Hubungan Lembaga Penegak Hukum dalam Sis (1)

Hubungan Lembaga Penegak Hukum dalam Sistem Peradilan Pidana
Pada awalnya kelahiran KUHAP mampu memberikan harapan akan terwujudnya
penegakan hukum pidana yang lebih efektif, adil dan menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia dibandingkan hukum acara yang berlaku sebelumnya Het Herziene Inlandsch
Reglement (HIR). Namun demikian setelah 28 tahun berlaku, harapan-harapan terhadap
KUHAP telah berubah menjadi pertanyaan-pertanyaan akan harapan terwujudnya penegakan
hukum yang dicita-citakan. Disamping itu seiring dengan perkembangan masyarakat dan
kompleksitas penanganan masalah hukum dalam proses penegakannya, banyak ditemukan
ketentuan-ketentuan KUHAP yang mengandung penafsiran sekehendak dari pihak yang
berkepentingan sehingga menghilangkan aspek kepastian hukumnya.
Sebagai subsistem dari substansi hukum, KUHAP menjadi pedoman umum yang
dijadikan landasan bekerjanya sistem peradilan pidana oleh lembaga penegak hukum,
Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan serta Penasehat Hukum.
Dengan demikian kondisi yang ada pada KUHAP dengan kekurangan dan kelebihannya akan
menjadi sangat mempengaruhi bekerjanya sistem peradilan pidana, bahkan tidak mungkin
kelemahan yang ada pada KUHAP akan mengarah pada terjadinya kerusakan sistem
peradilan pidana.
Demikian pula yang terjadi dalam hal hubungan antar lembaga penegak hukum
berdasarkan kewenangannya masing-masing. Diawali dengan bekerjanya kewenangan
Kepolisian dan Kejaksaan sebagai gerbang utama dimulainya prosedur penegakan hukum.
Bisa dikatakan dominasi kedua lembaga ini akan sangat menentukan proses penegakan

hukum yang selama ini berjalan, bahkan ada pendapat yang menagatakan prosedur yang
selama ini berjalan membagi fungsi penegakan dalam dua sistem yang terpisah, yakni
penyidikan (crimininal investigation) dan penuntutan (prosecution) sebagai bagian terpenting
dalam penegakan hukum dirancang untuk dilaksanakan oleh subsistem yang terpisah.
Penyidikan menjadi fungsi utama subsistem Kepolisian, sementara penuntutan sepenuhnya
menjadi fungsi subsistem Kejaksaan.
1. Hubungan antara Kepolisian dan Kejaksaan.
Kepolisian dan Kejaksaan merupakan dua instansi penegak hukum yang memiliki
hubungan fungsional sangat erat. Keduanya seharusnya dapat bekerja sama dan melakukan
koordinasi dengan baik untuk mencapai tujuan dari sistem ini. Akan tetapi dalam prakteknya
sering terjadi miskoordinasi sehingga berpengaruh terhadap proses penuntutan yang menjadi
kewenangan Kejaksaan, karena keberhasilan dalam melakukan penuntutan tergantung dari
hasil penyidikan yang tepat dan dukungan alat bukti yang cukup.

KUHAP telah mengatur dan menentukan hubungan penyidikan dan penuntutan,
dalam beberapa aspek yakni :
1) Pemberitahun telah dimulainya Penyidikan kepada Penuntut Umum (Pasal 109 ayat 1);
2) Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (Pasal 109 ayat 2), sebaliknya dalam hal Penuntut
Umum menghentikan penuntutan, ia memberikan Surat Ketetapan kepada Penyidik ( Pasal
140 ayat 2 huruf c );

3) Penuntut Umum memberikan perpanjangan penahanan atas permintaan penyidik ( Pasal 14
huruf c, Pasal 24 ayat 2 );
4) Kegiatan Prapenuntutan (Pasal 14, Pasal 110 ayat (3) dan (4), Pasal 138 KUHAP).
5)

Penuntut Umum memberikan turunan surat pelimpahan perkara, surat dakwaan kepada
penyidik ( Pasal 143 ayat 4 ), demikian pula dalam hal Penuntut Umum mengubah surat
dakwaan ia memberikan turunan perubahan surat dakwaan itu kepada penyidik ( Pasal 144
ayat 3 );

6)

Dalam acara pemeriksaan cepat, penyidik atas kuasa Penuntut Umum ( demi hukum ),
melimpahkan berkas perkara dan menghadapkan terdakwa, saksi/ahli, juru bahasa dan barang
bukti pada sidang pengadilan ( Pasal 205 ayat 2 ).
Dalam praktek, pelaksanaan fungsi penyidikan dan penuntutan sebagaimana diatur
dalam KUHAP masih sering ditemui berbagai permasalahan, antara lain :

a)


Penyidik sejak mulai melakukan Penyelidikan harus sudah menyampaikan Surat
Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan kepada Penuntut Umum (vide Pasal 109 ayat 1),
namun demikian sering ditemui penyerahan SPDP disertai dengan penyerahan Berkas
Perkara tahap pertama, hal tersebut tentunya menjadi pertanyaan, bahwa mana bisa
penyidikan telah selesai dilkakukan dan harus diserahkan kepada penuntut umum (vide pasal
110 ayat 1), pada waktu bersamaan dikeluarkannya SPDP.

b)

Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan segera mempelajari dan menelitinya.
Kemudian dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil
penyidikan itu sudah lengkap atau belum (vide Pasal 138 ayat 1), kemudian jika dalam waktu
14 hari penuntut tidak memberitahukan/mengembalikan hasil penyidikan (berkas perkara)
maka penyidikan dianggap telah selesai (vide Pasal 110 ayat 4). Hal sebaliknya tidak berlaku
bagi penyidik, yang seharusnya setelah waktu 14 hari setelah menerima pengembalian berkas
perkara beserta petunjuk penuntut umum harus sudah kembali, namun sering kali penyidik
tidak mengirim kembali berkas perkara kepada penuntut umum. Dan kondisi ini tidak ada
konsekuensi bagi penyidik, sehingga penyelesaian berkas perkara semakin lama.

c) Berkas perkara bolak-balik antara penyidik dan penuntut umum dalam hal ada petunjuk yang

harus dipenuhi dalam rangka kelengkapan berkas perkara. Contoh kasus perdata yang

dipidanakan, sehingga berkas bolak-balik tidak bisa ketemu dan tidak dapat memberikan
petunjuk untuk mengeluarkan SP3.
d) Adanya pengembalian berkas oleh penyidik kepada penuntut umum dengan catatan “sudah
maksimal, karena tidak dapat melengkapi berkas sebagaimana petunjuk umum, sedangan
penuntut umum diberikan kewenangan terbatas hanya untuk melakukan pemeriksaan diluar
tersangka, serta tidak ada pengaturan mengenai status tahanannya.
Disamping itu selama ini, tugas penyidikan dirasa selesai hanya sebatas telah
diserahterimakannya berkas perkara, tersangka dan barang bukti ke Penuntut Umum pasca
berkas perkara dinyatakan lengkap (P-21) oleh Penuntut Umum. Selanjutnya tanggung jawab
penyelesaian perkara untuk disidangkan dan diperiksa di pengadilan adalah tanggungjawab
penuh Kejaksaan.
Dalam melaksanakan kewenangan penyelidikan dan penyidikan, KUHAP juga telah
mengatur hubungan penyidik dengan Hakim/pengadilan, yakni:
a.

Ketua Pengadilan Negeri dengan keputusannya memberikan perpanjangan penahanan
sebagaimana dimaksud Pasal 29 atas permintaan penyidik;


b.

Atas permintaan Penyidik, Ketua Pengadilan Negeri menolak atau memberikan surat izin
penggeledahan rumah atau penyitaan dan /atau surat izin khusus pemeriksaan surat (Pasal 33
ayat 1, Pasal 38 ayat 1);

c.

Penyidik wajib segera melapor kepada Ketua Pengadilan Negeri atas pelaksanaan
penggeledahan rumah atau penyitaan yang dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dan
mendesak sebagaimana dimaksud Pasal 34 ayat 2 dan Pasal 38 ayat 2;

d.

Penyidik memberikan kepada panitera bukti bahwa surat amar putusan telah disampaikan
kepada terpidana (Pasal 214 ayat 3);

e.

Panitera memberitahukan kepada penyidik tentang adanya perlawanan dari terdakwa (Pasal

214 ayat 7)
Berpijak pada kerangka sistem peradilan pidana, sesungguhnya penyidikan
merupakan bagian integral dari penuntutan. KUHAP telah menentukan bahwa untuk dapat
atau tidaknya suatu perkara dinyatakan lengkap dan kemudian dapat atau tidaknya diperiksa
di pengadilan sampai dengan pelaksanaan putusan pengadilan adalah kewenangan Kejaksaan,
untuk itu ada tanggung jawab moral Lembaga Kejaksaan karena peran dan wewenangnya
yang begitu central untuk secara intens mengikuti perkembangan penyidikan yang dilakukan
penyidik, namun demikian melihat permasalahan yang sering muncul dan terbatasnya waktu
yang diberikan KUHAP kepada Lembaga Kejaksaan menimbulkan permasalahan yang suatu
waktu dapat muncul dipersidangan, dan mempengaruhi proses persidangan itu sendiri.

Kedepan dalam rangka penyusunan Undang-undang Hukum Acara Pidana yang baru,
hendaknya permasalahan tersebut diatas dapat terakomodir dengan baik dan ketentuan yang
dirumuskan mampu mengeliminir causa ketidakharmonisan hubungan Kepolisian dan
Kejaksaan.

2. Hubungan Kejaksaan, Pengadilan dan Penasehat Hukum.
Proses selanjutnya setelah berkas perkara dinyatakan lengkap dan dapat dilimpahkan
ke pengadilan adalah melakukan pemeriksaan dan mengadili terdakwa berdasarkan ketentuan
perundang-undangan yang didakwakan. Dalam proses ini melibatkan Jaksa Penuntut Umum

(Kejaksaan), Hakim (Lembaga Pengadilan) dan Penasehat hukum.
Bagaimana badan peradilan berdasarkan KUHAP menyelenggarakan proses
peradilannya. KUHAP memiliki sepuluh asas sebagai berikut :
1) Perlakuan yang sama di muka hukum;
2) Praduga tidak bersalah;
3) Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi;
4) Hak untuk memperoleh bantuan hukum;
5) Hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan;
6) Peradilan yang bebas, dan dilakukan dengan cepat dan sederhana;
7) Peradilan yang terbuka untuk umum;
8)

Pelanggaran atas hak-hak warganegara (penangkapan, penahanan, penggeledahan dan
penyitaan) harus dilakukan berdasarkan undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah
(tertulis);

9) Hak tersangka untuk diberitahu tentang persangkaan dan pendakwaan terhadapnya;
10) Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusannya.
Berdasarkan kesepuluh asas tersebut, maka dapat dikatakan bahwa KUHAP menganut
“due process of law” (proses hukum yang adil atau layak). Suatu proses hukum yang adil

pada intinya adalah hak seorang tersangka dan terdakwa untuk didengar pandangannya
tentang bagaimana peristiwa kejahatan itu terjadi; dalam pemeriksaan terhadapnya dia berhak
didampingi oleh penasihat hukum; diapun berhak mengajukan pembelaan, dan penuntut
umum harus membuktikan kesalahannya di muka suatu pengadilan yang bebas dan dengan
hakim yang tidak berpihak.
Prinsip “equality before the law” merupakan salah satu ciri dalam sistem peradilan
pidana berdasarkan KUHAP, dimana dalam praktek persidangan, menjamin kesetaraan antara

lembaga-lembaga anggota sistem peradilan pidana. Kedudukan Jaksa sebagai penuntut umum
disatu pihak dan kedudukan terdakwa bersama penasehat hukumnya disatu pihak memiliki
posisi dan porsi yang sama didepan persidangan yang dipimpin oleh Majelis Hakim.
3. Hubungan Kejaksaan, Pengadilan dan Peran Lembaga Pemasyarakatan.
Penyelenggaraan peradilan pidana bermuara pada dikeluarkannya putusan oleh hakim
pengadilan, putusan mana mencerminkan fakta-fakta yang muncul dipersidangan baik yang
bersumber dari Penuntut Umum dan terdakwa bersama Penasehat Hukumnya yang tentunya
harus disertai dengan alat-alat bukti pendukung yang cukup dan kuat, sehingga memberikan
keyakinan kepada Hakim untuk menjatuhkan putusan pidananya.
Undang-undang Nomor : 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 36
mengatur tentang putusan, pelaksanaan dan pengawasan putusan pengadilan, yakni :
(1) Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa.

(2) Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh ketua pengadilan yang bersangkutan berdasarkan undang-undang.
(3) pelaksanan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita
dipimpin oleh ketua pengadilan.
(4) putusan pengadilan dilaksanakan dengan memperhatikan nilai kemanusiaan dan keadilan.
Kewenangan kejaksaan sebagai pelaksana putusan pengadilan juga diatur dalam
Undang-Undang Nomor : 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, antara lain ditegaskan dalam
Pasal 30 ayat (1) huruf b dan c yakni :
-

Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap;

-

Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana
pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat.
Terkait pelaksanaan pengawasan putusan pengadilan dalam perkara pidana juga
terletak pada tanggung jawab Ketua Pengadilan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud
dalam UU No. 4 tahun 2004 telah ditentukan dan diatur dalam KUHAP, yakni Pasal 277

sampai dengan Pasal 283 yang menentukan antara lain :
1.

Pada setiap pengadilan harus ada hakim yang diberi tugas khusus untuk membantu ketua
dalam melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan yang
menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan (vide Pasal 277 ayat 1), hakim yang dimaksud
dinamakan Hakim pengawas.

2.

Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengawasan guna memperoleh kepastian
bahwa putusan pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya (vide Pasal 280 ayat 1).

3.

Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengamatan untuk bahan penelitian demi
ketetapan yang bermanfaat bagi pemidanaan, yang diperoleh dari perilaku narapidana atau
pembinaan lembaga pemasyarakatan serta pengaruh timbal balik terhadap narapidana selama
menjalani pidananya (vide Pasal 280 ayat 2).


4.

Atas permintaan hakim pengawas dan pengamat, kepala lembaga pemasyarakatan
menyampaikan informasi secara berkala atau sewaktu-waktu tentang perilaku narapidana
tertentu yang ada dalam pengamatan haikm tersebut (vide Pasal 281).

5.

Jika dipandang perlu demi pendayagunaan pengamatan, hakim pengawas dan pengamat
dapat membicarakan dengan kepala lembaga pemasyarakatan tentang cara pembinaan
narapidana tertentu (vide Pasal 282).
Tujuan yang terkandung dalam kaidah ini adalah agar terdapat jaminan, bahwa
putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Di samping itu
untuk lebih mendekatkan pengadilan tidak saja dengan lembaga kejaksaan tetapi juga dengan
Lembaga Pemasyarakatan. Pengawasan tersebut menempatkan pemasyarakatan dalam
rangkaian proses pidana dan menetapkan tugas hakim tidak berakhir pada saat putusan
dijatuhkan olehnya.
Namun demikian kaidah tersebut jarang sekali atau bahkan mungkin tidak terlaksana
sama sekali dalam prakteknya, sehingga selesainya peradilan pidana tidak diikuti proses
pembinaan secara terpadu. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan keinginan pemasyarakatan
yang sebenarnya, yakni sebagai proses pembinaan yang dilakukan oleh negara kepada para
narapidana dan tahanan untuk menjadi manusia yang menyadari kesalahannya. Pembinaan
dalam Lembaga Pemasyarakatan diharapkan agar para terpidana mampu memperbaiki diri
dan tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukannya. Kegiatan di dalam LP bukan
sekedar untuk menghukum atau menjaga narapidana, tetapi mencakup proses pembinaan agar
warga binaan menyadari kesalahan dan memperbaiki diri serta tidak mengulangi tindak
pidana yang pernah dilakukan. Namun demikian untuk mencapainya, tentu saja diperlukan
pola pembinaan yang terencana dan terukur serta didukung sarana prasara LP yang memadai.
Sistem Peradilan Pidana Terpadu sebagaimana yang dianut dalam KUHAP,
memberikan konsekuensi pada keterpaduan dalam mewujudkan model penegakan hukum
yang terpadu antara seluruh subsistem yang ada didalamnya. Keterpaduan tersebut dimulai
dari kesesuaian dan bersinergi antara setiap peraturan perundang-undangan dibidang
peradilan, memiliki pola pendidikan yang memadai, terorganisir dengan baik berupa
pelatihan dan penerapan disiplin tinggi dari seluruh aparat penegak hukum, sehingga mereka
memiliki pola pikir dan pandangan yang sama dalam melaksanakan tugas sesuai dengan
tujuan yang hendak dicapai yakni kepastian hukum dan keadilan yang sama bagi seluruh
masyarakat, karena sesungguhnya anggota sistem peradilan pidana tersebut, meskipun
berbeda fungsi namun bekerja pada tujuan dan untuk kepentingan yang sama yakni

tersangka/terdakwa/terpidana, yang notabene adalah anggota masyarakat. Selanjutnya yang
tidak kalah pentingnya adalah partisipasi masyarakat yang tinggi untuk bersama-sama
memberikan respon terhadap penyelenggaraan penegakan hukum.
Saat ini peradilan pidana di Indonesia tengah dihadapkan pada tantangan untuk
meningkatkan citranya dimasyarakat, sehingga peradilan pidana dapat dipercaya sebagai
suatu sistem yang menjamin bekerjanya hukum sesuai dengan yang dicita-citakan. Oleh
sebab itu bekerjanya sistem peradilan pidana harus selalu diupayakan melalui rencana dan
program kerja pemerintah dibidang peradilan pidana yang bersifat terbuka dan transparan
sebagai lawan dari sistem yang bersifat rahasia, samar dan tidak responsif. Sistem peradilan
pidana yang dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat juga merupakan bagian dari
konsep pemerintahan yang baik, yang pada gilirannya menjamin keberhasilan mayarakat
yang berkelanjutan