Hubungan Antara Modal Psikologis Dengan Kesejahteraan Psikologis Pada Salesperson

(1)

HUBUNGAN ANTARA MODAL PSIKOLOGIS DENGAN

KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA SALESPERSON

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi

Persyaratan

Ujian Sarjana

Psikologi

O L E H :

WIENY DELVONIA

101301032

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GENAP 2013/2014


(2)

SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA MODAL PSIKOLOGIS DENGAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA SALESPERSON

Dipersiapkan dan disusun oleh:

WIENY DELVONIA 101301032

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada Tanggal 14 Mei 2014

Mengesahkan, Dekan Fakultas Psikologi

Prof. Dr. Irmawati, psikolog NIP. 195301311980032001

Tim Penguji Departemen Psikologi Industri dan Organisasi 1. Zulkarnain, Ph.D., psikolog

NIP. 197312142000121001

Penguji I /

Pembimbing _________ 2. Vivi Gusrini R. Pohan, M.Sc, M.A., Psi

NIP. 197808162003122002


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa skripsi

saya yang berjudul:

Hubungan Antara Modal Psikologis Dengan Kesejahteraan Psikologis Pada Salesperson

adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh

gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini yang saya

kutip dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas

sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam

skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas

Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Mei 2014

WIENY DELVONIA


(4)

The Relationship between Psychological Capital and Psychological Well-Being among Salesperson

Wieny Delvonia & Zulkarnain

Abstract

Employees’ psychological well-being has been found affecting both the employees and the organization where they work. Nowdays, researchers have been expanding their studies to find out the factors involving the human inner potential that plays a role in determining psychological well-being. This study took salespersons as the subject for some reasons, which one of them certainly concerned with psychological well-being. Working as a salesperson will always have to face the 4 main challenges, including product knowledge, good time management, making contact with the prospective client/customer, and meeting monthly target. Handling rejection or the fear of failure sometimes will be so frustrating which then will impact on their psychological well-being. The recently recognized core construct of psychological capital (consisting of the positive psychological resources of optimism, self-efficacy, resiliency, and hope) had been demonstrated to be related to affect employee attitudinal, behavioral, and performance outcomes. The purpose of this study is to examine the relationship between psychological capital and psychological well-being among salesperson in Medan. Eighty four salespersons (66 males and 18 females) were selected using purposive sampling and were required to fill up the scale of psychological capital and psychological well-being. Results of the current research was consistent with the previous research suggesting that psychological capital was positively related to psychological well-being (r = 0.733, p<0.01). Implication of this research could help to understand the role of individual inner positive resources, namely psychological capital in improving psychological well-being. However, the limitations of this research needed future research and practical interventions.


(5)

Hubungan Antara Modal Psikologis Dengan Kesejahteraan Psikologis Pada

Salesperson

Wieny Delvonia & Zulkarnain

Abstrak

Kesejahteraan psikologis karyawan tidak hanya mempengaruhi karyawan itu sendiri namun juga pada organisasi dimana mereka bekerja. Saat ini, penelitian telah berkembang dalam rangka menemukan faktor bersifat internal yang mampu mempengaruhi kesejahteraan psikologis. Pada penelitian ini, salesperson dipilih sebagai subjek penelitian. Profesi salesperson menuntut kesiapan diri dalam menghadapi 4 tantangan utama yang meliputi pengetahuan tentang produk yang dijual, pengaturan waktu, pembinaan hubungan yang baik dengan klien, dan pemenuhan target bulanan. Tuntutan pekerjaan ini yang kemudian mamppu mempengaruhi kesejahteraan psikologis salesperson. Penelitian mengenai modal psikologis (terdiri dari optimism, self-efficacy, resiliency, dan hope) yang telah dilakukan selama ini telah mengungkapkan sejauh mana pengaruhnya terhadap pekerja baik dari pada sikap, perilaku, maupun performansi kerja. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji hubungan antara modal psikologis dengan kesejahteraan psikologis pada salesperson yang ada di kota Medan. Sebanyak 84 orang salesperson (66 pria dan 18 wanita) dipilih sebagai sampel penelitian melalui teknik purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan melalui skala modal psikologis dan kesejahteraan psikologis. Hasil dari penelitian menunjukkan adanya keselarasan dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan adanya hubungan positif yang signifikan antara modal psikologis dengan kesejahteraan psikologis (r = 0.733, p<0.01). Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman mengenai peran sumber daya positif dalam diri yaitu modal psikologis dalam meningkatkan kesejahteraan psikologis. Adapun keterbatasan-keterbatasan dalam penelitian ini menyebabkan perlunya dilakukan penelitian dan praktek intervensi yang lebih lanjut.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas

berkat dan rahmat-Nya, saya memperoleh kesempatan dan kesehatan yang baik

dalam menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Hubungan Antara Modal

Psikologis Dengan Kesejahteraan Psikologis Pada Salesperson”. Tujuan dari

penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara modal psikologis dengan

kesejahteraan psikologis pada salesperson.

Penulis tidak lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada semua pihak

yang telah memberikan dukungan, bantuan, bimbingan, serta saran selama penulis

menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima

kasih kepada:

1. Prof. Dr. Irmawati, psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi USU atas

dukungan yang telah diberikan demi kesuksesan seluruh .mahasiswa Fakultas

Psikologi USU.

2. Bapak Zulkarnain, Ph.D., psikolog selaku dosen pembimbing akademik

sekaligus dosen pembimbing skripsi penulis. Terima kasih untuk segala

bantuan dan usaha yang telah bapak kerahkan selama masa studi penulis.

3. Anggota keluarga penulis, khususnya kedua orang tua dan abang penulis yang

selalu memberikan dukungan yang tanpa henti kepada penulis.

4. Para sahabat Fakultas Psikologi USU tentunya Jilly, Venti, Veronica,


(7)

bantuan serta pengalaman yang telah kita lalui bersama yang tak akan

terlupakan.

5. Seluruh dosen Fakultas Psikologi USU. Terima kasih untuk ilmu yang sudah

bapak dan ibu ajarkan kepada penulis.

6. Para staf dan pegawai di Fakultas Psikologi USU. Terima kasih atas pelayanan

yang baik buat penulis dan para mahasiswa lainnya.

Sebagai manusia yang masih belajar, penulis menyadari bahwa skripsi ini

masih jauh dari kesempurnaan yang dikarenakan oleh keterbatasan kemampuan,

fasilitas, waktu, pengalaman, dan pengetahuan yang dimiliki penulis. Oleh karena

itu, penulis membuka diri terhadap segala kritik dan saran yang merupakan

masukan bagi penulis untuk kesempurnaan skripsi ini.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan semoga skripsi ini dapat

bermanfaat.

Medan, Mei 2014

Penulis,

Wieny Delvonia


(8)

DAFTAR ISI

halaman

ABSTRAK

LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERNYATAAN

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GRAFIK ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II LANDASAN TEORI ... 11

A. Kesejahteraan Psikologis ... 11


(9)

3. Dimensi Kesejahteraan Psikologis ... 14

4. Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis ……...15

B. Modal Psikologis ... 21

1. Pengertian Modal Psikologis ... 21

2. Latar Belakang Munculnya Modal Psikologis ... 22

3. Dimensi Modal Psikologis ... 23

C. Pengertian Salesperson ... 25

D. Hubungan Antara Modal Psikologis Dengan Kesejahteraan Psikologis ... 26

E. Hipotesis Penelitian ... 29

BAB III METODE PENELITIAN ... 30

A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 30

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 30

1. Modal Psikologis ... 30

2. Kesejahteraan Psikologis ... 31

C. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel ... 32

1. Populasi dan Sampel Penelitian ... 32

2. Teknik Pengambilan Sampel... 33

D.Metode Pengambilan Data ... 32

1. Skala Modal Psikologis ... 33

2. Skala Kesejahteraan Psikologis ... 34


(10)

1. Validitas Alat Ukur ... 36

2. Uji Daya Beda Item ... 37

3. Reliabilitas Alat Ukur ... 37

F. Prosedur Penelitian ... 38

G. Metode Analisis Data ... 39

H. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 40

1. Hasil Uji Coba Skala Modal Psikologis ... 41

2. Hasil Uji Coba Skala Kesejahteraan Psikologis... 43

BAB IV HASIL DAN INTERPRETASI DATA ... 45

A. Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 45

1. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 45

2. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin .... 46

3. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 47

4. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Status Perkawinan 48 5. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Masa Bekerja ... 48

B. Hasil Penelitian ... 49

1. Hasil Uji Asumsi ... 49

a. Uji Normalitas ... 49

b. Uji Linearitas ... 51


(11)

Kesejahteraan Psikologis ... 52

b. Nilai Empirik dan Nilai Hipotetik ... 52

i. Nilai Empirik dan Nilai Hipotetik Modal Psikologis 52 ii. Nilai Empirik dan Nilai Hipotetik Kesejahteraan Psikologis ... 54

c. Kategorisasi Data Penelitian ... 55

i. Kategorisasi Modal Psikologis ... 54

ii. Kategorisasi Kesejahteraan Psikologis ... 55

3. Hasil Tambahan Penelitian ... 57

C. Pembahasan ... 58

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 64

A. Kesimpulan ... 64

B. Saran ... 65

1. Saran Metodologis ... 65

2. Saran Praktis ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 66 LAMPIRAN


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.Blueprint Skala Modal Psikologis………..35

Tabel 2.Blueprint Skala Kesejahteraan Psikologis………..36

Tabel 3. Distribusi Aitem Skala Modal Psikologis Setelah Uji Coba…………..42

Tabel 4. Distribusi Aitem Skala Kesejahteraan Psikologis Setelah Uji Coba…..44

Tabel 5. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia………....46

Tabel 6. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin………...46

Tabel 7. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan……… 47

Tabel 8. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Status Perkawinan………...48

Tabel 9. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Masa Bekerja………..48

Tabel 10. Uji Linearitas………....51

Tabel 11. Hasil Analisis Korelasi Pearson Product Moment………...52

Tabel 12. Perbandingan Mean Empirik dan Mean Hipotetik Modal Psikologis..53

Tabel 13. Perbandingan Mean Empirik dan Mean Hipotetik Kesejahteraan Psikologis………..54

Tabel 14. Norma Kategorisasi Modal Psikologis……….55

Tabel 15. Kategorisasi Data Modal Psikologis……….…....55

Tabel 16. Norma Kategorisasi Kesejahteraan Psikologis……….56

Tabel 17. Kategorisasi Data Kesejahteraan Psikologis………56

Tabel 18. Hasil Analisis Korelasi Antara Dimensi Modal Psikologis dan Kesejahteraan Psikologis………..56


(13)

DAFTAR GRAFIK

Grafik 1. Uji Normalitas Modal Psikologis………....50


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A

1. Reliabilitas & Daya Beda Aitem Skala Modal Psikologis

2. Reliabilitas & Daya Beda Aitem Skala Kesejahteraan Psikologis

Lampiran B

1. Data Mentah Subjek Penelitian Pada Skala Modal Psikologis

2. Data Mentah Subjek Penelitian Pada Skala Kesejahteraan Psikologis

Lampiran C

1. Uji Normalitas 2. Uji Linearitas

3. Korelasi Antara Modal Psikologis Dengan Kesejahteraan Psikologis

4. Korelasi Antara Dimensi Modal Psikologis Dengan Kesejahteraan Psikologis

Lampiran D


(15)

The Relationship between Psychological Capital and Psychological Well-Being among Salesperson

Wieny Delvonia & Zulkarnain

Abstract

Employees’ psychological well-being has been found affecting both the employees and the organization where they work. Nowdays, researchers have been expanding their studies to find out the factors involving the human inner potential that plays a role in determining psychological well-being. This study took salespersons as the subject for some reasons, which one of them certainly concerned with psychological well-being. Working as a salesperson will always have to face the 4 main challenges, including product knowledge, good time management, making contact with the prospective client/customer, and meeting monthly target. Handling rejection or the fear of failure sometimes will be so frustrating which then will impact on their psychological well-being. The recently recognized core construct of psychological capital (consisting of the positive psychological resources of optimism, self-efficacy, resiliency, and hope) had been demonstrated to be related to affect employee attitudinal, behavioral, and performance outcomes. The purpose of this study is to examine the relationship between psychological capital and psychological well-being among salesperson in Medan. Eighty four salespersons (66 males and 18 females) were selected using purposive sampling and were required to fill up the scale of psychological capital and psychological well-being. Results of the current research was consistent with the previous research suggesting that psychological capital was positively related to psychological well-being (r = 0.733, p<0.01). Implication of this research could help to understand the role of individual inner positive resources, namely psychological capital in improving psychological well-being. However, the limitations of this research needed future research and practical interventions.


(16)

Hubungan Antara Modal Psikologis Dengan Kesejahteraan Psikologis Pada

Salesperson

Wieny Delvonia & Zulkarnain

Abstrak

Kesejahteraan psikologis karyawan tidak hanya mempengaruhi karyawan itu sendiri namun juga pada organisasi dimana mereka bekerja. Saat ini, penelitian telah berkembang dalam rangka menemukan faktor bersifat internal yang mampu mempengaruhi kesejahteraan psikologis. Pada penelitian ini, salesperson dipilih sebagai subjek penelitian. Profesi salesperson menuntut kesiapan diri dalam menghadapi 4 tantangan utama yang meliputi pengetahuan tentang produk yang dijual, pengaturan waktu, pembinaan hubungan yang baik dengan klien, dan pemenuhan target bulanan. Tuntutan pekerjaan ini yang kemudian mamppu mempengaruhi kesejahteraan psikologis salesperson. Penelitian mengenai modal psikologis (terdiri dari optimism, self-efficacy, resiliency, dan hope) yang telah dilakukan selama ini telah mengungkapkan sejauh mana pengaruhnya terhadap pekerja baik dari pada sikap, perilaku, maupun performansi kerja. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji hubungan antara modal psikologis dengan kesejahteraan psikologis pada salesperson yang ada di kota Medan. Sebanyak 84 orang salesperson (66 pria dan 18 wanita) dipilih sebagai sampel penelitian melalui teknik purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan melalui skala modal psikologis dan kesejahteraan psikologis. Hasil dari penelitian menunjukkan adanya keselarasan dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan adanya hubungan positif yang signifikan antara modal psikologis dengan kesejahteraan psikologis (r = 0.733, p<0.01). Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman mengenai peran sumber daya positif dalam diri yaitu modal psikologis dalam meningkatkan kesejahteraan psikologis. Adapun keterbatasan-keterbatasan dalam penelitian ini menyebabkan perlunya dilakukan penelitian dan praktek intervensi yang lebih lanjut.


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesejahteraan psikologis karyawan merupakan hal yang penting bagi

organisasi karena dapat berpengaruh terhadap kinerja dan tingkat turnover

karyawan (Page & Vella-Brodick, 2009). Hal ini telah dibuktikan melalui

penelitian-penelitian terdahulu mengenai kesejahteraan psikologis karyawan.

Salah satunya seperti yang dilakukan Cropanzano dan Wright (2000), mereka

menyatakan bahwa ada korelasi positif antara kesejahteraan psikologis dengan

tingkat performansi kerja. Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat

kesejahteraan psikologis karyawan, maka performansi kerja semakin baik.

Bahkan di penelitian selanjutnya, diperoleh hasil bahwa kesejahteraan

psikologis merupakan prediktor terhadap performansi kerja yang lebih

konsisten dibandingkan atribut disposisi karyawan (Wright, Cropanzano,

Denney, & Moline, 2002). Karyawan yang lebih bahagia di pekerjaan mereka

akan lebih produktif (Patterson & West, 1998; Wright & Cropanzano, 2000;

Wright et al. 2002). Selain itu, karyawan yang memiliki tingkat kesejahteraan

psikologis yang tinggi juga akan lebih kooperatif, absenteeism yang lebih

rendah, tepat waktu dan efisien, serta dapat bekerja lebih lama di suatu


(18)

Danna dan Griffin (1999) menyatakan terdapat tiga alasan mengapa

kesejahteraan karyawan merupakan hal yang patut diperhatikan oleh

organisasi. Pertama, pengalaman di tempat kerja atau lingkungan sosial, baik

fisik maupun psikis, akan berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari individu.

Besarnya porsi waktu yang dihabiskan karyawan di pekerjaan membuat

pengalaman-pengalaman selama bekerja melekat pada diri individu tersebut

dan terbawa kedalam kehidupan sehari-hari. Hal ini kemudian dipertajam

oleh pernyataan Page (2005) bahwa kesejahteraan karyawan di tempat kerja

memiliki hubungan positif dengan kesejahteraan karyawan di kehidupannya.

King dan Diener (2005) juga menyatakan bahwa karyawan yang memiliki

tingkat kesejahteraan psikologis yang tinggi akan lebih bahagia dalam

pekerjaan dan kehidupan rumah tangganya. Oleh karena itu, kesejahteraan di

tempat kerja merupakan kebutuhan karyawan yang harus dipenuhi. Kedua,

masalah-masalah yang dialami karyawan di lingkungan kerja seperti

kekerasan atau pelecehan seksual, juga dapat mempengaruhi kesejahteraan

psikologis karyawan. Ketiga, kesehatan dan kesejahteraan karyawan tidak

hanya memberikan dampak bagi karyawan itu sendiri namun juga pada

perusahaan atau organisasi dimana ia bekerja. Apabila kesehatan dan

kesejahteraan karyawan menurun maka kinerja karyawan tersebut juga akan

menurun, sedangkan apabila kesehatan dan kesejahteraan karyawan

meningkat maka kinerjanya juga akan meningkat.


(19)

keputusan karyawan dan interaksi antar rekan kerja (Warr, 1990; Rasulzada,

2007). Harter, Schmidt, dan Keyes (2003) menyatakan dalam sudut pandang

kesejahteraan psikologis, ketika terdapat perasaan yang positif pada diri

karyawan, hal ini menandakan kesehatan mental karyawan tersebut, akan

dapat menghasilkan karyawan yang lebih bahagia dan produktif.

Sebagian besar hasil dari penelitian-penelitian yang telah diungkapkan

sebelumnya telah menunjukkan betapa pentingnya pengaruh kesejahteraan

psikologis karyawan baik terhadap karyawan itu sendiri maupun terhadap

organisasi dimana mereka bekerja. Namun yang menjadi masalah adalah

tidak setiap organisasi mampu mewujudkan kesejahteraan psikologis bagi

para karyawan. Hal tersebut dikarenakan kesejahteraan psikologis

dipengaruhi oleh serangkaian faktor personal, lingkungan, dan pekerjaan

(Loretto, Popham, Platt, Pavis, Hardy, MacLeod, & Gibbs, 2005).

Pekerjaan yang dilakukan karyawan bukan hanya meliputi kegiatan

yang berhubungan dengan kertas, membuat program, atau menunggu

pelanggan (Robbins, 2005). Pekerjaan juga menuntut adanya interaksi yang

baik antara sesama rekan kerja maupun dengan atasan. Selain diwajibkan

untuk mengikuti kebijakan dan peraturan dalam organisasi, karyawan juga

diharapkan untuk selalu memperlihatkan kinerja yang baik walaupun

terkadang mereka ditempatkan pada lingkungan kerja yang kurang ideal. Oleh

sebab itu, dapat dikatakan bahwa pekerjaan berhubungan dengan masalah


(20)

tanpa memandang jenis tetap dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis

individu itu sendiri.

Salah satu pekerjaan yang telah lama dikenal namun dalam segi

jumlah persediaan lowongan tetap tidak berkurang adalah salesperson, atau

yang sering dikenal dengan panggilan sales atau salesman. Profesi

salesperson, tercatat sebagai pekerjaan dengan jumlah lowongan terbanyak di

Indonesia sebagaimana disebut dalam situs pencari tenaga kerja Jobstreet.com,

dengan jumlah sebesar 19% dari total lowongan tersedia. Studi mengenai 10

jenis pekerjaan yang paling dibutuhkan (minimal lulusan sarjana) untuk tahun

2013 yang melibatkan tenaga kerja hampir di 90 perusahaan telah dilakukan

oleh Carebuilder and Economic Modeling Specialists Intl. (EMSI) (Burrow,

2012). Dari studi tersebut tercatat bahwa sales representative (produksi,

teknis, dan keilmuan) berada di posisi ke 7. Ada 17.405 pekerjaan sebagai

sales tersedia sejak 2010 dan bertumbuh 4%.

Sihite (1997) mengartikan bahwa sales adalah Merchandise

(Something to be sold) plus Service. Dari pengertian sederhana tersebut

kemudian dijabarkan bahwa salesman atau salesperson adalah individu yang

menawarkan suatu produk dalam suatu proses. Adapun beberapa tugas-tugas

dari seorang sales secara umum adalah melaksanakan kegiatan penjualan

melalui telepon terhadap target konsumen, memelihara semua hasil analisis


(21)

daerah lain daripada bekerja di dalam kantor sehingga dapat membangun

relasi yang luas. Selain itu, berbeda dengan sebagian besar karyawan di bidang

pekerjaan lain dengan jam kerja yang ketat, sales bisa mengatur waktu dengan

lebih fleksibel disesuaikan dengan pelanggan yang ia layani. Hal ini yang

kemudian diketahui bahwa pergantian tempat kerja, keseimbangan antara

pekerjaan dan kehidupan pribadi sehari-hari ini nantinya juga turut

mempengaruhi kesejahteraan karyawan (Loretto, Popham, Platt, Pavis, Hardy,

MacLeod, & Gibbs, 2005).

Meskipun bekerja sebagai salesperson memberikan banyak

keuntungan, namun sama halnya dengan profesi lainnya, profesi sales juga

memiliki tantangan tersendiri. Pekerjaan di bidang sales dikenal akan

pekerjaan yang dibebani target, bila target tidak tercapai akan ada konsekuensi

dari perusahaan. Selain itu, sales juga harus memiliki pengetahuan yang

mendalam mengenai produk/jasa yang ia jual, ketrampilan menjual,

komunikasi dan membangun hubungan. Menguasai ketrampilan menjual

membutuhkan kesabaran dan ketekunan karena harus membangun jaringan

nasabah, klien, atau pelanggan. Tuntutan-tuntutan pekerjaan tersebut nantinya

dapat memiliki dampak yang mendalam pada kesejahteraan pekerja (Bakker &

Demerouti, 2006). Grebner, Semmer, dan Elfering (2005) menyatakan bahwa

stresor pekerjaan (dalam hal ini, job demands) adalah satu hal yang mungkin

menjadi penyebab buruknya well being, kesehatan, dan performa kerja (job


(22)

kesejahteraan dan sebaliknya (Love, Irani, Standing, & Themistocleous,

2007).

Page (2005) menyatakan, untuk mencapai kesejahteraan, seorang

karyawan harus memenuhi kebutuhan-kebutuhannya di tempat kerja.

Kebutuhan-kebutuhan tersebut dibagi menjadi dua dimensi yaitu dimensi

intrinsik dan dimensi ekstrinsik. Dimensi intrinsik terdiri dari lima aspek yaitu

kebutuhan untuk mendapatkan makna kerja, menggunakan keahlian dan

pengetahuannya dalam bekerja, memiliki tanggung jawab, memiliki keinginan

untuk berprestasi dan mendapatkan kesempatan untuk bekerja secara mandiri.

Dimensi ekstrinsik terdiri dari delapan aspek yaitu kebutuhan untuk

mendapatkan jam kerja yang sesuai, pengakuan, kondisi kerja yang baik,

dihargai sebagai individu, atasan yang dapat bekerja sama dengan baik,

kesempatan promosi, keamanan pekerjaan, dan gaji. Meskipun pemenuhan

kebutuhan kedua dimensi tersebut merupakan syarat untuk mencapai

kesejahteraan, namun terpenuhinya kebutuhan dari dimensi intrinsik pada

individu lebih menggambarkan kesejahteraan karyawan (Page, 2005).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa

dimensi-dimensi dalam diri individu memegang peranan yang penting terhadap

kesejahteraan psikologis individu itu sendiri. Dapat dikatakan bahwa modal

yang berupa sikap dan perilaku diri sendiri berperan penting dalam


(23)

dimiliki oleh individu meliputi: (1) kepercayaan diri dalam menghadapi

tugas-tugas yang menantang dan memberikan usaha yang cukup untuk sukses dalam

tugas-tugas tersebut (self-efficacy); (2) atribusi yang positif baik terhadap

kesuksesan di masa kini maupun masa depan (optimism); (3) berorientasi

terhadap tujuan dalam hidup dan memiliki rancangan tentang langkah yang

harus diambil untuk mencapai tujuan tersebut (hope); dan (4) kemampuan

untuk bertahan ketika dihadapkan pada permasalahan atau halangan serta

mampu untuk bangkit kembali demi mencapai kesuksesan (resiliency).

Hasil penelitian Mukti (2009) pada salesperson di bidang penjualan

mobil menunjukkan bahwa modal psikologis berkorelasi positif dengan task

performance, yaitu sales yang semakin memiliki nilai positif pada modal

psikologis akan menghasilkan performansi kerja yang lebih baik. Dengan

performansi kerja yang baik maka lebih besar kemungkinan bahwa ia mampu

membangun hubungan yang baik dengan klien, memperoleh penghasilan yang

lebih banyak, dan kemudian memiliki kesempatan yang lebih besar untuk

mendapatkan promosi jabatan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa

optimisme, kepercayaan diri, kemampuan untuk bertahan dalam menghadapi

masalah telah menjadi beberapa modal psikologis dasar yang perlu dimiliki

untuk menjadi salesperson yang sukses. Hal ini menunjukkan bahwa modal

psikologis berpengaruh terhadap status pekerjaan dan kesejahteraan seseorang

(Cole, Daly & Mak, 2009).

Penelitian yang dilakukan oleh Luthans, Smith, dan Palmer (2010)


(24)

positif terhadap kesejahteraan psikologis karyawan meskipun hasil tersebut

tidak dapat memberikan kepastian bahwa modal psikologis secara langsung

mempengaruhi kesejahteraan psikologis dikarenakan penelitian yang

dilakukan bukanlah penelitian eksperimen sebenarnya. Oleh karena itu,

peneliti tertarik untuk meneliti mengenai hubungan antara modal psikologis

dengan kesejahteraan psikologis pada salesperson.

B. Rumusan Masalah

Apakah terdapat hubungan antara modal psikologis dengan

kesejahteraan psikologis pada salesperson?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara

modal psikologis dengan kesejahteraan psikologis pada salesperson. Selain

itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui hubungan antara

masing-masing dimensi modal psikologis dengan kesejahteraan psikologis.

D. Manfaat penelitian i. Manfaat Teoritis:

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan wacana

dalam ilmu psikologi pada umumnya, khususnya di bidang Psikologi


(25)

kesejahteraan psikologis dan modal psikologis, serta dapat digunakan

sebagai pedoman untuk penelitian selanjutnya.

ii. Manfaat Praktis:

Hasil penelitian mampu memberikan informasi mengenai data empiris

kesejahteraan psikologis dan modal psikologis salesperson di kota

Medan serta pemahaman mengenai hubungan antara modal psikologis

dengan kesejahteraan psikologis.

E. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Pada Bab pendahuluan akan dijelaskan mengenai latar belakang penelitian,

rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penelitian.

BAB II LANDASAN TEORI

Pada bab ini berisi penjelasan mengenai teori-teori yang berkaitan dan

berhubungan dengan masalah penelitian yang menjadi acuan dalam menjawab

permasalahan penelitian serta hipotesis penelitian.

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini memaparkan penjelasan mengenai variabel penelitian, tipe dan desain

penelitian, populasi dan sampel target penelitian, karakteristik subjek, teknik

sampling, prosedur dan pelaksanaan penelitian, pengujian validitas dan

reliabilitas alat ukur, metode analisis data yang digunakan, serta data hasil uji


(26)

BAB IV HASIL DAN INTERPRETASI DATA

Pada bab ini akan diuraikan tentang gambaran umum dan karakteristik dari

subjek penelitian salesperson di kota Medan serta bagaimana analisa data

dilakukan dengan menggunakan analisa statistik dengan bantuan program

SPSS versi 16.0 for windows. Kemudian pada bab ini juga akan dibahas

mengenai interpretasi data hasil penelitian beserta pembahasan.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini kesimpulan dari hasil penelitian yang disusun berdasarkan analisa dan

interpretasi data serta dilengkapi dengan saran-saran bagi perusahaan dan bagi


(27)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kesejahteraan Psikologis

1. PengertianKesejahteraan Psikologis

Campbell (1976) mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai

hasil evaluasi seseorang terhadap hidupnya baik secara kognitif maupun

secara emosi. Jika dievaluasi secara kognitif, maka kesejahteraan adalah

sebuah bentuk kepuasan dalam hidup, sementara sebagai hasil dari

evaluasi emosi, kesejahteraan merupakan affect atau perasaan senang.

Menurut Lawton (1983), kesejahteraan psikologis merupakan

gambaran seseorang mengenai hidup yang berkualitas yang terbentuk dari

evaluasi terhadap aspek-aspek dalam hidup yang dianggap baik atau

memuaskan. Sementara itu, pengertian kesejahteraan psikologis menurut

Okun dan Stock (1984) adalah perasaan bahagia dan kepuasan yang secara

subjektif dialami atau dirasakan oleh seseorang. Bradburn (1969) juga

menyatakan bahwa seseorang akan memiliki tingkat kesejahteraan

psikologis yang lebih tinggi bila ia merasakan lebih banyak afek positif

dibandingkan afek negatif dan sebaliknya.

Di sisi lain, Keyes, Shmotkin dan Ryff (2002) mengungkapkan


(28)

keseimbangan antara afek positif dan afek negatif, tapi juga melibatkan

persepsi mengenai tantangan-tantangan yang dihadapi.

Ryff (1989) menjelaskan konsep kesejahteraan psikologis sebagai

suatu kondisi dimana individu dapat menerima segala kelebihan dan

kekurangannya, mengembangkan potensi diri secara berkelanjutan,

memiliki tujuan hidup dan menemukan kebermaknaan hidup, membangun

hubungan positif dengan orang lain, mampu mengatur lingkungan secara

efektif sesuai dengan kebutuhannya, serta memiliki kemampuan dalam

menentukan tindakan sendiri.

Sugianto (2000) menambahkan bahwa deskripsi orang yang

mengalami kesejahteraan psikologis adalah orang yang mampu

merealisasikan potensi dirinya secara kontinu, mampu menerima diri apa

adanya, mampu membentuk hubungan yang baik dengan orang lain,

mampu menghadapi tekanan sosial, memiliki arti dalam hidup, serta

mampu mengendalikan lingkungan eksternal.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan

psikologis merupakan kebahagiaan yang dirasakan oleh individu yang

merasa puas dengan aspek diri dan lingkungan baik fisik maupun sosial

yang disertai dengan adanya perkembangan potensi diri ke arah positif


(29)

2. Perkembangan Konsep Kesejahteraan

Munculnya konsep kesejahteraan psikologis berawal dari

perkembangan konsep kesejahteraan (well-being) itu sendiri. Konsep

kesejahteraan mengacu pada keberfungsian psikologis secara optimal

(Ryan & Deci, 2001). Menurut Ryan dan Deci (2001), terdapat dua

perspektif mengenai kesejahteraan, yaitu pendekatan hedonic dan

pendekatan eudaimonic. Pendekatan hedonic mendefinisikan

kesejahteraan sebagai kesenangan atau kebahagiaan yang menekankan

pada pengalaman yang mendatangkan kenikmatan, sedangkan pendekatan

eudaimonic mendefinisikan kesejahteraan sebagai realisasi diri, ekspresi

personal dan tingkat dimana individu mampu mengaktualisasikan

kemampuannya. Perspektif hedonic berfokus pada pengalaman subjektif

terhadap kebahagiaan dan kepuasan hidup (disebut sebagai subjective

well-being oleh Ryff, Keyes, & Shmotkin, 2002). Konsep subjective

well-being berasal dari konsep well-being dari perspektif hedonic dimana

kesejahteraan didefinisikan sebagai kondisi tingginya tingkat kemunculan

kejadian-kejadian atau efek-efek yang positif, tingkat munculnya efek

negatif yang rendah, dan tingkat kepuasan akan hidup (life satisfaction)

yang tinggi (Deiner, 1984; Kahneman, Diener, & Schwarz, 1999).

Berbeda dengan definisi kesejahteraan dari sudut pandang hedonic

yang berfokus pada hasil akhir atau kondisi yang terlihat pada masa kini,

perspektif eudaimonic menempatkan kesejahteraan sebagai suatu proses


(30)

potensi yang dimiliki manusia (Waterman, 1993). Berdasarkan perspektif

eudaimonic, laporan subjektif seseorang mengenai perasaan kebahagiaan,

keberadaan efek-efek yang positif, dan kepuasan hidup yang dirasakan

pada saat kini atau pada waktu yang spesifik tidak berarti bahwa orang

tersebut baik secara psikologis ataupun baik secara sosial (Ryan & Deci,

2001). Aktivitas-aktivitas hedonic yang dilakukan dengan mengejar

kenikmatan dan menghindari kesakitan menghasilkan kesejahteraan yang

bersifat sementara yang semakin lama akan semakin memudar sensasinya

seiring waktu. Sedangkan aktivitas-aktivitas eudaimonic lebih dapat

mempertahankan kondisi kesejahteraan dalam waktu yang relatif lama

lama dan konsisten (Steger, Kashdan, & Oishi, 2009). Seseorang akan

merasakan kebahagiaan dan kepuasan hidup yang lebih lama ketika

individu mengalami pengalaman membina hubungan yang baik dengan

orang lain dan merasa menjadi bagian dari kelompok tertentu, dapat

menerima dirinya sendiri, dan memiliki tujuan hidup (Steger, Kashdan, &

Oishi 2009). Pandangan eudaimonic mengenai kesejahteraan ini kemudian

menjadi dasar munculnya konsep kesejahteraan psikologis (psychological

well-being).

3. Dimensi Kesejahteraan Psikologis

Kesejahteraan psikologis memiliki enam dimensi yang


(31)

dapat berfungsi secara penuh dan positif (Ryff, 1989; Ryff & Singer,

1996; Ryff & Singer 2008). Dimensi-dimensi tersebut adalah:

a) Penerimaan Diri (Self Acceptance)

Dimensi penerimaan diri berkenaan dengan sikap individu terhadap

diri sendiri dan mengenai kehidupannya di masa lalu, serta sikap dalam

memandang kekurangan dan kelebihan dengan segala batasan-batasan

yang dimiliki dalam aspek diri. Individu yang mampu menerima

dirinya dengan baik ditandai dengan adanya sikap positif baik terhadap

diri sendiri maupun terhadap kehidupannya di masa lalu serta

mengetahui dan menerima segala kelebihan maupun kekurangan dalam

diri. Sebaliknya, individu yang memiliki penerimaan diri yang kurang

baik memiliki perasaan tidak puas terhadap diri sendiri dan kehidupan

masa lalu, serta memiliki keinginan untuk tidak menjadi dirinya.

b) Pertumbuhan Diri (Personal Growth)

Dimensi ini meliputi potensi individu yang berkaitan dengan

perkembangan diri secara berkelanjutan dan keterbukaan terhadap

pengalaman-pengalaman baru. Individu yang memiliki nilai positif

dalam dimensi ini memiliki keinginan untuk terus berkembang,

menyadari potensi-potensi yang ia miliki dan mengalami perubahan

dalam sikap maupun tingkah laku ke arah yang positif dari waktu ke

waktu. Sebaliknya, individu yang memiliki kekurangan dalam dimensi

ini memandang dirinya sebagai seseorang yang tidak dapat


(32)

maupun perilaku dari waktu ke waktu, dan tidak merasakan adanya

potensi yang positif dalam diri.

c) Kebermaknaan Hidup (Purpose in Life)

Dimensi ini menggambarkan keberadaan tujuan dan keterarahan dalam

hidup seseorang. Individu yang merasakan adanya kebermaknaan

hidup adalah individu yang jelas mengenai target dan cita-cita yang

akan ia capai serta merasa bahwa baik kehidupan masa lalu maupun

kini adalah kehidupan yang berarti. Sebaliknya, individu yang tidak

merasakan adanya kebermaknaan dalam hidup tidak jelas akan target

dan cita-cita yang ingin dicapai, serta tidak melihat adanya makna

dalam hidupnya selama ini maupun di masa lalu.

d) Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)

Dimensi ini berkaitan dengan kemampuan individu dalam

menciptakan ataupun mengatur lingkungan sekitarnya agar sesuai

dengan keinginan atau kebutuhannya. Individu dengan nilai positif

pada dimensi ini ditandai dengan kemampuan dalam memilih dan

menciptakan sebuah lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan

nilai-nilai pibadinya serta mampu memanfaatkan secara maksimal

peluang-peluang yang ada di sekitarnya. Sebaliknya, individu yang

dikatakan kurang dapat menguasai lingkungannya adalah individu

yang kesulitan atau merasa tidak memiliki kemampuan dalam


(33)

dirinnya serta tidak peka dalam menyadari keberadaan peluang di

sekitarnya.

e) Otonomi (Autonomy)

Dimensi ini mencerminkan kemandirian, kekukuhan terhadap standar

tersendiri dan kemampuan untuk menentukan tindakan sendiri tanpa

dibebankan oleh tekanan sosial. Ciri-ciri individu yang menunjukkan

terpenuhinya dimensi otonomi adalah mandiri serta tidak terbebani

oleh tekanan sosial dalam berpikir dan bertingkah laku.

f) Hubungan positif dengan orang lain (Positive relationship with others)

Dimensi ini mencakup kemampuan seseorang dalam membina

hubungan yang baik dengan orang lain. Individu yang memiliki nilai

positif pada dimensi ini digambarkan sebagai seseorang yang mampu

memiliki hubungan yang hangat atau intim dengan orang lain, mampu

membangun kepercayaan dalam suatu hubungan, memiliki rasa empati

serta perhatian terhadap orang lain.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis

Faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis antara

lain (Rotter, 1966; Ryff, 1989; Robinson, Stimpson, Huefner, & Hunt,

(1991; Ryff & Essex, 1992; Bhogle & Prakash, 1995; Ryff, 1995; Ryff&

Keyes, 1995; Ryff & Singer, 1996; Salovey, Rothman, Detweller &

Stewart, 2000; Papalia, Feldman & Gross, 2001; Page, 2005; Sarafino,


(34)

a. Faktor internal

i. Usia

Menurut Ryff & Keyes (1995), usia mempengaruhi perbedaan

dalam dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis. Aspek-aspek

yang berkaitan dengan penguasaan lingkungan dan otonomi diri

seseorang menunjukkan peningkatan seiring pertambahan usia dari

kecil hingga dewasa akhir. Sedangkan pada aspek yang berkaitan

dengan tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi seseorang semakin

menurun sejak usia dewasa muda hingga dewasa akhir.

ii. Jenis kelamin

Perbedaan tingkat kesejahteraan psikologis antara pria dan wanita

dipengaruhi oleh stereotype gender yang cenderung

menggambarkan pria sebagai sosok yang agresif dan mandiri,

sementara wanita adalah sosok yang pasif, tergantung, serta sensitif

terhadap perasaan orang lain (Papalia, Feldman & Gross, 2001).

Hal ini yang mengakibatkan sebagian besar wanita menunjukkan

skor yang lebih tinggi daripada pria pada dimensi hubungan positif

dengan orang lain (Ryff, 1989).

iii. Evaluasi terhadap bidang-bidang tertentu

Tercapainya kesejahteraan psikologis tergantung pada penilaian


(35)

menyebabkan tingkat kepuasan yang dirasakan berbeda antara

individu yang satu dengan yang lain, sehingga dapat dikatakan

bahwa mekanisme evaluasi diri berpengaruh pada kesejahteraan

psikologis individu (Ryff & Essex, 1992).

iv. Kepribadian

Salah satu faktor kepribadian yang mempengaruhi kesejahteraan

psikologis seseorang adalah locus of control. Locus of control

mengacu pada persepsi individu mengenai seberapa besar kendali

yang dimiliki seseorang terhadap penguatan (reinforcement) yang

mengikuti perilaku mereka (Rotter, 1966). Robinson, Stimpson,

Huefner, dan Hunt (1991) mengemukakan individu dengan locus

of control internal pada umumnya memiliki tingkat kesejahteraan

psikologis yang lebih tinggi dibanding individu dengan locus of

control eksternal. Faktor-faktor kepribadian lain yang turut

mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang seperti personal

control, self esteem, positive affect, manage tension, positive thinking, dan idea & feeling (Bhogle & Prakash, 1995).

b. Faktor Eksternal

i. Status Sosial Ekonomi.

Ryff dan Singer (1996) mengemukakan bahwa perbedaan kelas

sosial ekonomi turut mempengaruhi profil kesejahteraan psikologis


(36)

yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi memiliki profil

kesejahteraan psikologis yang tinggi khususnya pada dimensi

tujuan hidup dan pengembangan pribadi. Selain itu, tingkat

pendidikan yang tinggi dan status pekerjaan juga berpengaruh

terhadap tingkat kesejahteraan psikologis pada dimensi penerimaan

diri dan dimensi tujuan hidup. Orang yang menempati kelas sosial

yang tinggi memiliki perasaan yang lebih positif terhadap diri

sendiri dan masa lalu mereka, serta lebih memiliki rasa keterarahan

dalam hidup dibandingkan dengan mereka yang berada di kelas

sosial yang lebih rendah (Ryff, 1995).

ii. Budaya

Kesejahteraan psikologis yang berkaitan dengan dimensi

penerimaan diri dan otonomi lebih banyak ditemukan pada

masyarakat yang memiliki budaya individualistik (Ryff & Singer,

1996). Sementara itu masyarakat yang memiliki budaya yang

berorientasi kolektifitas dan saling ketergantungan, lebih banyak

menunjukkan nilai yang positif pada dimensi hubungan positif

dengan orang lain.

iii. Dukungan Sosial

Dukungan sosial mengacu pada memberikan kenyamanan pada

orang lain, merawatnya atau menghargainya (Sarafino, 2006).


(37)

memberi dukungan dalam mencapai tujuan dan kesejahteraan

hidup, dapat membantu perkembangan pribadi yang lebih positif

memberikan dukungan pada individu dalam menghadapi masalah

hidup sehari-hari. Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh

Salovey, Rothman, Detweller & Stewart (2000) menunjukkan

adanya hubungan yang kuat antara dukungan sosial dengan

kesejahteraan. Orang yang mempunyai hubungan dekat mampu

mengatasi stressor (misalnya kehilangan pekerjaan, mengidap

penyakit, berpisah dengan pasangan hidup, dsb.) dengan lebih baik.

iv. Pekerjaan

Page (2005) menyatakan bahwa faktor-faktor pekerjaan seperti

jam kerja, pengakuan, kondisi kerja, keamanan pekerjaan, gaji

berpengaruh terhadap kesejahteraan psikologis seseorang.

.

B. Modal Psikologis

1. Pengertian Modal Psikologis

Istilah modal psikologis (psychological capital) didefinisikan

Goldsmith, Veum, & Darity (1997) sebagai bagian dari kepribadian (dapat

berupa persepsi mengenai diri, orientasi mengenai etika, sikap terhadap

pekerjaan, gambaran umum mengenai kehidupan) yang turut

mempengaruhi produktivitas seseorang.

Luthans, Youssef, dan Avolio (2007) mendefinisikan modal


(38)

meliputi: kepercayaan diri dalam menghadapi tugas yang menantang (

self-efficacy); memiliki atribusi yang positif atas kesuksesan baik di masa kini

maupun masa depan (optimism); memiliki sasaran dan keterarahan dalam

mencapai tujuan (hope); mampu bertahan ketika mengalami kesulitan dan

bangkit kembali mencapai kesuksesan (resiliency).

Berdasarkan uraian di atas, maka pengertian dari modal psikologis

adalah serangkaian faktor psikologis positif yang mempengaruhi

seseorang dalam mengembangkan potensi dirinya.

2. Latar Belakang Munculnya Modal Psikologis

Munculnya modal psikologis berawal dari pembahasan mengenai

Positive Organizational Behavior (POB), yaitu studi dan aplikasi

mengenai kekuatan sumber daya positif dan kapasitas psikologis yang

dapat diukur, dikembangkan, dan diatur demi perkembangan perfomansi di

tempat kerja. (Luthans, 2002). Kapasitas psikologis yang dimaksud

berbeda dengan traits yang kerap dianggap bersifat menetap dan genetik,

namun cenderung lebih elastis sehingga dapat mengalami perubahan

sepanjang masa hidup seseorang tergantung pada faktor situasional, seperti

pengaruh perubahan-perubahan tertentu dalam hidup atau pengalaman

menjalani psikoterapi yang ekstensif (Avolio & Luthans, 2006; Linley &


(39)

program pelatihan yang relatif singkat, seperti on-the-job activities,

microinterventions (Luthans, Avey, et al., 2006).

POB dikemukakan sebagai salah satu pendekatan yang diciptakan

dengan tujuan untuk merubah teori perilaku organisasi tradisional yang

sebagian besarnya menekankan pada pembahasan mengenai pemimpin

yang tidak efektif, stress dan konflik, sikap dan perilaku disfungsional dan

sebagainya. Pendekatan tradisional mengarahkan pada cara yang dapat

dilakukan untuk mengurangi dampak dari hal-hal yang bersifat negatif

yang akhirnya kurang memberikan kontribusi pemahaman mengenai cara

memanfaatkan sumber daya positif yang ada untuk memperbaiki keadaan.

Akibatnya, hasil yang dapat diperoleh dari pendekatan tradisional hanya

mampu memberikan solusi bagi organisasi beserta anggotanya yang

berguna cukup untuk mempertahankan performansi rata-rata selama

jangka waktu tertentu. Sedangkan di masa kini performansi yang hanya di

ambang rata-rata tidak lagi memadai untuk berada di lingkungan yang

sangat kompetitif (Avolio & Luthans, 2006). Berdasarkan alasan tersebut

maka muncullah pendekatan bersifat positivistik yang berusaha menggali

dan meningkatkan sumber daya positif yang dimiliki individu, yang

kemudian dikenal dengan modal psikologis.


(40)

Modal psikologis terdiri dari 4 dimensi (Luthans & Youssef, 2004)

antara lain:

a) Self-efficacy, merupakan keyakinan terhadap kemampuan diri dan

sumber daya kognitif yang dimiliki, serta tindakan-tindakan yang perlu

diambil untuk berhasil menyelesaikan suatu tugas. Orang yang

memiliki self-efficacy yang tinggi cenderung menetapkan target yang

tinggi terhadap diri sendiri, senang menerima tantangan, memiliki

motivasi diri yang kuat, serta membayar dengan usaha yang setimpal

agar mencapai tujuan. Individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi

tidak menunggu datangnya tantangan untuk dipenuhi, namun

menetapkan tantangan tersendiri dengan meningkatkan target yang

harus dicapai selanjutnya secara terus menerus.

b) Hope, yaitu memiliki harapan positif dan rancangan langkah-langkah

yang harus diambil untuk mencapai kesuksesan. Individu dengan

tingkat hope yang tinggi tidak hanya jelas akan sasaran yang ingin

diraih, namun juga jelas mengenai jalur yang akan dijalani untuk

meraih sasaran tersebut serta telah memikirkan jalur alternatif yang

dapat diambil jika menghadapi gangguan atau masalah di tengah

prosesnya.

c) Optimism, ditandai dengan individu yang memberi atribusi positif

terhadap diri sendiri saat mencapai keberhasilan dan memandang


(41)

percaya bahwa mereka memiliki peranan dalam mewujudkan

pengalaman yang menyenangkan. Pandangan hidup yang optimis ini

mendorong individu untuk selalu menginternalisasikan aspek-aspek

hidup yang positif baik di masa kini maupun masa depan.

d) Resiliency, merupakan kapasitas yang dimiliki seseorang untuk dapat

bertahan dan bangkit kembali baik ketika menghadapi pengalaman

yang positif maupun negatif. Artinya, resiliency berperan dalam

membantu individu untuk mampu bertahan tidak hanya ketika

mengalami kesulitan, namun juga mendorong individu untuk menjadi

lebih baik dari sebelumnya hingga keluar dari titik kesetimbangan di

saat menghadapi tantangan atau pengalaman yang positif.

Dimensi-dimensi modal psikologis ini saling bersinergi atau

berinteraksi satu sama lain (Luthans, Youssef & Avolio, 2007). Misalnya,

orang yang percaya akan kemampuan yang ia miliki (self-efficacy) yakin

bahwa ia mampu bertahan dan bangkit dari kegagalan (resiliency) serta

percaya bahwa kegagalan yang ia hadapi hanya berlangsung sementara

(optimism), sehingga dalam kehidupannya ia memiliki harapan dan

keterarahan (hope). Orang yang penuh harapan mengenai masa depan dan

memiliki keterarahan dalam mencapai tujuan (hope) akan lebih termotivasi

dan lebih berusaha dalam mengatasi masalah sehingga lebih resilien.Orang

yang resilien akan terus berusaha untuk bangkit dari kegagalan sehingga

lebih optimis ataupun sebaliknya orang yang optimis cenderung resilien


(42)

C. Pengertian Salesperson

Sihite (1997) mengartikan bahwa sales adalah Merchandise

(Something to be sold) plus Service. Dengan demikian, salesman atau

salesperson adalah individu yang menawarkan suatu produk dalam suatu

proses. Secara umum, tugas-tugas dari seorang salesman adalah melaksanakan

kegiatan penjualan melalui telepon terhadap target konsumen, memelihara

semua hasil analisis penjualan yang telah dibuat, melayani konsumen,

melaksanakan kegiatan pemasaran (Sihite, 1997). Biong (1993) mengatakan

bahwa tenaga penjual (salesperson) mewakili kontak antar personal

(interpersonal contact) antara pemasok dengan pihak pengecer/pengguna

produk industri.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian dari

salesperson adalah staff yang bertugas mewakili sebuah perusahaan untuk

mempromosikan dan menjual produk perusahaan tersebut secara langsung

kepada pelanggan.

D. Hubungan antara Modal Psikologis dengan Kesejahteraan Psikologis Mirowsky & Ross (1989) menjelaskan bahwa kesejahteraan

psikologis seseorang dapat dipengaruhi oleh: kemampuan ekonomi, pekerjaan,

pendidikan, kehidupan masa kecil seseorang, serta kesehatan fisik. Di samping

itu, hasil penelitian yang dilakukan Schmutte & Ryff (1997) menunjukkan


(43)

dimensi extroversion, conscientiousness dan low neuroticism dengan

kesejahteraan psikologis, terutama dalam hal penerimaan diri, penguasaan

lingkungan, keterbukaan terhadap pengalaman berhubungan dengan

pertumbuhan pribadi, serta tujuan hidup. Sementara agreeableness dan

extraversion ditemukan memiliki hubungan dengan dimensi hubungan positif

dengan orang lain dan low neuroticism dengan dimensi otonomi. Dari

penelitian tersebut juga dikemukakan bahwa orang yang dengan kepribadian

neurotik cenderung memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang rendah.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Hadjam dan Nasiruddin (2003)

diperoleh hasil bahwa (1) kesulitan ekonomi mempunyai pengaruh yang

sangat signifikan terhadap kesejahteraan psikologis; (2) kepuasan kerja

mempunyai pengaruh positif yang sangat signifikan terhadap kesejahteraan

psikologis; (3) religiusitas tidak berpengaruh secara signifikan terhadap

kesejahteraan psikologis; (4) kesulitan ekonomi, kepuasan kerja dan

religusitas secara bersamaan berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan

psikologis.

Dalam konteks psikologi industri dan organisasi, maka pembahasan

kesejahteraan psikologis lebih tepat ditujukan pada kesejahteraan psikologis

karyawan berkaitan dengan pekerjaannya. Waddell dan Burton (2006)

menyatakan bahwa pekerjaan turut mempengaruhi kesehatan dan

kesejahteraan psikologis individu. Individu yang bekerja di perusahaan yang

memiliki manajemen yang baik akan memiliki kesejahteraan psikologis yang


(44)

seperti perubahan dalam organisasi, tuntutan pekerjaan, otonomi juga turut

mempengaruhi kesejahteraan psikologis individu (Health & Safety Executive,

2005; Foresight, 2009). Meskipun kedua aspek intrinsik maupun ekstrinsik

yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis individu sama-sama berperan

penting namun terpenuhinya dimensi intrinsik pada individu lebih

menggambarkan kesejahteraan karyawan (Page, 2005).

Penelitian yang dilakukan oleh Singh dan Mansi (2009) memberikan

hasil bahwa responden yang memiliki self-efficacy yang tinggi, optimis, dan

internal locus of control memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih

tinggi. Hasil penelitian ini kembali memperkuat hasil-hasil penelitian

sebelumnya yang mengungkapkan bahwa orang yang optimis cenderung

memiliki kualitas hidup yang lebih baik (Powers & Bendall, 2004), dan lebih

jarang mengalami kesakitan fisik ataupun kecenderungan bunuh diri ketika

menghadapi kejadian-kejadian traumatis dibandingkan orang yang pesimis

(Carr & Alan, 2004). Kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam kehidupan

sehari-hari membuat perlunya memiliki sense of efficacy yang optimistik,

penuh harapan (hopeful), dan resilien dalam diri individu untuk mencapai

kesejahteraan (Bandura, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Tong, Song,

dan Shanggui (2004) juga menunjukkan bahwa individu yang memiliki

self-efficacy yang lebih tinggi juga memiliki tingkat subjective-well being yang

lebih tinggi.


(45)

tersebut dikarenakan modal psikologis mendorong potensi individu untuk

mengambil perspektif yang berbeda, penilaian situasi dan kondisi sebagai

sesuatu yang lebih positif, oportunistik, dan dengan cara yang lebih adaptif,

yang kemudian dapat meningkatkan kesejahteraan (Avey, Luthans, Smith, &

Palmer, 2010).

E. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, hipotesis yang diajukan dalam penelitian

ini adalah ada hubungan positif antara modal psikologis dengan kesejahteraan

psikologis pada salesperson. Dengan kata lain, semakin tinggi modal

psikologis maka semakin tinggi pula kesejahteraan psikologis salesperson.

Sebaliknya, semakin rendah modal psikologis maka semakin rendah

kesejahteraan psikologis.

Selain itu, hipotesis yang juga ingin dibuktikan dalam penelitian ini

berkaitan dengan dimensi modal psikologis adalah:

1. Ada hubungan positif antara self-efficacy dengan kesejahteraan psikologis,

yaitu semakin tinggi self-efficacy semakin tinggi pula kesejahteraan

psikologis dan sebaliknya.

2. Ada hubungan positif antara hope dengan kesejahteraan psikologis, yaitu

semakin tinggi hope maka semakin tinggi kesejahteraan psikologis dan


(46)

3. Ada hubungan positif antara resiliency dengan kesejahteraan psikologis,

yaitu semakin tinggi resiliency maka semakin tinggi kesejahteraan

psikologis dan sebaliknya.

4. Ada hubungan positif antara optimism dengan kesejahteraan psikologis,


(47)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif karena jenis data yang

digunakan dalam penelitian ini berupa data kuantitatif yang kemudian dianalisis

dengan statistik (Triyuwono, 2013). Berhubung tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui hubungan modal psikologis dengan kesejahteraan psikologis pada

salesperson, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

penelitian kuantitatif yang bersifat korelasional. Penelitian korelasional adalah

suatu penelitian untuk mengetahui hubungan dan tingkat hubungan antara dua

variabel atau lebih tanpa ada upaya untuk mempengaruhi variabel tersebut

sehingga tidak terdapat manipulasi variabel (Frankel & Wallen, 2008).

A. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel yang terlibat dalam penelitian ini terdiri dari 2, yaitu diantaranya:

1. Variabel tergantung (dependent variabel) : Kesejahteraan Psikologis

2. Variabel bebas (independent variabel) :Modal Psikologis

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Kesejahteraan Psikologis

Penilaian individu mengenai kepuasan terhadap aspek-aspek diri


(48)

perkembangan potensi diri. Kesejahteraan psikologisdiukur menggunakan

Psychological Well-Being Scale (Ryff & Keyes, 1995) yang di dalamnya

telah mencakup aitem-aitem yang mengukur keenam dimensi

kesejahteraan psikologis: penerimaan diri, pengembangan diri, tujuan

dalam hidup, penguasaan lingkungan, otonomi, hubungan positif dengan

orang lain. Semakin tinggi skor pada skala tersebut menunjukkan semakin

tinggi kesejahteraan psikologis yang dirasakan oleh individu. Sebaliknya,

semakin rendah skor pada skala, maka semakin rendah kesejahteraan

psikologis.

2. Modal Psikologis

Penilaian karyawan mengenai kemampuan, keterarahan, dan

ketahanan mereka untuk mencapai tujuan serta cara mengatribusikan

pengalaman dalam hidup. Pengukuran modal psikologis menggunakan

skala Psychological Capital Questionnaire (PCQ) Luthans (2007). Dalam

skala ini mencakup aitem-aitem yang mengukur keempat aspek modal

psikologis yaitu: self-efficacy, hope, optimism, resiliency. Semakin tinggi

skor dalam PCQ maka artinya modal psikologis semakin tinggi.

Sebaliknya, semakin rendah skor dalam PCQ maka semakin rendah modal


(49)

C. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel 1. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: objek/

subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan

oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya

(Sugiyono, 2011). Populasi yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah

salesperson yang bekerja di kota Medan. Oleh karena peneliti memiliki

keterbatasan dalam mengambil data dari seluruh populasi, maka peneliti

hanya meneliti sebagian salesperson yang dapat mewakili populasi

sebagai subjek penelitian.

Kumar (1999) mengatakan bahwa semakin banyak sampel maka

estimasi penelitian akan lebih akurat. Sesuai dengan law of larger numbers

(Gravetter & Forzano, 2009) yang menyatakan bahwa semakin besar

sampel maka semakin besar pula kemungkinan bahwa nilai yang diperoleh

dari sampel menyerupai nilai sesungguhnya.

Adapun karakteristik dari populasi penelitian ini adalah :

i. Pria dan wanita yang bekerja sebagai salesperson di suatu

organisasi.

ii. Memiliki masa kerja di atas 1 tahun. Salesperson dianggap telah

memahami dan beradaptasi dengan nilai-nilai, tujuan, dan

peraturan dalam organisasi serta telah memiliki pengalaman

mengenai kegagalan ataupun masalah selama bekerja.


(50)

2. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah

teknik non-random/non-probability sampling karena tidak semua sampel

memiliki kesempatan yang sama (Kumar, 1999). Peneliti menggunakan

teknik ini dengan alasan tidak adanya akses untuk mendapatkan informasi

mengenai jumlah populasi secara pasti. Sedangkan metode yang

digunakan adalah purposive sampling, yaitu mengambil sampel yang

memiliki karakteristik yang sesuai dengan tujuan penelitian.

D. Metode Pengambilan Data

Metode pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode penskalaan. Penskalaan merupakan prosedur untuk menempatkan

karakteristik objek pada titik-titik sepanjang sebuah kontinum untuk

mengestimasi penilaian individu yang bersifat subjektif (Azwar, 2004).

Dengan kata lain, skala psikologi adalah instrumen pengukuran untuk

mengidentifikasi konstruk psikologis.

Karakteristik dari skala psikologis stimulus berupa pernyataan yang

tidak langsung mengungkap indikator perilaku yang hendak diukur dan respon

subjek tidak diklasifikasikan sebagai “benar” atau “salah” (Widhiarso, 2010).

Dengan memilih skala sebagai instrumen penelitian, peneliti berharap agar

responden dapat menjawab seluruh pertanyaan sesuai dengan keadaan diri


(51)

good). Selain itu penggunaan skala mempermudah pengumpulan data dan

dapat menekan biaya penelitian.

Model penskalaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah model

skala Likert. Skala Likert merupakan skala bipolar yang mengukur baik

tanggapan positif ataupun negatif terhadap suatu pernyataan. Dalam penelitian

ini, skala Likert terdiri dari 6 pilihan tanpa adanya pilihan netral untuk

mereduksi efek social desirability (Garland, 1991). Pada model penskalaan ini

terdapat dua jenis pernyataan, yaitu favorable dan unfavorable. Pernyataan

favorable merupakan pernyataan positif yang mendukung objek sikap yang

diungkap, sedangkan pernyataan unfavorable merupakan pernyataan negatif

yang tidak mendukung objek sikap yang hendak diungkap (Azwar, 2001).

Adapun dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua skala

psikologis, yaitu skala kesejahteraan psikologis dan skalamodal psikologis.

1. Skala Kesejahteraan Psikologis

Penyusunan aitem-aitem skala kesejahteraan psikologis dalam

penelitian ini dilakukan berdasarkan dimensi kesejahteraan psikologis

yang diuraikan oleh Ryff (1989), yaitu penerimaan diri, pertumbuhan

pribadi, otonomi, tujuan hidup, penguasaan lingkungan, dan hubungan

positif dengan orang lain.

Skala kesejahteraan psikologis ini menggunakan skala 6 angka

yaitu mulai angka 6 untuk pendapat sangat setuju (SS), 5 untuk setuju (S),


(52)

(TS) dan angka 1 untuk sangat tidak setuju (STS). Bentuk pernyataan yang

favorable maupun unfavorable diikutsertakan dalam skala kesejahteraan

psikologis yang digunakan dalam penelitian ini.

Tabel 2. Blue Print Skala Kesejahteraan Psikologis

No. Dimensi Favourable Unfavourable

1. Otonomi 1,2 3,4,5

2. Penguasaan

Lingkungan

6,7 8,9,10

3. Pertumbuhan Pribadi 11,12,13 14,15

4. Hubungan positif

dengan orang lain

16,17 18,19,20

5. Tujuan dalam hidup 21,22,23 24,25

6. Penerimaan diri 26,27,28 29,30

Jumlah Total Aitem 15 15

2. Skala Modal Psikologis

Penyusunan aitem-aitem skala modal psikologis disusun

berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Luthans (2007), yaitu

self-efficacy, hope, optimism, resiliency. Adapun skala modal psikologis

ini merupakan skala 6 angka yaitu mulai angka 6 untuk pendapat sangat


(53)

setuju (STS). Skala modal psikologis ini meliputi baik bentuk pernyataan

favorable maupun unfavorable.

Tabel 1. Blue Print Skala Modal Psikologis

No. Aspek Favourable Unfavourable

1. Self-efficacy 1,2 3,4

2. Hope 5,6,7 8,9

3. Optimism 12,13,14,15 10,11

4. Resiliency 16,17,18 19,20

Jumlah Total Aitem 12 8

E. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur 1. Validitas Alat Ukur

Menurut Aritonang (2007), validitas suatu alat ukur berkaitan

dengan kemampuan alat ukur tersebut untuk mengukur atau mengungkap

karakteristik dan variabel yang dimaksudkan untuk diukur. Suatu alat ukur

dikatakan valid apabila alat ukur tersebut dapat mengukur apa yang

seharusnya diukur (Sugiyono, 2004).

Adapun jenis validitas yang perlu diperhitungkan dalam penelitian

ini adalah validitas isi, yaitu validitas yang menunjukkan sejauh mana

aitem dalam suatu alat ukur mewakili secara keseluruhan dan proporsional

konsep yang ingin diukur (Gregory, 2000). Uji validitas isi tidak dilakukan


(54)

& Pudji, 2008). Oleh sebab itu, validitas alat ukur yang digunakan dalam

penelitian ini diuji berdasarkan pendapat dari para ahli (professional

judgement).

2. Uji Daya Beda Aitem

Daya diskriminasi aitem atau daya beda aitem adalah sejauh mana

aitem mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang

memiliki dan yang tidka memiliki atribut yang diukur. Pengujian daya

diskriminasi aitem dilakukan dengan komputasi koefisien korelasi antara

distribusi skor aitem dengan distribusi skor skala itu sendiri. Dalam

penelitian ini, digunakan teknik korelasi Pearson product moment dalam

menghitung koefisien korelasi tersebut. Semakin tinggi korelasi antara

aitem tersebut dengan skala keseluruhan berarti semakin tinggi daya

bedanya.

3. Reliabilitas Alat Ukur

Menurut Sukadji (2000), reliabilitas suatu tes adalah seberapa besar

derajat tes mengukur secara konsisten sasaran yang diukur. Dengan kata

lain, alat ukur dikatakan reliabel bila terdapat kesamaan data pengukuran

pada objek yang sama dalam waktu yang berbeda (Sugiyono, 2007).

Pengujian reliabilitas alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini


(55)

aitem-aitem dalam suatu kelompok dimensi saling berhubungan atau yang

disebut sebagai konsistensi internal. Alat ukur dikatakan telah memiliki

reliabilitas yang memadai jika koefisien alpha cronbach lebih besar atau

sama dengan 0,70 (Sekaran, 2003).

F. Prosedur Penelitian

Langkah-langkah persiapan penelitian yang dilakukan peneliti antara lain:

1. Konstruksi Alat Ukur

Pada tahap ini, peneliti membuat alat ukur berupa skala modal psikologis

dan skala kesejahteraan psikologis berdasarkan teori yang digunakan.

Skala modal psikologis berisi 20 aitem, sedangkan untuk skala

kesejahteraan psikologis berjumlah 30 aitem. Skala dibuat dalam bentuk

booklet ukuran kertas A4. Setiap pernyataan memiliki 6 alternatif jawaban.

2. Permohonan izin

Peneliti mengurus surat permohonan izin mengambil data ke Fakultas

Psikologi USU yang kemudian akan diberikan kepada beberapa

perusahaan atau organisasi di kota Medan untuk melakukan pengambilan

data.

3. Uji coba alat ukur

Uji coba alat ukur dilakukan untuk melihat validitas dan reabilitas skala

modal psikologis dan skala kesejahteraan psikologis.


(56)

Hasil dari uji coba validitas dan reliabilitas skala modal psikologis dan

skala kesejahteraan psikologis kemudian menjadi pedoman bagi peneliti

dalam menemukan aitem-aitem yang valid dan reliabel.

G. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

menggunakan metode statistik inferensial, yang merupakan metode analisis

yang digunakan untuk mengetahui atau mengukur derajat hubungan ataupun

perbedaan antara dua variabel (Silalahi, 2006). Teknik analisa data yang

sesuai dengan tujuan penelitian ini adalah dengan teknik korelasi Pearson

product moment, yaitu teknik korelasi yang berguna untuk menentukan

hubungan antara dua variabel yang berskala interval. Selanjutnya dilakukan

analisa faktor untuk menguji hipotesis tentang relasi-relasi antar variabel

(Kerlinger, 1990). Keseluruhan analisa data dilakukan dengan menggunakan

fasilitas komputerisasi SPSS 16.0 for windows dan Microsoft Office Excel

2003. Adapun uji asumsi yang dilakukan sebelum menganalisa data-data yang

terkumpul diantaranya adalah:

1. Uji Normalitas

Uji normalitas adalah pengujian yang dimaksudkan untuk memperlihatkan

bahwa data sampel berasal dari populasi yang terdistribusi normal. Dalam

penelitian ini, uji normalitas dilakukan melalui Test of Normality pada


(57)

dari populasi yang berdistribusi normal bila titik-titik penyebaran sampel

sebagian besar berada pada satu garis lurus.

2. Uji Linearitas

Uji linearitas merupakan suatu prosedur yang digunakan untuk mengetahui

apakah kedua variabel (modal psikologis dan kesejahteraan psikoloigs)

memiliki hubungan yang linear atau tidak secara signifikan. Uji linearitas

dalam penelitian ini dilakukan melalui Test for Linearity pada SPSS pada

taraf signifikansi 0,05. Dua variabel dikatakan linear bila signifikansi

kurang dari 0,05.

H. HASIL UJI COBA ALAT UKUR

Uji coba alat ukur dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui sejauh

mana alat ukur dapat mengungkap dengan tepat apa yang diukur dan seberapa

jauh alat ukur menunjukkan keadaan sebenarnya (Azwar, 2001). Setelah alat

ukur disusun maka tahap selanjutnya yang dilakukan adalah melakukan uji

coba alat ukur. Uji coba alat ukur penelitian dilakukan terhadap 69 orang

subjek penelitian yang memiliki kesamaan karakteristik dengan subjek yang


(58)

1. Hasil Uji Coba Skala Modal Psikologis

Jumlah aitem yang diujicobakan di dalam skala modal psikologis ini

sebanyak 20 aitem. Berdasarkan hasil analisis aitem maka diperoleh 17

aitem yang memiliki nilai diskriminasi aitem di atas 0.3 dan 3 aitem yang

gugur. Hasil uji coba terhadap skala modal psikologismenunjukkan nilai

diskriminasi aitem bergerak dari 0.302 sampai dengan 0.788 dan

koefisien α = 0.855. Data penyebaran aitem skala dapat dilihat pada tabel 3.


(59)

Tabel 3. Distribusi Aitem Skala Modal PsikologisSetelah Uji Coba

N

o. Dimensi Komponen Favorable Unfavorable Tot

al

Bobot

1.

Self-efficacy

Kepercayaan

diri - 3 1 5.88%

Keyakinan akan kemampuan

diri

1,2 - 2 11.76%

2. Hope

Harapan

positif 5 - 1 5.88%

Keterarahan 4 6 2 11.76%

3. Resiliency

Ketahanan menghadapi

masalah

9,10 7,8 4 23.53%

Kebangkitan

kembali 11,12 - 2 11.76%

4. Optimism Atribusi hal positif secara internal dan permanen

14 17 2 11.76%

Atribusi hal negatif secara eksternal dan sementara

13,15 16 3 17.65%


(60)

2. Hasil Uji Coba Skala Kesejahteraan Psikologis

Jumlah aitem yang diujicobakan di dalam skala kesejahteraan psikologis

sebanyak 30 aitem. Berdasarkan hasil analisis aitem maka diperoleh 23 aitem yang

memiliki nilai diskriminasi aitem di atas 0.275 dan 7 aitem yang gugur. Hasil uji

coba terhadap skala kesejahteraan psikologis menunjukkan menunjukkan nilai

diskriminasi aitem bergerak dari 0.276 sampai dengan 0.703 dan koefisien α = 0.878. Data penyebaran aitem pada skala dapat dilihat pada tabel 4.


(61)

No. Dimensi Komponen Favorable Unfavorable Total Bobot

1. Otonomi

Penentuan keputusan pribadi.

1 - 1 4.35%

Kemampuan menghadapi

tekanan sosial.

- 2,3 2 8.70%

2. Penguasaan Lingkungan

Kemampuan

Adaptasi 4 5,6 3 13.04%

Pemanfaatan

peluang - 7 1 4.35%

3. Pertumbuhan pribadi

Perubahan diri ke arah

positif

9 12 2 8.70%

Keterbukaan atas pengalaman

baru

8,10 11 3 13.04%

4.

Hubungan positif dengan orang

lain

Empati 14 - 1 4.35%

Hubungan

sosial positif 13 15 2 8.70%

5. Tujuan

dalam hidup

Adanya

tujuan hidup 16 19 2 8.70%

Keterarahan 17,18 20 3 13.04%

6. Penerimaan diri

Sikap positif

terhadap diri 22 23 2 8.70%

Penerimaan kelebihan

dan kekurangan

diri.

21 - 1 4.35%

Total 12 11 23 100%


(62)

BAB IV

HASIL DAN INTERPRETASI DATA

Pada bab ini akan diuraikan mengenai keseluruhan hasil penelitian yang meliputi

pembahasan mengenai gambaran umum subjek penelitian, analisis dan interpretasi data

penelitian, serta hasil tambahan penelitian.

A. Gambaran Umum Subjek Penelitian

Secara keseluruhan responden dalam penelitian ini berjumlah 84 orang

salesperson. Dari 110 skala yang disebar oleh peneliti, hanya 94 yang kembali ke

peneliti. Dari 94 skala tersebut yang diterima hanya 84 kuesioner yang dapat diolah

dikarenakan 6 responden tidak mengisi data demografis dan 4 skala diisi dengan

jawaban ekstrim.

Berikut ini deskripsi umum subjek penelitian berdasarkan usia, jenis kelamin,

tingkat pendidikan, status perkawinan, dan masa bekerja.

1. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia

Berdasarkan teori perkembangan karir manusia (Super, 1984), maka

pengelompokkan subjek dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu: fase eksplorasi

(exploration) antara usia 16 – 24 tahun, fase pemantapan (establishment)

antara usia 25 – 44 tahun dan fase pemeliharaan (maintenance) antara usia


(63)

Tabel 5.Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia

Usia Jumlah Persentase

16-24 tahun 34 40.48%

25-44 tahun 49 58.33%

45-64 tahun 1 1.19%

TOTAL 84 100%

Pada Tabel 5 menunjukkan bahwa subjek terbanyak berada pada

rentang usia 16-24 tahun sebanyak 34 orang (40.48%), selanjutnya subjek pada

rentang usia 25-44 tahun sebanyak 49 orang (58.33%). Subjek yang berada pada

rentang usia 45-64 memiliki jumlah yang paling sedikit, yaitu 1 orang (1.19%)

2. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan jenis kelamin, gambaran penyebaran subjek penelitian dapat

dilihat pada tabel 6 berikut ini:

Tabel 6.Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah (N) Persentase

Laki-laki 66 78.57%

Perempuan 18 21.43%


(64)

Berdasarkan data pada tabel 6, jumlah subjek berjenis kelamin

laki-laki lebih banyak, yaitu berjumlah 66 orang (78.57%), dibandingkan

subjek berjenis kelamin perempuan sebanyak 18 orang (21,43%).

3. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Pengelompokan subjek penelitian berdasarkan tingkat pendidikan

dilakukan berdasarkan data pendidikan formal. Pengelompokkan subjek

berdasarkan pendidikan terakhir ini terdiri atas 4 kategori: SMA, D3,

S1, dan S2 dengan gambaran penyebaran subjek seperti yang terlihat

pada tabel 7 di bawah ini.

Tabel 7.Gambaran Subjek Penelitian BerdasarkanTingkat Pendidikan

B

Berdasarkan data pada tabel 7, jumlah subjek terbanyak adalah s u b j e k

y a n g m e m i l i k i tingkat pendidikan Strata 1 yaitu 47 orang (55.95%),

tingkat pendidikan SMA yaitu sebanyak 22 orang (26.19%), tingkat

pendidikan dengan jenjang Diploma sebanyak adalah 14 orang (16.67%),

dan yang paling sedikit adalah subjek dengan tingkat pendidikan Strata

Tingkat Pendidikan Jumlah (N) Persentase

SMA/sederajat 22 26,19%

Diploma 14 16,67%

Strata 1 47 55,95%

Strata 2 1 1,19%


(65)

4. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Status Perkawinan

Berdasarkan status perkawinan, data penyebaran subjek penelitian dapat

diuraikan dalam bentuk tabel 8 berikut ini.

Tabel 8.Gambaran Subjek Penelitian BerdasarkanStatus Perkawinan

Data pada tabel 8 di atas menunjukkan bahwa jumlah subjek penelitian

terbanyak dimiliki oleh subjek yang belum menikah yaitu sebanyak 55 orang

(65.48%) dibandingkan dengan subjek yang telah menikah sebanyak 29 orang

(34.52%).

5. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Masa Bekerja

Berdasarkan masa bekerja, penyebaran subjek penelitian dapat dilihat

dari data pada tabel 9 berikut ini.

Tabel 9.Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Masa Kerja

Status Jumlah (N) Persentase

Menikah 29 34.52%

Belum Menikah 55 65.48%

Total 84 100%

Masa Bekerja Jumlah (N) Persentase

1-5 tahun 67 79.76%

6-10 tahun 14 16.67%

11-15 tahun 2 2.38%

16-20 tahun 1 1.19%


(66)

Dari data yang ditunjukkan pada tabel 9 di atas, dapat disimpulkan

bahwa jumlah subjek penelitian adalah subjek yang memiliki masa bekerja

antara 1-5 tahun yaitu sebanyak 67 orang (79.76%), selanjutnya subjek yang

telah bekerja selama 6-10 tahun sebanyak 14 orang (16.67%), subjek yang

telah bekerja selama 11-15 tahun sebanyak 2 orang (2.38%), dan subjek yang

telah bekerja selama 16-20 tahun memiliki jumlah yang paling sedikit yaitu 1

orang (1.19%).

B.Hasil Penelitian 1. Hasil Uji Asumsi

a. Uji Normalitas

Tujuan dilakukan uji normalitas adalah untuk mengetahui apakah

populasi data penelitian berdistribusi secara normal dalam kurva sebaran

normalitas Data mengenai persebaran skala modal psikologis dan skala

kesejahteraan psikologis yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh

dengan menggunakan metode pengolahan data Normal Q-Q Plots.

Dari grafik 1 dan grafik 2 yang ditunjukkan dari pengolahan data

tersebut dapat dilihat bahwa titik-titik nilai data skala modal psikologis

dan skala kesejahteraan psikologis kurang lebih berada dalam suatu garis

lurus. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa skala modal psikologis


(67)

Grafik 1. Uji Normalitas Modal Psikologis


(68)

b. Uji Linearitas

Dalam penelitian ini, uji linearitas dilakukan untuk melihat apakah

kedua variabel penelitian, yaitu modal psikologis dan kesejahteraan

psikologis, mempunyai hubungan yang linear atau tidak secara signifikan.

Hasil uji linearitas dapat dilihat dari tabel 10 berikut ini.

Tabel 10. Uji Linearitas

No Variabel Linearity F Kesimpulan

1. Modal Psikologis*

Kesejahteraan Psikologis

0.000 95.132

Hubungan

Linear

Berdasarkan data diatas diperoleh nilai linearity 0.000 untuk

variabel modal psikologis dan kesejahteraan psikologis. Hal ini

menunjukkan bahwa nilai linearity di bawah 0.05 sehingga telah

memenuhi asumsi linearitas.

2. Hasil Utama Penelitian

a. Hubungan Antara Modal Psikologis Dengan Kesejahteraan Psikologis

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara modal

psikologis dengan kesejahteraan psikologis. Oleh sebab itu, dalam


(1)

SKALA BAGIAN I

No. Pernyataan 1 2 3 4 5 6

1. Saya yakin mampu

menemukan solusi ketika menghadapi masalah saat menjalankan pekerjaan. 2. Saya merasa percaya diri

dengan kemampuan yang saya miliki.

3. Saya cenderung ragu untuk

menghubungi pihak luar (seperti klien, supplier) dalam mendiskusikan masalah. 4. Saya merasa sudah di jalur

yang tepat dalam mencapai target yang telah saya tetapkan.

5. Saya berharap dengan

mempertahankan kinerja seperti saat ini maka saya akan memiliki masa depan yang lebih baik.

6. Saya cenderung ragu dalam

menentukan sasaran kerja yang ingin saya capai.

7. Ketika saya telah mengalami

kegagalan dalam suatu tugas, saya sulit untuk melanjutkan pekerjaan.

8. Saya akan memilih untuk

mundur dari pekerjaan bila tugas-tugas yang saya hadapi tergolong berat.


(2)

9. Melakukan hal-hal yang di luar kemampuan saya merupakan pengalaman yang menantang bagi saya.

10. Saya senang melakukan

hal-hal baru yang dapat membantu mengasah kemampuan saya meskipun tergolong sulit.

11. Saya mampu beradaptasi

dengan perubahan yang terjadi dalam perusahaan meskipun terkadang agak menyulitkan.

12. Masalah-masalah yang pernah

saya alami sebelumnya menjadikan saya semakin terampil dalam menjalankan pekerjaan.

13. Meskipun tidak sepenuhnya

menyenangkan, saya merasa ada sisi positif dari pekerjaan yang saya miliki.

14. Keberhasilan yang saya alami selama ini merupakan hasil dari usaha dan kemampuan saya.

15. Ketika saya mengalami masalah dalam pekerjaan, saya menganggapnya sebagai suatu pelajaran untuk


(3)

No. Pernyataan 1 2 3 4 5 6

16. Bila saya mengalami masalah dalam suatu tugas, saya merasa cemas akan terulang kembali dalam menjalankan tugas selanjutnya.

17. Jika saya berhasil

melaksanakan suatu tugas, lebih dikarenakan

keberuntungan saja yang mungkin tidak terjadi di tugas lainnya.


(4)

SKALA BAGIAN II

No. Pernyataan 1 2 3 4 5 6

1. Saya yakin dengan keputusan

saya meskipun tidak sependapat dengan orang lain.

2. Saya cenderung cemas dengan

pandangan orang lain mengenai diri saya.

3. Saya akan merasa bimbang bila

keputusan saya tidak didukung oleh orang lain.

4. Saya merasa telah menjalankan

gaya hidup seperti yang saya inginkan.

5. Tuntutan kehidupan sehari-hari sering membuat saya merasa tak berdaya.

6. Saya merasa tidak sesuai dengan

komunitas dimana saya berada sekarang.

7. Saya tidak yakin bisa membujuk orang lain untuk melakukan perubahan yang dapat meringankan beban saya.

8. Saya senang melakukan hal-hal

yang tidak pernah saya lakukan sebelumnya.

9. Saya merasa telah mampu

melakukan hal-hal yang

sebelumnya tidak mampu saya lakukan.


(5)

No. Pernyataan 1 2 3 4 5 6

10. Saya senang melakukan hal-hal

baru yang dapat membantu mengasah kemampuan saya meskipun tergolong sulit.

11. Saya memilih untuk mundur

bila diminta untuk melakukan hal-hal yang tidak biasa saya lakukan

12. Saya merasa tidak perlu

melakukan perubahan dalam diri karena saya sudah cukup puas dengan apa yang saya miliki.

13. Saya sangat menghargai

pertemanan dan ingin terus mempertahankannya.

14. Saya dengan senang hati

membantu teman yang sedang mengalami masalah jika hal tersebut masih di dalam kemampuan saya.

15. Saya sering bermasalah dalam

mempertahankan hubungan yang baik dengan orang lain.

16. Saya memiliki tujuan yang ingin

dicapai dalam hidup ini.

17. Saya memiliki rancangan

mengenai langkah apa yang harus diambil untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai.

18. Saat ini saya tengah

menjalankan misi agar dapat mewujudkan impian saya.


(6)

20. Saya ingin menjalani hidup sebebasnya tanpa harus terikat pada rencana.

21. Saya merasa bersyukur dengan

apa yang saya miliki dalam kehidupan ini.

22. Saya merasa percaya diri

dengan diri saya saat ini.

23. Saya merasa kurang beruntung

jika dibandingkan dengan kehidupan orang lain.