Wanita dalam filosofi Jawa barat

[Kritik Ideologi] Wanita: Makna dan Filosofi Dalam Masyarakat Jawa

Ilustrasi Wanita Jawa Kuno (istimewa)
Oleh: Nurwanta *)
SEBELUM mengupas filosofi tentang perempuan atau wanita Jawa , ada baiknya kita kenal dulu apa
arti kata perempuan atau wanita. Setidaknya ada empat term di Jawa yang digunakan untuk menyebut
perempuan.
– Wadon
Berasal dari bahasa Kawi (Jawa Kuno) Wadu yang artinya kawula atau abdi. Secara istilah diartikan
bahwa perempuan dititahkan di dunia ini sebagai abdi laki-laki.
– Wanita
Kata wanita terbentuk dari dua kata bahasa Jawa (kerata basa) Wani yang berarti berani dan Tata yang
berarti teratur. Kerata basa ini mengandung dua pengertian yang berbeda. Pertama, Wani ditata yang
artinya berani (mau) diatur. Dan yang kedua, Wani nata yang artinya berani mengatur. Pengertian
kedua ini mengindikasikan bahwa perempuan juga perlu pendidikan yang tinggi untuk bisa
memerankan dengan baik peran ini.
– Estri
Berasal dari bahasa Kawi: Estren yang berarti panyurung (pendorong). Seperti pepatah yang terkenal,
Selalu ada wanita yang hebat di samping laki-laki yang hebat.
– Putri
Dalam peradaban tradisional Jawa, kata ini sering dibeberkan sebagai akronim dari kata-kata Putus tri

perkawis, yang menunjuk kepada purna karya perempuan dalam kedudukannya sebagai putri.

Perempuan dituntut untuk merealisasikan tiga kewajiban, tiga kewajiban perempuan (tri perkawis).
Baik kedudukannya sebagai wadon,wanita, maupun estri.
Tetapi, sebagai perempuan ada yang tidak saya sukai dari kejawaan itu. Salah satunya adalah
ketidaktegasan,bentukewoh-pekewoh wong Jowo yang dikenal penuh basa-basi. Apalagi dengan
bagaimana perempuan dicitrakan dalam karya-karya sastra Jawa kuno. Saya memang bukan penikmat
sastra jawa. Atau karena itu saya tidak bisa menangkap makna yang seharusnya ingin disampaikan.
Misalnya dalam Kitab Clokantara disebutkan:
Tiga Ikang abener lakunya ring loka; //iwirnya, ikang iwah, ikang udwad, ikang janmasri, yen
katelu,wilut gatinya,yadin pweka nang istri hana satya budhinya, dadi ikang tunjung tumuwuh ring
cila//
Artinya: Tiga yang tidak benar jalannya di bumi yaitu sungai, tanaman melata, dan wanita. Ketiganya
berjalan berbelit-belit. Jika ada wanita yang lurus budinya akan ada bunga tunjung tumbuh di batu.
Jelas bagaimana wanita dicitrakan dalam kalimat tersebut. Bahwa wanita disamakan dengan sungai
dan tanaman melata yang berbelit-belit. Dan adalah ketidakmungkinan wanita untuk bisa mempunyai
pendirian. Karena tidak akan ada bunga tunjung yang tumbuh di batu.
Juga tentang bagaimana perempuan dibandingkan dengan laki-laki dalam Serat Paniti Sastra:
Wuwusekang wus ing ngelmi/ kaprawolu wanudyo lan priyo/ Ing kabisan myang kuwate/ tuwin
wiwekanipun/..

Artinya: Katanya yang telah selesai menuntut ilmu, wanita hanya seperdelapan dibanding pria dalam
hal kepandaian dan kekuatan serta kebijaksanaanya.
Jadi dalam kalimat di atas ada ketidaksetaraan antara pria dan wanita. Walau mungkin kenyataannya
bisa jadi demikian.
Tapi menurut saya wanita harus diberi kesempatan sama dengan laki laki. Memang demikianlah
adanya pandangan orang Jawa. Aku hanya memberi gambaran. Kalau sependapat boleh terima, tapi
kalau mungkin tak sependapat ya jangan dipakai, cukup sebagai pengetahuan saja karena aku juga
begitu.
Dalam kehidupan perempuan Jawa sering kita dengar istilah masak, macak, manak yang artinya
pandai memasak, pandai berdandan atau bersolek, dan bisa memberi keturunan. Hehehehe…
Sepertinya tidak jauh-jauh dari sumur, dapur, dan kasur. Masa iya sih sedangkal itu. Tapi setelah dipikir
lagi ternyata amat dalam,

1. Masak
Wanita atau perempuan Jawa tidak sekadar membuat/mengolah makanan, melainkan memberi nutrisi
dalam rumah tangga sehingga tercipta keluarga yang sehat. Dalam aktivitas memasak pula seorang
wanita harus memiliki kemampuan meracik, menyatukan dan mengkombinasikan berbagai bahan
menjadi satu untuk menjadi sebuah makanan. Ini adalah wujud kasih sayang istri terhadap seluruh
anggota keluarga.
2. Macak

Macak adalah bersolek atau berhias. Jangan dimaknai hanya sebagai aktivitas bersolek mempercantik
diri. di dalamnya terkandung makna menghiasi atau memperindah bangunan rumah tangga. Juga
mempercantik batinnya supaya memiliki sifat yang lemah lembut, ikhlas, penyayang, sabar dan mau
bekerja keras.
3. Manak
Manak artinya melahirkan anak. Tidak semata proses bekerja sama dengan suami dalam membuat
anak, mengandung dan melahirkan seorang buah hati. Akan tetapi mengurus, mendidik, dan
membentuk karakteristik seorang anak hingga menjadi manusia seutuhnya.
Menurut Ronggowarsito sedikitnya ada tiga watak perempuan yang jadi pertimbangan laki laki ketika
akan memilih, yaitu:
1.Watak Wedi, menyerah, pasrah, jangan suka mencela, membantah atau menolak pembicaraan.
Lakukan perintah laki-laki dengan sepenuh hati.
2.Watak Gemi, tidak boros akan nafkah yang diberikan.
Banyak sedikit harus diterima dengan syukur. Menyimpan rahasia suami, tidak banyak berbicara yang
tidak bermanfaat. Lebih lengkap lagi ada sebuah ungkapan, gemi nastiti ngati-ati. Kurang lebih artinya
sama dengan penjelasan gemi diatas. Siapa laki-laki yang tidak mau mempunyai pasangan
yang gemi?
3.Watak Gemati, penuh kasih.
Menjaga apa yang disenangi suami lengkap dengan alat-alat kesenangannya seperti menyediakan
makanan, minuman, serta segala tindakan. Mungkin karena hal ini, banyak perempuan Jawa relatif

bisa memasak. Betul semua bisa beli, tetapi hasil masakan sendiri adalah sebuah bentuk kasih sayang
seorang perempuan di rumah untuk suami (keluarga).

Kalau dipikir, tiga sifat di atas ‘tidak hanya’ cocok diterapkan pada wanita Jawa. Kurasa semua laki laki
dari manapun akan menyenangi wanita dengan karakter tersebut. Karena sekarang yang dilihat bukan
asal suku nya, tetapi karakternya. Dan tidak semua perempuan Jawa punya karakter tersebut. Dari
hasil intip-intip pada perempuan sekelilingku ada tiga watak wanita Jawa yang kutangkap yaitu :
1. Tangguh, pekerja keras dan pantang menyerah;
2. Hemat dan mau hidup susah; dan
3. Penurut, setia, lembut
Untuk para ladies, bagaimanapun sebaiknya bisa mengenal filosofinya, meski tidak seluruhnya ditelan
mentah dan dipakai begitu saja, tapi setidaknya bisa jadi pencerah . Atau paling tidak bisa mengerem
ketika ladies jauh melenceng dari watak itu.
***
*) penulis adalah alumnus Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Aktif di e-philosophy
(bindenoer.com)

http://forumkeadilan.com/kritik-ideologi/kritik-ideologi-wanita-makna-danfilosofi-dalam-masyarakat-jawa/