Konflik agama di INdonesia Kekuasaan Negara

1 Fransiska Damiana Sihombing
40720060023

KONFLIK ANTAR AGAMA DI INDONESIA

I.

PENDAHULUAN
Masalah konflik antar agama di Indonesia merupakan sebuah masalah yang rumit

dan kompleks. Jika kita menengok kembali ke belakakang kepada masa Orde Baru sampai
pada saat ini, kasus konflik antar agama tidak pernah absen mewarnai perjalanan kehidupan
bangsa Indonesia. Banyak korban yang sudah berjatuhan akibat dari konflik antar agama,
baik oleh negara maupun masyarakat sipil.
Konflik agama seakan-akan tidak pernah menemukan solusi yang terbaik untuk
dapat menyelesaikan masalah yang ada. Apakah hal yang menyebabkan masalah ini selalu
menjadi masalah yang keberlanjutan? Jika melihat lebih lanjut dalam konflik antar agama
ini, ada tiga komponen yang harus diteliti. Kita perlu untuk mengkaji seberapa jauh
keterlibatan komponen-komponen tersebut memberikan peran dan pengaruhnya terhadap
keberlangsungan konflik antar agama yang ada di Indonesia. Ketiga komponen tersebut
adalah komponen negara dengan berbagai aparaturnya, komponen konstitusi/ hukum dan

komponen masyarakat sipil. Dari ketiga komponen ini kita akan menganalisis komponen
mana yang sesungguhnya paling menghambat terbentuknya toleransi beragama di
Indonesia.

2 Fransiska Damiana Sihombing
40720060023

II.

ISI
1. Pemerintah
Konflik agama berbeda dengan konflik-konflik pada umumnya. Untuk mengetahui

apa hal yang membedakan konflik agama dengan konflik-konflik lainnya, kita perlu
merujuk kepada pengertian yang sebenarnya mengenai konflik antar agama itu sendiri.
Konflik antar agama adalah konflik antar kelompok pemeluk agama yang berbeda dengan
alasan non agama (misalnya politis, ekonomi, sosial) dan bisa juga dengan menggunakan
dalil/ tujuan agamawi yang sempit atau bahkan salah (Musahadi, 2007, hal. 80). Jadi,
konflik antar agama adalah konflik yang sesungguhnya bukan terjadi karena agama
melainkan lebih mengarah kepada masalah polik, ekonomi, maupun sosial tapi tetap

dibungkus dengan agama. Konflik jenis inilah yang terjadi di Indonesia.
Pada masa Orde Baru, campur tangan pemerintah terhadap keyakinan dan
kehidupan keberagamaan rakyat sangat tinggi. Hal ini disebabkan penguasa pada masa ini
menganut sistem developmentalisme. Sistem yang mengejar pertumbuhan ekonomi dan
meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi akan meningkat apabila stabilitas politik terkendali.
Untuk terkendalinya stabilitas politik ini, negara melakukan intervensi yang sangat besar
terhadap segala potensi konflik yang mungkin terjadi.
Paham developmentalisme yang dijalankan pemerintah, telah membawa dampak
yang cukup baik yaitu berupa kemajuan dalam bidang ekonomi. Namun, tidak dapat
dipungkiri, disisi lain masalah sosial juga tidak dapat dielakkan. Masalah sosial tersebut
adalah adanya kecemburuan sosial di mana masyarakat merasa hanya golongan tertentu
saja yang mencicipi keberhasilan dari paham yang ditetapkan pemerintah. Rasa kecewa

3 Fransiska Damiana Sihombing
40720060023

yang dirasakan masyarakat ini harus dipendam karena pemerintah selalu berusaha untuk
menjaga stabilitas politik dan keamanan yang ada di Indonesia.
Sesungguhnya di dalam negara, agama bisa melebur dalam dua wujud yang
berbeda. Pertama, tampil sebagai penyangga status quo dan memelihara integrasi dan kedua

tampil sebagai prophetic religion yaitu berperan lebih aktif sebagai kekuatan pembebas
(Rahardjo, 1999, hal.186). Dari kedua wujud ini, pemerintah memiliki ketakutan bahwa
agama akan lahir dalam wujud yang kedua. Yaitu, lahir sebagai oposisi, alat penghimpun
kekuatan untuk mengkeritik ketidak adilan yang dilakukan pemerintah. Ketakutan itulah
yang mendorong pemerintah untuk mengadakan intervensi terhadap agama. Intervensi yang
bertujuan mempertahanka kekuasaan pemerintah. Pemerintah tidak menyadari bahwa
sesungguhnya konflik bukanlah sesuatu hal yang harus dihindari karena konflik merupakan
konsekuensi dari masyarakat Indonesia yang majemuk. Kesadaran mengenai kemajemukan
tersebut justru dapat dilatih melalui penyelesaian konflik yang ada.
Tetapi sumber konflik itu bukanlah agama, melainkan proses ternbentuknya
masyarakat ekonomi baru yang menimbulkan persaingan (competition), sebagai
suatu bentuk konflik yang telah direduksi menjadi konflik terkendali, berdasarkan
kerangka aturan main yang disepakati. (Rahardjo, 1999, hal. 178).
Pada perkembangan selanjutnya, Reformasi telah membawa perubahan yang
sebesar-besarnya dalam kehidupan masyarakat. Secara tidak langsung, reformasi telah
berdampak kepada kebebasan masyarakat yang tidak terkendali. Keterkungkungan selama
masa Orde Baru, membuat rakyat Indonesia ingin memiliki kebebasan sepenuhnya dalam
setiap sendi kehidupannya. Termasuk dalam hal ini adalah agama.
Fenomena yang terjadi pada saat ini adalah terjadi perubahan sifat agama.
Masyarakat Indonesia mengarah kepada sebuah gerakan yang menggunakan agama tidak


4 Fransiska Damiana Sihombing
40720060023

lebih sebagai suatu identitas. Agama sebagai sebuah identitas tak hanya merupakan suatu
kebutuhan psikologis, namun juga membangun tembok pemisah dan berakibat pada
pertentangan kepentingan- kepentingan duniawi antar anggota dan komunitas agamawi
yang berbeda-beda (Musahadi, 2000, hal. 81). Seperti yang kita ketahui kelompok yang
dibentuk berdasarkan sebuah identitas tertentu memiliki kecenderungan untuk memiliki
sifat primordial dan cauvinisme yang berlebihan. Kelompok-kelompok ini akan cenderung
melakukan kepentingan-kepentingan kelompok yang sesunguhnya tidak bersifat religius.
Pada perkembangan selanjutnya, Reformasi telah membawa perubahan cara
bertindak pemerintah dalam menghadapi konflik beragama. Reformasi yang menuntut
diadakannya perubahan terutama dalam menjamin kebebasan rakyatnya justru membuat
pemerintah terkesan tidak memiliki otoritas yang besar dalam menyelesaikan konflik
beragama. Pemerintah cenderung bersifat netral dan tidak dapat berdiri tegak dalam
konstitusi yang ada. Pemerintah bahkan menyerahkan otoritas untuk menilai sebuah ajaran
agama dan kepercayaan kepada organisasi keagamaan korporatis (Susetyo, 2008). Hal ini
dapat kita lihat dalam kasus penyimpangan terhadap tafsir mayoritas yang ditunjukkan
dalam kasus Ahmadiyah. Di beberapa daerah, hak-hak mereka dibatasi, mulai dari soal

membangun tempat ibadah hingga ke persoalan ibadah haji. Bahkan di Lombok,
Tasikmalaya, dan Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, mereka mengalami pengusiran dan
pengrusakan pemukiman dan tempat-tempat ibadah (Mulia, 2008).
Selain bersifat netral, negara juga terlihat cenderung tidak adil pada beberapa
golongan tertentu hanya karena memperhatikan kepentingan golongan mayoritas. Negara
gagal menjadi penengah dan fasilitator yang baik. Kasus SKB dua mentri mengenai
pendirian rumah ibadah, cenderung tidak adil bagi golongan tertentu. Sedangkan golongan

5 Fransiska Damiana Sihombing
40720060023

yang merasa diuntungkan memandang umat yang merasa dirugikan bertindak tidak dewasa
karena tidak dapat menjalankan ketentuan yang telah ditetapkan.
Pemerintah yang sepertinya berusaha menghindari kediktatoran dalam menghadapi
keanekaragaman masyarakat yang ada karena ketakutan mengulangi kesalahan yang sama
seperti rezim sebelumnya. Namun, pemerintah tetap saja gagal untuk meminimalisir
terjadinya konflik antar agama karena pemerintah sendiri kehilangan otoritas dalam
bertindak. Sungguh merupakan sesuatu yang sangat disayangkan.

2. Konstitusi

Konstitusi yang ada di Indonesia sesungguhnya menurut saya sudah sangat
menjamin kebebasan beragama yang dimiliki oleh rakyat Indonesia. Jaminan-jaminan
tentang kebebasan beragama tersebut terdapat dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945
yang menyatakan bahwa negara menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan (Pasal
28E juga Pasal 29). Bahkan, dalam Pasal 28I UUD 1945 dinyatakan bahwa kebebasan
beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Ketentuan itu masih diperkuat lagi
dalam Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik mengakui hak kebebasan beragama dan
berkeyakinan (Pasal 18) maupun Pasal 22 UU No 39/1999 tentang HAM. Setiap orang
mempunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama.(Mulia, 2008) Hak ini
mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas
pilihannya sendiri.
Walaupun memiliki jaminan konstitusi yang jelas tentang kebebasan beragama,
sering sekali konstitusi-konstitusi dimodifikasi sedemikian rupa (ditambah/ dikurangi)
untuk melanggengkan tujuan individu atau golongan tertentu. Pada masa Orde Baru

6 Fransiska Damiana Sihombing
40720060023

konstitusi alat yang potensial untuk tetap menjaga keeksisan rezim yang berkuasa. Dengan
kehadiran UU No. 1/PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan

agama yang dikukuhkan UU No. 5/1969, jelas menguntungkan arus mainstream dalam
agama-agama resmi untuk mengontrol tumbuhnya kelompok “pembaharu” dalam tubuh
mereka, yang mungkin juga bisa mengganggu kekuasaan Orde Baru.
Sedangkan pada masa Reformasi, konflik antar agama yang berhubungan dengan
konstitusi lebih banyak terjadi dikarenakan kesalahan tafsir kelompok masyarakat tertentu
terhadap konstitusi yang ada dan akhirnya berujung pada tindak kekerasan. Misalnya dalam
kasus yang terjadi penafsiran Peraturan bersama 2 Menteri (SKB Dua Mentri mengenai
rumah ibadah). Peraturan ini, justru dipandang kelompok tertentu sebagai peraturan yang
melegitimasi tindakan penutupan rumah ibadah. Sehingga muncullah aksi penutupan rumah
ibadah secara serentak. Selain itu, terdapat juga penyerangan FPI ke STTI Arastamar di
Jakarta Timur yang menuntut agar sekolah tersebut ditutup karena merasa terganggu
dengan kegiatan mahasiswa dan juga menyatakan bahwa sekolah tersebut ilegal walaupun
terdapat fakta bahwa sekolah tersebut memiliki ijin (Mulia, 2008). Kasus-kasus ini
menunjukkan kepada kita bahwa sering sekali konstitusi diperalat hanya untuk
melanggengkan keinginan individu atau sekelompok golongan tertentu saja.
3. Masyarakat
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam masyarakat reformasi telah
meningkat politik identitas yang semakin memperkeruh konflik antar agama. Meningkatnya
politik identitas merupakan faktor yang cukup mempengaruhi konflik antar agama karena:
identitas ini dipakai sebagai alat artikulasi atas keresahan sosial yang terjadi (Sitompul,

2005, hal. 33). Setiap identitas akan merasa bahwa kelompoknya yag paling benar dan

7 Fransiska Damiana Sihombing
40720060023

memiliki nilai lebih dari kelonpok identitas lainnya. Hal inilah yang mendorong terjadinya
sikap-sikap fanatik dari golongan agama tertentu terhadap golongan agama lainnya.
Ketika identitas yang dipakai untuk mengartikulasi keresahan sosial, hal inilah yang
akan memperkeruh suasana yang ada. Misalnya, ketika suatu masalah diartikan dengan
menggunakan bahasa agama, maka biasanya agama cenderung akan memaksa seseorang
untuk bersikap absolut dan susah untuk melakukan negoisasi. Jika negoisasi tetutup karena
keabsolutan yang ditimbulkan dari bahasa agama itu, maka dengan sendirinya jalan
kekerasanlah yang akan segera membayang. Sehingga tidak mengherankan bila hasil
tingkat “Toleransi Sosial Masyarakat Indonesia” yang dilaksanakan di tigapuluh tiga
provinsi dengan 1.200 responden, menunjukkan tingkat toleransi antarumat beragama di
negeri ini cukup rendah. Sebanyak 42,3% responden menyatakan keberatan jika penganut
agama lain mendirikan tempat ibadah di lingkungannya. Hanya 38,1% saja yang tidak
merasa keberatan. (Kholid, 2006).
Perlu ditekankan, bahwa konflik antar agama yang terjadi selama ini adalah lebih
dikarenakan oleh konflik antar individu (sebagai provokator) yang berkembang menjadi

konflik antar golongan. Setiap agama memiliki tradisi dan ajaran-ajaran yang mengajak
agar umatnya untuk dapat saling menghormati kebebasan beragama dan toleransi. Agama
Kristen sendiri selalu mengajak umatnya untuk mencari dan memelihara perdamaian sesuai
dengan Alkitab sebagai pedoman hidup (Mazmur 34: 15) dan (Roma 12:18). Selain itu, kita
juga dipanggil untuk menjadi garam di tengah dunia (Markus 9:50) serta memiliki kasih
dan pengampunan terhadap sesama (Kolose 3: 13-14). Jadi, yang menjadi inti
permasalahan yang sesungguhnya bukanlah agama melainkan individu yang memeng
memiliki natur yang cenderung berdosa.

8 Fransiska Damiana Sihombing
40720060023

3. PENUTUP
Ketiga komponen yakni pemerintah, konstitusi dan masyarakat memang memiliki
peran dan pengaruh masing-masing terhadap konflik antar agama yang masih terus
berlangsung hingga saat ini. Menurut saya, dari antara ketiga komponen tersebut,
konstitusi, hanya merupakan alat yang digunakan pemerintah maupun masyarakat untuk
mendukung tercapainya tujuan yang mereka inginkan. Sesungguhnya pemerintah dan
masyarakatlah yang paling bertanggungjawab terhadap konflik antar agama yang masih
terus berkepanjangan. Namun, bila harus memilih siapa sesungguhnya yang memiliki

pengaruh paling besar dalam konflik antar agama ini, saya akan memilih masyararakat.
Walaupun tidak dipungkiri bahwa kekecewaan terhadap pemerintah dan sifat netral dari
pemerintahan jugalah yang membuat masyarakat bersifat anarkis.
Dalam negara demokrasi di mana pemerintahan sesungguhnnya berada di tangan
rakyat, maka rakyat sudah seharusnya memiliki civic competence (kesadaran berwarga
negara yang dilandasi peghargaan atas prinsip-prinsip toleransi) dan civil responsibility
(tanggung jawab kewargaan) yang tinggi untuk dapat menjalankan kedaulatan yang
dimiliki. Ketika masyarakat tidak memiliki kedua hal ini, maka sulit bagi negara untuk
mengambil sebuah keputusan yang benar dalam menjalankan pemerintahan yang benar.

9 Fransiska Damiana Sihombing
40720060023

REFERENSI
Kholid, M. (2006). Belajar toleransi dari klenteng. Retrieved, May 5, 2009, from:
http://islamlib.com/id/artikel/belajar-toleransi-dari-kelenteng/
Mulia, S., M. (2008). Potret kebebasan beragama dan berkeyakinan di era reformasi.
Retrieved: May 5, 2009, from: http://72.14.235.132/search?q=cache:t_bDyWZylMJ:komnasham.go.id/portal/files/Musdah%2520Mulia_Potret%2520Kebebasan
%2520Beragama%2520di%2520Era
%2520Reformasi.rtf+konstitusi+dan+toleransi+beragama&cd=12&hl=id&ct=clnk

&gl=id

10 Fransiska Damiana Sihombing
40720060023

Susetyo, B. (2008). Kekerasan dalam Beragama. Retrieved May 5, 2009 from
http://www.ob.or.id/modules.php?name=News&file=article&sid=548

Musahadi. (Ed.). (2007). Mediasi dan resolusi konflik di Indonesia: Dari konflik agama
hingga mediasi pengadilan. Semarang: WMC
Rahardjo, D. (1999). Masyarakat madani: agama, kelas menengah dan perubahan sosial.
Jakarta: LP3ES
Sitompul, E., M. (Ed.). (2005). Agama-Agama dan Rekonsiliasi. Jakarta: Bidang Marturia
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia