JURNAL ANALISIS PERENCANAAN PEMBANGUNAN 2

1
ANALISIS PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN PENDEKATAN
SISTEM LUNAK (SOFT SYSTEM)
(Studi Pada Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Kota Malang)
Nana Abdul Aziz1, Bambang Supriyono2, MR. Khairul Muluk3
Abstrak
Penyusunan dokumen Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) masih belum
berdasarkan kebutuhan masyarakat, belum mempunyai alur perencanaan yang jelas dan tepat
sebagaimana mengacu kepada Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.50 Tahun 2008 dan belum ada
keterkaitan substansi antar dokumen perencanaan yang satu dengan dokumen perencanaan yang lain,
guna merespon paradigma dan pendekatan perencanaan pembangunan, misalnya dari top-down
planning ke bottom-up planning, dari budaya petunjuk ke budaya partisipasi. Padahal didalam proses
menyusun dokumen RKPD ada beberapa tahapan-tahapan atau sub sistem-sub sistem yang
merupakan bagian yang tersistem dalam menyusun RKPD. Tujuan penelitian ini adalah
mendeskripsikan penyusunan RKPD Pemerintah Kota Malang dengan menggunakan pendekatan soft
system methodology. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan
deskriptif. Dengan teknik pengumpulan data dari wawancara, observasi, dan studi dokumen serta
menggunakan analisa data kualitatif. Kesimpulan yang didapat bahwa proses penyusunan RKPD
menunjukan masih terdapat kompleksitas permasalahan. Kompleksitas yang dimaksudkan adalah
tahap penyusunan mulai dari musrenbang tingkat kelurahan, musrenbang tingkat kecamatan, forum
SKPD, sampai musrenbang tingkat kota. Pendekatan soft systems methodology mengelompokan

kompleksitas tersebut dalam tiga tahap. Strukturisasi permasalahan, mendefinisikan sistem
permasalahan dan mendefinisikan sistem permasalahan dan membangun model konseptual.
Kata Kunci : Perencanaan pembangunan daerah, Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD), soft
systems methodology
Abstract
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) have not been able address the needs of the
community, lead apposite planning pattern as Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 50 Tahun
2008 and combined all substance of the document planning, to respond new paradigm and adapt
planning approach methodology, for instance, top-down planning to bottom-up planning and guided
participatory to active participatory. On the contrary, the process to arrange RKPD are follow stages
as sub-systems that enrol to be systematic blueprint. The objectives of research are considered: to
describe the arrangement process of RKPD viewed and analyzed by Soft Systems Methodology
approach. The method of the research is qualitative with descriptive approach. Data collection
technique is interviews, observations, and document study. Data analysis tool is interactive model
qualitative. The result of the research is indicate that the arrangement process of RKPD have
complexity problem. This was seen through from Musrenbang in Kelurahan, Musrenbang in
Kecamatan, SKPD arbitration, and Musrenbang in Kota. To understanding the complexity of the
problem and discover the solution, this research is conducted by soft systems methodology approach.
The phase of this methodology divides into three stages; structure the problem, defines the problem
and defines the problem and build a conceptual model.

Keywords: Local development planning, Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD), Soft systems
methodology
LATAR BELAKANG
Frase perencanaan dan pembangunan merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan,
ibarat satu tubuh yang diantara satu organ dengan organ lainnya memiliki keterhubungan yang
melekat, karena pembangunan membutuhkan perencanaan dan perencanaan harus mewujud dalam
pembangunan, mulai dari pemerintahan pusat sampai pada tingkat pemerintahan daerah. Dalam
struktur pemerintahan pusat dikenal dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(BAPPENAS) dan dalam struktur pemerintahan daerah pada umumnya disebut dengan Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA). Dalam rangka mewujudkan sistem perencanaan
pembangunan yang ideal, maka dibutuhkan apa yang disebut dengan tahapan-tahapan, sebagaimana

2
juga sudah terdefinisikan di dalam Undang-Undang No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (SPPN) disebutkan bahwa tahapan tersebut meliputi penyusunan rencana,
penetapan rencana, pengendalian pelaksana rencana, dan evaluasi pelaksanaan rencana.
Perencanaan pembangunan daerah seharusnya mencerminkan kebutuhan realitas suatu
daerah, sebagaimana dinyatakan Kuncoro (2012, h.3), bahwa perencanaan pembangunan daerah tidak
hanya perencanaan dari suatu daerah, tetapi perencanaan untuk suatu daerah. Perencanaan
pembangunan daerah berfungsi sebagai perencanaan untuk memperbaiki penggunaan sumber dayasumber daya publik yang tersedia di daerah tersebut. Sehingga menjadi penting dalam proses

penyusunannya harus bersifat aspiratif dan menggunakan pendekatan perencanaan yang tepat. Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), dalam mengejawantahkan pembangunan tentu
melalui beberapa proses perencanaan pembangunan, mulai dari Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Rencana
Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD), Rencana Kerja Pembangunan Daerah
(RKPD) sampai pada Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja SKPD), hal tersebut
adalah merupakan tata urutan hierarki yang bersifat bottom up-top down. Sebagaimanan juga
disebutkan di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (PERMENDAGRI) No.54 Tahun 2010. Pada
umumnya perencanaan pembangunan daerah di Indonesia mengenal empat pendekatan, sebagaimana
juga disebutkan di dalam PERMENDAGRI No.54 Tahun 2010 Pasal 6, diantaranya adalah
teknokratis, partisipatif, politis dan top down-bottom up.
Mindset dalam proses penyusunan RKPD nampaknya masih sebatas pada retoris dan belum
sepenuhnya tercermin dalam keseluruhan proses penyusunan RKPD. Bahkan yang menjadi catatan
penting adalah pola pikir dan cara pandang lama masih cukup kental mewarnai proses RKPD,
misalnya cenderung liniear dan belum mampu melihat masalah secara holistik. Kualitas RKPD di
Kota Malang sendiri bisa dikatakan belum holistik karena belum mampu menjawab kebutuhan
masyarakat, belum mempunyai alur perencanaan yang jelas dan tepat sebagaimana mengacu kepada
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.50 Tahun 2008 tentang pedoman penyusunan RKPD.
Mekanisme perencanaan masih didominasi usulan kegiatan secara hirarki dari birokrasi yang
berorientasi lebih kepada fisik dan belum secara komprehensif mengangkat isu-isu strategis yang

muncul di masyarakat, sehingga menyebabkan perencanaan pembangunan cenderung inkrimental,
padahal didalam proses menyusun dokumen RKPD ada beberapa tahapan-tahapan dan sub sistemsub sistem, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam menyusun RKPD. Proses tahapan
tersebut merupakan fenomena yang sistemik. Pada wilayah inilah penulis ingin mengungkapkan
dengan menggunakan pendekatan soft system methodology yang merupakan bagian dari system
thinking. System thinking merupakan sebuah metode yang mampu menggambarkan masalah secara
holistik, dimana system thinking merupakan suatu proses untuk memahami suatu fenomena dengan
tidak hanya memandang dari satu atau dua sisi tertentu. System thinking berarti bagaimana memahami
bahwa suatu fenomena akan dipengaruhi oleh banyak fenomena lainnya, Seperti halnya dinyatakan
oleh Senge (1990, h.53) “systems thinking is a discipline for seeing wholes. It is a framework

for seeing interrelationships rather than things, for seeing patterns of change rather than
static "snapshots."
Berangkat dari pengembangan analisa system thinking, penulis lebih spesifik akan
menggunakan pendekatan soft system methodology. Soft systems methodology (SSM) merupakan
sebuah pendekatan untuk memecahkan situasi masalah kompleks yang tidak terstruktur berdasarkan
analisis holistik dan berpikir sistem. Soft system methodology adalah proses untuk mengidentifikasi,
merumuskan akar permasalahan dan pemecahannya, menemukan dan mempertemukan pendapat para
pihak yang terlibat seperti pelaksana, pengambil keputusan, pengguna, dan dengan
mempertimbangkan kondisi lingkungan dan pandangan umum masyarakat/politik/sosial budaya,
dalam pengertian yang lebih sederhana dapat diartikan bahwa soft systems methodology merupakan

pendekatan yang terstruktur untuk menyelesaikan masalah yang tidak terstruktur, sebagaimana
diungkapan oleh Checkland and Scholes (1990, h.1) “soft systems methodology (SSM) helps such
managers, of all kinds and at all levels, to cope with their task. It is organized way of tackling messy
situations in the real world. It is based on systems thinking, which enables it to be highly defined and
described, but flexible in use and broad in scope”.

3
Cara pandang system thinking dengan pendekatan soft system methodology sangat relevan untuk
menganalisis perencananaan pembangunan daerah dengan studi proses penyusunan Rencana Kerja
Pembangunan Daerah (RKPD). Penelitian tentang perencanaan pembangunan daerah telah banyak
dilakukan oleh para pakar dari berbagai disiplin ilmu. Namun penelitian mengenai RKPD dalam
perencanaan pembangunan daerah yang berada dalam koridor disiplin administrasi publik masih
tergolong langka terlebih lagi dengan menggunakan pendekatan soft system methodology yang
merupakan bagian dari system thinking.
METODOLOGI
Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif yang diarahkan untuk mendeskripsikan
dan menganalisis fenomena perencanaan pembangunan dalam tiga dimensi permasalahan. Pertama,
proses penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) pada Pemerintah Daerah Kota
Malang. Kedua, peran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam proses penyusunan Rencana
Kerja Pembangunan Daerah (RKPD). Ketiga, setelah hal tersebut dilakukan kemudian proses

penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) dianalisis dengan pendekatan soft system
methodology.
Berangkat dari rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka fokus penelitian ini adalah:
1. Proses penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) pada Pemerintah Kota Malang
secara normatif adalah sebagai berikut: (1) Persiapan penyusunan RKPD, (2) Penyusunan
rancangan awal RKPD, (3) Penyusunan rancangan RKPD, (4) Pelaksanaan musrenbang RKPD,
(5) Perumusan rancangan akhir RKPD, (6) Penetapan RKPD, (7) Dokumen RKPD.
2. Peran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam proses penyusunan Rencana Kerja
Pembangunan Daerah (RKPD) Kota Malang terkait dengan peran SKPD dalam musrenbang
kecamatan, musrenbang kota, serta peran SKPD yang paling menonjol adalah pada pembahasan
forum SKPD.
3. Analisis penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Pemerintah Kota Malang
dengan menggunakan pendekatan 7 tahapan soft system methodology, yaitu: (1) Mengenali
situasi permasalahan (the problem situation : unstructured), (2) Mengungkapkan situasi
permasalahan (the problem situation : expressed), (3) Pembuatan definisi sistem permasalahan
(root definitions of relevant), (4) Membangun model konseptual (conceptual models), (5)
Perbandingan antara model konseptual dengan situasi permasalahan (comparison of 4 with 2), (6)
Perubahan model yang diinginkan (feasible, desirable, changes),(7) Tindakan perbaikan (action
to improve the problem situation).
Gambar 1

Tujuh Tahapan Soft Systems Methodology
7. Action to improve the problem situation

1.The problem situation : unstructured6. Feasible, desirable, changes

2. The problem situation : expressed

5. Comparison of 4 with 2

Real world
Systems thinking
3. Root defnitions of relevant

4. Conceptual models

Sumber : diadaptasi dari Checkland (1999, h.163)
4a. Formal system concept

4b. Other systems thinking


4

HASIL PENELITIAN
Kota Malang yang secara administratif pelayanan kepada masyarakat terdiri dari 5 kecamatan
dan 57 kelurahan, instansi administratif pelayanan tersebut merupakan satu kesatuan yang tersistem
serta bersifat hierarki. Berdasarkan data dari Badan Kepegawaian Daerah Kota Malang tercatat
10.173 Pegawai Negeri Sipil yang berada dibawah Pemerintahan Kota Malang.
Proses Penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Kota Malang
Tahapan proses penyusunan RKPD, tahap penyusunan rancangan awal RKPD, sampai pada
tahap penyusunan rancangan RKPD di Kota Malang dibentuk berdasarkan SK
Walikota/188.45/103/35.73.112/2012, didalam SK tersebut dituliskan tim persiapan diantaranya
sebagai Ketua Tim adalah BAPPEDA Kota Malang, Sekretaris Ketua Tim adalah Bidang Pendataan
dan Evaluasi BAPPEDA Kota Malang, dan anggota adalah Kabag Keuangan Sekda Kota Malang,
Kabag Bagian Hukum Sekda Kota Malang serta unsur BAPPEDA Kota Malang. Hal yang
dibicarakan tim tersebut adalah terkait dengan sesuatu hal yang bersifat teknis dan tidak
membicarakan hal-hal yang bersifat subtansial lebih mendalam. Fenoma tersebut menunjukan bahwa
belum adanya sebuah konsistensi untuk melakukan proses tahapan penyusunan RKPD secara
menyeluruh serta sesuai dengan ketentuan (mulai dari hal yang strategis sampai pada hal yang
praktis). Padahal secara ketentuan yang didasarkan menurut Surat Edaran Menteri Dalam Negeri
No.050/200/II/BANGDA/2008 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah

(RKPD).
Pelaksanaan musrenbang diawali mulai dari tingkat kelurahan, musrenbang tingkat kelurahan
pada dasarnya berjalan dengan baik jika parameternya dilihat dari perspektif partisipasi karena terlihat
dari tingkat kehadiran perwakilan masyarakat dalam musrenbang kelurahan, akan tetapi secara
subtantif dan juga beberapa hal yang bersifat teknis belum berjalan optimal bahkan tidak
diimplementasikan. Mulai dari ketidaktepatan jadwal, ketidakfahaman akan urgensi musrenbangkel,
tidak melaksanakan pra musrenbangkel, delegasi yang disepakati untuk diikutsertakan di musrenbang
kecamatan mayoritas tidak mencerminkan keterwakilan perempuan karena didominasi oleh kaum
laki-laki, beberapa musrenbang kelurahan di dalam pelaksanaannya tidak ada narasumber yang
mewakili dari BAPPEDA Kota Malang, padahal BAPPEDA menjadi lembaga inti dalam proses
penyusunan musrenbang RKPD yang tugasnya memberikan informasi dan gambaran terkait fokus
perencanaan pembangunan. Hasil akhir dari musrenbang kelurahan belum bisa dikatakan berupa
dokumen akan tetapi masih berupa bentuk laporan pembangunan yang mayoritas orientasinya adalah
pembangunan fisik.
Setelah tahap musrenbang tingkat kelurahan selesai dilaksanakan, berikutnya adalah
musrenbang tingkat kecamatan. Fenomena yang tergambar dalam proses musrenbang kecamatan tidak
jauh berbeda dengan yang terjadi pada musrenbang kelurahan. Musrenbang tingkat kecamatan hanya
sebagai aktivitas yang bersifat formalitas, seolah-olah kegiatan tersebut bersifat bottom-up tapi
realitanya lebih kecenderungan top-down. pemaknaan formalitas dalam konteks yang lain diartikan
bahwa musrenbangcam hanya bersifat seremonial termasuk peran SKPD hanya bersifat

mengakomodir. Selanjutnya adalah kegiatan forum SKPD. Secara teknis forum SKPD hanya
melakukan konfirmasi dan penyesuaian antara hasil musrenbangcam dengan program SKPD,
sederhananya memberikan ruang untuk terjadinya proses tanya jawab antar seluruh peserta forum
SKPD. Memang dalam prosesnya diberikan ruang untuk saling konfirmasi terkait dengan prioritas
kegiatan akan tetapi karena kendali ada pada Kepala SKPD, akhirnya proses dinamika itu hanya
sampai pada titik konfirmasi dan tidak terjadi proses diskusi yang subtansial. Hal tersebut jelas sudah
keluar dari ketentuan dalam poin pertama prinsip-prinsip penyelenggaraan forum SKPD bahwa forum
SKPD merupakan forum pembahasan strategis yang mempertemukan pendekatan teknokratis dan
top-down dengan pendekatan partisipatif dan bottom-up. Hasil akhir dari forum SKPD akan dibahas
di forum musrenbang tahap akhir yakni musrenbang tingkat kota.
Musrenbang tingkat kota merupakan finalisasi yang akhirnya akan menghasilkan dokumen
RKPD. Berdasarkan data sekunder menunjukan bahwa hasil dari musrenbangkot belum dapat
dikatakan dalam kategori perencanaan komprehensif, hal tersebut terlihat dari kecenderungan proses
pembangunan yang bersifat fisik. Usulan dari masyarakat juga tidak terakomodir. Peran BAPPEDA
sangat dominan dan memiliki otoritas yang penuh dalam mengendalikan proses musrenbangkot.
Tentu fenomena tersebut sedikit keluar dari koridor semangat musrenbangkot yang merupakan

5
sebagai wahana untuk mensinkronisasikan dan merekonsiliasikan pendekatan top-down dengan
bottom-up, pendekatan penilaian kebutuhan masyarakat (community need assessment) dengan

penilaian yang bersifat teknis (techical assessment); resolusi konflik atas berbagai kepentingan
pemerintah daerah dan non government stakeholders untuk pembangunan daerah, antara kebutuhan
program pembangunan dengan kemampuan dan kendala pendanaan, dan wahana untuk mensinergikan
berbagai sumber pendanaan pembangunan. Proses penyusunan RKPD juga tidak terlepas dari unsur
kepentingan politik, dimana DPRD menjadi institusi yang memiliki nilai tawar karena perannya yang
bisa melakukan untuk tidak memberikan dukungan terhadap proses penyusunan RKPD.

Peran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam proses penyusunan RKPD Kota
Malang
Pada prinsipnya SKPD berperan pada setiap tahapan musrenbang, mulai musrenbang tingkat
kelurahan, tingkat kecamatan, forum SKPD sampai pada tahap akhir yakni musrenbang tingkat kota.
Sifat dari peran SKPD sekedar memberikan gambaran dan mengakomodir setiap usulan yang
disampaikan di musrenbang terutama di tingkat kecamatan. Pada tahapan forum SKPD maupun
musrenbang kota peran SKPD memiliki pengaruh yang signifikan, karena memiliki otoritas yang
penuh dalam menentukan skala prioritas rencana pembangunan.
PEMBAHASAN

Proses Penyusunan Rencana Kerja Pembangungan Daerah (RKPD) Kota Malang
Persiapan Proses Penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD)
Proses penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) dalam perspektif Faludi (1973)
disebut sebagai subtantive theory. Hal tersebut dikarenakan adanya penyerapan substansi metode dari
disiplin ilmu lain, berdasarkan hal tersebut maka perspektif substantive theory lebih tepat atau dalam
teori perencanaan dikenal dengan theory in planning. Sementara teori perencanaan disebut sebagai
teori prosedural atau theory of planning. Seharusnya dalam praktek, seharusnya tidak dipisahkan
antara theory of planning dan theory in planning. Justru diharapkan keduanya akan membentuk suatu
kolaborasi yang oleh Faludi (1973) disebut juga sebagai perencanaan efektif. Posisi teori perencanaan
yang berada pada domain publik memaksa adanya kolaborasi tersebut. Proses penyusunan Rencana
Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) dalam perspektif Kumar (2001) disebut sebagai Decentralized
planning connotes a better perception of the needs of local areas, makes better informed decisionmaking possible, gives a greater voice in decision-making to the people for whom the development is
meant, and serves to achieve better co-ordination and integration among programmes enabling the
felt needs of the people to be taken info account. Desentralisasi diartikan sebagai upaya mengolah
persepsi secara tepat terhadap kebutuhan masyarakat lokal, membuat keputusan yang berdasarkan
data dan informasi yang lebih akurat, memberikan kesempatan yang lebih besar kepada masyarakat
dalam proses pembuatan keputusan, mencapai koordinasi yang lebih baik dan terintegrasi diantara
program-program yang ada sehingga pada akhirnya memungkinkan masyarakat untuk memenuhi
kebutuhannya.
Persiapan proses penyusunan RKPD di Kota Malang tidak berjalan sesuai dengan ketetapan pada
kerangka sistem yang diterjemahkan dalam bentuk aturan secara teknis berdasarkan Surat Edaran
Mendagri No.50/200/II/BANGDA/2008. Padahal, kualitas suatu perencanaan akan dipengaruhi oleh
sejauhmana kematangan dalam tahap persiapan, rancangan awal dan sampai pada tahap rancangan
RKPD itu sendiri sedangkan legitimasinya dari sisi partisipasi ditentukan oleh seberapa jauh
keterlibatan para pemangku kepentingan. Realitas yang terjadi juga menunjukan bahwa persiapan
proses penyusunan RKPD tidak dilandaskan dengan menggunakan kaidah berpikir holistik dengan
menjalankan proses tahapan secara konsisten. Persiapan proses penyusunan RKPD Kota Malang
menunjukan bahwa perencanaan pembangunan daerah diartikan sebagai perencanaan dari suatu
daerah sehingga memuculkan stigma bahwa perencanaan pembangunan hanya milik BAPPEDA. Hal
tersebut bertolak belakang dengan apa yang dinyatakan oleh Kuncoro (2012, h.3) bahwa perencanaan
pembangunan daerah bukanlah perencanaan dari suatu daerah, melainkan perencanaan untuk suatu
daerah. Sehingga logika berpikir yang dibangun dalam menyusun proses rancangan awal RKPD
seharusnya adalah logika dengan sudut pandang yang tidak parsial. Sudut pandang yang parsial
mengakibatkan terjadinya susunan rumusan yang tidak sistematik. Sebagaimana Abe (2005:31)

6
menyatakan bahwa suatu perencanaan merupakan susunan (rumusan) sistematik mengenai langkah
(tindakan-tindakan) yang akan dilakukan dimasa depan, dengan didasarkan pada pertimbanganpertimbangan yang seksama atas potensi dan faktor-faktor eksternal, serta pihak-pihak yang
berkepentingan, dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu.

Pelaksanaan Musrenbang Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD)
Musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) pada hakikatnya adalah mekanisme
perencanaan pembangunan yang bersifat bottom-up. Dengan mekanisme tersebut diharapkan adanya
keterlibatan masyarakat secara aktif sejak awal dalam proses pembangunan. Musrenbang ini
dilakukan secara hierarki mulai dari tingkat kelurahan, kecamatan, kota. Fungsi musrenbang ini
merupakan media untuk mempertemukan antar masyarakat, antara masyarakat dengan pemerintah dan
antar masyarakat dengan stakeholder pembangunan lainnya. Musrenbang dilakukan lebih
menitikberatkan pada aspek lokasi dimana kegiatan dilakukan atau dalam istilah Kuncoro (2012,
h.25) disebut sebagai perencanaan regional (pemda mempunyai kepentingan yang berbeda dengan
instansi-instansi) di pusat dalam melihat aspek ruang di suatu daerah.
Musrenbang mememiliki peranan besar dalam perencanaan pembangunan sebagaimana dalam
perspektif Kumar (2001) disebut sebagai “People participation in planning it is a sordid fact of
reality that despite quite a few decades of economic planning and concerted efforts at revamping and
reorganizing the administrative monolith, the notion of active participation and involvement of the
people in the plan processes including plan formulation, implementation, monitoring has, by and
large, remained a mere myth. This is inspite of the myriad pronouncements in the successive plan
documents as well as in the policies and programmes put forth by Central and States Goverments
from time to time, with regard to involving people in the plan processes.
Seluruh tahapan musrenbang yang telah terlaksana merupakan fenomena sistemik yang
melibatkan banyak pihak, dalam hal ini adalah BAPPEDA, DPRD, lembaga pada setiap tingkatan
pemerintah dan tentunya masyarakat. Keluaran yang dihasilkan dalam setiap tahapan musrenbang
merupakan masukan yang kemudian ditetapkan secara resmi oleh penyelenggara pemerintahan daerah
sebagai dokumen Rencana Kerja Pembangunan Daerah. Dengan melihat peran tersebut, maka
musrenbang dapat ditempatkan sebagai bagian bentuk perencanaan partisipatif, yakni perencanaan
yang melibatkan seluruh unsur masyarakat sebagimana juga dinyatakan oleh Abe (2005, hal.88)
menyatakan bahwa perencanaan partisipatif adalah perencanaan yang dalam tujuannya melibatkan
kepentingan rakyat, dan dalam prosesnya melibatkan rakyat (baik secara langsung maupun tidak
lansung). Penempatan dalam bentuk perencanaan partisipatif disebabkan musrenbang merupakan
forum bersama antara berbagai elemen masyarakat dengan penyelenggara pemerintahan daerah, akan
tetapi belum seutuhnya merupakan perencanaan bottom up karena peran pemerintah daerah dalam hal
ini BAPPEDA masih cukup besar, dalam perspektif Muluk (2007, hal.59) disebut sebagai bentuk
partisipsi yang bersifat konsultasi sejati bukan partisipasi yang bersifat sebagai badan penasehat yang
efektif
Intervensi dan besarnya peran pemerintah daerah dilihat dari pengendali sesungguhnya dari
musrenbang tersebut. Secara keseluruhan, Badan Perencanaan Pembangunan (BAPPEDA) Kota
Malang merupakan lembaga yang paling bertanggung jawab terhadap berlangsungnya musrenbang.
BAPPEDA melakukan koordinasi seluruh jajaran perangkat daerah untuk menjalankan musrenbang.
Di tingkat kecamatan, peran kantor kecamatan sangat besar bagi berlangsungnya musrenbang tingkat
kecamatan. Di tingkat kelurahan, kantor kelurahan memiliki peran besar untuk memfasilitasi LPMK
dalam melakukan musyawarah pembangunan kelurahan.
Dari keterangan tersebut dapat dipahami bahwa meskipun musrenbang benar-benar mampu
membawa aspirasi masyarakat dalam proses pembuatan keputusan namun peran besar dalam proses
tersebut tetap berada ditangan pemerintah daerah. Banyaknya usulan pembangunan masyarakat yang
tidak terakomodir disebabkan oleh adanya posisi rencana pembangunan yang bersifat kompleks dari
pemkot dan terlalu banyaknya usulan masyarakat yang masuk sehingga harus dipilah dan dipilih
berdasarkan kategori pembidangan dan prioritas atas dasar kategori tersebut. Seperti halnya
dinyatakan oleh Riyadi dan Bratakusumah (2004, h.8), bahwa orientasi holistik menjadi penting
dalam perencanaan pembangunan daerah, karena dengan tingkat kompleksitas yang besar tidak
mungkin kita mengabaikan masalah-masalah yang muncul sebagai tuntutan kebutuhan sosial yang tak
teralak-kan.

7
Selain hal tersebut, gambaran lain yang terlihat adalah peran pemerintah daerah dalam hal ini
BAPPEDA begitu kuat dalam musrenbang. Hal tersebut menunjukan bahwa pada akhirnya
musrenbang kehilangan ruh hakikat dasarnya yakni bersifat bottom up. Kuatnya peran BAPPEDA
dalam proses musrenbang dalam perspektif Faludi (1973, h.1) diartikan sebagai para pembuat rencana
melakukan usaha untuk mengurangi gejolak di masyarakat akibat suatu kejadian dengan memberikan
arahan yang rasional dan logis tentang kejadian tersebut dimana arahan tersebut tidak dengan pola
pikir masyarakat pada umumnya
Belum holistiknya proses penyusunan rencana kerja pembangunan daerah terlihat dari beberapa
proses tahapan musrenbang, mulai dari musrenbang tingkat kelurahan, musrenbang tingkat
kecamatan, forum SKPD, sampai tahap musrenbang tingkat kota seperti yang telah penulis
gambarkan dibeberapa fenomena penyajian data diawal. Perjalanan dari tiap tahapan proses
musrenbang lebih terlihat formalitas dikarenakan keputusan akhir dari hasil setiap tahapan proses
musrenbang otoritas keputusannya berada pada pemerintahan daerah dalam hal ini adalah BAPPEDA
serta forum SKPD, sebagaimana sudah diungkapkan dalam data primer hasil penelitian. Hal tersebut
bisa dikatakan sebagai formalitas partisipatif, sebagaimana Abe (2005, hal.88) mengungkapkan
bahwa selama proses transformasi kapasitas masyarakat dan keterampilan masyarakat tidak
dilakukan, maka partisipasi hanya akan terlihat sebagai formalitas partisipatif, sedangkan realitas
sesungguhnya adalah hegemoni dan manipulasi.
Selanjutnya adalah gambaran musrenbang yang terlihat nuansa politiknya terutama pada tahapan
forum SKPD dan musrenbang kota atau bahkan ketika diplenokan di DPRD, seperti sudah
diungkapkan dalam poin hasil penelitian. Hal tersebut seperti yang digambarkan oleh Conyer dan
Hill.
Gambar 2.
Hubungan Politik, Perencana, Administrator dan Publik
NGO/LSM

Kepala Daerah
DPRD
BAPPEDA

Sumber : Conyer and Hill (1990)

8
Peran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam Proses Penyusunan Rencana
Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Kota Malang
Peran SKPD pada hakikatnya terlibat pada setiap tahapan musrenbang, diantaranya tahap
musrenbang kecamatan, tahap forum SKPD, dan tahap musrenbang kota, dari setiap tahapan tersebut
dengan berdasarkan data sekunder dan data primer menunjukan bahwa peran SKPD yang paling
menonjol adalah pada musrenbang tahap forum SKPD. Berdasarkan perspektif pendekatan
perencanaan, forum SKPD lebih tepat disebut sebagai perencanaan teknokratis yang bersifat top down
yang diselaraskan dengan hasil dari pendekatan partisipatif yang bersifat bottom up. Secara
konseptual seperti yang diungkapkan oleh Sutoro Eko (www.ireyoga.org), mengungkapkan bahwa
perencanaan teknokratis mengandung dimensi teori dan metodologi untuk mengelola data, informasi
dan aspirasi secara logis, tepat, dan cermat. Teori dan metodologi mengharuskan agenda perencanaan
membuat analisis masalah dan tujuan secara tepat, sehingga mampu menghasilkan kebijakan yang
tepat atau menjawab masalah dengan benar.
Pendekatan teknokratis dengan pendekatan partisipasi sejatinya tidak saling bertentangan.
Pendekatan teknokratis berupaya melakukan translasi atas pendekatan partisipasi. Para pemimpin
daerah atau politisi sering memberikan respons politik atas partisipasi secara cepat, begitu dialog
dengan masyarakat berlangsung. Sementara pendekatan teknokrasi membutuhkan proses translasi
melalui analisis yang lama, senada dengan lamanya waktu yang dibutuhkan oleh proses partisipatif.
Tetapi ada sebuah prinsip dasar bahwa siapapun yang sabar mengikuti proses maka akan membuatnya
menjadi lebih bijak. Sehingga jika pendekatan teknokrasi dimasukkan dalam proses partisipasi maka
akan menghasilkan perencanaan yang lebih bermakna dan berkualitas. Hal ini misalnya ditempuh
dengan analisis masalah dan penentuan skala prioritas dalam setiap tahapan proses penyusunan
RKPD.
Sama halnya seperti yang terjadi dalam proses musrenbang bahwa dalam forum SKPD juga
terlihat nuansa formalitas dan politis dalam melakukan proses penyusunan rencana pembangunan.
Serta berdasarkan data primer bahwa para delegasi yang berada dalam pemerintahan dibawahnya
tergambar lebih mengambil pada posisi yang aman sehingga tidak muncul dinamika kritis. Maka
harus dilakukan proses pembaharuan. Abe (2005, hal.88) memberikan beberapa perspektif agar
muncul keseimbangan dalam proses mempengaruhi sebelum kebijakan itu ditetapkan. Beberapa hal
tersebut diantaranya adalah (1). Perubahan budaya, pembaruan kultur politik di masyarakat, agar bisa
lebih menerima kejujuran politik dan menentang segala bentuk tekanan politik, dan (2). Perubahan
tata politik, sehingga perpolitikan lebih bersifat “poli” dan berorientasi akar rumput, bukan lagi
berorientasi elitis. Melibatkan masyarakat secara langsung akan membawa tiga dampak penting : (1).
Terhindar dari peluang terjadinya manipulasi. Keterlibatan rakyat akan memperjelas apa yang
sebetulnya dikehendaki masyarakat. (2). Member nilai tambah pada legitimasi rumusan perencanaan.
Semakin banyak jumlah masyarakat yang terlibat akan semakin baik. (3). Meningkatkan kesadaran
dan keterampilan politik masyarakat.

Analisis Soft Systems Methodology Terhadap Proses Penyusunan Rencana Kerja
Pembangunan Daerah (RKPD) Kota Malang
Operasionalisasi soft systems methodology terhadap kompleksitas proses penyusunan RKPD
dikelompokan menjadi tiga tahap. Pertama, strukturisasi permasalahan. Kedua, mendefinisikan sistem
permasalahan. Ketiga, mendefinisikan sistem permasalahan dan membangun model konseptual.

Strukturisasi Permasalahan
Strukturisasi permasalahan dimaksudkan untuk memahami masalah secara mendalam sesuai proses
yang terjadi dalam realitas (real-world problem). Mengenali permasalahan yang tidak terstruktur
(problem situation unstructured) dengan cara mengungkap masalah, menggambarkan berbagai
kemungkinan munculnya masalah, dan memahami situasi munculnya suatu masalah berdasarkan struktur
dan proses yang terjadi dalam berbagai aktivitas. Strukturisasi permasalahan proses penyusunan RKPD
pada dasarnya berkaitan dengan standarisasi serta konsistensi menjalankan proses perencanaan sesuai
dengan ketentuan. Rumusan strukturisasi permasalahan tersebut baik menyangkut struktur maupun
proses penyusunan RKPD dapat dirinci sebagai berikut :

9
Strukturisasi Permasalahan Proses Penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah
(RKPD) Kota Malang
Strukturisasi permasalahan proses penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD)
pada intinya berkaitan dengan pemahaman secara subtansial akan standarisasi proses perencanaan
pembangunan yang sesuai dengan mekamisme yang telah ditetapkan. Rumusan strukturisasi
permasalahan tersebut baik menyangkut struktur maupun prosesnya dapat dirinci menjadi delapan
belas masalah.
1. Dalam tahapan penyusunan RKPD mulai dari tahap persiapan penyusunan RKPD,
penyusunan rancangan awal RKPD sampai pada tahap penyusunan rancangan RKPD tidak
berjalan sebagaimana sesuai ketentuan yang telah ditetapkan.
2. Proses tahapan tersebut di point 1 masih berjalan secara formalitas, hal tersebut terlihat dari
penjelasan sekretaris Bidang Pendataan dan Evaluasi yang tidak mampu menunjukan
dokumen proses tahapan yang telah dilakukan serta ketidakmampuan untuk menjawab
beberapa konfirmasi.
3. Belum adanya sebuah konsistensi untuk melakukan proses tahapan penyusunan RKPD yang
disebutkan di point 1 secara menyeluruh serta sesuai dengan ketentuan (mulai dari hal yang
strategis sampai pada hal yang praktis).
4. Pelaksanaan musrenbang kelurahan yang tidak sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan.
5. Tidak adanya pelaksanaan pra musrenbang kelurahan.
6. Terkait dengan delegasi yang disepakati untuk diikutsertakan di musrenbang kecamatan
mayoritas tidak mencerminkan keterwakilan perempuan karena didominasi oleh kaum lakilaki.
7. Beberapa musrenbang kelurahan di dalam pelaksanaannya tidak ada narasumber yang
mewakili dari BAPPEDA, padahal BAPPEDA menjadi lembaga inti dalam proses
penyusunan musrenbang RKPD yang tugasnya memberikan informasi dan gambaran terkait
fokus perencanaan pembangunan sehingga secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap
cara pandang peserta musrenbang.
8. Hasil akhir dari musrenbang kelurahan belum bisa dikatakan berupa dokumen akan tetapi
masih berupa bentuk laporan pembangunan.
9. Mayoritas orientasinya adalah pembangunan fisik yang dari tahun ke tahun seringkali ada
kesamaan.
10. Proses musrenbang kelurahan memiliki banyak usulan pembangunan dari masyarakan akan
tetapi tidak semua bisa terakomodir.
11. Pelaksanaan musrenbang kecamatan yang tidak sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan.
12. Tidak semua kecamatan melakukan pra musrenbang kecamatan.
13. Pelaksanaan musrenbang kecamatan ada yang tidak dihadiri narasumber yang mewakili dari
BAPPEDA dan Anggota DPRD, padahal BAPPEDA menjadi lembaga inti dalam proses
penyusunan musrenbang RKPD yang tugasnya memberikan informasi dan gambaran terkait
fokus perencanaan pembangunan dan juga Anggota DPRD sebagai penyelaras proses
musrenbang kecamatan yang dilakukan, sehingga secara tidak langsung akan berpengaruh
terhadap pola pikir dan dalam pengambilan keputusan.
14. Musrenbang kecamatan secara umum pelaksanaannya lebih terlihat formalitasnya karena
hanya menyelaraskan beberapa usulan dari musrenbang kelurahan sehingga prosesnya belum
mengarah kepada diskursus yang bersifat subtansi.
15. Peran pemerintah daerah dalam hal ini BAPPEDA begitu kuat dalam musrenbang, hal
tersebut menunjukan bahwa pada akhirnya musrenbang kehilangan ruh hakikat dasarnya
yakni partisipatif yang bersifat bottom up tapi prakteknya top down.
16. Proses penyusunan RKPD juga tidak terlepas dari unsur kepentingan politik, dimana DPRD
menjadi institusi yang memiliki nilai tawar karena perannya yang bisa melakukan untuk tidak
memberikan dukungan terhadap proses penyusunan RKPD.
17. Tidak adanya sosialisasi terkait petunjuk baku baik petunjuk pokok maupun petunjuk teknis
terkait pelaksanaan penyusunan dokumen perencanaan pembangunan secara menyeluruh
kepada semua organisasi pemerintahan dan organisasi kemasyarakatan.

10
18. Tidak optimalnya dukungan sarana dan prasarana yang didalamnya termasuk dokumen
kebijakan pemerintah dan pembiayaan kegiatan yang telah dipersiapkan secara matang dan
jelas. Poin ini seperti yang disampaikan dalam laporan musrenbang kecamatan oleh Tim
Murenbang Kecamatan Blimbing.

Strukturisasi Permasalahan Peran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam
Proses Penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Kota Malang
Strukturisasi permasalahan kedua terkait peran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam
proses penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD). Permasalahan yang dihadapi pada
intinya berkaitan dengan pemahaman dan konsistensi akan standarisasi proses perencanaan
pembangunan yang sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Strukturisasi permasalahan
tersebut baik menyangkut struktur maupun prosesnya dapat dirinci menjadi lima masalah yang
dihadapi, diantaranya sebagai berikut.
1. Implementasi dari kegiatan forum SKPD adalah proses partisipasi top down, hakikatnya
adalah bottom up
2. Pembahasan di forum SKPD sekedar menyelaraskan, tidak ada diskusi yang bersifat
subtansial
3. Kendali penuh forum SKPD ada pada Kepala SKPD sehingga hasil akhir dari forum SKPD
tidak mengakomodir seluruhnya usulan dari musrenbangcam
4. Belum adanya pemahaman yang utuh secara strategis terkait standarisasi forum SKPD yang
didalam prosesnya idealnya mempertemukan semua pendekatan.
5. Masih tercermin nuansa formalitas dan politis

Mendefinisikan Sistem Permasalahan dan Membangun Model Konseptual
Setelah strukturisasi permasalahan dilakukan, tahap berikutnya yang dilakukan dalam
penggunaan soft systems methodology adalah membangun model konseptual melalui kerangka erpikir
sistem (system thinking). Tujuan membangun model ini untuk memecahkan masalah yang dihadapi
secara sistemik mengingat pada dasarnya setiap masalah sosial adalah bersifat sistemik, sehingga
pemecahannya harus dilakukan dengan cara sistemik pula. Model dalam mendefinisikan sistem
permasalahan tersebut dikenal dengan istilah CATWOE.
Gambar 3.
Kerangka Mendefinisikan Sistem Permasalahan
Environmental Contrains
Worl-view
Client Transformation-process
Actors
Owners

Sumber : Checkland

CATWOE
C : pihak-pihak yang diuntungkan
A : pihak-pihak yang melaksanakan aktivitas
pemecahan masalah
T : aktivitas yang merubah masukan menjadi
keluaran
W: pemahaman mendalam dari berbagai pihak
tentang situasi permasalahan
O : pihak yang dapat menghentikan aktivitas
E : hambatan lingkungan yang tidak dapat
dihindari

and Scholes (1990, h.35-36)

Menggali persepsi dari berbagai pihak dengan bantuan model analisis sistem CATWOE
sebagaimana terlihat pada gambar 7 dapat membantu upaya memecahkan masalah yang telah
distrukturisasi. Prinsip dasar yang dibangun dalam model ini adalah menentukan siapa yang
melakukan aktivitas (actors) pemecahan masalah dan siapa yang dapat menghentikan aktivitas
tersebut (owners). Actors dan Owners merupakan elemen dasar dalam model konseptual berpikir
sistem. Actor adalah pihak-pihak yang memiliki keterampilan teknis dan diperlukan dalam aktivitas
pemecahan masalah, sedangkan owners adalah pengambil keputusan yang lebih diperlukan untuk
berpikir strategis daripada sebagai teknisi. Pihak-pihak yang memanfaatkan aktivitas bertujuan,
pendorong dan penarik proses transformasi adalah Clients. Proses transformasi (transformation
process) menyangkut aktivitas yang dapat merubah status quo kedalam suatu kondisi yang

11
diharapkan. Sedangkan kendala lingkungan (environmental constrains) menyangkut kekuatan
eksternal yang berpengaruh terhadap proses transformasi secara menyeluruh dan dapat merubah
pandangan dalam menyikapi persoalan yang dihadapi. The world view merupakan representasi dalam
mendefinisikan masalah serta upaya pemecahannya.
Sesuai dengan strukturisasi permasalahan, definisi sistem permasalahan berkaitan dengan
proses penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD). Rumusan ini dibuat berdasarkan
wawancara dengan stakeholders yang terlibat dalam proses penyusunan RKPD, mulai dari
penyusunan rancangan awal, musrenbangkel, musrenbangcam dan musrenbangkot. Stakeholders
tersebut diantaranya BAPPEDA, Anggota DPRD, serta pihak yang terlibat dalam musrenbangkel dan
musrenbangcam. Merujuk pada kerangka analisis CATWOE, rumusan definisi sistem permasalahan
proses penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 1.
Penggabungan Dari Dua Definisi Sistem Permasalahan Proses Penyusunan RKPD
dan Sistem Permasalahan Peran SKPD Dalam Proses Penyusunan RKPD
No
1
2
3

Komponen Definisi Sistem Permasalahan
(CATWOE)
Pihak-pihak yang diuntungkan atau dirugikan
(Clients)
Pihak-pihak yang melaksanakan pemecahan
masalah (Actors)
Aktivitas yang merubah masukan jadi keluaran
(Transfotrnation Process)

4

Pemahaman mendalam dari berbagai pihak
tentang situasi permasalahan (World-view)
5
Pihak yang dapat menghentikan aktivitas
(Owners)
6
Hambatan lingkungan yang tidak dapat
dihindari (Environmental contrains)
Sumber : Data Primer

Hasil Definisi Sistem Permasalahan
Masyarakat setempat, institusi pemerintah daerah, pihak
swasta, pemerintah
DPRD, Kepala Daerah, dan Perangkat Daerah, Akademisi
Forum SKPD, Kebijakan mengintegrasikan semua
pendekatan (politik, partisipasi, teknokratis, bottom up top
down)
Perencanaan
pembangunan
yang
disusun
secara
komprehensif, Kebersamaan Institusi dalam Setiap Proses
Kepala Daerah, BAPPEDA dan DPRD
Political will pemerintahan daerah melakukan perubahan,
Kesadaraan Masyarakat

Setelah mendefinisikan sistem permasalahan yang mencakup dua definisi sistem
permasalahan proses penyusunan RKPD, tahap selanjutnya yang perlu dilakukan dalam tahap soft
systems methodology adalah membangun model konseptual (building conceptual models).

Penyempurnaan Model Konseptual
Bagian ini menjelaskan tentang proses yang telah dilakukan dalam upaya menyempurnakan
model konseptual proses penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD). Penjelasan ini
dipandang penting untuk memahami proses penggunaan analisis soft systems methodology yang telah
dilaksanakan, dan membantu memahami model sistem proses penyusunan RKPD. Penyempurnaan
model konseptual dilakukan dalam dua tahap. Pertama, membandingkan model konseptual dengan
realitas permasalahan yang dihadapi dalam proses penyusunan RKPD. Kedua, mendefinisikan
perubahan yang diinginkan stakeholder agar model yang dibangun dapat ditindaklanjuti dengan
kegiatan aksi.
Perubahan model konseptual ini sangat dimungkinkan dan diperlukan mengingat soft systems
methodology esensinya adalah membandingkan antara kerangka berpikir sistem (systems thinking)
dengan dunia nyata (real world) untuk menganalisis dan memecahkan masalah secara sistemik. Hasil
perbandingan menunjukan bahwa model proses penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah
(RKPD) yang telah dilakukan masih terdapat perbedaan dengan realitas yang dihadapi. Merujuk
kepada hasil perbandingan model konseptual, maka hasil penyempurnaan model konseptual tersebut
berupa dua model sistem proses penyusunan RKPD.

Model Sistem Proses Penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Kota
Malang dan Model Sistem Peran SKPD dalam Proses Penyusunan RKPD
Komponen model sistem proses penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD)
meliputi tiga komponen dasar. Pertama, komponen realitas yang dihadapi. Kedua, komponen
kerangka berpikir sistem dalam rangka memecahkan masalah yang dihadapi. Ketiga adalah
konsistensi terhadap tahapan RKPD.

12
Gambar 4
Penggabungan Dua Model Sistem Proses Penyusunan Rencana RKPD dan Model Sistem
Peran SKPD dalam Proses Penyusunan RKPD
Real World
Systems Thinking

Memahami proses tahapan
Pemahaman
penyusunan
akan aturan
RKPD (strategis
oleh semua
maupun
stakeholders
teknis) (1)
terkait proses penyusunan RKPD secara menyeluruh sampai tingkat pemerintah

Memahami keinginan dan kebutuhan masyarakat, pemerintah daerah dan swasta (3)

Pemilahan proses penyusunan RKPD menjadi tiga bagian (proses teknokratis, proses partisipatif dan proses legislasi dan

Melakukan proses orientasi perencanaan (5)
Proses tahapan penyusunan RKPD yang sesuai dengan ketetapan dan kesepakatan stakeholders (7)

Pengumpulan data dan informasi serta analisis kondisi dan permasalahan daerah (6)
Forum/diskusi tentang arah perencanaan (proses bottom-up) (8)

Hasil yang diinginkan (9)

Tolok ukur dengan dimensi komprehensif dan holistik RKPD (10)

Monitor, kontrol dan evaluasi (11)

Konsistensi terhadap proses tahapan RKPD (12)

Memahami Gambar 4 dapat dijelaskan bahwa upaya memecahkan masalah proses
penyusunan RKPD perlu diawali dengan memahami realitas masalah. Realitas yang dihadapi adalah
proses penyusunan RKPD yang tidak holistik dan terstruktur sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan. Upaya pemecahan masalah tersebut perlu diawali dengan proses pemahaman akan aturan
(strategis maupun teknis) terkait proses penyusunan RKPD secara menyeluruh sampai tingkat
pemerintahan yang paling bawah hal tersebut dimaksudkan agar semua lapisan masyarakat yang
terlibat dalam proses perencanaan pembangunan memahami secara subtansi maupun teknis. Langkah
selanjutnya adalah memahami keinginan dan kebutuhan masyarakat, pemerintah daerah maupun
swasta, langkah ini dimaksudkan agar tercipta keselarasan pembangunan baik dari perspektif
pengelolaan maupun perspektif pendanaan sehingga semua usulan rencana pembangunan bisa

13
diakomodir. Langkah berikutnya adalah melakukan pemilahan proses penyusunan RKPD menjadi tiga
bagian (proses teknokratis, proses partisipatif dan proses legislasi dan administratif) hal tersebut untuk
memudahakan dalam membangun sebuah sistem (wilayah kerja mana yang harus melakukan
pendekatan partisipatif, membutuhkan konsultasi (teknokratis), serta proses kekuatan hukum).
Langkah selanjutnya adanya ketetapan dan kesepakatan terhadap proses tahapan RKPD hal ini untuk
mewujudkan konsistensi terhadap alur yang komprehensip dan holistik.
Langkah berikutnya adalah melakukan proses orientasi perencanaan, hal ini dalam rangka
agar proses penyusunan RKPD tidak bertentangan antara satu dokumen dengan dokumen lainnya,
memahami pola-pola pendekatan dalam menyusun RKPD. Berikutnya adalah pengumpulan data dan
informasi serta analisis kondisi permasalahan daerah dalam rangka melakukan review terhadap
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), membuat skema prioritas dan target
program. Setelah langkah itu dilakukan kembali lagi kepada proses tahapan ketetapan dan
kesepakatan stakeholders. Langkah berikutnya adalah melakukan forum atau diskusi tentang arah
perencanaan (proses bottom up) hasil yang diinginkan, menyamakan perspektif pembangunan secara
kolektif dalam rangka mencari langkah terbaik. Hasil dari langkah tersebut adalah adanya tolok ukur
komprehensip dan holistik RKPD dilihat dari segala dimensi. Sehingga lankah berikutnaya adalah
melakukan monitor, kontrol dan evaluasi untuk melihat sejauh mana konsistensi terhadap proses
tahapan RKPD.
SIMPULAN
Peran BAPPEDA secara keseluruhan sangat dominan dan memiliki otoritas yang penuh dalam
mengendalikan proses penyusunan perencanaan pembangunan termasuk di dalamnya prose
penyusunan RKPD. Tentu fenomena tersebut sedikit keluar dari koridor semangat proses penyusunan
perencanaan pembangunan yang merupakan sebagai wahana untuk mensinkronisasikan dan
merekonsiliasikan pendekatan top-down dengan bottom-up, pendekatan penilaian kebutuhan
masyarakat (community need assessment) dengan penilaian yang bersifat teknis (techical
assessment); resolusi konflik atas berbagai kepentingan pemerintah daerah dan non government
stakeholders untuk pembangunan daerah, antara kebutuhan program pembangunan dengan
kemampuan dan kendala pendanaan, dan wahana untuk mensinergikan berbagai sumber pendanaan
pembangunan.
Dalam dimensi lain SKPD juga tidak melakukan peran advokasi untuk
memperjuangkan setiap usulan-usulan pembangunan dari masyarakat yang dihasilkan dari
musrenbangkel maupun musrenbangcam sehingga dapat dikatakan bahwa secara subtansial SKPD
tidak berperan seutuhnya
Fakta lain menggambarkan juga bahwa proses penyusunan RKPD juga tidak terlepas dari unsur
kepentingan politik, dimana dalam hal tersebut DPRD menjadi institusi yang memiliki nilai tawar
karena perannya yang bisa melakukan untuk tidak memberikan dukungan terhadap proses
penyusunan RKPD. Dari keseluruhan fakta tersebut diatas menunjukan bahwa dalam proses
musrenbang terjadi pertarungan antara partisipasi dengan teknokratis, seharusnya proses musrenbang
bisa bersifat partisipasi seutuhnya, akan tetapi realitasnya keputusan ditetapkan berdasarkan
teknokratis karena faktor pemerintah daerah dalam hal ini BAPPEDA sebagai pengendali. Hasil
penelitian yang penulis lakukan ada satu variabel yang tahapannya tidak dilalui secara utuh yaitu
focus group discussion (FGD) dikarenakan pada saat melakukan penelitian segala proses tahapan
perencanaan RKPD terutama musrenbang sudah selesai dilaksanakan, atas dasar hal tersebut maka
rekomendasi bagi yang akan melakukan penelitian terhadap proses perencanaan pembangunan
daerah dengan pendekatan soft systems methodology maka focus group discussion (FGD) menjadi
variabel penting karena dalam rangka untuk mendapatkan informasi dan perspektif secara utuh dan
komprehensif.

SARAN
Diperlukan adanya proses transformasi kapasitas masyarakat dan keterampilan masyarakat akan
proses perencanaan pembangunan. Langkah tersebut untuk mengantisipasi terjadinya formalitas
partisipatif, hegemoni dan manipulasi. Sehingga pada akhirnya proses penyusunan perencanaan
pembangunan tidak kehilangan ruh hakikat dasarnya yakni partisipatif yang bersifat bottom up.
Memahami kembali secara mendalam terkait hubungan politik, perencana, administrator dan publik,

14
dalam rangka memunculkan suatu proses perencanaan pembangunan yang secara implementatif dapat
mensinergiskan semua dimensi pendekatan, mulai dari pendekatan politis, pendekatan partisipatif,
pendekatan teknokratis serta pendekatan bottom up- top down.
Memberikan pembaharuan dalam beberapa perspektif agar muncul keseimbangan dalam
proses mempengaruhi sebelum kebijakan itu ditetapkan. Beberapa hal tersebut diantaranya : Pertama,
perubahan budaya, pembaruan kultur politik di masyarakat, agar bisa lebih menerima kejujuran
politik dan menentang segala bentuk tekanan politik. Kedua, perubahan tata politik, sehingga
perpolitikan lebih bersifat “poli” dan berorientasi akar rumput, bukan lagi berorie