Analisa terhadap Peraturan Presiden No.

Analisa terhadap Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005
tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum
April 13, 2012
oleh : Basri Akhmaad
Tanggapan Terhadap Perpres No. 36 Tahun 2005
Analisa terhadap Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, sebagai berikut :
1. Tentang kedudukan Peraturan Presiden sebagai suatu sumber hukum ; Dalam pasal 7 ayat ( 1 )
Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
menyebutkan bahwa : “jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 b. Undang-undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang c. Peraturan Pemerintah d. Peraturan Presiden e.
Peraturan Daerah.”
Memperhatikan ketentuan dalam undang-undang tersebut, terlihat adanya perbedaan dengan
peraturan sebelumnya berkaitan dengan hirarki perundang-undangan, sekurang-kurangnya dalam
ketentuan UU N0. 10 tahun 2004 mengatur, bahwa
1.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak lagi menjadi sumber hukum;
2.Undang-undang dan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang menjadi sejajar atau
sederajat;
3.Dikenalnya sumber hukum Peraturan Presiden ( Perpres ).

Berdasarkan adanya nama baru dalam peraturan perundang-undangan yaitu Perpres
menimbulkan beberapa pertanyaan dan keingintahuan dari masyarakat. Pertanyaan tersebut
antara lain adalah “Apakah yang dimaksud dengan Peraturan Presiden?”, “Kapan Peraturan
Presiden dibuat?”, “Apa saja substansi yang dapat diatur dalam Peraturan Presiden tersebut?”.
Mempertimbangkan beberapa pertanyaan tersebut, kami mencoba melakukan analisa berkaitan
dengan kedudukan sumber hukum Peraturan Presiden. Berdasarkan hasil analisa kami, diketahui
bahwa berdasarkan ketentuan pasal 11 Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, menyatakan bahwa: “Materi muatan Peraturan Presiden berisi
materi yang diperintahkan oleh Undang-undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan
Pemerintah“.
Dengan melihat hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa Peraturan Presiden ditetapkan dalam
rangka melaksanakan materi yang diperintahkan oleh Undang-undang atau materi untuk
melaksanakan Peraturan Pemerintah. Sehingga berdasarkan pengertian tersebut dapat juga
dikatakan bahwa dibentuknya Peraturan Presiden setelah adanya Undang-undang ataupun
Peraturan Pemerintah, yang apabila dapat dikatakan dimana Undang-undang dan Peraturan
Pemerintah tersebut merupakan komponen induknya dan Peraturan Presiden sebagai komponen
pelaksana atau berfungsi sebagai alat administrasi negara dalam melaksanakan Undang-undang
dan/atau Peraturan Pemerintah.
2. Relevansi dengan Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Pertanyaan sebagaimana dimaksud


diatas, menjadi lebih sering di dengar setelah ditetapkannya Peraturan Presiden No. 36 tahun
2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,
oleh Presiden Republik Indonesia Soesilo Bambang Yudhoyono, pada tanggal 3 Mei 2005.
Memperhatikan bagian pertimbangan (consideran) Peraturan Presiden tersebut di mana di
sebutkan dalam : “ butir
a. Bahwa dengan meningkatnya pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan
tanah, maka pengadaannya perlu dilakukan secara cepat dan transparan dengan tetap
memperhatikan prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah. Kemudian dalam
butir
b. Bahwa pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum
sebagaimana telah ditetapkan dengan keputusan Presiden No. 55 tahun 1993 sudah tidak sesuai
dengan landasan hukum dalam rangka melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum.
Selanjutnya dalam butir
c. Bahwa berdasarkan pertimbangan butir a dan butir b, perlu menetapkan Peraturan Presiden
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum “
Deputi Sekretaris Kabinet (Seskab) Bidang Hukum dan Perundangan, Lambok V Nahattandas
mengatakan: “Dalam Perpres ini ada beberapa hal yang berbeda dengan Keppres 55/1993.
Antara lain, adanya pencabutan hak atas tanah bila yang bersangkutan bersikeras tidak mau
menjual tanahnya untuk digunakan sebagai kepentingan umum meskipun setelah melalui

musyawah untuk menentukan nilai jual tanah tersebut….” (Kompas Cyber Merdeka, 6 Mei
2005).
Selanjutnya menurut Andi Malaranggeng “…. Keluarnya Perpres No. 36 tahun 2005 sebagai
salah satu tindak lanjut dari KTT Infrastruktur……….” (Kompas Cyber Merdeka, 6 Mei 2005).
Pertanyaan ini menjadi lebih mendasar ketika masyarakat melihat bahwa substansi atau materi
yang diatur dalam Peraturan Presiden sangat kental dengan pencabutan hak atas tanah, bangunan,
tanaman, serta benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah oleh negara dengan pemberian
ganti rugi senilai Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) untuk tanah, atau berdasarkan perhitungan dari
instansi pemerintah yang bersangkutan dengan benda-benda selain tanah. Hal tersebut sangat
meresahkan masyarakat dan menjadi masalah sosial yang timbul di masyarakat. Permasalahan
utamanya adalah hak masyarakat atas hak atas tanah, bangunan, tanaman, serta benda-benda lain
yang berkaitan dengan tanah menjadi terganggu. Pemerintah dapat saja “ seolah-olah “ dalam
rangka kepentingan umum yang sebenarnya adalah akses memperlancar “bisnis“ segelintir orang
mencabut hak masyarakat tersebut, terlebih yang dimaksud dengan kepentingan umum dalam
Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tersebut telah mengalami perluasan kriteria jika
dibandingkan dengan Keputusan Presiden No. 55 tahun 1993. Sekalipun diatur mengenai
musyawarah dalam Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005, akan tetapi jika musyawarah gagal
ditempuh kemudian terdapat uang pengganti dari pemerintah yang dititipkan ke pengadilan,
hingga presiden sendiri yang mencabut hak atas tanah itu.
Hal tersebut menunjukan diperlemahnya akses masyarakat akan hak atas tanah dan dilanggarnya

hak sipil-politik dan hak ekonomi, sosial, budaya oleh masyarakat oleh pemerintah. Tetapi
mungkin saja justru para pemodal yang diuntungkan, termasuk investor asing. Sahala Sianipar,
Direktur Golin/Haris Internasional Pte Ltd Singapura, perusahan public relation yang bermarkas
di AS, mengungkapkan, bahwa beberapa investor asing memang belum mau meneken
persetujuan investasi di proyek infarstruktur karena belum ada jaminan soal pertanahan di
Indonesia. Investor asing tidak mungkin berhadapan langsung dengan masyarakat di Indonesia.
Sebab itu, investor menginginkan agar pemerintah mengatur soal tanah (Jawa Pos Online,

08/05/2005). Dan nampaknya bahwa pemerintah ingin menguasai tanah masyarakatnya dengan
harga murah. Pada kenyataan – seperti yang disampaikan Abdul Haris Kepala Subdit Pertanahan
Bappenas Jakarta – bahwa berdasarkan hasil pemantauan proyek-proyek pemerintah yang berupa
pinjaman luar negeri diperoleh bahwa salah satu faktor penghambat pelaksanaan proyek tersebut
adalah kurangnya dana pengadaan tanah, adanya hambatan dalam proses pembebasan tanah,
maupun hambatan dalam permukiman kembali (Media Indonesia Kamis, 26 Mei 2005).
3.Permasalahan Hukum dalam Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005;
a. Permasalahan Formal : Ketentuan pasal 11 Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menyatakan bahwa: “Materi muatan Peraturan
Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-undang atau materi untuk melaksanakan
Peraturan Pemerintah“.
Berdasarkan ketentuan tersebut jelaslah bahwa Peraturan Presiden dibuat untuk melengkapi

materi yang diperintahkan Undang-undang atau berisi materi yang diperintahkan oleh Peraturan
Pemerintah. Artinya juga bahwa Peraturan Presiden sesungguhnya dibuat sebagai sarana
administrasi pemerintah, namun menunjuk (according) Undang-undang dan /atau Peraturan
Pemerintah. Bagaimana dengan Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pelaksanan Kepentingan Umum? Telah diketahui bersama bahwa keluarnya Peraturan
Presiden No. 36 tahun 2005 merupakan salah satu tindak lanjut dari Infrastucture Summit 2005.
Artinya bahwa Peraturan Presiden tersebut bukanlah merupakan materi yang diperintahkan oleh
Undang-undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, sehingga secara formil
Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 adalah cacat hukum dan harus dicabut oleh Presiden.
b. Permasalahan Materiil: Perihal Pencabutan Hak Atas Tanah (pasal 2 ayat 1 b, pasal 18):
Mengenai permasalahan pencabutan hak atas tanah, Undang-undang Pokok Agraria dan Undangundang Hak Asasi Manusia telah memberikan jaminan serta perlindungan terhadap hak milik
atas tanah, sebagaimana dinyatakan dalam :
1. UU No. 5 tahun 1960 (UUPA ) : Pasal 6: Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial
Penjelasan pasal 6 ; ? Lihat penjelasan umum (II angka 4). “………. tetapi dalam ketentuan
tersebut tidaklah berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh
kepentingan umum (masyarakat). UUPA memperhatikan pula kepentingan perseorangan.
Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga
pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok : kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi
seluruh rakyatnya ( pasal 2 ayat 3 ) ………….”.
2. Pasal 36 ayat 1 dan 2 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 36 :

1. Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan
orang lain, demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa dan masyarkat dengan cara yang tidak
melanggar hukum.
2. Tidak seorangpun boleh dirampas hak miliknya dengan sewenang-wenang dan secara
melawan hukum
3. Pasal 71 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 71 ;
Pemerintah wajib dan bertanggungjawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan
memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam UU ini, peraturan per-UU-an lain, dan hukum
internasional tentang HAM yang diterima oleh Negara Republik Indonesia Berdasarkan
ketentuan-ketentuan tersebut diatas maka dengan tegas dapat dinyatakan bahwa Peraturan
Presiden No. 36 tahun 2005 bertentangan dengan UUPA dan UU HAM.
Oleh sebab itu, dikarenakan dalam ilmu hukum dikenal asas hukum “Lex superior derogat legi

inferiori” yang artinya peraturan yang lebih tinggi mengenyampingkan peraturan yang lebih
rendah, sehingga dalam hal ini yang berlaku adalah UUPA dan UU HAM. Perihal Ganti
Kerugian (pasal 1 angka 11, pasal 10, pasal 12, pasal 13, pasal 15 ): Berkaitan dengan
permasalahan ganti kerugian, dimana dalam Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005, dinyatakan
bahwa dengan pencabutan hak atas tanah, bangunan, tanaman, serta benda-benda lain yang
berkaitan dengan tanah oleh negara dengan pemberian ganti rugi senilai Nilai Jual Objek Pajak
(NJOP) untuk tanah, atau berdasarkan perhitungan dari instansi pemerintah yang bersangkutan

dengan benda-benda selain tanah, menimbulkan keresahan bagi masyarakat. dalam kondisi
senyatanya dimana harga jual tanah itu bisa tiga kali lipat atau lebih dari NJOP, sehingga hal ini
telah membawa masyarakat kepada kondisi yang menurun. Berbeda dengan ketentuan dalam
UUPA, sebagaimana diuraikan sebagai berikut :
Pasal 18 ( UUPA ) Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti
kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan UU.
Penjelasan pasal 18 ; Pasal ini merupakan jaminan dari rakyat mengenai hak-haknya atas tanah.
Pencabutan hak dimungkinkan, tetapi diikat dengan syarat-syarat, misalnya harus disertai
pemberian ganti kerugian yang layak. Mengenai permasalahan ganti kerugian yang layak ini,
seharusnya dapat juga dipertimbangkan tidak hanya sebatas pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP),
harga bangunan, dan tanaman yang ditetapkan oleh instansi pemerintah, tetapi berkaitan juga
dengan ganti kerugian atas relasi sosial, seperti antara lain dengan pindah dari tempat semula
ketempat yang kurang accessble mengakibatkan biaya transportasi untuk ke kantor, ke sekolah,
ke pasar menjadi lebih mahal dan menggangu hak-hak ekonomi rakyat. Dengan demikian
ketentuan dalam Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 telah bertentangan dengan UUPA.
4.Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian di atas, dalam rangka memberikan perlindungan hukum
dan memberikan rasa keadilan masyarakat, maka Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tentang
Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, harus segera
dicabut oleh Presiden RI karena baik secara formil ataupun materiil Peraturan Presiden No. 36

tahun 2005 telah bertentangan dengan hukum dan Hak Asasi Manusia itu sendiri.

Dokumen yang terkait

Analisis Pengaruh Pengangguran, Kemiskinan dan Fasilitas Kesehatan terhadap Kualitas Sumber Daya Manusia di Kabupaten Jember Tahun 2004-2013

21 388 5

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63

ANALISIS YURIDIS TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA MEREK AIR MINUM MINERAL "AQUA-versus-INDOQUALITY" (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No. 04.PK/N/HaKI/2004)

2 65 91

Kekerasan rumah tangga terhadap anak dalam prespektif islam

7 74 74

Analisa studi komparatif tentang penerapan traditional costing concept dengan activity based costing : studi kasus pada Rumah Sakit Prikasih

56 889 147

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Analisis pengaruh pajak daerah, retribusi daerah, dan hasil badan usaha milik daerah terhadap pendapatan asli daerah Kota Tangerang (2003-2009)

19 136 149

Pengaruh model learning cycle 5e terhadap hasil belajar siswa pada konsep sistem ekskresi

11 137 269

Pengaruh metode sorogan dan bandongan terhadap keberhasilan pembelajaran (studi kasus Pondok Pesantren Salafiyah Sladi Kejayan Pasuruan Jawa Timur)

45 253 84