Tugas kasus korupsi akuntansi sektor pub

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemerintah di Indonesia memiliki peran penting dalam menjaga
kestabilan, pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Oleh karena itu
kinerja pemerintah selalu menjadi sorotan publik. Tidak sedikit
penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh pegawai negeri atau
bahkan pejabat yang dapat merugikan negara demi kepentingan pribadi.
Salah satunya adalah korupsi. Korupsi merupakan tindak pidana yang dapat
diibaratkan sebagai penyakit kronis yang hampir tidak ada obatnya. Banyak
cara yang telah dilakukan untuk memberantas korupsi di Indonesia. Pada
masa orde lama sudah dua kali badan pemberantasan korupsi dibentuk.
Badan yang pertama adalah Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN)
dan yang kedua adalah Operasi Budhi.
Pada masa orde baru juga sudah dua kali badan pemberantasan
korupsi dibentuk yaitu Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) dan Operasi
Tertib (OpsTib), namun tetap saja tidak bisa memberantas korupsi yang
bahkan semakin menguat. Pada era reformasi, B.J Habibie membentuk Tim
Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) yang gagal
karena berbenturan dengan UU 31 tahun 1993. Dan yang terakhir adalah


1

dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang masih ada sampai
sekarang.
Yang menarik perhatian saya dalam mengangkat kasus korupsi
dalam makalah ini karena kasus korupsi merupakan kasus yang hampir
selalu ada dan bahkan tidak terlihat ujung pangkalnya. Kita juga jadi lebih
mengetahui mengenai cara mengindikasi dan menghindari terjadinya suatu
korupsi.

2

BAB II
TEORI & PEMBAHASAN
2.1 Teori
Istilah korupsi berasal dari perkataan bahasa latin yaitu “corruptio”,
dari kata kerja “corrumpere” yang berarti busuk, rusak, kebobrokan,
menggoyahkan, memutarbalik, dan menyogok. Di samping itu, perkataan
korupsi juga dipakai untuk menunjuk keadaan atau perbuatan yang buruk.
Korupsi juga banyak yang disangkutkan pada ketidakjujuran seseorang

dalam bidang keuangan.
Definisi korupsi menurut para ahli:
1. Mohtar Mas’oed (1994) mendefinisikan korupsi sebagai perilaku yang
menyimpang dari kewajiban formal suatu jabatan publik karena
kehendak untuk memperoleh keuntungan ekonomis atau status bagi diri
sendiri, keluarga dekat. Tindak korupsi umumnya merupakan transaksi
dua pihak, yaitu piha yang menduduki jabatan publik dan pihak yang
bertindak sebagai pribadi swasta. Tinddan yang disebut korupsi adalah
transaksi dimana satu pihak memberikan sesuatu yang berharga untuk
memperoleh imbalan berupa pengaruh atas keputusan-keputusan
pemerintahan.

3

2. Alfiler (1986) secara khusus merumuskan apa yang disebut sebagai
korupsi birokrasi (bureaucratic corruption) sebagai suatu perilaku yang
dirancang yang sesungguhnya merupakan suatu perilaku yang
menyimpang dari norma-norma yang diharapkan yang sengaja
dilakukan untuk mendapatkan imbalan maerial atau penghargaan
lainnya.


3. Menurut Syed Husein Alatas (1986) yang termasuk dalam pengertian
korupsi adalah:

a. Apabila seorang pegawai negeri menerima pemberian yang
disodorkan oleh seseorang dengan maksud mempengaruhinya
agar memberi perhatian istimewa pada kepentingan-kepentingan
si pemberi (disebut juga menyogok atau bribery).
b. Pemeraasan, yakni permintaan pemberian atau hadiah dalam
pelaksanaan tugas-tugas publik (graft).
c. Pejabat yang menggunakan dana publik bagi keuntungan mereka
sendiri.
d. Pengangkatan sanak saudara atau famili (nepotisme), temanteman atau rekan politik (kronisme) pada jabatan-jabatan publik

4

tanpa memandang jasa mereka maupun konsekuensinya pada
kesejahteraan publik.

4. Korupsi menurut Huntington (1968) adalah perilak pejabat publik yang

menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan
perilaku

menyimpang

ini

ditujukan

dalam

rangka

memenuhi

kepentingan pribadi.

5. Menurut Dr. Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang
menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan
pribadi, merugikan kepentingan umum.

6. Menurut A.S. Hornby korupsi adalah pemberian dan penerimaan
hadiah-hadiah berupa suap. Dapat diartikan juga kebusukan atau
kerusakan. Yang dimaksud dengan busuk atau rusak itu adalah moral
atau akhlak oknum yang melakukan perbuatan korupsi, sebab seseorang
yang bermoral baik tentu tidak akan melakukan korupsi.
7. Hermien Hadiati mengemukakan bahwa korupsi berasal dari kata
corrupteia yang dalam bahasa inggris berarti bribery atau seduction.
Dari kata

bribery tersebut kemudian dapat diartikan sebagai

memberikan atau menyerahkan kepada seseorang agar orang tersebut

5

mendapatkan keuntungan dari pemberi. Sedangkan yang diartikan
dengan seduction adalah sesuatu yang menarik untuk membuat
seseorang menyeleweng. Dari dua kata tersebut (bribery dan seduction)
terhadap arti corrupteia menunjuk kepada sesuatu yang bersangkut paut
dengan ketidakjujuran seseorang dalam hubungannya dengan sifatnya

yang menarik atau demi keuntungan yang bisa membuat seseorang
menyeleweng.
8. Nye, J.S. (1967) dalam “Corruption and Political Development”
mendefinisikan korupsi sebagai perilaku yang menyimpang dari aturan
etis formal yang menyangkut tindakan seseorang dalam posisi otoritas
public yang disebabkan oleh motif pertimbangan pribadi seperti
kekayaan, kekuasaan dan status.
9. Amin Rais dalam sebuah makalah berjudul “Suksesi sebagai suatu
keharusan” tahun 1993, membagi jenis korupsi menjadi empat tipe.
Yaitu:
a.

Korupsi eksortif (exortive corruption), yaitu korupsi yang
merujuk pada situasi dimana seseorang terpaksa menyogok agar
dapat memperoleh sesuatu atau mendapatkan proteksi atas hak
dan kebutuhannya. Misalnya seorang pengusaha dengan sengaja

6

memberikan sogokan pada pejabat tertentu agar mendapat ijin

usaha atau perlindungan terhadap usaha sang penyogok.

b. Korupsi manipulatif (manipulative corruption), yaitu korupsi
yang merujuk pada usaha kotor seseorang untuk mempengaruhi
pembuatan kebijakan atau keputusan pemerintah dalam rangka
memperoleh keuntungan setinggi-tingginya. Misalnya adalah
pemberian uang kepada bupati, gubernur, menteri dan sebagainya
agar peraturan yang dibuat dapat menguntungkan pihak tertentu
yang memberikan uang tersebut. Peraturan ini umumnya dapat
merugikan masyarakat.

c. Korupsi nepotistik (nepotistic corruption), yaitu perlakuan
istimewa yang diberikan pada keluarga (anak, keponakan atau
saudara dekat) para pejabat dalam setiap eselon. Dengan
perlakuan istimewa itu, para anak, menantu, keponakan dan istri
sang pejabat juga mendapatkan keuntungan.

d. Korupsi

subversif


(subversive

corruption),

yaitu

berupa

pencurian terhadap kekayaan negara yang dilakukan oleh para

7

pejabat negara dengan menyalahgunakan wewenang dan
kekuasaannya.

10. Wahyudi Kumorotomo (2005) mengatakan korupsi sebagai representasi
dari rendahnya akuntabilitas birokrasi publik.

11. Agus Suradika (2009) mengartikan korupsi sebagai perilaku tidak

mematuhi prinsip “mempertahankan jarak”. Mempertahankan jarak ini
maksudnya adalah dalam mengambil sebuah keputusan, baik di bidang
ekonomi, politik, dan sebagainya pada permasalahan dan tidak ada
kepentingan pribadi atau keluarga.
Faktor-faktor secara umum penyebab terjadinya korupsi antara lain:
1. Penegak hukum yang tidak konsisten.
2. Penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang, takut dianggap bodoh
apabila tidak menggunakan kesempatan.
3. Langkanya lingkungan yang anti korupsi. Sistem dan pedoman anti
korupsi hanya dilakukan sebatas formalitas saja.
4. Rendahnya pendapatan penyelenggara negara. Pendapatan

2.2 Pembahasan

8

Pada 30 Desember 2013 Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit
Reskrimsus) Polda Jawa Tengah menahan Dwiyono Wiyono selaku
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kebumen, Jawa
Tengah. Dwiyono Wiyono ditahan terkait kasus korupsi proyek peninggian

jalan di Kebumen, Jawa Tengah yang merugikan uang negara sejumlah Rp
1,19 miliar.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Jateng, Kombes Pol Djoko
Poerba menjelaskan bahwa selain Dwiyono Wiyono terdapat dua tersangka
lain yaitu direktur PT Surya Buana Indah, Alwanuddin Nawawi dan
direktur PT Mega Sarana, Heru Setiadi. Kasus ini mulai diselidiki oleh
pihak Polda Jateng sejak 1 November 2012 dan penetapan tersangka
dilakukan pada 8 Oktober 2013.
Kerugian negara pada kasus ini terungkap setelah Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) melakukan audit. Nilai total proyek peninggian jalan itu
Rp 6,7 miliar dan selesai pada 2012. Dananya berasal dari bantuan APBD
Provinsi Jawa Tengah 2011. Diketahui dugaan korupsi dilakukan dengan
modus mengurangi campuran aspal dalam proyek peninggian jalan
sehingga tidak sesuai dengan kontrak. Pada pengerjaan proyek pertama di
Taman Winangun-Bocor apabila sesua I kontrak ATB (Aspal Trade Base)
seharusnya 978,63 ton. Namun tersangka hanya memakai 778,37 ton.
Untuk HRS (Hot Redymix Split) seharausnya 1807,77 ton sesuai dengan

9


kontrak. Faktanya hanya memakai 1406,11 ton. Untuk pengerjaan yang
kedua yaitu di Soka-Klirong, ATB yang seharusnya 562,79 ton hanya
memakai 157,33 ton. Untuk HRS nya 2441,04 ton dan hanya memakai
1990,34 ton. Pada pelaporan berita acara tidak sesuai dengan fakta
lapangan. Konsultan pengawas dianggap tidak melakukan tugas dengan
benar sehingga terjadi korupsi yang merugikan keuangan negara.
Atas perbuatannya, para tersangka dijerat pasal 2 dan 3 UndangUndang No 31 tahun 1999 sebagimana telah diubah dan diperbaharui dalam
Undang-Undang No 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tipikor.

10

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan kasus yang saya bahas dapat diambil kesimpulan bahwa
tingkat kejujuran dalam pemerintahan masih perlu diragukan. Sebagian
oknum memanfaatkan adanya proyek-proyek untuk keuntungan pribadi.
Dengan begitu pemerintah (khususnya kepala dinas PU Kebumen, Jawa
Tengah) sama sekali tidak akuntabilitas.
Hal ini dapat disebabkan karena:
1. Lemahnya pengawasan pada setiap aktivitas. Kurangnya pengawasan
atau ketidakpedulian sekitarnya karena merasa tidak dirugikan oleh apa
yang dilakukan oleh pelaku menjadi salah satu penyebab utama
terjadinya korupsi, dan bisa saja pelaku dapat mengendalikan perilaku
pengawas dengan memberikan sogokan. Tidak adanya kontrol dalam

11

suatu aktivitas pemerintah menyebabkan oknum-oknum tertentu dapat
memanfaatkan kesempatan secara bebas.

2. Tidak adanya pendalaman agama dan etika dalam diri pelaku. Pelaku
menganggap agama hanya berkutat pada bagaimana cara beribadah saja
sehingga nyaris tidak berfungsi untuk membendung moral. Dangkalnya
pengetahuan norma-norma agama membuat pelaku berbuat sesuatu yang
tidak seharusnya dilakukan seperti mengambil apa yang bukan menjadi
hak milik. Kemudian penyebab lainnya adalah korupsi sudah menjadi
budaya. Melakukan korupsi dianggap hal yang biasa dilakukan karena
sudah sering terjadi. Sehingga merasa aneh apabila tidak ikut melakukan
korupsi.

3. Rendahnya konsekuensi yang diterima oleh pelaku. Koruptor memiliki
anggapan apabila keuntungan korupsi yang diperoleh lebih besar
daripada kerugian bila tertangkap, koruptor dapat menyuap penegak
hukum untuk dibebaskan atau diringankan hukumannya, dengan kata
lain sanksi yang dikenakan tidak cukup besar apabila dibandingkan
dengan besarnya nilai yang dikorupsi. Rumusnya keuntungan korupsi >
kerugian bila tertangkap.

12

4. Munculnya keinginan untuk menyalahgunakan kewenangan. Dengan
banyaknya kesempatan yang ada dapat memunculkan keinginan atau
menggoda pelaku untuk melakukan tindakan korupsi. Pelaku merasa
rugi apabila melewatkan kesempatan yang ada. Akibatnya segala cara
dapat dilakukan untuk memperoleh apa yang diinginkan.

5. Adanya kesempatan. Tidak efektifnya sistem pada suatu pemerintahan
seperti pengendalian dan pengawasan dapat menciptakan kesempatan
atau peluang bagi pelaku-pelaku korupsi. Seperti yang terjadi pada
kasus proyek jalan tersebut. Pengawas tidak membuat berita acara
sesuai dengan fakta yang terjadi, melainkan menyesuaikan berita acara
dengan kontrak. Hal tersebut menciptakan peluang bagi kepala dinas PU
untuk melakukan tindakan korupsi.

6. Adanya kemampuan. Melakukan tindakan korupsi hanya bisa dilakukan
apabila orang tersebut atau pelaku memiliki kemampuan dan kecerdasan
untuk merekayasa dengan membuat data, pembukuan dan laporan fiktif
yang bertujuan agar perbuatan yang dilakukan tidak terdeteksi atau tidak
terungkap saat terjadinya pemeriksaan dari instansi.

13

3.2 Saran
Dari apa yang saya simpulkan diatas, tindakan yang perlu dilakukan
untuk mengatasi atau mencegah terjadinya korupsi adalah:
1. Lebih waspada, terutama pada pengendalian dan pengawasan. Tidak
menganggap remeh dan melakukan aktivitas sesuai apa

yang

seharusnya dilakukan agar tidak menimbulkan kesan fiktif pada tiap
pekerjaan yang dilakukan. Contohnya ketika laporan keuangan
pemerintah daerah atau kota diperiksa oleh BPK dan laporan tersebut
sudah disajikan sesuai dengan SAP. Namun setelah diperiksa sebagian
penerimaan tidak ada bukti setoran nya ke kas negara. Dengan begitu
ada indikasi penyimpangan dalam pencatatan dan BPK akan
memberikan opini tidak wajar dan melaporkan berapa pun besarnya
temuan korupsi dalam laporan audit.

2. Menerapkan konsep skeptisisme professional pada pengendalian dan
pengawasan. Dengan sikap skeptis yang berarti adalah sikap meragukan,
mencurigai, dan tidak mempercayai kebenaran suatu hal, teori, ataupun
pernyataan yang kemudian diterapkan pada sistem pengendalian dan
pengawasan akan memberikan suatu kontrol atau kendali yang kuat
sehingga setiap kecurangan-kecurangan yang dilakukan akan terbukti.
14

3. Selektif dalam memilih calon pemimpin. Dua hal yang dapat memicu
korupsi adalah kemiskinan dan keserakahan. Fenomena korupsi yang
terjadi pada kasus yang saya bahas adalah korupsi yang dipicu oleh
keserakahan. Mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena
serakah, tidak pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk
mendapatkan keuntungan. Dengan kita selektif memilih pemimpin maka
tidak akan muncul permasalahan mengenai korupsi dan juga
permasalahan lainnya.

4. Menerapkan prinsip-prinsip etika dalam bekerja seperti disiplin, jujur,
tanggung jawab, kerja keras, dan tekun pada diri sendiri karena dengan
memulai dari sendiri sudah memberikan contoh bagi yang lain untuk
membenahi diri dan juga dapat mencegah adanya kecurangan untuk
terjadi seperti menolak adanya suap dan peduli pada segala tindak
penyelewengan yang terjadi. Pengaruh yang akan terjadi apabila cara ini
dilakukan adalah mencegah adanya permasalahan yang sudah dijelaskan
pada kesimpulan pada poin ke dua, tiga dan lima. Dengan menjalankan
etika maka budaya dan keinginan untuk memanfaatkan kesempatan
melakukan penyelewengan juga akan hilang.

15

5. Bekerja secara transparan seperti yang dilakukan oleh gubernur dan
wakil gubernur provinsi DKI Jakarta, Joko Widodo dan Basuki Rahmat.
Mereka berdua melakukan berbagai cara untuk menunjukkan bahwa
mereka tidak melakukan penyelewengan seperti menampilkan berapa
besar gaji yang mereka terima pada website Provinsi DKI Jakarta dan
yang lebih hebat lagi adalah merekam setiap rapat yang dilaksanakan
dan mengunggahnya ke youtube. Dengan begitu masyarakat dapat
mengetahui apa saja yang sedang direncanakan oleh pemerintah
provinsi, bagaimana hasilnya dan informasi mengenai anggaran.

6.

Membuat peraturan baru yang memberatkan hukuman bagi pelaku
korupsi. Jadi peraturan yang baru tersebut akan menambahkan hukuman
apabila dirasa hukuman yang diberikan masih belum sebanding dengan
tindakan penyelewengan yang dilakukan. Hal ini cukup penting untuk
membuat takut calon-calon koruptor dan saya pikir tidak mungkin ada
yang menolak cara ini. Karena apabila begitu sama saja mendukung
kebebasan calon koruptor.

7. Meningkatkan kinerja BPK dalam hal memeriksa dan mengawasi
keuangan pemerintah.

16

8. Memperkecil peluang-peluang yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku
penyelewengan. Dengan menghilangkan peluang maka tidak akan ada
tindak korupsi, dengan kata lain pelaku yang memiliki keinginan dan
kemampuan tidak akan memiliki kesempatan yang dapat dimanfaatkan
untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Walaupun faktanya
hampir tidak mungkin untuk menghilangkan peluang apabila melihat
sistem pemerintahan di Indonesia masih belum seluruhnya bekerja
dengan baik.

17