ABSTRACT THE IMPLEMENTATION OF RIGHTS FOR VICTIMS OF WRONG ARRESTS BASED ON GOVERNMENT REGULATION NUMBER 922015 By Yosef Caroland, Eko Raharjo, Gunawan Jatmiko

PENERAPAN HAK-HAK KORBAN SALAH TANGKAP BERDASARKAN PP
NOMOR 92 TAHUN 2015
(Studi Putusan Nomor 98/Pid.Prap/2016/PN.Jaksel)

(Jurnal)

Oleh
YOSEF CAROLAND SEMBIRING

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2017

ABSTRAK
PENERAPAN HAK-HAK KORBAN SALAH TANGKAP BERDASARKAN PP
NOMOR 92 TAHUN 2015
Oleh :
Yosef Caroland, Eko Raharjo, Gunawan Jatmiko
Email :yosefcaroland.yc@gmail.com
Sistem Peradilan Pidana (SPP) Indonesia menggunakan pendekatan due process of law

yang bertujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan di masyarakat. Para korban
salah tangkap yang yang berhak mendapatkan haknya bisa menentut ganti kerugian atas
apa yang diterima mereka. Salah satu contohnya adalahpengamen yang dijadikan
korban salah tangkap berhak mendapatkan ganti kerugian yang terdapat pada Putusan
Pra Peradilan Nomor98/Pid.Prap/2016/PN.Jaksel, para korban salah tangkap tersebut
berhak mendapatkan ganti kerugian. Permasalahan penelitian ini adalah apakah dasar
pertimbangan hakim dalam memberikan nominal ganti kerugian bagi korban salah
tangkap dan apakah faktor penghambat dalam melakukan pencairan dana bagi korban
salah tangkap.Pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan ini adalah
pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data primer diperoleh secara langsung
dari penelitian lapanganyakni, wawancara terhadap Hakim Pengadilan Negeri Tanjung
Karang dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, serta
Advokat dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Data sekunder diperoleh dari penelitian
kepustakaan meliputi literatur, peraturan perundang-undangan,dokumenresmi dan lainlain.Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, Hakim menentukan nominal ganti
kerugian bagi korban salah tangkap berdasarkan kerugian yang dialami korban yang
dapat dibuktikan dan faktor penghambat dalam melakukan pencairan dana ganti
kerugian adalah belum adanya aturan yang jelas mengenai mekanisme ganti
kerugiannya. Saran dalam penelitian ini adalah aparat penegak hukum harus lebih
berhati-hati dalam melakukan tindakan penangkkapan agar kejadian seperti ini tidak
terulang. Aparat penegak hukum harus berani dalam mengambil kebijakan dalam proses

pencairan ganti kerugian karena ini menyangkut hak bagi korban salah tangkap.
Kata Kunci : Hak, Ganti Kerugian, Korban Salah Tangkap.

ABSTRACT
THE IMPLEMENTATION OF RIGHTS FOR VICTIMS OF WRONG
ARRESTS BASED ON GOVERNMENT REGULATION NUMBER 92/2015
By
Yosef Caroland, Eko Raharjo, Gunawan Jatmiko
Email :yosefcaroland.yc@gmail.com
The Indonesian Criminal Justice System uses a due process of law approach aims at
enforcing law and justice for the society. In fact, several law enforcement officers still
violate the law and justice, which one of them is false arrests. The guarantee of legal
protection against the wrongful victims has been regulated in the Book of Criminal
Conduct (KUHAP) and Government Regulation No. 27/1983 on the Implementation of
Criminal Procedure Code. The problem in this research is to find out the effectiveness
of Government Regulation No. 92/2015 in accommodating the rights of the victims of
wrongful arrests and also whether the factors impeding Government Regulation No.
92/2015 in making compensation for victims of wrongfully arrested. This research was
conducted by using empirical approach. The data source consisted of secondary data
obtained through informants related to the problem to be investigated using interview

technique. Based on the results and discussion of the research, it can be concluded that
the regulation on policy of compensation in Government Regulation Number 92/2015
has been made to accommodate the rights for the victims of wrongfully arrested. The
Government Regulation No. 92/2015 has succeeded in providing legal certainty in
Indonesia. It further clarifies the existence of legal justice in Indonesia and the
realization of the objective of law in Indonesia in which to provide justice for all
citizens of Indonesia. The granting of compensation for victims of false arrests has
increased nominally in line with the issuance of Government Regulation No. 92/2015,
but the justice has not been fully implemented. The author suggested that in relation to
the policy of compensation for victims of wrongful arrests, the government should
establish the rules of the procedure of giving compensation payments against the
wrongful arrests in accordance with the provisions in Government Regulation No.
92/2015.
Keywords: Rights, Compensation, Victim of False Arrests

I.

PENDAHULUAN

Kejahatan menurut sudut pandang

secara yuridis adalah suatu perbuatan
tingkah laku yang bertentangan dengan
Undang-Undang.
Menurut
sudut
pandang secara sosiologis kejahatan
adalah perbuatan atau tingkah laku yang
selain merugikan si penderita, juga
sangat merugikan masyarakat yaitu
berupa
hilangnya
keseimbangan,
ketentraman dan ketertiban.1
Penegakan hukum pidana Indonesia
pada
dasarnya
bertujuan
untuk
menegakkan hukum dan keadilan di
masyarakat. Penegakan hukum pidana

Indonesia
dilakukan
dengan
menggunakan mekanisme penegakan
yang disebut dengan Sistem Peradilan
Pidana (selanjutnya disebut SPP).
Sistem peradilan pidana Indonesia –
sebagai bentuk dari penegakan hukum
yang
berkeadilan

haruslah
mencerminkan sebuah proses peradilan
yang adil atau due process of law.
Perwujudan due process of law dalam
SPP Indonesia ditandai dengan adanya
perlindungan
terhadap
hak-hak
tersangka atau terdakwa sebagaimana

yang telah diatur di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(selanjutnya disebut KUHAP) serta
dengan adanya asas presumption of
innocent atau asas praduga tidak
bersalah dalam proses peradilan pidana
Indonesia.
Tindakan penangkapan adalah tindakan
hukum yang dilakukan oleh penyelidik
atau penyidik yang bersifat memaksa

1

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana serta Komentar-Komentar Lengkap
Pasal DemiPasal, Politeia, Bogor, 1985, hlm. 2

kepada
seseorang
yang

melakukan tindak pidana.2

diduga

Penangkapan pada dasarnya dapat
dilakukan diawali dengan bukti
permulaan yang cukup. Tanpa adanya
bukti permulaan yang cukup, maka
tindakan penangkapan yang dilakukan
akan menjadi tidak sah. Mengenai bukti
permulaan yang cukup, KUHAP tidak
mengaturnya, melainkan diserahkan
kepada penyidik untuk menentukannya.
Menurut Surat Keputusan Kapolri
dalam
SKEP/04/I/1982,
bukti
permulaan yang cukup merupakan
keterangan dan data yang terkandung
dalam laporan polisi; berkas acara

pemeriksaan di tempat kejadian perkara
(TKP); laoran hasil penyelidikan;
keterangan saksi/ahli dan barang bukti.3
Sedangkan menurut Yahya Harahap
pengertian “bukti permulaan yang
cukup” hampir serupa dengan apa yang
dirumuskan dalam Pasal 183 KUHAP,
yakni berdasarkan prinsip atas batas
minimal pembuktian yang minimal
terdiri dari dua alat bukti.4
Seseorang yang mengalami tindakan
penangkapan yang tidak sah baik
tersangka atau terdakwa berhak
meminta ganti kerugian. Hak untuk
menuntut ganti kerugian pada dasarnya
diberikan sebagai
jaminan agar
seseorang yang ditangkap secara tidak
sah tidak mengalami kerugian.
2


Hartono, Penyidikan & Penegakan Hukum
Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif,
Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hlm. 165.
3
http://agenmakalah.blogspot.sg/2016/08/syar
at-penangkapan-dalam-kuhp.html. Diakses
pada tanggal 8 Februari 2017. Pada pukul 12.10
WIB.
4
M. Yahya Harahap, Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP
(Penyidikan dan
Penuntutan), Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm.
158.

Tuntutan ganti kerugian diatur dalam
Pasal 95 dan Pasal 96 KUHAP yang
pada intinya menentukan bahwa
tersangka, terdakwa atau terpidana

berhak menuntut kerugian karena
ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili
atau dikarenakan tindakan lain, tanpa
alasan yang berdasarkan undangundang
atau
karena
kekeliruan
mengenai orangnya atau hukum yang
diterapkan.
Ketentuan mengenai ganti kerugian
yang diatur dalam PP Nomor 27 Tahun
1983 dianggap sudah tidak relevan
dengan perkembangan saat ini, menjadi
pertimbangan bagi Pemerintah untuk
melakukan
revisi
terhadap
PP
Pelaksanaan KUHAP. Revisi terhadap
PP Pelaksanaan KUHAP menghasilkan

Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun
2015 tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun
1983 tentang Pelaksanaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(selanjutnya disebut PP Ganti Kerugian)
yang diundangkan pada tanggal 8
Desember 2015.
Penangkapan yang tidak sesuai dengan
syarat penangkapan – baik terhadap
prosedur penangkapan, syarat yang
harus
dimiliki,
jangka
waktu
penangkapan dan lainnya – akan
menyebabkan penangkapan menjadi
tidak sah. Fenomena lainnya sebagai
salah satu permasalahan yang sering
terjadi dalam tindakan penangkapan
selain tidak sahnya penangkapan, yaitu
tindakan salah tangkap.
Setiap orang yang mengalami tindakan
salah tangkap berhak untuk menuntut
ganti kerugian. Salah satu contohnya
terdapat pada perkara (Putusan Nomor
98/Pid.Prap/2016/PN.Jaksel),
korban
salah tangkap mendapatkan ganti
kerugian sebesar 36 juta atas kerugian
yang dia terima.

Kronoligis kasus tersebut bermula pada
ditangkapnya 2 pengamen asal Cipulir
yang bernama Andro dan Nurdin, yang
diduga
melakukan
pembunuhan
terhadap salah satu pengamen di Cipulir
dan akhirnya 2 pengamen tersebut
ditangkap dan diadili dan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan menjatuhi
mereka dengan pidana penjara. Kuasa
hukum Andro dan Nurdin melakukan
banding ke pengadilan tinggi dan
memenangkan mereka hingga sampai
pada diperkuatnya putusan pengadilan
tinggi oleh Mahkamah Agung. Setelah
merasa dirugikan akhirnya mereka
melakukan praperadilan untuk menuntut
ganti kerugian atas ketidakadilan yang
mereka terima.5
PP Nomor 92 tahun 2015 hadir untuk
mewujudkan keadilan bagi para korban
salah tangkap. PP Nomor 92 tahun 2015
yang menggantikan PP Nomor 27 tahun
1983 berhasil menjadi obat bagi para
korban salah tangkap yang merasa
mendapatkan perlakuan tidak adil atas
penangkapan mereka.Ketentuan yang
diganti berdasarkan PP Ganti Kerugian
tidak hanya mengenai jumlah nominal
ganti kerugian yang dapat diterima oleh
korban salah tangkap, namun juga
mengenai mekanisme pengajuan dan
pembayaran ganti kerugian korban salah
tangkap. Mekanisme pengajuan dan
pembayaran ganti kerugian korban salah
tangkap berdasarkan PP Ganti Kerugian
pada pokoknya yaitu sebagai berikut:
1. Tuntutan ganti kerugian diajukan
dalam waktu paling lama 3 (tiga)
bulan terhitung sejak tanggal petikan
atau salinan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum
tetap diterima atau terhitung saat
5

http://megapolitan.kompas.com/read/2016/0
8/10/09060571/kisah.pengamen.cipulir.korban
.salah.tangkap?page=all. Diakses pada tanggal
30 Januari 2017. Pada pukul 14.21 WIB.

tanggal pemberitahuan penetapan
praperadilan
apabila
perkara
dihentikan pada tingkat penyidikan
atau tingkat penuntutan;
2. Pembayaran
ganti
kerugian
dilakukan dalam jangka waktu paling
lama 14 (empat belas) hari kerja
terhitung sejak tanggal permohonan
ganti kerugian diterima oleh menteri
yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang keuangan.
Berdasarkan contoh kasus ini terdapat
permasalahan yang menarik, dimana
hakim mengabulkan tidak sampai
setengah dari tuntutan ganti kerugian
yang mereka terima, dan selain itu
masih terdapat permasalahan dimana
proses pencairan dana bagi korban salah
tangkap tersebut belum dapat dilakukan
karena terhambat mekanisme pencairan
dana yang terdapat di dalam Peraturan
Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 983 /KMK.01.1983.
Mengingat bahwa dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 92 tahun 2015 yang
menggantikan Peraturan Pemerintah
Nomor 27 tahun 1983 tentang
pelaksanaan kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana, dimana dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 92 tahun
2015 menyatakan pencairan dana ganti
kerugian dilakukan selama 14 hari dan
itu faktanya para korban salah tangkap
belum menerima ganti kerugian hingga
sekarang.
Berdasarkan hal yang telah diuraikan di
atas, maka penulis tertarik untuk
menelitinya dan menyusunnya ke dalam
penulisan hukum yang hasilnya akan di
jadikan skripsi dengan judul “Penerapan
Hak-Hak korban Salah Tangkap
Berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 92 Tahun 2015 (Studi Putusan
Nomor 98/Pid.Prap/2016/PN.Jaksel)”

Berdasarkan uraian latar belakang
tersebut maka permasalahan yang akan
dibahas dan dikembangkan dalam
penulisan skripsi ini adalah :
1. Bagaimanakah penerapan hak-hak
korban salah tangkap berdasarkan
PP nomor 92 tahun 2015 khususnya
dalam
Putusan
Nomor
98/Pid.Prap/2016/PN.Jaksel ?
2. Apakah yang menjadi faktor
penghambat dalam melakukan
ganti kerugian yang diatur dalam
PP nomor 92 tahun 2015 khususnya
dalam
Putusan
Nomor
98/Pid.Prap/2016/PN.Jaksel ?
Pendekatan masalah yang dipergunakan
dalam penulisan ini adalah pendekatan
yuridis normatif dan yuridis empiris.
Data primer diperoleh secara langsung
dari penelitian di lapangan yang ada
hubungannya dengan masalah yang
diteliti, yakni dilakukan wawancara
terhadap Hakim Pengadilan Negeri
Tanjung Karang dan Dosen Hukum
Pidana Fakultas Hukum Universitas
Lampung,
serta
Advokat
pada
Lemabaga Bantuan Hukum Jakarta.
Data sekunder diperoleh dari penelitian
kepustakaan yang meliputi buku-buku
literatur, peraturanperundang-undangan,
dokumen-dokumen resmi, dll

II. PEMBAHASAN
A. Penerapan
Hak-Hak
Korban
Salah Tangkap Berdasarkan PP
Nomor 92 tahun 2015 dalam
Putusan
Nomor98/Pid.Prap/2016/PN.Jakse)
Negara Indonesia adalah negara hukum
yang menjunjung tinggi nilai-nilai hak
aasi manusia (HAM) yang berlandaskan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945. Dalam menegakkan hukum dan
keadilan negara menerapkan sistem

peradilan pidana yang diatur dalam
kitab undang-undang hukum acara
pidana (KUHAP), dalam mencapai
tujuan agar masyarakat hidup dalam tata
tertib demi keadilan, negara merubah
aturan-aturan hukum sesuai dengan
perkembangan
dan
kebutuhan
masyarakatnya.
Sekalipun negara melakukan perbaikanperbaikan baik itu aturan-aturan hukum
maupun peningkatan sumber daya
manusianya (aparat penegak hukum),
masih juga terjadi rasa ketidakadilan
bagi masyarakat. Kasus-kasus seperti
salah tangkap masih kerap terjadi.
Aparat penegak hukum (dalam hal ini
aparat kepolisian) sering kali bertindak
semena-mena dan mengabaikan hakhak masyarakat. Aparat yang seharusya
melindungi, mengayomi, dan memberi
pelayanan kepada masyarakat justru
melakukan kesalahan, memaksakan
kehendak, menjadikan orang terdakwa
tanpa alat bukti yang sah. Hal ini tentu
saja menimbulkan rasa ketidakadilan
khususnya bagi korban salah tangkap.
Untuk memenuhi rasa keadilan bagi
masyarakat khususnya bagi korban
salah tangkap, maka pemerintah
merubah PP Nomor 27 tahun 1983
menjadi PP Nomor 92 tahun 2015
melalui lembaran negara Republik
Indonesia tahun 2010 Nomor 90,
tambahan lembar Negara Republik
Indonesia Nomor 5145.
Pada PP Nomor 92 tahun 2015 Pasal 9
disebutkan pada :
(1)
Besaranya
ganti
kerugian
berdasaekan
alasan
sebagimana
dimaksud dalam Pasal 77 huruf b dan
Pasal 95 KUHAP paling sedikit
Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah)
dan paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah)(2)
Besarnya
ganti kerugian berdasarkan alasan

sebagimana dimaksud dalam Pasal 95
KUHAP yang mengakibatkan luka berat
atau cacat sehingga tidak bisa
melakukan pekerjaan, besarnya ganti
kerugian
paling
sedikit
Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta
rupiah)
dan
paling
banyak
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah)/
(3)
Besarnya
ganti
kerugian
berdasarkan
alasan
sebagimana
dimaksud dalam pasal 95 KUHAP yang
mengakibatkan mati, besarnya ganti
kerugian
paling
sedikit
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah)
dan
paling
banyak
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah).
Perubahan
ini
dianggap
dapat
memenuhi rasa keadilan bagi korban
salah tangkap terhadap diterbitkannya
PP Nomor 92 tahun 2015 ini Insitute for
Criminal Justice Reform (ICJR)
mengapresiasi perubahan kebijakan ini
yang diharapkan dapat memberikan
keadilan bagi korban atas berbagai
kesalahan dalam penyidikan dan
pengadilan. Selama ini akses korban
atas tuntutan ganti rugi sangat tidak fair.
Paling tidak, PP ini dapat dianggap
sebagai produk hukum transisi dalam
melakukan perbaikan hukum acara
pidana kearah perubahan KUHAP di
masa depan.6
Meskipun dalam hasil praperdilan
hakim hanya mengabulkan 36 juta
untuk masing-masing korban salah
tangkap dimana nominal itu tidak
mencapai setengah dari besaran yang
dituntut oleh kedua korban salah
tangkap tersebut.
6

http://www.gresnews.com/berita/hukum/170
1512-pp-korban-salah-tangkap-terbit-penegakhukum-wajib-profesional/0/. Diakses pada
tanggal 24 April 2017. Pada pukul 20.20 WIB.

Berdasarkan hasil wawancara penulis
dengan Pastra Ziraluo Joseph7 Selaku
Hakim pada Pengadilan Negeri Kelas
1A Tanjung Karang, bahwasanya dalam
menentukan hal apa saja yang dapat
dikabulkan mengenai ganti kerugian
terhadap korban salah tangkap ialah
semua kerugian yang diterima oleh
korban salah tangkap dan dengan
berdasarkan fakta yang terjadi dan dapat
dibuktikan
kebenarannya.
Untuk
penafsiran lebih lanjut mengenai jumlah
angka ganti kerugian Hakim harus
menilainya penilaiannya yang dengan
memenuhi rasa keadilan.
Berdasarkan hasil wawancara penulis
dengan Sanusi8selaku Dosen Fakultas
Hukum Bagian Pidana Universitas
Lampung berpendapat bahwa revisi
terhadap Peraturan Pemerintah Nomor
27 tahun 1983 menjadi Peraturan
Pemerintah Nomor 92 tahun 2015
merupakan suatu langkah yang sangat
baik yang dilakukan oleh lembaga
pembuat Undang-Undang di Indonesia.
Dia juga menambahkan revisi terhadap
Peraturan Pemerintah ini dianggap
sudah dapat memenuhi rasa keadilan
bagi korban salah tangkap dilihat dari
nominal ganti kerugian yang dianggap
sudah memenuhi rasa keadilan dalam
masa sekarang, sekarang tinggal
bagaimana implementasinya terhadap
korban-korban salah tangkap yang
terjadi di Indonesia
Menurut penulis sendiri dengan lahirnya
Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun
2015 atas perubahan terhadap Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983
sudah menunjukkan keinginan untuk
mencapai salah satu tujuan hukum di

Indonesia yakni memberikan rasa
keadilan bagi seluruh rakyat di
Indonesia. Penulis beranggapan angka
nominal ganti kerugian terhadap korban
salah
tangkap
dalam
Peraturan
Pemerintah Nomor 92 tahun 2015 sudah
dianggap pantas dan memenuhi rasa
keadilan pada masa sekarang ini.
Penulis berharap Peraturan Pemerintah
Nomor 92 tahun 2015 ini bisa menjadi
jawaban untuk warga Indonesia yang
mengalami
ketidakadilan
akibat
kesalahan yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum di Indonesia.

B. Faktor yang Menjadi Penghambat
dalam melakukan ganti kerugian
berdasarkan PP Nomor 92 tahun
2015 dalam putusan Nomor
98/Pid.Prap/2016/PN.Jaksel
Teori yang dipakai dalam membicarakan
masalah faktor penghambat dalam proses
pencairan dana bagi korban salah tangkap
yaitu
teori
faktor-faktor
yang
mempengaruhi penegakan hukum dari
soerjono soekanto, yaitu9:
1. Faktor Hukum Sendiri atau peraturan
itu sendiri. Contohnya, asas-asas
berlakunya suatu undang-undang,
belum
adanya
peraturan
yang
mengatur pelaksanaan yang sangat
dibutuhkan untuk menerapkan undangundang, serta ketidakjelasan arti katakata di dalam undang-undang yang
mengakibatkan kesalahpahaman di
dalam penafsiran serta penerapan
undang-undang tersebut.
2. Faktor Penegak Hukum. Yaitu pihakpihak yang membentuk maupun
menerapkan
hukum.
Contohnya,
keterbatasan
kemampuan
untuk

7

Hasil wawancara dengan Pastra Joseph
Ziraluopada tanggal 8 Mei 2017, pukul 09.00
WIB.
8
Hasul wawancara dengan Sanusi pada tanggal
9 Mei 2017, pukul 11.00 WIB.

9

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali
Pers, Jakarta, 2012, hlm 8.

memberikan suatu upaya hukum
kepada korban, tingkat aspirasi yang
relatif belum tinggi, kegairahan yang
sangat teratas untuk memikirkan masa
depan, sehingga sulit sekali untuk
membuat suatu proyeksi.
3. Faktor Sarana atau Fasilitas yang
mendukung
Penegak
Hukum.
Contohnya, kurangnya sumber daya
manusia
yang berkualitas
dan
keterbatasannya
menguasai
ilmu
hukum. Fasilitas pendukung salah satu
contohnya yaitu minimnya pendidikan
yang diberikan kepada masyarakat..
4. Faktor Masyarakat. Yakni faktor
lingkungan dimana hukum tersebut
diterapkan. Contohnya, masyarakat
tidak mengetahui akan adanya upayaupaya hukum untuk melindungi
kepentingan-kepentingannya;
tidak
berdaya untuk memanfaatkan upayaupaya hukum karena faktor-faktor
ekonomi, psikis, sosial atau politik,
dan lain sebagainya.
5. Faktor Kebudayaan. Yakni sebagai
hasil karya, cipta, rasa yang didasarkan
pada karya manusia di dalam
pergaulan hidup. Contohnya nilai
ketertiban dan ketentraman, nilai
jasmaniah/kebendaan
dan
nilai
rohaniah/keakhlakan,nilai
kelanggengan/konservatisme, dan nilai
kebaharuan/inovatisme.
Berdasarkan hasil wawancara penulis
dengan Bunga Siagian10 selaku Advokat
pada Lembaga Bantuan Hukum Jakarta
menyatakan, bahwa Peraturan Pemerintah
92 tahun 2015 sudah bisa menjadi obat
bagi para pencari keadilan terhadap
korban salah tangkap di Indonesia, namun
pada prakteknya muncul permasalahan
baru
yaitu terdapat ketidak pastian
10

Hasil Wawancara Dengan Yus Enidar, Pada
Tanggal 12 Mei 2017, Pukul 09.00 WIB

hukum dalam hal proses pencairan ganti
kerugian, dimana terjadi perbedaan antara
peraturan menteri dengan peraturan
pemerintah. Ketidakpastian itu terletak
pada waktu lamanya pencairan dana ganti
kerugian terhadap korban salah tangkap,
mereka beranggapan untuk pencairan
dana ganti kerugian harus melalui proses
yang tidak mudah yang diatur dalam
Keputusan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 983/KMK.01/1983
tentang Tata Cara Pembayaran Ganti
Kerugian. Hal itu disesalkan oleh
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta karena
proses yang sulit dan berbelit-belit itu
harus membuat Lembaga Bantuan Hukum
Jakarta terpaksa tidak bisa menerima
kasus-kasus permohonan ganti kerugian
yang lain lantaran kasus salah tangkap
yang diterima oleh Andro dan Nurdin ini
belum menemui titik terang mengenai
kapan akan terealisasinya pencairan ganti
kerugian ini.

Keputusan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 983/KMK.01/1983
tentang Tata Cara Pembayaran Ganti
Kerugian yang pada pokoknya dapat
dirincikan sebagai berikut:
1. Ketua
Pengadilan
Negeri
setempat
mengajukan
permohonan penyediaan dana
kepada Menteri Kehakiman Cq.
Sekretariat Jendral Departemen
Kehakiman;
2. Menteri
Kehakiman
Cq.
Sekretariat Jendral Departemen
Kehakiman
mengajukan
permintaan penerbitan Surat
Keputusan Otorisasi (SKO)
kepada Menteri Keuangan Cq.
Direktur Jendral Anggaran;
3. Menteri Keuangan Cq. Direktur
Jendral Anggaran menerbitkan
Surat
Keputusan
Otorisasi
(SKO) atas beban Bagian

Pembiayaan dan Perhitungan
Anggaran Belanja Negara Rutin,
yang kemudian disampaikan
kepada yang berhak (orang atau
ahli warisnya
yang oleh
Praperadilan/Pengadilan Negeri
dikabulkan
permohonannya
untuk
memperoleh
ganti
kerugian);
4. Korban salah tangkap atau ahli
warisnya
mengajukan
permohonan pembayaran kepada
Kantor Perbendaharaan Negara
(KPN)
melalui
Ketua
Pengadilan Negeri setempat;
5. Ketua
Pengadilan
Negeri
meneruskan permohonan kepada
Kantor Perbendaharaan Negara
(KPN); dan
6. Kantor Perbendaharaan Negara
(KPN)
menerbitkan
Surat
Perintah Membayar (SPM)
kepada yang berhak.
Bunga Siagian menambahkan ketika
harus mengikuti tata cara pembayaran
dana ganti kerugian sesuai dengan
peraturan menteri keeuangan tersebut
makan akan menghabiskan waktu yang
sangat
panjang
dan
itu
akan
bertentangan dengan isi dari Peraturan
Pemerintah Nomor 92 tahun 2015 pada
pasal 11 ayat (2) yang menyatakan
“pembayaran ganti kerugian dilakukan
dalam jangka waktu paling lama 14
(empat belas) hari kerja terhitung sejak
tanggal permohonan ganti kerugian
diterima
oleh
menteri
yang
menyelenggarakan urusan pemerintah
dibidang keuangan11
Selain faktor undang-undang, faktor
penegak hukum juga menjadi salah satu
faktor penghambat. Menurut Bunga
11

Peraturan Pemerintah Nomor 92 tahun 2015

Siagian mengatakan bahwa kualitas
para aparat penegak hukum masih
banyak yang kurang dan tidak berani
terkait dengan pelaksanaan putusan
hakim PraPeradilam. Bunga Siagian
menambahkan pihaknya sudah beberapa
kali mencoba mengupayakan meminta
keterangan atas pelaksanaan putusan
tersebut, namun pihaknya tidak
mendapatkan kepastian dari aparat
penegak hukum. Aparat penegak hukum
disini seolah kebingungan dalam
melaksanakan putusan tersebut.
Menurut analisis penulis Menurut
penulis
yang
menjadi
faktor
penghambat dalam melakukan ganti
kerugian akibat salah tangkap yang
diatur dalam PP Nomor 92 tahun 2015
dalam
putusan
Nomor
98/Pid.Prap/2016/PN.Jaksel
adalah
faktor perundang-undangan dan juga
faktor penegak hukum, dimana masih
terdapat ketidakpastian hukum tentang
tata cara pengaturan pencairan dana
akibat salah tangkap yang diatur oleh
dua peraturan yang berbeda. Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 92 tahun 2015
menyebutkan bahwa waktu yang
diterima oleh korban salah tangap untuk
mendapatkan ganti kerugian adalah 14
hari sedangkan dalam mekanisme
pencairan dana ganti kerugian yang
diatur
oleh
Keputusan
Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor
983/KMK.01/1983 tentang Tata Cara
Pembayaran Ganti masih belum
memungkinkan
untuk
melakukan
pencairan dana ganti kerugian dalam
waktu 14 seperti yang ditentukan oleh
Peraturan Pemerintah Nomor 92 tahun
2015.
III. PENUTUP
A. Simpulan
Setelah
melakukan
pembahasan
terhadap data yang diperoleh dalam

penelitian maka sebagaimana penutupan
dari pembahasan atas permasalahan
dalam skripsi ini, penulis menarik
simpulan :
1. Peraturan Pemerintah Nomor 92
tahun 2015 sudah dapat dikatakan
memberikan rasa keadilan bagi
korban salah tangkap dalam hal
pemberian ganti kerugian terhadap
korban salah tangkap. Hal itu dapat
dilihat dari jumlah nominal ganti
kerugian sudah berkembang jauh
daripada jumlah nominal dalam
Peraturaan Pemerintah Nomor 92
tahun 1983. Hal itu semakin
memperjelas eksistensi keadilan
hukum di Indonesia dan semakin
membuat
terealisasinya
tujuan
hukum
di
Indonesia
yakni
memberikan keadilan bagi seluruh
warga negara Indonesia.
Hal itu dapat dilihat dalam isi
putusan
Nomor
98/Pid.Prap/2016/PN.Jaksel dimana
2 korban salah tangkap yaitu Andro
dan Nurdin mendapatkan ganti
kerugian sebesar 36 juta per
orangnya. Meskipun jumlah ganti
kerugian yang diajukan jauh daripada
tuntutan yang mereka tuntut, namun
secara keseluruhan nominal angka
tersebut dianggap sudah dapat
menggantikan
hak-hak
atas
ketidakadilan yang mereka terima
selama
mereka
menjalani
pemeriksaan
sampai
dengan
penuntutan.
2. Terdapat faktor penghambat dalam
proses
pencairan
dana
ganti
kerugian, sebagai berikut :

a. Faktor
Perundang-undangan,
menjadi
penghambat
karena
belum adanya peraturan yang
jelas
mengenai
mekanisme
pencairan dana ganti kerugian.
Adapun peraturan yang dapat
membayar ganti kerugian adalah
Peraturan Menteri Keuangan
Nomor
983/KMK.01/1983
dianggap tidak sesuai lagi karena
membutuhkan waktu yang sangat
panjang dan juga tidak praktis
mengigat
peraturan
menteri
keuangan tersebut dikeluarkan
atas
perintah
Peraturan
Pemerintah Nomor 27 tahun 1983
tentang pelaksanaan kitab undangundang hukum acara pidana
dalam hal ganti kerugian. Hal itu
tidak sejalan dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 92 tahun 2015
karena
Peraturan
Menteri
Keuangan
yang
mengatur
mengenai proses pencairan dana
ganti kerugian tersebut tidak ikut
direvisi.
Dalam
Peraturan
Pemerintah Nomor 92 tahun 2015
dijelaskan pada Pasal 11 ayat (2)
mengenai batas waktu paling lama
negara mencairkan dana ganti
kerugian adalah 14 hari, dan hal
itu tidak mungkin bisa terlaksana
apabila
masih
mengikuti
mekanisme
pencairan
dana
berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan yang lama. Hal itu
menimbulkan ketidakpastian bagi
korban salah tangkap dalam hal
mendapatkan pencairan dana ganti
kerugian.
b. Faktor Penegak Hukum, juga
merupakan penghambat dalam

proses memberikan rasa keadilan
terhadap 2 korban salah tangkap
dalam
putusan
Nomor
98/Pid.Prap/2016/PN.Jaksel,
dimana aparat penegak hukum
terkesan tidak serius dan tidak
dapat
memberikan
jaminan
mengenai kapan waktu pencairan
dana ganti kerugian yang dialami
oleh korban salah tangkap
terealisasikan.
B. Saran
Adapun saran yang perlu diajukan
penulis adalah :
1. Dengan pertimbangan hukum dalam
masyarakat sehingga perlu dilakukan
penyesuaian besaran jumlah ganti
kerugian, maka terbitlah Peraturan
Pemerintah Nomor 92 tahun 2015
yang
menggantikan
peraturan
sebelumnya. Hal ini diharapkan agar
aparat penegak hukum lebih berhatihati dalam menyidik,, bijak dalam
menuntut dan gunakan mata hati
dalam mengadili, karena lebih baik
membebaskan
seribu
penjahat
daripada menghukum satu orang
yang tidak bersalahh
Karena pada kasus salah tangkap,
semua pihak dirugikan, baik korban
maupun negara. Karena walaupun
korban mendapat ganti kerugian
materil, namun secara immateril
tetap saja tidak dapat digantikan
2. Diperlukannya revisi atau perubahan
terhadap
Peraturan
Menteri
Keuangan Nomor 983/PMK.01/1983
dalam hal mekanisme pencairan dana
ganti kerugian, selain itu pemerintah
diharapkan menyediakan anggaran

dana bagi korban salah tangkap,
sehingga korban pencari keadilan
tidak merasa dipersulit dalam hal
menuntut haknya mendapatkan ganti
kerugian atas apa yang mereka
terima sebagai korban salah tangkap.

DAFTAR PUSTAKA
Hartono.
2012.
Penyidikan
&
Penegakan
Hukum
Pidana
Melalui
Pendekatan
Hukum
Progresif. Jakarta: Sinar Grafika.
M.

Yahya Harahap, Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan
KUHAP
(Penyidikan
dan
Penuntutan),
Jakarta:
Sinar
Grafika, 2006, hlm. 158.

Soesilo, R. 1985. Kitab UndangUndang Hukum Pidana Serta
Komentar Komentar Lengkap
Pasal Demi Pasal. Bogor: Polteia.
Soekanto, Soerjono. 2008. Faktor-faktor
yang mempengaruhi penegakan
hukum. Jakarta: PT Grafindo
Persada.
Perundang-Undangan
Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Peraturan
Pemerintah
Republik
Indonesia Nomor 92 tahun 2015
tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 27
tahun 1983 tentang Pelaksanaan
Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana
Peraturan
Pemerintah
Republik
Indonesia Nomor 27 Tahun 1983
tentang
Pelaksanaan
Kitab

Undang-Undang Hukum Acara
Pidana
Peraturan
Menteri
Keuangan
893/KMK.01/1983 tentang tata
cara pembayaran ganti kerugian
Sumber lain
http://www.gresnews.com/berita/hukum
/1701512-pp-korban-salahtangkap-terbit-penegak-hukumwajib-profesional/0/.
Diakses
pada tanggal 24 April 2017. Pada
pukul 20.20 WIB.
http://megapolitan.kompas.com/read/20
16/08/10/09060571/kisah.pengam
en.cipulir.korban.salah.tangkap?p
age=all. Diakses pada tanggal 30
Januari 2017. Pada pukul 14.21
WIB
http://agenmakalah.blogspot.sg/2016/08
/syarat-penangkapan-dalamkuhp.html. Diakses pada tanggal 8
Februari 2017. Pada pukul 12.10
WIB.

Dokumen yang terkait

Abstract LAW ENFORCEMENT BY POLICE AGAINST CRIME MOTOR VEHICLE THEFT WITH VIOLENCE (STUDY IN POLRES EAST LAMPUNG) By Rama Adi Putra,Sunarto,Gunawan Jatmiko (email:ramaraprapgmail.com)

0 0 12

PERANAN AHLI TOKSIKOLOGI FORENSIK DALAM UPAYA PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA Oleh Mirna Andita Sari, Eddy Rifai, Gunawan Jatmiko Email: mirnaanditagmail.com Abstrak - PERANAN AHLI TOKSIKOLOGI FORENSIK DALAM UPAYA PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PE

0 0 12

ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA (Studi di Wilayah Hukum Bandar Lampung) Ernita Larasati, Eko Raharjo S.H., M.H., Gunawan Jatmiko S.H., M.H. email: (ernita1995gmail.com) Abstrak - ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERH

0 0 8

ABSTRACT POLICY ANALYSIS FORMULATION OF THE ACT WHICH OBSTRUCT THE TRIAL (CONTEMPT OF COURT) IN THE INDONESIAN JUSTICE SYSTEM By Dimas Abimayu, Erna Dewi, Eko Rahardjo Email : dabimayu.dagmail.com

0 0 14

ABSTRACT THE LAW ENFORCEMENT AGAINST CORRUPTORS BY THE CORRUPTION COURT IN LAMPUNG By Della Rahmaswary, Eddy Rifai, Diah Gustiniati Email : dellarahmasyahoo.co.id

0 0 15

ABSTRACT CRIMINOLOGICAL ANALYSIS OF RAPE CRIME AGAINST CHILDREN IN THE DISTRICT COURT OF KALIANDA JURISDICTION By Arief Satria Wibowo, Sunarto, Firganefi Email : ariefsatriawibowo96gmail.com

1 0 14

ABSTRACT ANALYSIS ADDITIONAL CRIMINAL ON PERSON OF SEXUAL VIOLENCE AGAINST CHILDREN BASED ON GOVERNMENT REGULATION IN LIEU OF LAW NUMBER 17 YEAR 2016 By Andre Rinaldy.T , Nikmah Rosidah, Damanhuri.WN

0 0 12

ABSTRACT THE POLICE ROLE IN THE ERADICATION OF CRIMINAL ACT ONLINE PROSTITUTION BY HIGH SCHOOL STUDENTS IN BANDAR LAMPUNG (Study at Bandar Lampung Police) By Tutut Wuri Hastuti

0 0 16

ABSTRACT CRIMINALOGICAL ANALYSIS CRIMINAL ACT OF ABUSE UNDERTAKEN A FATHER TO BOY BLADDER by Riska Putri Mulya, Firganefi, Eko Raharjo Email : riskaputrimulyagmail.com

0 0 13

ABSTRACT THE EFFORTS OF CUSTOMS PORT OF PANJANG IN PREVENTING DRUG SMUGGLING By ANNISA DRAHIKA

0 1 15