BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Tunjangan Profesi Guru Di SMP Negeri 1 Pageruyung Kabupaten Kendal

7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep dan Substansi Teori
2.1.1 Evaluasi Program
2.1.1.1 Pengertian Evaluasi
Menurut Umar (2004), evaluasi adalah suatu proses
untuk menyediakan informasi tentang sejauh mana suatu
kegiatan

tertentu

telah

dicapai,

bagaiman

perbedaan


pencapaian itu dengan suatu standar tertentu untuk
mengetahui apakah ada selisih diantara keduanya, serta
bagaiman manfaat yang telah dikerjakan itu apabila
dibandingkan

dengan

harapan-harapan

yang

ingin

diperoleh.
Dunn (2000) mengemukakan bahwa istilah evaluasi
dapat disamakan dengan penaksiran (appraisal), pemberian
angka (rating) dan penilaian. Sedangkan fungsinya adalah
memberi

informasi


yang

valid

dan

dapat

dipercaya

mengenai kinerja kebijakan atau program, dalam hal ini
mengungkap sebarapa jauh tujuan-tujuan tertentu dan
target tertentu telah dapat dicapai.
Suchman

dalam

Anderson


(1971),

memandang

evaluasi sebagai sebuah proses menentukan hasil yang
telah

dicapai

direncanakan

dari0beberapa
untuk

kegiatan

mendukung

yang


tercapainya

telah
tujuan.

Kemudian Worthen dan Sanders dalam Anderson(1971),
memberikan pengertian evaluasi adalah kegiatan mencari
sesuatu yang berharga tentang sesuatu, dan dalam mencari
sesuatu

tersebut

termasuk

juga

diantaranya

mencari


8

informasi yang bermanfaat dalam menilai keberadaan suatu
program, produksi, dan prosedur serta alternatif strategi
yang

diajukan

ditentukan.
(1984),

untuk

Sedangkan

mencapai

tujuan

Stufflebeam


mendefiniskan

evaluasi

yang

dalam

sudah

Fernandes

sebagai

proses

penggambaran, pencarian dan pemberian informasi yang
alternatif keputusan.
Anderson


dalam

Suharsimi

(2004),

memandang

evaluasi sebagai sebuah proses menentukan hasil yang
telah dicapai beberapa kegiatan yang direncanakan untuk
mendukung tercapainya tujuan. Sedangkan Stufflebeam
dalam Suharsimi (2004), mengungkapkan bahwa evaluasi
merupakan proses penggambaran dan pencarian serta
pemberian informasi yang bermanfaat bagi pengambil
keputusan

dalam

menentukan


alternatif

keputusan.

Sedangkan dalam Pedoman Evaluasi yang diterbitkan
Direktorat Ditjen PLS Depdiknas dijelaskan bahwa evaluasi
program adalah proses pengumpulan dan penelaahan data
secara berencana dan sistematis,
metode

dan

alat

tertentu

untuk

serta menggunakan

mengukur

tingkat

keberhasilan atau pencapaian tujuan program dengan
menggunakan tolok ukur yang telah ditentukan (Depdiknas
2002).
Berdasarkan

pengertian-pengertian

diatas,

maka

dapat disimpulkan bahwa evaluasi diartikan sebagai proses
penggambaran, pencarian dan pemberian informasi yang
valid dan dapat dipercaya mengenai suatu program, untuk
mengungkap sebarapa jauh tujuan-tujuan tertentu telah
dapat dicapai.


9

2.1.1.2 Pengertian Program
Menurut Suharsimi (2004), Program adalah suatu
rencana yang melibatkan berbagai unit

yang berisi

kebijakan dan rangkaian kegiatan yang harus dilakukan
dalam kurun waktu tertentu.
Charles

O.

Jones

dalam

Ramandita


(2013),

menjelaskan bahwa program adalah cara yang disahkan
untuk mencapai tujuan dan beberapa karakteristik tertentu
yang dapat membantu seseorang untuk mengindentifikasi
suatu aktivitas sebagai program atau tidak yaitu:
1. Program cenderung membutuhkan staf, contohnya
untuk
melaksanakan, atau sebagai pelaku
program.
2. Program biasanya memiliki anggaran tersendiri,
dan
program
kadang
juga
bisa
diidentifikasikan melalui anggaran.
3. Program
memiliki
identitas
sendiri, dan
apabila berjalan
dengan
efektif dapat diakui
oleh publik.

Pengertian tersebut menggambarkan bahwa program adalah
penjabaran dari langkah-langkah dalam mencapai tujuan
itu sendiri. Sehingga program pemerintah disini diartikan
sebagai upaya untuk mewujudkan kebijakan - kebijakan
pemerintah yang telah ditetapkan.
Menurut
2014), program

Dye (1992 dalam
tidak

dapat

Muhammad Amin dkk.
dilepaskan

dari aspek

kebijakan atau yang dalam hal ini adalah kebijakan publik
secara

prinsip

dapat

diartikan

sebagai

“Whatever

government choose to do or not to do“. Memperkuat
pendapat tersebut, Hogwood dan Gunn (1986 dalam
Muhammad

Amin

dkk.

2014),

menyebutkan

bahwa

kebijakan publik adalah seperangkat tindakan pemerintah
yang didesain untuk mencapai hasil-hasil tertentu.

10

Berdasarkan

pengertian

tersebut,

maka

program

diartikan sebagai suatu unit atau kesatuan kegiatan
terencana dan tersistem berupa kebijakan publik yang
dilakukan secara berkesinambungan.
2.1.1.3 Pengertian Evaluasi Program
Ralp

W.

Tyler

dalam

Suharsimi

(2007),

mendefinisikan evaluasi program sebagai proses untuk
mengetahui

apakah

tujuan

terealisasi.

Sedangkan

program

Suharsmi

sudah

dapat

Arikunto

(2007)

mendefinisikan evaluasi program sebagai suatu proses
penetapan secara sistematis mengenai nilai, tujuan, dan
efektifitas atau kecocokan sesuatu sesuai dengan kriteria
dan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Evaluasi program di dalam Pedoman Evaluasi yang
diterbitkan Direktorat Ditjen PLS Depdiknas, diartikan
sebagai proses pengumpulan dan penelaahan data yang
dilakukan

secara

berencana,

sistematis

dengan

menggunakan metode dan alat tertentu untuk mengukur
tingkat keberhasilan atau pencapaian tujuan program
dengan menggunakan tolok ukur yang telah ditentukan
(Depdiknas 2002). Dengan demikian, evaluasi program
tersebut merupakan proses penetapan secara sistematis
berkaitan

dengan

nilai,

tujuan,

dan

efektifitas

atau

kecocokan sesuatu sesuai dengan kriteria dan tujuan yang
telah ditetapkan sebelumnya. Sedangkan proses penetapan
keputusannya didasarkan atas perbandingan secara hatihati terhadap data yang diobservasi dengan menggunakan
standar tertentu yang telah dibakukan (Depdiknas 2002).
Berdasarkan
evaluasi

program

berbagai
adalah

pengertian
proses

diatas,

penetapan

maka
secara

11

sistematis tentang nilai, tujuan, dan kecocokan sesuatu
sesuai dengan kriteria dan tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya.
Evaluasi
pencapaian

program

tujuan

bertujuan

program

yang

untuk
telah

mengetahui
dilaksanakan

(Suharsimi dan Cepi 2004). Selanjutnya, hasil evaluasi
program digunakan sebagai dasar untuk melaksanakan
kegiatan tindak lanjut atau untuk melakukan pengambilan
keputusan

berikutnya.

program adalah sama

Sedangkan

manfaat

evaluasi

dengan kegiatan supervisi, yaitu

dapat berupa penghentian program, merevisi program dan
melanjutkan program, serta menyebarluaskan program
(Suharsimi dan Cepi 2004)
2.1.1.4

Model

Evaluasi

Program

Berorientasi

Tujuan (Goal Oriented)
Dalam ilmu evaluasi program pendidikan, terdapat
beberapa model yang dapat digunakan untuk mengevaluasi
keterlaksanaan

program.

Walaupun antara

yang

satu

dengan lainnya berbeda, tetapi maksudnya sama yaitu
melakukan kegiatan pengumpulan data atau informasi
berkenaan objek yang dievaluasi, dengan tujuannya adalah
menyediakan bahan bagi pengambil keputusan dalam
menentukan tindak lanjut suatu program. Dalam hal ini
Stepphen Isaac dalam Suharsimi (2004), membedakan
adanya empat hal yang dipergunakan untuk membedakan
ragam model evaluasi, yaitu : 1) berorientasi pada tujuan
(goal oriented); 2) berorientasi pada keputusan (decision
oriented);

3) berorientasi

pada

kegiatan

dan

orang –

orang yang menanganinya (transactional oriented) dan 4)

12

berorientasi pada pengaruh dan dampak program (research
oriented).
Kaufman dan Thomas dalam Suharsimi dan Cepi
(2007) membedakan model evaluasi menjadi 8, yaitu:
(1) Goal oriented evaluation, dikembangkan oleh Tyler;
(2) Goal Free Evaluation Model yang dikembangkan
oleh Michael Scriven; (3) Formatif Summatif Evaluation
Model yang juga dikembangkan oleh Michael Scriven;
(4) Countenance Evaluation Model yang dikembangkan
oleh Stake; (5) Responsive Evaluation Model
yang
dikembangkan oleh Stake; (6) CSE-UCLA Evaluation
Model
yang dikembangkan oleh Alkin; (7) CIPP
Evaluation Model yang dikembangkan oleh Stufflebeam,
dan (8) Discrepancy Model yang dikembangkan oleh
Provus.

Berdasarkan pengertian diatas, maka penelitian ini
akan menggunakan Model Evaluasi Program Berorientasi
Tujuan

(Goal

Oriented

Evaluation

Model)

yang

dikembangkan oleh Ralph Winfred Tyler.
Secara

umum

model

evaluasi

ini

memberikan

penekanan terhadap produktivitas dan akuntabilitas dalam
suatu

aktivitas.

Model

ini

sering

digunakan

untuk

mengukur pencapaian dan kemajuan peserta didik, dan
model

ini

juga

menepikan

dimensi

proses

dalam

pelaksanaan evaluasi. Model Tyler ini sering mengutarakan
pertanyaan seperti: (1) Apakah

peserta

didik dapat

mencapai suatu sasaran dengan baik ?; (2) Apakah

para

guru dapat menjalankan pekerjaanya dengan baik ?
Untuk memenuhi ketercapaian, Tyler menggariskan
beberapa prosedur yang perlu dilakukan, yaitu:

13

(1) Mengenal pasti sasaran program yang hendak
dijalankan; (2)Menguraikan setiap tujuan dalam bentuk
tingkah laku dan isi kandungan; (3) Mengenal pasti
situasi
dimana
tujuan yang hendak digunakan;
(4) Menentukan
arah
untuk
mewakili situasi;
(5) Menentukan arah untuk mendapatkan hasil.

Tyler mendefinisikan evaluasi sebagai perbandingan
antara

hasil

yang

dikehendaki

dengan

hasil

yang

sebenarnya. Model evaluasi Tyler memberikan dasar pada
pengukuran

tingkah

laku

dalam

suatu

tujuan

yang

dibentuk dan mendasarkan kepada hasil pembelajaran dari
input pengajaran. Tyler juga telah membuat beberapa
perubahan dalam konsepnya mengenai penilaian. Pada
perubahan tersebut dikembangkan definisi penilaian awal
yaitu

penilaian

membandingkan

dalam

program

konsep

program

yang

dibuat

dengan

dengan

dasar

yang

relevan untuk memantapkan perencanaan program, yang
termasuk

didalamnya

adalah

implementasi dan penilaian

penilaian

dalam

di

tingkat

monitoring

yang

berkelanjutan pada suatu program.
Menurut Tyler dalam Azizi (2008), penilai harus
menilai

tingkah

perubahan

laku

tingkah

peserta
laku

didik,

yang

khususnya

dikehendaki

pada
dalam

pendidikan. Disamping itu evaluasi perlu dibuat pada akhir
program.
Dalam model ini, langkah pertama adalah mengenali
tujuan suatu program. Setelah tujuan program diketahui,
indikator-indikator pencapaian tujuan dan alat pengukuran
diketahui pasti. Kemudian dari hasil kajian tersebut akan
dibandingkan dengan tujuan program dan keputusan

14

dibuat level pencapaian yang diperoleh. Menurut Tyler
dalam Azizi (2008), apabila tujuan program tidak tercapai
sepenuhnya, maka ini akan membawa implikasi sama,
yaitu program pembelajaran tersebut lemah atau

tujuan

yang dipilih tidak sesuai. Sedangkan cara evaluasinya
adalah sebagai berikut:
a. Bandingkan data-data kinerja dengan tujuan yang
telah dirumuskan,
penyimpangannya digunakan
sebagai bahan koreksi dan daur ulang program.
b. Dengan metode logika:
(1) Kaji rasional atau
tidak program
tersebut
dan argumentasi yang dipergunakan merumuskan
tujuan. Dasar pikir perumusan tujuan yang tidak
logis perlu dikesampingkan.
(2) Pertimbangan
utilitas
( kegunaan ),
biaya,
penerimaan dan politis perlu dikedepankan.
(3) Hukum, kebijakan yang tepat, moral, idialisme
Suatu masyarakat diperlukan agar tujuan selaras
dengan idealisme masyarakat.
c. Dengan metode empiris:
(1) Survey
dipergunakan untuk
mengumpulkan
informasi dan mengetahui posisi nilai dari
tujuan yang telah dirumuskan.
(2) Ahli dikumpulkan dalam membahas kebenaran
nilai-nilai yang terkandung didalam tujuan.
(3) Buat analisis isi/kontent cek pertentangan antara
tujuan yang telah ditetapkan dengan nilai yang
sedang berkembang didalam masyarakat.
(4) Melakukan pilot project (ujicoba awal).

2.1.2 Tunjangan Profesi Guru
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen mengamanatkan bahwa guru
mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada
jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, serta
pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal.
Oleh

karena

itu,

sebagai

pendidik

profesional,

guru

diharuskan memiliki kualifikasi akademik, kompetensi,

15

sertifikat pendidik, sehat jasmani, rohani, dan memiliki
kemampuan

untuk

mewujudkan

tujuan

pendidikan

nasional. Karena melaksanakan tugas keprofesionalan,
maka

guru

berhak

memperoleh

penghasilan

di

atas

kebutuhan hidup minimum serta jaminan kesejahteraan
sosial. Pengertian penghasilan di atas kebutuhan hidup
minimum tersebut adalah penghasilan yang meliputi gaji
pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, dan penghasilan
lain

berupa

tunjangan

profesi

pendidik

untuk

guru,

tunjangan fungsional, tunjangan khusus, serta maslahat
tambahan yang terkait tugas sebagai guru yang ditetapkan
dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi.
Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen juga menyebutkan bahwa
guru yang telah memiliki sertikat pendidik dan memenuhi
persyaratan lainnya berhak mendapatkan tunjangan profesi
yang

besarnya

Tunjangan

setara

profesi
mutu

peningkatan

dengan
tersebut

guru

satu

kali

gaji

dimaksudkan

sebagai

penghargaan

pokok.
untuk
atas

profesionalitas untuk mewujudkan amanat Undang-Undang
Guru dan Dosen antara lain mengangkat martabat guru,
meningkatkan kompetensi guru, memajukan profesi guru,
meningkatkan

mutu

pembelajaran,

dan

meningkatkan

pelayanan pendidikan yang bermutu.
2.1.3 Martabat Guru
Menurut

Supriyoko (2006), martabat guru merupakan

gambaran tingkatan harkat kemanusiaan dan kedudukan
guru yang terhormat. Sedangkan pemahaman terhadap
martabat ini, merupakan salah satu hakekat guru sebagai
profesi (Arni Muhammad 2005). Menurut Arni (2005),

16

sebagai profesi, seorang guru selain memahami harkat dan
martabat guru, juga harus memahami tentang kompetensi
apa saja yang harus dimiliki guru agar dapat menjadi guru
yang profesional, wadah atau organisasi profesi apa saja
yang dapat dijadikan tempat bagi guru memperjuangkan
hak-haknya dan juga untuk meningkatkan wawasan dan
profesionalismenya,

termasuk

memahami

norma

yang

harus dipedomani dan di patuhi yakni Kode Etik Guru.
Martabat guru tercermin pada kode etik guru. Kode
etik ini bertujuan menempatkan guru sebagai profesi yang
terhormat, mulia, bermartabat dan dilindungi undangundang (Sudarwan 2012). Kode etik dalam suatu profesi
dibuat adalah untuk kepentingan anggota dan kepentingan
organisasi profesi itu sendiri. Pada umumnya tujuan
diadakannya kode etik adalah untuk menjunjung tinggi
martabat

profesi.

Adanya

kode

etik

dapat

menjaga

pandangan dan kesan dari pihak luar atau masyarakat,
agar mereka tidak memandang rendah atau remeh terhadap
suatu profesi. Oleh karenanya, setiap kode etik suatu
profesi akan melarang berbagai bentuk tindak-tanduk atau
kelakuan anggota profesi yang dapat mencemarkan nama
baik profesi terhadap dunia luar. Oleh karena itu, kode etik
juga

sering

kali

disebut

sebagai

kode

kehormatan

(Sudarwan 2012).
Kode etik bertujuan untuk menjaga dan memelihara
kesejahteraan para anggotanya. Pada pengertian ini yang
dimaksud kesejahteraan adalah meliputi baik kesejahteraan
lahir (atau material) maupun kesejahteraan batin (spiritual
atau mental). Kode etik juga sering mengandung peraturanperaturan yang bertujuan membatasi tingkah laku yang
tidak pantas atau tidak jujur bagi para anggota profesi

17

dalam berinteraksi dengan sesama rekan anggota profesi.
Tujuan kode etik juga berkaitan dengan peningkatan
kegiatan pengabdian profesi, sehingga anggota-anggota
profesi tersebut dapat dengan mudah mengetahui tugas dan
tanggung jawab pengabdian dalam melaksanakan tugasnya.
Pada

hakekatnya,

kode

etik

mengandung

ketentuan-

ketentuan yang perlu dilakukan oleh para anggota profesi
(Sudarwan 2012).
Untuk meningkatkan mutu, profesi kode etik juga
memuat norma-norma dan anjuran agar para anggota
profesi

selalu

pengabdian

berusaha
anggota

untuk
profesi.

meningkatkan

mutu

Kemudian

untuk

meningkatkan mutu organisasi profesi, maka diharuskan
kepada setiap anggota untuk secara aktif berpartispasi
dalam membina organisasi profesi dan kegiatan-kegiatan
yang dirancang organisasi (Ramayulis 2013).
Pada kode etik guru Indonesia, guru Indonesia
memedomani dasar-dasar sebagai berikut:
1. Guru berbakti membimbing para
peserta didik
guna membentuk manusia seutuhnya yang berjiwa
pancasila;
2. Guru
memiliki
dan
melaksanakan kejujuran
Professional;
3. Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta
didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan
pembinaan;
4. Guru menciptakan suasana sekolah sebaik - baiknya
guna menunjang keberhasilan proses belajar-mengajar;
5. Guru memelihara hubungan baik dengan orang
tua murid dan masyarakat sekitar guna membina
peran serta dan juga rasa tanggung jawab bersama
terhadap pendidikan;
6. Guru mengembangkan dan meningkatkan mutu
dan martabat profesi;
7. Guru memelihara
hubungan seprofesi, semangat
kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial;
8. Guru
secara
bersama - sama
memelihara dan

18

meningkatkan mutu organisasi PGRI, sebagai sarana
penunjang dan pengabdian;
9. Guru melaksanakan segala kebijakan pemerintah
dalam bidang pendidikan.

Menurut Ramayulis (2013), kesembilan butir kode
etik guru Indonesia itu dapat dijabarkan dalam bentuk
sikap sebagai berikut:
a. Guru berbakti membimbing para peserta didik untuk
membentuk
manusia
seutuhnya
yang berjiwa
pancasila. Untuk itu guru hendaklah:
1) Menghormati hak
individu
dan kepribadian
peserta didik masing-masing,
2) Berusaha
membimbing
kepribadian peserta
didiknya,
3) Menghayati dan mengamalkan falsafah Pancasila,
4) Menyadari bahwa tujuan
pendidikan adalah
pengembangan secara utuh intelegensi, moral dan
kesehatan jasmani dan rohani peserta didiknya,
5) Berupaya
dengan
ikhlas
melatih
dalam
memecahkan masalah-masalah dan membina daya
kreasi peserta didik agar dikemudian hari dapat
menunjang masyarakat yang sedang membangun.
b. Guru
memiliki
dan
melaksanakan
kejujuran
professional. dalam hal ini guru hendaklah:
1) Memperhatikan dan menghargai perbedaan dan
kebutuhan peserta didiknya masing-masing.
2) Fleksibel dalam menerapkan kurikulum sesuai
dengan kebutuhan peserta didik masing-masing,
3) Melaksanakan pembelajaran didalam dan diluar
sekolah berdasarkan pada kurikulum tanpa
membeda – bedakan latar belakang dan kedudukan
orang tua peserta didiknya.
c. Guru
berusaha
memperoleh
informasi tentang
peserta
didik
sebagai
dasar
melakukan
bimbingan
dan pembinaan. Dalam hal ini guru
hendaklah:
1) Mengadakan komunikasi terhadap peserta didik
di dalam dan diluar sekolah berlandaskan pada
rasa kasih sayang,
2) Mengetahui
kepribadian
anak
dan
latar
belakang
keluarganya masing-masing,
3) Berkomunikasi
hanya diadakan semata-mata
guna kepentingan pendidikan peserta didik.
d. Guru menciptakan suasana sekolah sebaik baiknya
yang menunjang berhasilnya proses belajar-mengajar.

19

Dalam hal ini guru perlu berusaha untuk:
1) Menciptakan suasana kehidupan sekolah yang
baik sehingga peserta didik betah berada dan
belajar di sekolah,
2) Melakukan kerjasama
dengan
sekolah dan
masyarakat
sekitar
yang diperuntukkan bagi
terciptanya suasana sekolah
yang
menunjang
keberhasilan proses belajar peserta didik secara
optimal,
3) Guru menerima dengan lapang dada kritik-kritik
yang disampaikan orang tua murid dan masyarakat
bagi kehidupan sekolahnya.
e. Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua
peserta didik dan masyarakat sekitar guna membina
peran serta dan sikap
tanggung
jawab bersama
terhadap pendidikan. Terkait dengan hal ini guru
hendaknya:
1) Guru mengusahakan terciptanya kerjasama yang
sebaik-baiknya antara sekolah, orang tua murid,dan
masyarakat sehingga terjalin pertukaran informasi
timbal balik guna kepentingan peserta didik,
2) Guru
memperluas
pengetahuan
masyarakat
tentang profesi keguruan,
3) Guru turut
menyebarkan program - program
pendidikan dan kebudayaan kepada masyarakat
disekitarnya, sehingga sekolah tersebut dapat turut
Berfungsi sebagai
pusat
pembinaan
dan
pengembangan
pendidikan
serta
kebudayaan
ditempat itu.
4) Guru
harus
berperan
agar dirinya dan
sekolahnya dapat berfungsi sebagai unsur pembaru
untuk kehidupan dan kemajuan didaerahnya.
5) Guru turut bersama - sama masyarakat sekitarnya
didalam berbagai aktivitas.
f. Guru
secara
pribadi
dan
bersama - sama
mengembangkan
dan
meningkatkan
mutu dan
martabat profesi. Dalam hal ini guru dituntut untuk:
1) Terus berusaha untuk menambahdan memperluas
ilmu, wawasan dan keterampilannya dengan rajin
membaca, melakukan penelitian, mengikuti seminar
ilmiah, workshop, penataran dan kegiatan keilmuan
lainnya.
2) Guru senantiasa berbicara, bersikap, bertindak
sesuai martabat profesinya.

20

g. Guru memelihara hubungan seprofesi dan semangat
kekeluargaan serta kesetiakawanan sosial.Sesuai dengan
hal ini guru hendaknya:
1) Senantiasa saling bertukar informasi, pendapat,
menasehati dan membantu satu sama lain, baik
dalam hubungannya dengan kepentingan pribadi
maupun dalam menunaikan tugas profesinya.
2) Tidak melakukan perbuatan atau tindakan–tindakan
yang
merugikan
nama
baik
sesama rekan
seprofesinya dan menunjang martabat guru baik
secara keseluruhan maupun secara pribadi.
h. Guru secara
bersama - sama memelihara dan
meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana
penunjang dan pengabdian.Terkait dengan hal ini guru
dituntut:
1) Menjadi
anggota dan organisasi guru yang
dimaksudkan untuk membina dan pendidikan pada
umumnya, profesi
2) Senantiasa berusaha bagi peningkatan persatuan
antara sesama pengabdi pendidikan,
3) Senantiasa berusaha agar menghindarkan diri dari
sikap-sikap dan ucapan-ucapan, serta tindakantindakan yang dapat merugikan organisasi.
i. Guru melaksanakan segala kebijakan pemerintah
dalam bidang pendidikan.
1) Senantiasa patuh dan tunduk terhadap kebijakan
pemerintah dalam bidang pendidikan,
2) Melakukan tugas profesinya dengan disiplin dan rasa
pengabdian.
3) Berusaha membantu menyebarkan kebijaksanaan
dan program pemerintah didalam bidang pendidikan
terhadap orang tua murid dan masyarakat sekitarnya,
4) Berusaha menunjang terciptanya kepemimpinan
pendidikan dilingkungan atau daerahnya sebaikbaiknya.

Berdasarkan

beberapa

pengertian

diatas,

maka

martabat guru dapat diartikan sebagai tingkat harkat
kemanusiaan dan

harga diri guru yang diperolehnya

karena menjalankan kode etik guru Indonesia.

21

2.1.4 Kompetensi Guru
2.1.4.1 Pengertian Kompetensi Guru
Depdiknas merumuskan definisi kompetensi sebagai
pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang
direfleksikan

dalam

kebiasaan

berfikir

dan

bertindak

(Depdiknas 2004). Sedangkan sesuai Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, disebutkan
bahwa

kompetensi

adalah

seperangkat

pengetahuan,

keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati,
dikuasai,

serta

melaksanakan

diaktualisasikan
tugas

oleh

Guru

keprofesionalannya.

dalam

Sedangkan

kompetensi yang perlu dimiliki setiap guru berdasarkan PP
Nomor 74 Tahun 2008, adalah kompetensi guru yang
meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian
dan kompetensi sosial serta kompetensi professional, yang
harus diperoleh melalui pendidikan profesi.
Berdasarkan landasan peraturan-peraturan diatas,
maka dapat disimpulkan bahwa kompetensi guru adalah
kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajibankewajibannya secara bertanggung jawab dan layak.
2.1.4.2 Jenis Kompetensi Guru
Menurut pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun

2005,

disebutkan

tentang

bahwa

Standar

pendidik

Nasional
(guru)

Pendidikan,

adalah

agen

pembelajaran yang harus memiliki empat jenis kompetensi,
yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan
sosial. Pada konteks ini, maka kompetensi guru diartikan
sebagai kebulatan pengetahuan dan keterampilan serta
sikap yang diwujudkan dalam bentuk perangkat tindakan

22

cerdas dan penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang
calon guru untuk memangku jabatan guru sebagai profesi.
a. Kompetensi Pedagogik
Berdasarkan

Peraturan

Pemerintah

Nomor

19

Tahun 2005, kompetensi pedagogik diartikan sebagai
kemampuan

yang

berkenaan

dengan

pemahaman

terhadap peserta didik dan pengelola pembelajaran yang
mendidik dan dialogis. Substansinya kompetensi ini
mencakup kemampuan pemahaman terhadap peserta
didik,

perancangan

dan

pelaksanaan

pembelajaran,

evaluasi hasil belajar, serta pengembangan peserta didik
untuk

mengaktualisasikan

berbagai

potensi

yang

dimilikinya. Sedangkan secara terperinci, masing-masing
elemen kompetensi pedagogik tersebut dapat dijabarkan
menjadi sub kompetensi dan indikator esensial sebagai
berikut:
(1) Memahami
peserta
didik.
Sub kompetensi ini
memiliki indikator esensial:
(a) memahami
peserta
didik
dengan
menggunakan
prinsip-prinsip
perkembangan
kognitif;
(b) memahami
peserta
didik
dengan
cara
memanfaatkan prinsip prinsip kepribadian;
(c) mengidentifikasi bekal - ajar awal yang dimiliki
peserta didik.
(2) Merancang
pembelajaran,
termasuk memahami
landasan
pendidikan
untuk
kepentingan
pembelajaran. Pada sub kompetensi ini indikator
esensial adalah:
(a) menerapkan teori-teori belajar dan pembelajaran;
(b) menentukan strategi pembelajaran berdasarkan
karakteristik peserta didik dan kompetensi yang
ingin dicapai serta materi ajar;
(c) menyusun rancangan pembelajaran berdasarkan
strategi yang dipilih.

23

(3) Melaksanakan pembelajaran. Indikator esensial pada
subkompetensi ini adalah:
(a) menata latar (setting) dari pembelajaran; dan
(b) melaksanakan pembelajaran dengan kondusif.
(5) Mengembangkan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Sub
kompetensi ini, indikator esensialnya adalah:
(a) memfasilitasi peserta didik untuk pengembangan
berbagai potensi akademik; dan
(b) memfasilitasi peserta didik untuk mengembangkan berbagai potensi non-akademik.

b. Kompetensi Kepribadian
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2005, kompetensi kepribadian dimaksudkan sebagai
kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian
yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa, dan
menjadi teladan bagi peserta didik, serta
mulia.

Setiap

dijabarkan

elemen

menjadi

sub

kepribadian
kompetensi

berakhlak

tersebut
dan

dapat

indikator

esensial sebagai berikut:
(1) Memiliki kepribadian yang mantap dan stabil.
Sub kompetensi ini, indikator esensialnya:
(a) bertindak sesuai norma hukum;
(b) bertindak sesuai norma sosial;
(c) bangga sebagai pendidik; dan
(d) konsisten
dalam
bertindak
sesuai
dengan norma.
(2) Memiliki
kepribadian
yang dewasa. Sub
kompetensi ini rincian indikator esensialnya:
(a) menampilkan sikap
kemandirian
dalam
bertindak sebagai pendidik; dan
(b) mempunyai etos kerja sebagai pendidik.
(3) Memiliki kepribadian yang arif. Sub kompetensi
ini memiliki indikator esensial:
(a) menampilkan tindakan yang didasarkan
pada kemanfaatan peserta didik, sekolah, dan
masyarakat, dan
(b) menunjukkan keterbukaan dalam berpikir
dan bertindak.

24

(4) Memiliki
kepribadian yang berwibawa. Sub
kompetensi ini memiliki indikator esensial:
(a) memiliki perilaku yang berpengaruh positif
terhadap peserta didik,
(b) memiliki perilaku yang selalu disegani.
(5) Memiliki akhlak mulia dan dapat menjadi
teladan. Dalam sub kompetensi ini, indikator
esensialnya:
(a) bertindak
sesuai
dengan norma religius
(imtaq, jujur, ikhlas, suka menolong),
(b) memiliki perilaku yang dapat diteladani
peserta didik.

c. Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional, berdasarkan Peraturan
Pemerintah

Nomor

19

Tahun

2005

merupakan

kemampuan yang berkenaan dengan penguasaan materi
pembelajaran bidang studi secara luas dan mendalam
yang

mencakup

penguasaan

substansi

isi

materi

kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi
keilmuan yang menaungi materi kurikulum tersebut,
dan

menambah

wawasan

keilmuan

sebagai

guru.

Elemen kompetensi tersebut memiliki sub kompetensi
dan indikator esensial sebagai berikut:
(1) Menguasai substansi keilmuan bidang studi dan
ilmu lain yang terkait dengan bidang studi yang
diampu. Sub kompetensi ini memiliki indikator
esensial:
(a) memahami materi ajar yang terdapat dalam
kurikulum sekolah;
(b) memahami struktur, konsep dan metode
keilmuan yang menaungi atau koheren dengan
materi ajar;
(c) memahami adanya hubungan konsep antar
mata pelajaran terkait; dan
(d) menerapkan konsep - konsep keilmuan dalam
kehidupan sehari-hari.
(2) Menguasai langkah – langkah penelitian dan
kajian kritis untuk menambah wawasan dan
memperdalam pengetahuan/materi bidang studi.

25

d. Kompetensi Sosial
Kompetensi

sosial,

berdasarkan

Peraturan

Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 adalah berkenaan
dengan

kemampuan

pendidik

sebagai

bagian

dari

masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara
efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga
kependidikan, dan orangtua/wali peserta didik, serta
masyarakat sekitar sekolah. Kompetensi ini memiliki sub
kompetensi dengan indikator esensial sebagai berikut:
(1) Mampu berkomunikasi dan bergaul secara
efektif dengan peserta didik. Subkompetensi ini
mempunyai indikator esensial: berkomunikasi
secara efektif dengan peserta didik.
(2) Mampu
menjalin komunikasi
dan
bergaul
secara efektif dengan sesama guru dan tenaga
kependidikan.
(3) Dapat
berkomunikasi
dan
bergaul secara
efektif dengan orangtua/wali peserta didik dan
masyarakat
sekitar
untuk
kepentingan
pendidikan.

Empat kompetensi di atas pada dasarnya tidak
terpisah secara eksplisit satu sama lain, tetapi menyatu
menjadi satu kesatuan sebagai kompetensi guru. Dalam hal
ini yang perlu diperhatikan adalah bahwa kompetensi
seseorang, termasuk guru, adalah tidak tetap dari waktu ke
waktu, ada saatnya mengembang tetapi adakalanya juga
menurun. Oleh karena itu, guru perlu selalu berusaha
untuk meningkatkan kompetensinya.
2.1.5 Profesi Guru
Menurut Arni Muhammad (2005), bahwa profesi pada
hakikatnya adalah suatu pernyataan atau suatu janji
terbuka

yang

menyatakan

bahwa

seseorang

itu

26

mengabdikan dirinya pada suatu jabatan atau pelayan
karena orang tersebut merasa terpanggil untuk menjabat
pekerjaan itu. Sedangkan Ramayulis (2013), mengartikan
profesi sebagai suatu pekerjaan tertentu yang menuntut
persyaratan khusus dan istimewa sehingga memperoleh
kepercayaan pihak yang membutuhkan.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, menyebutkan bahwa jabatan
guru sebagai pendidik merupakan jabatan profesional. Oleh
karena itu, sebagai guru profesional dituntut untuk terusmenerus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman,
ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebutuhan masyarakat
termasuk kebutuhan terhadap sumber daya manusia yang
berkualitas

dan

memiliki

kapabilitas

untuk

mampu

bersaing di forum regional, nasional, maupun internasional.
Dalam hal ini dipertegas kembali pada Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen yang menyebut profesi guru sebagai profesi yang
sejajar dengan dosen di perguruan tinggi. Berdasarkan
pernyataan tersebut jelaslah bahwa pekerjaan guru adalah
profesi, karena seorang guru harus sanggup dan rela
mengabdikan dirinya demi membimbing, mengajar, serta
mendidik peserta didik agar nantinya berguna bagi dirinya
sendiri, orang lain dan negara. Dengan demikian profesi
guru

tersebut

merupakan

panggilan

jiwanya

sendiri,

sehingga dia bertanggung jawab terhadap profesinya itu.
Sedangkan hakekat guru sebagai suatu profesi menurut
Arni Muhammad (2005), adalah memahami tentang harkat
dan martabat guru, kompetensi apa saja yang harus
dimiliki guru agar dapat menjadi guru yang professional,
wadah atau organisasi profesi apa saja yang dapat dijadikan

27

tempat bagi guru memperjuangkan hak-haknya dan juga
untuk meningkatkan wawasan dan profesionalismenya, dan
memahami norma yang harus dipedomani dan di patuhi.
Berdasarkan pasal 41 Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2005 dijelaskan bahwa sebagai suatu profesi, maka
guru memiliki organisasi profesi. Organisasi profesi yang
dibentuk tersebut bersifat independen dan berfungsi untuk
memajukan profesi, meningkatkan kompetensi dan karier,
wawasan

kependidikan,

perlindungan

profesi

dan

kesejahteraan, serta pengabdian kepada masyarakat. Pada
pasal ini juga dijelaskan bahwa guru wajib menjadi anggota
organisasi profesi.
2.1.6 Kualitas Pembelajaran
Kualitas pembelajaran sangat menentukan tinggi
rendahnya
dipengaruhi

kualitas
oleh

pendidikan.

ketersediaan

Kualitas
sarana

pembelajaran

dan

prasarana

pembelajaran, serta aktivitas dan kreativitas guru dan siswa
dalam proses belajar mengajar (Depdiknas 2004).
Dalam Undang-undang Guru dan Dosen Tahun 2005
pada pasal 10 disebutkan bahwa kegiatan belajar mengajar
akan

berkualitas

apabila

didukung

oleh

guru

yang

professional memiliki kompetensi professional, pedagogik,
kepribadian,

dan

sosial.

Di

samping

itu,

kualitas

pembelajaran juga dapat maksimal jika didukung oleh
siswa yang berkualitas (cerdas, memiliki motivasi belajar
yang tinggi dan sikap positif dalam belajar) dan didukung
sarana-prasarana

pembelajaran

yang

memadai.

Oleh

karena itu guru yang profesional dimungkinkan akan
memiliki kinerja yang baik, dan begitu pula

siswa yang

berkualitas memungkinkan siswa memiliki perilaku yang

28

positif

dalam

kegiatan

belajar

mengajar.

Sedangkan

interaksi belajar mengajar antara guru dengan siswa yang
positif akan mewujudkan budaya kelas yang positif dan
impresif

atau

iklim

kelas

(classroom

climate)

yang

mendukung untuk proses belajar siswa. Oleh karena itu,
seluruh

pendukung

kegiatan

belajar

mengajar

harus

tersedia sebagaimana dikatakan Cox (2006) bahwa ”the
quality of an instructional program is comparised of three
elements, materials (and equipment), activities and people”.
Secara garis besar, terdapat dua variabel yang
dapat

mempengaruhi keberhasilan belajar siswa, yaitu

ketersediaan dan dukungan input, serta kualitas proses
pembelajaran (Depdiknas 2004). Input terdiri dari siswa,
guru,

dan

kualitas

sarana-prasarana
pembelajaran

menunjukkan

seberapa

pembelajaran.

merupakan
tinggi

kualitas

Sedangkan

ukuran

yang

interaksi

guru

dengan siswa dalam proses pembelajaran dalam rangka
pencapaian tujuan tertentu. Kemudian kegiatan belajar
mengajar tersebut dilaksanakan dalam suasana tertentu
dengan dukungan sarana dan prasarana pembelajaran
tertentu

pula.

pembelajaran

Dengan
sangat

demikian,

bergantung

keberhasilan
kepada

guru,

proses
siswa,

sarana pembelajaran, lingkungan kelas, dan budaya kelas.
Keseluruhan indikator tersebut harus saling mendukung
dalam

sebuah

sistem

kegiatan

pembelajaran

yang

berkualitas.
Untuk mengetahui tingkat kualitas pembelajaran
dalam kegiatan belajar mengajar, perlu diketahui dan
dirumuskan

indikator-indikator

kualitas

pembelajaran.

Morrison, Mokashi & Cotter dalam Eko Putro Widoyoko
(2009), dalam risetnya telah merumuskan 44 indikator

29

kualitas pembelajaran yang direduksi kedalam sepuluh
indikator.

Kesepuluh

indikator

kualitas

pembelajaran

tersebut meliputi:
1. Lingkungan fisik mampu menumbuhkan semangat
siswa untuk belajar;
2. Iklim kelas kondusif untuk belajar;
3. Guru menyampaikan pelajaran dengan jelas dan
semua siswa mempunyai keinginan untuk berhasil;
4. Guru
menyampaikan pelajaran secara sistematis
dan terfokus;
5. Guru menyajikan materi dengan bijaksana;
6. Pembelajaran
bersifat
riil
(autentik dengan
permasalahan yang dihadapi masyarakat dan siswa);
7. Ada penilaian diagnostik yang dilakukan secara
periodik ;
8. Membaca dan menulis
sebagai
kegiatan yang
esensial dalam pembelajaran;
9. Menggunakan pertimbangan
yang
rasional
dalam memecahkan masalah;
10. Menggunakan teknologi pembelajaran, baik ketika
mengajar maupun untuk kegiatan belajar siswa.

2.1.7 Pelayanan Pendidikan Bermutu
Istilah mutu selama ini sama artinya dengan kualitas.
Berkaitan dengan kualitas ini, Vincent Gaspersz (2001),
mengemukakan bahwa :
a. Kualitas
terdiri
dari
sejumlah keistimewaan
produk, baik berupa keistimewaan langsung, maupun
keistimewaan atraktif yang memenuhi keinginan
pelanggan
dan
dengan
demikian
memberikan
kepuasan atas penggunaan produk itu.
b. Kualitas terdiri dari segala sesuatu yang bebas dari
kekurangan atau kerusakan.

Pelayanan pendidikan yang bermutu, menurut Ikke
Dewi Sartika (2002), merupakan pemberian layanan jasa
pendidikan di sekolah yang dapat memberikan kepuasan
kepada para siswa di sekolah dan masyarakat atau orang
tua siswa. Kemudian didalam Kebijakan Akreditasi Sekolah,
juga dikemukakan bahwa mutu pelayanan pendidikan

30

adalah jaminan bahwa proses penyelenggaraan pendidikan
di sekolah sesuai dengan yang seharusnya terjadi dan
sesuai pula dengan yang diharapkan agar mutu pendidikan
itu sesuai dengan apa yang seharusnya dan apa yang
diharapkan yang dijadikan pagu (benchmark)" (Depdiknas
2004).
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka yang
dimaksud dengan mutu pelayanan pendidikan adalah
adanya jaminan proses atau layanan penyelenggaraan
pendidikan di sekolah yang sesuai dengan standar yang
telah ditetapkan dan mampu memenuhi keinginan para
siswa dan masyarakat (kepuasan pelanggan).
Lebih lanjut tentang alasan pentingnya pelayanan
pendidikan

yang

bermutu

Ikke

Dewi

Sartika

(2002),

mengemukakan bahwa jaminan kualitas pada hakekatnya
berhubungan

dengan

bagaimana

menentukan

dan

menyampaikan apa yang dipromosikan kepada konsumen,
kemudian

memperbaiki

proses

penentuan

apa

yang

pelanggan inginkan untuk merancang kualitas produksi
dan prosesnya menggunakan metode seperti penyebaran
fungsi kualitas (Quality Function Development). Akan tetapi
jika kualitas ditetapkan sebagai kepuasan pelanggan, maka
produksi mengikuti kualitas yang diharapkan melalui
proses yang melayani pelanggan.
Pelayanan pendidikan yang bermutu sangat penting.
Konsumen

(pelanggan)

senantiasa

ingin

memperoleh

kepuasan layanan dari jasa pendidikan yang diberikan
sekolah,

karena

para

siswa

dan

masyarakat

sebagai

pelanggan jasa pendidikan menaruh harapan yang besar
terhadap

sekolah

dalam

rangka

mengantisipasi

dan

menjawab tantangan kehidupan di masa yang datang. Oleh

31

karena itu, mutu pendidikan berkaitan erat dengan proses
pendidikan dan tanpa adanya proses pelayanan pendidikan
yang bermutu maka tidak mungkin diperoleh produk
layanan yang bermutu, atau dengan kata lain tidak akan
pernah

ada

kepuasan

pelanggan

(para

siswa

dan

masyarakat).
Menurut Dedi Supriadi (1999), guru ideal harus
mampu memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu
bagi siswa dengan bertindak sebagai pelatih, konselor, dan
manajer

belajar.

Sebagai

pelatih

(coach),

guru

perlu

berperan seperti pelatih olahraga. Dia akan lebih banyak
membantu siswa ketika dalam “permainan”. Hanya bedanya
permainan tersebut adalah belajar (game of learning).
Sebagai konselor guru akan menjadi sahabat bagi siswa,
teladan dalam pribadi yang mengundang rasa hormat dan
keakraban dari siswa. Sedangkan sebagai manajer belajar
guru akan bertindak ibarat manajer perusahaan yaitu
membimbing siswanya dalam belajar, mengambil prakarsa,
dan mengeluarkan ide-ide terbaik yang dimilikinya. Akan
tetapi di pihak lain, dia merupakan bagian dari siswa, yang
ikut belajar bersama mereka sebagai “pelajar”. Guru juga
belajar dari teman seprofesinya melalui model “team
teaching” yang sudah dikenal.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka yang
dimaksud pelayanan pendidikan bermutu adalah adanya
jaminan proses atau layanan penyelenggaraan pendidikan
di sekolah oleh guru, yang sesuai dengan standar yang
telah ditetapkan dan mampu memenuhi keinginan para
siswa dan masyarakat (kepuasan pelanggan).

32

2.2 Kajian Riset Terdahulu
Terkait dengan penelitian evaluasi ini, telah ada
beberapa penelitian yang terdahulu, yaitu:
1. Penelitian

oleh

Badrun Kartowagiran (2011), dengan

judul Kinerja Guru Profesional Pasca Sertifikasi, yang
menyimpulkan bahwa kinerja sebagaian guru profesional
di kabupaten Sleman belum baik, karena
indikator yang diteliti,

sebanyak

dari 17

7 indikator

pada

kategori baik, sedangkan 10 indikator lainnya pada
kategori belum baik. Selengkapnya hasil penelitian
tersebut sebagai berikut:
(1) dapat (a) menyusun RPP dan (b) melaksanakan
pembelajaran dengan baik; (2) berdasarkan penilaian
kepala sekolah, (a) kompetensi kepribadian dan (b)
kompetensi sosial nya sangat baik; (3) upaya sebagian
besar guru dalam membimbing siswa mengikuti lomba
atau olimpiade baik; (4) usaha sebagian besar guru
dalam (a) membuat modul dan (b) membuat media
pembelajaran baik; (5) upaya atau aktivitas sebagian
besar guru dalam (a) melakukan penulisan artikel, (b)
penelitian, (c) membuat karya seni/teknologi, (d)
menulis soal UNAS, (e) menelaah (mereview) buku, (f)
mengikuti kursus Bahasa Inggris, (g) mengikuti diklat,
dan (h) mengikuti forum ilmiah belum baik meskipun
ada sebagian (47,5%) guru yang gigih mencari
informasi diklat atau forum ilmiah yang mungkin
diikuti; dan (6) aktivitas di organisasi: (a) (47,5%) guru
menjadi pengurus organisasi sosial, dan (b) 30%
menjadi pengurus organisasi pendidikan.

2. Hasil

penelitian

Evaluasi

Program

Kegiatan

Kelompok Kerja Guru Madrasah Ibtidaiyah (KKG-MI)
Cemara Jaya di Lingkungan Kantor Kementrian Agama
Kabupaten Halmahera Timur, oleh Yamin Latief Tjokra
pada tahun 2011 menunjukkan bahwa kompetensi

33

paedagogik

dan

kompetensi

profesional

guru-guru

Madrasah Ibtidaiyah masih pada taraf sedang.
3. Penelitan yang dilakukan oleh Yasbiati (2010) dengan
judul

Pengaruh

persepsi

guru

tentang

sertifikasi

terhadap kualitas pembelajaran di SDN Nagarawangi
Tasikmalaya menyimpulkan bahwa terdapat hubungan
antara persepsi guru tentang sertifikasi dengan kualitas
pembelajaran di SD Negeri Nagarawangi 1 Tasikmalaya.
Hasil penelitian ini terkait dengan penelitian yang akan
penulis

lakukan

karena

penulis

ingin

mengetahui

keterkaitan antara pemberian tunjangan profesi dengan
peningkatkan mutu pembelajaran khususnya di tingkat
SMP.
4. Penelitian

yang

dilakukan

oleh

Lyimo (2014), yang

berjudul Analysis of Teachers’ Low Payment in Tanzania:
A Case Study of Public Secondary Schools in Moshi Rural
District,

mengungkapkan

bahwa

adanya

gaji

guru

sekolah dasar yang tidak cukup dan tertundanya
pembayaran tunjangan guru menyebabkan guru-guru
melakukan aktivitas tambahan diluar mengajar yang
secara ekonomi lebih menjanjikan. Akhirnya guru juga
sering membolos mengajar demi aktivitas tambahannya
tersebut sehingga berdampak pada kacaunya aktivitas
pembelajaran. Oleh karena itu, pemberian tunjangan
kepada

guru

ini

sangat

pembelajaran peserta didik.

besar

pengaruhnya

bagi

34

5. Penelitian yang dilakukan Meke (2013), yang berjudul
Teacher Motivation and Implementation of Continuing
Professional

Development

Programmes

in

Malawi

menyimpulkan bahwa di Malawi, melalui CPD training
dapat diketahui, bahwa sedikitnya tunjangan guru yang
diterima

telah

menimbulkan

kondisi

kurangnya

pelayanan guru. Karena itu tunjangan guru perlu
diberikan

sebagaimana

gaji, promosi, dan akomodasi

seperti selama ini, yang secara nyata telah berkontribusi
mengatasi

rendahnya

motivasi

guru

dalam

mengimplementasi pembelajaran secara efektif di kelas
sebagaimana ketika mereka belajar di CPD training.
Pemerintah dan stakeholder
adanya

faktor-faktor

harus

demotivasi

terpanggil dengan
guru

dalam

mengimplementasikan pembelajarannya ini, sehingga
program-program
direalisasikan.

CPD

yang

diperoleh

guru

dapat

35

2.3 Kerangka Pikir Penelitian

1.

Menentukan/menetapkan
Tujuan
atau
sasaransasaran

2.

Mengklasifikasi tujuan atau
sasaran-sasaran

3.

Menegaskan sasaran dalam
bentuk perilaku

4.

Menemukan situasi-situasi
dalam pencapaian tujuan
yang dapat dilihat

5.

Memilih teknik pengukuran

6.

Mengumpulkan
kerja

Tujuan Program yang
telah ditetapkan
Kemdikbud RI

Pemberian Tunjangan
Profesi Guru di SMP
N 1 Pageruyung

data

hasil

Rekomendasi
7.

Kepala Sekolah

Membandingkan data hasil
kerja dengan tujuan yang
telah ditetapkan

Tindak lanjut Evaluasi

Gambar 1. Alur Penelitian Evaluasi Program Tunjangan
Profesi guru di SMP Negeri 1 Pageruyung

36

Berdasarkan pada tujuan program tunjangan profesi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2013,
maka diketahui terdapat aspek evaluasi, yaitu:
a. Evaluasi Input yang meliputi aspek:
(1) Mengangkat martabat guru.
(2) Meningkatkan kompetensi guru.
(3) Memajukan profesi guru.
b. Evaluasi Output yang meliputi aspek:
(1) Meningkatkan mutu pembelajaran.
(2) Meningkatkan

pelayanan

pendidikan

yang

bermutu
Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi tingkat
ketercapaian tujuan program tunjangan profesi di SMP
Negeri

1

Pageruyung

menggunakan

Kabupaten

langkah-langkah

Kendal,

evaluasi

dengan

model

Ralph

Winfred Tyler, yaitu:
a. Menentukan tujuan secara jelas;
b. Mengklasifikasikan tujuan-tujuan tersebut;
c. Mendefinisikan

tujuan-tujuan

dalam

istilah perilaku

terukur;
d. Temukan situasi dimana prestasi atau tujuan dapat
diperlihatkan;
e. Mengembangkan

atau

memilih

teknik

-

teknik

pengukuran;
f. Mengumpulkan data, dan
g. Membandingkan

data

dengan

tujuan-tujuan yang

dinyatakan dalam perilaku terukur.
Hasil

evaluasi

direkomendasikan

kepada

kepala

sekolah untuk ditindaklanjuti sebagai perbaikan yang
berkelanjutan guna ketercapaian tujuan tunjangan profesi
di SMP Negeri 1 Pageruyung.

Dokumen yang terkait

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

AN ANALYSIS OF GRAMMATICAL ERRORS IN WRITING DESCRIPTIVE PARAGRAPH MADE BY THE SECOND YEAR STUDENTS OF SMP MUHAMMADIYAH 06 DAU MALANG

44 306 18

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63