88885199 Pemikian Gus Dur Budaya

Agama Di TV Dan Dalam Kehidupan
Oleh:
Abdurrahman

Wahid

Pada suatu hari yang cerah, penulis memasuki ruang tunggu lapangan terbang
Cengkareng, jam 5.30 wib pagi. Sambil menunggu saat penerbangan pertama ke
Yogyakarta, penulis mendengarkan siaran TV di ruang tunggu itu. Seorang
penceramah agama sedang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
para pemirsa melalui telepon, ketika dihadapkan pada masalah-masalah hukum
Islam (figh), di saat menjalankan ibadah haji. Salah seorang pemirsa
menanyakan; apakah sebuah tindakan yang dilakukan jama’ah haji dapat
dimasukkan dalam kategori perbuatan yang merusak ihram atau tidak.
Dalam menjawab pertanyaan tersebut, sang penceramah melakukan pembedaan,
antara hal-hal yang merusak sarat-sarat ibadah haji, merusak kewajibankewajiban haji dan merusak ihram itu sendiri. Hal elementer seperti ini –dengan
akibat hukum-hukum agama (canon law) sendiri pula yang biasa dipelajari dari
kitab-kitab agama di pesantren, terpaksa dijelaskan di layar televisi itu oleh sang
penceramah. Ini tentu karena sang penanya diandaikan tidak tahu masalahnya,
karena mereka hanya berkomunikasi melalui telepon. Sekaligus, pertanyaan itu
menunjukkan perhatian sang pemirsa tersebut pada segi-segi ibadah, ketika

menunaikan perjalanan ibadah haji. Mungkin itu juga disertai oleh pandangan
tertentu mengenai perjalanan haji: peribadatan yang menyenangkan,
menjengkelkan
atau
yang
tidak
berguna
sama
sekali.
Sudah tentu sang jama’ah haji memiliki wewenang bertanya tentang sesuatu hal
yang oleh jama’ah lain dianggap soal kecil. Bukankah ia telah mengeluarkan
biaya yang sangat besar untuk melakukan perjalanan tersebut, bahkan mungkin
saja ia sampai menabung uang seumur hidup untuk itu. Karenanya, ia berhak
bertanya apa saja , karena perjalanan tersebut merupakan sebuah obsesi dalam
hidupnya. “Hak” ini adalah sesuatu yang sangat inherent dalam hidup sang
penanya, dan sangat menyedihkan bahwa Departemen Agama Republik
Indonesia (Depag-RI) yang menjadi penyelenggara ibadah haji tersebut tidak
pemah mengumpulkan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu dalam
sebuah buku yang dapat dijadikan pegangan bagi para calon jama’ah haji. Maka
terpaksalah mereka bertanya melalui TV karena tidak ada saluran lain.

Ketika memasuki lapangan terbang itu, penulis juga berjumpa dengan Jajang dan
Debra Yatim, keduanya seorang aktivis perempuan –yang, juga sama-sama akan
menuju Yogyakarta, untuk menayangkan film tentang perjuangan kaum
perempuan di negeri kita. Tentu saja pertunjukkan film tersebut akan disertai
tanya jawab antara para pemirsa dan kedua aktifis terebut. Dan dapat
diperkirakan , mereka akan berbeda mengenai tema makro yaitu tentang
perjuangan menegakkan hak-hak wanita di negeri kita. Ini adalah hal yang wajar,
bahkan kalau tidak dibicarakan, kita bertanya-tanya dalam hati, kedua orang
aktifis itu untuk apa datang ke Yogyakarta? Kalau hanya untuk memutar film itu
dapat dilakukan oleh para petugas setempat. Bahwa orang lain dapat saja
menganggap pembicaraan mereka itu sesuatu yang bersifat setengah makro,

karena membahas kurang lebih separuh warga masyarakat, yaitu kaum
perempuan,
tentu
saja
merupakan
hal
yang
wajar

pula.
Pembahasan baru dianggap makro, menurut pandangan ketiga dalam
pembedaan pandangan masyarakat tentang negara, karena mereka berpendapat
bahwa bahasan yang tidak menyangkut struktur masyarakat, belumlah dianggap
sebagai pembahasan yang serius. Bahwa pembahasan mengenai nasib
perempuan, termasuk apakah poligami (beristri banyak) selayaknya dilarang atau
tidak, juga menyangkut posisi dan harkat tiga milyard jiwa lebih kaum
perempuan di seluruh dunia saat ini, dalam pandangan ini tidak otomatis
menjadikan masalah gender sebagai masalah makro. Memang ini adalah masalah
yang sangat besar dan menyangkut jumlah manusia yang sangat besar pula.
Tapi,
ia
tidak
terkait
dengan
masalah
struktur
masyarakat.
Karena itu pula ia tetap diperlakukan sebagai masalah mikro. Di tambah dengan
ketidakpedulian mayoritas jumlah laki-laki dan perempuan yang tidak

memperhatikan masalah ini, dengan sendirinya masalah gender ini tidak
berkembang menjadi masalah struktural. Memang para aktifis di berbagai bidang
di lingkungan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dari jenis hawa, selalu
meneriakkan dengan lantang bahwa masalah perempuan/gender adalah masalah
struktural, tetapi tetap saja masalah itu diperlakukan dalam dunia LSM
intemasional dan domestik sebagai masalah non-struktural. Ini memang
menyakitkan, tapi dalam kenyataan hal ini memang terjadi, dan kita tidak usah
meratapinya. Perjuangan memang masih panjang, dan hal itu tidak perlu
diperlakukan
secara
emosional.
Paham ketiga tidak pemah mempersoalkan struktur masyarakat, dan
menganggap semua struktur masyarakat yang ada dalam sejarah sebagai
sesuatu yang benar. Masalah pokok yang dihadapi umat manusia, menurut
pandangan ini, adalah bagaimana menegakkan keadilan dan kemakmuran –yang,
dalam ajaran agama Islam disebut dengan istilah kesejahteraan. Jadi, menurut
pandangan ini, masalah utamanya adalah penegakkan hukum dan perumusan
kebijakan serta pelaksanaan di bidang ekonomi, terlepas dari jenis dan watak
struktur itu sendiri. Inilah pandangan yang sering disebut sebagai pandangan
non-struktural,

juga
dikenal
dengan
pandangan
developmentalist.
Dalam pandangan ini, Islam atau agama-agama lain dapat berperan memerangi
meterialisme dan sebagainya, tanpa terpengaruh oleh struktur masyarakat.
Dengan demikian, masalah yang dihadapi terkait sepenuhnya dengan keahlian
dan pengorganisasian sumber daya manusia yang dimiliki. Pandangan nonstruktural ini, antara lain diikuti oleh para tehnokrat kita, yang selama ini
menentukan kebijakan pembangunan yang kita ikuti sebagai bangsa.
Dan, temyata para tehnokrat tersebut telah menemui kegagalan, karena keadilan
dan kemakmuran temyata tidak kunjung tercapai, yang menikmati hanyalah
sejumlah konglomerat belaka. Karenanya, pembahasan mengenai hubungan
antara agama dan idiologi negara, sebaiknya dibatasi pada pandanganpandangan agama yang ada mengenai struktur sosial yang adil bagi seluruh

warga masyarakat, dan menuju pada kemakmuran bangsa. Pendekatan struktural
ini diperlukan, karena memang semua agama menghendaki masyarakat yang
adil, menuju pencapaian kemakmuran. “ Baldatun tayyibatun wa rabbun ghafuur ”
(negara yang baik dan Tuhan yang Maha Pengampun) adalah semboyan upaya
kaum muslimin dalam menciptakan masyarakat yang demikian itu, sesuai dengan

ajaran Islam sendiri. Karenanya, membahas hubungan antara Islam dengan
negara, tanpa membahas struktur masyarakat yang hendak didirikan adalah
sesuatu yang secara inherent menyangkut keadilan, dan dengan demikian
merupakan struktur masyarakat yang benar. Dalam hubungan inilah,
pembahasan kaitan antara Islam dan idiologi negara, sebaiknya benar-benar
menjadi pusat perhatian kita.

Akademi Betawi
Oleh:

Abdurrahman

Wahid

R. Soeprapto mulai dikenal sebagai gubemur yang memiliki visi unik diantara
deretan gubemur dan walikota daerah ibukota kita ini. Visinya sangat sederhana:
berpegang pada fungsi pemerintahan sebagai pemerintah daerah. Tidak seperti
Ali Sadikin yang sering tidak ambil pusing dengan reaksi atau status pemerintah
pusat
Orang dapat bertanya, tidakkah berbahaya bersikap terlalu menganggap diri

hanya “berfungsi kedaerahan” seperti itu—mengingat kekhususan Jakarta
sebagai daerah ibukota negara dengan keragaman etnis, budaya, agama, dan
politik? Negara yang “agraris tapi maritime”, yang “tradisional tapi dinamis”?
Semua itu menghendaki peranan tersendiri bagi DKI Jakarta. Australia yang lebih
homogen masih memberikan kekhususan penuh kepada ibukotanya, Canberra,
yang didudukkan dalam sebuah daerah administrasi bergelar ACT, Australia
Capital
Territory.
Yang jelas pendirian "mempersempit jangkauan DKI" itu tercermin juga dalam
sikapnya mengenai pengelolaan kehidupan seni di lingkungan Taman Ismail
Marzuki tempo hari. Dalam sebuah pertemuan dengan pimpinan harian Dewan
Kesenian Jakarta, waktu itu Gubemur Soeprapto mengemukakan pentingnya
dalam bidang itu. "Kami hanya menyediakan sarana dan presarana, tidak lebih
dari itu." Itu berarti, pembinaan kegiatan seni pada tingkat nasional bukan
tanggung jawab masing-masing. Ketoprak urusan Pemda Jawa Tengah dan DIY.
Ludruk urusan Pemda Jawa Timur, begitu seterusnya. Atau pemerintah pusat.
Pihak DKI hanya menyediakan sarana dan prasarana. Taman Ismail Marzuki boleh
dipakai siapa saja, tetapi pembinaannya oleh pemerintah DKI terbatas.
Dimensi nasional kegiatan seni di Taman Ismail Marzuki, mau tidak mau lalu
harus dikaitkan dengan "pihak pendamping" lain di luar pemerintah daerah.

Direktorat Jenderal Kebudayaan? Sudah tentu. Begitu juga pihak pariwisata dan
lembaga-lembaga yang mampu menyerap kegiatan seni. Ini harus selalu diingat,
kalau
mengikuti
jalan
pikiran
Gubemur.
Apalagi oleh Dewan Kesenian Jakarta: harus jelas pembinaan dan pengelolaan
kegiatan seni mana yang harus ditangani DKJ dalam kapasitas pengelola seni
kebudayaan daerah, dan mana yang harus dimasukkan dalam kategori
pengelolaan kesenian nasional. Dimensi local dan nasional itu membutuhkan
penanganan
berbeda—dan
sudah
tentu
sponsor
yang
berlainan.
Inilah kenyataan yang tidak dapat diabaikan DKJ—juga lembaga-lembaga lain
yang menangani kehidupan seni di lingkungan TIM, seperti Institut Kesenian

Jakarta. Orientasi pendidikan seni lebih "mendaerah" tentu saja memerlukan
pemikiran kembali semua jenis kegiatan yang dikerjakan selama ini.
Apakah hanya lenong, topeng Betawi, dan sebangsanya yang boleh diajarkan?
Kalau mengikuti pendirian Gubemur Soeprapto memang demikian, kalau

menyangkut subsidi Pemerintah DKI. Lain-lainnya harus cari dari sumber lain.
Memang mungkin tidak sampai sedrastis itu, tetapi, bagaimanapun memerlukan
pemikiran ulang. Pendirian yang demikian jelas landasannya itu dating dari
seorang pejabat yang tadinya terbiasa mengelola daerah-daerah dari pusat,
sebagai sekretaris jenderal Departemen Dalam Negeri. "Terbiasa" dalam arti
selalu harus menerapkan wewenang pemerintah daerah hanya pada daerahnya,
karena menyimpang dari itu dapat membuat ia menjadi pejabat yang pilih kasih.
Seorang pengatur lalu lintas antar daerah akan selalu menumbuhkan sikap
demikian. Bahwa sikap seperti itu lalu membawa perubahan mendasar dalam
penetapan kebijakan pemerintah DKI Jakarta dalam "penyediaan sarana dan
prasarana" kegiatan seni di lingkungan TIM adalah soal lain lagi.
Masalahnya adalah bagaimana halnya dengan Akademi Jakarta yang diisi
"manusia-manusia bionik" yang sudah tidak kenal batas geografis, paham, dan
lain-lain? Apakah mereka juga diharuskan hanya memikirkan kehidupan seni dan
budaya di lingkungan DKI? Padahal, mereka sudah terbiasa dengan wawasan

universal, dengan jarak jelajah yang tidak lagi antarbenua, melainkan
antarplanet!
Kalau mereka tidak diharuskan menciutkan bidang perhatian, lalu siapa yang
harus memikirkan pengembangan kebudayaan asli Jakarta atau kehidupan seni
dan budaya (macam-macam) dengan dimensi Jakarta? Akan diserahkan kepada
lembaga lain? Kalau memang demikian, mengapa tidak dibentuk juga sebuah
Akademi Betawi, diisi para dedengkot, seperti S.M. Ardan, Bokir, Anen dan Zahid?
Karena, bagaimanapun sudah terasa keperluan itu. Mungkin namanya yang sulit
diterima, gagasannya bisa mudah dicema.

Arafat, Israel, dan Palestina
Oleh: Abdurrahman Wahid
Akhimya, yang paling ditakuti terjadi juga. Perdana Menteri Israel Ariel Sharon,
mengumumkan keadaan bahaya bagi Israel, mengurung Yasser Arafat di
Ramallah dan membiarkan penangkapan besar-besaran-terhadap apa yang
disebutnya sebagai "para teroris Palestina". Dengan langkah itu, Sharon secara
praktis menutup jalan bagi penyelesaian damai masalah Israel-Palestina. Hal itu
telah dimulai dari larangan atas Arafat untuk menghadiri Konferensi Tingkat
Tinggi (KTT) Arab di Beirut, dan disudahi dengan pengurungan atas dirinya oleh
serdadu-serdadu Israel di Ramallah.

Karena situasi seperti itu, Gedung Putih di Washington DC terpaksa meminta agar
Sharon tetap membuka jalan bagi tercapainya perdamaian permanen di kawasan
itu. Benarkah pemyataan itu membuktikan Amerika Serikat tidak turut
merencanakan tindakan Sharon tersebut, ataukah justru kunjungan Wakil
Presiden Amerika Serikat Dick Cheney ke kawasan itu justru untuk
mempersiapkannya, sejarahlah yang akan menjawab. Seperti kebanyakan
kejadian sejarah, baru belakangan dapat diketahui secara pasti sampai di mana
peranan pemerintahan Bush dalam masalah ini: menipu dunia ataukah ditipu
Israel?
Tindakan Sharon itu juga tidak jelas bagi kita: benarkah ia secara logis berani
menindak secara tegas semua orang Palestina militan yang disebutnya "kaum
teroris?" Ataukah pada gilirannya, ia juga akan bersikap separuh hati, karena
biaya ekonomis dan keuangannya akan menjadi sangat besar. Belum lagi kalau
diingat biaya politik yang ditanggung Pemerintah Israel dengan kebijaksanaan
"garis keras"-nya itu. Dengan kata lain, kekerasan Sharon dan kelemahan Arafat,
yang tidak mau menghentikan kaum militan dan radikal Palestina selama ini,
merupakan saham yang hampir bersamaan dalam menciptakan keadaan seperti
sekarang
ini.
Memang, Sharon benar dalam satu hal: kelembutan yang terlalu jauh justru akan
lebih memicu tindakan-tindakan radikal dan konfrontatif dari pihak Palestina.
Akan tetapi sebaliknya, tindakan kekerasan saja seperti yang dilakukan Sharon,
tidaklah menyelesaikan masalah. Sikap menghormati kedaulatan Israel sebagai
negara merdeka dan berdaulat harus juga diimbangi dengan sikap yang sama
terhadap Palestina. Inilah yang diperjuangkan sejak dahulu oleh negara-negara
Arab, yang tidak bersikap konfrontatif terhadap Israel. KTT Arab di Beirut, justru
membuktikan hal ini. Bahwa di kalangan negara-negara Arab ada sikap radikal,
seperti ditunjukkan Suriah dan Irak, sama wajamya dengan sikap kaum kanan
dalam
Partai
Likud,
yang
dipimpin
oleh
Ariel
Sharon
sendiri.
***
JADI tidak realistiklah untuk mengharapkan dukungan penuh dari kedua belah
pihak atas gagasan penyelesaian damai yang permanen dengan saling
pengakuan antara Israel dan Palestina akan wujud lawan mereka sebagai negara

berdaulat. Dengan ungkapan lain, penyelesaian damai yang permanen bagi
kawasan itu, hanya dapat dicapai melalui sikap saling mempercayai antara
pimpinan Israel dan Palestina. Tanpa sikap saling mempercayai itu, kepercayaan
yang diperlukan untuk mencapai perdamaian permanen di kawasan itu, akan
menjadi hampa belaka. Sekali lagi, tanpa sikap kepercayaan pimpinan kedua
bangsa itu, maka krisis Timur Tengah dengan segala akibatnya, akan tetap ada
dan-mau tidak mau kita sebagai bangsa bermayoritas Muslim juga akan terkena
akibat-akibat
tersebut.
Pokok persoalannya, dengan demikian dapat disederhanakan: akan munculkah
kepemimpinan baru yang saling mempercayai di kalangan kedua belah pihak?
Akan adakah Anwar Sadar dan Menachen Begin yang baru; yang satu bekas opsir
tentara Arab dan yang lain telah melakukan tindakan yang dapat dinamakan
"tindakan teror" terhadap pemerintah jajahan Inggris itu, kalau digunakan istilah
Sharon. Gerakan teroris Hagana yang diikuti Begin semenjak sebelum Perang
Dunia Kedua, sama halnya dalam pengaturan, prinsip-prinsip yang digunakan dan
tujuan yang dimiliki gerakan Intifadah yang dilaksanakan bangsa Palestina
sekarang.
Dengan demikian, persoalannya menjadi jelas bagi kita sekarang: akan
digantikan siapakah Arafat dan Sharon? Hal ini akan membawakan pemyataan
berikut; dengan cara apakah kepemimpinan kedua bangsa itu akan dibentuk? Di
Israel pemilihan umum atau pembentukan pemerintahan baru melalui Knesset
(parlemen) adalah jalan untuk itu. Di kalangan bangsa Palestina, masalahnya
menjadi lebih ruwet. Cara Israel, yang didasarkan pada demokrasi model Barat
tidak berlaku bagi orang-orang Palestina, karena di kalangan kebanyakan bangsabangsa Arab, demokrasi masih lebih merupakan impian dari pada suatu
kenyataan.
Karenanya, kedua cara yang digunakan untuk menggantikan kepemimpinan
kedua belah pihak, adalah kunci permasalahan yang harus dicari pada saat ini.
Kegagalan mendapatkannya hanya akan membuat keadaan lebih parah, yang
akan menyeret kepentingan semua bangsa di dunia, karena pertimbanganpertimbangan geo-politik. Karenanya, tindakan-tindakan luar biasa memang
diperlukan untuk menyelesaikan sengketa Israel-Palestina itu. Kegagalan
mengganti kepemimpinan kedua bangsa itu, secara realistik akan membuat lebih
sulit tercapainya dunia yang aman bagi semua pihak. Kalau keadaan itu
dibiarkan, maka hanya ada satu jalan bagi kita: penggunaan kekerasan oleh
negara
adikuasa,
dalam
hal
ini
Amerika
Serikat.
Bukankah ini yang ditolak oleh pimpinan Republik Rakyat Cina (RRC) di zaman
Mao Zedong, dengan prinsip non-hegemonik dalam percaturan intemasional?
Bukankah membiarkan kekuasaan hegemonik manapun untuk melakukan
tindakan unilateral dengan menggunakan kekerasan, adalah sebuah ekstremitas
tersendiri? Karenanya, jika para pemimpin Arab dan mayoritas bangsa Palestina
tidak segera mengganti kepemimpinan Arafat di kalangan mereka, berarti kita
merelakan tindak kekerasan oleh Israel? Dan kalau di Israel tidak ada proses
politik yang berujung pada penggantian Ariel Sharon sebagai Perdana Menteri,

berarti juga tidak ada kemampuan kaum pecinta damai untuk mencari
perdamaian
melalui
berunding?
Jelaslah dengan demikian. Kita semua berada pada titik sensitif untuk
membiarkan eskalasi kekerasan atau menyelesaikan sengketa dengan berunding,
suatu hal yang dirasakan di seluruh dunia dan bukannya di kawasan Timur
Tengah saja.
Arti seorang Raja Tradisional
Sri Susuhunan Pakubuwono XII telah meninggalkan kita dalam usia lanjut (80
tahun menurut hitungan almanak Jawa mendekati 81 tahun) sebabnya adalah
ketuaan. Kekosongan itu tidak dapat kita rumuskan dengan baik karena beliau
adalah seorang Raja (dalam bahasa Jawa juga disebut: Ratu) yang oleh sebagian
orang beliau dianggap sebagai penguasa yang sesungguhnya. Karena kita tidak
mampu merumuskan dengan baik, maka kita cukupkan dengan istilah ‘Raja
Tradisional’. Gelar itu tidak hanya menunjukkan arti kultural/simbolik belaka,
melainkan juga menunjuk kepada beberapa aspek “kekuasaan formal” di tingkat
daerah, propinsi maupun pusat. Di sinilah terdapat kontradiksi antara wewenang
penuh seorang Raja Tradisonal dan penguasa pemerintahan yang efektif.
Penggantian beliau sangat, ditentukan oleh kenyataan bahwa beliau tidak
meninggalkan Permaisuri (Garwo Padhmi), yang ada hanyalah istri selir (Garwo
Ampil) dengan sekian orang putra-putri, tanpa seorang Putra Mahkota yang
memperoleh penunjukkan untuk menggantikan beliau di atas tahta kerajaan,
untuk menjalankan sisa-sisa kewenangan efektif yang masih ada. Karena sebab
itu mungkin akan ada sedikit banyak ‘pertentangan’ intemal antara beberapa
orang putra beliau yang bergelar Gusti. Namun tentu saja pertentangan intemal
itu tidak akan dilakukan dengan kasar, karena hal itu bukanlah budaya kraton.
Justru Kraton tradsional akan menampakkan wajah keutuhan keluar, walaupun
pertentangan intemal itu berjalan sangat sengit. Semenjak beberapa tahun
terakhir ini disiplin pribadi yang sangat kuat, membatasi ruang gerak para putra
beliau, dengan semakin lanjutnya usia beliau. ‘Di tutupi’ oleh kesopanan yang
sangat tinggi dan tata pergaulan yang dipersatukan oleh Sang Raja, tidak pemah
pertentangan itu (kalaupun ada) terdengar di luar Kraton. Ini tentu saja sangat
berbeda dari pertentangan intemal dalam partai-partai politik, yang memang
kalau perlu “diperagakan” di muka umum, terutama dengan menggunakan media
massa. Kenyataan seperti inilah yang sering membuat orang tidak dapat
membedakan mana yang benar dan salah, lalu menciptakan kebingungan
tersendiri.
Dalam kerangka ini kita harus melihat apa yang terjadi pada lingkungan Kraton
Tradisional yang masih ada dan berfungsi di negeri kita. Ada fungsi ekonomis,
karena beberapa buah kraton masih “memiliki” tanah-tanah dan bangunanbangunan yang terletak di beberapa tempat dalam lingkungannya. Demikian
juga, ada fungsi politis yang “tersisa” dari masa lampau seperti di daerah DI
Yogyakarta. Karena kemampuanya , Sri Sultan Hamengkubuwono IX dapat

“melestarikan” wewenang efektif bagi para pengganti beliau, untuk juga menjadi
Kepala Daerah di wilayah tersebut, yang saat ini bergelar Gubemur dan saat ini
dijabat oleh putra beliau Sri Sultan Hamengkubuwono X. Raja Tradisional
merangkap
Gubemur
inilah
yang
menarik
untuk
diperhatikan.
Persolaan utama yang dihadapi oleh para Raja Tradisonal, di luar hubungan
dengan pejabat negara yang memiliki wewenang efektif, adalah masalah
keuangan dan masalah tugas-tugas apa yang dapat diberikan kepada warga
Kraton yang semakin lama berjumlah semakin besar. Dalam hal ini, “kekuatan
moral” saja tidak cukup untuk memperkokoh kedudukan beliau itu. Juga
diperlukan kekuatan ekonomi dan finansial, yang umumnya jarang digerakkan
oleh para pengusaha di kawasan para raja itu. Para pengusaha itu hanya
menyumbangkan sebagaian kecil saja dari keuntungan yang diperoleh dari
usaha-usaha yang dilakukan, karena sebagian besar diambil oleh para pejabat
yang memiliki wewenang efektif yang bersandar kepada “wewenang” melalui
KKN, karena pendapatan resmi mereka sangat kecil. Akhimya para Raja
Tradisional itupun harus juga mengalami apa yang oleh Clifford Geertz dinamai
“kemiskinan
bersama”
(shared
poverty).
Karena itulah, jumlah negara-negara tradisional yang mampu menghidupi kratonkraton mereka, semakin lama berjumlah semakin kecil. Bahkan ada seorang Raja
Tradisional di sebuah daerah yang tidak lagi mampu membayar langganan listrik
pada PLN bagi “Istana” yang beliau tinggali. Ketika salah seorang ‘beliau’ itu ada
yang membiayai bepergian ke tanah suci untuk melakukan ibadah haji, beliau
pun bertemu dengan penulis. Karena sebab itu, dengan sendirinya “kekuatan
moral” beliau menjadi sangat kecil, bahkan tampaknya beliau tidak mampu
membiayai pendidikan putra-putri yang ada. Tentu saja kenyataan ini terkait
sangat erat dengan situasi keuangan beliau-beliau itu. Semakin kecil kemampuan
itu,
semakin
kecil
pula
“kekuatan
moral”
beliau-beliau
itu.
Karena itu, kemampuan finansial/keuangan yang tidak sama antara beliau-beliau,
membuat “kekuatan moral” yang dimiliki juga berbeda-beda. Ini juga, lalu
membuat para pejabat dengan kekuasaan efektif memberikan perlakuan yang
berbeda-beda pada para beliau itu. Apalagi, kalau di sebuah kawasan terdapat
lebih dari seorang Raja Tradisional, seperti di kota madya dan Kabupaten Cirebon
dengan empat buah Kratonnya. Karena itu lah, hanya diberikan “pelayanan
minimal” kepada dua orang Raja Tradisonal saja di sana, yaitu kepada Kraton
Kesepuhan dan Kraton Kanoman. Perlakuan itu juga tidak sama, sesuai dengan
pendapatan daerah yang bersangkutan. Karenanya, kunci pokok bagi “pelayanan
nyata” kepada kraton-kraton tersebut, sangat tergantung kepada kekayaan
daerah
yang
bersangkutan.
Jelaslah dari uraian di atas, bahwa faktor utama bagi perbaikan layanan kepada
para beliau, yang sering dianggap sebagai “kekuatan moral” yang mempunyai
fungsi kultural, sangat bergantung kepada kemampuan keuangan pemerintah
daerah setempat. Seperti apa yang terjadi pada Kraton Kutai di Kalimantan Timur,
yang sangat tergantung kepada kemampuan pemerintah daerah Tenggarong
Kertanegara, yang kaya raya dengan sumber-sumber alamnya. Dalam hal ini,

otonomi daerah (Otda) memegang peranan sangat penting dalam
“menghidupkan kembali” tradisi dari Kraton Tradisional yang ada di sebuah
daerah. Namun hal ini tidak dapat di generalisisr (disamaratakan) kraton-kraton
tradisional di Maluku Utara. Tinggal tiga buah saja yang masih didukung oleh
keadaan dan pengaruh pemerintah daerah propinsi, yaitu di Temate, Tidore dan
Bacan.
Faktor terakhir yang tidak dapat dianggap ringan dalam mendukung “kekuatan
moral” kraton-kraton tradisional itu adalah faktor keamanan setempat. Apa yang
terjadi di Kraton Langkat pada saat revolusi kemerdekaan di paruh kedua tahun
40-an, dengan terbunuhnya hampir seluruh keluarga raja setempat, termasuk
penyair Amir Hamzah, sekarang terulang dalam porsi dan versi lain di tempattempat yang berbeda. Dengan sendirinya, posisi peran ‘kekuatan moral’ para
beliau itu juga berbeda dari satu ke lain tempat. Seperti terjadi pada Kraton
Pakubuanan dan Kraton Kadipaten Mangkunegaran dalam kaitannya dengan
‘eksistensi’ Pesantren Al-Mukmin di Ngruki di Solo. Tentu saja kita berkeinginan
agar kedua Kraton tradisional itu dapat turut berperan mengembangkan
kemampuan masyarakat dan pemerintah di daerah di Solo, untuk menangani
dengan baik kecenderungan ‘militan’ dari pesantren tersebut. Hal ini mudah
dikatakan, namun sulit dilaksanakan, bukan?

Bagaimana Membaca NU?
Oleh:

Abdurrahman

Wahid

Sejak kemerdekaan kita, perdebatan masalah-masalah kemasyarakatan kita
senantiasa di dominasi oleh pertukar-pikiran antara kaum elitis melawan kaum
populis. Memang ada suara-suara tentang Islam, seperti yang dikembangkan
oleh Bung Kamo dan lain-lain, tetapi itu semua hanyalah meramaikan situasi yang
tidak menjadi isu utama. Masalah pokok yang dihadapi adalah bagaimana
selanjutnya Indonesia harus dibangun –yang, dalam “bahasa agung” disebut
“mengisi kemerdekaan”. Kalangan elitis, selalu menggunakan rasio/akal dan
argumentasi mereka senantiasa bemada monopoli kebenaran. Mereka merasa
sebagai yang paling tahu, rakyat hanyalah orang kebanyakan yang tidak mengerti
persoalan sebenamya. Kalau rakyat mengikuti pendapat kaum elitis ini, tentu
mereka akan pandai pada “waktunya kelak”. Sebaliknya, kaum populis senantiasa
mengulangi semangat kebangsaan yang dibawakan para pemimpin, seperti Bung
Kamo, selalu mempertentangkan pendekatan empirik dengan “perjuangan
ideologis”.
Tentu saja, cara berdialog semacam ini tidak memperhitungkan bagaimana kaum
Muslim tradisionalis –seperti warga NU (Nahdlatul Ulama)-, menyusun pendapat
dan pandangan dan mendasarkan hal itu pada asumsi yang tidak dimengerti,
baik yang oleh golongan elitis maupun oleh golongan populis. Demikianlah,
dengan alasan-alasaan keagamaan yang mereka susun sendiri, kaum Muslimin
yang hadir dalam Muktamar NU di Banjarmasin (Bomeo Selatan) tahun1935
memutuskan kawasan ini tidak memerlukan Negara Islam. Keputusan Muktamar
NU ini menjadi dasar, mengapa kemudian para pemimpin berbagai gerakan di
negeri ini kemudian mengeluarkan Piagam Jakarta dari Undang-Undang Dasar
(UUD) kita. Jadilah negeri kita sebuah Negara Pancasila dengan nama Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang tetap lestari hingga hari ini. Dan,
kelihatannya
tidak
akan
berubah
seterusnya.
Pada tanggal 22 Oktober 1945, PBNU (hoofdbestuur NU), yang waktu itu
berkedudukan di Surabaya mengeluarkan Resolusi Jihad, berisikan untuk
mempertahankan dan memperjuangkan Republik Indonesia (RI) adalah
kewajiban agama atau disebut sebagai jihad, walaupun NKRI bukanlah sebuah
Negara Islam atau lebih tepatnya sebuah Negara agama. Di sini tampak, bahwa
kaum muslimin trasidional dalam dua hal ini mengembangkan jalan pikiran
sendiri, yang tidak turut serta dalam perdebatan antara kaum elitis dan populis.
Namun, mereka tidak menguasai media khalayak (massa) dalam perdebatan di
kalangan ilmuwan. Karena itulah, mereka dianggap tidak menyumbangkan
sesuatu
kepada
debat
publik
tentang
dasar-dasar
negara
kita.
*****
Dalam sebuah harian (Kompas, Senin 8/9/2003) , seorang sejarawan membantah
tulisan penulis yang mengatakan Sekarmadji M. Kartosoewirjo adalah asisten/staf
ahli Jenderal Besar Soedirman di bidang militer. Dengan keahliannya sebagai
politisi bukankah lebih tepat kalau ia menjadi staf ahli beliau di bidang sosial-

politik? Pengamat tersebut lupa bahwa asisten/staf ahli beliau saat itu dijabat
oleh ayahanda penulis sendiri, KH. A. Wahid Hasjim, dan Kartosoewirjo sendiri
memang berpangkat tentara/militer sebagai akibat dari integrasi Hizbullah ke
dalam APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia). Jenderal Besar Soedirman
sendiri juga tidak pemah menjabat pangkat militer apapun sebelum bala tentara
Jepang datang kemari dan menduduki kawasan yang kemudian disebut sebagai
NKRI. Dari penjelasan di atas menjadi nyata bagi kita, bahwa layak-layak saja
S.M. Kartosoewirjo menjadi asisten/staf ahli Panglima APRI di bidang militer.
Bahwa ia kemudian mempergunakan DI/TII sebagai alat pemberontakan, adalah
sesuatu yang lain sama sekali. Dan sang sejarawan lupa bahwa penulusuran
sejarah tidak hanya harus didapat dalam sumber-sumber tertulis, tapi juga
sumber-sumber
lisan.
Dari kasus NII dapat kita lihat, bahwa di masa lampau -pejabat-pejabat negarajuga ada yang membaca secara salah hal-hal yang ada di luar diri mereka dengan
cara berpikir yang lain dari ketentuan dan kesepakatan berdirinya negara kita. Ini
disebabkan oleh adanya perbedaan cara memandang persoalan, apalagi yang
berkenaan dengan ambisi politik pribadi atau karena pertimbangan-pertimbangan
lain. Dalam hal ini, yang paling mencolok adalah jalan pikiran NU yang tidak
memandang perlu adanya Negara Islam. Kalau ditinjau dari adanya peristiwa itu
sendiri, jelas bahwa perbedaan pemahaman itu timbul dari cara berpikir
keagamaan yang kita lakukan. Bagi NU, hukum agama timbul dari sumbersumber tertulis otentik (adillah naqliyyah) yang diproyeksikan terhadap
kebutuhan aktual masyarakat. Sedangkan gerakan-gerakan Islam lainnya
langsung mengambil hukum tertulis itu dalam bentuk awal, yaitu berpegang
secara letterlijk (harfiyah) dan tentu saja tidak akan sama hasilnya.
Bahkan,diantara para ulama NU sendiri sering terjadi perbedaan paham, karena
anutan dalil masing-masing saling berbeda. Sebagai contoh dapat digambarkan
bahwa hampir seluruh ulama NU menggunakan ru’yah (penglihatan bulan) untuk
menetapkan permulaan hari Idul Fitri. Tetapi, alm. KH. Thuraikhan dari Kudus
justru menggunakan hisab (perhitungan sesuai almanak) untuk hal yang sama.
Sedangkan diantara para ahli ru’yah sendiri, terdapat perbedaan paham. Seperti
antara alm. KH.M Hasjim Asj’ari –Ra’is Akbar NU dengan KH. M. Bisri Sjansuri,
-wakil Khatib ‘Aam/wakil sekretaris Syuriyah PBNU-, yang bersama-sama
melakukan ru’yah di Bukit Tunggorono, Jombang namun temyata yang satu
melihat dan yang lain tidak. Hasilnya, yang seorang menyatakan hari raya Idul
Fitri keesokan harinya, sedangkan yang lain menyatakan hari berikutnya. Jadi,
walaupun sama-sama mengikuti jalan pikiran ushul-fiqh (teori hukum Islam),
namun dapat mencapai hasil yang saling berbeda. Karena Perbedaan pendapat
memang diperkenankan dalam pandangan fiqh, yang tidak diperkenankan adalah
terpecah-belah. Ayat al-qur’an jelas dalam hal ini; “Berpeganglah kalian pada tali
Allah secara keseluruhan, dan jangan terpecah-belah” (Wa’tashimu bi Habli Allahi
Jami’an
wa
la
Tafarraqu).
****
Nah, dalam soal-soal bertarap kebangsaan dan kenegaraan, -seperti penetapan

orientasi bangsa,- jelas bahwa kita harus menerima perbedaan pandangan,
karena semuanya di dasarkan oleh argumentasi masing-masing. Karena itu ketika
ada pendirian berbeda antara pihak seperti NU dengan kaum muslimin lainnya,
maka kata akhimya bukanlah dari pihak yang mengemudikan negara
(pemerintah), melainkan hasil pemilihan umum yang menjadi acuan. Kalau ini
tidak dipahami dengan baik, tentu akan ada usulan-usulan yang ditolak atau
ditunda oleh partai-partai, para aktifis, para wakil organisasi Islam di satu pihak
dengan elemen bangsa lain yang tidak secara resmi mendukung atau menolak
gagasan kenegaraan yang diajukan. Inilah yang senantiasa harus kita ingat
setiap kali membahas “kesempitan pandangan” dari beberapa agama yang besar,
seperti serunya perbedaan antara pihak yang mengharuskan dengan pihak yang
tidak
pemah
melihat
pentingnya
“keterwakilan
rakyat”.
Karena Partai Kebangkitan Bangsa –yang memiliki ikatan historis dengan NUbukanlah sebuah partai Islam, maka tidak perlu terlalu mementingkan ajaran
formal Islam dalam setiap penagambilan keputusan. Cukuplah kalau lembaga
yang menetapkan Undang-Undang (UU) itu bergerak mengikuti prosedur
kelembagaan yang ditopang oleh UU, pakar hukum agama dan segenap
pemikiran masyarakat. Pendapat para pakar hukum agama ini menjadi
pertimbangan pembuatan hukum bukan pelaksanaannya. Di sinilah diperlukan
kearifan dunia hukum nasional kita, untuk juga memperhitungkan pendapat yang
dilontarkan masyarakat dan berasal dari para pakar hukum agama.
Dengan demikian, kita sampai kepada hal-hal yang berkenaan dengan
pandangan kaum Muslimin Sunni tradisional dalam kehidupan bangsa kita. Dalam
hal-hal yang sifatnya fundamental bagi kehidupan agama di negeri kita, jelas halhal yang bertentangan dengan ajaran agama tidak dapat ditolerir, umpamanya
saja, mengenai keyakinan akan ke-Esaan Tuhan (tauhid). Hal-hal semacam ini
tidak dapat dibiarkan dan harus diperjuangkan sehabis daya oleh kaum Muslimin
sendiri. Sebaliknya, hal-hal yang tidak bersifat fundamental bagi keyakinan
agama seseorang, tentu saja masih diperlukan tela’ahan lebih jauh dan dapat
ditolerir perubahan-perubahannya. Bukankah al-qur’an sendiri yang justru
menyatakan “dan Ku jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa
agar saling mengenal “. Dari hal ini dapat diharapkan, di masa depan produkproduk hukum kita akan berkembang sesuai dengan kebutuhan dan tingkat
pengetahuan
kita.

Yang Terbaik Ada Di Tengah
Oleh
:

KH.Abdurrahman

Wahid

Judul diatas diilhami oleh sabda Nabi Muhammad SAW: “ Sebaik-baik persoalan
adalah yang berada ditengah “ (Khairu Al-Umur Ausathuha). Ia juga
mencerminkan Pandangan agama Budha tentang “jalan tengah” yang dicari dan
diwujudkan oleh penganut agama tersebut. Walaupun demikian, judul itu
dimaksudkan untuk mengupas sebuah buku karya, tokoh Syi’ah terkemuka Dr.
Musa Al Asy’ari, “Menggagas Revolusi Kebudayaan Tanpa Kekerasan” –dalam
sebuah diskusi di kampus Universitas Darul Ulum Jombang, beberapa waktu lalu,
katakanlah sebagai sebuah resensi, yang juga menunjukan kecenderungan
umum mengambil “jalan tengah” yang dimiliki bangsa kita, dan mempengaruhi
kehidupan
di
negeri
ini.
Dalam kenyataan hidup sehari-hari, sikap mencari jalan tengah ini, akhimya
berujung pada sikap mencari jalan sendiri di tengah-tengah tawaran penyelesaian
berbagai persoalan yang masuk ke kawasan ini. Namun, sebelum menyimpulkan
hal itu, terlebih dahulu penulis ingin melihat buku itu dari kacamata sejarah yang
menjadi jalan hidup banyak peradaban dunia. Kalau kita tidak pahami masalah
tersebut dari sudut ini, kita akan mudah menggangap “jalan tengah” sebagai
sesuatu yang khas dari bangsa kita, padahal dalam kenyataannya tidaklah
demikian.
Bahwa bangsa kita cenderung untuk mencari sesuatu yang independen dari
bangsa-bangsa lain, merupakan sebuah kenyataan yang tidak terbantahkan. Mr.
Muhammad Yamin, umpamanya menggangap kerajaan Majapahit memiliki
angkatan laut yang kuat dan menguasai kawasan antara pulau Madagaskar di
lautan Hindia/Samudra Indonesia di Barat dan pulau Tahiti di tengah-tengah
lautan Pasifik, dengan benderanya yang terkenal Merah Putih. Padahal, angkatan
laut kerajaan tersebut hanyalah fatsal (pengikut) belaka dari Angkatan Laut
Tiongkok yang menguasai kawasan perairan tersebut selama berabad-abad. Kita
tentu tidak senang dengan klaim tersebut karena mengartikan kita lemah, tetapi
kenyataan sejarah berbunyi lain, Australia yang menjadi dominion Inggris, secara
hukum dan tata negara, memiliki indenpendensi sendiri terlepas dari negara
induk.
*****
Penulis melihat, bahwa sejarah dunia penuh dengan penyimpanganpenyimpangan seperti itu. Umpamanya saja, seperti di tunjukan oleh Oswald
Spengler dalam “Die Untergang des Abendlandes"(The Decline Of The West).
Buku yang menggambarkan kejayaan peradaban Barat dalam abad ke 20 ini
temyata mulai mengalami keruntuhan (Untergang) . Filosof Spanyol Kenamaan,
Ortega Y Gasset, justru menunjuk kepada tantangan dari massa rakyat
kebanyakan dalam peradaban moderen terhadap karya-karya dan produk kaum
elit, seperti tertuang dalam bukunya yang sangat terkenal “ Rebellion of the
Masses”
(Pemberontakan
Rakyat
Kebanyakan).

Kemudian itu semua, disederhanakan oleh Amold Jacob Toynbee dalam karya
momentumnya yang terdiri dari 2 jilid, “A Study of History”. Toynbee
mengemukakan sebuah mekanisme sejarah dalam peradaban manusia, yaitu
tantangan (challenges) dan jawaban (responses). Kalau tantangan terlalu berat,
seperti tantangan alam di kawasan Kutub Utara, seperti yang dialami bangsa
Eskimo, maka manusia tidak dapat memberikan jawaban memadai, jadi hanya
mampu bertahan hidup saja. Sebaliknya, kalau tantangan harus dapat diatasi
dengan kreatifitas, seperti tantangan banjir sungai yang merusak untuk beberapa
bulan dan kemudian membawa kemakmuran melalui kesuburan tanah untuk
masa selanjutnya, akan melahirkan peradaban tepi sungai yang sangat besar,
seperti di tepian Nil, Tigris, Eupharat, Gangga, Huang Ho, Yang Tse Kiang, Musi
dan Brantas. Lahimya Pusat-pusat peradaban dunia ditepian sungai-sungai itu,
merupakan
bukti
kesejahteraan
yang
tidak
terbantah.
Jan Romein, seorang sejarawan Belanda, menulis bukunya “Aera Eropa” ia
menggambarkan adanya PKU I (Pola Kemanusiaan Umum pertama, Eerste
Algemeene menselijk Patron). PKU I itu, menurut karya Romein tersebut
memperlihatkan diri dalam tradisionalisme yang dianut oleh peradaban dunia dan
kerajaan-kerajaan besar waktu itu, berupa masyarakat agraris, birokrasi kuat
dibawah kekuasaan raja yang moralitas yang sama di mana-mana. Dalam abad
ke-6 sebelum masehi, terjadi krisis moral besar-besaran yang ditandai dengan
munculnya nama-nama Lao Tze dan Konghucu, Budha Gautama, Zarathustra di
Persia dan Akhnaton di Mesir. Mereka para moralis hebat ini mengembalikan
dunia kepada tradisionalismenya, karena memperkuat “keseimbangan”.
Sebaliknya, para filsuf Yunani Kuno, membuat penimpangan pertama terhadap
PKU kesatu itu, dengan mengemukakan rasionalitas sebagai ukuran perbuatan
manusia yang terbaik. Penyimpangan-penyimpangan PKU I ini di ikuti oleh
penyimpangan-penyimpangan lain oleh Eropa seperti kedaulatan hukum Romawi
(Lex Romanum) pengorganisasian kinerja, Renaissance (Abad kebangkitan),
Abad pencerahan (Aufklarung), Abad Industri dan Abad Ideologi. Dengan adanya
penyimpangan itu, Eropa memaksa dunia untuk menemukan PKU II (Tweede
Algemeene menselijk Patron), yang belum kita kenal bentuk finalnya.
****
Nah, kita menolak Theokrasi (negara agama) dan Sekularisme, dengan
mengajukan altematif ketiga berupa Pancasila. Kompromi politik yang
dikembangkan kemudian (dan sampai sekarang belum juga berhasil) sebagai
ideologi bangsa, menolak dominasi Agama maupun kekuasaan Anti Agama dalam
kehidupan bemegara kita. Karena sekularisme di pandang sebagai penolakan
kepada agama -dan bukannya sebagai pemisahan agama dari negara-, maka kita
merasakan perlunya mempercayai Pancasila yang menggabungkan Sila pertama
(Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa), dan sila-sila lain yang oleh
banyak
penulis
dianggap
sebagai
penolakan
atas
agama.
Buku yang ditinjau penulis ini, sebenamya adalah upaya dari jenis yang berupaya
menyatukan “kebenaran Agama” dan illmu pengetahuan sekuler (dirumuskan

sebagai kemerdekaan berpikir oleh pengarangnya). Jelas yang dimaksudkan
adalah sebuah sintensa baru yang terbaik bagi kita dari dua hal yang saling
bertentangan. Apakah ini merupakan sesuatu yang berharga, ataukah hanya
berujung kepada sebuah masyarakat (dan negara) “ yang bukan-bukan”.
Sederhana saja masalahnya, bukan?

Yang Umum dan Yang Khusus
Oleh
Abdurrahman

Wahid

Sebagaimana umumnya dosen angkatan lama, Pak Hasan lemah lembut dalam
segala hal. Ketika berbicara suaranya tidak begitu keras, nadanya datar. Kalau
mengemukakan sesuatu tidak begitu menggebu-gebu, melainkan teratur dan
sistematis. Istilah yang digunakan sudah baku; dan dipahami sama oleh para
pendengamya, karena jelas yang dimaksud. Tidak banyak memerlukan ilustrasi
deskriptif, apalagi yang bersifat gambaran fisik. Prinsip-prinsip dan kategorikategori
lebih
penting
dari
deskripsinya
sendiri.
la terlibat dalam kegiatan 'turun ke bawah' yang diselenggarakan oleh perguruan
tinggi tempat ia bekerja — sudah tentu dalam kerjasama dengan lembagalembaga lain. Pekerjaannya memperkenalkan teknologi yang sederhana dan lebih
sesuai dengan kebutuhan sehari-hari rakyat pedesaan, seperti juga banyak
'aktivis pedesaan' yang berkiprah ke bawah. Namun temyata ia melakukan
sesuatu
yang
besar
sekali artinya bagi kita semua,tidak seperti yang dilakukan teman-teman sesama
aktivis. Yang dilakukannya adalah menyiapkan lahan kemasyarakatan' bagi
teknologi yang ditawarkannya—berupa penumbuhan kesadaran dan kebutuhan
akan
teknologi
tersebut.
la berarti
menciptakan
lembaga-lembaga
kemasyarakatan yang akan mengembangkan teknologi yang bersangkutan.
"Kami mencoba memperkenalkan bio-mass sebagai bahan bakar pengganti kayu,
untuk keperluan dapur. Temyata tidak mudah. Karena ibu rumah tangga yang
menjadi sasaran kami bukan hanya seorang individu. Ia juga anggota keluarga,
dan setelah itu warga masyarakat. Untuk membuat ia menerima bio-mass,
keluarga dan masyarakat harus dibuat menerimanya. Dan itu berarti kami harus
mendorong munculnya sarana tempat memutuskan sikap, menerima atau
menolak gagasan yang ditawarkan. Juga mengelola penggunaan teknologi yang
dijajakan
itu."
Bekerja sama dengan para pamong desa setempat, melalui izin pemerintah
daerah, Pak Hasan dan kawan-kawan berhasil merintis sejumlah proyek
penumbuhan kebutuhan dan keinginan tersebut. Sebuah 'proyek penawaran
teknologi' yang dimulai di sebuah desa, dengan segera berhasil melipatgandakan
diri, menjadi kegiatan yang mencakup dua puluh desa lain dalam waktu cepat.
Kiai Madun lain lagi. la 'menawarkan' pesantren asuhannya kepada masyarakat,
dengan melakukan sesuatu yang fundamental bagi pesantrennya: menjadikan
lembaga pendidikan yang dikelolanya 'pusat pengembangan masyarakat'.
Para santri asuhannya berlatih cara-cara mendorong masyarakat, melalui
kegiatan ekonomi secara pra-kooperatif (dengan merk'Usaha Bersama') dan
kemudian kooperatif. Juga membawa teknologi baru yang sederhana.
Memperkenalkan kesadaran bergizi dan KB. Sibuk dengan urusan pelestarian
lingkungan.Walhasil menampilkan pesantren sebagai salah satu 'pangkalan'
mengubah wajah hidup masyarakat secara total. Menawarkan agama sebagai

'mendorong

motivasi

keagamaan

bagi

pembangunan'.

Ada pos obat di lingkungan pesantrennya, ada karang kitri dan apotek hidup
untuk masyarakat. Ada latihan keterampilan 'yang sudah disempumakan'.
Berbagai kegiatan teknis untuk memperbaiki pola kerja dimulai, baik dibidang
pertanian
atau
kerajinan
tangan
maupun
kesehatan
masyarakat.
Sementara itu Isha adalah seorang intelektual kelas berat.Jidatnya lebar,
menerbitkan kesan banyak berfikir. Kalau berbicara senang istilah asing, biar
dikira orang pandai. Banyak teori dilontarkannya. Namun iajauh lebih baik dari
sejumlah intelektual lain, yang senang hanya dengan retorika melambung dan
pikiran ideal, tanpa mampu menerjemahkannya ke dalam kegiatan operasional
yang
berangkai.
Yang menarik adalah komentamya tentang apa yang dilakukan Pak Hasan dan
Kiai Madun tadi. Pak Hasan katanya memakai pendekatan 'tawaran' umum dalam
pembangunan di pedesaan. Jalumya adalah kebutuhan umum masyarakat
sendiri. Kebutuban itu disentuh, melalui kelembagaan biasa seperti arisan,
paguyuban RT/RK dan sebagainya. Sebaliknya Kiai Masdun. la mengajak kepada
hal
sama
melalui
keunikan,
kekhususan
pesantren.
Pada pendekatan umum itu ada kelebihan penting.Yakni mudahnya replikasi atau
penggandaan. Sekali gagasan dasamya diterima baik, seterusnya jalan sudah
licin, kata intelektual kota yang spesialisasi urusan pedesaan itu. Namun sering
terjadi, justru penerimaan gagasan dasar itu sangat lama berlangsung.
Sebaliknya pendekatan khusus untuk menawarkan pembangunan melalui paham,
ideologi, agama atau lembaga tertentu yang memiliki keunikan, sangat cepat
diterima.
Yaitu
kalau
pimpinannya
sudah
'tersentuh'.
Tokoh seperti Isha ini temyata mampu memaparkan jalinan dua pendekatan yang
komplementer dan sama pentingnya, dengan kelebihan dan kekurangan masingmasing.
Banyakkah di antara kita yang memahami keadaan secara terpadu seperti si
Isha?

Bagaimana Mengelola Garuda?
Oleh:

Abdurrahman

Wahid*

Jika paparan dalam buku Peter L. Berger, “ The
Heretical Imperative” diadopsi ke dalam konteks
Indonesia, dapat diceritakan tentang seorang
petani jawa ditengah sawahnya, berhenti
mencangkul karena ia melihat ke atas kepada
sebuah benda logam berkilat terkena cahaya
matahari, dengan suara mesin menderu-deru di
angkasa. Petani itu memandang dengan takjub
kepada benda logam itu, yang dari bawah tidak
terbaca tulisan disamping badannya: tulisan
Garuda Indonesia Airways. Namun petani itu tahu hal tersebut bahwa benda
tersebut adalah pesawat terbang nan jauh disana, karena tiap kali menerbangi
kawasan tersebut. Ia juga tahu bahwa ada burung besar bemama Garuda, yang
menurut cerita adalah burung yang dikendarai Batara Wisnu, Tuhan kebaikan
dalam mithologi pra Islam yang sampai saat ini masih berkembang di beberapa
tempat.
“Heretical Imperative” bermakna keharusan munafik artinya harus memilih antara
dua hal yang tidak dapat dicerai. Kalau kita berpegang pada mithologi lama yang
tidak menggunakan rasio, maka berarti kita menafikan rasio itu sendiri dan
percaya pada hal-hal supranatural. Dengan demikian kita berpegang kepada
mithologi Garudanya Dewa Wisnu dan tidak mementingkan lagi perusahaan
penerbangan nasional dengan nama yang sama itu. Padahal Garuda Indonesia
Airways (GIA) adalah lambang alih teknologi, dan jika kita mampu mengelola
perusahaan penerbangan nasional itu maka akan dapat mengejar ketertinggalan
kita. Karena belum tentu kita menguasai industri pembuatan pesawat-pesawat
terbangnya, karena sudah terlanjur dimonopoli bangsa-bangsa “maju” dunia, kita
hanya mampu menguasai perusahaan penerbangannya dan bukan teknologi
pembuatan
pesawat
terbang
itu
sendiri.
Pengelolaan perusahaan penerbangan nasional itu harus pula dipecah antara
pengusahaan penerbangan dalam negeri, dan pengelolaan penerbangan luar
negeri. Bedanya yang terbesar adalah pada jenis pesawat terbang yang
digunakan, dan dengan demikian pengelolanya sendiri, nyata-nyata sangat
berbeda satu dari yang lain. Jika pengelolaan penerbangan Intemasional/luar
negeri menggunakan pesawat-pesawat berbadan lebar (wide body jet) seperti B747 (dan sekarang juga B-777) dan A-300, yang berharga sangat mahal tiap
unitnya, maka penerbangan dalam negeri cukup menggunakan pesawat-pesawat
berbadan sempit seperti B-737 dan A-319 saja. Tentu banyak sekali variasi
pesawat terbang jet berbadan sempit yang digunakan, tetapi dominasi kedua
pesawat
diatas
tampaknya
sulit
lagi
ditembus
oleh
lain-lainnya.
*****
Kita hampir tujuh tahun berada dalam krisis ekonomi (dan sudah barang tentu

krisis finansial) sejak 1997. sekarang pun, ketika tulisan ini dibuat kita belum lagi
mampu mengatasi krisis multi-dimensional itu. Seolah-olah, krisis yang kita
hadapi sama panjang dan krisis di Mesir yang dihadapi Nabi Yusuf, yaitu 7 tahun.
Namun mudah-mudahan krisis itu tidak memerlukan waktu selama itu untuk
menyelesaikannya. Sudah wajar jika dalam krisis itu lalu perusahaan
penerbangan Garuda juga mengalami kemunduran karena terpaksa membatalkan
rute eksploitasinya, baik domestik maupun Intemasional. Sampai hari inipun
Route penerbangan dari/ ke luar negeri itu masih banyak yang yang ditutup.
Apalagi harus dihilangkannya sekian banyak rute penerbangan keluar negeri.
Yang tinggal hanyalah sangat kecil jumlah penerbangan, umpamanya saja dari/
ke
Amsterdam
(Schipol).
Akibat dari hal ini maka terlepas sejumlah pesawat terbang dari tangan Garuda.
Karena umumnya masih hutang, maka pesawat-pesawat tersebut “dilepas”, baik
dikembalikan kepada pemilik sebelumnya ataupun dijual. Sebab “di lepasnya”
sejumlah pesawat, karena Garuda menggunakan pesawat milik luar negeri, atau
memang dimiliki Garuda tetapi dalam bentuk pinjaman uang/kontrak. Karena
proses itu, maka Garuda terpaksa mendasarkan diri kepada pesawat-pesawatnya
sendiri dan rute penerbangan yang masih diteruskan hanyalah yang
menggunakan pesawat-pesawat yang sudah lama dimiliki Garuda.
Karena lamanya ia digunakan tanpa diperbaharui interiomya, tentu saja ia terasa
sangat kuno. Bukan itu saja, bahkan “ bencel-bencel” (terkelupas) pada tangantangan kursinya sampai hari ini masih dibiarkan, mungkin karena tidak ada dana
untuk memperbaikinya. Semua dana yang ada dihabiskan untuk biaya
pengelolaan dan manajemen penerbangan, dan hampir-hampir tidak ada tersedia
dana untuk perbaikan pesawat. Kalau kita mengerti hal ini, tentu kita
membenarkan sikap yang diambil untuk menunggu “kucuran dana” dari
pemerintah kepada Garuda. Salah urus di masa lampau, termasuk pemberian
uang dalam jumlah sangat besar pada akhir tiap periode keuangan kepada pihakpihak diluar kebutuhan perusahaan tersebut (katakanlah), sebagai “iuran wajib”
kepada pihak-pihak tertentu yang dekat dengan penguasa, akhimya membuat
Garuda berantakan sebagai sebuah badan usaha. Karena itu, GIA tidak dapat
membeli pesawat-pesawat baru dan justru mengurangi penerbanganpenerbangan yang dimilikinya sebelum krisis multidimensi yang kita alami sekitar
7
tahun
yang
lalu.
*****
Dalam mengahadapi tantangan demi tantangan di masa krisis itu, terjadi sebuah
orientasi baru dalam usaha penerbangan milik pemerintah itu. Garuda lalu
mengalihkan titik perhatiannya kepada penerbangan dalam negeri. Masih harus
dikaji apa saja yang menjadi pendorong bagi munculnya orientasi baru itu, tetapi
kemungkinan besar karena lebih mudah/murah “mencari” pesawat-pesawat
terbang baru bagi rute penerbangan dalam negeri dari pada biaya perbaikan
pesawat-pesawat terbang untuk rute perjalanan luar negeri. Bahkan, perjalanan
ke Bangkok, Kuala Lumpur dan Singapura (yang notabene berada ke Luar

Negeri), juga menggunakan pesawat-pesawat terbang lebih kecil daripada
sebelumnya. Demikianlah, secara salah Garuda terpaksa menerapkan prinsip
yang dikemukakan EF Schumacher, “small is beautiful” (kecil itu indah).
Nah, da