BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Hubungan Antara Supervisory Coaching Behaviour Dengan Work Engagement Pada Salesperson
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement Saat ini perusahaan mengharapkan karyawan mereka menjadi proaktif,
inisiatif, bertanggungjawab secara profesional dan berkomitmen tinggi pada standar peforma. Perusahaan membutuhkan karyawan yang penuh semangat dan berdedikasi seperti: seseorang yang engageddengan pekerjaan mereka (Bakker & Leiter, 2010).
1. Definisi Work Engangement
Engagement pertama sekali diungkapkan oleh Kahn.Kahn (1990)
mengungkapkan bahwa anggota-anggota dari suatu organisasi akan mengikat diri dengan pekerjaannya dan kemudian mereka akan bekerja dan mengekspresikan diri secara fisik, kognitif dan emosional selama memerankan performanya. Aspek kognitif mengacu pada keyakinan pekerja terhadap organisasi, pemimpin dan kondisi pekerjaan.Aspek emosional mengacu pada bagaimana perasaan pekerja apakah positif atau negatif terhadap organisasi dan pemimpinnya.Sedangkan aspek fisik mengenai energi fisik yang dikerahkan oleh karyawan dalam melaksanakan perannya.
Bakker & Leiter (2010) mengatakan “work engagement is a
positive, work-related state of well-being or fulfillment characterized by a
high level of energy and strong identification with one’s work ” dari
definisi tersebut dapat dikatakan bahwa work engagement adalah perasaan positif yang dikarakteristikkan oleh semangat dan kekuatan seseorang dalam bekerja. Harter et al. (dalam Wulandari, 2011) mendefinisikan work
engagement sebagai keterlibatan individual dan kepuasannya sebagai
wujud antusiasme kerja.Work engagement merupakan sebuah motivasi dan pusat pikiran
positif yang berhubungan dengan pekerjaan yang ditandai dengan vigor,
dedication dan absorption (Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, &
Bakker, 2002). Vigordikarakteristikkan dengan level energi yang tinggi dan ketahanan saat bekerja.Dedicationmenunjukkan rasa terlibat yang tinggi dalam suatu pekerjaan, dan mengalami rasa kebermaknaan dan atusiasme. Absorption dikarakteristikkan oleh konsentrasi yang penuh dan merasa senang ketika bekerja.Definisi inifokus pada pengalaman karyawan dalam aktivitas kerjanya (Bakker & Leiter, 2010).
Seseorang yang engaged menyatu dengan peran mereka, tanpa merugikan orang lain(Wulandari, 2011). Terdapat juga pandangan lain mengenai engagement yaitu dengan mengasumsikan engagement sebagai lawan dari burnout. Bertentangan dengan burnout, karyawan yang
engaged memiliki hubungan yang energikdan efektif dengan aktivitas
pekerjaan merekadan mereka mampu menangani dengan baik tuntutan pekerjaan mereka (Schaufeli & Bakker, 2003).
Lockwood (dalam Wulandari, 2011) mendefinisikan engagement sebagai pernyataan oleh individu secara emosional dan intelektual memiliki komitmen terhadap organisasi, yang diukur melalui tiga perilaku utama: 1) berbicara positif mengenai organisasi kepada rekan kerja dan pekerja berpotensi serta pelanggan, 2) memiliki gairah yang intens untuk menjadi anggota organisasi, meski sebenarnya mendapat peluang kerja di tempat lain, 3) menunjukkan usaha ekstra dan perilaku yang memiliki kontribusi terhadap kesuksesan organisasi.
Work engagement merupakan sebuah konsep manajemen bisnis
yang menyatakan bahwa karyawan yang memiliki engagement tinggi adalah karyawan yang memiliki keterlibatan penuh dan memiliki semangat bekerja tinggi dalam pekerjaannya maupun dalam hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan perusahaan jangka panjang (Mujiasih & Ratnaningsih, 2012). Engagement menunjukkan kegigihan dan meliputi afektif-kognitif yang tidak hanya fokus pada beberapa objek, kejadian, individu atau perilaku (Schaufeli & Bakker, 2004).
Berdasarkan definisi-definisi yang telah dikemukakan diatas dapat disimpulkan definisi work engagement adalah sebuah motivasi dan pusat pikiran positif yang berhubungan dengan pekerjaan yang ditandai dengan
vigor, dedication dan absorption yang sejalan dengan yang dikemukakan
oleh Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, dan Bakker (2002).2. Aspek- Aspek Engagement
Schaufeli dan Bakker (2003) mengkonsepkan aspek-aspek dari
engagement, yaitu, sebagai berikut; a.
Vigor (semangat) Vigor ditandai oleh tingginya tingkat energi dan ketahanan mental
saat bekerja, kemauan untuk menginvestasikan upaya dalam pekerjaan seseorang, dan ketekunan juga dalam menghadapi kesulitan. Karyawan yang mendapat skor tinggi padavigor (semangat)selalu memiliki banyak energi, semangat dan stamina saat bekerja, sedangkan merekayang mendapat skor rendah pada vigor (semangat )memiliki sedikit energi, semangat dan stamina dalam mengerjakan pekerjaan mereka.
b. Dedication (dedikasi)
Dedikasi ditandai dengan rasa penting, antusiasme, inspirasi, kebanggaan, dan tantangan.Karyawan yang mendapat skortinggi pada dedikasi memiliki identifikasi yang kuat dengan pekerjaan mereka karena memaknainya, inspiratif, dan menantang. Selain itu, merekabiasanya merasa antusias dan bangga tentang pekerjaan mereka.Karyawan yang mendapat skor rendah tidak mengidentifikasi diri dengan pekerjaan mereka karena mereka tidak memaknainya, inspirasi, atau menantang, apalagi, mereka merasa tidak antusias atau bangga tentang pekerjaan mereka.
c. Absorption (absorbsi)
Absorbsi ditandai dengan konsentrasi penuh dan bahagia dalam pekerjaan, dimana waktu berlalu dengan cepat dan sulit untuk memisahkan diri dari pekerjaan.Karyawan yang mendapat skor tinggi pada absorbsi merasa bahwa mereka menikmati pekerjaan mereka, mereka merasa tenggelam oleh pekerjaan mereka dan memiliki kesulitan untuk memisahkan dari pekerjaan mereka. Akibatnya, segala sesuatu di sekitar mereka dilupakan dan waktu terasa cepat.Karyawan yang mendapat skor rendah pada absorbsi tidak merasa menikmati atau tenggelam dalam pekerjaan mereka, mereka tidak mengalami kesulitan memisahkan dari itu, mereka juga tidak lupa segala sesuatu di sekitar mereka, termasuk waktu.
3. Faktor-faktor yang Menyebabkan Work Engagement
Faktor-faktor yang menjadi penyebab utama work engagement,yaitu: 1.
Job demands
Seperti psikologis, sosial, atauaspek organisasi yang memerlukan kelanjutan upaya fisikdan / atau psikologis(misalnya, kognitifatau emosional) dan karena itu terkait dengan biaya fisiologis dan/ atau psikologis tertentu (Schaufeli & Bakker, 2004). Berdasarkan Demerouti, dkk (2001, dalam Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, & Schaufeli, 2007) job demands meliputi empat faktor, yaitu: work
overload (beban kerja yang berlebihan), emotional
demands (tuntutan emosi), emotional dissonance (ketidaksesuaian
emosi), dan organizational changes (perubahan terkait organisasi).2. Job Resources
Job resources (sumber dayapekerjaan) merujuk kepada psikologis,
sosial, atau aspek organisasi pekerjaan yang baik / atau(1) mengurangi tuntutan pekerjaan dan biaya fisiologis dan psikologis yang terkait, (2) fungsional dalam mencapai tujuankerja, (3) merangsang pertumbuhan pribadi, pembelajaran dan pengembangan. Job resources (sumber daya pekerjaan) meliputi empat faktor, yaitu :autonomy (otonomi), social support (dukungan sosial), supervisory coaching (bimbingan dari atasan), dan
opportunities for professional development (kesempatan untuk
berkembang secara profesional).Peran atasan sangat penting dalam meningkatkan engagement karyawannya. Dalam meningkatkan
engagement karyawannya supervisor menunjukkan perilaku mau
mendengarkan, memberikan umpan balik kepada karyawan atau disebut sebagai supervisory coaching behaviour .
3. Personal Resources
Merupakan aspek diri dan pada umumnya dihubungkan dengan kegembiraan dan perasaan bahwa diri mampu memanipulasi, mengontrol dan memberikan dampak pada lingkungan sesuai dengan keinginan dan kemampuannya
(Demerouti dkk, 2001, dalam Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, & Schaufeli, 2007).
Beberapa tipikal sumber daya pribadi antara lain: Self-
efficacy (keyakinan diri) merupakan persepsi individu terhadap
kemampuan dirinya untuk melaksanakan dan menyelesaikan suatu tugas/tuntutan dalam berbagai konteks, Organizational-based self-
esteem didefinisikan sebagai tingkat keyakinan anggota organisasi
bahwa mereka dapat memuaskan kebutuhan mereka dengan berpartisipasi dan mengambil peran atau tugas dalam suatu organisasi (Chen, Gully, & Eden, 2001, dalam Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, & Schaufeli, 2007). Optimism (optimism) terkait dengan bagaimana seseorang meyakini bahwa dirinya mempunyai potensi untuk bisa berhasil dan sukses dalam hidupnya.
B. Supervisory CoachingBehaviour
1. Definisi Supervisory Coaching Behaviour
Seorang pemimpin perusahaan perlu mendorong meningkatkan manajemen yang people oriented. Pemimpin yang baik meyakini bahwa karyawan lebih membutuhkan atasan yang mendorong kepada pengembangan diri (Rogers, dalam Ellinger, Ellinger, & Keller 2005), dibandingkan seorang atasan yang dapat menjawab semua masalah dan pertanyaan (Phillips, dalam Ellinger, Ellinger, & Keller 2005).
Dalam struktur kepemimpinan di perusahaan terdapat beberapa level manajemen, supervisi adalah level pertama dari manajemen dalam perusahaan. Supervisor merupakan first line manager yang bertanggungjawab langsung pada operasional di lapangan (Tobing & Napitupulu, 2011).Supervisor bertanggungjawab menghubungkan manajemen yang lebih tinggi kepada karyawan dan memperlakukan karyawan secara adil, membuat instruksi yang jelas, dan menyampaikan kekhawatiran karyawan untuk manajemen yang lebih tinggi (Certo, 2007).
Seringkali definisi mengenai supervisor dan manajer tumpang tindih dalam perusahaan, manajer adalah orang yg mengatur pekerjaan atau kerja sama di antara berbagai kelompok atau sejumlah orang untuk mencapai sasaran, mereka berwenang dan bertanggung jawab membuat rencana, mengatur, memimpin, dan mengendalikan pelaksanaannya untuk mencapai sasaran tertentu sedangkan supervisor adalah menghubungkan manajemen yang lebih tinggi kepada karyawan, mereka menjadi jembatan antara manajer dan bawahannya dalam melaksanakan kebijakan yang telah dibuat(Cremo dan Felix, 2000).
Supervisor memiliki dampak yang kuat pada kehidupan para
karyawan. Hubungan seorang karyawan dengan atasannya sering menjadi faktor yang paling berpengaruh apakah karyawan merasa dihargai dan dihormati di tempat kerja. Perasaan dihargai dan dihormati adalah salah satu faktor terbesar yang mempengaruhi keputusan karyawan untuk tetap pada pekerjaanatau berhenti (PHI, 2008).
Coaching merupakan salah satu tugas seorang supervisor agar
mampu mengelola kinerja karyawannya secara efektif (Nugroho, Hasanuddin & Brasit, 2011).Sebagai coach, supervisor mengembangkan rencana untuk memenuhi hasil kinerja dan tujuan departemen dan organisasi. Mereka harus membuat keputusan taktis sehari-hari yang mengarahkan staf mereka lebih dekat ketujuan yang diinginkan.Mereka dapat mengenali bakat dan tahu siapa yang memiliki bakat dan keterampilan yang dimiliki. Supervisor secara khusus berkaitan dengan menciptakan lingkungan yang memelihara pertumbuhan profesional (Cremo dan Felix, 2000).
Coaching tergantung pada kepercayaan, oleh karena itu coaching
atasan yang sukses menyebabkan perubahan dari command and
controlstyle , pada model manajemen yang didasarkan lebih kepada
partnership untuk mencapai keberhasilan dan komitmen (Barry, 1992
dalam Ellinger, Ellinger, & Keller 2005).
Coaching berpusat pada membuka potensi seseorang untuk
memaksimalkan kinerja sendiri. Fokus pada peningkatan kinerja dan pengembangan keterampilan adalah kunci untuk coaching yang efektif(Fielden, 2005).Coaching adalah proses membimbing yang dilakukan atasan untuk melatih dan memberikan orientasi kepada bawahannya tentang realitas ditempat kerja dan membantu mengatasi hambatan dalam mencapai prestasi kerja yang optimal (Seger, 2007).
Wilson (dalam Seger, 2007) mengatakan coaching dapat membantu individu atau organisasi untuk meraih kinerja optimal, mengatasi hambatan dan rintangan terhadap pertumbuhan, dan untuk meraih tujuan- tujuan spesifik dan tantangan-tantangan sebagai sarana pemenuhan, pengembangan pribadi dan professional, keseimbangan hidup dan karya, serta pencegahan. Coaching yang efektif membutuhkan pelatih dan orang dilatih untuk memenuhi peran relatif mereka.
Coaching menjadi alat yang penting dalam proses pengembangan
kepribadian dan profesionalitas seseorang, sehingga seorang pemimpin (atasan) diharapkan mampu menjadi coach yang baik kepada bawahannya (Seger, 2007). Sebagai pimpinan di suatu kantor kemampuan untuk dapat mengoptimalkan kinerja bawahannya merupakan kebutuhan yang sangat penting dengan berfokus pada usaha mengatasi segala masalah yang timbul di tempat kerja melalui mekanisme coaching.
Apabila coaching dilakukan di tempat kerja oleh atasan kepada bawahannya, maka proses coaching dapat merupakan suatu dialog atau komunikasi dua arah antara atasan yang memberikan coaching tersebut dengan bawahannya. Membudayakan coaching di tempat kerja merupakan upaya yang harus dilakukan oleh setiap pimpinan suatu organisasi apabila menginginkan kinerja organisasi dapat meningkat (Ubaydillah, 2008).
Menurut Grant (dalam Wilson, 2011), coaching adalah sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil, dan sistematis, dimana coach memfasilitasi peningkatan atas peforma kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pengembangan pribadi. Oleh karena itu kemampuan supervisory coachingmeliputi bertanya, mendengar, memberi dan menerima feedback, komunikasi dan motivasi, daripada kemampuan atasan secara tradisional seperti persaingan, mengontrol, pemecah masalah, dan terlihat lebih ahli (Ellinger, Ellinger, & Keller 2005)
Coaching ditandai dengan kualitas hubungan yang tinggi antara
atasan dan bawahannya.Leader-Member Exchange (LMX) (Agarwal, Angst dan Magni, 2006), didasarkan pada rasa saling percaya dan peran
modellingsupervisor .LMX adalah teori yang memfokuskan pada interaksi
antara pemimpin dan pengikutnya (Zahreni, 2008).Dalam teori ini menggambarkan bagaimana pemimpin menggunakan kekuasaan mereka untuk membangun hubungan dari sisi yang berbeda (Dierendonck, Le Blanc & Breukelen, 2002).LMX tidak hanya melihat sikap dan perilaku pemimpin dan pengikutnya tetapi menekankan pada kualitas hubungan yang terbentuk.
Berdasarkan definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa
supervisorycoaching behaviour merupakan perilaku yang ditunjukkan
dengan mendengar, memberi atau menerima feedback,dan mengarahkan karyawan untuk meningkatkan peforma kerja yang dilakukan oleh
supervisor kepada bawahannya.
2. Prinsip Dasar dalam Coaching
Supervisor perlu melakukan coaching yang efektif, sebelum
melakukan proses coaching yang efektif supervisor perlu memiliki beberapa skills, Stone (1999) mengungkapkan lima prinsip coaching (Five
coaching principle ) yang merupakan dasar atau pondasi yang perlu
dipahami oleh coach: 1.
Mengumpulkan informasi Seorang supervisor (coach) harus mendapatkan informasi dari karyawan tanpa membuat karyawan merasa bahwa dia diinterogasi.Informasi ini sangat penting untuk membuat berbagai macam keputusan mulai dari menyeleksi karyawan untuk ditugaskan di jabatan tertentu hingga mengidentifikasi kekurangan karyawan pada kompetensi tertentu, kesulitas yang dihadapi karyawan, mengetahui minat dan aspirasi karyawan atau mendesain ulang pekerjaannya dan mestimulasi kinerja di atas standar.
2. Mendengarkan
Mengajukan pertanyaan yang tepat tidak akan berarti banyak jika seorang supervisor tidak mendengarkan jawaban karyawan. Seorang
supervisor (coach) yang baik harus memiliki kemampuan
mendengarkan dengan ”telinga ketiga”, memberikan banyak perhatian pada tanda-tanda non-verbal dan postur tubuh karyawan sehingga dia mampu menangkap pesan yang tersirat atau perasaan karyawan ketika berkomunikasi.supervisor juga harus menggunakan bahasa non-verbal yang sesuai untuk menunjukkan bahwa dia menghargai pembicaran yang dilakukan.
3. Menyadari / peka dengan apa yang terjadi di sekitarnya Seorang supervisor harus sering berbicara dengan karyawannya untuk mengetahui apakah mereka punya masalah moral atau masalah-masalah lain di tempat kerja yang dapat menurunkan produktivitas atau yang dapat memicu timbulnya masalah lain atau bahkan menangkap gejala jika karyawan enggan menyelesaikan pekerjaannya.
4. Mengajar karyawan Sebagai seorang coach yang baik, seorang supervisor harus memilki kemampuan mengajar baik secara individu maupun kelompok. Bahkan, sebelumnya dia juga harus mampu melakukan analisis kebutuhan pelatihan untuk mengetahui kesenjangan kompetensi yang dimiliki karyawan.
5. Memberikan Umpan Balik Umpan balik sangat penting dilakukan untuk membantu karyawan meningkatkan kinerjanya.Seorang supervisor perlu memberikan umpan balik positif atau apresiasi terhadap hasil kerja karyawan.Jika karyawan tidak mencapai hasil kerja yang diharapkan, umpan balik konstruktif perlu disampaikan dengan cara-cara yang kondusif dan berfokus pada perilakunya.
C. Salesperson
1. Definisi Salesperson
Menurut businesss dictionarysales adalah seorang individu yang menjual barang dan jasa kepada orang lain. Kesuksesan seorang sales person biasanya diukur dengan jumlah penjualan yang ia mampu lakukan selama periode tertentu dan seberapa baik ia membujuk orang untuk melakukan pembelian. Jika seorang
salesperson dipekerjakan oleh perusahaan, dalam beberapa kasus kompensasi
dapat menurun atau meningkat berdasarkan jumlah barang atau jasa yang dijual.Sedangkan Beberapa ahli seperti Russel Kotler (2000) dan Takt (2003) dalam (Moningka & Widyarini, 2005) mendefinisikan salesperson daIam kerangkayang lebih modern.Seorang tenaga penjualtidak hanya sekedar menjual namun merupakanpekerjaan yang sangat penting, karena berhubungan dengan konsumen, dan interaksinya dapat mempengaruhi kepuasan dan kesetiaan konsumen.Jadi, salesperson disini adalah individu yang menawarkan suatu produk dalam suatu proses penjualan.Salesperson biasanya melakukan strategi promosi atau penjualan tatap muka (personal selling), menurut Kotler (dalam Nugroho, 2010) penjualan tatap muka adalah sebuah penyajian secara lisan dalam suatupembicaraan dengan satu atau beberapa pembeli.
Adapun ciri-ciri penjualan tatap muka (personal selling) menurut Djaslim (dalam Nugroho, 2010)adalah :
1. Tatap muka pribadi Penjualan pribadi yang mempunyai hubungan hidup, langsung dan interaktif antara dua pihak atau lebih.
2. Pemupukan hubungan Dengan penjualan pribadi akan beraneka ragam hubungan, mulai dari hubungan jual – beli sampai kepada hubungan persahabatan yang erat.
3. Tanggapan Pembeli lebih tegas dalam mendengarkan dan memberi tanggapan, sekalipun tanggapannya hanya merupakan ucapan terima kasih.
Permasalahan yang seringkali terjadi pada saat salesperson melakukan pekerjaannya adalah munculnya keraguan saat ingin bertemu pelanggan atau sedang kanvasing ke calon pelanggan sehingga membuat sales membatalkan kunjungannya, pembatalan terjadi lebih dikarenakan salesperson tiba-tiba menjadi
down secara mental dan hilang semangat dikarenakan muncul pikiran-pikiran
negatif seperti penolakan, membayangkan pelanggan akan terganggu, rasa tidak enak, merasa tidak cocok, kehilangan mood dan ketakutan-ketakutan lainnya, begitupun ketika ingin melakukan follow up ke pelanggan atau prospek baru (Purnomo, 2013). Kondisi ini menunjukkan peran supervisor dalam memberikan
coaching kepada karyawannya sangatlah penting, sehingga karyawan dapat
memiliki engagement terhadap pekerjaan mereka dan dapat mencapai target.Berdasarkan definisi-definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
salesperson adalah individu yang menawarkan suatu produk dalam proses
penjualan tatap muka untuk merangsang konsumen membeli atau memakai barang atau jasa yang diproduksi suatu perusahaan, dimana pelaksanaan kegiatannya memiliki waktu yang terbatas.
D. Hubungan antara Supervisory Coachingbehaviourdengan Work Engagement
Penelitian yang dilakukan oleh Schaufeli & Bakker (2004) mengenai “job
demands, job resources, and their relationship with burnout and engagement: a multi-sample study ” menemukan bahwa supervisory coaching yang
termasuk dalam job resources memiliki hubungan terhadap engagement. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa supervisory coaching mampu menurunkan burnout pada karyawan.
Penelitian sebelumnya tentang pembinaan terhadap kinerja karyawan dilakukan oleh Nugroho, Hasanuddin dan Brasit mengungkapkanbahwa ada hubungan positif antara coaching terhadap motivasi kerja dan juga kinerjaindividual karyawan.Karyawan yang termotivasi memiliki tingkat energi yang tinggi ketika bekerja, dalam hal ini berhubungan dengan vigor dalam work engagement.
Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Ellinger, Ellinger & Keller (2008) menemukan bahwa supervisory coaching berhubungan dengan kepuasan kerja dan peforma kerja.Robins (dalam Nasution, 2009) mengatakan istilah kepuasan kerja (job satisfaction) merujuk ke sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya.Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja tinggi menunjukkan sikap yang positif terhadap kerja itu, sehingga mereka menjadi semangat (vigor), antusias dan bangga terhadap pekerjaan mereka (dedication), dan sulit memisahkan diri mereka dari pekerjaan (absorption).
Penelitian yang dilakukan oleh Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, & schaufeli (2009) juga menemukan hal yang sama mereka menemukan bahwajob resources, yang salah satu faktornya adalah supervisory coaching memiliki hubungan yang positif dengan work engagement.
Peran supervisor sangat besar terhadap meningkatkan engagement bawahannya, apabila tindakan supervisor menyimpang dari ketentuan organisasi dapat mengakibatkan dampak psikologis yang dialami oleh anggota organisasi yang bisa menimbulkan rasa tidak nyaman dalam bekerja dan secara potensial bisa menurunkan engagement karyawan terhadap pekerjaannya (Fielden, 2005).
Perusahaan yang memberi gaji “bersaing” serta fasilitas “wah”, dengan harapan individu jadi lebih produktif, bisa menampilkan kinerja terbaik.
Namun, upaya ini tidak selalu efektif untuk menumbuhkan spirit, motivasi, kepandaian dan sikap terpuji dari karyawan. Meski sudah diberi gaji diatas rata-rata, tidak sedikit karyawan yang tetap bertingkah laku tidak produktif, tidak mandiri, tidak berani mengambil keputusan dan resiko (Purnomo, 2013)
Riset menunjukkan upaya semacam ini tidak ampuh menghasilkan perubahan perilaku yang bertahan lama, karena motivasinya bersifat eksternal, bukan dari dalam diri individu. Coaching dengan nuansa komunikasi positif anggota tim terdorong untuk “berubah” tanpa merasa “diubah”, ia akan merasa dibimbing tanpa merasa “digurui”, dan merasakan “tumbuh” tanpa dikerdilkan (Purnomo, 2013). Supervisory Coachingbehaviour sangat penting dilakukan kepada karyawan agar setiap karyawan dapat merasa engagement dengan pekerjaan mereka dan memberikan performa yang baik untuk perusahaan.
E. Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan sebagai jawaban sementara dalam penelitian ini, yaitu: Ada hubungan positif antara supervisory coaching behaviour dengan work
engagement pada salesperson, yaitu semakin sering penilaian karyawan
terhadap supervisory coaching behaviour atasan maka work engagement pun akan semakin tinggi, demikian sebaliknya, semakin jarang penilaian karyawan terhadap supervisory coaching behaviour atasan maka work engagement pun akan semakin rendah.