Contoh Artikel KARYA ILMIAH PUBLIKASI

KEDUDUKAN HAK MILIK ATAS TANAH DI INDONESIA DALAM
PERSPEKTIF IMPLEMENTATIF
U.Nurzia, SH,M.Hum
PENDAHULUAN
Hak milik sangat penting bagi manusia untuk dapat
melangsungkan dan mempertahankan hidupnya.Semakin tinggi nilai hak
milik atas suatu benda,semakin tinggi pula penghargaan yang diberikan
terhadap benda tersebut.Tanah adalah salah satu milik yang paling berharga
dalam kehidupan manusia.
Tanah merupakan sumber daya alam yang mempunyai peran
penting, karena tanah diperlukan oleh manusia untuk berbagai macam
kepentingan
dan
aktiftas
dalam
kehidupannya,seperti
tempat
tinggal,bertani,berusaha dan lain sebagainya.Selain itu juga tanah
mengandung bahan tambang berupa emas, mineral,uranium,minyak bumi
dan sebagainya yang dibutuhkan manusia.
Politik Hukum Agraria di Indonesia.

Kebijakan pembangunan bidang pertanahan di Indonesia pada
intinya bersumber pada ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33
ayat (3). Sesudah Indonesia merdeka,politik agraria Indonesia menemukan
bentuknya dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (disingkat UUPA). UndangUndang ini merupakan landasan bagi upaya pembaharuan hukum agraria
yang diharapkan dapat memberikan jaminan kepastian hukum bagi
masyarakat dalam memanfaatkan fungsi bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dan dalam batas-batas tertentu
ruang
angkasa.UUPA mengakhiri kebhinekaan perangkat hukum yang mengatur
bidang pertanahan dan menciptakan hukum Tanah Nasional yang
tunggal,berdasarkan hukum adat.
Dalam pasal 5 UUPA dinyatakan bahwa: “hukum agraria yang berlaku
atas bumi, air dan ruang angkasa adalah hukum adat,sepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara,yang berdasarkan
atas persatuan bangsa, sosialisme Indonesia serta dengan peraturan yang
tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundanganundangan lainnya,segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang
bersandar pada hukum agama.

1


Bias Negara kesatuan dipengaruhi kuat oleh paham kenegaraan yang
integralistik, yang mengasumsikan Negara berdiri diatas kepentingan semua
golongan dan ingin menghilangkan dualisme antara hukum adat dengan
hukum peninggalan
Kolonial
Belanda untuk mencapai suatu
unifkasi.Hukum Nasional hendak mengadakan kesatuan dan kesederhanaan
dalam hukum agraria.Kesatuan mempunyai makna bahwa hanya ada satu
aturan hukum agraria yang bersifat nasional yang mengakhiri politik hukum
agraria kolonial yang bersifat dualistis karena menimbulkan masalah antar
golongan, tidak sederhana dan sukar dipahami oleh rakyat.
Adanya sistem hukum modern tidak menghilangkan dengan
sendirinya keseluruhan dari hukum yang
telah ada sebelumnya.
Kenyataannya rakyat Indonesia dalam kehidupan sosialnya diliputi oleh tiga
lingkaran tradisi hukum yakni, hukum adat, hukum agama dan tradisi hukum
barat yang masuk melalui kolonialisasi. Pertautan berbagai lingkaran tradisi
hukum inilah yang kemudian membentuk norma hukum dalam sistem
hukum Nasional di Indonesia. Ketiga sistem hukum tersebut berinteraksi

baik secara harmoni maupun secara berkonfik. Namun dalam
implementasinya haruslah ditempatkan dalam konteks Negara bangsa yakni
dimana tata hukum nasional memposisikan Negara lebih dominan untuk
menentukan hukum yang berlaku di wilayah Negara Indonesia.
Kompromi antara hukum adat dengan hukum nasional tidak
menemukan sintesa yang tepat,artikulasi populis sebagai upaya
mensejahterakan rakyat mewarnai pembentukan gagasan Negara bangsa,
disandarkan pada kekuasaan Negara sebagai wujud dari kekuasaan rakyat.
Dengan demikian politik
berpusat pada besarnya kekuasaan dari pada
Negara terhadap penguasaan dan pemanfaatan atas sumber kekayaan
alam.
Hak Menguasai Negara (HMN) adalah dasar ditegakkannya hukum
agraria nasional, sebagaimana penjelasan Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA),yang didasarkan pada pasal 33 ayat 3 UUD 1945, yakni “Bumi, air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Kemakmuran merupakan
terminologi ekonomi, suatu masyarakat dikatakan makmur jika masyarakat
tersebut dapat memenuhi kebutuhannya secara lahiriah dan batiniah.
Indikasinya adalah terpenuhinya “basic needs” seperti sandang ,pangan,

papan, kenyamanan dan ketentraman hidup, harga diri dan aktualisasi

2

diri,adanya pemerintahan yang bersih dan berwibawa dan dirasakannya
hukum sebagai bagian penting dari kehidupannya.
Landasan Hak Milik Atas Tanah.
Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik yang
berdasarkan UUD1945 adalah Negara hukum yang memberikan
perlindungan dan jaminan atas hak-hak warganegara,antara lain hak untuk
mendapatkan,mempunyai dan menikmati hak milik.
Hak milik atas tanah sangat penting bagi Negara,bangsa dan rakyat
Indonesia sebagai masyarakat agraris yang sedang membangun.Akan tetapi
tanah yang merupakan sumber
kehidupan pokok dan mendasar bagi
manusia akan berhadapan dengan beberapa hal,yakni:
a. Keterbatasan tanah, baik dalam kuantitas maupun kualitas dibandingkan
dengan kebutuhan yang harus dipenuhi,
b. Pergeseran pola hubungan antara pemilik tanah dan tanah sebagai akibat
perubahan yang

timbul disebabkan oleh proses pembangunan dan `perubahan social
lainnya,
c. Tanah telah tumbuh menjadi bahan perniagaan,objek spekulasi dan
komoditi serta objek investasi
d. Tanah selain harus dipergunakan dan dimanfaatkan untuk sebesarbesarnya kemakmuran
rakyat secara adil dan merata juga harus dijaga kelestariannya.
Hak milik sebagai suatu lembaga hukum dalam hukum tanah telah diatur
baik dalam UUPA maupun
di dalam peraturan-peraturan sebelum
berlakunya UUPA, yakni hak milik menurut hukum adat dan hak milik
menurut hukum Perdata Barat yang disebut dengan hak eigendom
dan
pemiliknya disebut dengan eigenar.
Hak milik berdasarkan kedua macam sistem hukum tersebut,sesuai
dengan ketentuan UUPA telah dikonversi menjadi hak milik,sehingga hanya
ada satu macam hak milik atas tanah.Dalam ketentuan konversi Pasal II
UUPA dinyatakan bahwa, Hak Agrarische Eigendom,Milik Yasan,Andarbeni,
Hak
Atas
Druwe,Pesini,Grant

Sultan,
Landerijen-bezitrecht,
Altijddurende,Erfpacht, Hak Usaha bekas Partikelir dan hak-hak lainnya
dengan nama apapun menjadi hak milik.(Sutedi;2006;2).
UUPA sebagai peraturan dasar hanya memuat ketentuan-ketentuan
pokok dan garis-garis besar saja. Ketentuan lebih lanjut diatur dalam
berbagai Peraturan Pelaksanaan.Pengaturan mengenai hak milik diatur
dalam pasal 20 sampai dengan pasal 27.Dalam pasal 56 dinyatakan bahwa
3

selama Undang-undang tentang hak milik seperti tersebut dalam pasal 50
ayat (1) belum terbentuk maka yang berlaku adalah ketentuan ketentuan
hukum adat setempat.
Ketentuan pasal 20 dapat diartikan sebagai sifat-sifat hak milik
yang berbeda dengan hak-hak lainnya,yaitu hak yang terkuat dan terpenuh
yang dapat dipunyai atas tanah. Pemberian sifat ini tidak berarti bahwa hak
tersebut merupakan hak mutlak,tak terbatas dan tidak dapat diganggu
gugat sebagaimana hak eigendom dalam Hukum Agraria Barat.Hal ini berarti
bahwa UUPA telah menjamin hak milik atas tanah kepada perseorangan.
Dengan dilakukannya amandemen UUD1945 sebanyak 4 kali,

khususnya yang berkaitan dengan hak milik, memposisikan bahwa hak milik
perseorangan tidak
boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh
siapapun, seperti yang tercantum dalam pasal 28 H ayat (4)
UUD1945.Sebelumnya hal ini diatur dalam pasal 32 TAP MPR No.
XVII/MPR/1998,yang selanjutnya dirumuskan lebih rinci dalam UU No.39
Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia pada pasal 36 ayat (1) dan ayat (2).
Hubungan Hak Milik dan Hak Menguasai Negara Atas Tanah
Tanah sebagai sumber daya alam merupakan karunia Tuhan Yang
Maha Esa kepada bangsa Indonesia.Oleh karena itu sewajarnyalah jika kita
harus mengelola tanah dengan sebaik-baiknya agar pemanfaatannya dapat
memberikan kemakmuran bagi rakyat Indonesia sesuai amanat dari pasal 33
ayat (3) UUD 1945.
Pembangunan dan penataan penguasaan tanah harus merupakan
pembangunan secara sadar dan terencana untuk menjamin kemampuan dan
kesejahteraan rakyat sesuai dengan program-program pembangunan yang
diselenggarakan dalam bentuk penatagunaan tanah dan tidak dapat
dilepaskan dari pengaturan penguasaan dan kepemilikan tanah.
Berbagai bentuk hubungan hukum atas tanah yang berupa hak-hak
penguasaan atas tanah memberi wewenang bagi pemiliknya untuk berbuat

sesuatu atas tanah yang dihakinya.Meskipun demikian pemilik hak atas
tanah
tidak
dibenarkan
untuk
berbuat
sewenang-wenang
atas
tanahnya,sebab selain kewenangan yang dimilikinya ada pula kewajibankewajiban tertentu yang harus dipatuhinya serta ada larangan-larangan
yang berlaku baginya.
Dalam UUPA, pengertian hak milik dirumuskan dalam pasal 20
yakni:
(1) Hak milik adalah hak turun-temurun,terkuat
dan
terpenuh
yang
dapat
dipunyai
orang


4

atas tanah,dengan mengingat bahwa hak milik berfungsi sosial ( pasal 6
UUPA );
(2) Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Hak milik mempunyai sifat turun-temurun,artinya dapat diwariskan
kepada ahli waris dari siempunya tanah. Hal ini berarti hak milik tidak
ditentukan jangka waktunya dan tidak terbatas seperti pada Hak Guna
Bangunan dan Hak Guna Usaha.Hak milik tidak hanya akan berlangsung
selama hidup orang yang mempunyainya tetapi kepemilikannya akan
berlanjut kepada ahli warisnya setelah ia meninggal dunia.
Bahwa hak milik merupakan hak yang terkuat,berarti hak itu tidak
mudah hapus dan mudah dipertahankan terhadap gangguan pihak lain.
Sedangkan “terpenuh” dapat diartikan bahwa hak milik itu memberikan
wewenang yang paling luas kepada yang mempunyai hak tersebut jika
dibandingkan hak-hak lainnya.Hak milik merupakan induk dari hak-hak
lainnya.Artinya,seorang pemilik tanah bisa memberikan tanah kepada pihak
lain dengan hak dibawah dari kewenangan hak milik,seperti: hak sewa, hak
bagi hasil, hak gadai, hak guna bangunan dan hak pakai.
Pengertian penguasaan dan menguasai dapat dipakai dalam arti fsik

dan yuridis.Dalam arti fsik secara nyata pemegang hak menguasai tanah.
Penguasaan dalam arti yuridis dilandasi oleh hak yang dilindungi oleh
hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk
menguasai secara fsik tanah yang menjadi haknya.Namun ada juga
penguasaan yuridis yang biarpun memberi kewenangan untuk menguasai
tanah haknya secara fsik ,kenyataannya penguasaan fsik dilakukan oleh
pihak lain.
Konsep Negara menguasai bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya memerlukan perencanaan yang matang dan akurat
serta harus dilaksanakan sesuai dengan kemampuan yang tersedia. Jadi,
disini
ada pengertian flosofs
bahwa seluruh kekayaan
alam yang
terdapat di bumi Indonesia adalah milik bersama seluruh rakyat Indonesia
yang diatur dan dikelola oleh Negara untuk:
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan ,penggunaan, persediaan
dan pemeliharaan bumi,air
dan ruang angkasa;
b. menentukan dan mengatur hubungan –hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

c. menentukan dan mengatur hubungan –hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan perbuatan hukum yang mengenai bumi,air dan
ruang angkasa.
5

Perbedaan pendapat tentang relevansi flosofs UUPA yang
didasarkan pada kenyataan empiris tampak semakin tajam seiring dengan
kebijakan deregulasi di era industrialisasi yang antara lain ditunjukkan
untuk semakin menarik investor asing. Kelompok populis melihat bahwa
dalam perkembangannya UUPA melalui kebijakan yang ada telah semakin
kurang mengayomi hak milik masyarakat. Sementara itu,UUPA makin
memberikan peluang dan kemudahan kepada mereka yang mempunyai
akses terhadap modal dan akses politik dengan segala dampaknya.
Kewajiban Negara terhadap tanah meliputi perencanaan, termasuk
didalamnya adalah land use planning (penatagunaan tanah), water use
planning (penatagunaan air) dan air use planning (penatagunaan ruang
angkasa atau sering disebut dengan perencanaan tata ruang). Menurut
UUPA,
pembatasan
penggunaan
tanah
ditujukan
kepada
penguasaan/pemilikan
perseorangan dan bukan pada penguasaan
Negara.Secara empiris ini merupakan ekses dari digunakannya penguasaan/
kepemilikan individual yang tidak terbatas.
Pembatasan-pembatasan tersebut adalah bahwa penggunaan hak
harus berfungsi sosial (pasal 6 UUPA) dan tidak boleh sebagai
alat
pemerasan (pasal 10 UUPA).Selain itu adanya kewajiban-kewajiban yang
menjadi beban penguasa hak/pemilik seperti, memelihara kesuburan tanah
dan tidak menelantarkannya (pasal 15 dan pasal 27) serta mengerjakan dan
mengusahakannya sendiri secara aktif (pasal 10), merelakan dicabut untuk
kepentingan umum (pasal 17 UUPA).
Negara adalah organisasi penyelenggara kekuasaan seluruh rakyat,
yang akan bekerja untuk kepentingan rakyat.Sejalan dengan penjelasan
pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menganut prinsip demokrasi ekonomi
(dari,oleh dan untuk rakyat) dalam upaya mewujudkan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat bukan kemakmuran orang seorang, sehingga dilarang
adanya penguasaan sumber-sumber agraria (termasuk tanah) ditangan
orang seorang atau kelompok tertentu. Dengan kata lain tidak boleh adanya
monopoli maupun
praktek
kartel
karena
penguasaan
dan
pemanfaatannya harus dapat memberi rasa keadilan bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Dalam operasionalnya Negara
merepresentasikan
kewenangannya tersebut kepada Pemerintah ( state based resource
management menjadi government based resource management ), karena
Pemerintah
dengan
segala
Aparaturnya
yang
mampu
untuk
menyelenggarakannya.
Didalam
terminologi
Negara
telah
terjadi
pemilintiran, seharusnya pemerintah dan rakyat adalah sejajar, kemudian
6

berubah pemerintah menjadi superior dan rakyat dalam posisi inferior
(terjadi subordinasi).
Persediaan tanah yang terbatas dan relatif tetap, banyak
menimbulkan masalah dalam penggunaannya. Pada sisi lain
jumlah
manusia yang membutuhkan tanah semakin bertambah. Sudah dapat
dipastikan bahwa konfik kepentingan akan semakin tajam dalam rangka
memperebutkan tanah sebagai sumber daya alam yang langka dan unik
sifatnya. Konfik yang timbul sebagai akibat meningkatnya kebutuhan akan
tanah dalam pemilikan dan penguasaannya akan meresahkan masyarakat
dan memicu ketegangan sehingga dapat menghambat pembangunan. Oleh
karena itu perlu adanya perlindungan dan kepastian hukum oleh pemerintah
kepada masyarakat.
Tanah sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang
berlangsungnya kehidupan,sejak manusia pertama kali menempati
bumi.Bagi orang Indonesia, tanah merupakan masalah yang paling
pokok.Hal ini dapat dilihat dari banyaknya perkara perdata maupun pidana
yang diajukan ke Pengadilan berkisar pada persoalan tanah.
Idealnya penguasaan dan penataan penguasaan tanah oleh
Negara diarahkan pemanfaatannya untuk mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.Penguasaan tanah oleh Negara, sesuai dengan
tujuan pemanfaatannya, perlu memperhatikan kepentingan masyarakat
luas dan tidak menimbulkan sengketa tanah. Penataan penggunaan tanah
dilaksanakan berdasarkan rencana yang matang.
Harus disadari pula bahwa dalam era perdagangan bebas ,investasi
modal asing akan semakin dominan. Intervensi Pemerintah yang belum
efektif dalam pengendalian harga tanah akan berakibat bahwa nilai
ekonomis tanah akan menjadi sangat tinggi dan aksesnya semakin sulit bagi
masyarakat kebanyakan.Kesenjangan dan ketidakadilan dalam akses dan
pemanfaatan tanah akan membuat operasionalisasi untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Jika terjadi pengabaian terhadap sumber-sumber agraria oleh
Pemerintah maka dapat diinterpretasikan telah terjadi pula pengabaian
dalam mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.Kewajiban
Pemerintah adalah
agar usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur
sedemikian rupa sehingga meninggikan produksi serta menjamin agar
setiap warga Negara Indonesia mempunyai derajat hidup yang sesuai
dengan martabat manusia, baik bagi dirinya sendiri maupun keluarganya.
Pemicu

Konfik Pertanahan
7

Saat ini sering sekali terjadi konfik pertanahan. Dibuatnya produk
hukum baru yang sejajar hirarkinya dengan UUPA dan menempatkan HMN
sebagai basis, misalnya Undang-Undang Kehutanan dan Undang-Undang
Mineral dan Batubara yang bersifat sektoral menjadi ciri dari kebijakan
agraria dimana wilayah yurisdiksi kekuasaan institusi Negara dibagi-bagi
sesuai dengan sektornya.Banyak konfik pertanahan dan konfik lainnya
yang menyertainya disebabkan karena sektoralisme ini.
Sementara itu, HMN sebagai kekuasaan tertinggi yang dilekatkan
atas tanah, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, tetap
dianut dan dijadikan dasar legitimasi pelbagai unjuk kekuasaan dalam
pengadaan tanah untuk proyek-proyek pembangunan, walaupun resikonya
adalah terhadap hilangnya pemenuhan tujuan ”sebesar-besar kemakmuran
rakyat”. Perlu adanya penegasan kembali mengenai kosep Hak Menguasai
Negara terhadap tanah dan hubungan antara Negara, tanah dan
masyarakat. Hal ini untuk mencegah agar Negara sebagai badan penguasa
tidak mudah tergelincir untuk bersikap dan bertindak selaku pemilik
tanah.Dalam hal ini transparansi dan pertanggung jawaban perlu
dikedepankan karena sering timbul kesan bahwa yang dominan adalah
hak Negara dan tidak selalu diikuti dengan pemenuhan kewajibannya.
Konfik pertanahan ini menimbulkan krisis kepercayaan karena adanya
intervensi Pemerintah. Bahkan pada tingkat tertentu , dikhawatirkan akan
terjadi radikalisasi dari masyarakat korban pengambilan bahkan perampasan
tanah ,baik
karena masalah uang
kompensasi , adanya perlawanan
terhadap tindakan yang otoriter, ataupun tindakan kekerasan
yang
merupakan ekspresi dari rasa frustasi dalam menegakkan haknya dimata
hukum.
Dalam hubungannya dengan pembangunan dan upaya
pemerintah untuk mendorong investasi, tanah selalu disisihkan dari nilai-nilai
luhur tanah itu sendiri yang justru merupakan sumber kehidupan
manusia.Maraknya pencabutan hak atas tanah yang tidak diiringi dengan
ganti rugi yang layak, justru menjadi penyebab kemiskinan semakin
bertambah.Para spekulan tanah selalu bergentayangan untuk memperoleh
tanah dengan harga yang semurah-murahnya dan menjualnya dengan harga
yang setinggi-tingginya.Persoalan lainnya adalah pada saat pemilik tanah
datang ke lembaga peradilan untuk meminta keadilan dan kepastian hukum
tentang kepemilikan tanah, para hakim justru cenderung berpihak kepada
pihak yang kuat. Dalam pelaksanaan pembangunan, pemerintah juga
cenderung memihak pemilik modal atau investor. Hal ini jelas merupakan

8

bentuk ketidakadilan dan rakyat merasa tidak ada lagi jaminan
perlindungan terhadap hak miliknya.
Kunci utama untuk memahami persoalan agraria adalah kesadaran
kita sendiri ,yakni kita hendaknya menyadari bahwa penguasaan tanah dan
sumber daya alam melandasi hampir semua aspek kehidupan kita. Bukan
hanya sebagai asset, tetapi tanah dan sumber daya alam merupakan pula
basis bagi akses untuk memperoleh kekuasaan ekonomi, sosial dan politik.
Ketimpangan dalam hal ini akan berdampak pada dinamika hubungan di
kalangan masyarakat.
Implikasi yang muncul dalam bidang politik adalah pengabaian
terhadap hak-hak rakyat (the political of ignorance),di bidang ekonomi tidak
ada jaminan terhadap sumber-sumber kehidupan rakyat (economic resource
insecurity), di bidang hukum hak-hak masyarakat berdasarkan hukum adat
dipandang illegal dan sering diberikan stigma sebagai pelanggar hukum,di
bidang sosial-budaya tercabutnya akar budaya masyarakat yang sudah
terintegrasi secara turun temurun, serta di bidang ekologi terjadi degradasi
sumber-sumber agraria dan lingkungan.
Ketentuan-ketentuan yang mengatur masalah pertanahan
sebanyak mungkin harus dituangkan ke dalam bentuk peraturan perundangundangan ,sehingga pihak-pihak yang berkepentingan akan mudah
mengetahui apa yang menjadi hak dan kewajibannya berkaitan dengan
tanah yang dikuasainya dan agar kepastian hukum dapat ditingkatkan dalam
rangka melindungi kepentingan warga Negara.
Hak individu atau kelompok atas tanah akan terjamin
kepastiannya, apabila adanya pengakuan secara utuh baik dari masyarakat
maupun pemegang kekuasaan (pemerintah) bahwa hak tersebut harus
ditegakkan. Dalam kegiatan ekonomi terdapat tiga pelaku
yaitu,
Negara/pemerintah,pihak swasta/investor dan masyarakat, yang masingmasing mempunyai posisi tawar berbeda, karena perbedaan di dalam akses
modal dan akses politik yang berkaitan dengan tanah .Kedudukan yang
tidak seimbang dalam posisi tawar diantara masyarakat dan pihak swasta
dikukuhkan dengan adanya pembuat kebijakan untuk merancang kebijakan
yang bias terhadap sekelompok masyarakat dalam upaya penguasaan dan
pemanfaatan tanah.Sebagai contoh,adanya kemudahan bagi pihak
swasta/investor untuk memperoleh tanah yang terkadang diperoleh dengan
mengorbankan rakyat kecil.Pada satu sisi ,sering terdengar betapa sulitnya
Pemerintah memberikan persetujuan atas permohonan rakyat yang telah
mengerjakan tanah-tanah bekas perkebunan yang ditelantarkan untuk
memperoleh pengakuan haknya secara de jure.Di sisi yang lain ada
9

sekelompok kecil masyarakat yang mempunyai banyak kelebihan modal
menumpuk tanah di berbagai tempat untuk investasi.
Pada dasarnya konfik dalam penguasaan dan pemanfaatan tanah
tidak lepas dari konfik ekonomi. Oleh karena itu dalam penyelesaiannya
kedudukan masyarakat
dan hak-haknya harus ditempatkan pada posisi
yang benar dan tidak dimarjinalkan dengan memberikan jaminan nyata
untuk berlangsungnya hak-hak ekonomi dan hak-hak lainnya agar dapat
sejajar dan mampu mengejar ketertinggalan mereka
dalam proses
pembangunan.
Menghadapi konfik agraria pemegang kekuasaan seolah-olah
ingin menghindar, ada yang bersikap acuh tak acuh dan ada yang menundanunda penyelesaiannya bahkan ada yang mengambil solusi dengan jalan
kekerasan dan kekuasaan, menindas hak-hak rakyat,baik karena akan
mengedepankan kepentingan sendiri atau terpaksa karena ada intervensi
tertentu. Umumnya konfik semacam ini diselesaikan dengan pendekatanpendekatan khusus yang diselesaikan oleh Pemerintah Daerah
dalam
bentuk : himbauan kepada perusahaan supaya lebih bermurah hati dan
memberikan sedikit perhatian kepada masyarakat sekitar perkebunan,
penyadaran kepada masyarakat agar mereka lebih berpartisipasi dalam
pembangunan, memberikan janji kepada masyarakat untuk diikutsertakan
ke dalam perusahaan dan lain sebagainya. Intinya Pemerintah selalu
mencoba mengalihkan perhatian masyarakat setempat dari pokok
persoalan,sehingga tidak pernah terjadi penyelesaian konfik dalam arti kata
yang sebenarnya. Ironisnya bahwa masyarakat yang lebih dulu memiliki hak
atas tanah dan kekayaan alam setempat selalu menjadi pihak yang
dikalahkan dan bahkan dijadikan korban (victims).
PENUTUP
Di Negara Republik Indonesia implementasi dari pada hak milik
tidak dapat dilepaskan dari kepentingan umum,karena Indonesia sebagai
sebuah Negara yang berdasarkan Pancasila harus selalu ada keselarasan
dan keseimbangan antara hak milik perseorangan dan kepentingan
umum.Tidak ada satupun hak yang menjadi terabaikan oleh pelaksanan hakhak lainnya. Apabila kepentingan umum menghendaki maka terhadap hak
milik perseorangan dapat dilakukan pembebasan hak atas tanah melalui
penyerahan hak bahkan pencabutan hak,tentunya berdasarkan ganti rugi
yang layak.

10

Namun dalam reformasi hukum agraria ke depan hendaknya agar
dapat berjalan efektif dan mewujudkan kepastian hukum sesuai dengan
harapan masyarakat,maka perlu diperhatikan bahwa dalam pembuatan dan
pelaksanaan peraturan perundang-undangan harus
terpenuhi beberapa
persyaratan ,yakni:
 Law making process,artinya dari substansinya peraturan itu sudah
melalui proses dan prosedur pembuatan yang baik (substansi).
 Law enforcement, artinya dari
penegakannya peraturan itu sudah
didukung dan dikawal oleh aparat dengan baik (struktur).
 Masyarakat yang akan menggunakan dan mematuhi hukum tersebut
(kultur) dapat menerimanya dengan baik.
Referensi
Fauzi,Noer,dkk,2000,Otonomi Daerah Dan Sengketa Tanah,Lapera Pustaka
Utama,Jogjakarta.
Harsono,Boedi,1998,Hukum
Agraria
Indonesia,Sejarah
Pembentukan
UUPA,Isi dan Pelaksa –naannya,Djambatan,Jakarta.
Sodiki,Achmad,2013,Kontribusi Hukum Adat terhadap Budaya Tertib Hukum
Masyarakat (Makalah).
Sumardjono,Maria SW,1999, Reformasi Hukum dan Kebijaksanaan Sumber
Daya Alam Tanah dalam Demokratisasi Pengelolaan Sumber Daya
Alam,ICEL,Pustaka Pelajar Offset,Bandung.
Sutedi,Adrian,2007,Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya,Sinar
Grafka,Jakarta.

11