Estetika Resepsi Sastra Etnik Sebagai Wa

PROSIDING
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVII
OPTIMALISASI FUNGSI BAHASA INDONESIA
SEBAGAI WAHANA PEMBENTUKAN MENTAL DAN KARAKTER BANGSA
DI ERA GLOBALISASI MENUJU INDONESIA EMAS 2045
YOGYAKARTA, 2–3 OKTOBER 2015

Undang – undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Lingkup Hak Cipta
Pasal 2:
1.

Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setalah
suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana
Pasal 72:
1.


2.

Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling
sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan memamerkan, mengedarkan, atau menjual
kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

PROSIDING
SEMINAR NASIONAL
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
INDONESIA (PIBSI) XXXVII
OPTIMALISASI FUNGSI BAHASA INDONESIA SEBAGAI WAHANA
PEMBENTUKAN MENTAL DAN KARAKTER BANGSA DI ERA
GLOBALISASI MENUJU INDONESIA EMAS 2045
YOGYAKARTA, 2–3 OKTOBER 2015


Editor:
Pranowo
Yuliana Setyaningsih
R. Kunjana Rahardi

PROSIDING
SEMINAR NASIONAL
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVII
OPTIMALISASI FUNGSI BAHASA INDONESIA
SEBAGAI WAHANA PEMBENTUKAN MENTAL DAN KARAKTER BANGSA
DI ERA GLOBALISASI MENUJU INDONESIA EMAS 2045
YOGYAKARTA, 2–3 OKTOBER 2015
Copyright © PBSI Universitas Sanata Dharma, 2015

Diterbitkan oleh Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia
dan Program Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
FKIP Universitas Sanata Dharma
bekerja sama dengan
Asosiasi Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia (ADOBSI)

dan penerbit Sanata Dharma University Press, 2015
Jl. Affandi (Gejayan) Mrican,
Yogykarta 55281
e-mail: publisher@usd. ac. id

Editor:
Pranowo
Yuliana Setyaningsih
R. Kunjana Rahardi

Tata Letak dan Sampul:
Robertus Marsidiq
Stefanus Candra
Insep Pitomo
Galih Kusumo
Septina Krismawati

Gambar Sampul:
Google Image Search (Montase)


Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT)
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PIBSI XXXVII
Yogyakarta: Sanata Dharma University Press, 2015
xxxi + 1525 hlm; 16 x 24 cm
ISBN: 978-602-0830-17-9

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................
DAFTAR ISI ........................................................................................................
KATA PENGANTAR ............................................................................................
SAMBUTAN .......................................................................................................

ii
vii
xv
xvi

MAKALAH UTAMA ....................................................................................

1


PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA DAN KESIAPAN BAHASA INDONESIA DI
ERA GLOBALISASI DALAM RANGKA MENYONGSONG INDONESIA EMAS 2045
oleh Multamia RMT Lauder ................................................................................

2

TRAGEDI EKALAYA oleh Sudaryanto ..................................................................

12

MANIFESTASI METAKOGNISI DALAM PENULISAN ARTIKEL JURNAL oleh
Yuliana Setyaningsih ...........................................................................................

20

JALAN SASTRA oleh Arswendo Atmowiloto ........................................................

32


TOPIK I PEMBINAAN DAN PERENCANAAN BAHASA, SOSIOLINGUISTIK, DAN
PENDIDIKAN KARAKTER ............................................................................

35

KALIMAT LARANGAN DAN MAKNANYA DALAM KAITANNYA DENGAN
PEMBENTUKAN KARAKTER ANAK oleh Agnes Adhani ........................................

36

POLITIK BAHASA UNTUK TENAGA KERJA ASING DI INDONESIA PADA ERA
PASAR BEBAS oleh Ahmad Syaifudin ..................................................................

47

CAMPUR KODE DALAM PAMFLET ORGANISASI MAHASISWA LINGKUNGAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA KAJIAN SOSIOLINGUISTIK oleh
Andika Dwi Purnomo, Nike Ari S, Roni A, dan Sri Sumarsih ................................

56


BAHASA INDONESIA DAN REVOLUSI MENTAL DALAM PERSPEKTIF SEMANGAT
KEINDONESIAAN oleh Chattri S Widyastuti ........................................................

65

PERGESERAN BAHASA ENGGANO DALAM LINGKUP KELUARGA DI DESA MEOK
DUSUN PAKUAH KECAMATAN ENGGANO, KABUPATEN BENGKULU UTARA,
PROVINSI BENGKULU oleh Eli Rustinar ...............................................................

75

EKSPRESI NOMINA PADA KLAUSA RELATIF DALAM BAHASA INDONESIA oleh
F. X. Sawardi, Henry Y, dan Hesti W ....................................................................

83

NILAI EDUKASI BAHASA DAN PEMBANGUNAN KARAKTER MASYARAKAT
MELALUI IKLAN POLITIK (SEBUAH KAJIAN POLISOSIOLINGUISTIK JELANG
PILKADA 2015) oleh Fahrudin Eko Hardiyanto ...................................................


96

MEDAN MAKNA AKTIVITAS TANGAN DALAM BAHASA INDONESIA oleh Farida
Nuryatiningsih .....................................................................................................

102

vii

CITRA DOMINASI PEREMPUAN DALAM WACANA HUMOR MEME BERTEMA
PACARAN oleh Sony Christian S ..........................................................................

1004

ESTETIKA RESEPSI SASTRA ETNIK SEBAGAI WAHANA PEMBENTUKAN MENTAL
DAN KEPRIBADIAN BANGSA oleh Teguh Trianton .............................................

1016


STRUKTUR PUISI ANAK INDONESIA: ANALISIS SARANA RETORIKA oleh Tri
Mulyono dan Masfu’ad Edy S .............................................................................

1028

MEMBENTUK KARAKTER BANGSA MELALUI KARYA SASTRA oleh Umi
Mujawazah ..........................................................................................................

1039

SISTEM KEPERCAYAAN MASYARAKAT DAYAK DALAM NOVEL PERAWAN
KARYA KORRIE LAYUN RAMPAN oleh Wiekandini Dyah P ..................................

1050

SEKS DALAM CERITA-CERITA UMAR KAYAM oleh Wiranta ................................

1059

TOPIK V SASTRA LISAN DAN PENDIDIKAN KARAKTER ................................................


1074

FOLKLOR ASAL-USUL CALON PRESIDEN SEBAGAI STRATEGI LEGITIMASI
KUASA PADA KAMPANYE PILPRES INDONESIA 2014 oleh M. Ardi K ..................

1075

PELESTARIAN BAHASA DAERAH (SUNDA) DALAM UPAYA MENGOKOHKAN
KEBUDAYAAN NASIONAL oleh Asep Firdaus dan David S ...................................

1088

KATA DAN FRASE BERMAKNA ‘WAKTU’ DALAM BAHASA JAWA BANYUMASAN
oleh Ashari H, Siti Junawaroh, dan Etin P ...........................................................

1096

POSISI DAN FUNGSI DAGELAN DALAM PERTUNJUKAN KETOPRAK DI
SURAKARTA oleh Chafit Ulya ..............................................................................


1103

EDUKASI SEKS YANG TEREFLEKSI MELALUI MEDIA CERPEN UNTUK REMAJA
SEKOLAH MENENGAH PERTAMA oleh David S dan Aa Juhanda .........................

1109

BENTUK PEMERTAHANAN BAHASA JAWA DALAM PERTUNJUKAN KESENIAN
TRADISIONAL KUDA LUMPING DI JAWA TENGAH oleh Hari Bakti M dan Imam
Baehaqie .............................................................................................................

1121

NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM CERITA RAKYAT KECAMATAN
MUNGKA KABUPATEN LIMA PULUH KOTA PROVINSI SUMATERA BARAT oleh
Hasnul Fikri dan Syofiani .....................................................................................

1132

PENGARUH RITUAL TRADISIONAL TERHADAP PERKEMBANGAN NILAI
SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT STUDI KASUS PROSESI RITUAL LABUHAN LAUT
DI GEMPOL SEWU WELERI oleh Ken Widyawati .................................................

1145

KESENIAN TRADISIONAL DALAM PERGESERAN BUDAYA STUDI KASUS
KESENIAN MENAK KONCER KECAMATAN SUMOWONO KABUPATEN
SEMARANG JAWA TENGAH oleh Laura Andri .....................................................

1160

FUNGSI PAPAREGHAN (PANTUN MADURA) BAGI MASYARAKATNYA oleh
M. Tauhed Supratman ........................................................................................

1168

KAJIAN INTERTEKSTUAL ANTARA NOVEL GELANG GIOK NAGA KARYA LENY
HELENA DAN BONSAI: HIKYAYAT SATU KELUARGA CINA BENTENG KARYA

xiii

ESTETIKA RESEPSI SASTRA ETNIK
SEBAGAI WAHANA PEMBENTUKAN MENTAL
DAN KEPRIBADIAN BANGSA
Teguh Trianton
Universitas Muhammadiyah Purwokerto
[email protected]
ABSTRAK
Nilai-nilai luhur, jatidiri bangsa Indonesia mulai pudar. Ini terlihat dari gaya hidup
generasi muda yang sangat materialistik, hedonis, konsumeristik. Gaya hidup
menyimpang dari karakter, mental, kepribadian bangsa yang adiluhung. Mental
dan kepribadian bangsa Indonesia dibentuk dari nilai-nilai budi pekerti luhur yang
berasal dari beragam etnik budaya di nusantara. Nilai budi pekerti merupakan
wujud kearifan lokal yang berfungsi sebagai pedoman yang memberi arah dan
orientasi kehidupan manusia. Nilai budi pekerti mengendap dan tersimpan dalam
teks-teks sastra etnik. Pembentukan mental dan kepribadian bangsa merupakan
inti dari pendidikan. Estetika resepsi menjadi salah satu wahana pembentukan
mental dan kepribadian bangsa.
Kata Kunci: estetika resepsi, sastra etnik, pembentukan mental

ABSTRACT
The identity of the Indonesian people began to fade. This is evident from the
lifestyle of the young generation who are very materialistic, hedonistic, and
consumerism. Lifestyle deviate from the character and the valuable national
identity. Thecharacterand personality of the Indonesian nation was formed from
the values of noble character who come from diverse ethnic cultures in the
archipelago. Character value is a form of local wisdom that serves as a guide that
gives direction and orientation of human life. Character value sediment and
stored in ethnic literary texts. Character building and personality of the nation is
at the heart of education. Reception aesthetics into one vehicle mental formation
and personality of the nation.
Keywords: Aesthetics reception, Ethnic literature, Character building

A. PENDAHULUAN
Teknologi informasi telah melipat ruang dan waktu, bahkan melipat dunia. Pelipatan
dunia ini telah mengubah struktur sosial, pola hidup, karakter, mentalitas, dan nilai-nilai
budaya yang dianut. Nilai-nilai budi pekerti luhur telah tergeser dan tergantikan dengan
nilai-nilai budaya populer yang artifisial. Gaya hidup masyarakat sudah tidak lagi

1016

Optimalisasi fungsi bahasa Indonesia sebagai wahana pembentukan mental dan karakter bangsa .....

1017

mencerminkan nilai kearifan budaya lokal. Nilai-nilai luhur, jatidiri, kepribadian bangsa
semakin pudar. Ini terlihat dari gaya hidup generasi muda yang sangat materialistik,
hedonis, dan konsumeristik. Nilai-nilai budi pekerti yang bersumber dari kearifan lokal
tergerus oleh nilai-nilai budaya asing yang bersifat instan. Masyarakat, khususnya generasi
muda; pelajar dan mahasiswa, saat ini mengalami krisis identitas, krisis kebudayaan, dan
krisis nilai-nilai budi pekerti luhur. Masyarakat Indonesia kontemporer tengah mengalami
krisis kultural sebagai dampak globalisasi (Piliang, 2004; Ibrahim, 2005; Pepperell, 2009;
Chaney, 2009; Abdullah, 2009; Piliang, 2011; Ibrahim, 2011; Sayuti, 2011; Hoed, 2014).
Pelipatan dunia adalah proses dan relasi yang sangat kompleks, multidimensi, dan
multibentuk, yang melibatkan berbagai aspek kehidupan, mulai dari persoalan publik,
sosial, ekonomi, budaya, hingga persoalan paling privasi; mentalitas dan spiritualitas. Salah
satu akibatnya adalah terjadi penetrasi budaya asing yang mengancam eksistensi budaya
lokal dan nilai-nilai luhur sebagai identitas bangsa yang terkandung di dalamnya (Piliang,
2011: 49; Ibrahim, 2011; Hoed, 2014).
Undang-undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
memberi amanah tentang pentingnya pendidikan karakter. Undang-undang ini memberi
arah tujuan pendidikan nasional untuk mengembangkan potensi peserta didik agar
memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Secara tegas disebutkan pada Pasal 3,
bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Pembentukan mental dan kepribadian merupakan inti dari pendidikan yang
sungguhnya. Proses pembentukan karakter ini dapat dilaksanakan dengan berbagai jalan.
Pasal 13 Ayat 1 menyebutkan tiga jalur pendidikan, yaitu pendidikan formal, nonformal,
dan informal. Ketiga jalur ini dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan
informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan informal
sesungguhnya memiliki peran dan kontribusi yang sangat besar dalam keberhasilan
pendidikan. Demikian juga dengan pendidikan nonformal, yang memiliki nilai strategis
dalam pembentukan karakter atau mental. Dua jalur pendidikan ini menjadi penopang
keberhasilan pembentukan mental dan kepribadian melalui jalur pendidikan formal.
Terminologi “pendidikan karakter” sebenarnya bukanlah hal baru dalam sistem
pendidikan nasional Indonesia. Presiden RI pertama, Soekarno telah menyinggung soal
pembangunan nasional dan karakter bangsa (nationl and character building). Kemudian, di
awal Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, melalui Menteri Pendidikan Nasional
(Mendiknas) Yahya Muhaimin, wacana tentang pendidikan karakter dan budi pekerti
kembali digulirkan, sebagai amanat Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999.
Selanjutnya, untuk mewujudkan cita-cita pendidikan karakter, Pemerintah menjadikan
pembangunan karakter sebagai salah satu program prioritas dalam Rencana Pembangunan

1018

Seminar Nasional P IBSI XXXVII

Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025. Pendidikan karakter ditempatkan
sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu “Mewujudkan
masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan
falsafah Pancasila.”
Pada tahun 2010; Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) kembali
menekankan pentingnya pendidikan karakter sebagai bagian dari rencana strategis lima
tahun (2010-2014). Dalam Buku Induk Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa
2010-2025, disebutkan bahwa pendidikan karakter dilatarbelakangi oleh realita
permasalahan kebangsaan yang berkembang saat ini, seperti: disorientasi dan belum
dihayatinya nilai-nilai Pancasila; keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam
mewujudkan nilai-nilai Pancasila; bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara; memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa; ancaman
disintegrasi bangsa; dan melemahnya kemandirian bangsa.
Pendidikan karakter
merupakan upaya perwujudan amanat Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
Sementara itu, untuk memberikan arah implementasi pendidikan karakter, pada tahun
2010 Kementerian Pendidikan Nasional, menyusun Rencana Aksi Nasional Pendidikan
Karakter (RAN PK). Di dalamnya disebutkan bahwa pendidikan karakter merupakan
pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang
bertujuan mengembangkan kemampuan seluruh warga sekolah untuk memberikan
keputusan baik-buruk, keteladanan, memelihara apa yang baik & mewujudkan kebaikan itu
dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.
Kemudian, gagasan pendidikan karakter ini dilanjutkan oleh Pemerintahan Joko
Widodo dan Jusuf Kala dengan slogan revolusi mental. Revolusi metal adalah upaya
sengaja dengan kesadaran dan drastismengubah kondisi mental, meliputi cara berpikir,
karakter dan kepribadian, darisatu kondisi agar berubah menjadi lebih baik. Kondisi mental
dianggap baik jika suatu mental sigap dan tangkas menghadapiberbagai perubahan,
memiliki kemandirian dan kemerdekaan pribadi, rasionaldan luas dalam berpikir, tahan
terhadap godaan-godaan yang melanggar normadan etika, mau bekerja keras membangun
kedaulatan politik, ekonomi, dan budaya (Salam, 2014).
B. SASTRA ETNIK DAN KEPRIBADIAN BANGSA
Sastra Indonesia pada dasarnya adalah sastra lokal. Persoalan-persoalan yang ditulis
oleh sastrawan merupakan persoalan yang bersumber dari budaya-budaya lokal yang
disebut etnik. Dari sinilah, muncul terminologi sastra etnik. Ia menjadi bercitra Indonesia
karena ditulis dalam bahasa Indonesia. Sehingga, dengan meneroka karya sastra etnik
berarti menggali dan melestarikan nilai budi pekerti warisan leluhur bangsa yang beradab
dan berbudaya tinggi. Karya sastra sebagai produk kultural mengandung berbagai hal yang
menyangkut hidup dan kehidupan entitas pemiliknya, seperti sistem nilai, kepercayaan,
agama, kaidah-kaidah sosial, etos kerja, bahkan cara bagaimana dinamika sosial itu
berlangsung. Karya sastra tidak pernah lahir dalam situasi yang kosong budaya. Karya
sastra lahir sebagai manifestasi, mimesi, atau refleksi kondisi budaya sebuah entitas sosial

Optimalisasi fungsi bahasa Indonesia sebagai wahana pembentukan mental dan karakter bangsa .....

1019

yang menjadi meliu pengarangnya. Sastra yang demikian, mengandung nilai pendidikan,
pengetahuan budaya, dan masyarakat global yang partikular. Karya sastra yang demikian
disebut sastra etnik. Sebagai rekaman budaya, sastra harus dipahami melalui
interpretasi yang mendalam dengan melibatkan pembaca secara aktif (Sayuti, 2014: 1-3;
Triwikromo, 2014: 1-4; Teeuw, 1983: 11; Ratna, 2007: 25; Setyobudi, 2009; Ratna, 2011:
31; Endraswara, 2013: 13; Manuaba, 2015).
Karya sastra merupakan sistem tanda yang mempunyai makna dengan bahasa sebagai
mediumnya. Karya sastra sebagai simbol verbal, memiliki beberapa peranan baik dalam
usaha; pemahaman (mode of comprehension), cara perhubungan (mode of
communication), dan cara penciptaan (mode of creation). Objek karya sastra adalah realitas
apapun yang dimaksud oleh pengarang. Jika realitas yang dikemukakan melalui karya
sastra merupakan bagian dari sejarah, maka karya dapat memenuhi tiga peran tersebut.
Pertama, karya sastra akan mencoba menerjemahkan peristiwa itu dengan bahasa yang
imajiner sesuai dengan pemahaman sastrawan. Kedua, karya sastra dapat menjadi piranti
bagi pengarang untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan tanggapan atas suatu
peristiwa sejarah, dan ketiga, seperti halnya karya sejarah, karya sastra dapat merupakan
rekonstruksi atas sebuah peristiwa sejarah atau budaya (Prodopo, 2007: 121; Kuntowijoyo,
2006: 171).
Sastra memiliki hubungan yang erat dengan budaya. Sastra secara harfiah sastra dapat
dipahami sebagai alat untuk mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, dan intruksi yang
baik. Sedangkan kebudayaan adalah keseluruhan aktivitas manusia, termasuk
pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum, adat-istiadat, etnik, dan kebiasaan-kebiasaan
lain yang diperoleh dengan cara belajar, termasuk pikiran dan tingkah laku. Jadi, sastra dan
kebudayaan berbagi wilayah yang sama, aktivitas manusia, tetapi dengan cara yang
berbeda, sastra melalui kemampuan imajinasi dan kreativitas -sebagai kemampuan
emosional pengarang-, sedangkan kebudayaan lebih banyak melalui kemampuan akal,
sebagai kemampuan intelektualitas. Kebudayaan mengolah alam untuk memenuhi
kebutuhan hidup manusia yang bersifat materi. Sedangkan sastra mengolah alam melalui
tulisan, membangun dunia baru sebagai ‘dunia dalam kata’, hasilnya adalah jenis-jenis
karya sastra, seperti: puisi, novel, drama, cerita-cerita rakyat, dan sebagainya. Dengan
demikian, sastra merupakan bagian integral budaya yang berisi berbagai anasir pembentuk
kepribadian dan mental bangsa. Sastra yang demikian sering disebut sastra etnik, sastra
kedaerahan, atau sastra berkearifan lokal.
Kearifan lokal merupakan sikap, pandangan, dan kemampuan orang di suatu
komunitas dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya. Kearifan lokal memberikan
kepada komunitas itu; daya tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah di mana komunitas
itu berada. Dengan kata lain kearifan lokal menjadi jawaban kreatif terhadap situasi
geografis-geopolitis, historis, dan situasional yang bersifat lokal (Saini KM, 2005).
Kearifan lokal merupakan bagian dari konstruksi budaya. Ia identik dengan berbagai
kekayaan budaya yang berkembang dalam masyarakat etnik tertentu. Ini merupakan
elemen penting untuk memperkuat kohesi sosial di antara warga masyarakat. Secara

1020

Seminar Nasional P IBSI XXXVII

umum, kearifan lokal memiliki ciri dan fungsi berikut. (1) Sebagai penanda identitas sebuah
komunitas.(2) Sebagai elemen perekat kohesi sosial.(3) Sebagai unsur budaya yang tumbuh
dari bawah, eksis dan berkembang dalam masyarakat; bukan unsur budaya yang
dipaksakan dari atas. (4) Berfungsi memberikan warna kebersamaan bagi sebuah
komunitas. (5) Dapat mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan
kelompok dengan meletakkannya di atas landasan yang sama (common ground). (6)
Mampu mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi dan mekanisme bersama untuk
mempertahankan diri dari kemungkinan terjadinya gangguan atau pengrusakan solidaritas
kelompok sebagai komunitas yang utuh dan terintegrasi (Abdullah [ed.], 2008: 7-8).
Sastra merupakan bagian kesenian, sedangkan kesenian sendiri merupakan bagian dari
budaya masyarakat tertentu. Lantas, masyarakat memberi makna terhadap sastra, bukan
sebaliknya. Di sini terjadi pola interkoneksi antara sastra, masyarakat, dan budaya
masyarakat. Artinya, sebagai bagian budaya secara keseluruhan, manfaat karya sastra
diperoleh dengan menikmati unsur-unsur keindahan. Di dalamnya akan ditemukan nilainilai pendidikan karakter, kepribadian, mentalitas bangsa dalam berbagai bentuk
presentasi kearifan lokal, seperti adat istiadat, konflik sosial, pola-pola perilaku, dan sejarah
yang merupakan unsur pembangunnya. Anasir budaya yang terdapat dalam teks sastra
hanya dapat dipahami oleh manusia dengan pikiran dan perasaan, yaitu dengan intuisi,
penafsiran, unsur-unsur, sebab akibat, dan seterusnya. Salah satu jalan yang dapat
ditempuh adalah dengan pembelajaran sastra.
C.

PEMBELAJARAN SASTRA
Karya sastra sesungguhnya tidak pernah lahir dalam situasi yang kosong budaya.
Artinya, karya sastra lahir sebagai manifestasi, mimesi, atau refleksi kondisi budaya sebuah
entitas sosail. Karya sastra ditulis sebagai sebuah tanggapan terhadap situasi sosial budaya
yang melingkupi diri penulisnya. Sastra dapat lahir sebagai sebuah respon positif dari
kondisi budaya, pada saat yang sama ia dapat lahir sebagai sebuah penolakan terhadap
sebuah situasi budaya. Sastra pada gilirannya menjadi bagian dari produk budaya
masyarakat. Di sisi lain, karya sastra bisa jadi hanya berupa artefak, benda mati, yang baru
dapat mempunyai makna dan menjadi objek estetis jika diberi makna (konkretisasi) oleh
pembaca (Teeuw, 1983: 11; Teeuw, 1984: 191).
Teks sastra menempati posisi yang strategis dalam proses pembelajaran sastra.
Praktek pengajaran sastra menunjuk pada telaah suatu karya sebagi fakta pengetahuan,
kemudian membongkar teks tersebut dengan jalan mengapresiasi atau mengkaji guna
lebih memaknai penghayatan seseorang dalam mengapresiasi dan mempelajari sastra
(Pertiwi, 2009: 79).
Dalam konteks pembelajaran apresiasi karya sastra, setidaknya terdapat tiga nilai
strategis karya sastra berkearifan lokal (etnik). Pertama, struktur karya sastra berkearifan
lokal dapat dimanfaatkan sebagai awal studi yang menyeluruh untuk membangun teori
naratif sastra Indonesia berbasis tradisi sastra adiluhung. Kedua, karya sastra berkearifan
lokal perlu dijadikan materi utama dalam pembelajaran apresiasi sastra agar peserta didik

Optimalisasi fungsi bahasa Indonesia sebagai wahana pembentukan mental dan karakter bangsa .....

1021

mengenal dan mampu mengapresiasi karya sastra yang menerapkan kaidah estetika naratif
keindonesiaan. Ketiga, konvensi naratif sastra berkearifan lokal akan memperkaya
kompetensi kesastraan (literary competence) siswa sehingga dapat bersikap objektif dalam
mengapresiasi karya sastra (Soedjijono, 2008: 31).
Genre sastra dapat dijadikan sarana untuk membentuk karakter bangsa, jika ia
mengandung sedikitnya empat nilai atau aspek; (1) literer-estetis, (2) humanistis, (3) etis
dan moral, dan (4) religius -sufistis- profetis (Saryono, 2009: 52-186).
Pembelajaran sastra bermanfaat untuk menunjang pemahaman budaya tempat sastra
dihasilkan, sehingga akan terbentuk pemahaman tentang kepribadian dan mentalitas
bangsa. Pada masyarakat Indonesia yang multikultural, pembelajaran sastra berkontribusi
memberi pemahaman budaya antardaerah, sehingga terjalin hubungan saling pengertian
antara suku bangsa yang berbeda. Dalam pembelajaran berbasis kelas, teks sastra dapat
dijadikan materi utama pengajaran bahasa, menyajikan situasi komunikasi yang otentik,
dan kontekstual. Belajar merupakan kegiatan aktif dalam membangun makna melalui
interaksi edukatif antara siswa, guru, dan sumber belajar untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Dalam pengajaran sastra, guru bertanggung jawab menciptakan situasi yang
mendorong prakarsa, motivasi, agar siswa mampu belajar, sehingga terbentuk peserta
didik yang memiliki karakter dan budi pekerti luhur (Khatib, 2012: 32-36; Waluyo, 2013: 110; Suwandi, 2013: 1-8).
D. ESTETIKA RESEPSI DAN PEMBENTUKAN MENTAL
Teks sastra mempunyai sifat yang unik. Ia baru memiliki makna jika telah dibaca dan
diinterpretasi oleh pembaca. Pada mulanya, teks sastra hadir di hadapan pembaca sebagai
sesuatu yang netral. Teks sastra yang netral memberikan peluang kepada pembaca untuk
memberikan tanggapan sesuai dengan pengalaman, pengetahuan, perasaan, dan tujuan
membacanya.
Rentang waktu juga dapat mempengaruhi tanggapan pembaca. Misalnya, kisah dalam
novel-novel klasik akan ditafsirkan lain oleh pembaca masa kini. Pada dasarnya setiap
pembaca memiliki kebebasan untuk memberikan makna pada saat berdialog (berinteraksi)
dengan teks, karena manusia pada hakekatnya pemberi makna, homo significan (Teeuw,
1984: 61-62; Teeuw, 1983: 34).
Sebagai pemberi makna, pembaca akan memberikan makna sesuai dengan apa yang
ada dalam dirinya; harapan, pengalaman, perasaan, pengetahuan. Latar belakang sosial
dan budaya pembaca yang berbeda akan menunjukkan perbedaaan tanggapan terhadap
teks yang dibacanya, termasuk ruang dan waktu baca (konteks). Oleh karena itu,
keragaman makna akan muncul pada diri pembaca sebagai hasil interaksi antara pembaca
dan teks yang dibacanya. Sebuah teks yang sama jika dibaca oleh beberapa pembaca,
dapat memunculkan keragaman tanggapan.
Pada setiap pembaca terdapat horison harapan yang memengaruhi tanggapan
terhadap teks sastra. Horizon harapan ini ditentukan oleh tiga faktor; First, through familiar
norms or the immanent poetics of the genre; second, through the implicit relationships to

1022

Seminar Nasional P IBSI XXXVII

familiar works of the literary-historical surroundings; and third, through the opposition
between fiction and reality (Jauss, 1983: 24).
Cakrawala ekspektasi ini dipengaruhi oleh; pertama, norma-norma umum yang ke luar
dari teks yang baru dibaca; kedua, pengetahuan dan pengalaman pembaca atau semua
teks yang telah dibaca sebelumnya; dan ketiga, pertentangan antara fiksi dan kenyataan,
misalnya kemampuan pembaca memahami teks baru baik berdasarkan harapan-harapan
terhadap karya sastra maupun dari pengetahuan tentang kehidupan.
Pendekatan estetika resepsi berfokus pada konsep hubungan dialektis antara teks,
pembaca dan interaksinya dalam menemukan makna. This approach must focus on two
basic, interdependent areas: one, the intersection between text and reality, the other, that
between text and reader, and necessary to find some way of pinpointing this intersection if
one gauge the effectiveness of fiction as a mean of communication (Iser, 1978: 54).
Istilah estetika resepsi mengacu pada konsep respon estetik (aesthetic response) atau
resepsi penerimaan. Alasannya, meski pusat perhatian peneroka (pembaca) pada wilayah
teks, tetapi prosedur pembacaan mengarahkan persepsi dan imajinasi pembaca pada fokus
yang berbeda-beda. Karya sastra sebagai suatu yang diformulasikan kembali (imajinasi) dari
sesuatu yang telah diformulasikan dalam realita (Iser, 1978: 182).
Dalam interaksi dengan teks sastra, pembaca harus menggunakan imajinasinya
sehingga ia bertindak sebagai pemberi arti. Arti yang ditemukan dalam teks bukanlah arti
teks itu semata-mata, tetapi arti yang dikongkretkan pembaca melalui proses rekonstruksi.
Arti suatu teks ada dalam interaksi antara teks dan pembaca. Intensitas interaksi antara
pembaca dan teks dapat dipengaruhi oleh perilaku keseharian pembaca, terutama
pengalaman baca, dan pengalaman dan pengetahuan (literary repertoire). Secara umum
pengalaman hidup dapat dijadikan bantuan dalam memahami teks narasi fiksi (Iser, 1978:
20).
Estetika resepsi mengkaji teks sastra dengan bertitik tolak pada reaksi atau tanggapan
pembaca terhadap teks yang dibacanya. Secara ringkas estetika resepsi (esthetics of
reception)dapat disebut sebagai ajaran yang menyelidiki teks sastra berdasarkan reaksi
pembaca yang riil. Estetika resepsi memberikan peluang pada pembaca untuk menafsir
makna terhadap karya sastra yang dibaca, sehingga dapat memberikan reaksi atau
tanggapan terhadapnya. Tanggapan itu mungkin bersifat pasif atau bersifat aktif. Di satu
sisi seorang pembaca dapat memahami karya itu, di saat yang lain dapat melihat hakikat
estetika yang ada di dalamnya dan bagaimana mewujudkannya (Segers, 1978: 35; Junus
1985: 1; Pradopo, 2003: 206).
Interaksi antara pembaca dan teks menimbulkan pengalaman unik, membangkitkan
pikiran, dan perasaan bagi pembacanya. Hal ini sangat mungkin terjadi karena karya sastra
bukan objek tetapi sebuah pengalaman yang dipertajam dengan penerimaan oleh pembaca
(resepsi sastra). Resepsi sastra atau estetika resepsi merupakan salah satu pendekatan
kritik yang menitikberatkan pada tanggapan pembaca karya sastra. Kajian ini mengalihkan
studi sastra yang biasanya berorientasi pada teks sastra menjadi terarah pada pembaca,
dengan dasar pemikiran bahwa teks sastra ditulis untuk disajikan kepada pembaca.

Optimalisasi fungsi bahasa Indonesia sebagai wahana pembentukan mental dan karakter bangsa .....

1023

Pembaca tidak akan mendekati sebuah teks tertentu dengan kepala kosong; mereka juga
membawa perbendaharaan harta berupa harapan, asumsi, dan pengalaman (Allen, 1988;
Allen, 2004: 9).
Sastra adalah karya imajinasi. Imajinasi merupakan wilayah khusus, daerah otonom,
yang tidak perlu dicocok-cocokkan dengan kenyataan. Walaupun sesuatu bersifat imajinatif
tetapi ia tidak harus irrasional. Tetapi karya sastra merupakan refleksi kehidupan manusia.
Sehingga sesuatu yang bersifat imajinatif dalam teks sastra boleh jadi memiliki referensi riil
dalam kehidupan nyata (Dahana, 2001: 25).
Sastra memiliki potensi yang besar untuk membawa perubahan pada masyarakat ke
arah yang lebih baik. Dengan kata lain, sastra berpotensi merubah dan membentuk
karakter pembacanya. Karya sastra dapat dijadikan media untuk menanamkan karakter
pada pembacanya (Herfanda, 2008: 131).
Karya sastra sebagai sumber pendidikan, pembentukan mental, dan kepribadian
bangsa memiliki tiga nilai strategis yaitu; (1) alat komunikasi, (2) konservasi nilai kultural,
dan (3) media edukasi. Karya sastra sebagai alat komunikasi berfungsi menyampaikan
pesan atau gagasan dari pengarang pada pembacanya. Karya sastra sebagai sarana
konservasi nilai-nilai kultural, karena di dalamnya merepresentasikan dan
mendokumentasikan nilai-nilai budaya. Karya sastra menjadi media edukasi karena di
dalamnya syarat nilai moral dan nilai kebudayaan luhur. Dengan kandungan nilai kearifan
budaya tersebut, karya sastra harus dikaji, sehingga nilai kearifan budaya yang telah digali
dapat ditanamkan kembali sebagai upaya merekonstruksi identitas bangsa.
Melalui kajian estetika resepsi, karya sastra secara pragmatis mendapatkan ruang
tafsir yang luas. Pendekatan ini mempertimbangkan implikasi pembaca dengan berbagai
kompetensinya. Secara metodologis estetika resepsi berusaha memulai perspektif baru
dalam studi sastra. Estetika resepsi berpandangan bahwa sebuah teks sastra seharusnya
dipelajari (terutama) dalam kaitannya dengan reaksi pembaca (Segers, 2000: 35-47).
Kajian estetika resepsi dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu resepsi sinkronis dan
resepsi diakronis. Resepsi sinkronis meneliti karya sastra dalam hubungannya dengan
pembaca pada satu zaman. Sedangkan resepsi sinkronis meneliti karya sastra berdasar
penilaian pembaca sepanjang zaman (Luxemburg, 1982: 80).
Dalam prosedur pembentukan mental dan kepribadian bangsa, sastra merupakan fitur
budaya yang mampu memberikan pemahaman tentang nilai-nilai karakter, sastra menjadi
moda transimi nilai-nilai karakter, dan sastra merupakan cara merekontruksi nilai-nilai yang
berlaku dalam sebuah entitas budaya.
“Reading is an activity that is guided by the text; this must be processed by the reader,
who is then, in turn, affected by what he has processed” [Membaca merupakan aktivitas
yang dipandu oleh teks; proses ini harus dilakukan oleh pembaca, sebaliknya pembaca
dipengaruhi oleh apa yang dibacanya] (Iser, 1978: 163).
Pertemuan antara pembaca dan teks sastra menyebabkan terjadinya proses
penafsiran atas teks oleh pembaca secara subjekif. Hasilnya adalah pengakuan dan
pengukuhan makna teks. Dalam menanggapi karya sastra, pembaca selalu membentuk

1024

Seminar Nasional P IBSI XXXVII

anasir estetis melalui pertemuan antara cakrawala harapan, bentuk teks dan norma-norma
sastrawi yang berlaku. Pembaca selaku perebut makna akan senantiasa ditentukan oleh
ruang, waktu, golongan sosial, budaya, dan pengalamannya. Di sini akan terjadi dialektika
antara kompetensi pembaca dengan teks sastra, sehingga nilai-nilai luhur dalam teks sastra
dielaborasi dalam alam pikiran pembaca.
Literary work has two poles, which we migth call the artistic and the aesthetic: the
artistic pole is the author’s text and the aesthetic is the realization accopmplished by the
reader. Karya sastra mempunyai dua kutub, yang dapat kita sebut dengan artistik dan
estetik. Kutub artistik adalah wilayah imajinasi pengarang yang dituangkan dalam teks, dan
kutub estetik adalah realisasi atau implikasi imajinasi estetik yang dilakukan pembaca (Iser,
1978: 163).
Implikasi estetik terletak pada kenyataan bahwa resepsi pertama suatu karya hanya
mencakup pengujian nilai estetika dalam perbandingannya dengan karya yang sudah
dibaca. The obvious historical implication of this that the understanding of the firstreader
will be sustained and enriched in a chain of receptions from generation to generation: in
this way the historical significance of a work will be decided and its aesthetic value made
evident (Jauss, 1983: 20)
Kejelasan implikasi historis mengenai hal ini ialah bahwa pemahaman pembaca
pertama akan ditopang dan diperkaya dengan rantai resepsi dari generasi ke generasi
sehingga makna historis suatu karya akan diputuskan dan dibuktikan nilai estetiknya.
E.

SIMPULAN
Estetika resepsi merupakan proses pemaknaan dan penilaian karya sastra oleh
pembaca. Secara sederhana, pengertian resepsi ialah respon pembaca terhadap sebuah
teks. Di sini terlihat peranan pembaca menjadi penting karena orientasi pembaca terhadap
teks menjadi landasan utama dalam menilai sebuah karya. Dengan pendekatan estetika
resepsi, teks sastra etnik langsung mendapatkan respon dari pembaca, sesuai
kompetensinya. Di sinilah titik temu antara pembaca dengan teks sastra etnik
mendapatkan signifikansinya. Nilai-nilai budaya etnik, yang mengandung kearifan lokal,
pendidikan budi pekerti, karakter atau mental yang terdapat dalam teks sastra mendapat
respon, interpretasi oleh pembaca. Pada proses interpretasi inilah, secara sublimatif dan
laten, teks sastra membentuk kepribadian dan mental bangsa.
Fungsi terpenting dari dominasi pembaca adalah kemampuannya mengungkapkan
kekayaan karya sastra. Pembaca dapat menampilkan makna secara tak terbatas, baik
pembaca sezaman maupun pembaca dalam konteks sejarah. Kondisi pembaca jelas
berbeda antara satu dengan yang lain, baik dari segi usia, jenis kelamin, profesi, kelas
sosial, dan wilayah geografis. Dengan demikian, proses pembentukan mental dan
kepribadian bangsa berlangsung secara alamiah ditentutkan oleh faktor-faktor tersebut.

Optimalisasi fungsi bahasa Indonesia sebagai wahana pembentukan mental dan karakter bangsa .....

1025

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan. 2009. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Abdullah, Irwan. dkk. (ed). 2008. Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Komtemporer.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Allen, C. (1988). Louis Rosenblatt and Theories of Reader Response. (Online). Tersedia:
www.hutmu.edu/reader/online/20/intro.20.htm. (07 Juli 2011).
Allen, Pamella. 2004. Membaca, dan Membaca Lagi [Re]interpretasi Fiksi Indonesia 19801995. Terjemahan Bakdi Soemanto. Yogyakarta: Indonesia Tera.
Chaney, David. 2009. Lifestyle: Sebuah Pengantar Komprehensif. (Terj. Nuraeni. Peny. Idi
Subandy Ibrahim. Cet. 4).Yogyakarta: Jalasutra.
Dahana, RadharPanca. 2001. Kebenaran dan Dusta dalam Sastra. Magelang: Indonesia
Tera.
Endraswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Antropologi Sastra. Yogyakarta: Ombak.
Herfanda, Ahmadun. Y. 2008. ”Sastra sebagai Agen Perubahan Budaya” dalam Bahasa dan
Budaya dalam Berbagai Perspektif, Aanwar Effendi, ed.Yogyakarta: FBS UNY dan
Tiara Wacana.
Hidayati, Panca Pertiwi. 2009. Teori ApresiasiProsa Fiksi. Bandung: Prisma Press
Hoed. Benny H. 2014. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. (Edisi. III). Depok: Komunitas
Bambu.
Ibrahim, Idi Subandi (ed). 2005. Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat
Komoditas Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra.
Ibrahim, Idi Subandi. 2011. Kritik Budaya Komunikasi: Budaya, Media, dan Gaya Hidup
dalam Prses Demokratisasi di Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra.
Iser, Wolfgang. 1978. The Act of Reading. Baltimore and London: The Johns Hopkins
University Press.
Jauss, Hans Robert. 1983. Toward an Aesthetic of Receptions. Diterjemahan Timothy Bahti.
Mineapolis: University of Minnesota Press.
Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Khatib, Mohammad., Amir Hossein. Rahimi. 2012. “Literature and Language Teaching.”
Journal of Academic and Applied Studies,Vol. 2 (6) June 2012, pp. 32-38. (Available
online @ www.academians.org)
Koesoema, Dony. A. 2007, Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global.

1026

Seminar Nasional P IBSI XXXVII

Jakarta: Grasindo.
Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Luxemburg, J. dkk. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Diterjemahan Dick Hartoko. Jakarta:
Gramedia.
Manuaba, IB Putera. 2015. “Sastra Etnik di Tengah Budaya Global”. Kompas (Minggu, 06
September 2015, hal. 27).
Pepperell, Robert. 2009. Posthuman; Kompleksitas Kesadaran, Manusia dan Teknologi.
(Terj. Hadi Purwanto). Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Piliang, Yasraf Amir. 2004. Dunia Yang Berlari, Mencari Tuhan-tuhan Digital. Jakarta:
Grasindo.
Piliang, Yasraf Amir. 2011. Dunia yang Dilipat: Tamsya Melampaui Batas-batas Kebudayaan
(Edisi 3). Bandung: Matahari.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2003. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Sastra dan Cultural Studies. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Antropologi Sastra: Peranan Unsur-Unsur Kebudayaan dalam
Proses Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Saini K.M. 2005. ”Kearifan Lokal di arus Global”, dalam Pikiran Rakyat, Edisi 30 Juli 2005.
Salam, Aprinus. 2014. “Revolusi Mental Dalam Perspektif”. Makalah Seminar Nasional,
FSSR UNS Surakarta, 22 Desemer 2014.
Saryono, Djoko. 2009. Dasar Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Sayuti, Suminto A. 2011. “Warisan Budaya dalam Konteks Pendidikan Karakter”, dalam
Empowering Batik Dalam Membangun karakter Budaya Bangsa. Jurusan Seni
Rupa Program Studi Pendidikan Seni Kerajinan, FBS UNY, Yogyakarta, hlm. 28-34.
Sayuti, Suminto A. 2014. “Sastra Indonesia sebagai Sastra Dunia: Apa Urusan Kita?”.
Prosiding Seminar Internasional Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia
(PIBSI) XXXVI, Membangun Citra Indonesia Di Mata Internasional Melalui Bahasa
dan Sastra Indonesia. Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, UAD, Yogyakarta.
Segers, Rien. T. 1978. The Evaluation of Literary Text. The Peter de Rider Press: Lisse.
Segers, Rien. T. 2000. Evaluasi Teks Sastra. Diterjamahkan oleh Suminto A Sayuti.
Yogyakarta: Adicitra Karya Nusa.

Optimalisasi fungsi bahasa Indonesia sebagai wahana pembentukan mental dan karakter bangsa .....

1027

Setyobudi, Imam. 2009. “Etnografi dan Genre Sastra Realisme Sosial”. Dalam Acintya,
Jurnal Penelitian Seni Budaya. Vol. 1 (2) Desember 2009. Hlm. 109-118.
Soedjijono. 2008. “Novel Kearifan Lokal Sebagai Materi Pembelajaran Apresiasi Prosa.”
Makalah Konferensi Internasional Kesusastraan XIX/HISKI. Batu, 12-14 Agustus
2008.
Suwandi, Sarwidji. 2013. “Peran Guru Bahasa Indonesia Yang Inspiratif untuk Mewujudkan
Peserta Didik Berkarakter”. Prosiding Seminar Internasional Pertemuan Ilmiah
Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXV. Pengembangan Peran Bahasa adan
Sastra Indonesia untuk Mewujudkan Generasi Berkarakter. Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
UNS, Surakarta.
Teeuw, A. 1983. Tergantung Pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Triwikromo, Triyanto. 2014. “Bergantung pada Budaya: Sastra (Tradisional) dalam Era
Kematian Sosial dan Posrealitas.” Makalah Seminar Nasional Bulan Bahasa; Awal
Bercinta dengan Sastra. Prodi PBSI, FKIP, UNS, Surakarta, 25 Oktober 2014.
Waluyo, Herman J. 2013. “Pembelajaran Sastra Indonesia Berbasis Kurikulum 2013;
Meningkatkan Iman, Takwa dan Akhlak Mulia, serta Cakap dan Kreatif”. Prosiding
Seminar Nasional, Bulan Bahasa dan Sastra, 2013. Unwidha, Klaten.

BIODATA
Teguh Trianton, lahir di Desa Pagerandong, Kec. Mrebet Kab. Purbalingga, Jawa
Tengah. Aktif di Komunitas Beranda Budaya (Purwokerto). Pernah bekerja sebagai
wartawan, dan guru. Kini menjadi siswa Program Pascasarjana S3 Pendidikan Bahasa
Indonesia UNS, dan mengajar di Prodi PBSI FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Buku yang telah ditulis; Ulang Tahun Hujan (antologi puisi, 2012), Identitas Wong
Banyumas (Graha Ilmu, 2012), Banyumas; Fiksi dan Fakta Sebuah Kota (Kumpulan esai,
2013),
Film
Sebagai
Media
Belajar
(Graha
Ilmu,
2013).
E-mail:
[email protected],[email protected] Hp. 08156987444