Bayar Pajak Bukti Cintamu Pada Negeri
BAYAR PAJAK, BUKTI CINTAMU PADA NEGERI
Because Love is not Zero Rupiah, anda pasti setuju dengan pernyataan ini bukan? Love butuh
pengorbanan, pastinya butuh biaya. Not zero rupiah, alias gak gratis. Kita boleh mengaku cinta kepada
bangsa dan negara, cinta negeri. Tetapi, ketika ditagih kontribusi pajak-nya untuk membangun bangsa dan
negara mengapa semua menjadi diam seolah tidak mendengar? Termasuk juga tanah yang kita diami di
atasnya, yang kita kuasai, harus dibayar PBB nya (P2 dan P3) dan ini merupakan konsekuensi dari
undang-undang yang menyatakan bahwa bumi, air, dan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara. Di negeri kita PBB Perkotaan dan Pedesaan (P2) di kelola oleh Pemda setempat dan untuk P3
(Perkebunan, Perhutanan, dan Pertambangan) dikelola oleh Pemerintah Pusat. Potensi PBB P2 Indonseia
pada tahun 2014 mencapai Rp 8,5 Triliun. Sementara itu sebuah artikel akhir-akhir ini menyebutkan,
terkait isu dihapusnya PBB, potensi PBB yang hilang mencapai Rp 26,6 Triliun. Sebagai perbandingan,
dalam penelitian Nor Aziah, potensi PBB Malaysia pada tahun 2001 mencapai US$ 158 juta, jumlah yang
cukup besar bukan? Coba bandingkan dengan wilayah Indonesia yang sangat luas, dari sabang sampai
merauke, sudah semestinya jauh lebih besar. Land Taxpayers atau yang kita sebut sebagai WP PBB aga
susah untuk mengecilkan pembayaran pajaknya, tidak seperti pajak penghasilan yang biasanya dibuat
underreport oleh WP. Tetap saja, masih banyak perilaku wp yang menghindar, tidak membayar pajak.
Meskipun begitu, berdasarkan penelitian faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku WP PBB mirip
dengan pajak penghasilan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nor Aziah Abdul Manaf, ada 14
faktor, yang juga mempengaruhi pembayar pajak penghasilan, yang mempengaruhi perilaku WP PBB.
Dari ketiga belas faktor tersebut, 3 faktor yang menurut penulis paling signifikan adalah ras, pendidikan,
dan tingkat pendapatan.
Ras (suku, bangsa) atau dalam bahasa inggris disebut Race memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap perilaku WP. Jadi, ada ras tertentu (tidak bermaksud rasis) yang biasanya lebih cenderung
berperilaku penghindaran pajak dibanding dengan ras yang lainnya. Bagaimana bisa begitu? ini tanpa ada
maksud mengyinggung rasis sama sekali lho ya :) . Bukan karena warna kulit, postur tubuh, atau dari
daerah mana seseorang berasal, tapi lebih kepada pola pikir (kebiasaan, budaya) yang melekat pada ras
tersebut. Sekali lagi, biasanya (bukan pasti) ada yang “menggenggam erat” harta mereka. Khususnya, jika
terkait PBB bisa juga dipengaruhi pengalaman masa lalu yang membentuk ras tersebut. Seperti, tegas dan
kuatnya perlawanan terhadap penjajah yang meminta upeti atas tanah yang mereka diami secara turuntemurun. Tentu ras asli, atau sering kita sebut dengan pribumi, yang sudah mendiami tanahnya turuntemurun dan bahkan mungkin lebih dari 7 turunan akan merasa memiliki, menjadi penguasa, atas tanah
1
atau bumi tersebut. Sehingga mereka akan marah jika diminta uang untuk membayarnya, terlebih lagi
yang minta adalah penjajah.
Faktor yang kedua adalah pendidikan. Apa itu pajak? Apa sih gunanya? Kenapa saya harus
bayar? Pertanyaan-pertanyaan ini bagi kita, yang notabene telah mengecap bangku kuliah tentu mudah
untuk menjawabnya dan sekaligus juga memahaminya. Iya bagi kita, tapi belum tentu bagi yang lain.
Wilayah Indonesia sangat luas, tidak menutup kemungkinan tidak meratanya tingkat pendidikan
khususnya di pelosok daerah. Lebih lanjut lagi, tidak semua orang juga mengetahui apa sih dampaknya
jika gak bayar pajak? Penelitian membuktikan bahwa tingginya tingkat pendidikan seseorang, ia lebih
toleran untuk membayar pajak. Sebaliknya, rendahnya tingkat pendidikan orang cenderung untuk tidak
mau membayar. Sebagian kita mungkin pernah atau sering mendengar, warga yang marah ketika ditagih
atau diperiksa kewajiban perpajakannya. Kasus yang sering dijumpai adalah di daerah atau
perkampungan. Ada juga yang marah sampai mengeluarkan senjata tajam (parang) dan mengancam
petugas pajak yang datang menagih utang pajak yang belum dibayar. Untuk menghadapi hal ini,
pengalaman dari beberapa rekan, adalah dengan komunikasi yang baik dan persuasif. Lebih baik lagi, jika
kita bisa bekerja sama dengan orang yang dipandang baik oleh warga setempat, misal kiyai setempat atau
pemuka agama, dan sebagainya.
Faktor berikutnya adalah tingkat pendapatan. Besar pasak daripada tiang. Mungkin ini yang
dipikirkan oleh sebagian orang. Untuk apa bayar pajak? Sudah penghasilan rendah harus bayar pajak lagi.
Penelitian yang dilakukan oleh Nor Aziah menggambarkan bahwa orang dengan tingkat pendapatan yang
tidak terlalu tinggi cenderung tidak membayar pajak daripada yang berpenghasilan tinggi. 76 persen
orang yang berpenghasilan tidak terlalu tinggi yang memiliki tanah tapi tidak membayar pajaknya.
Karena bagaimanapun juga, PBB sifat nya tetap, tidak seperti pajak penghasilan yang tarifnya fleksibel
yang akan meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan. Orang akan menanggung beban pajak
yang lebih besar dibandingkan dengan orang yang berpenghasilan tinggi.
Tidak seperti pajak penghasilan yang sering dengan mudahnya dibuat underreport untuk
mengecilkan pajak, PBB sulit untuk dikecilkan karena sudah dihitung dan ditetapkan oleh pemerintah
setempat. Tapi, itu pun masih banyak WP yang tidak bayar. Banyak faktor yang mempengaruhi perilaku
WP dalam hal ini dan faktor-faktor tersebut ternyata mirip dengan yang mempengaruhi perilaku WP
terkait pajak penghasilan (Nor Aziah). Faktor-faktor yang signifikan yang mempengaruhinya adalah ras,
pendidikan, dan tingkat pendapatan. Terlepas dari itu, jika memang kita mencintai negeri ini, mari
buktikan cinta itu dengan membayar pajak, berkontribusi untuk pembangunan bangsa dan negara.
2
Referensi:
Manef, Nor Aziah Abdul, Hasseldine, John dan Hodges, Ron. 2005. The determinants of Malaysian land
taxpayers’ compliance attitudes’. eJournal of Tax Research, vol. 3(2), pp. 206-221.
Fitriya. 13 Februari 2015. Jika PBB Dihapus, Negara Kehilangan Potensi Penerimaan Rp26,6 Triliun.
https://www.ipotnews.com/index.php?
jdl=Jika_PBB_Dihapus__Negara_Kehilangan_Potensi_Penerimaan_Rp26_6_Triliun&id=3394733#.
VbTz_CuUeSo. Diakses pada tanggal 26 Juli 2015
Laili,
Amin.
29
Agustus
2014.
PBB
Sektor
Keenam
Sebagai
Pajak
Pusat.
http://www.pajak.go.id/node/11386?lang=en. Diakses pada tanggal 26 Juli 2015.
____. 11 Januari 2014. Potensi Setoran PBB ke Kas Daerah Pada 2014 Capai Rp 8,5 Triliun.
http://www.linggapos.com/14555_potensi-setoran-pbb-ke-kas-daerah-pada-2014-capai-rp85triliun.html. Diakses pada tanggal 26 Juli 2015.
3
Because Love is not Zero Rupiah, anda pasti setuju dengan pernyataan ini bukan? Love butuh
pengorbanan, pastinya butuh biaya. Not zero rupiah, alias gak gratis. Kita boleh mengaku cinta kepada
bangsa dan negara, cinta negeri. Tetapi, ketika ditagih kontribusi pajak-nya untuk membangun bangsa dan
negara mengapa semua menjadi diam seolah tidak mendengar? Termasuk juga tanah yang kita diami di
atasnya, yang kita kuasai, harus dibayar PBB nya (P2 dan P3) dan ini merupakan konsekuensi dari
undang-undang yang menyatakan bahwa bumi, air, dan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara. Di negeri kita PBB Perkotaan dan Pedesaan (P2) di kelola oleh Pemda setempat dan untuk P3
(Perkebunan, Perhutanan, dan Pertambangan) dikelola oleh Pemerintah Pusat. Potensi PBB P2 Indonseia
pada tahun 2014 mencapai Rp 8,5 Triliun. Sementara itu sebuah artikel akhir-akhir ini menyebutkan,
terkait isu dihapusnya PBB, potensi PBB yang hilang mencapai Rp 26,6 Triliun. Sebagai perbandingan,
dalam penelitian Nor Aziah, potensi PBB Malaysia pada tahun 2001 mencapai US$ 158 juta, jumlah yang
cukup besar bukan? Coba bandingkan dengan wilayah Indonesia yang sangat luas, dari sabang sampai
merauke, sudah semestinya jauh lebih besar. Land Taxpayers atau yang kita sebut sebagai WP PBB aga
susah untuk mengecilkan pembayaran pajaknya, tidak seperti pajak penghasilan yang biasanya dibuat
underreport oleh WP. Tetap saja, masih banyak perilaku wp yang menghindar, tidak membayar pajak.
Meskipun begitu, berdasarkan penelitian faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku WP PBB mirip
dengan pajak penghasilan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nor Aziah Abdul Manaf, ada 14
faktor, yang juga mempengaruhi pembayar pajak penghasilan, yang mempengaruhi perilaku WP PBB.
Dari ketiga belas faktor tersebut, 3 faktor yang menurut penulis paling signifikan adalah ras, pendidikan,
dan tingkat pendapatan.
Ras (suku, bangsa) atau dalam bahasa inggris disebut Race memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap perilaku WP. Jadi, ada ras tertentu (tidak bermaksud rasis) yang biasanya lebih cenderung
berperilaku penghindaran pajak dibanding dengan ras yang lainnya. Bagaimana bisa begitu? ini tanpa ada
maksud mengyinggung rasis sama sekali lho ya :) . Bukan karena warna kulit, postur tubuh, atau dari
daerah mana seseorang berasal, tapi lebih kepada pola pikir (kebiasaan, budaya) yang melekat pada ras
tersebut. Sekali lagi, biasanya (bukan pasti) ada yang “menggenggam erat” harta mereka. Khususnya, jika
terkait PBB bisa juga dipengaruhi pengalaman masa lalu yang membentuk ras tersebut. Seperti, tegas dan
kuatnya perlawanan terhadap penjajah yang meminta upeti atas tanah yang mereka diami secara turuntemurun. Tentu ras asli, atau sering kita sebut dengan pribumi, yang sudah mendiami tanahnya turuntemurun dan bahkan mungkin lebih dari 7 turunan akan merasa memiliki, menjadi penguasa, atas tanah
1
atau bumi tersebut. Sehingga mereka akan marah jika diminta uang untuk membayarnya, terlebih lagi
yang minta adalah penjajah.
Faktor yang kedua adalah pendidikan. Apa itu pajak? Apa sih gunanya? Kenapa saya harus
bayar? Pertanyaan-pertanyaan ini bagi kita, yang notabene telah mengecap bangku kuliah tentu mudah
untuk menjawabnya dan sekaligus juga memahaminya. Iya bagi kita, tapi belum tentu bagi yang lain.
Wilayah Indonesia sangat luas, tidak menutup kemungkinan tidak meratanya tingkat pendidikan
khususnya di pelosok daerah. Lebih lanjut lagi, tidak semua orang juga mengetahui apa sih dampaknya
jika gak bayar pajak? Penelitian membuktikan bahwa tingginya tingkat pendidikan seseorang, ia lebih
toleran untuk membayar pajak. Sebaliknya, rendahnya tingkat pendidikan orang cenderung untuk tidak
mau membayar. Sebagian kita mungkin pernah atau sering mendengar, warga yang marah ketika ditagih
atau diperiksa kewajiban perpajakannya. Kasus yang sering dijumpai adalah di daerah atau
perkampungan. Ada juga yang marah sampai mengeluarkan senjata tajam (parang) dan mengancam
petugas pajak yang datang menagih utang pajak yang belum dibayar. Untuk menghadapi hal ini,
pengalaman dari beberapa rekan, adalah dengan komunikasi yang baik dan persuasif. Lebih baik lagi, jika
kita bisa bekerja sama dengan orang yang dipandang baik oleh warga setempat, misal kiyai setempat atau
pemuka agama, dan sebagainya.
Faktor berikutnya adalah tingkat pendapatan. Besar pasak daripada tiang. Mungkin ini yang
dipikirkan oleh sebagian orang. Untuk apa bayar pajak? Sudah penghasilan rendah harus bayar pajak lagi.
Penelitian yang dilakukan oleh Nor Aziah menggambarkan bahwa orang dengan tingkat pendapatan yang
tidak terlalu tinggi cenderung tidak membayar pajak daripada yang berpenghasilan tinggi. 76 persen
orang yang berpenghasilan tidak terlalu tinggi yang memiliki tanah tapi tidak membayar pajaknya.
Karena bagaimanapun juga, PBB sifat nya tetap, tidak seperti pajak penghasilan yang tarifnya fleksibel
yang akan meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan. Orang akan menanggung beban pajak
yang lebih besar dibandingkan dengan orang yang berpenghasilan tinggi.
Tidak seperti pajak penghasilan yang sering dengan mudahnya dibuat underreport untuk
mengecilkan pajak, PBB sulit untuk dikecilkan karena sudah dihitung dan ditetapkan oleh pemerintah
setempat. Tapi, itu pun masih banyak WP yang tidak bayar. Banyak faktor yang mempengaruhi perilaku
WP dalam hal ini dan faktor-faktor tersebut ternyata mirip dengan yang mempengaruhi perilaku WP
terkait pajak penghasilan (Nor Aziah). Faktor-faktor yang signifikan yang mempengaruhinya adalah ras,
pendidikan, dan tingkat pendapatan. Terlepas dari itu, jika memang kita mencintai negeri ini, mari
buktikan cinta itu dengan membayar pajak, berkontribusi untuk pembangunan bangsa dan negara.
2
Referensi:
Manef, Nor Aziah Abdul, Hasseldine, John dan Hodges, Ron. 2005. The determinants of Malaysian land
taxpayers’ compliance attitudes’. eJournal of Tax Research, vol. 3(2), pp. 206-221.
Fitriya. 13 Februari 2015. Jika PBB Dihapus, Negara Kehilangan Potensi Penerimaan Rp26,6 Triliun.
https://www.ipotnews.com/index.php?
jdl=Jika_PBB_Dihapus__Negara_Kehilangan_Potensi_Penerimaan_Rp26_6_Triliun&id=3394733#.
VbTz_CuUeSo. Diakses pada tanggal 26 Juli 2015
Laili,
Amin.
29
Agustus
2014.
PBB
Sektor
Keenam
Sebagai
Pajak
Pusat.
http://www.pajak.go.id/node/11386?lang=en. Diakses pada tanggal 26 Juli 2015.
____. 11 Januari 2014. Potensi Setoran PBB ke Kas Daerah Pada 2014 Capai Rp 8,5 Triliun.
http://www.linggapos.com/14555_potensi-setoran-pbb-ke-kas-daerah-pada-2014-capai-rp85triliun.html. Diakses pada tanggal 26 Juli 2015.
3