Penanaman Nilai Kerjasama Untuk Membentu

PENANAMAN NILAI KERJASAMA UNTUK MEMBENTUK KOMPETENSI MAHASISWA DALAM PERSPEKTIF PEMBELAJARAN KOLABORATIF

Pidato Pengukuhan Guru Besar

Oleh: Prof. Dr. Suratno, M.Pd.

Guru Besar dalam Bidang Penelitian dan Evaluasi Pendidikan Pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat

Disampaikan di depan Rapat Senat Terbuka Universitas Lambung Mangkurat

Tanggal 27 April 2013

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

Bismilahhirrohmanirrahim. Assalamu”alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Salam sejahtera bagi kita semua.

Hadirin yang kami hormati, Untuk mengawali pidato pengukuhan ini pertama-tama perkenankanlah kami menyampaikan ucapan puji syukur ke-hadirat Allah SWT, Tuhan YME karena atas hidayah dan karunia-Nya kita semua diberi kekuatan, kesehatan dan kelonggaran untuk dapat hadir memenuhi undangan agenda sidang Senat Terbuka Universitas Lambung Mangkurat. Selanjutnya sholawat dan salam marilah kita sampaikan ke haribaan junjungan kita Nabi Muhammad SAW, semoga kepada beliau, keluarga dan kerabat serta pengikutnya selalu mendapat limpahan rahmat dan keridhaan dari Allah SWT, hingga akhir jaman. Selanjutnya kita berharap semoga yang hadir di sini serta semua kaum muslimin dan muslimat dapat meneladani dan mengikuti jejak dan petunjuk beliau. Amin.

Selanjutnya pada kesempatan ini ijinkan kami terlebih dahulu menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat: Rektor/Ketua Senat, Sekretaris Senat, dan para Anggota Senat Universitas Lambung Mangkurat; Ketua dan para Anggota Dewan Penyantun Universitas Lambung Mangkurat; Para Pejabat Sipil maupun Militer; Para Guru Besar Tamu; Direktur, dan para Asisten Direktur, Ketua Bidang, Ketua Program Studi di lingkungan Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat; Para Dekan dan Pembantu Dekan di lingkungan Universitas Lambung Mangkurat, Para Ketua dan Sekretaris Lembaga, Kepala Biro, dan Ketua UPT serta seluruh pejabat di lingkungan Universitas Lambung Mangkurat; Para Dekan, Ketua Jurusan, Ketua Program Studi dan seluruh staf pengajar di lingkungan Universitas Lambung Mangkurat terutama di Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FKIP Universitas Lambung Mangkurat; Para rekan sejawat, staf administrasi, dan mahasiswa Universitas Lambung Mangkurat; Segenap tamu undangan, sanak keluarga, dan hadirin sekalian yang saya muliakan.

Hari ini kami mendapatkan rahmat dari Allah swt. dan berkesempatan dapat berdiri di mimbar yang terhormat untuk menyampaikan pidato pengukuhan kami sebagai Guru

Besar dalam Bidang Penelitian dan Evaluasi Pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat yang berjudul ” Penanaman Nilai Kerjasama Untuk Pembentukan Kompetensi Mahasiswa Dalam Perspektif Pembelajar an Kolaboratif”.

Pendahuluan

Hadirin yang kami hormati, Akuntansi sebagai bahan belajar memiliki keunikan tersendiri. Dilihat dari isinya bahan belajar Akuntansi banyak mengandung pengetahuan yang menuntut kemampuan pemecahan masalah (Huang, O’Shaughnessy & Wagner: 2005). Proses belajar kemampuan pemecahan masalah dalam Akuntansi bersifat kompleks dan prosedural. Sehubungan dengan itu, maka belajar Akuntansi memerlukan strategi proses belajar pemecahan masalah yang relevan untuk pembelajaran jenis pengetahuan prosedural (Mukhadis, 2003; Polya: 1973; Reigeluth & Stein: 1983). Salah satu alternatifnya adalah dengan penerapan belajar kelompok secara kolaboratif. Pengajaran Akuntansi dengan pola belajar kolaboratif memungkinkan mahasiswa lebih berpeluang untuk dapat melakukan klarifikasi, memperoleh pengertian, memecahkan masalah, menciptakan sesuatu yang baru (transferabilitas); dan akhirnya mereka dapat memperkuat pemahaman materi kuliah, serta memahami esensi keahlian untuk belajar sepanjang hayat (Webb: 1994; Delors: 1995).

Pada sisi yang lain, seiring dengan meningkatnya kemajuan teknologi informasi, tuntutan kualitas layanan jasa pekerjaan bidang akuntansi oleh para pengguna jasa Akuntansi menjadi semakin tinggi. Implikasi selanjutnya, maka kurikulum dan proses pendidikan calon guru Akuntansi perlu disesuaikan, direkonstruksi agar memenuhi azas relevansi (Sidharta, 2003). Calon guru Akuntansi selain dibekali hard skill berupa kompetensi generik kemampuan pemecahan masalah juga perlu dibekali soft skill berupa kemampuan kerjasama kolaboratif sebagai bagian dari pembentukan kompetensi jabatan guru.

Sebagaimana ditegaskan oleh Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), calon guru jenjang sarjana (S1) setidaknya memiliki capaian hasil belajar ( learning outcome ) pada jenjang 6 (enam). Secara rinci capaian hasil belajar ( learning outcome ) untuk jenjang 6 (enam) tersebut adalah 1) mampu mengaplikasikan bidang keahliannya dan memanfaatkan IPTEKS pada bidangnya dalam penyelesaian masalah serta mampu beradaptasi terhadap situasi yang dihadapi; 2) menguasai konsep teoritis bidang pengetahuan tertentu secara umum dan Sebagaimana ditegaskan oleh Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), calon guru jenjang sarjana (S1) setidaknya memiliki capaian hasil belajar ( learning outcome ) pada jenjang 6 (enam). Secara rinci capaian hasil belajar ( learning outcome ) untuk jenjang 6 (enam) tersebut adalah 1) mampu mengaplikasikan bidang keahliannya dan memanfaatkan IPTEKS pada bidangnya dalam penyelesaian masalah serta mampu beradaptasi terhadap situasi yang dihadapi; 2) menguasai konsep teoritis bidang pengetahuan tertentu secara umum dan

Kedua kemampuan tersebut di atas harus diaktifkan dalam pembelajaran. Atas dasar tuntutan capaian hasil belajar ( learning outcome ) yang demikian, kepada lulusan diharapkan mampu memiliki kompetensi sesuai yang diamanahkan pada UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan dosen. Sebagaimana termaktub pada pasal 10 ayat (1), terdapat 4 (empat) kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru yakni: 1) kompetensi

pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Jabaran masing-masing kompetensi adalah sebagai berikut:

1) Kompetensi pedagogik yaitu kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi : (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman terhadap peserta didik; (c) pengembangan kurikulum/silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; dan (g) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.

2) Kompetensi kepribadian yaitu kemampuan kepribadian yang : (a) mantap (b) stabil; (c) dewasa; (d) arif dan bijaksana; (e) berwibawa; (f) berakhlak mulia; (g) menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat; (h) mengevaluasi kinerja sendiri; dan (i) mengembangkan diri secara berkelanjutan.

3) Kompetensi sosial yaitu kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk: (a) berkomunikasi lisan dan tulisan; (b) menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; (c) bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik; dan (d) bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar.

4) Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar; (b) materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (c) hubungan konsep antar mata pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan (e) kompetisi 4) Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar; (b) materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (c) hubungan konsep antar mata pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan (e) kompetisi

Pola belajar kolaboratif.

Sejak dekade lima tahun terakhir animo mahasiswa yang memasuki Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) cenderung terus meningkat seiring dengan meningkatnya kesejahteraan profesi guru akibat kebijakan sertifikasi bagi tenaga profesional guru beserta tunjangan profesinya. Daya tampung pada berbagai program studi hampir semua dapat terisi dengan maksimal. Jumlah mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di FKIP UNLAM saat ini mencapai jumlah: 8.699 orang atau 42,65% dari total jumlah mahasiswa UNLAM. Dari jumlah tersebut terdapat 7.615 orang atau 37,33% yang menempuh program S1, dan 1.084 orang atau 5,31% yang menempuh program S2 (magister). Jumlah mahasiswa UNLAM yang terdaftar pada semester genap 2012/2013 mencapai 20.398 orang, terdiri dari 17.372 orang program S1 dan 3.026 orang program S2 (magister).

Sebagai konsekuensi dari keadaan ini, matakuliah yang ditawarkan pada setiap program studi selalu diikuti oleh jumlah mahasiswa yang relatif banyak. Pelaksanaan kuliah yang diikuti oleh jumlah mahasiswa yang relatif banyak menuntut setiap dosen untuk menggunakan strategi penyampaian, penyajian dan evaluasi pengajaran yang spesifik sesuai dengan kondisi belajar pada kelas yang besar. Salah satu pendekatan pembelajaran untuk mengatasi situasi kelas yang besar seperti ini, dapat dilakukan dengan menerapkan belajar berkelompok (Joice & Weil, 1996). Penggunaan pendekatan pembelajaran secara berkelompok ditujukan agar proses belajar dan hasilnya lebih efektif daripada belajar individual. Di antara berbagai model pembelajaran berkelompok yang telah dikenal adalah pola pembelajaran secara kolaboratif.

Pembelajaran kolaboratif berbasis pada rasa ke-salingtergantungan dan tanggungjawab dalam kerjasama; sementara pembelajaran individual berbasis pada kemandirian dan kompetisi (Jede Kuncoro, 2007). Pola pembelajaran individual memang telah lama eksis sebagai paradigma pembelajaran, namun demikian pola dan kultur pembelajaran seperti ini tidak sepenuhnya mampu mengakomodasikan kepentingan misi belajar dalam rangka memenuhi tuntutan perkembangan jaman dan era global. Keberhasilan di era global lebih mudah diraih melalui pola-pola kerjasama daripada pola individual. Hal ini sejalan dengan paradigma manajemen modern yang memandang bahwa keberhasilan bukanlah semata-mata buah dari kompetisi dan kemandirian individu, tetapi Pembelajaran kolaboratif berbasis pada rasa ke-salingtergantungan dan tanggungjawab dalam kerjasama; sementara pembelajaran individual berbasis pada kemandirian dan kompetisi (Jede Kuncoro, 2007). Pola pembelajaran individual memang telah lama eksis sebagai paradigma pembelajaran, namun demikian pola dan kultur pembelajaran seperti ini tidak sepenuhnya mampu mengakomodasikan kepentingan misi belajar dalam rangka memenuhi tuntutan perkembangan jaman dan era global. Keberhasilan di era global lebih mudah diraih melalui pola-pola kerjasama daripada pola individual. Hal ini sejalan dengan paradigma manajemen modern yang memandang bahwa keberhasilan bukanlah semata-mata buah dari kompetisi dan kemandirian individu, tetapi

Kualitas merupakan kata kunci yang sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi termasuk pembinaan calon guru ( pre-service ) di LPTK. Di dalam strategi jangka panjang pendidikan tinggi (DGHE, 2004) dinyatakan bahwa peningkatan kualitas merupakan strategi utama dalam meningkatkan nation’s competitiveness. Negara- negara maju seperti Amerika, Inggeris, Australia, dan lainnya memandang kualitas sebagai karakteristik yang diacu untuk pembangunan sektor pendidikan tinggi pada saat ini, baik menurut pemerintah maupun kalangan universitas. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian yang menyangkut pendidikan tinggi sebagai industri pelayanan dan pusat inovasi berbagai pengetahuan yang dilakukan oleh Siswandari (2006); Siswandari & Susilaningsih (2008), yang menginformasikan bahwa universitas memang sudah seharusnya mencanangkan inovasi sebagai prioritas utama di bidang penanaman nilai-nilai yang utama, pengetahuan, dan keterampilan.

Era global dapat dimaknai sebagai era persaingan kualitas. Produk dan jasa yang tidak memenuhi kualitas akan tersingkir dari percaturan dunia. Kenyataan ini membawa konsekuensi baru pada berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan. Konsekuensi baru itu antara lain adanya tuntutan terhadap lembaga pendidikan, terutama LPTK untuk menghasilkan lulusan calon guru yang berkualitas dan mampu memenuhi tuntutan kompetensi sosial dan personal serta penguasaan berbagai teknologi baru dan keterampilan yang termasuk kedalam transferable skills. Pendidikan merupakan sarana investasi untuk pembentukan sumberdaya manusia yang berkualitas (Zamroni, 2000). Adanya konsekuensi tersebut, maka tidaklah terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa pada era global ini perguruan tinggi khususnya LPTK sebagai penyelenggara pendidikan calon guru yang berkualitas diposisikan sebagai kunci utama untuk memenuhi semua tuntutan itu.

Sejalan dengan itu pembelajaran dengan pendekatan individu, perlu diimbangi dengan pendekatan yang berbasis kelompok (Wiersema, 2000; Stairs, 2005). Pendekatan ini mengembangkan kemampuan mahasiswa untuk belajar menyadari adanya

kesalingtergantungan, kesadaran untuk berperanserta, bekerjasama, saling menghargai antara sesama dalam semua kegiatan. Oleh karena itu dalam rangka mempersiapkan generasi guru yang akan datang, maka perilaku yang mengutamakan nilai-nilai kerjasama perlu ditanamkan dan dikembangkan pada saat pendidikan preservice- nya, agar lulusan calon guru jika sudah memasuki dunia kerja mampu mengaktualisasikan kompetensi sosial dan personalnya terutama dalam membangun team kerja yang produktif dengan sejawat dan atasannya di sekolah (Slavin, 1990). Dampak pengiring selanjutnya adalah, mereka diharapkan mampu menjadi sosok guru yang dapat dicontoh atau diteladani oleh murid- muridnya dalam membangun suasana iklim sekolah yang penuh dengan rasa kebersamaan, tercipta suasana damai dan mendukung terciptanya wahana generasi pembelajar (Zamroni, 2000). Cita ideal semacam ini dapat dibangun melalui pembelajaran yang kolaboratif. Penerapan model pembelajaran secara kolaboratif merupakan sarana untuk mengembangkan nilai-nilai kerjasama tersebut (Webb, 1994), namun hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi dosen yang sudah terbiasa menggunakan model pembelajaran individual untuk menerapkan pola pembelajaran yang kolaboratif.

Nilai kerjasama dalam Pembelajaran Kolaboratif

Telah disinggung di atas, bahwa dewasa ini telah terjadi pergeseran paradigma modus pembelajaran. Pola pembelajaran telah bergeser kearah pola belajar secara kelompok atau belajar kolaboratif. Dalam pembelajaran kolaboratif dapat dikembangkan nilai-nilai k ebersamaan bekerja dalam tim, antara lain mampu “berbagi” baik pekerjaan maupun tanggungjawab; mampu “bekerjasama” dalam penyelesaian tugas atau pekerjaan; mampu “memperhatikan hak dan kesejahteraan orang lain”; dan “peduli terhadap orang lain” atau berempati (Panitz, 2005). Dalam cara pandang modern, berkolaborasi dapat melampaui kompetisi. Kalau kompetisi menghasilkan budaya saling mengalahkan, kolaborasi justru menawarkan budaya saling membantu (Jede Kuncoro, 2007). Inilah esensi pentingnya menanamkan nilai kerjasama dalam pembelajaran dan kehidupan. Jika cara pandang terhadap kehidupan sebagai sebuah sistem, maka siapa pun pada dasarnya hidup di dalam sebuah sistem, dan oleh karenanya maka terikat oleh hukum yang berlaku di dalamnya. Sistem kehidupan apa pun selalu memiliki sifat yang sama, yakni bekerja menurut mekanisme dan struktur tertentu. Setiap sistem memiliki komponen yang bekerja saling terkait, sehingga dapat menghasilkan output yang berguna bagi semua pihak. Jika salah satu komponen tidak berfungsi, tentu seluruh sistem akan terganggu. Itulah hakekat dari sistem, selalu memerlukan dukungan dan kerjasama di antara semua komponen Telah disinggung di atas, bahwa dewasa ini telah terjadi pergeseran paradigma modus pembelajaran. Pola pembelajaran telah bergeser kearah pola belajar secara kelompok atau belajar kolaboratif. Dalam pembelajaran kolaboratif dapat dikembangkan nilai-nilai k ebersamaan bekerja dalam tim, antara lain mampu “berbagi” baik pekerjaan maupun tanggungjawab; mampu “bekerjasama” dalam penyelesaian tugas atau pekerjaan; mampu “memperhatikan hak dan kesejahteraan orang lain”; dan “peduli terhadap orang lain” atau berempati (Panitz, 2005). Dalam cara pandang modern, berkolaborasi dapat melampaui kompetisi. Kalau kompetisi menghasilkan budaya saling mengalahkan, kolaborasi justru menawarkan budaya saling membantu (Jede Kuncoro, 2007). Inilah esensi pentingnya menanamkan nilai kerjasama dalam pembelajaran dan kehidupan. Jika cara pandang terhadap kehidupan sebagai sebuah sistem, maka siapa pun pada dasarnya hidup di dalam sebuah sistem, dan oleh karenanya maka terikat oleh hukum yang berlaku di dalamnya. Sistem kehidupan apa pun selalu memiliki sifat yang sama, yakni bekerja menurut mekanisme dan struktur tertentu. Setiap sistem memiliki komponen yang bekerja saling terkait, sehingga dapat menghasilkan output yang berguna bagi semua pihak. Jika salah satu komponen tidak berfungsi, tentu seluruh sistem akan terganggu. Itulah hakekat dari sistem, selalu memerlukan dukungan dan kerjasama di antara semua komponen

Sistem mampu merubah perilaku orang-orang yang berada di dalamnya. Menurut Peter Senge dalam Jede Kuncoro (2007: 84) dinyatakan, bahwa orang-orang yang berbeda, bila berada dalam sistem yang sama, perilakunya akan sama. Jadi sistem berlaku sebagai katalisator untuk terjadinya perubahan perilaku. Tetapi perlu diingat, bahwa apa pun tujuannya, keberhasilan sebuah sistem sangat tergantung pada peran individu sebagai komponen aktif yang menggerakkan sistem.

Demikian halnya dengan pembelajaran kolaboratif, jika dipandang sebagai sebuah sistem maka dapat menjadi katalisator berubahnya perilaku mahasiswa yang terlibat di dalamnya. Pembiasaan penyelesaian tugas melalui kegiatan-kegiatan kolaboratif dalam kerja kelompok dapat menanamkan nilai-nilai kerjasama dalam penyelesaian tugas yang diikuti oleh rasa saling bertanggungjawab di antara individu mahasiswa yang terlibat. Mahasiswa sebagai bagian dari sistem pembelajaran harus disadarkan tentang betapa pentingnya nilai kerjasama. Cara pandang menurut paradigma lama yang menyatakan bahwa berpikir kompetitif menang sendiri dan orang lain harus dikalahkan, tidaklah

produktif jika ditinjau dari sudut pandang yang lebih luas. Banyak fakta telah menunjukkan, bahwa menang sendiri dan orang lain harus kalah ternyata merugikan. Secara sistem dalam kehidupan masyarakat yang heterogen dan makro, setiap masalah yang muncul tidak bisa ditangani dan dipecahkan secara sendirian. Solusi suatu masalah selalu menuntut urunan berbagai pihak dan bahkan memerlukan penanganan lintas bidang. Kesadaran individu untuk peduli terhadap masalah perlu ditumbuhkan, sehingga tercipta penanganan masalah secara kolaboratif. Dalam paradigma modern, kehadiran orang lain harus diakui keberadaannya dan diakui kontribusinya dalam mencapai tujuan. Oleh sebab itu orang lain harus ditempatkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kisah sukses atau keberhasilan. Pembelajaran kolaboratif memfasilitasi untuk tumbuh kembangnya kesadaran individu mahasiswa untuk peduli terhadap masalah dan nilai kerjasama sebagai penopang kesuksesan belajar.

Dampak psikologis dan sosial yang diakibatkan oleh kompetisi dan kolaborasi dapat dinukilkan dari Jede Kuncoro (2007: 91) sebagai berikut:

No. Dampak Kompetisi Dampak Kolaborasi

1 Meningkatkan keserakahan manusia Meningkatkan kerjasama karena karena keberhasilan diukur dari

keberhasilan harus diraih bersama orang kemenangan atas orang lain

lain

2 Memunculkan superioritas pemenang Meningkatkan solidaritas dan harmoni dan inferioritas pecundang

dalam kelompok

3 Meningkatkan nafsu mengalahkan dan Meningkatkan rasa untuk menghargai menyerang orang lain

orang lain

4 Kebanggaan dan arogansi pada yang Kepuasan dan kebahagiaan pada mereka menang

yang berhasil

5 Perasaan sebagai orang kalah semakin Perasaan gagal pada mereka yang belum diperparah oleh tekanan lingkungan

berhasil lebih mudah diatasi karena ada dukungan kelompok

6 Praktik zero sum game dimungkinkan Praktik zero sum game dihindari

7 Menghasilkan pribadi/organisasi yang Menghasilkan pribadi/organisasi yang berbuat untuk dirinya sendiri

suka berbagi

8 Berpotensi merusak nilai-nilai Berpotensi memperkuat nilai-nilai kemanusiaan yang luhur

kemanusiaan yang luhur

9 Menghasilkan manusia yang menyukai Menghasilkan manusia yang menyukai peperangan

perdamaian

Ironisnya dalam kehidupan nyata sehari-hari nilai kerjasama ini ternyata belum sepenuhnya menjadi modalitas kebiasaan di antara para mahasiswa dalam mencapai sukses dalam belajar. Nilai kerjasama ini ternyata masih harus dikembangkan di kalangan mahasiswa. Salah satu contoh, Harun Rasyid & Asrori (2006) telah melaporkan hasil penelitiannya di Universitas Tanjungpura, bahwa aspek-aspek penunjuk kerjasama dalam kerja tim semuanya masuk kategori rendah (berkisar antara 30-32%), kecuali hanya aspek bekerjasama yang masuk dalam kategori sedang (38,04%), mereka berkesimpulan bahwa masalah kemampuan bekerjasama perlu diintervensi secara serius kepada mahasiswa.

Banyak ahli memandang, bahwa pola belajar kolaboratif memiliki berbagai keuntungan. Keuntungan itu (Webb, et.al, 1997) adalah: 1) mengandung komponen kegiatan proses pencarian dan konstruksi pengetahuan yang memadukan aktivitas intelektual, sosial dan emosi secara dinamis; 2) dapat mendorong mahasiswa saling berusaha mengejar tujuan belajar secara bersama; 3) berhubung mahasiswa terbagi dalam kelompok-kelompok, maka anggota kelompok merasa memiliki tanggungjawab ganda, di samping bertanggungjawab menyelesaikan tugas diri sendiri, sekaligus juga bertanggungjawab atas penyelesaian tugas kelompok; 4) kerjasama kolaboratif dapat menghasilkan prestasi akademik lebih tinggi, menciptakan kemampuan melakukan hubungan sosial lebih baik, meningkatkan rasa percaya diri, dan mampu mengembangkan saling percaya di antara sesama individu maupun kelompok daripada jika mahasiswa kerja Banyak ahli memandang, bahwa pola belajar kolaboratif memiliki berbagai keuntungan. Keuntungan itu (Webb, et.al, 1997) adalah: 1) mengandung komponen kegiatan proses pencarian dan konstruksi pengetahuan yang memadukan aktivitas intelektual, sosial dan emosi secara dinamis; 2) dapat mendorong mahasiswa saling berusaha mengejar tujuan belajar secara bersama; 3) berhubung mahasiswa terbagi dalam kelompok-kelompok, maka anggota kelompok merasa memiliki tanggungjawab ganda, di samping bertanggungjawab menyelesaikan tugas diri sendiri, sekaligus juga bertanggungjawab atas penyelesaian tugas kelompok; 4) kerjasama kolaboratif dapat menghasilkan prestasi akademik lebih tinggi, menciptakan kemampuan melakukan hubungan sosial lebih baik, meningkatkan rasa percaya diri, dan mampu mengembangkan saling percaya di antara sesama individu maupun kelompok daripada jika mahasiswa kerja

Pembinaan Nilai Kerjasama

Pada era kebijakan peningkatan kualifikasi dan profesionalisme guru sebagai realisasi amanah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang diikuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, maka Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dituntut untuk terus-menerus meningkatkan kompetensi lulusannya. Sejalan dengan itu peningkatan kompetensi lulusan (Sluijsmans, 2002: 11) dapat ditempuh dengan penekanan pada pemanfaatan berbagai pendekatan pembelajaran antara lain: pembelajaran yang berbasis pada kompetensi ( competency based learning ), pemecahan masalah ( problem based learning ), berorientasi pada mahasiswa ( student centred learning ), dan berbasis pada kegiatan atau projek ( project based learning ).

Di lain pihak De Corte sebagaimana dikutip Sluijsmans (2002: 11) mengajukan gagasan tentang pentingnya lingkungan yang mendorong untuk belajar. Lingkungan semacam ini memiliki 4 (empat) karakteristik. Pertama, tersedia bahan belajar yang autentik, ada topik masalah secara terbuka dan tersaji dalam berbagai bentuk yang memungkinkan mahasiswa dapat memperoleh pemahaman sendiri. Kedua, penggunaan metode pengajaran yang mendorong minat belajar, mampu mengaktifkan pengetahuan sebelumnya, mengklarifikasi pemahaman, dan menerapkan strategi pembelajaran yang tepat serta terjadi proses refleksi. Ketiga, ada inisiatif yang bersambut untuk perbaikan strategi pembelajaran jika ada koreksi dari pihak luar. Keempat, salah satu cara yang harus ditekankan menurut pandangan konstruktivisme adalah mengaktifkan konstruksi kecakapan (skill) dan pengetahuan berdasarkan pengetahuan sebelumnya, dan dikemas secara autentik dan memberi kemungkinan terbukanya kembali peluang untuk berinteraksi sosial. (Brown, Collins, & Duguid, 1989). Pembinaan nilai kerjasama di kalangan mahasiswa dapat diintervensi melalui pola pembelajaran yang memungkinkan tumbuh- kembangnya nilai itu dan membentuk solidaritas sosial yang menunjang keberhasilan di antara mereka.

Atas dasar kajian empiris yang telah kami lakukan pada matakuliah Akuntansi Perusahaan Jasa, ternyata aplikasi model pengelolaan belajar kelompok secara kolaboratif Atas dasar kajian empiris yang telah kami lakukan pada matakuliah Akuntansi Perusahaan Jasa, ternyata aplikasi model pengelolaan belajar kelompok secara kolaboratif

Pola Dasar dan Struktur Belajar Kolaboratif

Bertolak dari esensi dasar materi pengetahuan Akuntansi, maka belajar tentang langkah-langkah prosedural dalam Akuntansi untuk memecahkan masalah perlu latihan. Latihan harus dilakukan baik pada materi bahan prasyarat maupun pada materi untuk kemampuan prosedural yang kompleks (Mukhadis, 2003). Sebagai konsekuensinya untuk menunjang pencapaian kebulatan kompetensi, maka rancangan pembelajaran harus disusun secara berjenjang menurut aspek isi dari prosedur yang sederhana menuju ke pengetahuan yang semakin kompleks dengan memperhatikan faktor kendala berupa pengelolaan waktu belajar. Sementara itu, perlu disadari bahwa setiap mahasiswa memiliki kecepatan belajar yang berbeda-beda. Berhubung batas rentang waktu yang digunakan untuk pembelajaran materi yang sama tidak dapat berlaku mutlak sama untuk semua mahasiswa (Udin, 2001), maka dibutuhkan pola belajar kolaboratif untuk memfasilitasi pemecahan masalah.

Pola belajar yang dapat memfasilitasi pemecahan masalah dan mempertimbangkan faktor lingkungan yang dikondisi menurut lingkungan belajar kolaboratif (collaborative learning environtment) preskripsinya tampak sebagaimana bagan pada Gambar 1 (Suratno, 2009; Moallem, 2003). Dari Gambar 1 tersebut dapat dikenali unsur-unsur kolaboratif yang mendukung terbentuknya struktur pengetahuan pemecahan masalah dalam interaksi sosial, yakni terdiri dari (1) dukungan dari interaksi sejawat (peer support) , (2) dukungan bersama dari interaksi kelompok (community support) , (3) dukungan pengetahuan (kognitif) dari interaksi individu sendiri (cognitive support) dan (4) dukungan emosi (emotional support) .

Untuk memperoleh gambaran konkrit tentang wujud kerjasama yang tampak dalam interaksi sosial belajar, maka perlu diketahui tentang unsur-unsur penentu kerjasama kolaboratif sebagai elemen dasar belajar kolaboratif.

Gambar 1 Pola Dasar Struktur Kegiatan Belajar Kolaboratif dan Proses Pemecahan Masalah

Elemen Dasar Belajar Kolaboratif

Elemen-elemen dasar kerjasama kolaboratif (Stairs, 2005) itu adalah (1) kesalingtergantungan secara positif; (2) adanya interaksi saling ketemu muka dalam bekerjasama; (3) rasa tanggungjawab individu untuk menyelesaikan tugas bersama; dan (4) dibutuhkannya keterampilan interpersonal dan kerjasama kelompok kecil.

Ketrampilan kerjasama membuahkan implikasi adanya keterampilan sosial yang dibutuhkan untuk berkolaborasi. Keterampilan kerjasama berfungsi melancarkan hubungan kerja dan tugas. Peranan hubungan kerja dapat dibangun dengan mengembangkan komunikasi antar anggota kelompok, sedangkan peranan tugas dilakukan dengan membagi tugas antar anggota kelompok selama kegiatan. Rasa kesalingtergantungan tercipta melalui kerjasama kolaboratif. Perangkat untuk pengorganisasian proses kerja kolaborasi dalam tim perlu dipersiapkan untuk menunjang efisiensi dan efektifitas pencapaian tujuan belajar.

Pentingnya kerjasama kolaboratif dalam kelompok ( Johnson, 1987; Panitz, 1996; Joyce & Weil, 1996) adalah: (1) Menumbuhkan tanggungjawab individu, karena di antara individu menyadari akan

adanya tugas-tugas bersama dalam kelompok.

(2) Meningkatkan komitmen pada kelompok dan tujuan-tujuan bersama dimana anggota kelompok saling bantu-membantu, saling membutuhkan, memberikan umpan balik yang tepat, dan memberi dorongan untuk pencapaian tujuan-tujuan bersama.

(3) Memperlancar interaksi antar individu dan antar kelompok di antara anggota kelompok, yang memungkinkan tiap anggota menampilkan keterampilan sosial dan kompetensi dalam berkomunikasi.

(4) Memberikan stabilitas pada kelompok sehingga anggota kelompok dapat bekerjasama dengan anggota lain dalam waktu yang cukup lama tetapi tidak melelahkan dan dapat membangun norma kelompok, penampilan tugas bersama, dan pola-pola interaksi.

Tahap-tahap Pembelajaran Kolaboratif

Pola pembelajaran kolaboratif dalam implementasinya memerlukan tahapan kegiatan. Berikut dipaparkan tahap-tahap dimaksud. Pengajaran kolaboratif mempunyai 6 langkah utama (Joyce & Weil, 1996) yaitu: (1) penyampaian tujuan dan memotivasi mahasiswa; (2) penyajian informasi dalam bentuk demonstrasi atau melalui bahan bacaan; (3) pengorganisasian mahasiswa ke dalam kelompok-kelompok belajar; (4) membimbing kelompok bekerja dan belajar; (5) asesmen tentang apa yang sudah dipelajari sehingga masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya; (6) memberikan penghargaan

baik secara kelompok maupun individu.

Tujuan dan Asumsi Belajar Kolaboratif

Keseluruhan kehidupan sekolah harus ditata sebagai bentuk kecil atau miniatur kehidupan demokrasi. Untuk itu mahasiswa seyogianya memperoleh kesempatan dan pengalaman dalam membangun sistem sosial secara berangsur-angsur untuk belajar bagaimana menerapkan metode yang berwawasan keilmuan dalam memperbaiki kehidupan masyarakat. Dalam kerangka pikir yang demikian suasana kelas merupakan analogi dari kehidupan masyarakat, yang di dalamnya ada tatatertib, dan budaya kelas (Zamroni, 2000).

Mahasiswa harus mengembangkan kultur belajar memelihara cara hidup, standar hidup dan pengharapan yang tumbuh di dalam kehidupan kelas. Tugas dosen memfasilitasi dengan menciptakan suasana yang memungkinkan tumbuhnya kehidupan kelas seperti dimaksud.

Pengembangan skill dasar bagi setiap mahasiswa meliputi (1) the hard skills , yang mencakup dasar-dasar matematik, problem solving , dan kemampuan membaca, (2) the soft skills , yang meliputi kemampuan bekerja sama dalam kelompok dan kemampuan komunikasi atau kemampuan untuk menyampaikan ide dengan jelas baik lisan maupun tulis, (3) kemampuan memahami bahasa komputer yang sederhana, seperti word processor dan dan aplikasi software lainnya. Kelas dengan kerjasama kolaboratif merupakan gambaran awal untuk tumbuhnya wawasan mahasiswa sebagaimana yang diharapkan dalam hidup demokrasi. Hidup demokrasi sebagaimana dicitakan, berwujud tampilnya kultur kuliah yang ideal. Melalui model kerjasama kolaboratif, mahasiswa akan bekerja dan belajar cara-cara anggota masyarakat melakukan proses mekanisme sosial melalui berbagai proses pengambilan keputusan untuk memperoleh kesepakatan-kesepakatan (Panitz & Panitz, 2005).

Kesepakatan-kesepakatan tersebut menjadi dasar panutan menata hidup dan kehidupan yang damai dan sejahtera, penuh rasa kebersamaan, saling tergantung dan saling memberi manfaat sehingga mampu mempertahankan dan memajukan kehidupan secara berkelanjutan.

Belajar kemampuan kerjasama kolaboratif sangat tepat dilakukan dengan model ini karena selain pengembangan keilmuan secara akademis, mahasiswa sekaligus melatih diri belajar melalui kesepakatan-kesepakatan dan mereka terlibat langsung praktik dalam pemecahan masalah sosial. Tiga konsep utama terkandung dalam model kerjasama kolaboratif (Stairs, 2005; Slavin, 1990), yakni (1) penyelidikan atau inquiry , (2) pengetahuan atau knowledge , dan (3) dinamika belajar kelompok atau the dynamics of the learning group .

Untuk memecahkan masalah dituntut prosedur dan persyaratan yang sudah tertentu kaidahnya menurut norma dalam pemecahan masalah kasus Akuntansi. Kemudian pengetahuan, adalah pengalaman yang didapat oleh mahasiswa secara langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan pemecahan masalah. Dinamika kelompok menunjuk pada suasana yang menggambarkan sekelompok individu saling berinteraksi membicarakan sesuatu yang sengaja dikaji bersama. Proses yang terjadi adalah berbagi gagasan dan pendapat, saling tukar pengalaman, dan saling adu argumentasi. Ketiga hal inilah yang merupakan dasar dari kelompok secara kolaboratif sebagai unsur-unsur dasar dalam pengelolaan belajar kolaboratif.

Peranan Dosen dan Mahasiswa

Prinsip pengelolaan yang digunakan sebagai acuan, bahwa pengembangan sistem sosial harus berlangsung secara demokratis, ditandai oleh keputusan-keputusan yang tumbuh dari kesepakatan kelompok dengan pokok masalah sebagai sentral kegiatan belajar. Dosen diupayakan seminimal mungkin memberi kontribusi pengarahan, sehingga kelas seringkali tampak tak terstruktur. Dosen dan mahasiswa berstatus sama dalam menghadapi masalah sebagai sentral kegiatan belajar, tetapi peranannya berbeda. Oleh sebab itu prinsip yang dipegang adalah bahwa dosen sebagai konselor, konsultan, dan pemberi kritik yang konstruktif.

Bimbingan diarahkan melalui proses tiga tahap: (1) tahap pemecahan masalah, (2) tahap pengelolaan kelas, dan (3) tahap pemaknaan secara perorangan (Moallem, 2003; Suratno, 2009), . Tahap pemecahan masalah adalah tahap berkaitan dengan upaya menjawab pertanyaan apa hakikat dan fokus dari masalah. Tahap pengelolaan berkaitan dengan proses menjawab pertanyaan, antara lain informasi apa yang dibutuhkan, bagaimana mengorganisir kelompok untuk memperoleh informasi itu. Tahap pemaknaan perseorangan berkenaan dengan proses pengkajian bagaimana kelompok menghayati kesimpulan yang dibuat, dan apa yang membedakan seseorang sebagai hasil dari terlibat proses tersebut. Berikut kami paparkan tentang strategi dan langkah pengelolaan belajar kolaboratif.

Strategi dan Langkah-langkah Mengelola Pembelajaran Kolaboratif

Pada pertemuan awal kuliah, setelah semua peserta kuliah memperoleh bahan belajar, kepada mereka diberikan orientasi sebagai stimuli material. Kemudian diikuti penyajian epitome menyeluruh untuk substansi materi (Akuntansi Perusahaan Jasa). Setelah epitome menyeluruh mendapatkan proses retensi secukupnya, lantas lakukan tes awal untuk tujuan melihat kemampuan awal mahasiswa dan sekaligus untuk melakukan pembentukan kelompok-kelompok kerja.

Atas dasar hasil tes kemampuan awal, diidentifikasi dan diadministrasikan pembagian kelompok kerja dengan jumlah 3 - 5 orang per kelompok dengan komposisi tingkat kemampuan yang heterogen. Pada pertemuan selanjutnya, setelah tujuan umum dan tujuan khusus perkuliahan disajikan, diberikan demonstrasi atau unjuk kerja sebagai contoh prosedur dan urutan tindakan pemecahan kasus yang relevan dengan inti masalah yang dibahas. Tujuannya adalah agar mahasiswa mendapatkan sumber informasi belajar tentang cara pemecahan masalah untuk kasus serupa di kemudian hari.

Setelah fase ini selesai dan dianggap cukup memperoleh retensi, dilanjutkan dengan pemberian tugas untuk asimilasi prosedur dan urutan tindakan pemecahan masalah yang baru saja didemonstrasikan, dan kemudian diikuti dengan pemberian tugas latihan yang substansinya mirip (analog) atau berkaitan (relate) dengan apa yang dicontohkan dalam demonstrasi.

Setelah fase latihan usai, maka ditindaklanjuti dengan kegiatan asesmen teman sejawat. Kepada mahasiswa dibagikan perangkat asesmen, dilengkapi dengan rubrik, audit check sheet atau complete-cycle problem beserta blanko lembar rekaman hasil asesmen kepada setiap kelompok. Sementara kelompok melakukan pembagian tugas di antara anggota-anggotanya, dibagikan kunci jawaban tertulis kepada setiap individu sebagai balikan dari tugas yang telah dikerjakan. Kemudian setiap individu anggota kelompok diberi kesempatan untuk saling melakukan pemeriksaan hasil kerja dari sejawat dalam kelompoknya atau dari anggota antar kelompok yang lain (catatan: tidak dibenarkan hasil pekerjaan seseorang mahasiswa diperiksa oleh dirinya sendiri).

Kemudian setelah fase asesmen teman sejawat telah selesai, setiap kelompok (melalui petugas kelompoknya) menyerahkan rekaman hasil asesmen, dan anggota yang lain menyerahkan kembali hasil pekerjaan kepada mahasiswa pemilik pekerjaan yang bersangkutan. Beri kesempatan anggota kelompok untuk saling melakukan koreksi dan introspeksi kesalahan langkah atau prosedur yang telah dilakukan dan mendiskusikannya. Beri tugas tutorial kepada kelompok atau individu yang memiliki tingkat kebenaran 85% ke atas untuk membimbing sejawatnya yang mengalami tingkat kesalahan lebih dari 15%. Pada fase akhir jika ada ditemukan pertanyaan dari mahasiswa yang tidak dapat dijawab oleh tutor sejawat, berikan jawaban-jawaban secara individual kepada mahasiswa yang membutuhkan bantuan tersebut. Setelah fase ini selesai, pada akhir sajian berikan rangkuman dan sintesis, dan jelaskan posisi dari materi itu dalam komposisi epitome keseluruhan dengan maksud agar proses retensi lebih mantap.

Untuk memenuhi komposisi asesmen dari pihak dosen, maka hasil kerja latihan individu atau kelompok setelah dilakukan asesmen oleh sejawat dikumpulkan dan diserahkan kepada dosen untuk diperiksa dan dinilai dengan perangkat asesmen yang sama. Administrasikan komponen skor hasil asesmen teman sejawat dan skor hasil asesmen dosen, lakukan kalkulasi marking skor untuk tiap individu dan buat laporan kemajuan belajar masing-masing individu dan kenali modus prosedur atau urutan tindakan yang kesalahannya terbanyak dialami oleh peserta kuliah untuk dilakukan tindakan Untuk memenuhi komposisi asesmen dari pihak dosen, maka hasil kerja latihan individu atau kelompok setelah dilakukan asesmen oleh sejawat dikumpulkan dan diserahkan kepada dosen untuk diperiksa dan dinilai dengan perangkat asesmen yang sama. Administrasikan komponen skor hasil asesmen teman sejawat dan skor hasil asesmen dosen, lakukan kalkulasi marking skor untuk tiap individu dan buat laporan kemajuan belajar masing-masing individu dan kenali modus prosedur atau urutan tindakan yang kesalahannya terbanyak dialami oleh peserta kuliah untuk dilakukan tindakan

Perangkat Pengelolaan Belajar Kolaboratif

Untuk mendukung kelancaran penerapan pengelolaan belajar kolaboratif setidaknya diperlukan 6 (enam) format pencatatan untuk pengelolaan dan perencanaan kegiatan belajar-mengajarnya (Howard, 2001). Format-format itu adalah:

1. Roster Komunikasi

2. Lembar Tugas

3. Jadwal Pertemuan

4. Agenda Pertemuan

5. Jadwal Kegiatan Pertemuan Tim

6. Evaluasi Pertemuan Berkala

7. Evaluasi Akhir Keseluruhan Kegiatan Pola pembelajaran kolaboratif, merupakan salah satu strategi pembelajaran untuk

mengatasi peserta kuliah yang banyak, dengan cara membagi-bagi mahasiswa peserta kuliah dalam kelompok diikuti pemberian tugas berupa kasus pemecahan masalah, dan kemudian hasil kerja tugas dinilai antar kelompok atau inter anggota kelompok. Sebagai konsekuensinya penilaian dituntut adil, berkelanjutan, memperhatikan prestasi unjuk kerja individu, prestasi individu dalam kerja kelompok, dan unjuk kerja kelompok, baik pada proses maupun pada hasil .

Dari kegiatan-kegiatan itulah mahasiswa secara tidak langsung telah ditanamkan anasir dasar perilaku yang mengandung nilai-nilai kerjasama yang esensinya sangat penting sebagai bekal untuk menyongsong kehidupan nyata sebagai guru di masyarakat yang diharapkan dapat mendukung kehidupan yang demokratis. Selain itu mahasiswa terfasilitasi dengan pembiasaan untuk bekerjasama dan berpikir secara kritis. Kemampuan komunikasi secara verbal akan lebih sering diasah dan akhirnya membawa implikasi kepada kecerdasan intelektual maupun mental (Gokhale, 1995).

Refleksi Mahasiswa Tentang Praktik Pembelajaran Kolaboratif

Komentar-komentar mahasiswa yang menyatakan kebaikan/keuntungan dalam belajar kerjasama kolaboratif di dalam kelas, antara lain:

“Minat belajar menjadi lebih bergairah karena ada teman yang lebih pandai dalam kelompok’ “Dapat menyelesaikan pekerjaan yang banyak relatif lebih cepat dengan cara melakukan pembagian tugas’ ‘Dapat mengetahui apa yang tidak diketahui sebelumnya’ ‘Lebih mudah dan lebih cepat untuk memahami materi yang disampaikan dosen’ ‘Adanya kemudahan berinteraksi dengan dosen’ ‘Meningkatkan kebersamaan dalam kelompok dan belajar lebih menyenangkan’ ‘Meningkatkan kemampuan dan pengetahuan mendiagnosa atau memeriksa tentang materi kuliah’ ‘Dapat bertukar pikiran, menyatukan pendapat, saling menambah pengetahuan, tukar informasi’ ‘Penilaian lebih objektif, tidak hanya oleh satu orang (pengajar) tetapi juga sejawat ikut memberikan penilaian ’

‘ Belajar kelompok tidak tegang ’ ‘Lebih dapat menyadari akan adanya kelebihan dan kekurangan pada diri sendiri’ ‘ Memperoleh pengalaman praktik akuntansi secara langsung'

‘ Banyak praktik latihan soal, adanya materi dalam bentuk teori untuk memperjelas

pemahaman, dan kerja kelompok menambah daya serap belajar ’

Kotak 1 Komentar dari mahasiswa tentang keunggulan/keuntungan kuliah dengan pola kerjasama kolaboratif.

Dari komentar-komentar itu dapat disimpulkan bahwa pola pengelolaan belajar kolaboratif dapat mengubah nuansa mekanisme proses belajar mengajar yang lebih demokratis, aktif dan berdaya guna bagi mahasiswa.

Pada sisi lain, komentar-komentar mahasiswa terhadap kekurangan/kelemahan penerapan pola belajar kerjasama kolaboratif, antara lain dapat dicermati pada Kotak 2 di halaman berikut. Dari komentar-komentar mahasiswa yang cenderung negatif terhadap praktik belajar kerjasama kolaboratif ini ternyata faktor-faktor penyebabnya adalah masalah mutu interaksi, ketersediaan waktu, komitmen kerja kelompok, pembagian tugas dan jadwal pertemuan, jumlah anggota dalam kelompok, sikap keterbukaan (fairness) .

‘Interaksi dan rasa kebersamaan yang terjalin hanya pada kelompok itu saja’ ‘Terkadang kerjasama tidak sepenuhnya tercipta, karena sebagian teman hanya mencontek hasil kerja kelompok’ ‘Sering kurang teliti dalam mengerjakan latihan karena terlalu banyak diskusi’ Keterbatasan waktu menjadi susah untuk memahami penjelasan teman, sulit membagi waktu’ ‘Jika semua anggota kelompok tidak paham maka akan terjadi kebuntuan’ ‘Rasa tidak puas dalam menerima hasil pemikiran dan pendapat rekan dalam proses belajar’ ‘Terkadang di dalam suatu kelompok terjadi dominasi seseorang, sehingga yang lain merasa minder’ ‘Cenderung tidak serius dalam kerja kelompok’ ‘Kurang efektif jika anggota kelompok banyak’

‘Sering merasa tidak yakin dengan pemecahan masalah hasil diskusi’ ‘Sulit menentukan jadwal pertemuan, akibat kurang komunikasi dalam penentuan jadwal kelompok’ ‘Jika tidak kompak, anggota kelompok satu sama lain tidak peduli dengan tugas. Timbul sikap hanya menunggu hasil dari teman’

Kotak 2 Komentar dari mahasiswa tentang kekurangan/kelemahan kuliah dengan pola kerjasama

kolaboratif.

Oleh sebab itu faktor-faktor ini dalam praktik pengelolaan belajar harus menjadi perhatian dan harus dapat dikendalikan sedemikian rupa oleh dosen agar suasana belajar kerjasama kolaboratif dapat ditingkatkan mutunya dan terhindar dari pengaruh negatif faktor-faktor tersebut.

Simpulan: Pembinaan Nilai Kerjasama dan Pemantauan Lanjut

Kualifikasi guru di era global dituntut harus mampu bekerjasama dalam tim baik dengan sejawat mau pun dengan atasan di sekolahnya. Tanpa mengabaikan kompetensi lainnya, kompetensi sosial dan personal merupakan titik tolak orientasi pembinaan nilai kerjasama mahasiswa calon guru di LPTK. Pembiasaan kerjasama kolaboratif dalam kelompok saat terlibat pembelajaran merupakan wahana yang tepat untuk penanaman nilai kerjasama. Penanaman dan pembinaan nilai kerjasama sebagai bagian dari transferable skills mahasiswa sebaiknya dipantau dan dievaluasi dari waktu ke waktu sehingga baik kualitas pembelajarannya, perolehan pada peningkatan kognitif, afektif dan ketrampilan sebagai penunjang capaian hasil belajar ( learning outcome ) berupa kemampuan transfer belajar mahasiswa, baik yang tergolong kedalam hard skills maupun soft skills dapat diamati dari waktu ke waktu sampai dicapai ukuran yang terbaik.

Harapan jauh ke depan semoga para lulusan dapat menerapkan teori ke dalam aksi di masyarakat dengan orientasi kepada cara pandang berkehidupan yang dilandasi oleh nilai-nilai kerjasama secara kolaboratif dalam nuansa profesional. Guru-guru yang demikianlah yang kiranya dapat mengemban pilar kehidupan berbangsa dan bernegara secara santun dan bertanggungjawab.

Hadirin yang kami muliakan, Guru besar merupakan jabatan akademik yang dicita-citakan oleh setiap dosen di perguruan tinggi, meskipun jabatan itu tidak akan datang dengan sendirinya tanpa adanya upaya pribadi dan bantuan dari pihak lain, serta ridhla Allah SWT. Oleh sebab itu di Hadirin yang kami muliakan, Guru besar merupakan jabatan akademik yang dicita-citakan oleh setiap dosen di perguruan tinggi, meskipun jabatan itu tidak akan datang dengan sendirinya tanpa adanya upaya pribadi dan bantuan dari pihak lain, serta ridhla Allah SWT. Oleh sebab itu di

Dari lubuk hati yang dalam kami mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat dan rahmat serta kasih sayang-Nya kepada kami, yang tidak pernah ingkar janji dan yang telah menyampaikan firman kepada kami untuk selalu

‘iqra’ dan akhirnya menyadarkan kami untuk berkesimpulan bahwa: “semakin tahu itu pada hakekatnya makin tidak tahu”. Jika kita tahu sedikit, justru terbuka lebar ketidak tahuan kita yang semakin banyak. Mahabesar Allah SWT dengan segala ciptaan-Nya.