KEBIJAKAN PEMANFAATAN AIR TANAH UNTUK ID

KEBIJAKAN PEMANFAATAN AIR TANAH
UNTUK IDUSTRI DI JAWA BARAT
Oleh :
Dewi Yuliani*
(Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Jawa Barat)
Disampaikan pada acara :
”LOKAKARYA TEKNOLOGI KONSERVASI AIR TANAH DI INDONESIA”
Badan Geologi Kementerian ESDM, Bandung, 21 September 2006.
ABSTRAK
Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan industri di Jawa Barat,
permintaan akan pemenuhan kebutuhan air bersih meningkat dengan pesat. Kebutuhan
air bersih ini tidak dibarengi dengan daya dukung lingkungan yang memadai, terutama
dari kualitas dan kuantitas air permukaan yang semakin menurun. Akibatnya
pemanfaatan air tanah di masa lalu menjadi tidak terkendali, menyebabkan menurunnya
muka air tanah, terbentuknya cekungan-cekungan kritis beserta akibat-akibat ikutan
lainnya seperti amblesan tanah, intrusi air polutan, dan lain-lainnya.
Kekeliruan di masa lalu inilah yang perlu segera dibenahi dengan
mendudukkan posisi air tanah pada tempatnya, sebagaimana diamanatkan oleh
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, bahwa air tanah
merupakan sumberdaya alam yang terbatas, kerusakannya sulit dipulihkan, dan
bahwasanya pendayagunaan sumber daya air harus mengutamakan air permukaan. Hal

tersebut mendasari disusunnya kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan air tanah di
Jawa Barat, yang mana dalam pelaksanaannya membutuhkan peran serta dan komitmen
yang kuat dari semua pihak terkait .
Kata kunci : air tanah, cekungan air tanah, debit, pemanfaatan.
I.

PENDAHULUAN
1. Keberadaan Air tanah
Air merupakan unsur pokok dalam menunjang hajat hidup baik untuk
kepentingan rumah tangga sehari-hari maupun untuk kegiatan ekonomi yang
dapat dipenuhi dari sumber air permukaan atau dari air tanah. Air tanah masih
menjadi andalan utama untuk memenuhi kebutuhan hajat hidup dibandingkan
dengan sumber air permukaan, karena memiliki beberapa kelebihan
dibandingkan dengan sumber air permukaan, antara lain : sebarannya luas,
kualitas air tanah relatif lebih baik, infrastruktur yang dibutuhkan lebih
sederhana, dan pengaturan pemanfaatannya lebih mudah.
Ketersediaan air tanah di alam terdapat pada lapisan batuan pembawa air
yang disebut akuifer yang membentuk suatu cekungan air tanah. Cekungan air
tanah didefinisikan sebagai suatu wilayah yang dibatasi oleh batas-batas
hidrogeologi dimana berlangsung semua kejadian seperti proses pengimbuhan,

pengaliran dan pelepasan air tanah. Dengan demikian, pengelolaan sumber

1

daya air tanah seyogyanya dilakukan berdasarkan konsep “One groundwater
basin, one planning, one integrated management”.
Cekungan airtanah meliputi wilayah yang sangat luas yang batas-batas
horizontalnya tidak selalu tepat sama dengan batas administrasi pemerintahan.
Artinya suatu cekungan airtanah dapat meliputi beberapa wilayah
kabupaten/kota atau provinsi yang selanjutnya disebut sebagai cekungan lintas
kabupaten/kota atau provinsi. Berdasarkan keputusan Menteri ESDM Nomor
716.K/40/MEM/2003 tentang Batas Horizontal Cekungan Air Tanah di Pulau
Jawa dan Madura, bahwa di wilayah Jawa Barat terdapat 27 buah cekungan air
tanah yang terdiri dari 8 cekungan lokal, 15 cekungan lintas kabupaten/kota dan
4 cekungan lintas provinsi. (Lihat Gambar).

2. Keberlanjutan Penyediaan Air Tanah
Secara konseptual air tanah termasuk sumber daya alam yang dapat
diperbaharui (renewable resources) karena terbentuk secara alamiah melalui
siklus hidrologi meliputi penguapan (evaporation), pengumpulan dan

penggumpalan awan (condensation) selanjutnya pemasukan airhujan kedalam
tanah (infiltration).
Pada kenyataannya, saat ini telah terjadi ketidakseimbangan antara
pengambilan dan kemampuan pengimbuhan air tanah yang ditandai dengan
semakin menurunnya permukaan air tanah bahkan di beberapa daerah
kondisinya sudah mencapai kriteria kritis. Dari hasil kajian yang dilakukan oleh
Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Jawa Barat serta data-data dari
DTLGKP, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, diketahui bahwa
terdapat 3 (tiga) cekungan air tanah (CAT) yang sudah memiliki zona kritis,
yaitu CAT Bandung, CAT Bogor dan CAT Bekasi – Karawang Dari ketiga
cekungan tersebut CAT Bandung merupakan cekungan yang tingkat
kerusakannya paling parah, di beberapa tempat sudah dalam kondisi kritis.
Pengukuran di beberapa tempat menunjukkan penurunan muka air tanah sejak
tahun 1960 sampai tahun 2005 antara 66 – 69 meter. Kerusakan sumber daya
air tanah ini akan semakin parah apabila tidak segera dilakukan langkahlangkah pengendalian secara sinergis melalui strategi kebijakan pengelolaan air
tanah yang utuh menyeluruh dan dilaksanakan secara terkoordinatif.
2

II.


KONDISI EKSISTING PEMANFAATAN AIR TANAH
Air tanah masih menjadi andalan utama untuk memenuhi kebutuhan hajat
hidup dibandingkan dengan sumber air permukaan, karena memiliki beberapa
kelebihan dibandingkan dengan sumber air permukaan, antara lain : sebarannya
luas, kualitas air tanah relatif lebih baik, infrastruktur yang dibutuhkan lebih
sederhana, dan pengaturan pemanfaatannya lebih mudah.
Dengan semakin meningkatnya populasi penduduk dan kegiatan ekonomi,
maka jumlah pengambilan air tanah cenderung semakin meningkat. Data
menunjukkan bahwa kegiatan pengambilan air tanah di wilayah Jawa Barat
terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun (lihat Tabel).
TABEL - 1
REKAPITULASI PEMANFAATAN AIR TANAH OLEH INDUSTRI
SE JAWA BARAT

RINCIAN

TAHUN
2002*)

2003


2004

2005 **)

Wajib Pajak

3.197

3.536

3.623

3.740

Σ Titik

5.354

5.664


5.830

6.084

19.767.117

127.223.556

148.860.293

83.760.477

Volume (M3)

*) Data Bulan Agustus – Desember 2002
**) Data Bulan Januari - September 2005

Faktor-faktor lain penyebab peningkatan volume pengambilan air tanah
baik yang bersifat teknis maupun non teknis, antara lain :

a. Belum tersedianya sumber alternatif yang memadai, misalnya sumber daya
air permukaan seperti sungai yang kondisi kuantitas dan kualitasnya
semakin menurun.
b. Ketidakmampuan PDAM sebagai pemasok kebutuhan air baku, baik untuk
keperluan rumah tangga maupun komersial.
c. Kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap bahaya yang
ditimbulkan akibat kerusakan air tanah.
d. Belum optimalnya pengawasan dan pengendalian terhadap kegiatan
pengambilan air tanah serta masih lemahnya upaya penegakan sanksi
hukum terhadap berbagai pelanggaran kegiatan pemanfaatan air tanah.
2. Dampak Akibat Pengambilan airtanah
Eksploitasi sumber daya air tanah yang tidak terkendali selain akan
menurunkan kemampuan daya dukung sebagai sumber daya alam juga akan
menimbulkan kerusakan lingkungan yang sangat merugikan bagi kehidupan
masyarakat yang tinggal di sekitarnya, antara lain :

3

a. Penurunan muka air tanah, yang selain akan mengakibatkan masyarakat
sekitarnya menjadi kesulitan memperoleh air, juga akan mengancam

kelangsungan usaha atau kegiatan ekonomi di wilayah tersebut.
Berdasarkan data di Cekungan Bandung sebagai contoh, intensitas
penurunan tertinggi umumnya terjadi pada lokasi-lokasi dengan tingkat
pertumbuhan ekonomi yang tinggi (pusat-pusat industri).
TABEL 2.
PENURUNAN MUKA AIR TANAH YANG TERJADI DI CAT BANDUNG
NO

LOKASI PENELITIAN

KEDUDUKAN MAT

FLUKTUASI PENURUNAN

1

Daerah Cimahi

10-25 m BMT


7,19

m/tahun

2

Leuwigajah,Cimindi,Utama, Cibaligo

41,05 - 71,4 m BMT

3,11 - 15,12

m/tahun

3

Cijerah,Cibuntu,Garuda,Arjona, Maleber, Husen,

29,9 - 51,54 m BMT


1,27 - 4,32

m/tahun

Ps.kaliki
4

Buah Batu.Kiaracondong, Kb.waru

5

Dayeuh Kolot

22,7 - 49,5 m BMT

1,61 - 3,1

m/tahun

25,67 - 66,64 m BMT


3,0 - 12,26

m/tahun

6

Jl.Moh.Toha

7

Cicaheum,Uj.berung,Gedebage, Cipadung, Cibiru

1,47

m/tahun

16 - 49,5 m BMT

1,63 - 2,12

8

m/tahun

PT.Grandtex (AWLR)

1,63

m/tahun

9

PT. Bintang Agung (AWLR)

2,12

m/tahun

10

Cikeruh,Rancaekek,Cimanggung, Cikancung

0,52 - 3,85

m/tahun

6,78 - 23,57 m BMT

11

PT.Kewalram (AWLR)

2,01

m/tahun

12

Bojongsalam (AWLR)

0,44

m/tahun

13

Sekitar Majalaya

31,72 - 50,17 m BMT

0,32 - 3,9

m/tahun

14

Ciparay,Banjaran,Pamengpeuk

7,7 - 29,39 m BMT

0,89 - 4,57

m/tahun

15

Katapang,Soreang

1,51 - 30,85 m BMT

0,38 - 1,6

m/tahun

16

Bojongkunci (AWLR)

0,77

m/tahun

17

Cipedung (AWLR)

0,38

m/tahun

b. Penurunan permukaan tanah (amblesan), merupakan dampak lanjutan dari
penurunan muka air tanah sehingga kekosongan pori-pori pada lapisan
batuan atau tanah mengalami pemampatan akibat kehilangan tekanan pori
pada massa batuan. Pada daerah yang telah mengalami penurunan muka
tanah dapat dicirikan dengan semakin meluasnya wilayah yang mengalami
bencana banjir. Data sebagaimana tercantum pada tabel-3 berikut ini
memperlihatkan sebaran lokasi yang mengalami penurunan muka tanah.
TABEL 3.
PENURUNAN MUKA TANAH YANG TERJADI DI CAT BANDUNG

(PERIODE 1996 – 2000)
NO

DAERAH

1
2
3
4
5
6
7
8

Cimahi - Leuwigajah
Bojongsoang
Kopo
Banjaran
Dayeuhkolot
Gedebage
Ujungberung
Majalaya

BESAR
PENURUNAN
(cm)
84,5
83,9
18,9
63,9
20,8
24,3
20,6
8,4

RATA-2
PENURUNAN
(cm/tahun)
21,1
20,9
4,7
15,9
5,2
6,1
5,2
2,1

4

9
10

Rancaekek
Cicalengka

11,8
44,5

2,9
11,1

Sumber : Abidin ; 2000

c. Terjadinya penurunan kualitas air tanah, yang disebabkan oleh infiltrasi
unsur-unsur pencemar baik yang berasal dari limbah domestik maupun
perembesan unsur-unsur logam yang terdapat pada lapisan tanah atau
batuan itu sendiri.
III. PENGELOLAAN AIR TANAH
Dengan pertimbangan berbagai hal terkait dengan pemanfaatan air tanah,
diperlukan strategi dan upaya pengelolaan air tanah yang sistematis dan terintegrasi
serta dilaksanakan secara terkoordinatif antar para pihak.
Kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam pengelolaan Air tanah
tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Air
Bawah Tanah dan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2001 tentang Pajak
Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Pada
prinsipnya kebijakan pengelolaan air tanah didasarkan pada upaya konservasi air
tanah dan tidak menjadikannya sebagai sumber pendapatan daerah yang harus terus
ditingkatkan perolehannya dari tahun ke tahun.
Sebagai bentuk langkah kebijakan operasional, strategi yang ditempuh adalah
sebagai berikut :
-

Untuk Zona Kritis dilakukan pengurangan debit pengambilan air tanah sebesar
8% per tahun
Untuk zona Rawan dilakukan pengurangan debit pengambilan air tanah sebesar
5% per tahun
Penambahan resapan air ke dalam tanah sebesar 4% per tahun
Melakukan berbagai upaya substitusi dengan air permukaan
Mengatur sebaran titik pengambilan air tanah berdasarkan kapasitas optimum
akifer guna menhindari terbentuknya zona kritis dan zona rawan

Strategi dan kebijakan tersebut di atas selanjutnya diimplementasikan dalam
bentuk Kegiatan operasional sebagai berikut :
1) Pengurangan debit melalui Syarat Teknis Daftar Ulang Ijin (SIPA)
Setiap pemegang ijin pengambilan air tanah diwajibkan melakukan daftar ulang
setiap dua tahun sekali, untuk dilakukan penilaian berdasarkan kapasitas akifer
yang ada. Melalui kegiatan ini di CAT Bandung pada tahun 2003 berhasil
dilakukan pengurangan volume pengambilan air tanah sebesar 4.100 m3 per hari
dan pada tahun 2004 berkurang lagi sebesar 1.775 m3 per hari, sehingga total
selama dua tahun telah berhasil dilakukan pengurangan volume pengambilan air
tanah di CAT Bandung sebesar 5.875 m3 per hari. Sedangkan untuk seluruh
wilayah Jawa Barat pada tahun 2003 berhasil dilakukan pengurangan sebesar
10.295 m3 per hari dan tahun 2004 sebesar 9.033 m3 per hari, sehingga total
pengurangan volume pengambilan air tanah di wilayah Jawa Barat sebesar
19.328 m3 per hari.
2) Penertiban pengambilan air tanah
Kegiatan ini bertujuan untuk mengndalikan pengambilan air tanah terutama
terhadap yang belum berijin. Kriteria hasil kegiatan penertiban antara lain :

5

- Penutupan sumur, jika lokasi titik terdapat di zona kritis, memiliki lebih dari
satu sumber, terdapat sumber alternatif lainnya dan volume pengambilan
melebihi kebutuhan
- Penyegelan atau penutupan sementara, jika dinilai membutuhkan kajian lebih
lanjut
- Legalisasi, hanya diterapkan untuk zona rawan dan aman yang dinilai tidak
menimbulkan dampak lingkungan yang berarti
Dari hasil kegiatan penertiban sejak tahun 2001-2005 telah ditertibkan 3729 titik
sumur bor, dan telah diambil tindakan berupa penutupan sumur ilegal sebanyak
344 titik dan 1523 ditindaklanjuti proses ijinnya.
3) Sosialisasi upaya penghematan dan konservasi air tanah
Dalam berbagai kesempatan Dinas Pertambangan dan Energi aktif melakukan
sosialisasi penghematan dan konservasi serta upaya pemulihan kondisi air tanah
kepada masyarakat dan pelaku industri.
Selain itu di beberapa lokasi industri telah pula dilakukan uji coba daur ulang
pada instalasi IPAL milik perusahaan dengan menggunakan mineral zeolit
sebagai media proses pengolahan, antara lain dilakukan di lokasi PT.Cocacola,
KPBS Pangalengan, PT.Kahatex, Pabrik Kertas Leces dan pabrik tahu Cibuntu.
4) Koordinasi dan Kerjasama
Untuk mengimplementasikan strategi dan kebijakan pengelolaan air tanah di
Jawa Barat perlu dilakukan koordinasi dan kerjasama dengan para pihak terkait
yang diarahkan pada jenis kegiatan :
- Rehabilitasi lahan kritis terutama di daerah-daerah resapan
- Pengembangan potensi sumber air permukaan seperti pengelolaan Daerah
Aliran Sungai (DAS) secara terpadu
- Menerapkan langkah uji coba dan pengembangan upaya pemulihan kondisi air
tanah di daerah kritis dengan sistem pengisian kembali secara buatan (artificial
recharge) dengan memanfaatkan air hujan sebagai air baku.
4. Strategi Kebijakan Pengelolaan Cekungan Air Tanah Kritis
Memperhatikan perkembangan tersebut di atas dan berdasarkan hasil kajian
cekungan air tanah, telah disepakati bahwa arah kebijakan Pemerintah Propinsi
Jawa Barat untuk wilayah cekungan air tanah yang sudah terdapat zona kritis
harus segera dilakukan upaya pemulihan dan pembatasan pengambilan air tanah.
Kebijakan ini disusun dalam upaya untuk mencapai kondisi yang lebih baik
sesuai dengan skenario yang telah disusun, yaitu :
a. Merubah Zona Kritis menjadi Zona Rawan
b. Merubah Zona Rawan menjadi Zona Aman
c. Memperluas Zona Aman
Adapun langkah-langkah yang diterapkan dalam rangka pengendalian
pemanfaatan air tanah di Cekungan Air Tanah yang sudah terdapat zona kritis
adalah :
a. Tidak menerbitkan ijin baru di Zona Rawan dan Zona Kritis.

6

b. Pengurangan debit pengambilan air tanah untuk Zona Kritis.dan Zona Rawan.
c. Penambahan resapan air ke dalam tanah baik secara alami maupun artifisial.
d. Melakukan berbagai upaya substitusi dengan air permukaan.
e. Menerapkan sistem pajak dengan sistem progresif yang didasarkan pada
perhitungan Nilai Perolehan Air
f. Mengatur sebaran titik pengambilan air tanah di Zona Aman berdasarkan
kapasitas pengambilan optimum setiap akuifer, guna menghindari
terbentuknya Zona Kritis dan Zona Rawan baru.
g. Melakukan berbagai uji coba pengolahan air limbah di beberapa lokasi
industri dengan memanfaatkan jenis bahan galian zeolit yang telah diaktifasi
h. Melakukan uji coba pemulihan dengan cara meresapkan air hujan langsung
dari atap bangunan parik ke dalam akuifer menengah (kedalaman sekitar 100120 m) terutama untuk daerah-daerah yang sudah mengalami kondisi kritis
air tanah.
i. Melakukan upaya penertiban terhadap para pengambil air tanah secara
intensif
j. Memberikan masukan dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Jawa
Barat guna mempertahankan laju pertumbuhan di daerah-daerah resapan.
k. Memberikan alternatif pengganti sumur bor melalui pembuatan sistem tangki
penampungan air di bawah tanah (“Underground Tank System”) yang sumber
airnya dipasok dari mata air yang ada di sekitar wilayah Kota Bandung.
IV.

HAL-HAL YANG PERLU MENDAPAT PERHATIAN
Berdasarkan uraian tersebut terdapat beberapa hal yang perlu mendapat
perhatian kita semua :
1. Pengendalian Pengambilan air tanah harus dilakukan untuk menjamin
keberlanjutan untuk memenuhi keperluan baik masa kini maupun masa
mendatang. Pengendalian dilaksanakan melalui mekanisme perijinan dan
penerapan pajak pengambilan air tanah.
2. Sumber daya air tanah yang terdapat pada suatu wilayah cekungan air tanah
merupakan satu kesatuan sistem alam yang pola penyebarannya tidak terikat
oleh batas administratif pemerintahan. Oleh karena itu konsep pengelolaannya
harus didasarkan pada satu kesatuan sistem cekungan air tanah
3. Pajak Pengambilan Air tanah tidak dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan
daerah yang harus selalu ditingkatkan perolehannya, melainkan harus berfungsi
sebagai alat pengendali.
4. Diperlukan kesamaan persepsi dari pihak-pihak terkait dalam memahami
permasalahan air tanah ini, agar pengelolaan air tanah di Jawa Barat dapat
dilaksanakan secara efektif, berhasil guna, dan sesuai dengan azas-azas
konservasi.

7

Daftar Pustaka :
1. Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Jawa Barat, 2004. “Pemantauan
Kondisi Air Bawah Tanah Cekungan Bandung-Soreang”, Distamben bekerjasama
dengan DGTL, Bandung.
2. Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Jawa Barat, 2002. “Rencana Induk
Pendayagunaan Air Bawah Tanah Cekungan Bandung-Soreang”, Distamben
bekerjasama dengan ITB, Bandung.
3. Todd, 1980. “Groundwater Hydrology”, Wiley & Sons, New York.
4. Sonsang, 2000. “Studi Awal Pemantauan Penururunan Tanah di Wilayah
Bandung Dengan Metode Survey GPS”, Skripsi S-1, ITB, Bandung.
5. Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2005. “Air Tanah di Indonesia dan
Pengelolaannya”, Dirjen GSDM, Jakarta.
============
Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Jawa Barat, 2006.

8