Pendidikan Politik untuk Menghadapi Poli
Reformasi di Indonesia”
Disusun oleh:
Dewi Suciningtyas (15416241047)
PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2017
Kata Pengantar
Assalamualaikum Wr. Wb Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, inayah, taufik dan hidayah- Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Adapun makalah ini membahas tentang “Pendidikan Politik untuk Menghadapi Politisasi Birokrasi dalam Era Reformasi di Indonesia”.
Harapan penyusun semoga makalah ini dapat membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga penyusun dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini agar ke depannya dapat lebih baik.
Penyusun menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna, maka kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penyusun harapkan demi sempurnanya makalah ini. Wassalamualaikum Wr. Wb.
Yogyakarta, 2 Juni 2017
Penyusun
Bab 1
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Birokrasi di Indonesia karena kelemahan kelas menengah yang produktif, atau preferensi ideologi kanan maupun kiri, birokrasi pemerintah menjadi alat pembangunan yang utama. Sebagai alat utama pembangunan, birokrasi memiliki posisi dan peran yang sangat strategis karena menguasai berbagai aspek hajat hidup masyarakat. Mulai dari urusan kelahiran, pernikahan, usaha, hingga urusan kematian, masyarakat tidak bisa menghindar dari urusan birokrasi. Birokrasi menguasai akses ke sumber daya alam, anggaran, pegawai, proyek-proyek, serta menguasai akses pengetahuan dan informasi yang tidak dimiliki pihak lain. Birokrasi juga memegang peranan penting dalam perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan berbagai kebijakan publik, termasuk evaluasi kinerjanya. Adalah logis apabila pada setiap perkembangan politik, selalu terdapat upaya menarik birokrasi pada area permainan politik. Birokrasi dimanfaatkan untuk mencapai, mempertahankan, atau memperkuat kekuasaan oleh partai tertentu atau pihak pemegang kekuasaan. Ini terjadi pada masa Demokrasi Parlementer tahun 1950-an di mana partai politik menjadi aktor sentral dalam sistem politik Indonesia. Pemilihan umum pertama yang demokratis berlangsung dalam periode ini. Dan birokrasi, secara massif, telah menjadi objek pertarungan kepentingan dan arena perlombaan pengaruh oleh partai politik, sehingga menimbulkan polarisasi dan fragmentasi birokrasi.
Maka, dapat dilihat permasalahan yang timbul adalah birokrasi di Indonesia tak lepas dari politisasi dari pihak yang berkepentingan baik pribadi maupun kelompok. Politisasi birokrasi ini akan selalu muncul terus menerus dan akan menjadi fenomena apabila dalam pelaksanaan birokrasi, birokrasi di sini terlihat dan bukannya para birokrat menjadi pelayan publik bagi rakyat malah menjadi rakyat pelayan sang birokrat. Melalui pendidikan politik diharapkan dapat menghadapi politisasi birokrasi di era reformasi sehingga politisasi birokrasi dapat dikurangi.
1.2 Rumusan masalah
1. Bagaimana politisasi birokrasi yang berkembang di Indonesia?
2. Apa fenomena politisasi birokrasi Indonesia yang tengah terjadi?
3. Apa upaya untuk menghadapi politisasi birokrasi di Indonesia?
4. Bagaimana peran pendidikan politik untuk menghadapi politisasi birokrasi dalam era reformasi di Indonesia?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui politisasi birokrasi yang berkembang di Indonesia
2. Mengetahui fenomena politisasi Indonesia yang tengah terjadi.
3. Mengetahui upaya untuk menghadapi politisasi birokrasi di Indonesia.
4. Mengetahui peran pendidikan politik untuk menghadapi politisasi birokrasi dalam era reformasi di Indonesia.
Bab 2
Kajian Pustaka
2.1 Pendidikan
Pendidikan merupakan gejala semesta (fenomena universal) dan berlangsung sepanjang hayat manusia, di manapun manusia berada. Di mana ada kehidupan manusia, di situ pasti ada pendidikan. Pendidikan sebagai usaha sadar bagi pengembangan manusia dan masyarakat, mendasarkan pada landasan pemikiran tertentu. Secara lebih jelas, upaya memanusiakan manusia melalui pendidikan, didasarkan atas pandangan hidup atau filsafat hidup, bahkan latar belakang sosiokultural tiap- tiap masyarakat, serta pemikiran- pemikiran psikologis tertentu.
Pendidikan sendiri pada hakekatnya adalah usaha sadar manusia untuk mengembangkan kepribadian di dalam maupun di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan merupakan tanggungjawab keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Tanggungjawab tersebut didasari kesadaran bahwa tinggi rendahnya tingkat pendidikan masyarakat berpengaruh pada kebudayaan suatu daerah karena kebudayaan tidak hanya berpangkal dari naluri semata- mata tetapi lebih utama dilahirkan dari proses belajar dlam arti yang sangat luas.
Menurut Langeveld (dalam Ahmadi dan Uhbiyati, 2007: 105) tujuan pendidikan bermacam- macam yaitu:
1) Tujuan Umum Tujuan ini disebut juga tujuan total, tujuan yang sempurna atau tujuan akhir. Apakah tujuan akhir itu? Dalam hal ini Kongstam dan Gunning mengatakan bahwa tujuan akhir dari pendidikan itu ialah untuk membentuk insan kamil atau manusia sempurna.
2) Tujuan Khusus Untuk menuju kepada tujuan umum itu, perlu adanya pengkhususan tujuan yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi tertentu misalnya: 2) Tujuan Khusus Untuk menuju kepada tujuan umum itu, perlu adanya pengkhususan tujuan yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi tertentu misalnya:
b) Disesuaikan dengan tugas dari suatu badan atau lembaga pendidikan.
c) Disesuaikan dengan bakat kemampuan anak didik.
d) Disesuaikan dengan tingkat pendidikan dan sebagainya.
Tujuan- tujuan pendidikan yang telah disesuaikan dengan keadaan- keadaan tertentu, dalam rangka untuk mencapai tujuan umum pendidikan inilah yang dimaksud dengan tujuan khusus.
3) Tujuan Tak Lengkap Tiap- tiap aspek pendidikan mempunyai tujuan- tujuan pendidikan sendiri- sendiri. Tujuan dari aspek- aspek inilah yang dimaksud tujuan pendidikan tak lengkap. Sebab masing- masing aspek pendidikan itu menganggap seolah- olah dirinya terlepas dari aspek pendidikan yang lain. Padahal masing masing pendidikan itu hanyalah merupakan bagian- bagian dari pendidikan secara keseluruhan. Oleh karena itu tujuan dari masing- masing aspek itu harus dilengkapi dengan tujuan dari aspek- aspek yang lain.
4) Tujuan Insidentil Tujuan ini timbul secara kebetulan, secara mendadak dan hanya bersifat sesaat. Misalnya, tujuan untuk mengadakan hiburan atau variasi dalam kehidupan sekolah. Maka diadakanlah darmawisata ke suatu tempat. Dalam hal ini tujuan itu telah selesai, setelah darmawisata itu dilaksanakan.
5) Tujuan Sementara Tujuan sementara adaalh tujuan tujuan- tujaun yang ingin kita capai dalam fase tertentu dalam pendidikan. Misalnya, anak dimasukkan ke sekolah. Tujuannya ialah agar anak dapat membaca dan menulis. Dapat membaca dan menulis inilah yang disebut tujuan sementara. Tujaun yang lebih lanjut ialah agar anak dapat belajar ilmu pengetahuan dari buku.
Dapat belajar dari buku inipun menjadi tujuan sementara. Tujuan sebenarnya ialah agar anak dapat memiliki ilmu pengetahuan tertentu. Memiliki ilmu pengetahuan inipun sementara. Dan begitu seterusnya. Demikian tujuan- tujuan sementara ini semakin meningkat untuk menuju kepada pengetahuan umum, tujuan total atau tujuan akhir.
6) Tujuan Perantara Tujuan perantara disebut juga tujuan intermediair. Tujuan ini merupakan alat atau sarana untuk mencapai tujuan- tujaun yang lain. Mislanya, kita belajar bahasa asing agar dapat mempelajari buku- buku yang tertulis dalam bahasa asing tersebut. Jadi kita belajar bahsa asing di sini hanyalah sekedar alat saja.
2.2 Politik
Secara etimologis, politik berasal dari kata polis (bahasa Yunani) yang artinya negra kota. Kemudain diturunkan kata lain seperti polities (warganegara), politikos (kewarganegaraan atau civics) dan politike tehne (kemahiran politik) serta politike episteme (ilmu politik).
Secara terminologi, politik (politics) dapat diartikan sebagai:
a) Menurut Laswell: “politics as who gets what, when and how”
b) Menurut Miriam Budiardjo: “politik adalah bermacam- macam kegiatan dalam suatu sistem politik (negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan- tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan- tujuan itu.”
c) Menurut Ramlan Subakti: “politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu.
Lebih lanjut politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun non- konstitusional. Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara antara lain:
a) Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama.
b) Politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara.
c) Politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat.
d) Politik adalah segala sesuatu tentang perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
2.3 Pendidikan Politik
Pendidikan politik jelas berbeda dengan indoktrinasi politik, yang merupakan belajar politik yang bersifat monolog bukan dialog, lebih mengutamakan pembangkitan emosi, dan lebih merupakan pengarahan politik untuk dukungan kekuatan politik (mobilisasi politik) daripada meningkatkan partisipasi politik. Indoktrinasi politik itu pada umumnya dilakukan oleh rezim otoriter atau totaliter untuk mempertahankan satatus quo, partai politik juga pada umumnya lebih banyak menggunakan indoktrinasi politik pada pendidikan politik (Cholisin, 2000: 6).
Affandi (1996: 27) menyatakan bahwa pendidikan politik dianggap penting oleh hampir semua masyarakat dan dianggap sebagai penentu perilaku seseorang. Penilaian ini didsaarkan pada maksud pendidikan politik sebagai alat untuk mempertahankan sikap dan norma politik dan meneruskannya dari satu generasi ke generasi berikutnya, baik melalui akulturasi informal maupun melalui pendidikan politik yang direncanakan untuk menunjang stabilitas sistem politik.
Pengetahuan politik akan membawa orang pada tingkat partisipasi tertentu. Dalam politik seseorang tidak hanya dituntut mengembangkan pengetahuan, namun juga harus mengembangkan aspek sikap dan keterampilan. Perpaduan ketiga aspek tersebut menurut Crick & Porter dalam Affandi (1996: 27) disebut melek politik “political literacy”. Dari aspek pengetahuan seseorang dikatakan
melek politik apabila sekurang- kurangnya menguasaui tentang: (1) informasi dasra tentang siapa yang memegang kekuasaan, dari mana uang berasal, bagaimana sebuah institusi bekerja; (2) bagaimana melibatkan diri secara aktif dalam memanfaatkan pengetahuan; (3) kemampuan memprediksi secara melek politik apabila sekurang- kurangnya menguasaui tentang: (1) informasi dasra tentang siapa yang memegang kekuasaan, dari mana uang berasal, bagaimana sebuah institusi bekerja; (2) bagaimana melibatkan diri secara aktif dalam memanfaatkan pengetahuan; (3) kemampuan memprediksi secara
Cholisin, M. Si dalam jurnalnya yang berjudul Pendidikan Politik dalam Pemikiran Pendidikan dan Politik Pendidikan menyatakan:
a) Pendidikan politik bagi suatu bangsa adalah terkait dengan sistem politik nasionalnya yaitu berfungsi untuk memelihara mengembangkan sistem politik demokrasi Pancasila.
b) Pendidikan politik merupakan salah satu isi atau bagian dari kebijakan pendidikan.
c) Kebijakan pendidikan dirumuskan dan dilaksanakan dalam rangka untuk melaksanakan pembangunan nasional di bidang pendidikan yang acuannya adalah ideolgi nasional termasuk di dalamnya pemikiran pendidikan yang berkembang dalam masyarakat Indonesia atau pemikiran Pancasila.
d) Implementasi dari politik pendidikan yang mengacu kepada pemikiran pendidikan. Lebih lanjut menurut Nasiwan (2005: 463), pendidikan politik memiliki makna yang penting dan strategis dalam rangka mendorong warga negara untuk memiliki pengetahuan politik yang memadai, sekaligus kesadaran akan pentingnya sistem politik yang ideal. Di sisi lain, pendidikan politik juga memberikan pemahaman pada warga negara bahwa untuk mengubah realitas politik yang ada menuju suatu sistem politik yang ideal, yang antara lain ditandai adanya perubahan kebudayaan politik baru.
2.4 Politisasi
Politisasi berasal dari kata politik. Secara etimologis, politik berasal dari kata polis (Bahasa Yunani), yang artinya negara kota. Kemudian diturunkan kata lain seperti polities (warga negara), politikos (kewarganegaraan atau Politisasi berasal dari kata politik. Secara etimologis, politik berasal dari kata polis (Bahasa Yunani), yang artinya negara kota. Kemudian diturunkan kata lain seperti polities (warga negara), politikos (kewarganegaraan atau
Secara terminologi, politik (politics) dapat diartikan sebagai berikut. Misalnya, Laswell (1950, dalam Goodin;Klingemann, Dieter, 1966:8) memberikan pengertian secara klasik (classic formulation) tentang politik yaitu “Politics as who gets what, when and how”. Miriam Budiardjo (1977:8) mengartikan politik yaitu bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukkan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu.
Pengertian yang lebih komprehensif tentang politik dikemukakan oleh Ramlan Surbakti, (1922:10-11) yaitu interaksi antara pemerintah dan masyarakat, dalam rangka proses pembuatandan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yamh tinggal di wilayah tertentu.
Sedangkan politisasi sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai hal membuat keadaan (perbuatan, gagasan, dan sebaginya) bersifat politis. Juga berarti membuat atau mengupayakan agar sesuatu sesuai dengan kepentingannya.
2.5 Birokrasi
a. Pengertian dan ciri-ciri birokrasi Max Weber mengajukan definisi birokrasi sebagai suatu badan administratif tentang pejabat yang diangkat dan sebagai organisasi yang bersifat rasional, suatu mekanisme sosial yang memaksimumkan efisiensi dan juga sebagai suatu bentuk organisasi yang memiliki ciri-ciri khas (lihat Albrow, 1989:8, 229). Lance Catles (Alfian & Nazaruddin Sjamsuddin, [ed.], 1991:228), tentang definisi birokrasi menyatakan “ Birokrasi saya maksudkan sebagai orang – orang yang bergaji yang menjalankan fungsi – emerintahan. Didalamnya termasuk –erwira tentara dan birokrasi militer. Birokrasi yang saya maksudkkan tidak selalu sesuai dengan gagasan Weber tentang “birokrasi rasional”. Syukur Abdullah mendasarkan pendapat La palombara, memberikan definisi yang lebih operasional. Ia menyatakan a. Pengertian dan ciri-ciri birokrasi Max Weber mengajukan definisi birokrasi sebagai suatu badan administratif tentang pejabat yang diangkat dan sebagai organisasi yang bersifat rasional, suatu mekanisme sosial yang memaksimumkan efisiensi dan juga sebagai suatu bentuk organisasi yang memiliki ciri-ciri khas (lihat Albrow, 1989:8, 229). Lance Catles (Alfian & Nazaruddin Sjamsuddin, [ed.], 1991:228), tentang definisi birokrasi menyatakan “ Birokrasi saya maksudkan sebagai orang – orang yang bergaji yang menjalankan fungsi – emerintahan. Didalamnya termasuk –erwira tentara dan birokrasi militer. Birokrasi yang saya maksudkkan tidak selalu sesuai dengan gagasan Weber tentang “birokrasi rasional”. Syukur Abdullah mendasarkan pendapat La palombara, memberikan definisi yang lebih operasional. Ia menyatakan
tingkat desa/kelurahan” (Alfian Nazaruddin, 1991:229). Dengan demikian hakikat birokrasi adalah pejabat pemerintahan
yang diangkat, bergaji, berada dibawah departemen untuk melaksanakan tugas-tugas negara/pemerintahan.
Weber memberikan ciri-ciri birokrasi. Tiap- tiap posisi atau jabatan memiliki bidang komptensi tersendiri yang tugas- tugasnya dibedakan secara tegas dari
jabatan lain. Jabatan disusun dalam hierarki, di mana jawbatan yang lebih rendah disupervisi atau diawasi oleh jabatan yang lebih tinggi.
Sementara jabatan yang lebih tinggi bertanggungjawab atas kinerja dari jabatan yang lebih rendah.
Kewenangan diberikan hanya untuk tugas- tugas yang bersifat resmi saja. Di luar tugas- tugas resmi ini, seorang bawahan tidak
lagi tunduk pada atasannya. Ada pemisahan secara total antara kegiatan resmi dan kehidupan pribadi.
Para pejabat duduk di jabatannya karena diangkat atau ditunjuk dan bukan lewat Pemilu. Mereka duduk di situ berdasarkan
hubungan kontrak antara diri mereka dengan organisasi. Para pejabat dipilih berdasarkan kualifikasi objektif. Di mana
kualifikasi ini bisa didapatkan para pejabat lewat pelatihan yang kemudia dibuktikan lewat ujian atau tes, lewat ijazah, dan sebagainya.
Para pejabat bekerja demi karir. Mereka dilindungi agar tidak mengalami pemecatan secara sewenang- wenang dan bisa memegang jabatannya secara permanen. Promosi dilakukan
berdasarkan senioritas, prestasi atau keduanya.
Para pejabat dipisahkan dari sarana administrasi yang mengatur jabatan itu sehingga itu tidak bisa menjadi milik pribadi mereka. Kegiatan- kegiatan dalam birokrasi diatur oleh aturan- aturan yang bersifat umum, konsisten, dan abstrak. Karena aturan- aturan ini harus bersifat umum, maka perlu dilakukan
kategorisasi terhadap berbagai kemungkinan kasus yang bisa terjadi berdasarkan kriteria yang objektif.
Tugas- tugas resmi dilakukan secara impersonal tanpa ada kebencian tapi juga tidak ada simpati secara pribadi dari pejabat
yang melaksanakannya. Birokrasi seringkali dikepalai oleh orang yang bukan bagian
dari birokrasi. Para birokrat menjalankan aturan tapi pimpinan birokrasi inilah yang membuat aturan- aturan itu. Jika birokrat selalu diangkat ke jabatan yang didudukinya, maka pimpinan birokrasi ini biasanya mendapatkan posisi itu karena warisan, karena ia merebutnya secara paksa atau karena dia dipilih melalui Pemilu.
Sedangkan La palombara (Alfian & Nazaruddin [ed.], 1991:226) merangkum ciri-ciri khusus dalam birokrasi dalam lima aspek yaitu:
Aturan-aturan administratif yang sangat terdeferensisasi dan terspesialisasi
Rekrutmen atas dasar prestasi (diukur melalui ujian) bukan atas dasar kriteria universalitas bukan atas dasar kriteria
partikularistik; Administrator-admnistrator
merupakan tenaga professional yang digaji dan yang memandang pekerjaan sebagai karir;
yang
Pembuatan keputusan administratif dalam konteks hirarki, tanggungjawab serta disiplin yang rasional dan mudah
dipahami.
Ciri-ciri birokrasi diatas bersifat ideal, karena dalam kenyataan empirik seiring ditemukan birokrasi yang tidak efisien, tidak rasional, dan bahkan tidak profeisoal dan tidak netral secara politik.
b. Kategori Birokrasi Berdasarkan perbedaan tugas pokok yang mendasarinya, sekurang- kurangnya dapat dibedakan dalam tiga kategori yaitu (alfian & Nazaruddin, 1991:229):
1. Birokrasi Pemerintahan Umum Yaitu rangkaian organisasi pemerintah yang menjalankan tugas- tugas pemerintahan umum termasuk memelihara ketertiban dan keamanan, dari tingkat pusat hingga daerah. Tugas tersebut lebih
bersifat “mengatur” (regulative function);
2. Birokrasi pembangunan Yaitu menjalankan salah satu bidang atau sektor khusus guna mencaapi tujuan pembangunan, seperti pertanian, kesehatan, industir, pendidikan dan lain-lain. Fungsi pokoknya adalah fungsi pembangunan (development function )atau fungsi adaptasi (adaptive function);
3. Birokrasi Pelayanan Yaitu unit organisasi yang pada hakikatnya merupakan bagian atau langsung berhubungan dengan masyarakat. Dalam kategori ini, dapat disebutkan antara lain : rumah sakit, sekolah, kantor koperasi, bank rakyat tingkat desa, kantor atau unit pelayanan sosial dan lainnya.
2.6 Politisasi Birokrasi
Politisasi birokrasi berarti membuat agar organisasi birokrasi bekerja dan berbuat sesuai dengan kepentingan politik yang berkuasa. Politisasi birokrasi berada didua sisi yang pertama yaitu berasal dari sisi partai politik yang ikut campur tangan di dalam birokrasi atau dari eksekutif itu sendiri yang mempolitisir birokrasi untuk kepentingannya (kekuasaan) sendiri. Tetapi keduanya memiliki Politisasi birokrasi berarti membuat agar organisasi birokrasi bekerja dan berbuat sesuai dengan kepentingan politik yang berkuasa. Politisasi birokrasi berada didua sisi yang pertama yaitu berasal dari sisi partai politik yang ikut campur tangan di dalam birokrasi atau dari eksekutif itu sendiri yang mempolitisir birokrasi untuk kepentingannya (kekuasaan) sendiri. Tetapi keduanya memiliki
Dari pemahaman hakikat politik dan birokrasi maka dapat disimpulkan bahwa politisasi birokrasi merupakan kehidupan serta pelayanan birokrasi yang ditumpangi oleh kepentingan-kepentingan tertentu oleh orang-orang yang memiliki jabatan dalam pemerintahan serta di dominasi oleh muatan-muatan politis oleh para penguasa negara. Hal ini menyebabkan fungsi serta tujuan dari birokrasi sendiri melenceng dari arah yang semula dikehendaki. Akibat dari melencengnya fungsi serta tujuan dari birokrasi yaitu pelayanan birokrasi sendiri tidak lagi menjadi instrumen yang ramah dalam dengan kehidupan masyarakat, namun justru menjadi ada sekat interaksi terhadap masyarakat sekelilingnya karena ditumpangi oleh orientasi yang sifatnya politis.
Mengapa para birokrat tingkat tinggi memiliki kekuasaan yang begitu besar dan bahkan makin terus membesar? Pertanyaan tersebut dapat terjawab melalui:
1. Semakin besarnya intervensi negara. Salah satu penjelasan yang diberikan oleh aliran teknokratis tentang membesarnya kekuasaan birokrasi adalah karena pemerintah modern melakukan intervensi ke semakin banyak bidang di dalam kehidupan sosial- ekonomi masyarakat. Semakin besar volume kegiatan yang harus dilakukan pemerintah mengharuskan adanya pembesaran terhadap ukuran dan kekuasaan dari badan- badan yang mengelola kegiatan- kegiatan itu, yaitu birokrasi.
2. Semakin kompleksnya tugas- tugas pemerintah. Ketika pemerintah harus melakukan semakin banyak intervensi, maka tugas- tugas dari pemerintah bukan hanya bertambah jumlahnya tapi juga semakin meningkat kompleksitasnya. Para pengamat aliran teknokratis berpendapat bahwa kompleksitas yang semakin besar pada tugas- tugas pemerintah justru akan membuat birokrasi yang menjalankan tugas- tugas itu menjadi semakin besar kekuasaannya.
3. Keahlian
Birokrasi memiliki keahlian yang tidak dimiliki oleh para pemimpin politik, terutama para menteri karena para pemimpin politik ini tidak memiliki keterampilan teknis seperti para birokrat. Maka para pemimpin politik ini menjadi semakin bergantung kepada mereka ketika keputusan uang diambil semakin kompleks.
4. Informasi Agar bisa membuat keputusan- keputusan politik, para pemimpin politik terutama para menteri yang memimpin departemen, akan sangat memrlukan informasi dari bawahan- bawahan merka di departemen. Karenanya departemen- departemen ini memiliki peluang untuk memanipulasi informasi yang mereka berikan sedemikian rupa sehingga mereka bisa mempengaruhi keptusan yang akan dibuat. Seringkali ini dilakukan dengan cara menyeleksi informasi yang akan disampaikan, menunda pelepasan informasi, mengedit informasi, dan bahkan mendistorsi sedemikian rupa agar bisa selaras dengan kebijakan yang diinginkan para birokrta.
5. Waktu dan jumlah. Para politisi yang diangkat lewat Pemilu memiliki sumberdaya yang kecil dari segi waktu dan jumlah orangnya jika dibandingkan dengan mesin raksasa dari birokrasi yang seharusnya menurut formalitasnya adalah bawahan mereka. Karenanya para politisi tidak dapat memberikan perhatian sepenuhnya terhadap masalah- masalah yang sudah dihadapi dan ditangani para birokrat selama bertahun- tahun.
6. Minat Para politisi yang diangkat melalui Pemilu atau para menteri tidak selalu tertarik atau berminat untuk mengendalikan departemen mereka dalam segala hal. Mereka cenderung untuk memiliki satu dua kebijakan tertentu yang ingin mereka jalankan tetapi sebagian besar kebijakan lain tidak hanya tidak mereka sadari tapi bahkan seandainya mereka sadari pun tidak menarik minat mereka untuk memperhatikannya.
7. Merosotnya kekuasaan parlemen
Karena semakin kompleksnya urusan negara dan kurangnya keterampilan teknis serta semakin mendesaknya kebutuhan untuk membuat keputusan secara cepat membuat parlemen semakin lam semakin tergeser dari kegiatan perundang- undangan secara terinci dan lebih banyak mengurusi perundangan dalam artian umum.
8. Pergantian menteri yang terlalu cepat. Pengaruh dari birokrat seringkali terbentuk karena adanya kelemahan dari para politisi yang berurusan dengan mereka. Kelemahan ini dapat terjadi antara lain karena orang yang menduduki posisi menteri terus- menerus diganti secara teratur, sementara para pegawai negeri menduduki jabatan mereka secara permanen. Ini berarti bahwa para menteri akan selalu kalah dari birokrasi dalam hal pengalaman masa lalu maupun kemungkinan masa depan. Karena para menteri selalu datang dan pergi, maka para birokrat adalah satu- satunya pihak yang dapat membuat dan melaksanakan rencana jangka panjang.
BAB 3 PEMBAHASAN
3.1 Peran Pendidikan Politik
Pendidikan politik berfungsi untuk memberikan isi dan arah serta pengertian kepada proses penghayatan nilai- nilai yang sedang berlangsung. Ini berarti bahwa pendidikan politik menekankan kepada usaha pemahaman tentang nilai- nilai yang etis normatif, yaitu dengan menanamkan nilai- nilai dan norma- norma yang merupakan landasan dan motivasi bangsa Indonesia serta dasra untuk membina dan mengembangkan diri guna ikut sera berpartisipasi dalam kehidupan pembangunan bangsa dan negara (Sumantri, 2003:3).
Kemudian pendidikan politik secara alamiah bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman serta kemampuan untuk bertanggungjawab sebagai warga negara. Selain itu, memberikan pemahaman mengenai pengetahuan politik sehingga warga negara berpartisipasi dalam sistem politik yang sedang berjalan. Pelaksanaan pendidikan politik harus dilaksanakan secara sistematis untuk menumbuhkan iklim demokratis dalam kehidupan berbagsa dan bernegara.
Kedudukan dan pelaksanaan pendidikan politik dikemukakan oleh Affandi (1996: 6) sebagai berikut: Pendidikan politik tidak saja akan menentukan efektivitas sebuah sistem politik karena mampu melibatkan warganya, tetapi juga memberikan corak pada kehidupan bangsa di waktu yang akan datang melalui upaya penerusan nilai- nilai politik yang dianggap relevan dengan pandangan hidup bangsa yang bersangkutan.
Pendidikan politik bisa dianggap sebagai proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika dikaitkan dengan partai politik, pendidikan politik bisa diartika sebagai usaha sadar dan tersistematis dalam mentransformasikan segala sesuatu yang berkenaan dengan perjuangan partai Pendidikan politik bisa dianggap sebagai proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika dikaitkan dengan partai politik, pendidikan politik bisa diartika sebagai usaha sadar dan tersistematis dalam mentransformasikan segala sesuatu yang berkenaan dengan perjuangan partai
Dari penjelasan tersebut, pendidikan politik memegang peranan yang sangat vital untuk mencapai kehidupan bangsa yang demokratis. Dengan pendidikan politik dibentuk dan dikembangkan warga negara agar memiliki kesadaran politik dalam kerangka kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan politik ditinjau dari sudut proses merupakan upaya pewarisan nilai- nilai budaya bangsa, proses peningkatan dan pengembangan kesadaran akan hak dan kewajiban warga negara.
3.2 Politisasi Birokrasi di Indonesia
Birokrasi yang ada di Indonesia memiliki “cerita” dalam melaksanakan tugasnya. Birokrasi Indonesia yang tak hanya berada di pusat pemerintahan, di daerah-daerah memiliki sistem yang berbeda- beda pula. Karena mereka memiliki kebutuhan yang berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya di Indonesia.
Birokrasi yang kental dengan aspek politis inilah yang menajadikan adanya istilah politisasi birokrasi. Secara singkat politisasi yang dimaksudkan adalah cara para elit dan penguasa mempertahankan kekuasaannya dengan mendompleng pada instrumen birokrasi negara. Ketika mereka ingin mendapatkan pelayanan administratif mereka menggerakkan kekuasaan mereka untuk mengintimidasi para birokrat sehingga mau melayani kepentingan para pejabat tersebut. Bahkan, terkadang ada ancaman-ancaman yang diberikan kepada para birokrat jika mereka tidak memeberikan pelayanan administratif sesuai dengan yang pejabat inginkan. Sering juga dijumpai adanya pelicin yang diberikan kepada para birokrat dalam bentuk materi atau hadiah tertentu agar para birokrat ini mampu dan lebih bersemangat dalam menjalakan pelayanan administratif sesuai dengan kepentingan pejabat tersebut.
Dan kita ketahui bahwasanya orientasi atau kecenderungan sikap birokrasi terhadap masyarakat dapat dibedakan menjadi orientasi pelayanan (service orientation) dan orientasi pengendalian sosial. Orientasi pelayanan kepada orang- Dan kita ketahui bahwasanya orientasi atau kecenderungan sikap birokrasi terhadap masyarakat dapat dibedakan menjadi orientasi pelayanan (service orientation) dan orientasi pengendalian sosial. Orientasi pelayanan kepada orang-
atau regulasi guna memelihara ketertiban masyarakat. Sebagai “abdi negara” birokrasi Indonesia lebih berorientasi sebagai “pengatur” . Sedangkan sebagai abdi masyarakat , birokrasi menjadi sebagai pelayan, fasilitator serta membantu dan mempermudah masyarakat dan warga negara dalam urusan atau kepentingan mereka dengan pemerintah.
Berdasarkan sejarah yang telah dialami negara Indonesia, dapat digambarkan tipe politisasi birokrasi di Indonesia, yaitu :
1. Politisasi secara terbuka, dikatakan terbuka karena ada upaya yang dilakukan secara langsung tidak ada hal yang ditutupi-tutupi. Tipe politisasi secara terbuka ini berlangsung pada periode Demokrasi Parlementer (1950- 1959), di mana pada masa ini, para pemimpin partai politik (parpol) bersaing untuk memperebutkan posisi menteri yang langsung memimpin sebuah kementerian. Setelah menduduki kursi menteri, maka sang menteri akan berusaha sekuat tenaga memperlihatkan kepemimpinannya dan kebijakan yang ditempuhnya sehingga para pegawai di kementerian tersebut tertarik untuk masuk dan menjadi anggota ke dalam partai sang menteri. Dengan kondisi seperti itu maka akhirnya didapati beberapa kementerian menjadi basis atau didominasi oleh suatu partai politik seperti misalnya yang jelas terlihat adalah Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pertanian didominasi oleh PNI, Kementerian Agama didominasi secara bergantian oleh NU atau Masyumi, Kementerian Luar Negeri didominasi secara bergantian oleh PSI dan PNI. Jika kita melihat dari pendekatan behavior di sini politik dan kebijakan publik sebagai hasil dari perilaku kelompok besar atau masa, dan pemerintahan sebagai institusi yang hanya mencerminkan massa itu. Kita bisa melihat menggunakan pendekatan behavior di dalam tipe politisasi birokrasi secara terbuka ini di mana sistem pemerintahan yang ada pada tahun 1950 hingga 1959 ini didominasi oleh suatu golongan saja seperti 1. Politisasi secara terbuka, dikatakan terbuka karena ada upaya yang dilakukan secara langsung tidak ada hal yang ditutupi-tutupi. Tipe politisasi secara terbuka ini berlangsung pada periode Demokrasi Parlementer (1950- 1959), di mana pada masa ini, para pemimpin partai politik (parpol) bersaing untuk memperebutkan posisi menteri yang langsung memimpin sebuah kementerian. Setelah menduduki kursi menteri, maka sang menteri akan berusaha sekuat tenaga memperlihatkan kepemimpinannya dan kebijakan yang ditempuhnya sehingga para pegawai di kementerian tersebut tertarik untuk masuk dan menjadi anggota ke dalam partai sang menteri. Dengan kondisi seperti itu maka akhirnya didapati beberapa kementerian menjadi basis atau didominasi oleh suatu partai politik seperti misalnya yang jelas terlihat adalah Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pertanian didominasi oleh PNI, Kementerian Agama didominasi secara bergantian oleh NU atau Masyumi, Kementerian Luar Negeri didominasi secara bergantian oleh PSI dan PNI. Jika kita melihat dari pendekatan behavior di sini politik dan kebijakan publik sebagai hasil dari perilaku kelompok besar atau masa, dan pemerintahan sebagai institusi yang hanya mencerminkan massa itu. Kita bisa melihat menggunakan pendekatan behavior di dalam tipe politisasi birokrasi secara terbuka ini di mana sistem pemerintahan yang ada pada tahun 1950 hingga 1959 ini didominasi oleh suatu golongan saja seperti
2. Politisasi secara tertutup. Politisasi tipe ini berlangsung pada masa Orde Baru. Pada masa mulai dari tingkat pusat (Presiden Soeharto) sampai ke tingkat Desa atau kelurahan (lurah/kepala desa) semuanya diwajibkan untuk menjadi anggota yang sekaligus pembina Golkar. Memang terdapat dua buah partai lagi, yaitu PPP dan PDI, akan tetapi sejak mulai diterima menjadi pegawai negeri setiap orang sudah dihadang untuk membuat pernyataan tertulis di atas kertas yang bermaterai. Di atas kertas tersebut dinyatakan bahwa calon pegawai tersebut tidak akan masuk menjadi anggota parpol. Secara umum pernyataan tertulis itu memberikan kesan bahwa pernyataan itu berlaku bagi Golkar, PPP, dan PDI. Tetapi di dalam realitasnya para calon pegawai itu digiring masuk ke Golkar karena Golkar tidak pernah menyatakan dirinya sebagai parpol. Tegasnya pernyataan tertulis tersebut dipergunakan untuk menghindari keharusan akan adanya larangan tertulis bagi para calon pegawai negeri masuk ke PPP dan PDI. Kepada kedua partai tersebut dapat diajukan bukti, justru pegawai negeri sendiri yang tidak menginginkan masuk parpol. Dapat pula ditambahkan, semua jabatan di bawah menteri yang antara lain jabatan bagi birokrat karier dijadikan jabatan politik. Akibatnya karier birokrat tersumbat karena tidak tersedia jalan bagi para birokrat untuk melakukan mobilitas vertikal menuju posisi-posisi puncak kariernya. Kondisi tersebut dipertajam dengan mekanisme rekruitmen pegawai negeri yang dilakukan secara terbuka dan besar-besaran mendekati waktu pemilihan umum (pemilu).
Dapat kita lihat melalui pendekatan kekuasaan di mana birokrasi pada masa pemerintahan Soeharto ini cara-cara untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan sangat kental. Di mana untuk mempertahankan kekuasaanya dan memperolehnya dilaksanakan dengan cara yang bisa dikatakan “ilegal” dan “amoral “ karena ia memanfaatkan kedudukanya sebagai seorang presiden pada era orde baru untuk mempertahankan Dapat kita lihat melalui pendekatan kekuasaan di mana birokrasi pada masa pemerintahan Soeharto ini cara-cara untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan sangat kental. Di mana untuk mempertahankan kekuasaanya dan memperolehnya dilaksanakan dengan cara yang bisa dikatakan “ilegal” dan “amoral “ karena ia memanfaatkan kedudukanya sebagai seorang presiden pada era orde baru untuk mempertahankan
namun seca ra empiriknya kebijakan tersebut hanya sebagai “alat” untuk melanggengkan kekuasaannya di Indonesia. Seperti terlihat pada seluruh lapisan masyarakat yang akan mendaftar sebagai calon pegawai negeri harus berjanji bahwasanya ia masuk di dalam partai Golkar, walaupun sebenarnya ia tidak terlibat ataupun masuk di dalam partai manapun. Atau yang lebih kerasa lagi di mana pers diambil alih atau diintervensi oleh pemerintahan di era orde baru ini. Di mana apabila ada peristiwa yang akan dipublikasikan menjadi berita jika pihak dari pemerintahan era Soeharto ini tidak setuju karena “kepentinganya” maka berita itu tidak akan dipublish ke
seluruh lapisan masyarakat. Hal ini jelas bahwa Ia sangat memanfaatkan kekuasaanya demi kepentingannya untuk bertahan, langgeng di singgasana kepresidenan pada masa orde baru.
Meskipun diakui bahwa penerapan kebijakan monoloyalitas birokrasi pada masa orde baru ikut membantu menciptakan stabilitas dan kemampuan umum pemerintah yang memungkinkan pemerintah didukung birokrasi melakukan pembangunan di berbagai bidang tetapi kinerja birokrasi hanya menguntungkan penguasa dan bukan rakyat. Hal ini berbeda dengan era orde lama yang sangat sulit melakukan pembangunan karena anggota birokrasi terpecah belah ke dalam berbagai afiliasi politik (partai-partai politik berbasis Nasakom).
Fenomena-Fenomena Politisasi Birokrasi
1. Mempolitisir fasilitas negara Politisasi birokrasi berupa penggunaan fasilitas negara sangat bisa dilihat menjelang pemilihan umum. Meskipun tentang netralitas birokrasi telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1999 yang menyatakan bahwa “Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan tidak bertindak diskriminatif, khususnya dalam memberikan pelayanan 1. Mempolitisir fasilitas negara Politisasi birokrasi berupa penggunaan fasilitas negara sangat bisa dilihat menjelang pemilihan umum. Meskipun tentang netralitas birokrasi telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1999 yang menyatakan bahwa “Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan tidak bertindak diskriminatif, khususnya dalam memberikan pelayanan
Beberapa hasil penelitian melaporkan adanya fasilitas negara yang turut dipakai pada saat proses rapat-rapat konsolidasi, lobi politik dengan partai politik lain, dan kampanye (mobilisasi massa). Fasilitas negara yang biasanya dimanfaatkan adalah mobil dinas, pakaian dinas, dan ruang-ruang rapat (gedung-gedung) milik negara. Penggunaan fasilitas negara ini bisa dilakukan oleh birokrat-birokrat yang sedang menjalani proses politik (pemilu). Dapat dilihat bahwa mereka menggunakan fasilitas negara demi kepentingan mereka atau golongan mereka saja. Tanpa mempedulikan bahwa fasilitas itu diberikan dari uang rakyat yang berupa pajak yang telah mereka bayar pada pemerintah.
Seharusnya fasilitas tersebut digunakan untuk kepentingan umum. Sebenarnya bahwa fasilitas tersebut juga diperuntukkan untuk birokrat namun dalam hal untuk sebagai sarana membuat kebijakan publik atau menjalankan sistem pemerintahan yang pas, sesuai dengan kondisi yang ada di Indonesia pada masanya. Sehingga penyalahan penggunaan fasilitas negara ini, tidak sesuai karena mereka menggunakanya guna kepentingan mereka agar bisa melanggengkan, mempertahankan kekuasaan yang telah mereka peroleh di pemerintahan.
2. Memobilisasi pegawai negeri pada saat pemilu dan pilkada
Politisasi birokrasi melalui mobilisasi (pengerahan) PNS pada saat pilkada, berarti sekali lagi berbicara tentang netralitas birokrasi. Beberapa upaya untuk menetralkan birokrasi sebenarnya pernah dilakukan. Miftah Toha (2007: hlm 156-
159) mengatakan bahwa netralitas birokrasi di era reformasi sudah banyak berkembang. Hal ini bermula ketika eksistensi organisasi KORPRI digugat oleh beberapa pihak, misalnya gugatan yang datang dari UI dan desakan untuk membubarkan KORPRI atau bersikap netral dalam setiap proses politik.
Meskipun saat itu masih ada juga beda pendapat tentang keharusan pegawai negeri untuk netral dan tidak menjadi pengurus partai politik atau menganggap bahwa berpolitik itu adalah hak azasi setiap manusia. Pada kenyataannya, pendapat kedualah yang masih dilestarikan. Sehingga kenetralan pegawai negeri dalam proses politik jauh panggang dari api. Dalam setiap pemilu, suara pegawai negeri menjadi salah satu modal yang menjanjikan. Pemanfaatan suara pegawai negeri ini jelas sangat mudah bagi kandidat incumbent. Dengan iming-iming janji akan diberi jabatan atau perintah untuk mendukung atasannya, mobilisasi pegawai negeri pada saat pemilu dan pilkada sangat banyak terjadi baik proses pemilihan di tingkat kabupaten/kota, propinsi, dan juga pusat.
3. Adanya Kompensasi Jabatan Kompensasi jabatan ini banyak terjadi dan mudah dilihat di tingkat pusat. Pasca gerakan reformasi 1998, terjadi kecenderungan intervensi politisi terhadap berbagai kebiajkan birokrasi. Muncul fenomena masuknya aktor-aktor politik baru ke dalam sistem pemerintahan. Contoh yang paling baru adalah adanya koalisi dalam kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, di mana di situ terlihat partai-partai yang bersedia berkoalisi dengan Partai Demokrat mendapatkan jatah kursi di kabinet.
Jumlah kursi yang didapat sesuai dengan jumlah suara yang diperoleh saat pemilihan legislatif, tetapi disertai juga dengan politik tawar menawar. Di daerah jabatan-jabatan strategis (sekda, kepala biro, kepala dinas, kepala kantor, kepala badan) menjadi ajang lobi politik antara partai pemenang dengan partai-partai lainnya. Dampak yang muncul dari kompensasi jabatan antara penguasa dan partai politik Jumlah kursi yang didapat sesuai dengan jumlah suara yang diperoleh saat pemilihan legislatif, tetapi disertai juga dengan politik tawar menawar. Di daerah jabatan-jabatan strategis (sekda, kepala biro, kepala dinas, kepala kantor, kepala badan) menjadi ajang lobi politik antara partai pemenang dengan partai-partai lainnya. Dampak yang muncul dari kompensasi jabatan antara penguasa dan partai politik
4. Mempolitisir Rekruitment Pegawai Negeri baru Selain kompensasi jabatan, deal-deal yang terjadi antara penguasa dan partai-partai koalisi adalah pemberian jatah pada saat pemerintah pusat atau pemerintah daerah akan mengadakan rekruitmen pegawai negeri baru. Seperti diketahui, meskipun sudah banyak orang tahu bahwa menjadi pegawai negeri itu gajinya kecil, tetapi adanya rasa aman dan tenteram karena tiap bulan sudah pasti dapat gaji (kepastian) adalah salah satu faktor utama kenapa rakyat Indonesia masih sangat banyak yang bercita-cita menjadi pegawai negeri. Dan pembagian jatah itu jelas terlihat karena untuk menjadi pegawai negeri harus ada yang ”membawa”.
Dan salah satu pihak yang bisa ”membawa” adalah (atas nama) partai-partai politik. Selain itu pula kita ketahui kasus yang pernah marak di Indonesia mengenai politik dinasti, d imana kita kenal Ratu Atut Chosiyah yang dahulu menjabat sebagai gubernur Banten menjadikan hampir seluruh anggota keluarganya duduk di jabatan pemerintahan wilayah tersebut. Keberadaan calon daerah yang memiliki hubungan kekerabatan ini dijuluki sejumlah pihak sebagai politik dinasti. Namun apakah itu imbas dari demokrasi? Menanggapi hubungan kekerabatan dalam politik Banten, Ratu Tatu Chasanah menyebut hal itu telah dipatahkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi pada waktu itu yang menganulir Pasal 7 huruf r UU Nomor 8 tahun 2015 Dan salah satu pihak yang bisa ”membawa” adalah (atas nama) partai-partai politik. Selain itu pula kita ketahui kasus yang pernah marak di Indonesia mengenai politik dinasti, d imana kita kenal Ratu Atut Chosiyah yang dahulu menjabat sebagai gubernur Banten menjadikan hampir seluruh anggota keluarganya duduk di jabatan pemerintahan wilayah tersebut. Keberadaan calon daerah yang memiliki hubungan kekerabatan ini dijuluki sejumlah pihak sebagai politik dinasti. Namun apakah itu imbas dari demokrasi? Menanggapi hubungan kekerabatan dalam politik Banten, Ratu Tatu Chasanah menyebut hal itu telah dipatahkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi pada waktu itu yang menganulir Pasal 7 huruf r UU Nomor 8 tahun 2015
Pasal tersebut mensyaratkan bahwa calon kepala daerah tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Dalam penjelasan, yang dimaksud sebagai “Konflik Kepentingan” adalah sang calon
berhubungan darah, hingga ipar dan menantu dengan pemimpin daerah misal bupati atau gubernur. “Kalau terlihat keluarga saya mendominasi, itu akibat dari demokrasi.
Semua punya hak, semua punya peluang. Sebetulnya ketika peluang itu diberikan sebetulnya tidak secara otomatis keluarga saya bisa memenangkanya.” katanya.
Namun jika kita melihat hal tersebut itu bisa juga dibilang menutup demokrasi bukan dampak dari demokrasi. Kekuasaan oligarki politik di provinsi Banten itu, justru menutup ruang demokrasi. Ruang demokrasi justru menjadi tertutup justru di instrumen demokrasi itu sendiri. Kalau kita telusuri sejak pilkada tahun 2005 sampai sekarang, sesungguhnya kekuaasaan berpindah di antara mereka saja. Dan benar-benar menutup ruang untuk masyarakat sipil. Menurut saya sendiri praktik politik kekerabatan seperti yang terjadi di wilayah provinsi Banten sangat merugikan rakyat. Politik telah dimonopoli dan pilihan rakyat sangat terbatas.
5. Adanya Komersialisasi Jabatan Komersialisasi jabatan dalam praktek politisasi birokrasi bisa dijelaskan sebagai berikut : Pertama, bahwa seorang birokrat di satu sisi, untuk memperoleh kesempatan mengikuti pendidikan, pelatihan, dan kenaikan pangkat membutuhkan biaya yang cukup besar. Di sisi yang lain harus merogoh koceknya kembali untuk mendapatkan suatu posisi dalam jenjang karirnya. Oleh karena itu, seorang birokrat harus melakukan komersialisasi jabatan untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan selama mengikuti pendidikan, pelatihan, dan mendapatkan 5. Adanya Komersialisasi Jabatan Komersialisasi jabatan dalam praktek politisasi birokrasi bisa dijelaskan sebagai berikut : Pertama, bahwa seorang birokrat di satu sisi, untuk memperoleh kesempatan mengikuti pendidikan, pelatihan, dan kenaikan pangkat membutuhkan biaya yang cukup besar. Di sisi yang lain harus merogoh koceknya kembali untuk mendapatkan suatu posisi dalam jenjang karirnya. Oleh karena itu, seorang birokrat harus melakukan komersialisasi jabatan untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan selama mengikuti pendidikan, pelatihan, dan mendapatkan
Dalam pendekatan moral sebenarnya hal ini tidak diperbolehkan. Karena di sini, di dalam pendekatan ini politik dianggap sebagai sesuatu yang mulia, karena politik merupakan kegiatan untuk mendiskusikan dan merumuskan “good society ” atau “the best regime” misalnya dengan kegiatan ini, kemudian muncul pemikiran tentang pemerintahan yang bersih dan melayani publik. Dalam hal ini maka sesungguhnya birokrat di sini tidak hanya mengambil sebuah keuntungan berupa materi saja, dan juga ia berkerja di dalam birokrasi pemerintahan bukan hanya sebagai “timbal balik” materi yang telah ia keluarkan dan ia bekerja di dalam suatu institusi untuk mengganti materi yang telah ia kelaurkan. Ia seharusnya memberikan ilmu yang telah ia dapatkan semasa pelatihan maupun pendidikan untuk masyarakat.
Kedua, pada umumnya seperti yang diketahui banyak orang bahwa motivasi para birokrat untuk mengikuti pendidikan dan latihan bukan untuk menguasai keahlian yang profesional tetapi hanya untuk memenuhi syarat formal guna memperoleh kenaikan pangkat dan jabatan. Politisasi dipandang sebagai sebuah alternatif untuk melicinkan jalan menuju jabatan tersebut. Jadi meskipun sudah diselenggarakan pendidikan dan pelatihan secara profesional tetapi begitu mulai melaksanakan pekerjaannya para birokrat tadi kembali menempuh langkah-langkah politisasi untuk mengamankan posisi jabatannya.