83269101 Indeks Def t Dan DMF T Pada Siswa Tunarungu Di SLB B Negeri Cicendo Bandung
SKRIPSI
Diajukan untuk Menempuh Ujian Sarjana Pada Fakultas Kedokteran Gigi
Universita Padjadjaran NUNI PRASTIKA ATMANDA UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI BANDUNG 2011
INDEKS def-t DAN DMF-T PADA SISWA TUNARUNGU DI SLB B NEGERI CICENDO BANDUNG
SKRIPSI NUNI PRASTIKA ATMANDA UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI BANDUNG 2011
JUDUL : INDEKS def-t DAN DMF-T PADA SISWA TUNARUNGU DI SLB B NEGERI CICENDO BANDUNG
PENYUSUN : NUNI PRASTIKA ATMANDA NPM
Bandung, Juni 2011 Menyetujui :
Pembimbing Utama
Dra. Cucu Zubaedah, M. Kes NIP. 19621205 198910 2 001
Pembimbing Pendamping
Drg. Riana Wardani, M. S NIP. 19561128 198403 2 002
!"# $%&'
Indeks def-t dan DMF-T pada Siswa Tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung- Nuni Prastika Atmanda- 160110070047
ABSTRAK
Anak tunarungu adalah anak yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen dan biasanya memiliki hambatan dalam berbicara, sehingga mereka biasa disebut tunawicara. Sebagian besar penderita cacat tunarungu mepunyai kebersihan mulut yang lebih buruk dibandingkan dengan individu normal. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui indeks def-t dan DMF-T pada siswa tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan metode survei. Populasi yang diteliti adalah siswa tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung sebanyak 89 siswa. Sampel diambil dengan teknik total sampling. Data hasil penelitian dikategorikan berdasarkan kategori karies menurut WHO.
Hasil penelitian menunjukkan indeks def-t pada siswa tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung adalah 3,04 dan indeks DMF-T pada siswa tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung adalah 2,13.
Simpulan dari penelitian adalah indeks def-t pada siswa tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung termasuk kategori sedang dan indeks DMF-T pada siswa tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung termasuk kategori rendah.
Kata kunci : tunarungu, indeks def-t, indeks DMF-T
iv iv
ABSTRACT
Children with hearing impairment are children who have complete or partial loss of the ability to hear, and they usually have problem in speaking. Oral hygiene in most of people with physical and mental disability are worse than in normal people. The goal of this research is to get the information about def-t and DMF-T index in student with hearing impairment in SLB B Negeri Cicendo Bandung.
The study is descriptive with survey method. Population inspected were 89 students with hearing impairment in SLB B Negeri Cicendo Bandung. Sample was taken by total sampling technique. The result from this study categorized based on WHO caries category.
The study showed that def-t index in student with hearing impairment in SLB
B Cicendo Bandung was 3.04 and index DMF-T was 2.13. The conclusion of this study is def-t index in student with hearing impairment in SLB B Negeri Cicendo Bandung is categorized moderate and DMF-T index in student with hearing impairment in SLB B Negeri Cicendo Bandung is categorized low.
Keywords: hearing impairment, def-t index, DMF-T index
Kata Pengantar
Puji dan syukur kepada Allah SWT, atas segala karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Indeks DMF-T dan def-t pada Siswa Tunarungu di SLB B Cicendo Bandung” dalam melengkapi tugas dan memenuhi syarat dalam menyelesaikan program Sarjana Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Bandung.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bimbingan, pengarahan, saran-saran dan bantuan dari berbagai pihak oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. H. Eky. S. Soeria Soemantri, drg., Sp. Ortho, selaku dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran.
2. Dra. Cucu Zubaedah, M. Kes sebagai dosen pembimbing utama yang telah meluangkan waktu, membimbing dan mengarahkan penulis hingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
3. Drg. Riana Wardani, M. S sebagai dosen pembimbing pendamping yang telah memberikan bimbingan dan saran-saran dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini.
4. Hj. Yuliawati Zenab, drg, Sp. Ort sebagai dosen wali akademik yang telah banyak memberikan dukungan moril selama masa pendidikan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran.
vi vi
5. Seluruh staf pengajar, staf akademik, dan staf perpustakaan FKG Unpad yang telah banyak membantu penulis selama berkuliah di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padajadjaran.
6. Kepala sekolah dan guru-guru SLB B Negeri Cicendo Bandung yang telah bersedia dan membantu penulis hingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik.
7. Sahabat-sahabatku Fatimah, Diana, Indri, Dica, Uchi, Dina (partner skripsiku), kelompok klinik VI A, serta rekan-rekan mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran angkatan 2007, yang telah memberikan dorongan dan semangat dalam melaksanakan penelitian dan penyusunan skripsi ini.
8. Mamah, Bapak, Nenek, Ega dan keluarga tercinta yang selalu memberikan dukungan dan doa selama pendidikan.
9. Semua pihak yang telah membantu, yang tidak dapat penulis sebutkan satu- persatu.
Semoga segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan dari Allah SWT. Akhir kata, harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi bidang kedokteran gigi khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Bandung, Juli 2011 Penulis
DAFTAR TABEL
No. Tabel Halaman
2.1 Kode Pemeriksaan Karies dengan Indeks WHO ...................................... 19
2.2 Jumlah Siswa di SLB B Cicendo Bandung ............................................... 28
4.1 Distribusi Siswa Berdasarkan Jenis Kelamin dan Tingkat Pendidikan. ... 36
4.2 Data def-t Pada Siswa TKLB di SLB B Negeri Cicendo Bandung .......... 37
4.3 Data DMF-T Pada Siswa TKLB di SLB B Negeri Cicendo Bandung ..... 38
4.4 Data def-t Pada Siswa SDLB di SLB B Negeri Cicendo Bandung .......... 38
4.5 Data DMF-T pada siswa SDLB di SLB B Negeri Cicendo Bandung ...... 39
4.6 Data DMF-T Pada Siswa SMPLB di SLB B Negeri Cicendo Bandung... 39
4.7 Data DMF-T Pada Siswa SMALB di SLB B Negeri Cicendo Bandung. . 40
4.8 Indeks def-t dan DMF-T Pada Siswa SLB B Negeri Cicendo Bandung. . 41
4.9 Indeks def-t dan DMF-T pada siswa laki-laki dan perempuan di SLB B Negeri Cicendo Bandung .......................................................................... 41
4.10 Indeks def-t dan DMF-T pada siswa SLB B Negeri Cicendo ................... 42
xii
DAFTAR GAMBAR
No. Gambar Halaman
2.1 Faktor Penyebab Terjadinya Karies .......................................................... 11
xiii
DAFTAR DIAGRAM
No. Diagram Halaman
2.2 Klasifikasi Ketunarunguan ........................................................................ 24
xiv
DAFTAR BAGAN
No. Bagan Halaman
1.1 Kerangka Pemikiran .................................................................................. 6
xv
DAFTAR LAMPIRAN
No. Lampiran Halaman
1. Surat Permohonan Izin Penelitian dari Fakultas Kedokteran Gigi
2. Surat Pemberitahuan dari BPKBPM Kota Bandung
3. Surat Izin dari Dinas Pendidikan Kota Bandung
4. Surat Keterangan dari Dinas Kesehatan Kota Bandung
5. Surat Keterangan dari SLB Negeri Cicendo Bandung
6. Surat Persetujuan Penelitian
7. Formulir Pemeriksaan Gigi dan Mulut
8. Tabel def-t dan DMF-T pada Siswa Tunarungu di SLB B Cicendo
xvi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomi. Penyelenggaraan pembangunan kesehatan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, perlindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender, nondiskriminatif serta norma-norma agama. Oleh sebab itu sudah sewajarnya bila hasil dari pembangunan kesehatan dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia, sehingga terdapat peningkatan kesejahteraan lahir maupun batin dan peningkatan derajat kesehatan secara merata (Kementrian Kesehatan RI, 2010).
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan menyebutkan bahwa upaya pemeliharaan kesehatan penyandang cacat harus ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial, ekonomi dan bermartabat (Kementrian Kesehatan RI, 2010).
Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik, dan atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layaknya. Penyandang cacat terdiri dari penyandang cacat fisik, cacat mental, cacat fisik dan mental (UU No.4 tahun 1997).
Orang yang memiliki masalah pendengaran selalu disalah tanggap dengan seorang yang normal karena kecacatan mereka tidak terlihat, seperti pada mereka yang memiliki masalah penglihatan dan cacat mental. Mereka juga kurang mendapat simpati seperti halnya mereka yang mempunyai masalah penglihatan (Muhammad, 2008).
Tunarungu adalah suatu istilah umum yang menunjukkan kesulitan mendengar dari yang ringan sampai berat, digolongkan ke dalam tuli dan kurang mendengar. Orang tuli adalah orang yang kehilangan kemampuan mendengar sehingga menghambat proses informasi bahasa melalui pendengaran, baik memakai ataupun tidak memakai alat bantu dengar di mana batas pendengaran yang dimilikinya cukup memungkinkan keberhasilan proses informasi bahasa melalui pendengaran (Kementrian Pendidikan Nasional, 2010). Perilaku orang-orang yang mengalami tunarungu dengan segala keterbatasan yang dimilikinya tentunya memerlukan pelayanan kesehatan yang cukup memadai untuk menjaga kesehatan gigi dan mulutnya.
Tunarungu adalah salah satu jenis cacat yang cukup banyak terdapat di Indonesia. Berdasarkan data dari GERKATIN (Gerakan Untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia) bahwa jumlah penyandang cacat adalah 6% dari jumlah penduduk Indonesia dan sebanyak 2, 9 juta atau sekitar 1,25 % dari total keseluruhan penduduk Indonesia adalah penyandang tunarungu (GERKATIN, 2008).
Dalam ilmu kedokteran gigi, perawatan penderita cacat disadari masih dalam tahap awal, dan perlu mendapat perhatian untuk ditingkatkan kesehatan gigi dan mulutnya. Sebagian besar individu penderita cacat mempunyai kebersihan mulut yang lebih buruk dibandingkan dengan individu normal, yang disebabkan diet makanan yang buruk dan kurangnya pemeliharaan di rumah, sehingga banyak gigi yang rusak dan berlubang (Maulani, 2005).
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis merasa tertarik melakukan suatu penelitian untuk mengetahui indeks def-t (decayed, indicated for extraction, filled teeth ) untuk gigi sulung, dan indeks DMF-T (decayed, missing, filled teeth) untuk gigi tetap pada siswa tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang pemilihan masalah tersebut, maka identifikasi masalah adalah: Berapa indeks def-t dan DMF-T pada siswa tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung.
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
Maksud penelitian untuk mengetahui data dan informasi mengenai status kesehatan gigi dan mulut pada siswa tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung. Tujuan penelitian ini yaitu untuk medapatkan indeks def-t dan DMF-T pada siswa tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung.
1.4 Kegunaan Penelitian
1. Dapat memberikan informasi mengenai indeks def-t dan DMF-T pada siswa tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung.
2. Untuk dapat dijadikan dasar bagi penelitian lebih lanjut bagi lembaga lainnya di dalam upaya pembinaan kesehatan gigi dan mulut pada orang-orang cacat.
3. Membantu penulis dalam meningkatkan keterampilan melakukan penelitian dan dalam menulis suatu karya ilmiah yang merupakan bagian dari tahapan persiapan dalam pengabdian kepada masyarakat kelak.
1.5 Kerangka Pemikiran
Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau (Undang-Undang No. 36 Tahun 2009). Pelayanan kesehatan juga mencakup pelayanan kesehatan pada penderita cacat.
Penderita cacat, yaitu penderita yang mengalami hambatan rohani dan atau jasmani, sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangan dalam menjalankan fungsi sosialnya. Penderita cacat di Indonesia dapat diklasifikasikan berdasarkan cacat netra, cacat tubuh, cacat mental, dan cacat rungu wicara (Maulani, 2005).
Anak tunarungu adalah anak yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen dan biasanya memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara (Kementrian Kesehatan RI, 2010). Keterbatasan yang dimiliki tunarungu membuat mereka kesulitan dalam Anak tunarungu adalah anak yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen dan biasanya memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara (Kementrian Kesehatan RI, 2010). Keterbatasan yang dimiliki tunarungu membuat mereka kesulitan dalam
Orang yang tunarungu biasanya memiliki kebiasaan bernafas melalui mulut (Anonimous, 2010). Kebiasaan bernafas melalui mulut dapat menyebabkan xerostomia. Xerostomia merupakan kekeringan pada mulut akibat disfungsi kelenjar saliva. Mulut kering dapat meningkatkan terjadinya kerusakan gigi, karena berkurangnya saliva merupakan faktor predisposisi pada penambahan insiden karies, penyakit periodontal, dan infeksi oral, terutama kandidosis (Fox, 2008).
Status karies seseorang dapat diukur dengan indeks karies agar penilaian yang diberikan pemeriksa sama atau seragam. Ada beberapa indeks karies yang biasa digunakan seperti indeks DMF yang diperkenalkan oleh Klein H, Palmer CE, Knutson JW dan indeks WHO, namun belakangan ini diperkenalkan indeks Significant Caries (SiC) untuk melengkapi indeks WHO sebelumnya (Pintauli dan Hamada, 2008).
Indeks DMF digunakan untuk mengukur pengalaman seseorang terhadap karies gigi. Pemeriksaannya meliputi pemeriksaan pada gigi (DMF-T) dan permukaan gigi (DMF-S). Sedangkan def-t dan def-s (decayed, indicated for extraction, filled surface ) digunakan untuk gigi sulung (Burt and Eklund, 2005).
Penelitian ini dilakukan pada siswa tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung dengan melihat keadaan giginya untuk melihat gigi yang karies, ditambal dengan tambalan tetap, diindikasikan untuk dicabut pada gigi slulung atau dicabut karena karies.
UU No. 36 Tahun 2009
Penyandang Cacat
Cacat tubuh
Cacat netra
Cacat rungu wicara
Cacat mental
Keterbatasan - Dalam pendengaran - Dalam berbicara
Kondisi Oral Kondisi Oral - Bernafas melalui mulut - Peningkatan Infeksi Periodontal - Peningkatan terhadap risiko karies
Indeks Karies Indeks Karies
Indeks def-t Indeks def-t
Indeks DMF-T
Bagan 1.1. Kerangka Pemikiran
1.6 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan metode survei.
1.7 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan terhadap siswa tunarungu dari TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB di SLB B Negeri Cicendo Bandung pada bulan Maret 2011 dan April 2011.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karies Gigi
2.1.1 Definisi Karies
Karies berasal dari bahasa latin yaitu caries yang berarti pembusukan. Karies gigi merupakan suatu destruksi yang terlokalisir pada jaringan gigi yang disebabkan oleh mikroorganisme (Pine and Harris, 2007).
Karies didefinisikan sebagai destruksi yang terlokalisir pada jaringan gigi karena fermentasi karbohidrat oleh bakteri (Samaranayake, 2006). Karies adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh mikroba yang dimulai dengan demineralisasi komponen anorganik gigi, kemudian terjadi destruksi komponen organik, yang akan menyebabkan terbentuknya kavitas (Hiremath, 2007).
2.1.2 Klasifikasi Karies
Pada tahun 1908, GV Black mempublikasikan klasifikasi karies berdasarkan lokasinya pada gigi (Fejerskov and Kidd, 2003): Kelas 1: lesi terletak pada pit dan fisur pada bagian gigi manapun. Kelas 2: lesi terletak pada permukaan proksimal gigi premolar dan molar. Kelas 3:lesi terletak pada permukaan proksimal incisivus dan caninus yang tidak
memerlukan pembuangan dan restorasi pada sudut incisal.
Kelas 4: lesi terletak pada permukaan proksimal gigi incisivus dan caninus yang memerlukan pembuangan dan restorasi pada sudut incisal. Kelas 5: lesi terletak pada 1/3 gingival pada permukaan labial, buccal atau lingual. Berdasarkan letak lesinya, lesi karies dibedakan menjadi (Samaranayake, 2006):
1. Karies pada pit dan fisur (terdapat pada gigi molar, premolar, dan permukaan lingual gigi incisivus rahang atas).
2. Karies pada permukaan yang licin (terdapat pada permukaan aproximal, sedikit di bawah titik kontak).
3. Karies pada permukaan akar (terdapat pada sementum atau dentin).
4. Karies rekuren (berhubungan dengan restorasi yang sudah ada).
G. J.Mount dan W. R. Hume memperkenalkan klasifikasi lesi karies yang baru, yaitu berdasarkan letak (site) dan ukuran (size). Klasifikasi ini dirancang untuk mempermudah identifikasi lesi dan untuk menjelaskan kompleksitas karena perbesaran lesi.
Lesi karies berdasarkan letaknya dibedakan menjadi: Site 1 : pit, fisur dan defek enamel pada bagian oklusal pada gigi posterior atau permukaan halus lainnya seperti cingulum pada gigi anterior. Site 2 : enamel pada bagian aproximal. Dalam hal ini, area yang berkontak dengan gigi tetangga. Site 3 : bagian servikal sepertiga mahkota gigi atau yang disertai resesi gingival, akar yang terbuka.
Karies dapat menjadi penyakit yang progresif,sehingga dapat dilihat ukuran untuk restorasi dan perluasan lesinya. Oleh karena itu, lesi karies dapat dibedakan menjadi 5 ukuran (size), yaitu : Size 1 : kavitas permukaan yang minimal,sedikit melibatkan dentin yang mampu
memperbaiki diri dengan remineralisasi itu sendiri. Size 2 : melibatkan dentin yang cukup banyak. Biasanya pada lesi ini, diperlukan preparasi kavitas menyisakan enamel dan didukung oleh dentin dengan cukup baik dan masih mampu menahan beban oklusi yang normal. Struktur gigi yang tersisa cukup kuat untuk mendukung restorasi.
Size 3 : lesi sudah cukup besar. Struktur gigi yang tersisa cukup lemah. Karies sudah melibatkan cusp atau permukaan incisal, atau sudah tidak mampu menahan beban oklusi. Biasanya kavitas perlu diperbesar sehingga restorasi dapat dibuat untuk mendukung struktur gigi yang tersisa.
Size 4 : karies yang luas atau hilangnya beberapa struktur gigi. Contoh, hilangnya semua cusp gigi atau permukaan insisal (Mount and Hume, 1998).
2.1.3 Gambaran Klinis Karies Gigi
Lesi awal karies berupa lesi yang berbatas jelas, berwarna putih seperti kapur, dan permukaan email tertembus. Lesi ini dapat sembuh atau mengalami remineralisasi, dan oleh sebab itu pada tahap ini masih bersifat reversible. Meskipun demikian, saat lesi berkembang, permukaan menjadi kasar dan terbentuk kavitas. Jika
lesi tersebut tidak ditangani, kavitas akan meluas ke dentin dan dapat menyebabkan kerusakan pulpa (Samaranayake, 2006).
2.1.4 Faktor –Faktor Penyebab Karies Gigi
Karies dinyatakan sebagai penyakit multifaktorial yaitu adanya beberapa faktor yang menjadi penyebab terbentuknya karies. Ada tiga faktor utama yang memegang peranan yaitu faktor host atau tuan rumah, agen atau mikroorganisme, substrat atau diet dan ditambah faktor waktu, yang digambarkan sebagai tiga lingkaran yang bertumpang-tindih (Pintauli dan Hamada, 2008).
Gambar 2.1 Faktor Penyebab Terjadinya Karies (Dentosca, 2010)
2.1.4.1 Faktor agen atau mikroorganisme
Bakteri kariogenik memiliki tiga sifat yang menyebabkannya berperan dalam proses karies. Bakteri tersebut harus mampu melekat pada permukan gigi, bakteri
tersebut mampu memproduksi asam (acidogenic) dan bakteri dapat bertahan hidup dan berfungsi di dalam lingkungan yang asam (aciduric) (Pinkham, 2005).
Streptococcus mutans (S. mutans dan S. sobrinus) merupakan kelompok utama bakteri yang terlibat dalam awal terjadinya demineralisasi email. Fermentasi karbohidrat yang terus menerus menyebabkan pertumbuhan Streptococcus mutans yang cepat, dan meningkatnya produksi asam organik, peningkatan matriks polisakarida ekstraseluler dan suatu perubahan relatif pada komponen mikroflora yang dapat meningkatkan risiko karies gigi (Pinkham, 2005).
Setelah terbentuk lubang pada email, lactobacilli memegang peranan yang sangat penting. Pada proses karies, saat pH pada plak mulai menurun di bawah level kritis (sekitar 5,5), asam yang dihasilkan mulai menyebabkan demineralisasi email (Cameron and Widmer, 2008).
2.1.4.2 Substrat
Faktor substrat atau diet dapat mempengaruhi pembentukan plak karena membantu perkembangbiakan dan kolonisasi mikroorganisme yang ada pada permukaan email (Pintauli dan Hamada, 2008).
Bakteri menggunakan hasil fermentasi karbohidrat untuk energi dan produk akhir glikolisis pada metabolisme bakteri adalah asam. Sukrosa merupakan karbohidrat yang paling mudah difermentasi (Cameron and Widmer, 2008).
2.1.4.3 Faktor Tuan Rumah
Dalam terjadinya proses karies, kualitas struktur gigi dan saliva merupakan faktor tuan rumah utama yang perlu diperhatikan (Cameron and Widmer, 2008). Pit dan fisur pada gigi posterior sangat rentan terhadap karies karena sisa-sisa makanan mudah menumpuk di daerah tersebut terutama pit dan fisur yang dalam. Selain itu, permukaan gigi yang kasar juga dapat menyebabkan plak mudah melekat dan membantu perkembangan karies gigi. Email merupakan jaringan tubuh dengan susunan kimia kompleks yang mengandung 97% mineral (kalsium, fosfat, karbonat, fluor), air 1% dan bahan organik 2%. Kepadatan kristal email sangat menentukan kelarutan email. Semakin banyak email mengandung mineral, maka kristal email semakin padat dan email akan semakin resisten. Gigi susu lebih mudah terserang karies daripada gigi tetap (Pintauli dan Hamada, 2008).
Pertahanan utama alami terhadap karies adalah saliva. Saliva tidak hanya menghilangkan sisa makanan dan menetralkan asam yang dihasilkan oleh plak, tetapi juga memiliki efek buffer terhadap pH pada saliva dan plak (Wellburry, 2005).
2.1.4.4 Waktu
Asam dapat menyebabkan hancurnya kristal email sehingga dapat menyebabkan kerusakan pada permukaan email. Hal ini dapat terjadi beberapa bulan sampai tahunan tergantung dari intensitas dan frekuensi konsumsi asam. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam mulut (karena mulut mengandung beberapa bakteri kariogenik) terjadi demineralisasi dan remineralisasi yang terus menerus, oleh sebab
itu seorang individu tidak pernah terbebas dari karies. Proses demineralisasi dan remineralisasi email secara konstan merupakan suatu siklus antara hilangnya dan diperolehnya mineral. Karies terjadi jika keseimbangan antara demineralisasi dan remineralisasi terganggu, sehingga demineralisasi lebih besar daripada remineralisasi. Hasil jangka panjang dari siklus ini ditentukan oleh:
1. Komposisi dan jumlah plak.
2. Konsumsi gula (frekuensi dan waktu).
3. Paparan fluoride.
4. Aliran dan kualitas saliva.
5. Kualitas email.
6. Respon imun (Cameron and Widmer, 2008).
2.1.5 Proses Terjadinya Karies Gigi
Hampir semua penelitian mengenai proses karies gigi merupakan teori kemoparasitik yang dikemukakan oleh W. D Miller pada tahun 1980. Saat ini lebih umum dikenal dengan teori acidogenic of caries aetiology (Welburry, 2005).
Pola utama proses karies adalah:
1. Fermentasi karbohidrat menjadi asam organik oleh mikroorganisme yang terdapat pada plak gigi
2. Produksi asam yang dapat menurunkan pH pada permukaan email di bawah level (pH kritis), pada saat itu email akan larut
3. Saat karbohidrat sudah tidak terdapat lagi pada plak, pH di dalam plak akan meningkat karena adanya difusi asam yang keluar dan dapat terjadi pula metabolisme dan netralisasi pada plak, sehingga dapat terjadi remineralisasi email
4. Peningkatan karies gigi hanya terjadi saat proses demineralisasi lebih besar daripada remineralisasi (Welburry, 2005).
Demineralisasi pada email gigi merupakan suatu proses kimia. Pelarutan hidroksiapatit secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut:
Ca 3-
10 (PO 4 ) 6 (OH) 2 + 10 H 10 Ca 2 + 6H(PO4) + 2H 2 O Hidroksiapatit ion hydrogen
calcium hidrogen fosfat air Demineralisasi email merupakan kehilangan mineral pada email karena aktivitas asam yang dapat menyebabkan karies gigi atau erosi. Karies gigi terutama disebabkan oleh asam asetat dan asam laktat yang berdifusi melalui plak dan masuk ke dalam pori-pori email diantara enamel rods sebagai ion netral, dimana asam asetat dan asam laktat mengalami disosiasi dan menurunkan pH cairan yang mengelilingi kristal email. Pada saat pertama kali terpisah, proton melarutkan permukaan kristal hidroksiapatit, pelarutan ini tergantung dari derajat kejenuhan apatit dan konsentrasi ion kalsium dan fosfat di dalam cairan inter-rod meningkat (Cameron and Widmer, 2008).
Buffering calcium dan fosfat pada permukaan email dan pada plak mendorong berkembangnya subsurface (atau lesi berupa titik putih). Kemudian terjadi perubahan yang diakibatkan karena peningkatan ruangan di antara batang email yang
tipis. Kelanjutan proses ini menghancurkan dukungan lapisan permukaan sehingga terbentuklah kavitas (Cameron and Widmer, 2008).
2.1.6 Pengukuran Karies Gigi
2.1.6.1 Indeks DMF
Indeks DMF, yang mencatat jumlah gigi tetap yang rusak (decayed), hilang (missing) dan ditambal (filled) (DMF-T) atau pada permukaan gigi yaitu DMF-S, pertama kali diperkenalkan oleh Klein dan Palmer dan sampai saat ini masih dipakai secara luas di seluruh dunia. Untuk gigi sulung karena kesulitan dalam membedakan apakah gigi dicabut karena karies atau karena tanggal alami, khususnya pada anak usia lebih dari 5 tahun, digunakan def-t dan df (decayed, filled) (Pine and Harris, 2007).
Semua gigi diperiksa kecuali gigi molar tiga karena gigi molar tiga biasanya tidak tumbuh, sudah dicabut atau tidak berfungsi. Indeks ini tidak menggunakan skor, pada kolom yang tersedia langsung diisi kode D, M, F dan kemudian dijumlahkan sesuai kode. Rata-rata DMF adalah jumlah seluruh nilai DMF dibagi atas jumlah orang yang diperiksa (Pintauli dan Hamada, 2008).
Indeks DMF dapat digunakan pada seluruh gigi (disebut dengan DMF-T) atau pada permukaan gigi (disebut DMF-S).
1. DMF-T DMF-T adalah jumlah gigi tetap yang mengalami karies, berupa angka yang diperoleh dengan menghitung keadaan sebagai berikut:
1) Semua gigi yang mengalami karies dimasukkan ke dalam kategori D.
2) Karies sekunder yang terjadi pada gigi dengan tumpatan permanen dimasukkan dalam kategori D.
3) Gigi dengan tumpatan sementara dimasukkan dalam kategori D.
4) Semua gigi yang hilang atau dicabut karena karies dimasukkan dalam kategori M.
5) Gigi yang hilang akibat penyakit periodontal, dicabut untuk kebutuhan perawatan ortodonti tidak dimasukkan dalam kategori M.
6) Semua gigi dengan tumpatan permanen dimasukkan dalam kategori F.
7) Gigi yang sedang dalam perawatan saluran akar dimasukkan dalam kategori F.
8) Pencabutan normal selama masa pergantian gigi geligi tidak dimasukkan dalam kategori M (Pintauli dan Hamada, 2008).
2. DMF-S DMF-S merupakan suatu pengukuran karies dengan melihat permukaan gigi yang karies. Kriteria yang digunakan berupa:
1) Permukaan gigi yang diperiksa adalah gigi anterior dengan empat permukaan, fasial, lingual, distal dan mesial sedangkan gigi posterior dengan lima permukaan yaitu fasial, lingual, distal, mesial dan oklusal.
2) Kriteria untuk D sama dengan DMF-T.
3) Bila gigi sudah dicabut karena karies, maka pada waktu menghitung permukaan yang hilang dikurangi satu permukaan sehingga untuk gigi posterior dihitung 4 permukaan dan 3 permukaan untuk gigi anterior.
4) Kriteria untuk F sama dengan DMF-T (Pintauli dan Hamada, 2008).
3. def-t def-t adalah jumlah gigi sulung yang mengalami karies dengan menghitung: 1)
d (decayed) yaitu gigi sulung yang mengalami karies, dan jika sudah direstorasi ada karies.
2) e (indicated for extraction) yaitu terdapat karies yang besar pada gigi sulung dan diindikasikan untuk dilakukan pencabutan. 3)
f (filled) yaitu gigi sulung yang karies dan sudah direstorasi tanpa adanya karies sekunder (Mishra, 2010).
2.1.6.2 Indeks Tooth Caries – WHO
Kriteria pemeriksaan seperti terlihat pada Tabel 2.1. Cara perhitungannya adalah dengan menjumlahkan semua DMF atau def. Komponen D meliputi penjumlahan kode 1 dan 2, komponen M untuk kode 4 pada subjek <30 tahun, dan kode 4 dan 5 untuk subjek >30 tahun misalnya hilang karena karies atau sebab lain. Komponen F hanya untuk kode 3. Untuk kode 6 (fisur silen) dan 7 (jembatan, mahkota khusus atau viner/implan) tidak dimasukkan dalam penghitungan DMFT (Pintauli dan Hamada, 2008).
Tabel 2.1 Kode Pemeriksaan Karies dengan Indeks WHO Kode
Gigi Gigi Sulung
Permanen
Kondisi/ Status
Mahkota Mahkota Akar Gigi
Gigi
Gigi
A 0 0 Permukaan gigi sehat/ keras
B 1 1 Gigi Karies
C 2 2 Gigi dengan tumpatan ada karies
D 3 3 Gigi dengan tumpatan baik, tidak ada karies
Gigi yang hilang karena karies
Gigi yang hilang karena sebab lain
Gigi dengan tumpatan silen
G 7 7 Jembatan, mahkota gigi atau viner/ implan -
8 8 Gigi yang tidak erupsi
TT
Trauma/ fraktur
9 9 Dan lain-lain: gigi yang memakai ortodonti cekat atau gigi yang mengalami hipoplasia enamel yang berat
(Sumber : Oral Health Basic Surveys, 1997)
2.1.6.3 Indeks Significant Caries (SiC Index)
Indeks SiC baru diperkenalkan sekitar tahun 2000. Brathall mengusulkan indeks SiC digunakan sebagai standar pengukuran statistik epidemiologis yang lebih ditekankan pada individu yang mempunyai angka karies yang tinggi pada suatu populasi.
Indeks SiC mudah dihitung, skor SiC diperoleh dari rerata DMFT pada sepertiga populasi yang mempunyai skor karies paling tinggi. Untuk menghitung indeks ini, yang harus dilakukan adalah:
1) Mengurutkan individu sesuai dengan skor DMFTnya
2) Memilih sepertiga dari populasi dengan skor karies paling tinggi dan
3) Menghitung DMFT untuk kelompok studi (Pintauli dan Hamada, 2008).
2.2 Tunarungu
2.2.1 Definisi Tunarungu
Istilah tunarungu secara etimologi dari kata tuna dan rungu, tuna artinya kurang dan rungu artinya pendengaran. Anak tunarungu adalah anak yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen dan biasanya memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara (Kementrian Pendidikan Nasional, 2010).
Menurut WHO ketulian (deafness) merupakan kehilangan kemampuan untuk mendengar secara total pada satu atau dua telinga. Sedangkan tunarungu (hearing impairment ) mengacu pada kehilangan kemampuan mendengarkan baik sebagian ataupun seluruhnya (WHO, 2010).
Apabila dilihat secara fisik, anak tunarungu tidak berbeda dengan anak yang bisa mendengar pada umumnya. Pada saat berkomunikasi barulah diketahui bahwa mereka tunarungu (Kementrian Pendidikan Nasional, 2010).
2.2.2 Klasifikasi Tunarungu
2.2.2.1 Berdasarkan tingkatan kehilangan pendengaran
1. Ringan (mild)
1) Tingkat kehilangan pendengaran antara 27 hingga 40 dB.
2) Memahami percakapan.
3) Mengalami kesulitan mendengar bunyi-bunyi yang pelan dan jauh.
4) Memerlukan terapi berbicara.
2. Sedang (moderate)
1) Tingkat kehilangan pendengaran antara 41 hingga 55 dB.
2) Dapat mendengar bunyi pada jarak 1 hingga 1,5 meter darinya.
3) Memahami percakapan.
4) Sulit untuk mengikuti percakapan dalam kelas.
5) Memerlukan alat bantu dengar.
6) Memerlukan terapi berbicara.
3. Menengah Serius (moderate-severe)
1) Tahap kehilangan pendengaran antara 56 hingga 70 dB.
2) Memerlukan alat bantu dengar dan latihan pendengaran.
3) Memerlukan latihan penuturan dan komunikasi.
4) Orang yang ingin berbicara dengan mereka harus berbicara dengan keras.
4. Berat (severe)
1) Tingkat hilangnya pendengaran antara 71 hingga 90 dB.
2) Dapat mendengar bunyi yang keras pada jarak antara 0 hingga 30,5 cm darinya.
3) Mungkin hanya dapat membedakan sebagian dari bunyi saja.
4) Memiliki masalah dalam berbicara.
5) Membutuhkan pendidikan khusus, alat bantu dengar dan latihan berbicara dan komunikasi.
5. Sangat Berat (profound)
1) Tingkat kehilangan pendengaran lebih dari 90 dB.
2) Sulit untuk mendengar bunyi, walaupun keras.
3) Memerlukan alat bantu pendengaran dan terapi berbicara (Muhammad, 2008).
2.2.2.2 Berdasarkan Saat Terjadinya Kehilangan Pendengaran
1. Tunarungu Bawaan
1) Sakit semasa hamil terutama oleh virus seperti rubella, demam glandular, dan salesma.
2) Semasa hamil sang ibu mengonsumsi obat ataupun bahan kimia seperti kuanin dan streptomycin.
3) Sang ibu menderita toksemia pada masa akhir kehamilan.
4) Sering hamil.
2. Tunarungu Setelah Lahir
1) Anak mengidap penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan virus seperti gondok dan campak.
2) Kecelakaan yang mencederai bagian telinga.
3) Menangkap bunyi yang terlalu keras dalam jangka waktu lama (Muhammad, 2008).
2.2.2.3 Berdasarkan Tempat Kerusakan Pendengaran
1. Kehilangan pendengaran konduktif atau bagian penerimaan. Kecacatan ini terjadi akibat dari kerusakan pada telinga luar atau telinga tengah, yang mengurangi intensitas bunyi yang sampai ke telinga dalam. Bunyi yang masuk melalui saluran auditoris ke gendang telinga akan menyebabkan tiga tulang kecil dalam telinga tengah bergetar dan mengantar bunyi ke telinga dalam mungkin terganggu akibat kotoran telinga atau penyebab lainnya. Gendang telinga yang pecah, luka atau berlubang juga menghalangi bergetarnya tiga tulang kecil yang menyebabkan terjadinya ketulian. Ketulian jenis ini dapat dibantu dengan alat bantu pendengaran.
2. Kehilangan pendengaran sensoris-neural atau bagian penangkap bunyi. Kecacatan ini terjadi akibat kerusakan pada telinga dalam atau saraf auditoris yang membawa impuls ke otak. Kehilangan pendengaran pada jenis ini tak dapat menerima sebagian frekuensi atau keseluruhan (Muhammad, 2008).
2.2.2.4 Berdasarkan Taraf Penguasaan Bahasa
1. Tuli Prabahasa Anak-anak yang kehilangan pendengarannya sebelum berbicara dan berbahasa, yang menyebabkan masalah dalam pembelajaran.
2. Tuli Purnabahasa Kehilangan pendengaran setelah dapat berbicara dan berbahasa (Muhammad, 2008).
Klasifikasi Ketunarunguan
Berdasarkan Taraf Kehilangan
Berdasarkan Tingkat Berdasarkan Saat
Berdasarkan
Terjadinya Kehilangan
Tempat Kerusakan
Penguasaan Bahasa
Diagram 2.2 Klasifikasi Ketunarunguan (Kementrian Pendidikan Nasional, 2010)
2.2.3 Karakteristik Tunarungu Dalam Aspek Sosial Emosional
Uden (1971) dan Meadow (1980) dalam Bunawan dan Yuwati (2000) mengemukakan beberapa ciri atau sifat yang sering ditemukan pada anak tunarungu atau dikenal dengan karakteristik dari tunarungu yaitu:
1. Sifat egosentris yang lebih besar dari pada anak mendengar. Sifat ini membuat mereka sukar menempatkan diri pada cara berpikir dan perasaan orang lain serta kurang menyadari/peduli tentang efek perilakunya terhadap orang lain.
2. Memiliki sifat impulsif, yaitu tindakannya tidak didasarkan pada perencanaan yang hati-hati dan jelas serta tanpa mengantisipasi akibat yang mungkin timbul akibat perbuatannya.
3. Sifat kaku (rigidity), menunjuk pada sikap kurang luwes dalam memandang dunia dan tugas-tugas dalam kesehariannya.
4. Sifat lekas marah dan mudah tersinggung.
5. Perasaan ragu-ragu dan khawatir (Kementrian Pendidikan Nasional, 2010).
2.2.4 Karakteristik Dalam Aspek Fisik dan Kesehatan
Pada umumnya aspek fisik anak tunarungu tidak banyak mengalami hambatan. Namun pada sebagian tunarungu ada yang mengalami gangguan keseimbangan sehingga cara berjalannya kaku dan agak membungkuk.
Gerakan mata anak tunarungu lebih cepat, hal ini memnunjukkan bahwa ia ingin menangkap atau mengetahui keadaan lingkungan sekitarnya. Gerakan tangannya sangat lincah, hal tersebut tampak ketika ia mengadakan komunikasi dengan menggunakan bahasa isyarat dengan sesama tunarungu. Pernapasannya pendek karena tidak terlatih melalui kegiatan berbicara.
Dalam aspek kesehatan, secara umum tampaknya sama dengan anak lain karena pada umumnya anak tunarungu mampu merawat diri sendiri. Namun bagi
anak tunarungu penting untuk memeriksakan kesehatan telinganya secara periodik agar terhindar dari hal-hal yang dapat memperburuk ketunarunguannya (Iskandar, 2010).
2.2.5 Dampak Ketunarunguan Terhadap Kemampuan Berbahasa
Ketunarunguan yang berarti tidak memiliki kemampuan mendengar, tentunya akan membawa dampak juga pada kemampuan untuk memperoleh pendidikan bagi penderitanya. Dari semua kendala yang ada, maka dampak paling besar pada ketunarunguan adalah terjadinya kemiskinan bahasa (Uden, 1977 dan Meadow, 1980 dalam Bunawan dan Yuwati, 2000). Adalah suatu kenyataan bahwa kebanyakan orang beranggapan bahwa ketunarunguan hanya mengakibatkan tidak berkembangnya kemampuan berbicara. Padahal lebih dari itu, dampak ketunarunguan adalah kemiskinan dalam penguasaan bahasa secara keseluruhan (Leigh, 1994 dalam Nugroho, 2004).
Proses pendidikan di semua lembaga pendidikan, termasuk SLB tunarungu bertopang pada kemampuan berbahasa peserta didiknya. Dapat dikatakan bahwa dalam segala kegiatan pembelajaran, kegiatan berbahasa memegang peran baik dalam bentuk lisan, tulisan maupun isyarat. Apabila anak mengerjakan tugas yang menuntut daya logika dan abstraksi yang lebih tinggi, maka diharapkan keterampilan berbahasa akan membawa anak didik belajar berfikir runtut dan logis (Kementrian Pendidikan Nasional, 2010).
2.3 Profil SLB B Negeri Cicendo Bandung
2.3.1 Visi dan Misi
2.3.1.1 Visi
SLB B Negeri Cicendo Bandung sebagai sekolah unggulan dalam menghasilkan peserta didik yang kompeten berkomunikasi memiliki kecakapan hidup, peduli terhadap lingkungan dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2.3.1.2 Misi
1. Memfasilitasi berbagai program dan jalur pendidikan yang sesuai dengan perkembangan dunia pendidikan.
2. Menjadi lembaga yang memiliki fasilitas memadai untuk menyelenggarakan pendidikan.
3. Memiliki tenaga pendidik dan kependidikan yang kompeten dan professional.
4. Menciptakan pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan.
5. Melaksanakan pembelajaran yang berbasis pada komunikasi total.
6. Mempersiapkan peserta didik yang terampil berkomunikasi dan memiliki berbagai keterampilan vokasional.
7. Menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif, nyaman dan tertib.
8. Mewujudkan warga sekolah yang berakhlak mulia dan peduli pada lingkungan.
2.3.2 Sarana dan Prasarana SLB B Negeri Cicendo Bandung
Sebagaimana sekolah lainnya yang memiliki sarana dan prasaran, begitupun SLB B Negeri Cicendo Bandung memiliki sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan belajar mengajar.
2.3.3 Siswa Tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung
Data siswa yang bersekolah di SLB B Negeri Cicendo Bandung sebagai berikut:
Tabel 2.2 Jumlah Siswa di SLB B Negeri Cicendo Bandung
No. Jenjang
Jenis Kelamin
Jumlah
Pendidikan Laki-laki
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa siswa di SLB B Cicendo Bandung memiliki 114 siswa yang didominasi oleh siswa kelas kecil atau sekolah dasar. Tingkatan sekolah di SLB B Cicendo Bandung ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. TKLB/ TKKh: Tunarungu Tingkat Rendah ditekankan pada pengembangan kemampuan senso-motorik, berbahasa dan kemampuan berkomunikasi khususnya berbicara dan berbahasa.
2. SDLB/ SDKh: Tunarungu kelas tinggi ditekankan pada keterampilan sensomotorik, keterampilan berkomunikasi, kemudian pengembangan kemampuan dasar di bidang akademik dan keterampilan sosial.
3. SLTPLB/ SMPKh: Tunarungu ditekankan pada peningkatan keterampilan berkomunikasi dan keterampilan senso-motorik, keterampilan berkomunikasi dan keterampilan mengaplikasikan kemampuan dasar di bidang akademik dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-hari, peningkatan keterampilan sosial dan dasar-dasar keterampilan vokasional.
4. SMALB/ SMAKh: Tunarungu ditekankan pada pematangan keterampilan berkomunikasi, keterampilan menerapkan kemampuan dasar di bidang akademik yang mengerucut pada pengembangan kemampuan vokasional yang berguna sebagai pemenuhan kebutuhan hidup, dengan tidak menutup kemungkinan mempersiapkan siswa dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.
BAB III METODE PENELITIAN
1.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif dengan metode survei. Survei deskriptif adalah suatu penelitian yang dilakukan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan suatu fenomena yang terjadi di masyarakat (Notoatmodjo, 2010).
1.2 Populasi dan Sampel
Populasi penelitian adalah semua siswa di SLB B Negeri Cicendo Bandung dari TKLB sampai SMALB. Dengan kriteria populasi:
1. Siswa TKLB, SDLB (kecuali kelas 6), SMPLB (kecuali kelas 3), SMALB (kecuali kelas 3).
2. Berada di tempat saat penelitian. Berdasarkan kriteria populasi di atas, maka sampel diambil secara total sampling. Jumlah seluruh siswa di SLB B Negeri Cicendo Bandung adalah 114 siswa. Siswa yang masuk ke dalam kritera populasi sejumlah 89 siswa, terdiri dari siswa TKLB berjumlah 27 orang, SDLB berjumlah 39 orang, SMPLB berjumlah 11 orang, dan SMALB berjumlah 12 orang.
3.3 Variabel Penelitian
1. def-t
2. DMF-T
3.4 Definisi Operasional Variabel
1. def-t
def-t adalah jumlah gigi sulung yang mengalami karies dengan menghitung:
d (decayed) yaitu gigi sulung yang mengalami karies. Karies yang digunakan dalam penelitian ini yaitu ketika sonde tersangkut pada pit dan fissure permukaan buccal, oklusal dan lingual. Karies sekunder yang terjadi pada gigi dengan tumpatan permanen dan gigi dengan tumpatan sementara juga termasuk dalam kategori ini.
e (indicated for extraction) yaitu terdapat karies yang besar pada gigi sulung dan diindikasikan untuk dilakukan pencabutan.
f (filled) yaitu gigi sulung yang karies dan sudah direstorasi tanpa adanya karies sekunder.
2. DMF-T
DMF-T adalah jumlah gigi tetap yang mengalami karies, berupa angka yang diperoleh dengan menghitung:
D (decayed) yaitu semua gigi tetap yang mengalami karies. Karies yang digunakan dalam penelitian ini yaitu ketika sonde tersangkut pada pit dan fissure permukaan buccal, oklusal dan lingual. Karies sekunder yang terjadi pada gigi tetap dengan tumpatan permanen dan gigi dengan tumpatan sementara juga termasuk kategori ini. M (missing) yaitu semua gigi yang hilang atau dicabut karena karies dimasukkan dalam kategori missing, tetapi gigi yang hilang akibat penyakit periodontal, dicabut untuk kebutuhan perawatan ortodonti, dan pencabutan normal selama pergantian gigi geligi tidak dimasukkan dalam kategori ini.
F (filled) yaitu semua gigi dengan tumpatan permanen dan gigi yang sedang dalam perawatan saluran akar juga dimasukkan dalam kategori ini.
WHO memberikan kategori dalam perhitungan DMF-T dan def-t berupa derajat interval sebagai berikut (Pine and Harris, 2007) :
1. Sangat rendah : 0,0 – 1,1 2. Rendah : 1,2 – 2,6 3. Moderat : 2,7 – 4,4 4. Tinggi : 4,5 – 6,5 5. Sangat Tinggi : > 6,6
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan cara memeriksa langsung keadaan mulut objek penelitian, untuk mengetahui indeks def-t dan DMF-T pada siswa tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung.
3.6 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
1. Baki
2. Sonde
3. Kaca mulut
4. Pinset
5. Formulir pemeriksaan
6. Formulir informed consent
7. Alat tulis Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
1. Alkohol 70%
2. Kapas
3.7 Analisis dan Penyajian Data
Analisis univariat adalah suatu teknik analisis data terhadap satu variabel secara mandiri, tiap variabel dianalisis tanpa dikaitkan dengan variabel lainnya.
Analisis univariat biasa juga disebut analisis deskriptif atau statistik deskriptif yang bertujuan menggambarkan kondisi fenomena yang dikaji (Cahyono, 2007).
Data yang diperoleh dari hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel dan diagram. Alat statistik yang digunakan adalah rata-rata dan persentase.
3.8 Prosedur Penelitian
Penelitian dilakukan dengan langkah sebagai berikut:
1. Objek penelitian diminta untuk mengisi informed consent yang dibimbing oleh guru atau peneliti.
2. Peneliti mencatat identitas objek penelitian selengkapnya dalam formulir status.
3. Objek penelitian duduk pada kursi dan diinstruksikan untuk membuka mulut.
4. Dilakukan pemeriksaan def-t pada gigi sulung dan pemeriksaan DMF-T pada gigi tetap dengan menggunakan sonde dan kaca mulut.
5. Hasil pemeriksaan dicatat dalam formulir pemeriksaan.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Responden
Hasil penelitian mengenai indeks def-t dan DMF-T pada siswa tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung, dilakukan pada 89 siswa yang terdiri dari siswa TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret dan April 2011.
Objek penelitian berusia 4 sampai 20 tahun, terdiri dari 49 siswa laki-laki dan
40 siswa perempuan. Jumlah objek penelitian pada siswa TKLB adalah 27 orang (30%) dengan rentang usia 5 sampai 11 tahun, siswa SDLB adalah 39 orang (44%) dengan rentang usia 8 sampai 14 tahun, siswa SMPLB 11 orang (12%) dengan rentang usia12 sampai 18 tahun, siswa SMALB 12 orang (14%) dengan rentang usia
17 sampai 20 tahun. Data diperoleh dari hasil pemeriksaan klinis. Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan diagram. Dalam melakukan pemeriksaan klinis, seluruh objek penelitian dapat bekerja sama dengan sangat baik. Hal tersebut tidak terlepas dari bantuan guru-guru di SLB B Negeri Cicendo Bandung yang membantu peneliti dalam berkomunikasi dengan objek penelitian.
Tabel 4.1 Distribusi Siswa Berdasarkan Jenis Kelamin dan Tingkat Pendidikan di SLB B Negeri Cicendo Bandung
Dari tabel di atas terlihat sebagian besar jumlah siswa yang dijadikan objek penelitian lebih banyak siswa laki-laki daripada siswa perempuan.
Diagram 4.1 Persentasi Siswa SLB B Negeri Cicendo Bandung yang Menjadi Objek Penelitian
4.2 Hasil Penelitian
Data yang diperoleh disusun secara lengkap dan sistematis, kemudian dilakukan analisis untuk mengetahui indeks def-t dan DMF-T pada siswa tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung.
Tabel 4.2 Data def-t Pada Siswa TKLB di SLB B Negeri Cicendo Bandung
Komponen
Jenis Kelamin Jumlah
Dari tabel 4.2 dapat dilihat bahwa pada siswa TKLB, gigi yang karies (decayed) lebih banyak dimiliki oleh siswa perempuan dibandingkan siswa laki-laki. Sedangkan gigi yang diindikasikan untuk dilakukan pencabutan (indicated for extraction ) lebih banyak dimiliki oleh siswa laki-laki dibandingkan siswa perempuan. Pada siswa TKLB tidak ada gigi sulung yang ditambal (filled). Secara keseluruhan jumlah def-t pada siswa perempuan lebih besar daripada siswa laki-laki. Indeks def-t pada siswa TKLB di SLB B Cicendo adalah 6,11, berdasarkan kriteria WHO, termasuk kategori tinggi.
Tabel 4.3 Data DMF-T Pada Siswa TKLB di SLB B Negeri Cicendo Bandung
Komponen
Jenis Kelamin
Pada tabel 4.3 terlihat bahwa pada siswa TKLB, gigi permanen yang karies lebih banyak dimiliki oleh siswa perempuan daripada siswa laki-laki. Tidak ada gigi permanen karies yang ditambal dan dicabut. Secara keseluruhan jumlah DMF-T pada siswa perempuan lebih besar daripada siswa laki-laki. Indeks DMF-T pada siswa TKLB di SLB B Cicendo adalah 0,70, berdasarkan kriteria WHO, termasuk kategori rendah.
Tabel 4.4 Data def-t Pada Siswa SDLB di SLB B Negeri Cicendo Bandung
Komponen
Jenis Kelamin
Pada tabel 4.4 dapat dilihat bahwa seperti halnya pada siswa TKLB, gigi sulung yang karies lebih banyak dimiliki oleh siswa perempuan, sedangkan gigi yang diindikasikan untuk dilakukan pencabutan lebih banyak dimiliki oleh siswa laki-laki.