ANALISIS TRANSFORMASI KARAKTER PESERTA D

ANALISIS TRANSFORMASI KARAKTER
PESERTA DIDIK MELALUI KESTIMBAGAN PENGETAHUAN UMUM
DAN AGAMA
FADHILAH
Banda Aceh 11 Juni 2015
Email :
ABSTRAK
Karakter atau watak adalah sifat batin yang mempengaruhi segenap pikiran, perilaku,
budi pekerti, dan tabiat yang dimiliki manusia atau makhluk hidup lainnya. Identifikasi
Pengetahuan (Knowledge), Keterampilan (Skill) dan Sikap (Attitude).
Kata Kunci:
Transformasi, Karakter,Indentifikasi.
I.PENDAHULUAN
Penguatan pendidikan moral (moral education) atau pendidikan karakter (character education) dalam
konteks sekarang sangat relevan untuk mengatasi krisis moral yang sedang melanda di negara kita.
Krisis tersebut antara lain berupa meningkatnya pergaulan bebas, maraknya angka kekerasan anak-anak
dan remaja, kejahatan terhadap teman, pencurian remaja, kebiasaan menyontek, penyalahgunaan obatobatan, pornografi, dan perusakan milik orang lain sudah menjadi masalah sosial yang hingga saat ini
belum dapat diatasi secara tuntas, oleh karena itu betapa pentingnya pendidikan karakter.

Menurut Lickona, karakter berkaitan dengan konsep moral (moral knonwing), sikap moral (moral
felling), dan perilaku moral (moral behavior). Berdasarkan ketiga komponen ini dapat dinyatakanbahwa

karakter yang baikdidukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan
melakukan perbuatan kebaikan.Bagan dibawah ini merupakan bagan kterkaitan ketiga kerangka pikir
ini.

II. TRANS FORMASI KARAKTER
Pandangan tentang penciptaan karakter dalam buku Stephen R.
Covey, dituliskan “ Taburlah gagasan, petiklah perbuatan, taburlah
perbuatan, petiklah kebiasaan, taburlah kebiasaan, petiklah karakter,
taburlah karakter petiklah nasib.” Ini berarti bahwa pembangunan karakter
dimulai dari pembangunan pola pikir diikuti dengan pengambilan
keputusan, kemudian tindakan atau perilaku yang dibiasakan sampai
terbentuk karakter. Membangun karakter tidak cukup dengan hanya
membaca buku saja atau bahkan pelatihan jangka pendek, namun
dibutuhkan suatu mekanisme pelatihan dan perlakuan yang terarah dan
tiada henti secara berkesinambungan.
Ariwibowo, menjelaskan bahwa proses transformasi karakter dimulai
dari perubahan mind set diikuti dengan pengambilan keputusan, kemudian
tindakan atau perilaku yang dibiasakan sampai terbentuk karakter. Mind
set yang diikuti dengan pengambilan keputusan adalah berorintasi kepada
keyakinan dan perubahan, yang dapat diawali dengan memiliki imajinasi,

tujuan atau citacita, sehingga muncul keinginan untuk berubah, antusias,
semangat, kreativitas, serta keberanian mengambil resiko dan upaya
memaksimalkan peluang. Selanjutnya tindakan dan perilaku harus disertai
dengan daya juang, persistensi dan disiplin, dan menjadikan sebagai
pembiasaan dalam jangka waktu yang lama. Namun perlu diperhatikan
bahwa realisasi pembiasaan memerlukan penundaan kepuasan, oleh
Ariwibowo diistilahkan “ Proses keluar dari Comfort Zone untuk
membangun Habit baru. Demikian pula dalam membangun disiplin dapat
diterapkan konsep “ GEAR ”, yaitu :
G
E
A
R

: Goal, Menetapkan Tujuan
: Endure, Daya Juang
: Action, Tidak menunda melakukan
: Repetation, Lakukan berulang-ulang menjadi
kebiasaan


Search Institute, sebuah organisasi nirlaba berkantor pusat di
Minneapolis, Minnesota, yang mengkhususkan pada riset terhadap anak
dan remaja. Search Institut telah melakukan beberapa kali survei, yang
melibatkan responden sebanyak lebih dari 250.000 anak muda dalam 600
komunitas, dan 33 negara bagian, dengan varians lokasi di kota-kota kecil,
di pinggiran kota, dari golongan miskin, menengah, dan atas. Survei
dilakukan untuk mengumpulkan infomasi tentang kehidupan anak dan
remaja, dan untuk menjawab pertanyaan tentang nuansa penomena

kehidupan remaja: “ Mengapa sebagian anak bertumbuh dengan mudah,
sementara yang lainnya bergumul, mengapa sebagian anak terlibat dalam
aktivitas-aktivitas berbahaya, sementara yang lainnya menggunakan waktu
mereka untuk berperan serta dalam masyarakat, mengapa sebagian
remaja lolos dari situasi-situasi sulit, sementara yang lainnya terjebak .”
Hasil survei mengungkapkan bahwa perbedaan antara para remaja
bermasalah dengan mereka yang menjalani kehidupan yang sehat dan
produktif, sangat dipengaruhi oleh keberadaan dari apa yang mereka sebut
Aset-Aset Perkembangan dan didefnisikan sebagai Kepemilikan atau
Sumber Daya. Semakin banyak aset yang dimiliki remaja menjadikan
kehidupannya semakin baik dan semakin kecil kemungkinan mereka akan

tersesat dan terlibat dalam masalah. Sumberdaya ini adalah aset dari diri
seorang anak yang dapat digali berulang-ulang. Sumber daya tersebut
menolong para remaja membuat keputusan-keputusan bijaksana, memilih
jalan-jalan positip, dan bertumbuh menjadi kompeten, peduli dan
bertanggung jawab. Kepemilikan atau sumber daya yang digali dari survei
tersebut terdiri atas 40 aset. Sumber daya internal sebanyak 20 dan
sumber daya eksternal juga sebanyak 20. Kumulatif 20 sumber daya
internal merupakan sikap-sikap, nilai-nilai, dan kompetensi-kompetensi
yang ada di dalam hati dan kepala setiap anak. Sumberdaya internal
tersebut adalah :

1.
2.
3.
4.
5.

Komitmen untuk Belajar ;
Motivasi berprestasi
Keterlibatan di sekolah

Pekerjaan rumah
Ikatan terhadap sekolah
Membaca untuk kesenangan

Nilai-Nilai Positip ;
6.
Perhatian
7.
Kesetaraan dan keadilan sosial
8.
Integritas
9.
Kejujuran
10.
Tanggungjawab
11.
Penguasaan diri
Kompetensi-Kompetensi Sosial ;
12.
Perencanaan dan pengambilan keputusan

13.
Kompetensi interpersonal

14.
15.
16.

Kompetensi kultural
Keterampilan bertahan
Resolusi konfik secara damai
Identitas Positip
17. Kemampuan pribadi
18. Penghargaan diri
19. Kesadaran akan tujuan
20. Pandangan positif terhadap masa depan pribadi
Dua puluh aset berikutnya adalah aset-aset eksternal. Ini adalah
hal-hal dalam lingkungan seorang remaja (rumah, sekolah, dan
komunitas) yang mendukung, menopang, dan memampukannya,
menentukan batasan-batasan dan harapan-harapan, dan menggunakan
waktunya secara konstruktif. Aset-aset eksternal tersebut adalah:

Harapan-Harapan dan Batasan-Batasan
21. Harapan-harapan yang tinggi
22. Batasan-batasan keluarga
23. Batasan-batasan sekolah
24. Batasan-batasan lingkungan
25. Teladan-teladan orang dewasa
26. Pengaruh positif teman sebaya
Dukungan
27. Dukungan keluarga
28. Komunikasi keluarga yang positif
29. Hubungan dengan orang dewasa lain
30. Lingkungan yang peduli
31. Iklim sekolah yang peduli
32. Keterlibatan orang tua dalam urusan sekolah
Penguat
33. Komunitas yang menghargai remaja
34. Remaja sebagai sumber daya
35. Pelayanan kepada orang lain
36. Keamanan
Penggunaan Waktu Secara Konstruktif

37. Aktivitas-aktivitas kreatif
38. Program-program remaja
39. Komunitas religius
40. Waktu di rumah

III. KESIMIBAGAN PENGETAHUAN
Kata “akhlak mulia” berasal dari bahasa Arab, yaitu Akhlaqul yang berarti akhlak dan
karimah yang berarti mulia.Jadi Akhlaqul karimah ialah akhlak mulia dan budi pekerti.
Secara luas akhlak mulia adalah budi pekerti yang dicerminkan seseorang (Pendidikan
Agama Islam: iv-2007 ).
Sikap yang menyimpang dari akhlak mulia sering terjadi, baik yang kita sadari maupun
yang tidak kita sadari.Biasanya kita merasa sikap kita sudah benar dan menerapkan akhlak
mulia. Namun, tanpa kita sadari ternyata sikap kita terhadap orang lain itu tidak
menerapkan akhlak mulia. Dampaknya tidak hanya pada kita, tetapi juga pada orang lain.
Kurangnya pengarahan tentang akhlak mulia menjadi faktor utama penyebab generasi
muda tidak menerapkan akhlak mulia dalam kehidupannya sehari-hari.Memang sulit
menyadari bahwa kita tidak menerapkan akhlak mulia.Namun, orang yang ada di sekeliling
kita merasakan bahwa kita tidak bersikap baik pada mereka. Hal ini, juga menyebabkan
hidup kita menjadi tidak nyaman dan damai. Karena setiap orang yang telah kamu
perlakukan tidak baik akan selalu menghindari darimu dan kemungkinan memiliki

perasaan dendam padamu. Karena sikapmu yang tidak baik padanya.
Akhlak mulia merupakan salah satu nilai luhur.Nilai luhur perlu ditanamkan sejak dini dan
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai juga merupakan alat solidaritas yang
mendorong kita untuk bekerja sama dan mengarahkan kita untuk berpikir positif.
Nilai adalah gambaran yang mengenai apa yang di inginkan, yang pantas, yang
berharga, dan yang mempengaruhi orang yang memiliki nilai itu (Robert M.Z. Lawang: 472006).
1. Akhlak Mulia Untuk Berpikir Positif
Ilmu pengetahuan yang di imbangi Dengan akhlak mulia membuat seseorang tidak akan
berpikir untuk melakukan hal yang tidak bermanfaat dan lebih memilih untuk melakukan
hal yang positif. Orang yang mengerti tentang akhlak mulia, jika terjadi perselisihan dia
akan mengalah untuk menghindari sesuatu yang kurang bermanfaat. Misalnya saat terjadi
perkelahian dia tidak akan menanggapinya, karena dari pada melakukan hal yang tidak
bermanfaat lebih baik menghindarinya. Siapa tidak ingin hidupnya aman dan damai,
apalagi jika aman dari perselisihan.Namun, sekarang jarang sekali orang yang ingin

menghindari perselisihan.Tetapi kebanyakan orang langsung tersulut emosi, jika di
perlakukan tidak baik.
Biasanya orang yang suka berbuat baik berarti dia telah mengerti apa itu akhlak mulia.
Berbuat baik adalah menanam tanaman yang berbuah manis yang suatu saat akan
dinikmati hasilnya. Oleh karena itu, sebaiknya kita memperbanyak berbuat baik pada

sesama.Misalnya kamu membantu temanmu yang memerlukan bantuanmu. Lalu kamu
tiba-tiba mendapat kesulitan, kemudian dia akan membantumu. Sebuah kebaikan akan
dibalas dengan kebaikan. Hal yang positif sama dengan hal yang bermanfaat. Kamu yang
telah menolong temanmu, berarti kamu telah melakukan hal yang bermanfaat.siapakah
tidak ingin meendapatkan bantuan saat mendapat kesulitan? Kamu akan sangat mudah
mendapatkan batuan dari orang lain, jika kamu membantu orang lain terlebih dahulu.
Tetapi kebanyakan orang mengharapkan bantuan dari pada ingin membantu.
2. Akhlak Mulia Jadikan Kita Berwawasan Tinggi
Adanya keseimbangan ilmu pengetahuan dan akhlak mulia menjadikan kita memiliki
wawasan. Wawasan itu sendiri adalah cara pandang dan sikap kita terhadap diri sendiri dan
lingkungan. Wawasan juga merupakan cara keseharian seseorang dalam kehidupan
bersosial. Misalnya sopan santun terhadap orang yang lebih tua dan tidak bersikap kasar
kepada siapa pun.
Jika cara kita salah dalam bersosial, terkadang berdampak buruk pada kita. Biasanya
dampaknya tidak hanya terlihat jelas, bisa saja terjadi perlahan dan tidak kita
sadari.Namun, akibatnya fatal bagi kita.Misalnya, kamu sering berkata kasar pada
temanmu.Kamu tidak menyadari temanmu berusaha menjauh darimu.Karena tidak tahan
dengan sikapmu padanya.Setiap orang yang ada disekitarmu pasti tidak ingin kamu berkata
kasar padanya.Tidak ada orang yang tidak marah jika kamu berkata kasar padanya.
Wawasan dapat membantu kita dalam kehidupan bersosial.Dengan wawasan, kita bisa

berinteraksi dengan baik pada orang yang kita ajak bicara.Misalnya, dengan berbicara
sopan santun terhadap orang yang kita ajak berbicara. Orang yang kamu ajak berbicara
merasa dirinya di hormati olehmu, itu berarti kamu mengerti bagaimana cara berhadapan
dengan orang, ketika kita ajak berbicara. Karena itu wawasan sangat perlu ada pada

generasi muda.Akhlak mulia tidak bisa dipisahkan dari wawasan, keduanya telah menjadia
satu kesatuan yang erat.
IV. PROSES IDENTIFIKASI PENGETAHUAN
Pada umumnya kata jenius dipakai untuk menyebut kelompok orang yang mencapai skore 130
ke atas dalam tes kecerdasan (tes IQ).Menurut Thomas Amstrong dalam bukunya Awakening
Genius in The Classroom menyatakan arti jenius tersebut tidak tepat lagi digunakan.Kini sudah
banyak diyakini orang bahwa IQ bukanlah penentu utama keberhasilan seseorang. Pengaruh
EQ, dan SQ kini dipercayai lebih penting dalam menentukan keberhasilan seseorang.
Sedangkan kata jenius berasal dari bahasa Yunani dan bahasa Latin yang berarti
memperanakkan, dilahirkan atau dijadikan.Kata ini juga diartikan meriah, memeriahkan, riang
gembira dan membantu pertumbuhan.Dalam pandangan pendidikan kata jenius berarti
"melahirkan kegembiraan dalam belajar". Kejeniusan anak akan muncul bila ia mengalami
kegembiraan dalam belajar, mengalami kegembiraan dengan kemajuan dan pertumbuhan yang
mereka alami. Inilah arti jenius menurut pandangan Thomas Amstrong yang dikatakannya
lebih mendekati teori-teori kecerdasan yang berkembang pada masa sekarang.
Dan di Indonesia menurut Amril Muhammad, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penyelenggara,
Pengembang, dan Pendukung Pendidikan Khusus untuk Siswa Cerdas/Berbakat Istimewa
(Asosiasi CB/BI), mengatakan, dari penelitian yang dilakukan, terdapat sekitar 2,2% anak usia
sekolah yang memiliki kualifikasi cerdas istimewa atau jenius. Menurut data Badan Pusat
Statistik (BPS) tahun 2006, ada 52,9 juta anak usia sekolah. Artinya, terdapat sekitar 1,05 juta
anak cerdas/berbakat istimewa di Indonesia. Akan tetapi, jumlah siswa cerdas/berbakat
istimewa yang sudah terlayani di sekolah akselerasi masih sangat kecil, yaitu 4.510 orang.
Artinya, baru sekitar 0,43 persen siswa cerdas/berbakat istimewa yang terlayani. Namun,
layanan pendidikan yang didapatkan anak-anak cerdas istimewa ini belum mampu
memunculkan keunggulan mereka. Terdapat pertanyaaan menarik dalam benak saya,
sebenarnya factor apa yang menjadikan seorang anak dapat lahir dengan kemampuan otak
yang jenius? Yang tentunya kalau boleh memilih setiap orang tua akan mengharapkan anaknya
jenius dari pada anak yang memiliki kemampuan otak standar atau malah di bawah
standar/autis atau bahkan ediot. Sebenarnya setiap anak terlahir dengan jenius tetapi kerap

keluarganyalah yang menghancurkan kejeniusan anak tersebut. Ada empat pengaruh negatif
keluarga yang dapat merusak kejeniusan anak,diantaranya:
1. Kelainan emosi.
Terjadi bila orang tua memiliki watak temperamental, mudah marah, meledak-ledak, tidak
mampu menguasai emosinya. Dalam keluarga seperti ini seluruh vitalitas seorang anak akan
hancur karena hardikan, bentakan, hinaan dan caci maki yang terjadi secara beruntun. Rasa
ingin tahu dihukum atau diacuhkan dan kegembiraan dihimpit oleh selimut tebal kemurungan.
Bila hidup dalam lingkungan ini anak tidak akan mempunyai kesempatan untuk
mengeksplorasi, melakukan kesalahan, menemukan berbagai gagasan dan melakukan banyak
hal lain yang biasa dilakukan orang jenius. Dalam keluarga dimana kegelisahan melayanglayang di atas rumah laksana awan gelap yang menggayut, anak-anak akan kehilangan sifat
jenaka mereka.
2. Kemiskinan.
Keluarga miskin kurang mampu memberikan lingkungan pembelajaran yang merangsang
tumbuhnya kejeniusan anak.Kehadiran orang tua yang tidak berpendidikan dan berwawasan
luas dalam keluaraga miskin mengakibatkan anak-anak dalam keluarga tersebut tidak
menerima berbagai rangsangan intelektual secara verbal.Selain itu perawatan kehamilan yang
buruk dan kekurangan gizi pada masa kanak-kanak dapat merusak otak anak pada awal
kehidupan mereka, sehingga membatasi potensi mereka untuk mengembangkan
kejeniusannya.Namun harus diingat kemiskinan bukan kesalahan mereka sendiri, kemiskinan
sering terjadi karena adanya ketidakadilan politik dan ekonomi.
3. Gaya hidup instan.
Terjadi dalam keluarga yang secara financial mapan, orang tua super sibuk, tidak ada cukup
waktu bagi anak-anak mereka.Kalaupun mereka mempunyai waktu akhirnya mereka
memfokuskan diri pada kehidupan pembelajaran anak dan seringkali para orang tua ini berpikir
untuk mendapatkan jalan pintas.Mereka seringkali menekan anak-anak mereka untuk
mempelajari berbagai hal sebelum anak siap.Anak TK sudah diikutkan les membaca, bahasa
Inggris, matematika dan lain-lain. Pun ketika mereka di SD makin banyak lagi berbagai les

dijalani oleh anak sehingga mereka kehilangan waktu untuk bermain, bergembira. Meski dari
luar mereka nampak seperti anak berprestasi tinggi, seluruh kejenakaan, rasa ingin tahu,
kegembiraan, kreatifitasnya sudah dihancurkan.
4. Ideologi yang kaku.
Beberapa keluarga membesarkan anak-anak dalam suatu lingkungan ketakutan dan kebencian
terhadap mereka yang tidak memiliki sistem kepercayaan yang sama. Yang menjadi
permasalahan bukan merupakan inti dari sistem kepercayaan tersebut tetapi bagaimana anakanak diajar untuk takut terhadap cara berpikir yang berbeda dengan kepercayaan mereka dan
untuk membenci orang-orang yang berbeda dengan cara berpikir mereka. Dalam iklim seperti
itu rasa ingin tahu anak untuk mengenali cara lain untuk mendapatkan pengetahuan dan prilaku
menjadi terhenti, kepekaan mereka terhadap perbedaan menjadi tumpul dan sifat fleksibel
mereka hilang.

V. KESIMPULAN
keseimbangan antara ilmu pengetahuan dan akhlak mulia adalah agar kita dapat berpikir
positif dan memikirkan akibat timbal balik dari kurangnya pengarahan tentang akhlak
mulia pada generasi muda. Selain itu, pengarahan tentang keseimbangan ilmu pengetahuan
dan akhlak mulia pada generasi muda tidak hanya di sekolah saja, tetapi juga oleh kedua
orang tua.
DAFTAR PUSTAKA
http://guluadi.blogspot.com/2011/06/problematika-anak-jenius-di-indonesia.html
http://basirsoft.blogspot.com/2011/04/transformasi-karakter.html
https://aniekkoerniya.wordpress.com/2015/05/06/pengertian-pendidikan-karakter/