Potensi Eceng Gondok sbgai bioetanol
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat-Nya
saya dapat menyelesaikan makalah dengan tema umum yang berjudul “Potensi
Pembuatan Etanol Dari Eceng Gondok”. Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada
seluruh pihak yang turut membantu saya dalam menyelesaikan makalah ini baik
secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu.
Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas yang diberikan sehingga makalah
ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya. Semoga makalah ini memberikan
informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan
bagi kita semua. Kami pun menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak
kekurangan maupun kesalahan, “ tak ada gading yang tak retak “ karena kami hanya
manusia biasa yang masih perlu banyak belajar. Oleh karena itu, kami mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun untuk penyusunan makalah di masa depan
yang lebih baik lagi.
Banjarbaru, Maret 2015
Penulis
1
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah ................................................................................ 1
1.3
Tujuan Penulisan .................................................................................. 2
1.4
Metoda Penulisan ................................................................................. 2
BAB II ISI
2.1
Pengertian Eceng Gondok .................................................................... 3
2.2
Keunggulan Eceng Gondok ................................................................. 5
2.3
Bioetanol .............................................................................................. 6
2.3.1 Pretreatment ........................................................................................ 7
2.3.2 Fermentasi .......................................................................................... 7
BAB III METODE DAN HASIL
3.1
Perlakuan Pendahuluan Terhadap Eceng Gondok ............................... 9
3.2
Perlakuan Hidrotermal ......................................................................... 9
3.3
Filtrasi ...................................................................................................11
3.4
Hidrolisis ........................................................................................... 11
3.5
Fermentasi ......................................................................................... 11
3.6
Penyulingan ......................................................................................... 12
3.7
Hasil
3.8
Pembahasan ..........................................................................................16
.........................................................................................12
BAB IV
4.1
Kesimpulan ......................................................................................... 19
4.2
Saran .................................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA
2
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bioetanol adalah etanol (alkohol yang paling dikenal masyarakat) yang
dibuat dengan fermentasi yang membutuhkan faktor biologis untuk prosesnya. Bahan
baku yang digunakan untuk membuat bioethanol adalah eceng gondok. Keunggulan
tersebut adalah memiliki laju pertumbuhan tiga persen dari 3 % perhari di rawa atau
danau dan tingkat perumbuhan eceng gondok mencapai 125 ton basah/6 bulan(Glori
K. Wadrianto : 2012).
Eceng gondok (Eichorrnia crassipes) merupakan gulma yang memiliki
kemampuan tumbuh serta mampu membentuk populasi yang sangat besar dalam
waktu yang singkat. Oleh karena itu maka berbagai upaya pengendalian populasinya
terus dilakukan. Selain upaya pengendalian, upaya pemanfaatan secara ekonomis
pun dilakukan. Dengan penelitian lebih lanjut, diketahui eceng gondok dapat
membantu produsen bioetanol untuk mengetahui spesies yang dapat menghasilkan
bioethanol, dilihat dari jumlah sukrosa yang dihasilkan spesies tersebut jika
dihidrolisis sebelum proses hidrolisis dengan enzim, dilakukan terlebih dahulu proses
hidrothermal dengan harapan biomassa yang
menggandung tignoselulosa
yang
dinding selnya terbungkus oleh ligning dipecah menjadi gula sederhana agar
enzim mudah menembus selulosa yang ada didalamnya.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1. Apa pengertian eceng gondok?
2. Apa keunggulan eceng gondok?
3. Bagaimana proses pembuatan bioetanol dengan berbahan baku eceng gondok?
4. Bagaimana ketersediaan jumlah bahan baku eceng gondok jika dibandingkan
dengan ketersediaan bahan baku yang lain?
1
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengertian eceng gondok.
2. Untuk mengetahui keunggulan eceng gondok.
3. Untuk mengetahui proses pembuatan bioetanol dengan berbahan baku eceng
gondok.
4. Untuk mengetahui ketersediaan jumlah bahan baku eceng gondok jika
dibandingkan dengan ketersediaan bahan baku yang lain.
1.4. Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam pembuatan makalah ini adalah dengan
manggunakan referensi dari berbagai sumber yaitu media elektronik internet.
2
BAB II
ISI
2.1. Pengertian Eceng Gondok
Eceng gondok atau enceng gondok (Latin:Eichhornia crassipes) adalah
salah satu jenis tumbuhan air mengapung. Selain dikenal dengan nama eceng
gondok, di beberapa daerah di Indonesia, eceng gondok mempunyai nama lain
seperti di daerah Palembang dikenal dengan nama Kelipuk, diLampung dikenal
dengan nama Ringgak, di Dayak dikenal dengan nama Ilung-ilung, di Manado
dikenal dengan nama Tumpe. Eceng gondok pertama kali ditemukan secara tidak
sengaja oleh seorang ilmuwan bernama Carl Friedrich Philipp von Martius, seorang
ahli botani berkebangsaan Jerman pada tahun 1824 ketika sedang melakukan
ekspedisi di Sungai Amazon Brasil. Eceng gondok memiliki kecepatan tumbuh yang
tinggi sehingga tumbuhan ini dianggap sebagai gulma yang dapat merusak
lingkungan perairan. Eceng gondok dengan mudah menyebar melalui saluran air
ke badan air lainnya.
Gambar 1. Eceng Gondok
Eceng gondok dewasa, terdiri dari akar, bakal tunas, tunas atau stolon, daun,
petiole, dan bunga. Daun-daun eceng gondok berwarna hijau terang berbentuk telur
3
yang melebar atau hampir bulat dengan garis tengah sampai 15 cm. Pada bagian
tangkai daun terdapat masa yang menggelembung yang berisi serat seperti karet busa.
Kelopak bunga berwarna ungu muda agak kebiruan. Setiap kepala putik dapat
menghasilkan sekitar 500 bakal biji atau 5000 biji setiap tangkai bunga, sehigga
eceng gondok dapat berkembang biak dengan dua cara yaitu dengan tunas dan biji.
Komposisi kimia eceng gondok tergantung pada kandungan unsur hara
tempatnya tumbuh, dan sifat daya serap tanaman tersebut. Eceng gondok mempunyai
sifat-sifat yang baik antara lain dapat menyerap logam-logam berat, senyawa sulfida,
selain itu mengandung protein lebih dari 11,5% dan mengandung selulosa yang lebih
tinggi besar dari non selulosanya seperti lignin, abu, lemak, dan zat-zat lain.
4
Karena eceng gondok memiliki kandungan selulosa yang tinggi, sehingga
berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan bakar.
Eichornia Crassipes (Eceng Gondok) Gerbano (2005) menyebutkan, eceng
gondok termasuk family Pontederiaceae. Tanaman ini hidup di daerah tropis mau pun
subtropis. Eceng gondok digolongkan sebagai gulma perairan yang mampu
menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan dan berkembang biak secara cepat.
Tempat tumbuh yang ideal bagi tanaman eceng gondok adalah perairan yang dangkal
dan berair keruh, dengan suhu berkisar antara 28-30C dan kondisi pH berkisar 4-12.
Di perairan yang dalam dan berair jernih di dataran tinggi, tanaman ini sulit tumbuh.
Eceng gondok mampu menghisap air dan menguapkanya keudara melalui proses
evaporasi.
2.2. Keunggulan Eceng Gondok
Eceng gondok memiliki keunggulan dalam kegiatan fotosintesis, penyediaan
oksigen dan penyerapan sinar matahari. Bagian dinding permukaan akar, batang dan
daunnya memiliki lapisan yang sangat peka sehingga pada kedalaman yang ekstrem
sampai 8 meter di bawah permukaan air masih mampu menyerap sinar matahari serta
zat-zat yang larut di bawah permukaan air. Akar, batang, dan daunnya juga memiliki
kantung-kantung udara sehingga mampu mengapung di air. Keunggulan lain dari
eceng gondok adalah dapat menyerap senyawa nitrogen dan fosfor dari air yang
tercemar, berpotensi untuk digunakan sebagai komponen utama pembersih air limbah
dari berbagai industri dan rumah tangga. Karena kemampuanya yang besar, tanaman
5
ini diteliti oleh NASA untuk digunakan sebagai tanaman pembersih air di pesawat
ruang angkasa (Little, 1979; Thayagajaran, 1984). Menurut Zimmel (2006)
danTripathi (1990) eceng gondok juga dapat digunakan untuk menurunkan
konsentrasi COD dari air limbah.
2.3. Bioetanol
Bioetanol
merupakan
bahan
bakar
yang
bersih,
hasil
pembakaran
menghasilkan CO2 dan H2O. Penambahan bahan yang mengandung oksigen pada
sistem bahan bakar akan mengurangi emisi gas CO yang sangat beracun dari sisa
pembakaran. Aditif MTBE pada mulanya dipergunakan untuk meningkatkan nilai
oktan, namun saat ini dilarang dipergunakan. MTBE dapat dideteksi dan
menyebabkan pencemaran pada air tanah sehingga alkohol merupakan alternatif
yang menarik untuk mengurangi emisi gas CO. Penggunaan alkohol murni dibanding
dengan bensin secra umum akan mengurangi kadar CO2 hingga 13% karena
merupakan hasil dari pertanian. Seperti diketahui produk pertanian memerlukan
gas CO2 untuk metabolismenya. Bioetanol merupakan etanol yang diperoleh melalui
proses fermentasi biomassa dengan bantuan mikroorganisme. Selain bioetanol
dikenal pula gasohol, yang merupakan campuran bioetanol dengan premium.
Misalnya gasohol E-10 mengandung bioetanol 10% dan sisanya premium. Bioetenol
yang mengandung 35% oksigen dapat meningkatkan efesiensi pembakaran dan
mengurangi emisi gas rumah kaca. Keuntungan lain dari bioetanol adalah nilai
oktannya lebih tinggi dari premium sehingga dapat menggantikan fungsi bahan
aditif seperti MTBE dan TEL. Bioetanol dapat langsung dicampur dengan premium
pada berbagai komposisi sehingga dapat meningkatkan efesiensi dan emisi gas
buang yang lebih ramah lingkungan.
Bioetanol dapat diproduksi dari berbagai bahan baku yaitu saccharine
material, starchy material dan lignocellulose material (Pandey, 2009). Saccharine
material dapat langsung difermentasi untuk menghasilkan etanol. Starchy material
perlu dilakukan hidrolisis terlebih dahulu sebelum difermentasi. Lignocellulose
material perlu dilakukan pretreatment untuk mendegradasi strukturnya yang
6
kompleks. Produksi bioetanol terdiri dari beberapa proses, yaitu pretreatment,
hidrolisis dan fermentasi.
2.3.1 Pretreatment
Pretreatment biomassa lignoselulosa harus dilakukan untuk mendapatkan hasil
yang tinggi di mana penting untuk pengembanganteknologi biokonversi dalam skala
komersial. Sebagai contoh pretreatmentyang baik dapat mengurangi jumlah enzim
yang digunakan dalam proseshidrolisis. Pretreatment dapat meningkatkan hasil gula
yang diperoleh. Gula yang diperoleh tanpa pretreatment kurang dari 20%,
sedangkandengan pretreatment dapat meningkat menjadi 90% dari hasil teoritis.
Tujuan dari pretreatment adalah untuk membuka struktur lignoselulosa agar
selulosa menjadi lebih mudah diakses oleh enzim yang memecah polymer
polisakarida menjadi monomer gula. Menurut (Sun & Cheng, dalam Isroi, 2008)
pretreatment seharusnya memenuhi kebutuhan berikut ini:
1. Meningkatkan pembentukan gula atau kemampuanmenghasilkan gula pada
proses berikutnya melalui hidrolisis enzimatik;
2. Menghindari degradasi atau kehilangan karbohidrat;
3. Menghindari pembentukan produk samping yang dapat menghambat proses
hidrolisisdan fermentasi,
4. Biaya yang dibutuhkan ekonomis.
2.3.2 Fermentasi
Beberapa spesies mikroba dari kelompok yeast/khamir, bakteri danfungi dapat
memfermentasi karbohidrat menjadi ethanol dalam kondisi bebas oksigen. Mikroba
melakukan fermentasi tersebut untuk mendapatkan omoge dan untuk tumbuh. Reaksi
yang terjadi dalam proses fermentasi pembuatan etanol adalah sebagai berikut:
C6H12O6
2 C2H12OH + 2 CO2
Metode fermentasi untuk gula C6 telah diketahui dengan baik sejak paling tidak 6000
tahun yang lalu, ketika orang-orang Sumeria, Babylonia,dan Mesir mulai membuat
bir dari nira. Mikroba yang sangat umum dimanfaatkan dalam proses fermentasi
adalah
ragi
roti
(Saccharomyces
cereviseae)
7
dan
Zymomonas
mobilis.
Saccharomyces cereviseae memiliki banyak keunggulan antara lain adalah mampu
memproduksi ethanol darigula C6 (heksosa), toleran terhadap konsentrasi etanol yang
tinggi
dan
toleran
hidrolisat biomassa
terhadap
lignoselulosa
senyawa
(Olsson
inhibitor
and
yang
terdapat
Hahn-Hägerdal
didalam
dalam
Isroi,
2008). Namun demikian, strain liar dari S. cerevieae tidak dapat memfermentasi gula
C5 (pentose) seperti: xylosa, arabinosa dan celloligosaccharides ,menjadi salah satu
kendala pemanfaatannya. Beberapa yeast diketahui dapat memfermentasi xylosa
seperti: Pichia stipitis (Verduyn et al. dalamIsroi, 2008).
8
BAB III
METODE DAN HASIL
3.1. Perlakuan Pendahuluan Terhadap Eceng Gondok
Bahan baku yang digunakan untuk percobaan adalah eceng gondok jenis kelas
Monocotylodenae dan keluarga Pontederiaceae yang berasal dari Kota Makassar.
Eceng gondok sebanyak 10 kg dibersihkan dari kotoran seperti pasir dan lumut
kemudian
dipotong-potong
±1-2
cm.
Pencucian
dilakukan
dengan
cara
meyemprotkan air ke eceng gondok. Kemudian direndam semalam lalu dicuci
kembali dan direndam kembali, pekerjaan tersebut dilakukan selama 3 hari. Setelah
itu eceng gondok tersebut dikeringkan dahulu pada suhu 105°C selama 16 jam Eceng
gondok yang telah dikeringkan diperkecil ukurannya hingga lolos 100 mesh.
Selanjutnya eceng gondoksiap untuk di treatment sesuai dengan kondisi operasi yang
telah ditetapkan.
3. 2. Perlakuan Hidrothermal
Pengaruh suhu, waktu operasi dan pH larutan terhadap kerusakan struktur sel
eceng gondok diteliti dengan melakukan perlakuan hidrothermal pada tekanan 1 atm.
Penelitian pada tekanan 1 atm (101,35 kPa) juga dilakukan sebagai kondisi
kontrol/pembanding. Penelitian ini juga dilakukan dengan memvariasikan suhu
(120°C,150°C dan 170°C)selama 30 dan 60 menit serta pH larutan dengan ada/tanpa
penambahan larutan buffer (10 g eceng gondok dalam 500 ml buffer asetat).
3. 3. Filtrasi (memisahkan ampas dan hidrolisat)
Tahap berikutnya adalah menyaring hidrolisat yang diperoleh dengan dibantu
oleh kerja pompa vakum. Analisa dilakukan di awal maupun diakhir proses, yaitu
analisa glukosa dari bahan baku eceng gondok, kadar lignin dan strukturnya.
3.3.1
Analisa Kadar Gula Metode Luff Schoorl
Dipipet 10 ml substrat ke dalam labu takar kemudian diimpitkan dengan
aquades hingga tanda batas lalu dipipet 25 ml ke dalam erlenmeyer
Ditambahkan 25 ml larutan Luff Schoorl dan 15 ml aquades
9
Ditutup erlenmeyer dengan aluminium foil kemudian dididihkan selama 10
menit.
Setelah dingin ditambahkan 2 g KI dan 25 ml larutan H2SO4 4 N
Dititrasi dengan larutan Natrium Tiosulfat 0,1 N (yang sudah distandarisasi)
dan menggunakan kanji 3 % sebagai indikator. Untuk memperjelas perubahan
warna pada saat titrasi sebaiknya kanji ditambahkan pada saat titrasi hampir
berakhir.
Dicatat volume penitar yang digunakan (a ml).
Dilakukan hal yang sama untuk blangko menggunakan aquades (b ml)
3.3.2
Analisa Kandungan Selulosa dan Lignin Dengan Metode Chesson
Ditimbang sampel kering sebanyak 1 gram (berat a), ditambahkan 150 ml
aquades dan dipanaskan pada suhu 100°C selama 1 jam.
Disaring dan residu dicuci dengan air panas 300 ml, kemudian dikeringkan
dengan oven pada suhu 105°C selama 30 menit kemudian ditimbang (berat b)
Ditambahkan 150 ml H2SO4 1 N, kemudian merefluks selama 1 jam pada
suhu 100°C.
Disaring dan padatan dicuci dengan aquadest sampai netral
Dikeringkan hingga berat konstan (berat c)
Ditambahkan 100 ml H2SO4 72 % dan membiarkan selama 4 jam pada suhu
kamar. Menambahkan 150 ml H2SO4 1 N dan merefluks pada suhu 100° C
selam 1 jam.
Disaring dan padatan dicuci dengan aquadest sampai netral, mengeringkan di
dalam oven pada suhu 1050C sampai diperoleh berat konstan (berat d)
Selanjutnya diabukan di dalam tanur pada suhu 800°C
Didinginkan dalam eksikator dan menimbangnya (berat e)
Dihitung kadar selulosa dan lignin dengan rumus
% Selulosa =
10
c−d
a
x 100%
% Lignin =
d−e
a
x 100%
3. 4. Hidrolisis
Mengambil eceng gondok yang sudah halus dan kering sebanyak 10 gram ke
dalam gelas kimia dan melarutkan dengan buffer asetat pH 4,6 sebanyak 500 ml
untuk hidrolisis melakukan proses pemanasan sesuai suhu optimum yang di dapatkan
dari pengujian kadar gula. Ke dalam gelas kimia tersebut ditambahkan inokulum
(mengambil 10-15 % dari larutan tersebut, lalu menambahkan 1,5 g ekstrat ragi, 20 g
glukosa dan 1,5 g Na3PO4 di sterilkan selama 15 menit suhu 121°C, lalu ditambahkan
secuil mikroba Trichoderma ressei yang telah diremajakan dan dishaker selama 48
jam) sisa dari larutan tersebut sebagai media fermentasi, selanjutnya memasukkan
inokulum tersebut ke dalam media fermentasi, menguji kadar gulanya
dengan tujuan mencari waktu optium untuk proses hidrolisis.
3. 5. Fermentasi
Hasil dari proses hidrolisis kemudian dipanaskan pada suhu 121°C selama 15
menit, membuat media inokulum (mengambil 10-15 % dari larutan tersebut, lalu
menambahkan 1,5 g ekstrat ragi, 20 g glukosa dan 1,5 g Na 3PO4 di sterilkan selama
15 menit suhu 121 0C, lalu ditambahkan sedikit mikroba Saccharomyces cereviseae
yang telah diremajakan, lalu ditambahkan 0,15 g urea, NPK 0,15 g dan dishaker
selama 24 jam) sisa dari larutan tersebut digunakan sebagai media fermentasi
ditambahkan urea 2,4 g dan NPK 2,4 g bagian dari volume fermentasi larutan tersebut
dan didiamkan selama 7-8 hari. Dengan reaksi fermentasi sebagai berikut:
C6H12O6
2CO2 + 2C2H5OH
Pada hari pertama pemberian ragi tidak langsung terjadi reaksi karena bakteri
butuh waktu yang agak lama untuk berkembang. Setelah kurang lebih 3 hari
perbedaan eceng gondong hasil hidrolis (hidrolisat) hari pertama dan hari ke tiga
mulai tampak. Dan setelah 7 hari dihasilkan gelembung - gelembung udara pada
eceng gondok tampak agak kekuningan di banding hari sebelumnya. Gelembung
11
tersebut merupakan hasil fermentasi dimana dihasilkan gas CO 2 dan etanol serta
energi yang berupa panas.
3. 6. Penyulingan
Untuk mendapatkan etanol hasil fermentasi perlu dilakukan pemisahan yaitu
dengan cara penyulingan atau distilasi pada suhu 80°C dan suhu ini harus
dipertahankan, karena etanol sendiri menguap pada suhu tersebut. Uap etanol yang
dihasilkan dikembalikan ke fase cair dengan cara kondensasi sehingga didapatkan
etanol. Pada penyulingan pertama biasanya dihasilkan etanol 50%-60%.
3.6.1
Pengujian kadar etanol dengan indes bias
Dibuat kurva standar (campuran larutan air –etanol dengan indeks bias)
Dipipet hasil fermentasi untuk 2 hari dan dianalisa
Kadar etanol yang di dapatkan dapat dilihat melalui kurva standar
3.6.2 Pengujian kadar etanol dengan alat kromatografi gas
Alat dinyalakan dan ditunggu hingga 10-15 menit.
Dipipet etanol 98 % dengan alat syrine lalu dimasukan ke alat injeksi GC dan
menekan tombol sambil menunggu pembacaan kadar etanol pada komputer.
3.7
Hal sama dilakukan untuk kedua sampel tersebut
HASIL
Tabel 5.1.1 Kadar Glukosa dari Proses Hidrothermal
12
Grafik 1. Hubungan Kadar Glukosa vs Temperatur-waktu
- Tabel 5.1.2 Pengujian Kadar lignin dan Selulosa
13
- Pengujian Kadar Etanol Dengan Alat Indeks Bias
Tabel 5.1.3 Kurva Standar
Tabel5.1.4 Sampel
14
- Pengujian Kadar Etanol dengan Alat GC setelah Pemurnian Kedua
15
3.8 Pembahasan
Pada tabel 5.1.1 menunjukkan kadar glukosa pada eceng gondok dengan
pemanasan 170°C dengan waktu 60 menit adalah 5,78 % (b/b) sementara kadar lignin
33,4 % dan selulosa adalah 13,1 %. Melihat kadar gula pada pemanasan 170 °C
dengan waktu 60 menit lebih banyak daripada pemanasan sampel lain. Sehingga
pemanasan 170°C waktu 60 menit dijadikan patokan untuk melanjutkan ketahap
hidrolisis. Selain itu, dari grafik hubungan antara kadar glukosa dan temperatur
terlihat bahwa kadar glukosa setelah proses hidrothermal berbanding lurus. Dimana
semakin tinggi suhu yang digunakan dalam proses hidrothermal maka semakin besar
pula kandungan glukosa yang dihasilkan. Hal ini menandakan bahwa dalam proses
hydrothermal terjadi pengerusakan ikatan lignin sehingga pada saat hidrolis enzim
dengan mudah masuk ke dalam struktur selulosa karena ikatan lignin telah terbuka
oleh proses hidrothermal. Akan tetapi, pada kondisi suhu 170°C kadar glukosa yang
dihasilkan pada waktu 30 menit dan 60 menit sudah tidak memiliki selisih kandungan
glukosa yang besar dengan kata lain, kadar glukosa pada temperatur tersebut telah
konstan.
Hidrolisis eceng gondok sendiri menggunakan mikroba Trichoderma reseei
guna menghasilkan enzim selulase agar dapat merombak struktur selulosa eceng
gondok sehingga memudahan pembentukan etanol dikarenakan adanya lignin yang
menghambat proses pembentukan. Berdasarkan gambar struktur eceng gondok
sebelum dan sesudah proses hidrolisis nampak jelas bahwa enzim selulase yang
16
dihasilkan oleh Trichoderma reseei membuka struktur eceng gondok. Dengan
terbukanya struktur eceng gondok maka memudahkan ke proses fermentasi
menggunakan Saccharomyces cerevisiae. Pada proses fermentasi kedua, bakteri
Saccharomyces cerevisiae dapat mengubah glukosa menjadi etanol dan gas CO 2.
Untuk mendapatkan etanolnya diperlukan perlakuan seperti pH antara 4,5-4,8, suhu
sekitar 38-40°C dan difermentasi sampai 7 hari. Sebab waktu maksimal membentuk
etanol adalah pada hari ke-7.
Untuk metode pengujian selanjutnya, volume yang diambil dari hasil
fermentasi adalah 100 ml dari 400 ml. Untuk menghitung kadar etanol yang terbentuk
setelah destilasi pertema menggunakan alat indeks bias, sebaiknya menggunakan
kurva standar dengan membuat larutan etanol-air kemudian diuji dengan alat indeks
bias, selanjutnya untuk mengetahui kadar etanol dari masing-masing sampel
berdasarkan harinya menggunakan metode ploting. Sehingga didapatkan kadar etanol
dari hari ke 2-7 adalah 1.7, 1.9, 1.6, 1.7, 1.0 dan 2.5 %. Adapun kadar etanol yang
terbentuk tidak konstan dikarenakan kemungkinan saat destilasi terjadinya
penguapan.
Untuk destilasi kemurnian konsentrasi etanol yang diambil adalah 1,9 dan
2.5% dari jumlah volume awal 100 ml dan setelah di destilasi menjadi 6 ml dan 9 ml.
Selanjutnya dilakukan pengujian etanol menggunakan alat GC guna mengetahui
kadar kemurnian etanol sebenarnya. Hasil dari pengujian kemurnian etanol adalah
6,2% dan 6,4%.
3.9 Ketersediaan jumlah bahan baku eceng gondok jika dibandingkan dengan
ketersediaan bahan baku yang lain.
Selain eceng gondok, ada beberapa tanaman yang digunakan sebagai bahan
baku pembuatan bioetanol. Bahan berserat (selulosa) seperti sampah organik dan
jerami padi pun saat ini telah menjadi salah satu alternatif penghasil ethanol. Bahan
baku tersebut merupakan tanaman pangan yang biasa ditanam rakyat hampir di
seluruh wilayah Indonesia,sehingga jenis tanaman tersebut merupakan tanaman yang
potensial untuk dipertimbangkan sebagai sumber bahan baku pembuatan bioethanol.
17
Namun dari semua jenis tanaman tersebut, ubi kayu merupakan tanaman yang
setiap hektarnya paling tinggi dapat memproduksi bioethanol. Selain itu
pertimbangan pemakaian ubi kayu sebagai bahan baku proses produksi bioethanol
juga didasarkan pada pertimbangan ekonomi. Pada ubi kayu, kandungan gula yang
ada didalamnya sebesar 250-300 kg dan jumlah hasil konversi bioetanol adalah
sebesar 166,6 liter. Nilai tersebut merupakan angka yang sangat tinggi. Tetapi untuk
menghasilkan ubi kayu yang banyak diperlukan penanaman dan pemeliharaan yang
baik serta membutuhkan biaya tambahan.
Oleh karena itu, bahan baku yang sangat cocok saat ini di daerah Kalimantan
Selatan sebagai bahan baku pembuat etanol adalah eceng gondok, karena selain tidak
membutuhkan biaya dalam memperolehnya, kita juga dapat mengurangi produksi
eceng gondok di rawa atau sungai sebagai gulma yang merugikan lingkungan.
18
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat pada makalah ini adalah:
1. Waktu yang digunakan untuk mendapatkan kadar glukosa yang optimum pada
proses hydrothermal yaitu selama 60 menit.
2. Temperatur pada proses hydrothermal berbanding lurus dengan kadar glukosa
yang dihasilkan, tetapi pada suhu optimum kadar glukosa mancapai pada
keadaan konstan.
3. Pada kondisi optimum dalam proses hydrothermal, terjadi kerusakan struktur
sel
ecang
gondok.
Sehingga
mampu
merombak
hemiselulosa
dan
menghasilkan glukosa yang optimal.
4. Kandungan bioetanol yang diperoleh dari hasil fermentasi dan pemisahan
destilasi adalah 6,2% dan 6,4%.
3.2. Saran
Untuk
penelitian
selanjutnya,
pemisahan
etanol-air
sebaiknya
menggunakan destilasi fraksionasi agar etanol yang dihasilkan tidak terlalu
banyak mengandung air. Sehingga dapat diperoleh etanol yang benar-benar
merupakan hasil dari fermentasi melalui proses hidrothermal.
19
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1966. Eceng Gondok
http://id.wikipedia.org/wiki/Eceng_gondok
Diakses pada tanggal 20 Februari 2015
Dayana Chane. 2014. Pembuatan Bioetanol dari Eceng Gondok Melalui Proses
Hydrotermal
https://www.academia.edu/4850688/pembuatan_bioetanol_dari_eceng_gondok
melalui_proses_hydrothermal
Diakses pada tanggal 04 Maret 2015
Dyan, P. M., Dahlina, R., dan Nurul, U. 2013. Potensi Pembuatan Etanol dari Eceng
Gondok Melalui Proses Hidrothermal. Politeknik Negeri Ujung Pandang,
Makassar.
Fitri, M. dan Yulinah, T. 2011. Produksi Bioetanol Dari Eceng Gondok (Eichhornia
Crassipes) dengan Zymomonas Mobilis dan Saccharomyces Cerevisiae.
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XIII Program Studi MMTITS
Glori K. Wadrianto.2012. Danau Tondano Dikepung Eceng Gondok,
http://travel.kompas.com/read/2012/11/01/09005234/Danau.Tondano.Dikepung
.Eceng.Gondo
Diakses pada tanggal 04 Maret 2015
MAKALAH
“POTENSI PEMBUATAN ETANOL DARI ECENG GONDOK”
OLEH
ZAKIYATUR ROFI’AH
J1B112049
ZAKIYATIR RAHMI
J1B112050
MUTIARA DWI SAPTARINI
J1B112053
PROGRAM STUDI S-1 KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2015
Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat-Nya
saya dapat menyelesaikan makalah dengan tema umum yang berjudul “Potensi
Pembuatan Etanol Dari Eceng Gondok”. Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada
seluruh pihak yang turut membantu saya dalam menyelesaikan makalah ini baik
secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu.
Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas yang diberikan sehingga makalah
ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya. Semoga makalah ini memberikan
informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan
bagi kita semua. Kami pun menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak
kekurangan maupun kesalahan, “ tak ada gading yang tak retak “ karena kami hanya
manusia biasa yang masih perlu banyak belajar. Oleh karena itu, kami mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun untuk penyusunan makalah di masa depan
yang lebih baik lagi.
Banjarbaru, Maret 2015
Penulis
1
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah ................................................................................ 1
1.3
Tujuan Penulisan .................................................................................. 2
1.4
Metoda Penulisan ................................................................................. 2
BAB II ISI
2.1
Pengertian Eceng Gondok .................................................................... 3
2.2
Keunggulan Eceng Gondok ................................................................. 5
2.3
Bioetanol .............................................................................................. 6
2.3.1 Pretreatment ........................................................................................ 7
2.3.2 Fermentasi .......................................................................................... 7
BAB III METODE DAN HASIL
3.1
Perlakuan Pendahuluan Terhadap Eceng Gondok ............................... 9
3.2
Perlakuan Hidrotermal ......................................................................... 9
3.3
Filtrasi ...................................................................................................11
3.4
Hidrolisis ........................................................................................... 11
3.5
Fermentasi ......................................................................................... 11
3.6
Penyulingan ......................................................................................... 12
3.7
Hasil
3.8
Pembahasan ..........................................................................................16
.........................................................................................12
BAB IV
4.1
Kesimpulan ......................................................................................... 19
4.2
Saran .................................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA
2
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bioetanol adalah etanol (alkohol yang paling dikenal masyarakat) yang
dibuat dengan fermentasi yang membutuhkan faktor biologis untuk prosesnya. Bahan
baku yang digunakan untuk membuat bioethanol adalah eceng gondok. Keunggulan
tersebut adalah memiliki laju pertumbuhan tiga persen dari 3 % perhari di rawa atau
danau dan tingkat perumbuhan eceng gondok mencapai 125 ton basah/6 bulan(Glori
K. Wadrianto : 2012).
Eceng gondok (Eichorrnia crassipes) merupakan gulma yang memiliki
kemampuan tumbuh serta mampu membentuk populasi yang sangat besar dalam
waktu yang singkat. Oleh karena itu maka berbagai upaya pengendalian populasinya
terus dilakukan. Selain upaya pengendalian, upaya pemanfaatan secara ekonomis
pun dilakukan. Dengan penelitian lebih lanjut, diketahui eceng gondok dapat
membantu produsen bioetanol untuk mengetahui spesies yang dapat menghasilkan
bioethanol, dilihat dari jumlah sukrosa yang dihasilkan spesies tersebut jika
dihidrolisis sebelum proses hidrolisis dengan enzim, dilakukan terlebih dahulu proses
hidrothermal dengan harapan biomassa yang
menggandung tignoselulosa
yang
dinding selnya terbungkus oleh ligning dipecah menjadi gula sederhana agar
enzim mudah menembus selulosa yang ada didalamnya.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1. Apa pengertian eceng gondok?
2. Apa keunggulan eceng gondok?
3. Bagaimana proses pembuatan bioetanol dengan berbahan baku eceng gondok?
4. Bagaimana ketersediaan jumlah bahan baku eceng gondok jika dibandingkan
dengan ketersediaan bahan baku yang lain?
1
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengertian eceng gondok.
2. Untuk mengetahui keunggulan eceng gondok.
3. Untuk mengetahui proses pembuatan bioetanol dengan berbahan baku eceng
gondok.
4. Untuk mengetahui ketersediaan jumlah bahan baku eceng gondok jika
dibandingkan dengan ketersediaan bahan baku yang lain.
1.4. Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam pembuatan makalah ini adalah dengan
manggunakan referensi dari berbagai sumber yaitu media elektronik internet.
2
BAB II
ISI
2.1. Pengertian Eceng Gondok
Eceng gondok atau enceng gondok (Latin:Eichhornia crassipes) adalah
salah satu jenis tumbuhan air mengapung. Selain dikenal dengan nama eceng
gondok, di beberapa daerah di Indonesia, eceng gondok mempunyai nama lain
seperti di daerah Palembang dikenal dengan nama Kelipuk, diLampung dikenal
dengan nama Ringgak, di Dayak dikenal dengan nama Ilung-ilung, di Manado
dikenal dengan nama Tumpe. Eceng gondok pertama kali ditemukan secara tidak
sengaja oleh seorang ilmuwan bernama Carl Friedrich Philipp von Martius, seorang
ahli botani berkebangsaan Jerman pada tahun 1824 ketika sedang melakukan
ekspedisi di Sungai Amazon Brasil. Eceng gondok memiliki kecepatan tumbuh yang
tinggi sehingga tumbuhan ini dianggap sebagai gulma yang dapat merusak
lingkungan perairan. Eceng gondok dengan mudah menyebar melalui saluran air
ke badan air lainnya.
Gambar 1. Eceng Gondok
Eceng gondok dewasa, terdiri dari akar, bakal tunas, tunas atau stolon, daun,
petiole, dan bunga. Daun-daun eceng gondok berwarna hijau terang berbentuk telur
3
yang melebar atau hampir bulat dengan garis tengah sampai 15 cm. Pada bagian
tangkai daun terdapat masa yang menggelembung yang berisi serat seperti karet busa.
Kelopak bunga berwarna ungu muda agak kebiruan. Setiap kepala putik dapat
menghasilkan sekitar 500 bakal biji atau 5000 biji setiap tangkai bunga, sehigga
eceng gondok dapat berkembang biak dengan dua cara yaitu dengan tunas dan biji.
Komposisi kimia eceng gondok tergantung pada kandungan unsur hara
tempatnya tumbuh, dan sifat daya serap tanaman tersebut. Eceng gondok mempunyai
sifat-sifat yang baik antara lain dapat menyerap logam-logam berat, senyawa sulfida,
selain itu mengandung protein lebih dari 11,5% dan mengandung selulosa yang lebih
tinggi besar dari non selulosanya seperti lignin, abu, lemak, dan zat-zat lain.
4
Karena eceng gondok memiliki kandungan selulosa yang tinggi, sehingga
berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan bakar.
Eichornia Crassipes (Eceng Gondok) Gerbano (2005) menyebutkan, eceng
gondok termasuk family Pontederiaceae. Tanaman ini hidup di daerah tropis mau pun
subtropis. Eceng gondok digolongkan sebagai gulma perairan yang mampu
menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan dan berkembang biak secara cepat.
Tempat tumbuh yang ideal bagi tanaman eceng gondok adalah perairan yang dangkal
dan berair keruh, dengan suhu berkisar antara 28-30C dan kondisi pH berkisar 4-12.
Di perairan yang dalam dan berair jernih di dataran tinggi, tanaman ini sulit tumbuh.
Eceng gondok mampu menghisap air dan menguapkanya keudara melalui proses
evaporasi.
2.2. Keunggulan Eceng Gondok
Eceng gondok memiliki keunggulan dalam kegiatan fotosintesis, penyediaan
oksigen dan penyerapan sinar matahari. Bagian dinding permukaan akar, batang dan
daunnya memiliki lapisan yang sangat peka sehingga pada kedalaman yang ekstrem
sampai 8 meter di bawah permukaan air masih mampu menyerap sinar matahari serta
zat-zat yang larut di bawah permukaan air. Akar, batang, dan daunnya juga memiliki
kantung-kantung udara sehingga mampu mengapung di air. Keunggulan lain dari
eceng gondok adalah dapat menyerap senyawa nitrogen dan fosfor dari air yang
tercemar, berpotensi untuk digunakan sebagai komponen utama pembersih air limbah
dari berbagai industri dan rumah tangga. Karena kemampuanya yang besar, tanaman
5
ini diteliti oleh NASA untuk digunakan sebagai tanaman pembersih air di pesawat
ruang angkasa (Little, 1979; Thayagajaran, 1984). Menurut Zimmel (2006)
danTripathi (1990) eceng gondok juga dapat digunakan untuk menurunkan
konsentrasi COD dari air limbah.
2.3. Bioetanol
Bioetanol
merupakan
bahan
bakar
yang
bersih,
hasil
pembakaran
menghasilkan CO2 dan H2O. Penambahan bahan yang mengandung oksigen pada
sistem bahan bakar akan mengurangi emisi gas CO yang sangat beracun dari sisa
pembakaran. Aditif MTBE pada mulanya dipergunakan untuk meningkatkan nilai
oktan, namun saat ini dilarang dipergunakan. MTBE dapat dideteksi dan
menyebabkan pencemaran pada air tanah sehingga alkohol merupakan alternatif
yang menarik untuk mengurangi emisi gas CO. Penggunaan alkohol murni dibanding
dengan bensin secra umum akan mengurangi kadar CO2 hingga 13% karena
merupakan hasil dari pertanian. Seperti diketahui produk pertanian memerlukan
gas CO2 untuk metabolismenya. Bioetanol merupakan etanol yang diperoleh melalui
proses fermentasi biomassa dengan bantuan mikroorganisme. Selain bioetanol
dikenal pula gasohol, yang merupakan campuran bioetanol dengan premium.
Misalnya gasohol E-10 mengandung bioetanol 10% dan sisanya premium. Bioetenol
yang mengandung 35% oksigen dapat meningkatkan efesiensi pembakaran dan
mengurangi emisi gas rumah kaca. Keuntungan lain dari bioetanol adalah nilai
oktannya lebih tinggi dari premium sehingga dapat menggantikan fungsi bahan
aditif seperti MTBE dan TEL. Bioetanol dapat langsung dicampur dengan premium
pada berbagai komposisi sehingga dapat meningkatkan efesiensi dan emisi gas
buang yang lebih ramah lingkungan.
Bioetanol dapat diproduksi dari berbagai bahan baku yaitu saccharine
material, starchy material dan lignocellulose material (Pandey, 2009). Saccharine
material dapat langsung difermentasi untuk menghasilkan etanol. Starchy material
perlu dilakukan hidrolisis terlebih dahulu sebelum difermentasi. Lignocellulose
material perlu dilakukan pretreatment untuk mendegradasi strukturnya yang
6
kompleks. Produksi bioetanol terdiri dari beberapa proses, yaitu pretreatment,
hidrolisis dan fermentasi.
2.3.1 Pretreatment
Pretreatment biomassa lignoselulosa harus dilakukan untuk mendapatkan hasil
yang tinggi di mana penting untuk pengembanganteknologi biokonversi dalam skala
komersial. Sebagai contoh pretreatmentyang baik dapat mengurangi jumlah enzim
yang digunakan dalam proseshidrolisis. Pretreatment dapat meningkatkan hasil gula
yang diperoleh. Gula yang diperoleh tanpa pretreatment kurang dari 20%,
sedangkandengan pretreatment dapat meningkat menjadi 90% dari hasil teoritis.
Tujuan dari pretreatment adalah untuk membuka struktur lignoselulosa agar
selulosa menjadi lebih mudah diakses oleh enzim yang memecah polymer
polisakarida menjadi monomer gula. Menurut (Sun & Cheng, dalam Isroi, 2008)
pretreatment seharusnya memenuhi kebutuhan berikut ini:
1. Meningkatkan pembentukan gula atau kemampuanmenghasilkan gula pada
proses berikutnya melalui hidrolisis enzimatik;
2. Menghindari degradasi atau kehilangan karbohidrat;
3. Menghindari pembentukan produk samping yang dapat menghambat proses
hidrolisisdan fermentasi,
4. Biaya yang dibutuhkan ekonomis.
2.3.2 Fermentasi
Beberapa spesies mikroba dari kelompok yeast/khamir, bakteri danfungi dapat
memfermentasi karbohidrat menjadi ethanol dalam kondisi bebas oksigen. Mikroba
melakukan fermentasi tersebut untuk mendapatkan omoge dan untuk tumbuh. Reaksi
yang terjadi dalam proses fermentasi pembuatan etanol adalah sebagai berikut:
C6H12O6
2 C2H12OH + 2 CO2
Metode fermentasi untuk gula C6 telah diketahui dengan baik sejak paling tidak 6000
tahun yang lalu, ketika orang-orang Sumeria, Babylonia,dan Mesir mulai membuat
bir dari nira. Mikroba yang sangat umum dimanfaatkan dalam proses fermentasi
adalah
ragi
roti
(Saccharomyces
cereviseae)
7
dan
Zymomonas
mobilis.
Saccharomyces cereviseae memiliki banyak keunggulan antara lain adalah mampu
memproduksi ethanol darigula C6 (heksosa), toleran terhadap konsentrasi etanol yang
tinggi
dan
toleran
hidrolisat biomassa
terhadap
lignoselulosa
senyawa
(Olsson
inhibitor
and
yang
terdapat
Hahn-Hägerdal
didalam
dalam
Isroi,
2008). Namun demikian, strain liar dari S. cerevieae tidak dapat memfermentasi gula
C5 (pentose) seperti: xylosa, arabinosa dan celloligosaccharides ,menjadi salah satu
kendala pemanfaatannya. Beberapa yeast diketahui dapat memfermentasi xylosa
seperti: Pichia stipitis (Verduyn et al. dalamIsroi, 2008).
8
BAB III
METODE DAN HASIL
3.1. Perlakuan Pendahuluan Terhadap Eceng Gondok
Bahan baku yang digunakan untuk percobaan adalah eceng gondok jenis kelas
Monocotylodenae dan keluarga Pontederiaceae yang berasal dari Kota Makassar.
Eceng gondok sebanyak 10 kg dibersihkan dari kotoran seperti pasir dan lumut
kemudian
dipotong-potong
±1-2
cm.
Pencucian
dilakukan
dengan
cara
meyemprotkan air ke eceng gondok. Kemudian direndam semalam lalu dicuci
kembali dan direndam kembali, pekerjaan tersebut dilakukan selama 3 hari. Setelah
itu eceng gondok tersebut dikeringkan dahulu pada suhu 105°C selama 16 jam Eceng
gondok yang telah dikeringkan diperkecil ukurannya hingga lolos 100 mesh.
Selanjutnya eceng gondoksiap untuk di treatment sesuai dengan kondisi operasi yang
telah ditetapkan.
3. 2. Perlakuan Hidrothermal
Pengaruh suhu, waktu operasi dan pH larutan terhadap kerusakan struktur sel
eceng gondok diteliti dengan melakukan perlakuan hidrothermal pada tekanan 1 atm.
Penelitian pada tekanan 1 atm (101,35 kPa) juga dilakukan sebagai kondisi
kontrol/pembanding. Penelitian ini juga dilakukan dengan memvariasikan suhu
(120°C,150°C dan 170°C)selama 30 dan 60 menit serta pH larutan dengan ada/tanpa
penambahan larutan buffer (10 g eceng gondok dalam 500 ml buffer asetat).
3. 3. Filtrasi (memisahkan ampas dan hidrolisat)
Tahap berikutnya adalah menyaring hidrolisat yang diperoleh dengan dibantu
oleh kerja pompa vakum. Analisa dilakukan di awal maupun diakhir proses, yaitu
analisa glukosa dari bahan baku eceng gondok, kadar lignin dan strukturnya.
3.3.1
Analisa Kadar Gula Metode Luff Schoorl
Dipipet 10 ml substrat ke dalam labu takar kemudian diimpitkan dengan
aquades hingga tanda batas lalu dipipet 25 ml ke dalam erlenmeyer
Ditambahkan 25 ml larutan Luff Schoorl dan 15 ml aquades
9
Ditutup erlenmeyer dengan aluminium foil kemudian dididihkan selama 10
menit.
Setelah dingin ditambahkan 2 g KI dan 25 ml larutan H2SO4 4 N
Dititrasi dengan larutan Natrium Tiosulfat 0,1 N (yang sudah distandarisasi)
dan menggunakan kanji 3 % sebagai indikator. Untuk memperjelas perubahan
warna pada saat titrasi sebaiknya kanji ditambahkan pada saat titrasi hampir
berakhir.
Dicatat volume penitar yang digunakan (a ml).
Dilakukan hal yang sama untuk blangko menggunakan aquades (b ml)
3.3.2
Analisa Kandungan Selulosa dan Lignin Dengan Metode Chesson
Ditimbang sampel kering sebanyak 1 gram (berat a), ditambahkan 150 ml
aquades dan dipanaskan pada suhu 100°C selama 1 jam.
Disaring dan residu dicuci dengan air panas 300 ml, kemudian dikeringkan
dengan oven pada suhu 105°C selama 30 menit kemudian ditimbang (berat b)
Ditambahkan 150 ml H2SO4 1 N, kemudian merefluks selama 1 jam pada
suhu 100°C.
Disaring dan padatan dicuci dengan aquadest sampai netral
Dikeringkan hingga berat konstan (berat c)
Ditambahkan 100 ml H2SO4 72 % dan membiarkan selama 4 jam pada suhu
kamar. Menambahkan 150 ml H2SO4 1 N dan merefluks pada suhu 100° C
selam 1 jam.
Disaring dan padatan dicuci dengan aquadest sampai netral, mengeringkan di
dalam oven pada suhu 1050C sampai diperoleh berat konstan (berat d)
Selanjutnya diabukan di dalam tanur pada suhu 800°C
Didinginkan dalam eksikator dan menimbangnya (berat e)
Dihitung kadar selulosa dan lignin dengan rumus
% Selulosa =
10
c−d
a
x 100%
% Lignin =
d−e
a
x 100%
3. 4. Hidrolisis
Mengambil eceng gondok yang sudah halus dan kering sebanyak 10 gram ke
dalam gelas kimia dan melarutkan dengan buffer asetat pH 4,6 sebanyak 500 ml
untuk hidrolisis melakukan proses pemanasan sesuai suhu optimum yang di dapatkan
dari pengujian kadar gula. Ke dalam gelas kimia tersebut ditambahkan inokulum
(mengambil 10-15 % dari larutan tersebut, lalu menambahkan 1,5 g ekstrat ragi, 20 g
glukosa dan 1,5 g Na3PO4 di sterilkan selama 15 menit suhu 121°C, lalu ditambahkan
secuil mikroba Trichoderma ressei yang telah diremajakan dan dishaker selama 48
jam) sisa dari larutan tersebut sebagai media fermentasi, selanjutnya memasukkan
inokulum tersebut ke dalam media fermentasi, menguji kadar gulanya
dengan tujuan mencari waktu optium untuk proses hidrolisis.
3. 5. Fermentasi
Hasil dari proses hidrolisis kemudian dipanaskan pada suhu 121°C selama 15
menit, membuat media inokulum (mengambil 10-15 % dari larutan tersebut, lalu
menambahkan 1,5 g ekstrat ragi, 20 g glukosa dan 1,5 g Na 3PO4 di sterilkan selama
15 menit suhu 121 0C, lalu ditambahkan sedikit mikroba Saccharomyces cereviseae
yang telah diremajakan, lalu ditambahkan 0,15 g urea, NPK 0,15 g dan dishaker
selama 24 jam) sisa dari larutan tersebut digunakan sebagai media fermentasi
ditambahkan urea 2,4 g dan NPK 2,4 g bagian dari volume fermentasi larutan tersebut
dan didiamkan selama 7-8 hari. Dengan reaksi fermentasi sebagai berikut:
C6H12O6
2CO2 + 2C2H5OH
Pada hari pertama pemberian ragi tidak langsung terjadi reaksi karena bakteri
butuh waktu yang agak lama untuk berkembang. Setelah kurang lebih 3 hari
perbedaan eceng gondong hasil hidrolis (hidrolisat) hari pertama dan hari ke tiga
mulai tampak. Dan setelah 7 hari dihasilkan gelembung - gelembung udara pada
eceng gondok tampak agak kekuningan di banding hari sebelumnya. Gelembung
11
tersebut merupakan hasil fermentasi dimana dihasilkan gas CO 2 dan etanol serta
energi yang berupa panas.
3. 6. Penyulingan
Untuk mendapatkan etanol hasil fermentasi perlu dilakukan pemisahan yaitu
dengan cara penyulingan atau distilasi pada suhu 80°C dan suhu ini harus
dipertahankan, karena etanol sendiri menguap pada suhu tersebut. Uap etanol yang
dihasilkan dikembalikan ke fase cair dengan cara kondensasi sehingga didapatkan
etanol. Pada penyulingan pertama biasanya dihasilkan etanol 50%-60%.
3.6.1
Pengujian kadar etanol dengan indes bias
Dibuat kurva standar (campuran larutan air –etanol dengan indeks bias)
Dipipet hasil fermentasi untuk 2 hari dan dianalisa
Kadar etanol yang di dapatkan dapat dilihat melalui kurva standar
3.6.2 Pengujian kadar etanol dengan alat kromatografi gas
Alat dinyalakan dan ditunggu hingga 10-15 menit.
Dipipet etanol 98 % dengan alat syrine lalu dimasukan ke alat injeksi GC dan
menekan tombol sambil menunggu pembacaan kadar etanol pada komputer.
3.7
Hal sama dilakukan untuk kedua sampel tersebut
HASIL
Tabel 5.1.1 Kadar Glukosa dari Proses Hidrothermal
12
Grafik 1. Hubungan Kadar Glukosa vs Temperatur-waktu
- Tabel 5.1.2 Pengujian Kadar lignin dan Selulosa
13
- Pengujian Kadar Etanol Dengan Alat Indeks Bias
Tabel 5.1.3 Kurva Standar
Tabel5.1.4 Sampel
14
- Pengujian Kadar Etanol dengan Alat GC setelah Pemurnian Kedua
15
3.8 Pembahasan
Pada tabel 5.1.1 menunjukkan kadar glukosa pada eceng gondok dengan
pemanasan 170°C dengan waktu 60 menit adalah 5,78 % (b/b) sementara kadar lignin
33,4 % dan selulosa adalah 13,1 %. Melihat kadar gula pada pemanasan 170 °C
dengan waktu 60 menit lebih banyak daripada pemanasan sampel lain. Sehingga
pemanasan 170°C waktu 60 menit dijadikan patokan untuk melanjutkan ketahap
hidrolisis. Selain itu, dari grafik hubungan antara kadar glukosa dan temperatur
terlihat bahwa kadar glukosa setelah proses hidrothermal berbanding lurus. Dimana
semakin tinggi suhu yang digunakan dalam proses hidrothermal maka semakin besar
pula kandungan glukosa yang dihasilkan. Hal ini menandakan bahwa dalam proses
hydrothermal terjadi pengerusakan ikatan lignin sehingga pada saat hidrolis enzim
dengan mudah masuk ke dalam struktur selulosa karena ikatan lignin telah terbuka
oleh proses hidrothermal. Akan tetapi, pada kondisi suhu 170°C kadar glukosa yang
dihasilkan pada waktu 30 menit dan 60 menit sudah tidak memiliki selisih kandungan
glukosa yang besar dengan kata lain, kadar glukosa pada temperatur tersebut telah
konstan.
Hidrolisis eceng gondok sendiri menggunakan mikroba Trichoderma reseei
guna menghasilkan enzim selulase agar dapat merombak struktur selulosa eceng
gondok sehingga memudahan pembentukan etanol dikarenakan adanya lignin yang
menghambat proses pembentukan. Berdasarkan gambar struktur eceng gondok
sebelum dan sesudah proses hidrolisis nampak jelas bahwa enzim selulase yang
16
dihasilkan oleh Trichoderma reseei membuka struktur eceng gondok. Dengan
terbukanya struktur eceng gondok maka memudahkan ke proses fermentasi
menggunakan Saccharomyces cerevisiae. Pada proses fermentasi kedua, bakteri
Saccharomyces cerevisiae dapat mengubah glukosa menjadi etanol dan gas CO 2.
Untuk mendapatkan etanolnya diperlukan perlakuan seperti pH antara 4,5-4,8, suhu
sekitar 38-40°C dan difermentasi sampai 7 hari. Sebab waktu maksimal membentuk
etanol adalah pada hari ke-7.
Untuk metode pengujian selanjutnya, volume yang diambil dari hasil
fermentasi adalah 100 ml dari 400 ml. Untuk menghitung kadar etanol yang terbentuk
setelah destilasi pertema menggunakan alat indeks bias, sebaiknya menggunakan
kurva standar dengan membuat larutan etanol-air kemudian diuji dengan alat indeks
bias, selanjutnya untuk mengetahui kadar etanol dari masing-masing sampel
berdasarkan harinya menggunakan metode ploting. Sehingga didapatkan kadar etanol
dari hari ke 2-7 adalah 1.7, 1.9, 1.6, 1.7, 1.0 dan 2.5 %. Adapun kadar etanol yang
terbentuk tidak konstan dikarenakan kemungkinan saat destilasi terjadinya
penguapan.
Untuk destilasi kemurnian konsentrasi etanol yang diambil adalah 1,9 dan
2.5% dari jumlah volume awal 100 ml dan setelah di destilasi menjadi 6 ml dan 9 ml.
Selanjutnya dilakukan pengujian etanol menggunakan alat GC guna mengetahui
kadar kemurnian etanol sebenarnya. Hasil dari pengujian kemurnian etanol adalah
6,2% dan 6,4%.
3.9 Ketersediaan jumlah bahan baku eceng gondok jika dibandingkan dengan
ketersediaan bahan baku yang lain.
Selain eceng gondok, ada beberapa tanaman yang digunakan sebagai bahan
baku pembuatan bioetanol. Bahan berserat (selulosa) seperti sampah organik dan
jerami padi pun saat ini telah menjadi salah satu alternatif penghasil ethanol. Bahan
baku tersebut merupakan tanaman pangan yang biasa ditanam rakyat hampir di
seluruh wilayah Indonesia,sehingga jenis tanaman tersebut merupakan tanaman yang
potensial untuk dipertimbangkan sebagai sumber bahan baku pembuatan bioethanol.
17
Namun dari semua jenis tanaman tersebut, ubi kayu merupakan tanaman yang
setiap hektarnya paling tinggi dapat memproduksi bioethanol. Selain itu
pertimbangan pemakaian ubi kayu sebagai bahan baku proses produksi bioethanol
juga didasarkan pada pertimbangan ekonomi. Pada ubi kayu, kandungan gula yang
ada didalamnya sebesar 250-300 kg dan jumlah hasil konversi bioetanol adalah
sebesar 166,6 liter. Nilai tersebut merupakan angka yang sangat tinggi. Tetapi untuk
menghasilkan ubi kayu yang banyak diperlukan penanaman dan pemeliharaan yang
baik serta membutuhkan biaya tambahan.
Oleh karena itu, bahan baku yang sangat cocok saat ini di daerah Kalimantan
Selatan sebagai bahan baku pembuat etanol adalah eceng gondok, karena selain tidak
membutuhkan biaya dalam memperolehnya, kita juga dapat mengurangi produksi
eceng gondok di rawa atau sungai sebagai gulma yang merugikan lingkungan.
18
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat pada makalah ini adalah:
1. Waktu yang digunakan untuk mendapatkan kadar glukosa yang optimum pada
proses hydrothermal yaitu selama 60 menit.
2. Temperatur pada proses hydrothermal berbanding lurus dengan kadar glukosa
yang dihasilkan, tetapi pada suhu optimum kadar glukosa mancapai pada
keadaan konstan.
3. Pada kondisi optimum dalam proses hydrothermal, terjadi kerusakan struktur
sel
ecang
gondok.
Sehingga
mampu
merombak
hemiselulosa
dan
menghasilkan glukosa yang optimal.
4. Kandungan bioetanol yang diperoleh dari hasil fermentasi dan pemisahan
destilasi adalah 6,2% dan 6,4%.
3.2. Saran
Untuk
penelitian
selanjutnya,
pemisahan
etanol-air
sebaiknya
menggunakan destilasi fraksionasi agar etanol yang dihasilkan tidak terlalu
banyak mengandung air. Sehingga dapat diperoleh etanol yang benar-benar
merupakan hasil dari fermentasi melalui proses hidrothermal.
19
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1966. Eceng Gondok
http://id.wikipedia.org/wiki/Eceng_gondok
Diakses pada tanggal 20 Februari 2015
Dayana Chane. 2014. Pembuatan Bioetanol dari Eceng Gondok Melalui Proses
Hydrotermal
https://www.academia.edu/4850688/pembuatan_bioetanol_dari_eceng_gondok
melalui_proses_hydrothermal
Diakses pada tanggal 04 Maret 2015
Dyan, P. M., Dahlina, R., dan Nurul, U. 2013. Potensi Pembuatan Etanol dari Eceng
Gondok Melalui Proses Hidrothermal. Politeknik Negeri Ujung Pandang,
Makassar.
Fitri, M. dan Yulinah, T. 2011. Produksi Bioetanol Dari Eceng Gondok (Eichhornia
Crassipes) dengan Zymomonas Mobilis dan Saccharomyces Cerevisiae.
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XIII Program Studi MMTITS
Glori K. Wadrianto.2012. Danau Tondano Dikepung Eceng Gondok,
http://travel.kompas.com/read/2012/11/01/09005234/Danau.Tondano.Dikepung
.Eceng.Gondo
Diakses pada tanggal 04 Maret 2015
MAKALAH
“POTENSI PEMBUATAN ETANOL DARI ECENG GONDOK”
OLEH
ZAKIYATUR ROFI’AH
J1B112049
ZAKIYATIR RAHMI
J1B112050
MUTIARA DWI SAPTARINI
J1B112053
PROGRAM STUDI S-1 KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2015