Penerapan Konsep Network Strategy pada K

Penerapan Konsep
Network Strategy
pada Kawasan
Mega Urban
Studi Kasus: JABODETABEKPUNJUR

Penulis :
Eka Sulis S

3612100006

Ulul Hidayah

3612100016

Lina Rizqi Nafisah

3612100026

Septiar Cahyo Purnomo


3612100053

JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
2015

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Ilahi Robbi, Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat serta hidayah-Nya sehingga penyusunan makalah penelitian kecil ini dapat
diselesaikan tepat waktu. Tidak lupa kami menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Ir. Eko Budi Santoso, Lic.rer.reg. Dan ibu Vely Kukinul Siswanto, ST, MT,
M.Sc. selaku dosen pembimbing mata kuliah Perencanan Wilayah.
2. Orang tua dan keluarga yang selalu memberikan dorongan semangat.
3. Teman-teman yang telah membantu dalam proses penyelesaian makalah ini.
Makalah dengan judul ”PenerapanKonsep Network Strategy Pada Wilayah Mega
Urban. STudiKasusJabodetabekpunjur” ini disusun sebagai tugas mata kuliah Perencanaan
Wilayah dalam Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya. Dengan melakukan kajian terhadap permasalahan dengan konsep-konsep
pengembangan wilayah, dapat membauat kebijakan maupun arahan pengembangan suatu

wilayah seperti yang telah di pelajari dalam perkuliahan.
Dalam proses penyelesaian makalah ini tentunya banyak kekurangan, baik dari
pengambilan referensi data maupun penulisannya. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik
dan saran dari berbagai pihak demi sempurnanya makalah ini.
Demikianlah makalah ini disusun, semoga bermanfaat bagi berbagai pihak dan dapat
memberikan kontribusi pada peningkatan kualitas pembelajaran mata kuliah Pengembangan
Wilayah.

Surabaya, 7 April 2015

Penulis

Perencanaan Wilayah 2015

|i

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii

DAFTAR GAMBAR.................................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................1
1.1

Latar Belakang.............................................................................................................1

1.2

Tujuan dan Sasaran Penulisan......................................................................................2

1.3

Sistematika Penulisan...................................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................4
2.1

Mega Urban..................................................................................................................4

2.1.1


Pengertian Mega Urban........................................................................................4

2.1.2

Ciri-ciri Mega Urban.............................................................................................5

2.1.3

Kelebihan dan Kekurangan Mega Urban..............................................................5

2.2

Network Strategy..........................................................................................................6

2.2.1

Pengertian dan Konsep Dasar Network Strategy..................................................6

2.2.2


Ciri-ciri Network Strategy....................................................................................8

BAB III GAMBARAN UMUM JABODETABEKPUNJUR..................................................10
3.1

Gambaran Umum Wilayah.........................................................................................10

3.2

Kekuatan Hukum........................................................................................................11

3.3

Perkembangan Kawasan Jabodetabekpunjur.............................................................12

3.4

Permasalahan Pengembangan Wilayah......................................................................13


BAB IV KONSEP PENGEMBANGAN WILAYAH..............................................................16
4.1

Penerapan Network Strategy......................................................................................16

4.2

Pengelolaan Mega urban Jabodetabekpunjur............................................................16

4.2.1

Kebijakan Infrastruktur.......................................................................................16

4.2.2

Kebijakan Pola Ruang.........................................................................................19

4.2.3
Kebijakan Penanggulangan Bencana..................................................................21
Perencanaan Wilayah 2015

| ii

4.3

Metode Penanggulangan Jabodetabekpunjur.............................................................22

4.3.1

Penanggulangan Urbanisasi................................................................................22

4.3.2

Penanggulangan Transportasi.............................................................................23

4.3.3

Penanggulangan Bencana...................................................................................24

BAB V PENUTUP...................................................................................................................26
5.1


Kesimpulan.................................................................................................................26

5.2

Lesson Learned..........................................................................................................26

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................28

Perencanaan Wilayah 2015

| iii

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Ilustrasi penerapan konsep Network Strategy...........................................................8
Gambar 2 Peta Rencana Jaringan Jalan Jabodetabekpunjur.....................................................17
Gambar 3 Peta Rencana Jaringan Jalur Kereta Api Jabodetabekpunjur...................................18
Gambar 4 Peta Jaringan Sumber Daya Air Jabodetabekpunjur................................................19
Gambar 5 Peta Pola Ruang Jabodetabekpunjur........................................................................20
Gambar 6 Pembagian kawasan hulu, tengah dan hilir pada Jabodetabekpunjur......................22


Perencanaan Wilayah 2015

| iv

1

BAB I

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Kota merupakan perwujudan perkembangan yang alamiah dari suatu permukiman

perkotaan yang berkembang sangat pesat. Perkembangan dan pertumbuhan disebabkan oleh
faktor-faktor yang dapat mengembangkan dan menumbuhkan kota pada suatu arah tertentu.
Menurut Sujarto (1989) terdapat tiga faktor utama yang sangat menentukan pola
perkembangan dan pertumbuhan kota diantaranya yaitu faktor manusia, faktor kegiatan
manusiam dan faktor pergerakan manusia.

Laporan dari The Comparative Urban Studies Project di Woldrow Wilson pada tahun
2006 menuliskan bahwa telah terjadi pertambahan penduduk perkotaan di dunia dengan
sangat berarti, pada tahun 2000, 41 persen dari penduduk dunia tinggal di perkotaan, pada
tahun 2005, 50 persen penduduk dunia tinggal di perkotaan. Sementara itu laporan dari United
Nations dan World Bank juga menunjukkan perkembangan yang relative tinggi untuk
penduduk di negara berkembang, dikatakan dalam laporan tersebut bahwa pada tahun 2050,
lebih dari 85 persen penduduk di dunia akan hidup di negara berkembang dan 80 dari
penduduk di negara berkembang tersebut akun hidup di perkotaan.
Makin meningkatnya jumlah penduduk dan kegiatan dikota-kota yang terjadi terusmenerus, serta makin meluasnya areal masing-masing kota dan tidak terbendungnya proses
urban sprawl kearah luar masing-masing kota pada abad ini akan terlihat gejala yang sangat
fenomenal, yaitu terjadinya integrase keruangan antarkota dan menciptakan kota-kota besar
yang kemudian dikenal dengan megacities.
Megacities merupakan sebuah pola yang terbentuk akibat dari suatu keadaan kota
dengan tingkat demografi tertentu, sehingga perlu adanya integrasi tata ruang wilayah kota
(metropolitan) dengan wilayah sekitarnya (mikropolitan) guna menyesuaikan beban dengan
daya dukung wilayah serta upaya integrasi antar wilayah. Kepadatan penduduk yang tak
terkendali dan tidak adanya lahan kosong untuk membangun, mengakibatkan terjadinya
perluasan area dimana area mikropolitan sebagai pendukung dari kegiatan pusat kota agar
dapat berkembang. Megacities merupakan upaya sinergitas wilayah dalam mengatasi
permasalahan urbanisasi, transportasi, dan penataan ruang. Menurut Gotmann (1961) gejala

sebuah wilayah perkotaan menjadi megacities didorong oleh banyak factor, tetapi semuanya
mengarah pada aktivitas ekonomi, demografi, dan sosial.

Perencanaan Wilayah 2015

|1

Dengan demikian konsep ini menghindari akibat buruk dari membengkaknya sebuah
kota akibat dari pertumbuhan penduduk yang pesat yang dapat menyebabkan kematian pada
suatu kota. Perlu adanya pengelolaan yang tepat untuk mengimplementasikan konsep
megacities dengan kualitas pelayanan publik yang terintegrasi dan sesuai dengan konsep
megacities sebenarnya.
Jakarta sebagai ibukota Republik Indonesia merupakan satu dari sekian banyak contoh
fenomena megacities di dunia dengan jumlah penduduk mencapai 10 juta jiwa lebih. Konsep
perkembangan megacities yang akan diterapkan merupakan kerjasama lintas daerah dari Kota
Jakarta, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi,
Kabupaten Cianjur, Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang yang disingkat dengan
sebutan Jabodetabekpunjur. Rencana tata ruang kawasan strategis nasional Jabodetabekpunjur
ini telah mendapatkan perlindungan hukum melalui perpres no. 54 tahun 2008 dan di kelola
oleh BKSP (Badan Kerjasama Pembangunan) Jabodetabekpunjur. Kota Jakarta ditetapkan
sebagai coredan kota lainnya ditetapkan sebagai hinterland atau kota penyangga khususnya
untuk mendukung permukiman dari ledakan penduduk yang terjadi.
Adanya faktor pertumbuhan penduduk dalam perkembangan kota ini harus segera
disikapi dengan strategi pengendalian kota yang sesuai. Strategi pengendalian ini dibutuhkan
agar kota dengan tingkat megacities tetap mampu memenuhi kebutuhan penduduknya dan
juga mampu memberikan fungsi maksimal terhadap penduduk secara merata.
1.2

Tujuan dan Sasaran Penulisan
Berdasarkan latar belakang, adapun tujuan dari penulisan makalah ini dapat dirumuskan

sebagai berikut:
1. Mengetahui pengertian network strategy
2. Mengetahui konsep pengembangan wilayah dengan pendekatan mega-urban dan
network strategy
3. Mengetahui contoh studi kasus pengembangan dengan network strategy
1.3

Sistematika Penulisan
Untuk mencapai tujuan yang telah disampaikan sebelumnya, berikut merupakan

rumusan sistematika penulisan pada makalah ini:
BAB I Pendahuluan; berisi mengenai latar belakang, tujuan penulisan, serta
sistematika penulisan.

Perencanaan Wilayah 2015

|2

BAB II TinjauanPustaka; berisi mengenai pembahasan mengenai Mega-urban, dan
Network Strategy.
BAB III GambaranUmum; berisi mengenai gambaran umum wilayah, kekuatan
hukum, pengembangan kawasan Jabodetabekpunjur, dan permasalahan pengembangan
wilayah Jabodetabekpunjur
BAB IV KonsepPengembangan Wilayah; berisi mengenai Penerapan Network
Strategy, Pengelolaan Mega urban Jabodetabekpunjur meliputi kebijakan infrastruktur,
kebijakan pola ruang, kebijakan penanggulangan bencana
BAB V Penutup; berisi mengenai kesimpulan dan lesson learned

Perencanaan Wilayah 2015

|3

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Mega Urban
2.1.1

Pengertian Mega Urban

Mega-urbanisasi yakni dua kota atau lebih yang terhubungkan oleh jalur
transportasi yang efektif sehingga menyebabkan wilayah di koridornya berkembang pesat
dan cenderung menyatukan secara fisikal dua kota utamanya. Koridor mega urban sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah sekitarnya yang memiliki hubungan
ekonomi dan pasar yang cukup kuat. Namun perubahan tersebut tidak diimbangi dengan
penyediaan sarana dan prasarana wilayah yang memadai akibat keterbatasan pemerintah.
Pengertian yang lain yakni kumpulan kota-kota yang membentuk keterkaitan antara kota
satu dengan kota yang lainnya.
Latar belakang terjadinya mega urban yakni adanya keinginan masyarakat desa
yang ingin menaikkan taraf kehidupan mereka sehingga masyarakat perdesaan
berbondong-bondong pindah ke kota, proses tersebut dinamakan urbanisasi. Ekonomi
merupakan faktor dominan dalam proses urbanisasi skala mega. Pembangunan berdasar
pada kepentingan ekonomi memiliki bentuk dan model yang berbeda (Silas, 2002).
Urbanisasi di Asia Tenggara juga dicirikan oleh kaburnya antara rural dan urban. Dengan
banyaknya masyarakat desa yang melakukan perpindahan ke kota menyebabkan kota
tersebut meningkat penduduknya. Sehingga menyebabkan kota tersebut pertumbuhannya
semakin meningkat karena menyesuaikan penduduk yang semakin lama semakin banyak
jumlahnya. Selain itu aktifitas agrikutur dan non‐agrikultur bertempat berdekatan dengan
pusat kota, dan pembangunan fisik perkotaan yang berkembang melebihi batas
administratif kota. McGee, 2005 (dalam Firman 2008) kemudian menyebut fenomena ini
sebagai mega‐urbanisasi, sebelumnya disebut dengan kotadesasi (sebuah frase dari
bahasa Indonesia) yang berarti sebagai proses sosial ekonomi dan integrasi fisik antara
kawasan Kota (Kota) dan kawasan perdesaan (Desa) (McGee 1991 dalam Firman 2008).
Pada MUR (Mega Urban Region) Surabaya, penyediaan lahan di kawasan kota telah
mengalami kejenuhan dan mengalami perubahan untuk kawasan terbangun terutama
untuk permukiman, perdagangan dan industri. Oleh karenanya, struktur pertumbuhan
kota mulai bergerak menjauh dari pusat kota menyebar dan menggeser wilayah pinggiran
(fringe areas) dan kota/kabupaten sekitarnya (JM Nas, 2003). Kota dengan pembangunan

Perencanaan Wilayah 2015

|4

fisik yang terus meningkat menyebabkan adanya pelebaran kawasan perkotaan tersebut
hingga menyebar ke pinggiran kota.
2.1.2

Ciri-ciri Mega Urban

Ciri-ciri atau karakteristik mega urban yakni:
1. Kepadatan penduduk tinggi
Kepadatan Penduduk tinggi disebabkan oleh banyaknya masyarakat perdesaan
yang melakukan perpindahan ke kota untuk meningkatkan taraf perekonomian
mereka, untuk memperbaiki kehidupan mereka sebelumnya.
2. Intensitas mobilitas penduduk tinggi
3. Transformasi lahan pertanian ke non pertanian
Banyaknya kebutuhan akan lahan menyebabkan kawasan perkotaan yang
sebelumnya merupakan lahan pertanian bertransformasi menjadi lahan non
pertanian. Penduduk suatu kota yang terus meningkat menyebabkan kebutuhan
akan lahan yang permukiman yang terus meningkat, sehingga menyebabkan
daerah pinggiran perkotaan ikut terkena dampak dari permasalahan tersebut.
bukan hanya lahan permukiman yang terus meningkat, lahan industri juga akan
semakin meningkat dilihat banyaknya jumlah penduduk yang semakin lama
semakin meningkat, ketika di kota-kota besar sudah terlalu banyak menampung
tenaga kerja maka daerah pinggiran yang lahan pertanian yang sudah di alih
fungsikan sebagai lahan untuk industri akan menyerap tenaga kerja yang cukup
banyak.
4. Keterkaitan antar kota sangat baik
Keterkaitan antar kota sangat baik ini dapat dilihat dari sistem transportasinya
yang cukup memadai dan mudah untuk berpindah satu kota ke kota yang lainnya,
juga keterkaitan antar tenaga kerja. Misalnya Kota Surabaya membutuhkan tenaga
kerja untuk perkantoran dan Kabupaten Sidoarjo menyediakan tenaga kerja,
begitu sebaliknya masyakat yang Kota Surabaya membeli lahan di Sidoarjo
karena masih banyaknya lahan pertanian yang ada di Sidoarjo, karena masyarakat
Surabaya sendiri jenuh dengan aktifitas yang padat di Kota Surabaya.
2.1.3

Kelebihan dan Kekurangan Mega Urban

Fenomena mega urban memberikan dampak bagi daerah pusat kota maupun
daerah periphery. Mega urban memberikan akses yang lebih mudah terhadap aktivitas
kegiatan perekonomian di wilayah tersebut. Dengan kemudahan tersebut memberikan
Perencanaan Wilayah 2015

|5

kehidupan yang lebih banyak bagi orang – orang yang tinggal di wilayah itu. Mega urban
yang merupakan sebuah wilayah metropolitan tunggal atau dua wilayah metropolitan atau
lebih yang bergabung. Dalam hal ini akan memberikan dampak negatif bagi kota yang
menjadi pusat maupun bagi kota yang sebagai pemekaran dari terjadinya mega urban.
Dampak negatif bisa dilihat dari beberbagai aspek. Dari segi aspek tata guna lahan kota
yang menjadi mega urban biasanya menjadi padat.
Dari segi demografi, terjadi kepadatan penduduk yang tidak terkendali yang
menyebabkan banyakanya penganguran dan kesenjengan sosial. Dari segi ligkungan kota
mega urban terjadi penurunan daya dukung lingkungan seperti peningkatang polusi
udara, penurunan kualitas air bersih, kerentanan bencana banjir cukup tinggi. Dengan
menjadi menurunya tingkat daya dukung lingkungan dan kepadatan jumlah penduduk
yang tak terkendali, hal ini akan menciptakan daerah permukiman kumuh. Sedangkan
dari segi ekonomi, kegiatan ekonomi yang berada pada wilayah pinggiran akan terjadi
kesenjangan dengan wilayah pada pusat kota.
Karena mega urban lebih banyak dampak negatif daripada dampak positifnya.
Tanpa disadari perkembangan kota yang menjadi mega urban baisanya akan menjadi
necrocities (kota yang menuju kehancuran). Karaena semakin lama kota yang
berkembang menjadi mega urban tanpa adanya pengendalian yang bagus, itu akan
menjadi semakin padat dan sulit untuk di kembangkan.
2.2

Network Strategy
2.2.1

Pengertian dan Konsep Dasar Network Strategy

Regional Network Strategy merupakan sebuah konsep pengembangan wilayah
yang menitik beratkan pada keterkaitan antara wilayah. Konsep pengembangan regional
network model atau biasa disebut juga regional clustering model tidak bergantung pada
industri pengolahan sebagai sektor basis melainkan semua sektor bisa saja menjadi
leader, tergantung kondisi dan potensi internal yang dimilik oleh wilayah tersebut.
Konsep pengembangan wilayah ini dilakukan dengan mengaitkan pengembangan desa
dan kota.
Strategi dan model pengembangan wilayah yang lebih dulu berkembang adalah
strategi pembangunan dari atas (development from above) dengan menekankan
pengembangan pada wilayah urban (urban based) yang disebut strategi pusat
pertumbuhan (growth pole). Dalam strategi ini, pusat pertumbuhan diharapkan dapat
memberikan efek penetesan (trickle down effect) dan efek penyebaran (spread effect)
Perencanaan Wilayah 2015

|6

pada wilayah hinterlandnya dan pedesaan melalui mekanisme hirarki perkotaan secara
horizontal. Namun dalam prakteknya, seringkali yang terjadi pusat pertumbuhan
melakukan penghisapan sumber daya wilayah hinterland ke wilayah urban (backwash
effect). Akibatnya, pusat pertumbuhan semakin berkembang pesat namun wilayah
hinterland menjadi terbelakang dan tidak berkembang sehingga terjadi kesenjangan
wilayah. Menanggapi hal tersebut, muncul strategi pengembangan wilayah populis yang
merupakan pengembangan wilayah dari bawah (development from below) dengan
menekankan pengembangan pada wilayah rural (rural based).
Berkembangnya dua strategi pengembangan wilayah ini menyebabkan terjadinya
urban bias dan dikotomi pembangunan antara urban dan rural (Douglas, 1998). Urban
bias terjadi karena masing-masing strategi memiliki pandangan yang berbeda dalam
pengembangan wilayah. Menurut strategi urban growth, pembangunan di perkotaan
merupakan kunci utama dalam pengembangan wilayah. Disisi lain, strategi populis
menganggap kota merupakan mesin penghisap sumberdaya pedesaan sehingga perlu
adanya pengembangan pedesaan untuk mencegah hal tersebut. Hal ini mendorong
munculnya dikotomi desa kota yaitu suatu pola pikir yang memandang kota dan desa
merupakan dua hal yang berbeda. Padahal, desa dan kota memiliki peran yang sama-sama
penting dan saling terkait satu sama lain dalam pengembangan wilayah. Keterkaitan ini
antara lain berupa realita bahwa penduduk desa merupakan konsumne barang dan jasa
kota. Sementara itu, penduduk kota juga merupakan konsumen barang dan jasa hasil
produksi desa (Lo Salih dan Douglas, 1981).
Berdasarkan pertimbangan hal tersebut, maka muncul paradigma baru sebagai
alternatif strategi yang berusaha mencari keseimbangan kepentingan desa kota dalam
pengembangan wilayah yang dikenal dengan keterkaitan desa kota ( regional network
startegy rural urban linkages). Dalam stretagi ini, kota dan desa tidak lagi dipandang
sebagai dua hal yang terpisah, namun perlu adanya keterkaitan antara kota dan desa
dalam pengembangan wilayah.
Keterkaitan kota dengan kota lain atau dengan desa merupakan strategi
pengembangan wilayah yang bersifat Horizontal dan bersifat komplementer. Strategi ini
memandang tiap-tiap kota memiliki peran dan kedudukan yang sama dalam
pengembangan wilayah. Dalam strategi ini, tiap-tiap kota merupakan suatu kesatuan yang
utuh sehingga dalam upaya pengembangan wilayah tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Tidak dapat dipisahkannya desa dan kota dikarenakan antara desa dan kota terdapat
keterkaitan dan saling membutuhkan satu sama lain.
Perencanaan Wilayah 2015

|7

Secara umum, keterkaitan tiap kota jelas terlihat dari hubungan fungsionalnya
yang berbeda-beda namun saling membutuhkan. Misalnya pada desa membutuhkan kota
dalam pemasaran hasil produksi dan mendapatkan barang jasa yang tidak dapat
disediakan di desa. Sedangkan kota membutuhkan hasil produksi dari desa untuk
memenuhi kebutuhan dasar penduduknya, sebagai bahan baku industri dan untuk
mengoptimalkan fungsi kota sebagai pusat distribusi. Menurut Rondenelli (1985),
keterkaitan desa dan kota dapat ditinjau dari keterkaitan fisik (infrastruktur), ekonomi
(aliran barang dan jasa), mobilitas penduduk (migrasi), teknologi, interaksi sosial,
penyediaan pelayanan, politik, administrasi dan organisasi.

Gambar 1. Ilustrasi penerapan konsep Network Strategy
Kunci utama keberhasilan strategi keterkaitan desa kota adalah pengoptimalan
peran dan fungsi kota dan desa dalam pengembangan wilayah. Kota memiliki peran
sebagai market center (pusat pemasaran) hasil pertanian desa dan pendistribusian hasil
pertanian ke wilayah lain.
Peran kota sebagai market center tidak akan berhasil jika tidak ada dukungan
hasil pertanian yang baik dari desa. Selain itu, kota juga sebagai penyedia barang dan
jasa yang dibutuhkan desa untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Kota dapat
tumbuh dengan adanya peningkatan pasokan hasil pertanian dan konsumsi dari desa dan
desa dapat tumbuh dengan adanya dukungan market center, fasilitas serta barang jasa
yang ada di kota.
2.2.2

Ciri-ciri Network Strategy

Adapun ciri-ciri dari Network Strategy ini adalah sebagai berikut:
1.

Sektor Basis : Semua sektor, tergantung pada kondisi dan potensi internal.
Tidak terfokus kepada urban-based manufacturing sebagai leading sector
dalam pembangunan regional. Biasanya menekankan pada industri kecil dan
menengah yang berskala regional.

Perencanaan Wilayah 2015

|8

2.

Sistem Perkotaan : Horisontal, tersusun dari beberapa pusat dan pinggirannya,
masingmasing dengan spesialisasi dan Keuntungan komparativnya

3.

Aktivitas Pusat-Pinggiran : Adanya aktivitas yang kompleks, dimana
perkembangan dibangkitkan baik dari pusat maupun pinggiran

4.

Model Perencanaan : Menggunakan sistem perencanaan desentralisasi dengan
integrasi dan koordinasi multisektoral pada pusat maupun pinggiran.

5.

Kebijakan-kebijakan : Diversifikas pertanian, agroindustri, industri berbasis
SDA, pelayanan kota, pelatihan tenaga kerja, jaringan transportasi regional.

Perencanaan Wilayah 2015

|9

3

BAB III

GAMBARAN UMUM JABODETABEKPUNJUR
3.1

Gambaran Umum Wilayah
Wilayah Jabodetabekpunjur merupakan kawasan perkotaan dengan dinamika dan

muatan persoalan serta kegiatan tertinggi di Indonesia. Sehingga sudah seharusnya
mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan yang belakangan ini nampak
mengalami tekanan lingkungan (environmental stress) yang sangat tinggi.
Terdiri dari 11 wilayah administrasi otonom, yang tediri dari 3 Provinsi serta 8
Kabupaten/Kota. Dengan rentang variabel fisik dari topografi rendah (pesisir) sampai dataran
tinggi (perbukitan) yang terhampar dalam satu region. Perkembangan dan perubahan yang
terjadi di salah satu wilayah jelas berpengaruh dan dipengaruhi oleh wilayah lain, sebagai satu
kesatuan ekosistem. Mengingat kondisi ini, maka diperlukan pengelolaan yang integratif antar
wilayah tersebut. Sehingga, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi,
Puncak, Cianjur (Jabodetabekpun-jur) ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional yang
memerlukan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang
secara terpadu. Secara definisi, Kawasan Strategis Nasional adalah wilayah yang penataan
ruangnya diprioritaskan, karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap
kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau
lingkungan, termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia.
Metropolitan Jabodetabek merupakan kawasan yang terdiri atas tiga bagian yaitu inti
ataupusat, inner zone danouter zone. Bagian kawasan pinggiran inner zone, terdiri atas kota
Depok, Kota Bekasi, Kota Tanggerangdan Kota Tanggerang Selatan. Kawasan pinggiran
outer zone terdiri atas Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bogor, Kota Bogor, dan Kabupaten
Tanggerang. Metropolitan Jabodetabek terpusat pada satu inti yaitu Kota Jakarta.
Secarasosial, Kawasan Jabodetabekpunjur memiliki tingkat penyerapan tenaga kerja
yang tinggi sejalan dengan perkembangan perkotaan yang pesat. Urbanisasi di
kawasanJabodetabekpunjursangatpesat (tumbuh 5 kali lipatdaritahun 1950-2005). Sekitar 22,8
juta penduduk tinggal di wilayah Jabodetabekpunjur. Kepadatan penduduk masing-masing
provinsi adalah DKI Jakarta 13.668 jiwa/km2, Jawa Barat 2.320 jiwa/km2, dan Banten 3.756
jiwa/km2. Pertumbuhan penduduk Provinsi DKI Jakarta (2000 – 2005) mencapai 1,09%
dengan laju pertumbuhan penduduk tertinggi di wilayah Jakarta Barat (4,3%), namun pada
saat yang sama terdapat penurunan laju pertumbuhan penduduk di wilayah Kota Jakarta Pusat
Perencanaan Wilayah 2015

| 10

(0,72%). Pertumbuhan penduduk di Jabodetabekpunjur dipacu oleh laju pertumbuhan
penduduk di Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Barat sebesar rata-rata 2% per tahun
semenjak tahun 2002 (BPS, 2005). Selain aspek-aspek tersebut, aspek pertahanan keamaman
dan politis Jakarta sebagai Ibukota negara dan pusat lembaga-lembaga tinggi negara menjadi
prioritas utama untuk dijaga keberlanjutan lokasi ruangnya.
Seiring dengan era reformasi dan otonomi daerah, kota dan kabupaten itu kini tersebar
di tiga provinsi, mencakup total 29.842.692 penduduk dengan perincian Jakarta 9,5 juta,
Kabupaten dan Kota Bogor 6 juta, Kota Depok 1,7 juta, Kabupaten dan Kota Tangerang
termasuk Tangerang Selatan 5,9 juta, Kabupaten dan Kota Bekasi 5 juta, dan Kabupaten
Cianjur sekitar 1,7 juta jiwa (Badan Pusat Statistik, 2010).
Secara ekologis, cakupan Jabodetabekpunjur adalah kawasan yang meliputi tiga daerah
aliran sungai (DAS) utama, yaitu DAS Ciliwung, DAS Cisadane, dan DAS Bekasi, yang
memiliki luas area keseluruhan sekitar 2.027 km2 dengan curah hujan berkisar antara 1.5004.000 mm per tahun. Hulu Sungai Ciliwung berada di kawasan Puncak dan mengalir
sepanjang 119 km dengan debit rata-rata bulanan 882 m3 per detik (di Manggarai) ke arah
muara Jakarta. Daerah permukiman di hulu DAS Ciliwung, dalam kurun waktu enam tahun
(1990-1996) meningkat dari 6,25 km2 menjadi 19,26 km2 dan 10 tahun kemudian (2004)
menjadi 26,61 km2.
Dalam 35 tahun terakhir, secara regional Jabodetabekpunjur telah kehilangan 27%
ruang terbuka hijau (termasuk hutan dan perkebunan tanaman tahunan/keras) diantaranya
akibat hilanganya 46% kawasan hutan. Kawasan terbangun (permukiman) tumbuh lebih dari
12 kali lipat, menyebabkan daya dukung lingkungan menjadi sangat terbatas, terutama
kemampuan lahan di dalam meresapkan air ke dalam tanah terutama di Jakarta.
Pertumbuhan Permukiman dan perkotaan yang tak terkendali di sepanjang dan di sekitar
daerah aliran sungai, tidak berfungsinya kanal-kanal dan tidak adanya sistem drainase yang
memadai mengakibatkan semakin terhambatnya aliran air ke laut, yang mengakibatkan
Jakarta dan kawasan di sepanjang daerah aliran sungai menjadi sangat rentan terhadap banjir.
Permasalahan DAS Ciliwung lainnya adalah penurunan kualitas dan kuantitas air sungai,
pemanfatan ruang di sempadan sungai, yang menimbulkan permukiman kumuh, perubahan
tata guna lahan, penurunan kualitas dan kuantitas lingkungan, kekeringan dan erosi/longsor.
3.2

Kekuatan Hukum
Jabotadetabekpunjur adalah sebuah mega urban yang meliputi wilayah DKI Jakarta

sebagai kota inti dan wilayah sekitarnya sebagai kota pendukung yang mencakup dua wilayah
Perencanaan Wilayah 2015

| 11

provinsi, yaitu Kabupaten dan Kota Bekasi, Kabupaten dan Kota Bogor, Kabupaten dan Kota
Tangerang di Provinsi Banten, Kabupaten dan Kota Depok dan sebagian wilayah Kabupaten
Cianjur di Provinsi Jawa Barat. Menurut Perpres Nomor 54 Tahun 2008 Tentang Penataan
Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur, cakupan
kawasan Jabodetabekpunjur adalah sebagai berikut:
1.

Kawasan Jabodetabekpunjur meliputi seluruh wilayah Daerah Khusus Ibukota
Jakarta, sebagian wilayah Provinsi Jawa Barat, dan sebagian wilayah Provinsi
Banten.

2.

Sebagian wilayah Provinsi Jawa Barat tersebut mencakup seluruh wilayah
Kabupaten Bekasi, seluruh wilayah Kota Bekasi, seluruh wilayah Kota Depok,
seluruh wilayah Kabupaten Bogor, seluruh wilayah Kota Bogor, dan sebagian
wilayah Kabupaten Cianjur yang meliputi Kecamatan Cugenang, Kecamatan Pacet,
Kecamatan Sukaresmi, dan Kecamatan Cipanas.

3.

Sebagian wilayah Provinsi Banten tersebut mencakup seluruh wilayah Kabupaten
Tangerang dan seluruh wilayah Kota Tangerang.

Kawasan Jabodetabekpunjur telah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional
(KSN) dalam PP 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). KSN
merupakan wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan dan rencana tata ruangnya
ditetapkan oleh peraturan presiden karena mempunyai pengaruh yang sangat penting secara
nasional terhadap kedaulatan negara, hankam, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan.
Berdasarkan hal tersebut, Kawasan Jabodetabekpunjur mempunyai peran sebagai pusat
pengembangan kegiatan perekonomian wilayah dan nasional sekaligus sebagai kawasan
konservasi air dan tanah serta keanekaragaman hayati yang dapat menjamin tingkat
kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakatnya. Kawasan Jabodetabekpunjur perlu dikelola
dengan baik, karena memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi ekonomi dan fungsi lingkungan.
3.3

Perkembangan Kawasan Jabodetabekpunjur
Sejak tahun 1977, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menetapkan bahwa wilayah

Botabek sebagai wilayah penyangga kota Jakarta. Hal ini disebabkan karena terlalu padatnya
kota Jakarta untuk menampung semua aktivitas pemerintahan, perdagangan, dan industri.
Berdasarkan hal tersebut pemerintah mulai mengatur pembangunan dan peruntukan wilayah
di Jabotabek. Untuk aktivitas pemerintahan, tetap dikonsentrasikan di wilayah Jakarta Pusat.
Untuk industri, pengembangan dikonsentrasikan di kawasan Cibitung dan Cikarang (Kab.
Bekasi) serta Cikupa (Kab. Tangerang). Untuk pemukiman, pengembang-pengembang besar
banyak membangun kota-kota satelit yang dilengkapi dengan sarana pendukung kota seperti
Perencanaan Wilayah 2015

| 12

sekolah, pusat perbelanjaan, rumah sakit, dan tempat hiburan. Kota-kota satelit ini banyak
berkembang di Kota Bekasi, Kota Tangerang, Serpong (Kota Tangerang Selatan), Kota
Depok dan Kawasan Cibubur meliputi: Cibubur (Kota Depok), Cibubur (Kota Bekasi),
Cibubur Kecamatan Cileungsi (Kab. Bogor).
Selanjutnya Jabotabek harus menyesuaikan dengan perkembangan peningkatan status
administratif bagian-bagian dari kawasan itu yang berubah status administrasinya, seperti
Kota Tangerang yang menjadi Kotamadya pada tahun 1993 dan kemudian menjadi Kota pada
tahun 2000, Kota Bekasi yang menjadi Kota pada tahun 1997, dan Kota Depok yang menjadi
Kota pada tahun 1999. Perkembangan ini menjelaskan perubahan Jabotabek kemudian
menjadi Jabo (de) tabek untuk memasukan Kota Depok.
Setelah itu, muncul gagasan untuk menggabungkan Jabotabek dengan Bopunjur.
Alasannya, kawasan Bopunjur diyakini untuk memenuhi kebutuhan penduduk kota Jakarta
terhadap tempat rekreasi pegunungan. Namun, desakan kebutuhan itu memicu pertumbuhan
permukiman, seperti hotel, bungalau, restoran dan tempat hiburan lain yang menimbulkan
tekanan pada pengembangan lahan di kawasan Bopunjur.
Secara sosial, kawasan Jabodetabekpunjur memiliki tingkat penyerapan tenaga kerja
yang tinggi sejalan dengan perkembangan perkotaan yang pesat. Urbanisasi di kawasan
Jabodetabekpunjur sangat pesat (tumbuh 5 kali lipat dari 1950 – 2005). Saat ini, sekitar 22,8
juta penduduk tinggal di wilayah Jabodetabekpunjur. Kepadatan penduduk masing-masing
provinsi adalah DKI Jakarta 13.668 jiwa/km2, Jawa Barat 2.320 jiwa/km2, dan Banten 3.756
jiwa/km2.
Pertumbuhan penduduk Provinsi DKI Jakarta (2000 – 2005) mencapai 1,09% dengan
laju pertumbuhan penduduk tertinggi di wilayah Jakarta Barat (4,3%), namun pada saat yang
sama terdapat penurunan laju pertumbuhan penduduk di wilayah Kota Jakarta Pusat (0,72%).
Pertumbuhan penduduk di Jabodetabekpunjur dipacu oleh laju pertumbuhan penduduk di
Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Barat sebesar rata-rata 2% per tahun semenjak tahun 2002
(BPS, 2005). Selain aspek-aspek tersebut, aspek pertahanan keamaman dan politis Jakarta
sebagai Ibukota negara dan pusat lembaga-lembaga tinggi negara menjadi prioritas utama
untuk dijaga keberlanjutan lokasi ruangnya.
3.4

Permasalahan Pengembangan Wilayah
Permasalahan

pengembangan

wilayah

yang

terdapat

pada

mega

urban

Jabodetabekpunjur merupakan permasalahan yang bersifat makro yang membutuhkan

Perencanaan Wilayah 2015

| 13

koordinasi antar daerah untuk menanganinya. Adapun permasalahan-permasalahan tersebut
adalah:
1. Tingkat Pertumbuhan Penduduk yang Semakin Pesat
Diindikasikan telah terjadi peningkatan jumlah penduduk dari 16 juta jiwa (th
1990)19 juta jiwa pada th 1996. Dan diperkirakan pada tahun 2015
pertumbuhan jumlah penduduk mencapai 27,3 juta jiwa.
2. Perubahan Lahan yang Cepat
Data menunjukkan, telah terjadi peningkatan penggunaan lahan di Jabodetabek
pada tahun 1992 hingga 2001 sebesar 10% untuk permukiman. Pada kurun
waktu yang sama, telah terjadi pula pengurangan luasan kawasan lindung hingga
16%. Sehingga secara keseluruhan terjadi penyimpangan sebesar 20% terhadap
arahan penggunaan lahan pada Rencana Tata Ruang Kawasan Jabodetabek.
Sementara itu, untuk Kawasan Bopunjur yang merupakan hulu (up-stream) dari
Kawasan Jabodetabek, berdasarkan informasi citra landsat tahun 2001 telah
terjadi penyimpangan pemanfaatan lahan sebesar 79,5% dari arahan yang
ditetapkan dalam Keppres No.114/1999. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan
kawasan permukiman/perkotaan yang cukup pesat dengan luas mencapai 35.000
ha atau 29% dari total luasan Kawasan Bopunjur. Bentuk-bentuk penyimpangan
lainnya diantaranya adalah pemanfaatan ruang yang tidak sesuai untuk
permukiman pada sepanjang bantaran sungai-sungai dan pemanfaatan ruang
untuk permukiman pada wilayah retensi air, seperti rawa-rawa dan lahan basah.
3. Sumberdaya Air dan Banjir
Penyempitan sungai akibat sedimentasi dari partikel-pertikel yang terbawa, yang
berdampak pada meningkatnya aliran air permukaan (run-off). Perubahan lahan
alami ke lahan terbangun menimbulkan bahaya erosi dan menurunkan infiltrasi
air tanah. Terjadinya genangan di kawasan pantai lama yang mengalami
amblesan (land subsidance) Apabila land subsidance mencapai 2 m, sementara
kenaikan muka air laut mencapai 60 cm, diperlukan upaya untuk memompa air
di daerah genangan yang kedalamannya mencapai 2,6 m di bawah permukaan
laut. Hingga tahun 2002, situ-situ mengalami penyusutan yang cukup signifikan
(sebesar 65,8%).
4. Perkembangan Infrastruktur

Perencanaan Wilayah 2015

| 14

 Perkembangan

pembangunan

yang

tidak

terkendali,

khususnya

pembangunan yang terjadi di lintas wilayah yang memiliki keterkaitan
dengan fungsi dan struktur.
 Meningkatnya kebutuhan perumahan dan fasilitas lainnya untuk
memenuhi kebutuhan penduduk.
 Peningkatan jumlah kendaraan (mobil) yang semakin pesat;
 Adanya fenomena ketidakseimbangan diantara pembangunan jalan
dengan jumlah kepemilikan kendaraan (mobil).
5. Limbah
 Meningkatnya limbah industri dan rumah tangga di bagian hilir
 Belum optimalnya sistem pengelolaan sampah, terutama pada wilayah
Botabek
-

Di Jakarta mampu mengelola 84,6% dari total volume produksi
sampah per hari.

-

Di Botabek baru mampu mengelola 20-30% dari total volume
produksi sampah per hari, sisanya dibuang.

Perencanaan Wilayah 2015

| 15

4

BAB IV

KONSEP PENGEMBANGAN WILAYAH
4.1

Penerapan Network Strategy
Penerapan konsep network strategy di Jabodetabekpunjur

difokuskan untuk

pertumbuhan infrastrukturnya agar aksesibilitas antar wilayah dapat lebih dijangkau. Selain
itu Kota Jakarta yang berperan sebagai kawasan core membutuhkan kawasan penyangga
untuk fungsi perumahan, konservasi, industri dan sumber air bersih. Selain itu bencana banjir
yang kerap melanda Kota Jakarta juga membutuhkan koordinasi dalam mitigasinya dengan
wilayah penyangga sampai dengan wilayah hulu.
4.2

Pengelolaan Mega urban Jabodetabekpunjur
Seperti yang telah dijelaskan pada subbab sebelumnya bahwa KSN Jabodetabekpunjur

berperan sebagai pusat perekonomian wilayah dan nasional sekaligus sebagai kawasan
konservasi air dan tanah serta keanekaragaman hayati. Untuk itu ditetapkanlah suatu
kebijakan lintas sektoral berupa Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (RTR
KSN) Jabodetabekpunjur yang di dukung oleh Perpres No. 54 Tahun 2008. Untuk
menerapkan kebijakan lintas sektoral tersebut perlu dilakukan kerjasama antar daerah
sehingga dibentuklah BKSP (Badan Kerjasama Pembangunan) Jabodetabekpunjur.
4.2.1

Kebijakan Infrastruktur

Keunggulan infrastruktur di Jabodetabekpunjur ini juga menjadi daya tarik
urbanisasi. Tingginya tingkat urbanisasi mengakibatkan daya tampung lahan untuk
permukiman dan aktivitas ekonomi wilayah menjadi terbatas. Keunggulan ini akan
mendorong peningkatan pemanfaatan lahan di wilayah sekitar Jakarta yakni Bogor,
Depok, Tangerang, Bekasi dan Cianjur. Perkembangan aktivitas ekonomi sejalan
dengan peningkatan pembangunan infrastruktur, khususnya untuk menunjang
pengembangan permukiman. Infrastruktur yang terbangun tersebar di seluruh kawasan
permukiman. Perkembangan permukiman saat ini sangat sporadis sehingga tidak
ekonomis dan tidak efisien dalam penyediaan infrastruktur.
Perkembangan infrastruktur berupa jalan raya dan jalan bebas hambatan (tol) di
kawasan Jabodetabekpunjur telah menghubungkan seluruh kawasan, baik coreperiphery maupun atar periphery itu sendiri. Namun untuk jalan tol, belum mencapai
Kabupaten Cianjur. Adapun peta jaringan jalan dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Perencanaan Wilayah 2015

| 16

Gambar 2 Peta Rencana Jaringan Jalan Jabodetabekpunjur
Sumber: KemenPU Dirjen Penataan Ruang, 2008
Untuk transportasi umum yang melayani rute antar kota dalam kawasan
jabodetabekpunjur ini, pemerintah telah menyediakan bus umum dengan rute antar
kota maupun antar provinsi. Fasilitas pendukung bus umum berupa terminal tipe-A
juga tersebar di kawasan Jabotabek. Untuk Kota Depok dan Kabupaten Cianjur,
terminal tipe-A ini masih dalam tahap pembangunan. Selain bus umum, terdapat pula
rute kereta api (KA) yang saat ini sudah menghubungkan antar wilayah Jabodetabek
dengan sebutan commuter line. Peta jaringan rel KA dapat dilihat pada gambar di
bawah ini.

Perencanaan Wilayah 2015

| 17

Gambar 3 Peta Rencana Jaringan Jalur Kereta Api Jabodetabekpunjur
Sumber: KemenPU Dirjen Penataan Ruang, 2008
Sedangkan untuk kebutuhan air, kawasan Jabodetabekpunjur memanfaatkan
sumber air yang tersebar di daerah kabupaten Bogor. Persebaran sumber daya air ini
dapat dilihat pada peta berikut.

Perencanaan Wilayah 2015

| 18

Gambar 4 Peta Jaringan Sumber Daya Air Jabodetabekpunjur
Sumber: KemenPU Dirjen Penataan Ruang, 2008
4.2.2

Kebijakan Pola Ruang

Kawasan mega urban Jabodetabekpunjur memiliki kebijakan mengenai pola
ruang yang dapat dilihat pada peta berikut.

Perencanaan Wilayah 2015

| 19

Gambar 5 Peta Pola Ruang Jabodetabekpunjur
Sumber: KemenPU Dirjen Penataan Ruang, 2008
Berdasarkan peta tersebut, kebijakan pola ruang pada Kota Jakarta didominasi
oleh kegiatan perumahan hunian padat, perdagangan dan jasa, industri ringan
nonpolutan dan berorientasi pasar difungsikan sebagai pusat pengembangan kegiatan
ekonomi unggulan. Sedangkan pada bagian selatan Kota Jakarta di alokasikan untuk
perumahan hunian sedang, perdagangan dan jasa, industri padat tenaga kerja dan
diupayakan berfungsi sebagai kawasan resapan air serta perumahan hunian rendah. Hal
yang sama diterapkan juga pada Kota Depok dan Kota Bekasi.
Sedangkan untuk Kabupaten Bekasi, sebagian besar wilayahnya khususnya yang
berbatasan langsung dengan Kota Jakarta dan kota Bekasi di peruntukkan sebagai
perumahan hunian padat, perdagangan dan jasa, industri ringan nonpolutan dan
berorientasi pasar difungsikan sebagai pusat pengembangan kegiatan ekonomi unggulan
serta perumahan hunian sedang, industri padat tenaga kerja dan diupayakan sebagai
kawasan resapan air. Sedangkan sisi lain Kabupaten Bekasi diperuntukkan untuk
kegiatan pertanian lahan basah beririgasi teknis. Untuk bagian Selatan diperuntukkan
sebagai kawasan perumahan hunian rendah, daya dukung lingkungan rendah dan hutan
produksi. Hal yang sama juga diterapkan pada daerah Tangerang Raya dan Kota Bogor.
Perencanaan Wilayah 2015
| 20

Untuk Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur, peruntukan pola ruangnya
didominasi oleh fungsi perumahan hunian rendah, kawasan resapan air, hutan produksi,
kawasan lindung, dan kawasan cagar alam.
4.2.3

Kebijakan Penanggulangan Bencana

Manajemen tata ruang Jabodetabekjur yang terpadu harus dapat diwujudkan,
agar masalah di Kawasan Jabodetabekjur, seperti banjir dapat diatasi bersama.
Berdasarkan pasal 13 Perpres 54 Tahun 2008, sistem pengendalian banjir diarahkan
untuk mengurangi bahaya banjir dan genangan air bagi permukiman, industri,
perdagangan, perkantoran, persawahan, dan jalan.
Strategi pengendalian banjir dilaksanakan dengan pengelolaan sungai terpadu
dengan sistem drainase wilayah, pengendalian debit air sungai, peningkatan kapasitas
sungai, peningkatan fungsi situ-situ dan waduk sebagai daerah penampungan air dan
sistem polder, pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan lindung dan kawasan
budidaya dilaksanakan dengan ketat pada kawasan hulu hingga sepanjang daerah aliran
sungai, pembuatan sudetan sungai dan pengendalian pembangunan pada sempadan
sungai.
Untuk arahan pengembangan prasarana pengendali banjir di Kawasan
Jabodetabekpunjur adalah sebagai berikut
a. reboisasi hutan dan penghijauan kawasan tangkapan air.
b. penataan kawasan sungai dan anak-anak sungainya.
c. normalisasi sungai-sungai dan anak-anak sungainya.
d. pengembangan waduk-waduk pengendali banjir dan pelestarian situ-situ
e. serta daerah retensi air.
f. pembangunan prasarana dan pengendali banjir.
g. pembangunan prasarana drainase.

Perencanaan Wilayah 2015

| 21

Gambar 6 Pembagian kawasan hulu, tengah dan hilir pada Jabodetabekpunjur
Sumber: KemenPU Dirjen Penataan Ruang, 2008
Rencana pengendalian banjir pada Kawasan Jabodetabek yang terpadu adalah
sebagai berikut:
a. Pada bagian hulu (Bogor, Puncak, dan Cianjur) terdapat kebijakan untuk melarang
bangunan di kawasan bantaran sungai dan kawasan lindung lainnya, mengembalikan
fungsi hutan di daerah hulu (Bopunjur) dan membangun waduk di Ciawi Bogor.
b. Sedangkan pada bagian antara hulu dan hilir (Depok, Tangerang, dan Bekasi)
terdapat kebijakan untuk melakukan revitalisasi DAS dan Waduk. Dan bagi
bangunan/perumahan yang sudah ada perlu diadakan relokasi.
c. Untuk bagian hilir (DKI Jakarta), terdapat kebijakan untuk melarang bangunan di
kawasan bantaran sungai dan kawasan lindung, memperkuat sistem drainase dan
pompa, memperkuat tanggul di Jakarta Utara sepanjang 52 km, dan mengoptimalkan
terusan banjir kanal barat dan kanal timur.
Sistem

rencana

pengendalian

banjir

yang

terpadu

pada

kawasan

Jabodetabekpunjur ini akan optimal apabila setiap wilayah yang berada pada kawasan ini
melakukan kebijakan-kebijakan tersebut.
4.3
4.3.1

Metode PenanggulanganJabodetabekpunjur
PenanggulanganUrbanisasi
Permasalahan urbanisasi yang dihadapi Jabodetabek yaitu belum memiliki peraturan

atau program yang khusus menangani urbanisasi. Kebijakan penanganan urbanisasi tidak
terlepas dari berkembangnya permasalahan kependudukan yang terkait dengan urbanisasi,
karena arus migrasi merupakan hak setiap orang dan tidak memungkinkan untuk dilarang
Perencanaan Wilayah 2015

| 22

secara langsung. Pemerintah provinsi yang meliputi beberapa kabupaten/kota sebagai
fasilitator mempunyai wewenang untuk melakukan kegiatan yang terkait dengan urbanisasi,
seperti pengkajian, sosialisasi, fasilitator, memberikan rekomendasi dan atau mengusulkan
rancangan peraturan daerah mengenai:
1. Pengkajian masalah-masalah kependudukan yang ditimbulkan oleh adanya urbanisasi.
Dalam hal ini melaksanakan pendataan dan penelitian di kelurahan padat penduduk di
masing-masing kabupaten/kota.
2. Memfasilitasi penanganan masalah kependudukan di setiap kabupaten/kota yang timbul
oleh adanya arus migrasi dan atau urbanisasi.
3. Melakukan penataan manajemen kependudukan dan merekomendasikannya kepada
kabupaten/kota dengan membuat data base berupa pendaftaran dan pencatatan penduduk
secara komprehensif dengan tujuan sebagai berikut:
Menekan laju migrasi desa-kota (penduduk pendatang/migran) ke kota-kota tujuan di
Jabodetabekpunjur.
Melakukan pengelolaan pelayanan kependudukan yang menyediakan pilihan-pilihan
pelayanan dan jaminan kepastian.
Menyediakan data kependudukan yang up to date.
Memfasilitasi dalam penanganan masalah-masalah yang timbul antar daerah
kabupaten/kota.
Memberi rekomendasi alternatif pola penanganan masalah-masalah kependudukan.
Mempunyai peraturan daerah mengenai penanganan urbanisasi, dan migrasi secara
umum.
4.3.2

PenanggulanganTransportasi
Dalam mengatasi masalah transportasi di kawasan Jabodetabekpunjur, peran

Departemen Pekerjaan Umum perlu di perkuat melalui upaya-upaya jangka pendek dan
jangka panjang sebagai berikut:
Perbaikan manajemen konstruksi berskala besar (jalan tol, busway, saluran/kanal, sarana
komersial/perkantoran, dan sebagainya) yang disertai dengan pengawasan yang ketat
dalam rangka mengurangi hambatan-hambatan sirkulasi;
Percepatan realisasi jalan tol pada ruas-ruas strategis, termasuk ruas-ruas strategis,
termasuk ruas alternatif yang mengarah ke Bandara Sukarno-Hatta dan pelabuhan laut
Tanjung priok.

Perencanaan Wilayah 2015

| 23

Merealisasikan pembangunan simpang-susun di beberapa titik rawan kecamatan, dengan
memperhatikan pula dampak kemacetan sementara yang bakal diimbulkan. Untuk itu,
pembangunan dilakukan secara bertahap dan terdistribusi di beberapa titik;
Mengurangi dampak genangan pada badan jalan (misal melalui pembersihan saluransaluran yang mampat dari sampah, peningkatan kapasitas sungai, dan sebagainya);
Merealisasikan secara konsisten konsep pengembangan hunian vertikal seperti rumah
susun; dan
Melaksanakan koordinasi intensif dengan sektor/instansi yang menangani persoalan
traffic management dan penegakan hukum dalam rangka mengembalikan fungsi dan
kapasitas badan jalan sebagaimana yang seharusnya (misal: melalui penertiban kaki lima,
angkutan umum, pasar tumpah, dan sebagainya)
Instrumen penataan ruang harus digunakan sebagai pendekatan perencanaan pembangunan
dalam penataan kembali kawasan megapolitan Jabodetabek ke depan, termasuk dalam upaya
mengatasi kemacetan. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang
sangat mengedepankan peran penataan ruang sebagai acuan pembangunan, harus dijadikan
momentum penting oleh Departemen PU untuk lebih mengedepankan peran pentaan ruang.
Penataan ruang perlu memberikan perhatian yang besar, diantaranya:
Keterpaduan multi-moda yang lebih mendorong pemanfaatan transportasi publik secara
luas bagi warga Jabodetabek;
Pengembangan budaya bermukim pada rumah susun (hunian vertikal) yang lebih hemat
lahan; dan
Pembatasan pembangunan prasarana dan sarana sosial-ekonomi berskala besar yang
tumbuh pesat dan mempengaruhi struktur ruang kota.
4.3.3

PenanggulanganBencana
DalammengatasipermasalahanbencanapadaJabodetabekpunjurmakadilakukanpenangg

ulanganbencanabanjir di wilayahstudi. Risiko bencana banjir signifikan dibagian utara baik di
Provinsi DKI Jakarta,Jawa Barat maupun Banten. Meliputi zona Budidaya (B1, B6, B7) dan
Nonbudidaya (N1). Juga signi�kan untuk 3 titik Pusat Perkotaan (Jakarta Pusat,kota
Tangerang, kota Bekasi).
 Sangat diperlukan untuk membangun infrastruktur kesiapsiagaanagar masyarakat dapat
lebih tangguh menghadapi bahaya antara lainpenyusunan rencana kontingensi dimana
diperlukan koordinasi antarK/L, dan pelatihan untuk meningkatkan kesiagaan
Perencanaan Wilayah 2015

| 24

masyarakat maupunPemerintah Kecamatan/Kelurahan dalam menghadapi bencana
banjir
 Perlu dipertimbangkan pula pergeseran paradigma menujupenggunaan lahan intensif
(diperlukan arahan tentang intensitas ruang,pengaturan kawasan budidaya dengan
instrumen KZB, KDB, KLB), misalnyapembangunan hunian vertikal (KDB ditekan
sedang,

KLB

besar

atausangat

besar,

KZB

ditekan

sekecil

mungkin),pelarangan/penguranganhunian satu tingkat, transportasi masal, penataan
bantaransungaiCiliwung

melalui

penertiban

bangunan

ilegal,

penerapa

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis Konsep Peningkatan Standar Mutu Technovation Terhadap Kemampuan Bersaing UD. Kayfa Interior Funiture Jember.

2 215 9

Analisis korelasi antara lama penggunaan pil KB kombinasi dan tingkat keparahan gingivitas pada wanita pengguna PIL KB kombinasi di wilayah kerja Puskesmas Sumbersari Jember

11 241 64

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22