama menyatakan perkawinan tidak boleh,maka tidak
boleh pula menurut hukum negara. Jadi dalam perkawinan berbeda agama yang
menjadi boleh tidaknya tergantung pada ketentuan agama. Perkawinan beda
agama bagi masing-masing pihak menyangkut akidah dan hukum yang sangat
penting bagi seseorang. Hal ini berarti menyebabkan tersangkutnya dua peraturan
yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan
sesuai dengan hukum agamanya masing-masing.
Pada dasarnya, hukum perkawinan di Indonesia tidak mengatur secara
khusus mengenai perkawinan pasangan beda agama sehingga ada kekosongan
hukum. Mengenai sahnya perkawinan adalah perkawinan yang dilakukan sesuai
agama dan kepercayaannya sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUP. Hal
ini berarti UU Perkawinan menyerahkan pada ajaran dari agama masing-masing.
Namun, permasalahannya apakah agama yang dianut oleh masing-masing
pihak tersebut membolehkan untuk dilakukannya perkawinan beda agama.
Misalnya, dalam ajaran Islam wanita tidak boleh menikah dengan laki-laki yang
tidak beragama Islam (al Baqarah [2]: 221). Selain itu, juga dalam ajaran Kristen
perkawinan beda agama dilarang (II Korintus 6: 14-18).
1
B. Kedudukan Anak Dalam Perniakahan Beda Agama
Mengenai kedudukan hukum anak yang lahir dari pasangan pernikahan
beda agama ini, kita dapat merujuk pada ketentuan Pasal 42 UUP yang
menyebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah. Jadi, anak yang dilahirkan dari perkawinan
yang sah yang dilakukan baik di Kantor Urusan Agama (untuk pasangan yang
beragama Islam) maupun Kantor Catatan Sipil (untuk pasangan yang beragama
selain Islam), maka kedudukan anak tersebut adalah anak yang sah di mata hukum
dan memiliki hak dan kewajiban anak dan orang tua seperti tertuang dalam Pasal
45 s.d. Pasal 49 UUP.
Selain itu, orang tua yang berbeda agama juga perlu memperhatikan
ketentuan Pasal 42 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UUPA”)
yang berbunyi:
(1) Setiap anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agamanya.
(2) Sebelum anak dapat menentukan pilihannya, agama yang dipeluk anak
mengikuti agama orang tuanya.
Di dalam penjelasan Pasal 42 ayat (2) UUPA diterangkan bahwa anak
dapat menentukan agama pilihannya apabila anak tersebut telah berakal dan
bertanggung jawab, serta memenuhi syarat dan tata cara sesuai dengan ketentuan
agama yang dipilihnya, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Fatwa MUI melarang perkawinan beda agama. Pada prinsipnya, bukan
hanya agama Islam. Semua agama tidak memperbolehkan perkawinan beda
agama. Umatnya saja yang mencari-cari peluang. Perkawinannya dianggap tidak
sah, dianggap tidak ada perkawinan, tidak ada waris, anaknya juga ikut hubungan
hukum dengan ibunya. Meskipun UU tidak memperbolehkan kawin beda agama,
tetapi Kantor Catatan Sipil bisa menerima pencatatan perkawinan beda agama
yang dilakukan di luar negeri. Pemerintah tidak tegas, seharusnya yang dicatat
Kantor Catatan Sipil adalah sesuai dengan hukum Indonesia.
2
Fenomena
perkawinan
beda
agama
yang
terjadi
di
kalangan
masyarakat Indonesia bisa menimbulkan berbagai macam permasalahan dari segi
hukum, seperti dalam masalah hukum kewarisan. perkawinan dan hukum
kewarisan merupakan dua hal yang saling berkaitan dalam kehidupan manusia,
karena dengan proses perkawinan akan terjadi saling mewarisi. Dalam hukum
waris Islam, perbedaan agama tidak bisa saling mewarisi antara satu dengan yang
lain. Demikian juga anak yang dilahirkan dari perkawinan beda agama tidak bisa
mewarisi pula. Adapun mengenai hukum warisnya, menurut fiqh anak dari
perkawinanbeda agama bisa mendapatkan warisan melalui wasiat wajibah yang
tidak bolehlebih dari 1/3 dari harta muwaris. Sedangkan menurut KHI, anak
tersebut tidakbisa mewarisi dari bapaknya dan hanya bisa mewarisi dari pihak ibu
dan keluarga ibunya.
Permasalahan lain yang akan timbul di dalam keluarga beda agama ialah
harapan akan lahirnya keluarga sakinah akan sulit dicapai pasangan suami-istri
yang berbeda agama, bagaimana mendidik anak-anak mereka. Seorang anak akan
kebingungan untuk mengikuti ayahnya atau ibunya. Perkawinan baru akan
langgeng dan tenteram jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antar suami dan
istri, karena jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya, atau bahkan
perbedaan tingkat pendidikan antara suami dan istri pun tidak jarang
mengakibatkan kegagalan perkawinan.
Keabsahan perkawinan yang akan menimbulkan hak dan kewajiban antara
suami isteri ialah hak pemeliharaan terhadap anak yang dimiliki orang tuanya,
hanya akan dapat diperoleh apabila orang tua memiliki status perkawinan yang
sah. Sebaliknya, perkawinan beda agama yang telah memiliki bukti otentik berupa
Buku Nikah dapat diajukan pembatalan dengan alasan bahwa perkawinan tersebut
tidak sah karena tidak sesuai dengan ketentuan hukum agama sebagaimana diatur
oleh peraturan perundang-undang yang berlaku, yaitu Kompilasai Hukum Islam
(KHI) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal ini
karena anak yang lahir dari perkawinan yang tidak sah hanya mempunyai
hubungan hukum dengan ibunya, sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menentukan bahwa; ”Anak yang
3
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya, keluarga ibunya”, sehingga segala hak anak terhadap bapaknya akan
hilang dan tidak diakui oleh hukum.
C. Kesimpulan
Kedudukan anak yang lahir dari perkawinan orang tuanya yang beda
agama, akan berdampak pada hak waris ketika salah seorang dari orang tuanya
meninggal dan hak asuh anak ketika orang tua berpisah atau bercerai. Mengenai
hak waris, anak yang lahir dari perkawinan beda agama tidak akan mendapatkan
warisan, karena menurut pasal 171 KHI bahwasannya hukum waris Islam tidak
memberikan hak mewarisi antar orang yang berbeda agama. Akan tetapi
pemberian harta antar orang yang berbeda agama hanya dapat dilakukan dengan
cara pemberian hibah atau wasiat. Kemudian juga mengenai hak asuh anak ketika
orang tuanya bercerai, anak yang lahir dari perkawinan beda agama bukanlah
anak yang sah menurut hukum, karena hukum Negara Indonesia tidak melegalkan
perkawinan beda agama. Oleh karena itu anak tersebut bukan anak yang sah,
maka hak asuh anak tersebut hanya jatuh kepada ibu dan keluarga ibunya saja
bukan kepada bapaknya.
4