ABSTRACT THE LAW ENFORCEMENT AGAINST CORRUPTORS BY THE CORRUPTION COURT IN LAMPUNG By Della Rahmaswary, Eddy Rifai, Diah Gustiniati Email : dellarahmasyahoo.co.id

  

ABSTRAK

PENEGAKAN HUKUM OLEH PENGADILAN TIPIKOR

TERHADAP KORUPTOR DI LAMPUNG

Oleh

Della Rahmaswary, Eddy Rifai, Diah Gustiniati

  

Email :

Korupsi di Indonesia sudah ada sejak lama, baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan,

era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi. Berbagai upaya telah

dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh dari memuaskan.

Ditengah gencarnya agenda pemberantasan korupsi, kita dihadapkan pada penegakan

hukum dalam kasus korupsi ini yang cukup paradoksal dan masih jauh dari rasa keadilan

masyarakat. Salah satunya adalah semakin menggejalanya vonis hakim pengadilan negeri

yang menjatuhkan vonis ringan, bahkan sampai ada beberapa vonis bebas terhadap

terdakwa kasus korupsi. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah:

Bagaimana penegakan hukum oleh pengadilan tipikor terhadap koruptor di Lampung?

Apakah yang menjadi faktor penghambat dalam penegakan hukum oleh pengadilan

tipikor terhadap koruptor di Lampung? Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis

normatif dan empiris. Penelitian normatif dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat teoritis

asas-asas hukum, sedangkan pendekatan empiris yaitu dilakukan untuk mempelajari

hukum dalam kenyataannya baik berupa penilaian perilaku. Berdasarkan hasil penelitian

dan pembahasan maka dapat diketahui bahwa : Penegakan hukum oleh Pengadilan

Tipikor Pada Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjung Karang dalam penjatuhan pidana

terhadap koruptor yakni dengan dua cara yakni dengan cara yakni 1. Formulasi Dari segi

formulasi tentunya berbicara mengenai fungsi legislatif dalam membuat satu peraturan

perundang-undangan dalam hal ini dari segi formulasi sudah ada dasar hukum dalam

mengadili perkara tipikor yakni Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, 2 Aplikasi Pada tahap aplikasi tersebut dimaksudkan

dimana peraturan yang dibuat tersebut agar dapat dijalankan maksimal oleh penegak

hukum termasuk ketika penegak hukum khususnya hakim dalam melaksanakan

penegakan hukum secara maksimal kepada pelaku korupsi. yaitu antara lain dengan

pemidanaan secara maksimal maupun dalam melakukan perampasan aset terhadap pelaku

tindak pidana korupsi. dan terakhir 3 Tahap Eksekusi disini hakim berwenanng

menjatuhkan hukuman yang setimpal apabila perbuatan terdakwa tersebut telah

merugikan banyak pihak dan berpotensi akan menjadi penjahat kambuhan. Faktor

penghambat dalam penegakan hukum oleh Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri

Kelas I A Tanjung Karang dalam penjatuhan vonis pidana yakni lebih disebabkan oleh

faktor 1. faktor hukumnya sendiri meliputi adanya dualisme pengadilan yang mengadili

tindak pidana korupsi yakni Peradilan tipikor di pusat dan juga wewenang pengadilan

negeri untuk mengadili tindak pidana korupsi, 2. Faktor Aparatur Penegak Hukum

meliputi masih kurangnya aparatur penegak hukum di daerah Karena terbatasnya

penyidik dan penuntut dari KPK. 3 Faktor Sarana Atau Fasilitas Yang Mendukung

Penegakan Hukum, 4 Pola Rekrutmen dan Peningkatan Kapasitas Kompetensi yang

masih kurang memadai, 5 Masih Banyaknya Mafia Peradilan. Saran penulis adalah:

Perlunya penyiapan SDM penyidik, Jaksa Penuntut Umum dan Hakim yang kredibel dan

berkapasitas.

  Kata Kunci : Penegakan Hukum, Pengadilan Tipikor, Penjatuhan Pidana

  

ABSTRACT

THE LAW ENFORCEMENT AGAINST CORRUPTORS BY THE

CORRUPTION COURT IN LAMPUNG

By

Della Rahmaswary, Eddy Rifai, Diah Gustiniati

  

Email :

Corruption crime in Indonesia has been existed for a long time, before and after

independence, the Old Order era, the New Order era,and it continued to the Reformation

era. There are various efforts that have been made to combat corruption, but the results

are far from satisfactory. In the midst of anti-corruption agenda, unfortunately, the law

enforcement against corruption crime is quite paradoxical and still far from the sense of

community justice. It is indicated by verdicts of the judges of district court that sentenced

the perpetrators with a light sentence, even some if them were freed. The problems in this

research are formulated as follows: How is law enforcement against corruptors by

Corruption Court in Lampung? Andwhat are the inhibiting factors in law enforcement

against corruptors by Corruption Court in Lampung? This research used normative and

empirical approaches. Thenormative research was done on the theoretical matters of legal

principles, while the empirical approach was done by studying the law in form of

behavioraland the assessment. Based on the results and discussion of the research, it can

be concluded that: Thr law enforcement on Corruption Court At the District Court Class

  

IA of Tanjung Karang has formulated two ways in imposing penalties against the

corruptors, namely: 1. Formulation.This is the legislative function in establishing a rule of

Legislationwith the legal basis of Law Number 46/2009 on Corruption Crime Court, 2.

Application. At the application stage, it is intended that the legislations are to be run

maximally by the law enforcement officers, particularly the judges in putting sentences

against the perpetrators of corruption by maximizing the sentences or in taking assets of

the perpetrators of corruption. 3. Execution. The judges have the authority to impose

appropriate sentences if the corruptorscauseharms to many parties and potential to be

criminals relapse. The inhibiting factors in the law enforcement against corruptors by

Corruption Court At the District Court of Class IA of Tanjung Karang, included: 1. Legal

factoritself whichis the dualism of the courts that prosecute corruption act namely

Corruption Court in central government and the authority of the district court to

adjudicate the corruption crime, 2. Factors of Law Enforcement officers which is the

insufficient number of law enforcement officers in the region due to the limited

investigators and prosecutors of the Corruption Eradication Commision (KPK), 3 Factor

of infrastructure orfacilities that support the law enforcement, 4. The recruitment patterns

and the incomplete Capacity Building Competencies, 5.The existence of Judicial Mafia.

The researcher suggests that it is neessary to add the number of human resource

investigators, public prosecutors and judges with credibility and capacity.

  Keywords: Law Enforcement, Corruption Court, Criminal Arrest

I. PENDAHULUAN

  Korupsi di Indonesia sudah ada sejak lama, baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan, era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh dari memuaskan. Di masa kerajaan dulu, sudah ada kebiasaan mengambil "upeti" dari rakyat kecil, yang terus berlanjut di masa Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 - 1942) dan Zaman Inggris (1811 - 1816). Akibat kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda, misalnya perlawanan Diponegoro (1825 -1830), Imam Bonjol (1821 - 1837), Aceh (1873 - 1904) dan lain-lain.

  (extra ordinary crime). Karena itu perlu dihadapi dan ditangani dengan cara-cara yang luar biasa (extra judicial action). Perlakuan dan penanganan hukumnya pun harus dengan tindakan yang tegas dan berani dari para aparatur penegak hukumnya.

  korupsi, kita dihadapkan pada penegakan hukum dalam kasus korupsi ini yang cukup paradoksal dan masih jauh dari rasa keadilan masyarakat. Salah satunya adalah semakin menggejalanya vonis hakim pengadilan negeri yang menjatuhkan vonis ringan, bahkan sampai ada beberapa vonis bebas terhadap terdakwa kasus korupsi. 1 Topo Santoso, Penulisan Karya Ilmiah Urgensi

  Pembenahan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Dalam Mewujudkan Good Governance, Badan Pembinaan Hukum Nasional Puslitbang, Jakarta, 2011 2 http://umarsholahudin.com/eksaminasi-publik- terhadap-putusan-pengadilan-kasus-tindak- pidana-korupsi-dalam-perpesktif-hukum-

  Munculnya vonis ringan atau bebas, mulai dipantau masyarakat pada tahun 2008. Pada tahun 2008, Indonesia Corruption Wacth (ICW) pernah memantau kinerja lembaga pengadilan umum. Hasilnya; terdapat 94 perkara korupsi dengan 196 terdakwa yang diperiksa dan diputus (divonis) oleh pengadilan di seluruh Indonesia, mulai tingkat pertama hingga kasasi. Nilai kerugian negara dari perkara yang diperiksa dan diputus pengadilan diperkirakan mencapai Rp 1,196 triliun. Di antara 196 terdakwa korupsi yang telah diperiksa dan diputus, 104 terdakwa (53 persen) divonis bebas/lepas oleh pengadilan. Hanya 92 terdakwa (47 persen) yang akhirnya divonis bersalah. Namun, dari 92 terdakwa korupsi yang akhirnya diputus bersalah tersebut, bisa dikatakan belum memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi. Terdakwa yang divonis kurang dari satu tahun penjara sebanyak 36 orang (18,3 persen), lebih dari 1,1-2 tahun 40 terdakwa (20,4 persen), divonis 2,1-5 tahun 5 terdakwa (2,5 persen), serta divonis 5,1-10 tahun 4 terdakwa (2,04 persen). Hal yang menarik, terdapat tujuh terdakwa kasus korupsi yang divonis percobaan (3,57 persen). Secara rata-rata, vonis penjara yang dijatuhkan pengadilan umum adalah 6,43 bulan penjara.

1 Korupsi adalah kejahatan luar biasa

2 Gencarnya agenda pemberantasan

  3 Berdasarkan catatan ICW, per 1 Agustus

  2012, sedikitnya 71 terdakwa korupsi telah divonis bebas oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Vonis bebas tersebut terbesar terutama di Surabaya sebanyak 26 terdakwa, menyusul Samarinda 15 terdakwa, kemudian Semarang dan Padang masing-masing 7 terdakwa. Dan Bebasnya terdakwa korupsi Djajadi menjadi preseden buruk dan sekaligus alarm bagi pemberantasan 3 Ibid, hlm. 5 korupsi di Jatim. Dan yang paling fenomenal ada di Semarang. Di kota itu ada tujuh perkara korupsi, lima di antaranya divonis bebas. Kondisi ini menjadi keprihatinkan kita semua dan menjadi alarm bagi agenda pemberantasan korupsi di Indonesia.

  terhadap maraknya tindak pidana korupsi maka perlu dibentuk pengadilan ad hoc tindak pidana korupsi dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137) mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dijelaskan bahwa di Indonesia perlu dibentuk suatu pengadilan khusus yang menangani kasus korupsi. Pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 155) tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa peradilan yang menangani masalah korupsi tidak berdiri sendiri dibawah Mahkamah Agung melainkan pengadilan korupsi merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum.

  Upaya penegakan hukum ini dilakukan dengan jalan membentuk suatu badan peradilan yang independen dalam menangani permasalah khususnya seperti tindak pidana korupsi, agar badan peradilan tersebut dapat bertindak sesuai koridor hukum sehingga rekayasa penguasa dapat dihilangkan. Berdasarkan ideologi pancasila keadilan tidak boleh dibedakan atas dasar latar belakang sosial, ekonomi, politik, ideologi, etnisitas, ras, agama, warna kulit, maupun gender. 4 Ibid

  Hakim sebagai aparat penegak hukum di lembaga peradilan mempunyai peran yang sangat penting dalam usahanya untuk memberantas suatu kejahatan tindak pidana korupsi. Di sini hakim tidak hanya memberi sanksi bagi para koruptor tetapi juga mempunyai peran untuk memberikan efek jera bagi pelanggar hukum. Peran hakim yang sangat penting ini mengakibatkan timbunya suatu permasalahan baru, karena kredibilitas dan moralitas seorang hakim sebagai aparat penegak hukum dipertaruhkan. Penegakan Hukum dalam rangka mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan di Indonesia maka perlu adanya pembentukan hakim

4 Berkaitan dalam langkah mengatasi

  ad hoc di lingkungan pengadilan tindak

  pidana korupsi. Sesuai Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa penyelesaian kasus korupsi di pengadilan khusus terdiri dari dua komponen hakim yaitu hakim karier yang diangkat oleh Mahkamah Agung berdasar Pasal 10 ayat (2) dan hakim ad

  hoc yang berdasar pada Pasal 10 ayat (4)

  Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi diangkat oleh Presiden atas usulan dari Mahkamah Agung.

  Hakim ad hoc dalam pengadilan tindak pidana korupsi akan membantu peran hakim karier yang diangkat oleh Mahkamah Agung. Hakim ad hoc yang terpilih akan melakukan tugasnya untuk menegakkan keadilan sesuai dengan keahlian pada kasus tertentu.

  Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibentuk berdasarkan ketentuan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ini merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum dan pengadilan satusatunya yang memiliki kewenangan mengadili perkara tindak pidana korupsi yang penuntutannya dilakukan oleh penuntut umum. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi akan dibentuk di setiap ibu kota kabupaten/kota yang akan dilaksanakan secara bertahap mengingat ketersediaan sarana dan prasarana. Namun untuk pertama kali berdasarkan Undang- Undang ini, pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dilakukan pada setiap ibukota provinsi.

  Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibentuk sebagai upaya untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dinilai semakin meluas dan sistematis. Hakim menjadi satu subjek penting dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi melalui pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi. Namun pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di sejumlah daerah telah menimbulkan kekhawatiran terkait dengan jumlah hakim yang ada, khususnya hakim ad hoc dikaitkan dengan maraknya putusan ringan di sejumlah pengadilan.

  Putusan vonis hukuman ringan kepada salah satu terdakwa korupsi pengadaan 93 paket perlengkapan sekolah di Dinas Pendidikan Lampung tahun anggaran 2012 senilai 17,7 milyar dengan nilai kerugian negara sebesar 6,4 milyar rupiah ini diberikan Majelis Hakim kepada terdakwa Hendrawan selama 1 (satu) tahun dan dua bulan kurungan penjara atau lebih ringan 4 bulan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Kepada terdakwa hakim juga mengenakan denda sebesar 50 juta rupiah dengan ketentuan jika denda tak dibayar digantikan penjara selama tiga bulan.

  5 Majelis Hakim Pengadilan Tipikor

  Tanjungkarang menghukum anggota Agus Sujatma selama 1 (Satu) tahun penjara. Politisi Partai tersebut dinyatakan bersalah melakukan korupsi dalam proyek Kios Mini Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP)

  "Mengadili. Menjatuhkan vonis selama satu tahun penjara kepada terdakwa dan memerintahkan agar terdakwa ditahan," kata Ketua Majelis Hakim Nelson Panjaitan, Selain itu, majelis hakim juga menyatakan agar terdakwa membayar denda sebesar Rp 50 juta. Denda ini bilamana tidak dibayar, diganti dengan hukuman selama empat bulan penjara. Proses persidangan terungkap, dalam perkara proyek senilai Rp 1,7 miliar ini Agus Sujatma selaku pemberi modal dibantu Raden Ery (sudah divonis) mencari perusahaan untuk mengajukan penawaran. Agus juga memberikan uang kepada kepala DKP untuk mengikuti proses lelang.

  6 Terakhir dua orang mantan Kepala Unit

  Pelayanan Teknis Dinas (UPTD) Pelabuhan Perikanan pada Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung, Herman Tamin (46) dan Marcello M Said (52), divonis 12 bulan penjara, karena terbukti melakukan korupsi.

  5 http://www.radartvnews.com/jn-j7khakim- kembali-vonis-ringan-hukuman-terdakwa- pelaku-korupsiwx/ 6 http://lampung.tribunnews.com/2016/03/21/ sidang-kasus-korupsi-dkp-anggota-dprd-agus- Proses Pada sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Tanjungkarang di Bandarlampung, keduanya dinyatakan majelis hakim terbukti bersalah melakukan korupsi dengan tidak menyetorkan uang ke kas daerah sebagai pendapatan asli daerah (PAD) yang berasal dari retribusi nelayan.

7 Melihat fenomena vonis ringan diatas

  jelas akan menciderai arti pemberantasan korupsi yang selama ini didengungkan oleh pemerintah. Peradilan ad hoc tipikor yang dibentuk didaerah-daerah seakan tidak mampu memberikan efek jera kepada koruptor kalu sudah begini jelas akan menjadi sebuah tanda tanya ada apa dengan penegakan hukum yang dilakukan pengadilan ad hoc tipikor. Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka penulis akan melakukan penelitian dan menuangkannya ke dalam skripsi berjudul :

  “Penegakan Hukum Oleh Pengadilan Tipikor Terhadap Koruptor di

  Lampung” Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a.

  Bagaimanakah penegakan hukum oleh pengadilan tipikor terhadap koruptor di Lampung? b. Apakah yang menjadi faktor penghambat dalam penegakan hukum oleh pengadilan tipikor terhadap koruptor di Lampung?

  Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan empiris. Penelitian normatif dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat teoritis asas-asas hukum, sedangkan pendekatan empiris yaitu dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataannya baik berupa

  

  penilaian perilaku. Sumber data dalam penulisan skripsi ini diperoleh dari dua sumber, yaitu data lapangan dan kepustakaan dengan jenis data primer dan data sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Datanya selanjutnya di analisis secara deskriptif kualitatif.

  II. PEMBAHASAN A. Penegakan Hukum Oleh Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjung Karang Dalam Penjatuhan Pidana Terhadap Koruptor

  Usaha penanggulangan kejahatan pada hakekatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana) yang dilaksanakan melalui sistem peradilan pidana, yang terdiri dari subsistem Kepolisian, subsistem Kejaksaan, subsistem Kehakiman dan subsistem Lembaga Pemasyarakatan. Sebagaimana suatu peradilan, peradilan pidana diartikan sebagai suatu proses yang bekerja dalam beberapa lembaga penegak hukum yaitu sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, kegiatan tersebut adalah meliputi kegiatan bertahap dimulai dari penyidikan oleh Polisi, penuntutan oleh Jaksa, pemeriksaan disidang pengadilan oleh Hakim dan pelaksanaan putusan hakim oleh Lembaga Pemasyarakatan.

  Penegakan hukum adalah proses yang tidak sederhana karena didalamnya terlibat subyek hukum yang mempersepsikan hukum menurut kepentingan masing-masing. Faktor moral sangat penting dalam menentukan corak hukum suatu bangsa. Hukum dibuat tanpa landasan moral dapat dipastikan tujuan hukum yang berkeadilan tidak mungkin terwujud. Penegakan hukum sebagai suatu upaya penanggulangan kejahatan akan dituang- kan dalam suatu kebijakan yang disebut dengan kebijakan kriminal atau politik kriminal. Kebijakan penanggulangan kejahatan atau juga disebut criminal

  policy adalah sebagian daripada kebija- kan sosial atau social policy.

  Sistem rekrutmen hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi harus direvisi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi., hal itu harus dilakukan agar integritas, kualitas, dan kapasitas hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi untuk menegakkan hukum dapat terbentuk dengan baik.

  Sering kali tiga unsur tersebut saat ini kurang diperhatikan saat merekrut hakim Tindak Pidana Korupsi. Padahal, tiga unsur tersebut penting untuk menyeleksi apakah seorang hakim Tindak pidana korupsi memiliki kemampuan dan kapasitas yang baik dalam dirinya untuk menjadi penegak hukum. Oleh karena itu, ke depan diharapkan hakim Tindak pidana korupsi lebih peka kepada upaya pemberantasan korupsi melalui putusan- putusan yang responsif, yang memiliki dimensi humanisasi, liberasi, dan transtendensi yang kemudian dibungkus dengan satu istilah yaitu hukum progresi. Pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) daerah tidak perlu dibubarkan. seharusnya dilakukan saat ini adalah mengevaluasi, baik dari sisi manajemen, maupun hakim-hakim ad hoc pengadilan tipikor di daerah. sebagai lembaga baru, pengadilan tipikor memang harus mendapat perhatian khusus dari beberapa lembaga pengawas peradilan seperti Mahkamah Agung, Komisi

  Yudisial, atau Komisi Pemberantasan Korupsi.

  8 Secara rasional, yang harus diperhatikan

  adalah perbaiki strukturnya terlebih dahulu, apakah itu struktur manajemen- nya, sumber daya manusianya. Jangan terlalu gampang membubarkan sistem karena justru akan membuat kacau postur negara ini. Terlebih lagi, sekarang sudah banyak lembaga baru. Lihat saja setiap undang-undang itu pasti ada lembaganya. Ini yang kita hindari agar tidak merusak tatanan negara, dan harus bijaksana dalam menyikapi hal ini. Di dalam melakukan pembenahan Pengadilan Tipikor maka yang perlu dibahas di sini adalah tentang : a)

  Struktur dan kedudukan pengadilan tipikor; b)

  SDM penyidik, Jaksa Penuntut Umum dan hakim; dan

  c) Masalah persepsi dan konseptual tentang korupsi.

  Terkait struktur dan kedudukan, ada beberapa alternatif yaitu: 1)

  Pengadilan Tipikor daerah seluruhnya dibubarkan dan hanya ada satu pengadilan Tipikor di Jakarta seperti pada masa lalu;

  2) Pengadilan Tipikor tetap seperti saat ini yaitu ada di setiap daerah, khususnya pada tahap awal di setiap ibukota provinsi;

  3) Dilakukan rayonisasi seperti halnya Pengadilan HAM.

  Alternatif pertama kelebihannya adalah pada pengawasan yang sangat kuat dari seluruh stake holder, khususnya dari Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Lembaga Swadaya Masyarakat dan media massa. Juga tidak sulit mencari 8

  http://nasional.kompas.com/read/2011/11/05/12 553580/Jimly.Pengadilan.Tipikor.Daerah.Tak.Pe hakim baik yang karir maupun hakim ad hoc. Penyidikan dan penuntutan atas perkara korupsi yang akan dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor pun kualitasnya dapat lebih terjamin. Pengaruh dari mafia hukum dapat lebih teredusir karena pengawasan yang dilakukan banyak pihak. Alternatif pertama ini juga memiliki kekurangan, yaitu banyaknya perkara korupsi di seluruh tanah air tidak mungkin ditangani oleh satu pengadilan tipikor saja di Jakarta. Jarak yang demikian jauh dari daerah ke Jakarta juga menjadi kendala yang berat jika seluruh perkara harus diadili di Jakarta. Berbagai kendala lanjutan juga muncul, misalnya menghadirkan saksi-saksi dari berbagai daerah di Indonesia juga menyulitkan, menyita biaya yang tinggi dan persoalan teknis lainnya. Alternatif kedua, yaitu Pengadilan Tipikor tetap seperti saat ini. Ini juga memiliki kelebihan yaitu semakin mendekatkan jarak dan memudahkan penghadiran saksi, penahanan, pengumpulan bukti-bukti oleh penyidik dan sebagainya. Masalahnya, jumlah hakim berkualitas sangat sulit dilakukan di daerah. Pengawasan dari berbagai pihak tidak terlalu bisa dilakukan dengan efektif. Pengaruh dari mafia hukum lebih besar potensinya karena pengawasan yang kurang. Alternatif terbaik menurut hemat saya adalah rayonisasi. Kelebihannya adanya pengawasan dari Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, LSM dan masyarakat luas lebih baik, penyediaan atau recruitmen hakim yang kredibel dan punya kapasitas lebih mudah, penyediaan penyidik dan Jaksa Penuntut Umum yang kredibel dan punya kapasitas lebih mudah, mempersempit peluang mafia hukum beraksi. Menurut analisis peneliti bahwa berkenaan dengan penegakan hukum yang dilakukan oleh hakim dalam menjatuhkan vonis terdakwa yang melakukan tindak pidana korupsi hendaknya tidak pandang bulu dan juga harus kebal terhadap intervensi dari pihak manapun, peneliti melihat perkara korupsi tersebut rawan intervensi dan politisasi, oleh karena itu dibutuhkan SDM yang baik dan berkualitas dalam menangani perkara korupsi tersebut agar penegakan hukum teserbut berjalan maksimal.

  B. Faktor Penghambat Dalam Penegakan Hukum Oleh Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjung Karang Dalam Penjatuhan Vonis Pidana Terhadap Koruptor

  Pengadilan Tipikor pada awalnya diharapkan mampu menjawab keinginan masyarakat Indonesia guna mewujudkan suatu Pengadilan Khusus bagi para pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia. Sejak awal pembentukannya sampai saat ini, tercatat berbagai masalah telah dijumpai. Pada bagian terdahulu, ada keinginan dari beberapa ahli untuk mewujudkan penguatan di Pengadilan Tipikor ini.

  Penegakan hukum yang berkeadilan sarat dengan etis dan moral. Penegasan tidak beralasan selama kurun waktu lebih dari empat dasawarsa bangsa ini hidup dalam ketakutan, ketidakpastian hukum dan hidup dalam intimitas yang tidak sempurna antar sesama. Penegakan hukum adalah proses yang tidak sederhana karena didalamnya terlibat subyek hukum yang mempersepsikan hukum menurut kepentingan masing-masing. Faktor moral sangat penting dalam menentukan corak hukum suatu bangsa. Hukum dibuat tanpa landasan moral dapat dipastikan tujuan hukum yang berkeadilan tidak mungkin terwujud. Soerjono Soekanto mengatakan bahwa penegakan hukum adalah sarana yang didalamnya terkandung nilai atau konsep tentang keadilan, kebenaran, kemanfaatan sosial dan kandungan hukum bersifat abstrak. Penegakan hukum secara konkret merupakan berlakunya hukum positif dalam praktek sebagaimana seharusnya dipatuhi. Oleh karena itu keberhasilan penegakan hukum dipengaruhi oleh 5 faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu: a.

  Faktor hukumnya sendiri; b.

  Faktor penegak hukum, yaitu pihak yang membentuk maupun menetapkan hukum; c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; d.

  Faktor masyarakat yakni, lingkungan dimana hukum tersebut berlaku dan diterapkan; e. Faktor kebudayaan yakni, sebagai hasil karya cipta rasa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup.

  yang dilapangan yang dilakukan oleh tim peneliti di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjung Karang.

  Setelah Putusan MK No. 012-016- 019/PUU-IV/2006 yang menyatakan

  pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002 bertentangan dengan konstitusi maka kasus korupsi tidak bisa diadili di dua 9 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang

  mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Raja

  pengadilan yang berbeda yaitu Pengadilan tipikor Jakarta dan pengadilan umum. Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagai pengadilan yang memiliki kompetensi untuk memeriksa perkara-perkara Tipikor dilatarbelakangi oleh semangat pembaruan untuk memberantas Tindak Pidana Korupsi yang marak di Indonesia.

  Hal ini tercermin dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

  Pada tahun 2006, melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016- 019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006 Pembentukan Pengadilan Tipikor dalam UU 30 Tahun 2002 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.

  Penbentukan Pengadilan Tipikor harus dibentuk dengan undang-undang khusus yang terpisah dari UU 30 Tahun 2002, dengan demikian lahirlah UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Pengadilan Tipikor harus sudah terbentuk di 33 provinsi di Indonesia pada akhir 2011. Dengan demikian pada awal tahun 2012 seharusnya sudah ada 33 pengadilan tindak pidana korupsi daerah. Sorotan tajam dari masyarakat mulai muncul ketika beberapa pengadilan tindak pidana korupsi di daerah memutus bebas sejumlah terdakwa pelaku tindak pidana korupsi. Semenjak itulah masyarakat mempertanyakan manfaat pembentukan pengadilan tipikor di daerah yang memperlihatkan secara gamblang ada sesuatu yang tidak benar dalam proses peradilannya.

9 Berikut adalah beberapa hasil temuan

1. Faktor Hukum

  Pengaturan pengadilan tipikor saat itu ada di dalam UU KPK bukan UU Pengadilan Tipikor maka hal tersebut dipandang bertentangan dengan konstitusi.Walaupun tidak setuju dengan masalah tafsir itu, menurutnya Putusan MK wajib dihormati. Pasca pemberlakuan Undang-Undang Nomor 46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, permasalahan terkait dengan praktik pengadilan tindak pidana korupsi mulai timbul. Persoalan pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi di daerah mulai timbul, antara lain perihal anggaran, sarana prasarana, hingga kualitas putusan hakim. Putusan hakim pengadilan tindak pidana korupsi di sejumlah daerah banyak membebaskan para terdakwa pelaku tindak pidana korupsi yang tentunya telah mengejutkan publik dan menjadi perhatian sejumlah kalangan termasuk penggiat anti korupsi. Putusan bebas bagi para terdakwa tindak pidana korupsi hampir tidak pernah terjadi ketika pengadilan tindak pidana korupsi masih ditangani di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta. Para pengamat dan ahli hukum pun banyak memberikan pendapat yang mengkritik putusan-putusan tersebut. Beberapa saran yang diajukan antara lain, menyarankan agar pengadilan tindak pidana korupsi dikembalikan ke pusat, membekukan pengadilan tindak pidana korupsi didaerah untuk sementara agar dapat dievaluasi, Bahkan ada juga pejabat publik yang memberikan saran ektrim untuk membubarkan pengadilan tindak pidana korupsi di daerah karena gagal mengadili pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana mestinya.

  2. Faktor Aparatur Penegak Hukum Keberadaan pengadilan tindak pidana korupsi di daerah ternyata menyulitkan dari segi teknis pelaksanaannya. Hal ini diakui oleh Patar Daniel selaku Jaksa di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung yang menilai bahwa faktor non teknis banyak menyulitkan penuntut dari KPK. Faktor jarak yang sangat luas di Indonesia menyebabkan kesulitan tersendiri dalam rangka mengadakan tuntutan. Satu provinsi bisa terdiri dari beberapa puluh Kejaksaan Negeri.

  Karena terbatasnya penyidik dan penuntut dari KPK. Disamping itu faktor sarana dan prasarana belum didukung dengan baik.

  3. Faktor Sarana Atau Fasilitas Yang Mendukung Penegakan Hukum

  Pasal 23 menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, tanggung jawab, susunan organisasi, dan tata kerja kepaniteraan khusus Pengadilan Tindak Pidana Korupsi diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung. Menindaklanjuti amanat UU Pengadilan Tipikor, pada 20 Desember 2010 Mahkamah Agung menetapkan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 01 Tahun 2010 (Perma 01/2010) tentang Struktur Organisasi Kepaniteraan dan Susunan Majelis Hakim Serta Keterbukaan pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Namun kenyataan di lapangan masalah panitera masih menjadi masalah tersendiri. Para panitera yang ada adalah para panitera dari pengadilan umum yang “diperbantukan” dengan SK Ketua PN masing-masing dengan tunjangan yang berbeda. Selain itu, pola kejahatan di dalam pengadilan melalui Panitera menjadi trend tersendiri.

  4. Pola Rekrutmen dan Peningkatan Kapasitas Kompetensi yang Masih Kurang Pada setiap proses seleksi hakim ad hoc, terutama hakim adhoc Tipikor, Mahkamah Agung melibatkan kalangan organisasi masyakarat anti korupsi, setidaknya hingga tahun 2010 yang lalu yaitu rekrutmen hakim ad hoc pertama paska disahkannya UU No. 46 Tahun 2009 yang menjadi dasar keberadaan Pengadilan Tipikor yang sekarang. Peran kalangan civil society tersebut diberikan bahkan hingga masuk menjadi bagian dari Panitia Seleksi.. Namun proses pelibatan unsur masyarakat hanya sekali dilakukan Mahkamah Agung, yaitu pada tahap pertama seleksi calon hakim adhoc Tipikor. Hal ini menjadi kelemahan tersendiri. Hasil hakim ad

  hoc tahap pertama masih memiliki

  penilaian yang bagus dibanding tahap berikutnya. Disamping itu Komisi Yudisial tidak terlibat dalam proses seleksi hakim ad

  hoc ., pada proses seleksi yang keempat

  ini, Komisi Yudisial akan melibatkan diri karena Komisi Yudisial memiliki kewenangan dalam rangka proses seleksi hakim. Dengan rendahnya animo masyarakat, maka harapan untuk mendapatkan hakim ad hoc sesuai yang diharapkan akan sulit. Sementara itu penghapusan dualisme pengadilan yang mengadili perkara korupsi maka kebutuhan pengadaan hakim ad hoc semakin membengkak. Kondisi semacam ini tengah terjadi saat ini.

  5. Mafia Peradilan Kelemahan penegakan hukum juga dipengaruhi oleh penyimpangan aparat penegak hukum yang melakukan apa yang dikenal sebagai mafia peradilan.

  Meski kerap tidak diakui eksistensinya, mafia peradilan dalam setiap tahapan proses pidana dirasakan adanya oleh masyarakat. Dengan mengetahui modus- modus operandi penyimpangan dalam setiap tahapan proses perkara pidana, kita memiliki kepekaan dan daya kritis yang tinggi untuk menganalisa dan mengkaitkan kelemahan dalam putusan hakim yang dieksaminasi tentang kemungkinan adanya faktor-faktor penyimpangan di atas.

  Penegakan hukum yang dilakukan oleh hakim tipikor pada pengadilan negeri kelas IA Tanjung Karang juga berkaitan erat dengan tindak pidana korupsi pada prakteknya menghadapi berbagai kendala/hambatan terutama dalam dalam optimalisasi pemberantasan korupsi. Hal ini disebabkan antara lain oleh: a)

  Menurut Patar Daniel selaku Jaksa Pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung Dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sering kali tidak menemui langkah efek penjeraan mengapa demikian dikarenakan putusan dari pengadilan sering kali lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum;

  b) Menurut Patar Daniel selaku Jaksa

  Pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung kewenangan jaksa terbatas, termasuk dalam penentuan kerugian negara harus minta ke BPK atau BPKP yg mempunyai kewenangan audit investigasi, kita bisa mengumpulkan bukti2 yg menghitung mereka dan biasanya itu lama, klo itu udh turun kita buat ke tahap penuntutan, selama ini hanya itu yg agak lama. kewenangan jaksa terbatas hanya korupsi seputar barang dan jasa blm sampai ke tangkap tangan, krna kita tdk mempunyai kewenangan pengadapan

  c) Kompleksitas kasus korupsi, hal ini memerlukan penanganan yang kordinatif tetapi pada kenyatannya apabila dikoordinasikan dengan pimpinan dari pihak yangdiperiksa, pimpinan yang bersangkutan tidak rela jika unit kerjaannya di periksa;

  d) Kendala waktu, terjadinya korupsi umumnya sudah lama sehingga sulit pembuktiannya. Ada kemungkinan pula bukti sudah dimusnahkan. Hal ini akan menyulitkan penyidik untuk mencari bukti serta saksi. Jadi apabila kasus korupsi dapat diketemukan secara dini akan sangat membantu dalam penaganannya; e)

  Intensitas pemeriksaan oleh aparat pengawasan fungsional yang terbatas. Volume serta intensitas pengawasan baik oleh satuan-satuan pengawasan intern maupun pengawasan ekstern di pusat maupun di daerah-daerah selama ini kurang memberikan masukan aparat penyidik perkara korupsi, sehingga kurang memberikan konstribusi yang signifikan jumlah kasus korupsi yang dapat diungkap; f)

  Merebaknya kasus korupsi melalui kebijakan publik. Modus operandi yang paling tinggi dari tindak pidana korupsi saat ini adalah lewat kebijakan publik, baik yang dikeluarkan oleh lembaga legislatif, lembaga eksekutif maupun lembaga- lembaga pembuat keputusan yang ada di BUMN/BUMD, dan lembaga perbankan; g)

  Terdakwa tidak koperatif, trdakwa tidak menjelaskan permasalahan permasalahan dengan keseluruhan, tidak mengakui perbuatannya itu suatu permasalahan karna tidak jujur dalam persidangan, memberikan keterangan yang berbelit belit . jadi hakim takut salah dalam pertimbangan hukum karna hakim tidak tahu benar atau salah apa yg di ungkapkan terdakwa di persidangan, meski sudah di hadirkan saksi tidak menutup kemungkinan bahwa bisa saja saksi yg di hadirkan menyudutkan terdakwa dengan berbagai alasan , disitulah hakim harus jeli . Selain itu, faktor penghambat penegakan hukum tindak pidana korupsi yang ditangani oleh Kejaksaan Agung di Indonesia antara lain adalah:

  1) Pemberian ijin dari Presiden

  Republik Indonesia, jika pelaku adalah para eksekutif atau legislatif; 2)

  Pemberian izin dari Gubernur Bank Indonesia dalam masalah keuangan pembukaan rekening;

  3) Sarana dan prasarana. Penanganan kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan masalah kebijakan saat ini telah digelar di Pengadilan di berbagai wilayah di Indonesia yang melibatkan pejabat legislatif (Pimpinan dan Anggota DPR/DPRD), pejabat eksekutif (Gubernur/ Sekda/ Walikota/ Bupati/ BUMN/ Perbankan).

  Dari kasus-kasus yang menyangkut kebijakan publik yang telah dilimpahkan ke Pengadilan selama ini, sebagian sudah ada yang diputus pengadilan dan sudah berkekuatan hukum tetap, ada yang masih dalam proses upaya hukum (Banding Kasas/PK) tetapi sebagian telah dibebaskan oleh hakim.

  Faktor organisasi profesi hukum juga menjadi kendala dalam pemberantasan tindak pidana korupsi karena organisasi profesi hukum baik dari kalangan praktisi maupun akademis yang ada selama ini belum menunjukan kegiatan- kegiatan yang dapat mensuport kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi dan masih belum mencerminkan sebuah organisasi profesi yang dapat diandalakan dalam pembangunan dan penegakan hukum.

  Diantara organisasi-organisasi profesi hukum yang ada selama ini belum melaksanakan etika profesi sesuai dengan standar profesi hukum baik nasional maupun internasional. Profesi hukum selama ini ada kecenderungan mendahulukan kepentingan pribadi dari pada etika profesi. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah adanya koordinasi antar sesama aparat penegak hukum dalam sitem peradilan pidan terpadu (Integrated Criminal Justice System) masih belum visi, interpretasi dan presepsi dalam keterpaduan tugas penegak hukum. Begitu pula mengenai koordinasi penanganan kasus berindikasi korupsi, acapkali kurang transparan sehingga kurang mendudkung dalam pengungkapan kasus korupsi.

  Faktor kadar kesadaran hukum masyarakat juga masih relatif rendah, ini terlihat dari masih adanya anggota masyarakat yang enggan atau takut melaporkan adanya kasus-kasus korupsi, meskipun ia mengetahui kasus tersebut. Kelemahan-kelemahan dan kendala- kendala sebagaimana tersebut diatas selama ini masih menjadi faktor penghambat kelancaran dan keberhasilan penanganan kasus-kasus korupsi yang mengakibatkan penegakan hukum menjadi lemah. Hal ini perlu dicarikan solusi agar tidak berlarut-larut sehingga mengganggu akuntabilitas kinerja aparat penegak hukum.

  Kelemahan-kelemahan dan kendala- kendala yang ada diminimanisir dengan memanfaatkan kekuatan-kekuatan serta peluang yang ada, maka jajaran aparat penegak hukum akan semakin dapat mewujudkan eksistensi sebagai aparat penegak hukum yang handal dan terpercaya.

  Pada dasarnya, keberhasilan penegakan hukum dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dipengaruhi pula oleh faktor kejujuran, kecakapan serta integritas yang tinggi dari aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim). Keberhasilan tersebut juga berhubungan erat dengan political will pemerintah dan kesadaran hukum masyarakat sebagai potensi utama dalam ikut serta secara aktif memerangi perilaku korupsi.

  Bahwa menurut peneliti bahwa pertimbangan hakim selama ini belumlah proposional dalam menjatuhkan putusannya terhadap terdakwa karena hukumannya yang terlalu ringan sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi para pelaku lainnya Menurut peneliti, Hakim adalah cerminan dalam menegakan hukum dari melihat bagaimana seorang hakim tersebut dapat menggunakan nalurinya dalam melihat fakta-fakta dipersidangan sehingga nanti dalam pertimbangannya hakim harus memutus hukumannya sesuai dengan tingkat dan derajat kesalahan si terdakwa. Untuk itu hakim dalam memvonis para pelaku korupsi jangan segan-segan menjatuhkan putusan yang berat karena apabila setiap perkara korupsi divonis ringan akan berakibat makin banyaknya para pelaku korupsi yang tidak jera. Menurut peneliti Bukankah peradilan sering disebut sebagai muara terakhir pencari keadilan ? Bila lembaga ini sangat diragukan kredibilitasnya, ke mana lagi pencari keadilan mencari hak- haknya ? Ke mana lagi rakyat memperoleh kepastian hukum ? Maka timbul ungkapan di atas Pengadilan sebagai muara terakhir pencari keadilan. Upaya aparat penegak hukum untuk mengatasi korupsi di atas tentu ada hasilnya. Akan tetapi masyarakat belum puas, dan hal itu wajar saja, sebab berbagai kebocoran keuangan negara masih banyak terjadi, uang pelicin kepada pribadi-pribadi pejabat tertentu pun, diakui masih merupakan kenyataan yang dihadapi dalam pembangunan kita. Menurut peneliti bahwa faktor penghambat tersebut lebih disebabkan oleh kurangnya pengawasan khususnya kepada pengadilan tipikor yang ada di Bandar Lampung hal tersebut dikarenakan mulai dari penyidik dan juga Jaksa Penuntut Umum bukan dari KPK berbeda dari pengadilan tipikor di Jakarta yang sistem pengawasannya lebih ketat dan hakim juga akan melakukan pikir ulang apabila hakim memberikan vonis ringan terhadap pelaku. Serta ketidakadaan tim pemantau peradilan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjung Karang yang memantau setiap kasus-kasus tindak pidana korupsi. Hal ini jelas akan memberikan celah bagi oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab untuk mempengaruhi hakim dan juga masih debatable antara kewenangan siapakah yang berhak memeriksa kerugian negara antara BPK dan BPKP dalam perkara korupsi, sehingga indikator kerugian negara dalam menentukan adanya perbuatan korupsi menjadi tumpang tindih dan tidak berkepastian hukum sehingga hakim ragu untuk memvonis terdakwa.

  Penegakan hukum oleh Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjung Karang dalam penjatuhan pidana terhadap koruptor yakni dengan dua cara yakni dengan cara yakni a. Formulasi Dari segi formulasi sudah ada dasar hukum dalam mengadili perkara tipikor yakni Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dalam memutus perkara korupsi hakim sudah sesuai sebgaimana dengan Undang-Undang No 31 Tahun 1999 sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi, b. Aplikasi, Pada tahap aplikasi ini. hakim akan melakukan pemidanaan secara maksimal dan juga melakukan perampasan aset terhadap pelaku tindak pidana korupsi. meskipun sebagian putusan hakim tidak mencapai kata maksimal dan terakhir,

  c. Tahap Eksekusi disini hakim berwenang menjatuhkan hukuman yang setimpal apabila perbuatan terdakwa tersebut telah merugikan banyak pihak dan berpotensi akan menjadi penjahat kambuhan;

Dokumen yang terkait

ABSTRACT AN ANALYSIS OF FREE DECISION ON THE CASE NUMBER: 241 Pid.B 2011 PN.Mgl ON CRIME DECENCY PERFORMED BY CHILDREN IN MENGGALA By: Andika Nafi Saputra, Tri Andrisman, Rini Fathonah

0 0 8

ABSTRACT AN ANALYSIS ON SANCTIONS IMPLEMENTATION AGAINST CORRUPTION CRIME COMMITTED BY UNREGISTERED LEASING LEGAL ENTITIES FOR FIDUSIARY WARRANTY By Dita Risnia, Sunarto, Damanhuri WN Email : risnia_ditayahoo.co.id

0 0 15

ABSTRACT THE LAW ENFORCEMENT AGAINST THE PERPETRATOR OF DRUGS ABUSE BY COMMITTING A CRIMINAL THEFT WITH VIOLENCE AND PERSECUTION (A Case Study at Bandar Lampung Police Jurisdiction) By Deddyta Sitepu, Tri Andrisman, Gunawan Jatmiko Email : deditasitepugma

0 0 14

ABSTRACT ANALYSIS DECISION IN THE CASE JUDGE pretrial Corruption (Studies Pretrial Decision No. 14 Pid.Pra 2016 PN.Tjk) By: Wanda Rara Farezha, Eddy Rifa’i, Gunawan Jatmiko (wandararafarezhagmail.com)

0 0 14

Abstract LAW ENFORCEMENT BY POLICE AGAINST CRIME MOTOR VEHICLE THEFT WITH VIOLENCE (STUDY IN POLRES EAST LAMPUNG) By Rama Adi Putra,Sunarto,Gunawan Jatmiko (email:ramaraprapgmail.com)

0 0 12

PERANAN AHLI TOKSIKOLOGI FORENSIK DALAM UPAYA PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA Oleh Mirna Andita Sari, Eddy Rifai, Gunawan Jatmiko Email: mirnaanditagmail.com Abstrak - PERANAN AHLI TOKSIKOLOGI FORENSIK DALAM UPAYA PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PE

0 0 12

PERANAN INTELIJEN KEJAKSAAN NEGERI BANDAR LAMPUNG DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN ALIRAN AGAMA TERLARANG AMANAT KEAGUNGAN ILAHI (Jurnal Skripsi)

0 0 11

ABSTRACT POLICY ANALYSIS FORMULATION OF THE ACT WHICH OBSTRUCT THE TRIAL (CONTEMPT OF COURT) IN THE INDONESIAN JUSTICE SYSTEM By Dimas Abimayu, Erna Dewi, Eko Rahardjo Email : dabimayu.dagmail.com

0 0 14

ANALISIS PERRLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENAHANAN TERSANGKA PADA TINGKAT PENYIDIKAN BERDASARKAN PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2015 (STUDI KEPOLISIAN RESOR LAMPUNG BARAT) Oleh Devolta Diningrat, Eddy Rifai, Tri Andrisman

0 0 11

ABSTRACT THE LAW ENFORCEMENT AGAINST CORRUPTORS BY THE CORRUPTION COURT IN LAMPUNG By Della Rahmaswary, Eddy Rifai, Diah Gustiniati Email : dellarahmasyahoo.co.id

0 0 15