Lunturnya Nilai Ketimuran Bangsa Indones

Lunturnya Nilai Ketimuran Bangsa Indonesia Oleh Produk Kapitalisme Budaya Massa
Oleh Alfi Arifian*
Masih ingatkah anda film berjudul “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”? Sebuah film yang
diadaptasi dari novel dengan judul sama karya sastrawan Minangkabau, Buya Hamka. Meski ada
banyak celah perbedaan di film dan novel seperti ekranisasi pada umumnya, film berdurasi
kurang lebih tiga jam ini menyuguhkan hal-hal yang jarang ditampilkan sineas Indonesia yang
mewakili esensi novel Hamka tentang adat, agama, dan cinta.Tiga hal tersebuttelah mewakili
nilai universalitas yang dimiliki orang-orang timur, khususnya Indonesia. Karena di dalam film
tersebut tersimpan pesan dalam bahasa puitik khas Minang.
Indonesia memang bukan Cina yang kini menjadi poros ‘Eastern Civilization’ (Peradaban
Timur) dengan sejarah panjang sebagai salah satu kebudayaan tertua di dunia maupun Jepang
yang menjadi satu-satunya bangsa Asia sebagai kontestan gladiator di PD II. Keduanya
merepresentasikan wajah ‘timur’ secara berbeda.Cina yang Budha dengan nilai luhur
Kongfusian, serta Jepang dengan tradisi Sinto yang percaya bahwa kaisar mereka keturunan
Dewa Matahari. Namun konsepsi universalitas secara umum dalam nilai ketimuran tidak pernah
berbeda. Perbedaannya malah melahirkan konsep unik bagi wajah ketimuran Indonesia yang
didominasi ideologi yang dibawa kaum pedagang dari Persia dan Gujarat (Islam).
Islam yang dikenal sebagai agama padang pasir telah tumbuh subur di negeri agraris, mengubah
nilai-nilai lokal melalui akulturasi budaya tanpa menghilangkannya. Justru nilai ketimuran yang
dibalut agama Islam di negeri gemah ripah loh jinawiini semakin menunjukkan wajah ketimuran
Indonesia yang santun, seperti terlihat di film ‘Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck’. Gambaran

kisah cinta dua sejoli yang diperankan apik oleh Herjunot Ali dan Pevita Pearce menunjukkan
wajah ketimuran sesungguhnya di masa lampau (novel Hamka ditulis sekitar tahun 1930an dan
menjadi kritik adat masa itu). Kisah cinta Zainuddin dan Hayati tidak diumbar lewat syahwat
kontak fisik seperti pelukan, pegangan tangan, atau bahkan ciuman. Romantisme suara hati
mereka diwakili oleh surat. Kalau kata Andrea Hirata, “Sungguh Melayu.”
Mungkin tidak semua orang tahu istilah budaya massa atau budaya populer (pop culture), namun
kenyataan bahwa nilai timur yang menjadi jati diri kita mulai memudar terlihat sekarang ini.
Budaya massa adalah budaya populer yang diproduksi untuk pasar massal. Menurut catatan,

benturan tradisi dan budaya pop di Indonesia menggeliat pada dekade ‘80an yang ditandai
dengan perubahan situasi sosial ekonomi Indonesia yang mengarah pada liberalisasiekonomi,
membuka kantong budaya urban yang mengarah pada budaya pop. Dengan kata lain masyarakat
kita dipaksa untuk mengikuti aturan yang dibuat para kapitalis dengan standar ‘pasar’. Di sinilah
awal mula kehancuran budaya yang tidak kita sadari.
Jika kita menoleh ke belakang, tumbangnya Orde Baru merupakan gerbang revolusi kebudayaan.
Banyak nilai luhur yang diajarkan di zaman Orba mulai ditinggalkan. Arus investasi asing seakan
meluber membawa produk mereka di bidang ekonomi, teknologi, sosial, politik maupun budaya.
Alih-alih menyerukan Sila ke-5 bak revolusioner sejati, agen intelektual kapitalis menjajakan isu
demokrasi, pluralisme, serta hak asasi yang dahulu terhegemoni rezim represif Orba. Puncaknya
adalah kebebasan pers, kebebasan berpendapat, serta kebebasan berkreasi. Arus bebas ini seolah

menjadi pakem ‘demokrasi’ yang malah kebablasan. Kesalahannya ‘Reformasi’ (revolusi sistem
politik) ini turutmereformasi budaya pada masyarakat yang estetik-relijius menjadi ‘budaya
pasar’, sebuah perubahan yang mendikte masyarakat kita menjadi komoditas perdagangan yang
ditentukan pasar. Nilai yang dijajakan media pun bukan ‘apa yang masyarakat butuhkan’, tapi
‘apa yang pasar minta’.
Struktur masyarakat Indonesia yang ketimuran merupakan kemajemukan komunal dan
membentuk budaya massa. Di Jawa ada istilah “urip kuwi wang sinawang”. Hal ini bisa
diinterpretasikan sebagai “pengalaman orang lain bisa dijadikan pembelajaran”, atau malah
“kalau dia aja bisa/punya kenapa saya enggak”. Relasi psikologis dalam masyarakat massa
telah mengatomisasi masyarakat secara sosial maupun secara moral. Budaya massa yang
membentuk jiwa konsumtif menuntut masyarakat untuk mengejar gaya hidup demi memenuhi
strata sosial yang ‘sejajar’. Lebih dari itu, jika tidak ada kerangka aturan moral yang memadai,
maka masyarakatakan berpaling pada moralitas pengganti. Di sini budaya massa memainkan
peranan dalam artian budaya massa itu dipandang sebagai salah satu sumber utama suatu
moralitas pengganti. Masyarakat secara individu maupun komun rentan terhadap manipulasi dan
eksploitasi media massa dan budaya populer. Mudahnya, kita lebih percaya apa kata tivi daripada
petuah ulama dan kyai serta nasehat orang tua.
Nilai luhur ketimuran kita mulai luntur lantaran adanya pergeseran nilai estetik-relijius. Hal ini
terjadi karena kita memberikan ruang kebebasan pada budaya massa yang menjajakan dongeng


bagi masyarakat konsumer. Gawatnya masyarakat konsumer yang menjadi komoditas
perdagangan adalah generasi muda kita.Kali ini bangsa kita bukan hanya lengah, tapi di ambang
kehancuran. Pola pikir masyarakat kita sedang dimainkan secara bawah sadar bahwa agama
tidak membawa perubahan signifikan dalam hidup.Persis seperti dogma kaum kapitalis yang
terus diserang Vatikan.
Kalau kita melihat film ‘Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck’, pasti terasa kontras dengan
sinetron kita yang menjamur di waktu prime-time dengan menjajakan kisah picisan tentang gaya
hidup, kelas sosial, rebutan warisan, cerita cinta anak di bawah umur, pergaulan dalam sekat
geng, hedonisme akut, konflik rumah tangga, anak yang berani pada orang tua, kisah cinta
berumbar nafsu dan lain sebagainya. Seperti budaya Valentine’s Day yang dipuja sebagai Hari
Cinta, merupakan produk kapitalisme budaya massa yang telah menjajah nilai ketimuran. Cinta
bukan lagi romantika surat bertajuk puisinya Zainuddin untuk Hayati, tapi coklat yang sekarang
dibonusi ‘alat kontrasepsi’. Ini merupakan penjajahan moral yang sangat berbahaya.
Media massa adalah alat kapitalis, produk budaya pop, yang kini dianggap sebagai ‘guru baru’,
‘sumber inspirasi’, ‘agama digital’ dan sebagainya. Bahkan estetika reliji yang klasik dan lebih
pure, rusak oleh citra media. Agama kini bisa diakses secara bebas melalui media digital
sehingga tidak ada jalur kemurnian pemindahan ilmu dari guru kepada murid.Kebebasan akses
ilmu agama ini menciptakan miskonsepsi dan misinterpretasi terhadap ayat maupun hadits. Di
sini terjadi lagi invasi dalam hal agama. Walhasil, kini lahir sekte-sekte yang beragam dari hasil
interpretasi kitab suci yang beragam pula.

Menilik peran media massa yang gencar menjajakan budaya massa juga merupakan alat politik
pemerintah baik pada fungsinya sebagai alat propaganda, media pencitraan maupun
menyebarluaskan ide-ide pemerintah, maka yang bisa menekan arus bebas media yang
kebablasan ini hanya pemerintah. Apalagi fenomena budaya massa di atas bisa menghancurkan
kita secara perlahan. Kehancuran terbesar suatu bangsa bukanlah genosida, melainkan
kehancuran budaya lantaran kehilangan jati diri bangsa. Cina dan Jepang tetap kokoh
mempertahankan nilai-nilai budaya mereka meski arus globalisasi tak terbendung. Bahkan Cina
sebagai poros ‘Peradaban Timur’ mampu mengimbangi dominasi ‘Peradaban Barat’.Bangsa
Indonesia merupakan bangsa dengan ragam budaya dan disatukan oleh keragaman itu di bawah
panji Merah Putih serta ideologi Pancasila. Saat ini baru ormas-ormas legal (bukan tandingan)

yang mampu memberikan pelajaran moral bagi masyarakat terkait isu dekadensi, entah itu lewat
pengajian klasikal atau konsolidasi rutin. Diharapkan seluruh elemen bangsa ikut bahu membahu
menangkal arus negatif globalisasi yang berdampak pada lunturnya nilai luhur ketimuran kita,
nilai moral, serta adat dan agama. Masyarakat masih menanti janji kampanye pemerintah tentang
implementasi ‘Revolusi Mental’, bukan hanya dongeng pencitraan semata.

*Penulis adalah mahasiswa Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Teknologi
Yogyakarta (FIB UTY).


(Telah dimuat di Harian Pagi Kebumen Ekspres pada 30 Maret 2016)