Model model dan Evangelisasi Alternatif

STF DRIYARKARA

Extension Course Teologi Melakukan Evangelisasi atau “mati” 2012

Model-model Evangelisasi Alternatif

Rm. Alfonsus Widhi sx

Pengantar

Dengan bahasa apa Yesus kristus hendak diwartakan pada manusia zaman sekarang? Inilah pertanyaan dasar dan mendesak untuk menjawab perintah Kristus untuk mewartakan Injil-Nya sampai ke penjuru dunia. Perintah ini tetap sama dan bagi setiap generasi katolik, evangelisasi itu selalu baru dan aktual. Namun angin pembaharuan muncul ketika berbagai skenario situasi sosial menginterpelasi Gereja untuk lebih kreatif dalam memberikan alasan yang tepat tentang pengharapan yang terus dibawanya.

Paper ini merupakan salah satu upaya untuk tetap menjaga kebaruan dan aktualitas metode berevangelisasi agar iman kepada Yesus Kristus, yang merupakan inti pewartaan katolik, sampai kepada mereka yang mendengarnya dalam berbagai konteks kultural dimana mereka tinggal.

Resiko dari bab ini adalah terjebak ke dalam upaya mencari variasi metode evangelisasi dengan mengesampingkan inti pokok evangelisasi itu sendiri yang harus diwartakan. Untuk menghindarinya, akan dimulai dahulu dengan menjernihkan beberapa istilah pokok pada bagian pertama, dilanjutkan dengan pembacaan kritis tentang manusia dan dunia, berikut tanda-tanda zaman yang menyertainya. Bagian terakhir menguraikan beberapa matriks untuk membuat sebuah model evangelisasi alternatif.

2 Extension Course Teologi STFD: Model-model evangelisasi alternatif

1.1 Jatidiri Evangelisasi

Istilah evangelisasi mengacu pada misi Gereja universal, yang menerima perutusan dari Yesus Kristus yang mempercayakan karya misi-Nya kepada para rasul. Allah yang sama tetap hadir di tengah-tengah Gereja dan mendorongnya untuk tetap setia pada misi yang telah diembannya, agar Kerajaan Allah sampai kepada hati setiap orang di setiap tempat di segala penjuru bumi.

Melihat kompleksitas dan bobot dari tugas ini, mengartikan evangelisasi sebagai sebuah kegiatan pengajaran doktrin Gereja akan mereduksi kekayaan makna yang

terkandung di dalamnya 1 . Evangelisasi berarti «menjadikan diri sebagai sarana kehadiran dan tindakan Allah di dunia» 2 . Siapapun memiliki peluang untuk menjadi

pewarta injil Yesus Kristus dalam kata dan tindakan. Bahkan Paulus pun mewajibkan dirinya sendiri! 3

Namun, jika kita menelaah asal usulnya, perintah evangelisasi ini berasal dari Yesus sendiri yang memberikan mandat kepada para rasul 4 . Melalui Gereja, mandat

ini dilanggengkan dan diteruskan kepada dunia 5 . Maka, subyek pokok yang dituju dari karya evangelisasi ini adalah seluruh umat manusia. Mereka semua memiliki hak

untuk dapat mendengar kabar baik yang berasal dari Allah yang terwahyukan di dalam Yesus Kristus 6 . Permasalahan muncul ketika makna evangelisasi mulai

didamaikan dengan konteks dan dialternatifkan baik metode dan isinya, atau si pewarta sendiri meragukan kualitas imannya. Misalnya, cukup membantu sesama untuk lebih menjadi dirinya sendiri atau lebih taat pada agamanya; cukup aksi sosial dan solidaritas dalam perdamaian dan keadilan; atau cukup menjabarkan ide personal tentang kehidupan dan bertindak sesuai dengan kesadaran nurani. Ini semuanya baik,

tetapi tidak cukup 7 . Apakah dengan menyatakan iman katolik, iman kepada Yesus Kristus sebagai

Putera Allah, keanggotaannya di dalam Gereja katolik memperoleh konotasi sebagai seorang fanatik, membatasi dan mengancam kebebasan orang lain dalam mengekspresikan imannya? Apakah pengakuan dan pernyataan kebenaran iman ini merupakan serangan terhadap kebebasan beragama? Di sinilah krisis yang sering dihidupi oleh para saksi Kristus. Kebebasan manusia tidak pernah terlepas dari ikatan Kebenaran. Inilah ancaman paling nyata dari relativisme. Dengan tidak memiliki

1 Evangelisasi merupakan sebuah proses yang kompleks dan mengikutsertakan berbagai elemen seperti: pembaharuan kehidupan manusia, kesaksian, pewartaan eksplisit, keterlibatan hati, partisipasi dan keterlibatan di dalam komunitas,

penerimaan tanda-tanda dan beragam inisiatif kerasulan. Bdk. EN 24. 2 CDF, «Doctrinal note on some aspects of evangelization», n° 2, 3 Desember 2007, di http://www.vatican.va/

roman_curia/congregations/cfaith/documents/rc_con_cfaith_doc_20071203_nota-evangelizzazione_it.html 3 Bdk. Gal 2,20; 1Kor 9,16; Fil 1,21; Rm 10, 14.

4 Bdk. Mt 28,19-20; Mc 16, 15; Lc 24, 4-7; At 1, 3 5 Bdk. B ENEDIKTUS , PP. XVI, «Ubicumque et semper», 21 September 2010, di http://www.vatican.va/ holy_father/

benedict_xvi/ apost_letters/documents/hf_ben-xvi_apl_20100921_ubicumque-e-semper_it.html 6 Bdk. RM 46 dan EN 53. 80.

7 CDF, «Doctrinal note on some aspects of evangelization», n° 4.

Penjernihan istilah

sebuah acuan tetap dan definitif, maka ia memberikan ruang terbuka pada ego sebagai skala kebenaran. Nampaknya manusia berkarakter relativisme itu bahagia dan bebas, namun, dia terpenjara oleh dirinya sendiri karena terpisah dengan manusia relativis yang hidup dalam skala kebenarannya sendiri. Dampaknya, manusia yang terstruktur seperti ini tidak memiliki basis kuat untuk meyakini keindahan nilai-nilai kehidupan, nilai-nilai iman, relasi yang terjalin karenanya, validitas niat dan kerja

kerasnya untuk membangun dunia bersama dengan komunitas 8 . Ancaman kedua muncul dari indiferentisme di dalam kemajemukan. Ideologi ini

diduga muncul dari timur dengan konsep keseimbangan alam. Segala sesuatu berasal dari yang sama dan akan kembali kepada sumber yang sama. Jika semua itu baik, semua itu benar, tidak ada yang eksklusif, lalu mengapa ada berbagai macam warna ekspresi kehidupan beriman dan beragama? Mengapa ada perbedaan yang amat signifikan hingga melahirkan doktrin-doktrin yang bertentangan? Ketika diterapkan dalam kehidupan religius, konsep ini berimbas pada penyamarataan semua aliran kepercayaan pada level yang sama, beserta kompleksitas di dalamnya, seperti ajaran iman, liturgi, komunitas beriman dan hirarkinya, meskipun ada perbedaan yang tidak

dapat diperdamaikan 9 . Ini bukan sikap dialogis. Di sinilah peran kunci pengalaman iman yang dihidupi oleh masing-masing subyek beriman. Maka, interogatif yang

disodorkan adalah apakah subyek sudah menemukan jawaban atas pertanyaan- pertanyaan dasar di dalam hidupnya? Sejauh mana dia memaknai kehidupan dan inti jatidiri dari keberadaannya? Bagi orang katolik khususnya, harta terindah apakah yang sudah ditemukan di dalam kehidupan beriman secara katolik?

Berikutnya datang dari individualisme spiritual. Sikap autosuficiensi ini menghalangi manusia untuk terbuka, untuk saling berbagi pengalaman iman bahkan bisa mendiskriminasikan hak untuk mengekspresikan pendapat dan keyakinan iman personal. Justru ketika manusia terbuka, menundukkan diri dan berlutut di depan Pribadi lain dengan cinta kasih, karena Dia telah memberikan arti dan makna pada keberadaannya, di saat itulah dia berproses dalam iman dan kebenaran. Sikap dasar evangelisasi ini dimungkinkan karena dia memiliki disposisi batin altruis. Di sisi lain,

ada «kebenaran yang menuntut supaya diterima berdasarkan kebenaran itu sendiri» 10 . Dengan demikian, evangelisasi adalah sebuah proses saling memperkaya, baik jatidiri

pewarta, yang menerima pewartaan dan Gereja universal.

1.2 Model-model alternatif

Evangelisasi bagi Yesus bertujuan menarik banyak orang ke dalam relasi yang intim dengan Allah Bapa dan Roh Kudus. Berbagai macam metode yang ditawarkan oleh Yesus dengan pengajaran, penyembuhan, berbagai macam mujijat dan salib, yang mengarahkan manusia untuk merasakan bahwa dirinya dicintai oleh Allah.

8 Bdk. B ENEDIKTUS , PP. XVI, «Discorso all’apertura del convegno ecclesiale della diocesi di Roma su famiglia e comunità cristiana», 6 juni 2005, di http://www.vatican.va/holy_father/benedict_xvi/speeches/2005/june/documents/ hf_ben-xvi_spe_20050606_convegno-famiglia_it.html

9 Bdk. FR 5. 10 Bdk. DH 1.

4 Extension Course Teologi STFD: Model-model evangelisasi alternatif

Pengalaman ini sekaligus merupakan undangan untuk lebih mengenal wajah Allah yang penuh kasih dan kemurahan hati 11 .

Pusat perhatian di dalam artikel ini terfokus pada bagaimana isi iman yang sama, yang diwariskan oleh para rasul hingga saat ini bisa tetap terjaga keutuhannya dalam berbagai konteks dunia yang terus berubah. Menjelaskan makna «model-model alternatif» di dalam koridor sebuah pewartaan injil bisa bermacam-macam. Sepertinya menjadi tuntutan zaman ini agar manusia beserta dengan segala kegiatannya itu menjadi terus up date. Menggunakan produk lama akan dinilai sebagai kuno dan tidak menarik lagi. Apakah logika konsumerisme ini bisa merasuk ke dalam logika hidup beriman?

Penggunaan istilah «model-model alternatif» merujuk pada sebuah modalitas berbeda di dalam pewartaan. Keberbedaan ini adalah sebuah fakta konkret dari keanekaragaman bangsa yang telah, sedang dan akan menerima pewartaan. Menjadi saksi Kristus di Indonesia atau di Italia, di Jakarta atau di Merauke, di pegunungan atau di tepi pantai, itu berbeda caranya. Inilah keindahan kekayaan iman katolik yang bisa tumbuh dan berkembang dimana-mana.

Penerapan variasi model-model evangelisasi tidak bisa mengikuti jalur arogansi dan kesombongan yang mengalir dari superioritas terhadap doktrin dari agama dan kepercayaan yang lain. Sejauh jantung evangelisasi tetap berpegang pada Yesus Kristus, pertemuan dengan-Nya meminta sebuah pendekatan yang mengijinkan untuk melihat isi yang diwartakan. Tiga sikap yang perlu dibangun adalah kelemah

lembutan 12 , menghargai orang yang sedang berproses untuk mencari dan ketulusan hati nurani untuk melihat koherensi antara Sabda yang diwartakan dan kesaksian

hidup yang sedang dijalani. Dengan demikian, tujuan keanekaragaman model evangelisasi adalah untuk

mewartakan Yesus Kristus, Putera Allah yang dalam misteri wafat dan kebangkitannya telah menebus dunia. Dengan penebusan itu, Dia membukakan pintu kepada kehidupan kekal. Apakah mungkin menggantikan pokok iman ini dengan ajaran yang lain? Tentu tidak. Penggunaan kata benda «model-model» tidak mengalternatifkan inti ajaran iman Gereja, melainkan cara bagaimana iman itu diwartakan secara kontekstual. Maka, isi dari evangelisasi itu tidaklah sebuah alternatif yang bisa dipakai atau tidak, melainkan sebuah inti ajaran iman yang telah dihidupi dan akan terus memberi kehidupan bagi siapa saja yang mendengarkan dan melaksanakannya.

1.3 Kategori isi: berpusat pada Yesus Kristus

«Yesus Kristus itu sana dahulu, sekarang dan selamanya» 13 menjadi inti pokok evangelisasi di dalam Gereja Katolik. Kebenaran yang disampaikan merupakan harga

mati yang tidak berubah. Perjalanan sejarah gereja di dalam dua millennium pertama

11 S INODO DEI VESCOVI , «Instrumentum laboris della XIII Assemblea generale ordinaria: La nuova evangelizzazione per la trasmissione della fede cristiana», n° 23, 27 Mei 2012, di http://www.vatican.va/roman_curia/synod/documents/

rc_synod_doc_20120619_ instrumentum-xiii_it.html 12 Bdk. 2 Tim 2,24-25.

13 Ibr 13,8.

Penjernihan istilah

telah menunjukkan berbagai model evangelisasi dari para pewarta iman, baik awam, imam maupun religius. Keanekaragaman model dan gaya hidup mereka tidak merubah, bahkan memperdalam kekayaan iman kita yang terangkum di dalam Yesus Kristus. Misalnya, di dalam kesaksian hidupnya yang menarik banyak orang, Paulus menampakkan kepribadian Yesus Kristus yang telah mentransformasi kehidupannya. Gaya hidup pewarta ini menjadi realisasi terpercaya dari apa yang diwartakannya. Inti pewartaan iman ini memperoleh realisasinya tidak hanya di dalam pengajaran tentang doktrin-doktrin iman yang terangkum di dalam credo, melainkan juga dengan memberikan diri menjadi sarana kehadiran dan tindakan Allah dengan kata dan aksi

injili di dalam dunia 14 . Setiap orang yang mengalami pemberitaan injil, tidak mungkin tidak bersuara dan bersaksi tentang karya ajaib yang telah diperbuat Allah

di dalam diri mereka. Petrus dan Yohanes pun memberi kesaksian bahwa «tidak mungkin bagi kami untuk tidak berkata-kata tentang apa yang telah kami lihat dan

yang telah kami dengar» 15 . Namun, tidak cukup pengalaman iman personal sebagai bahan pokok menjadi

saksi Kristus. Beriman secara dewasa dan bertanggung jawab menuntut pemahaman kebenaran-kebenaran iman yang terangkum dalam credo, yang dijelaskan di dalam katekismus, diperdalam oleh magisterium Gereja dan yang telah dihidupi oleh para orang kudus sehingga mereka menjadi model kita dalam mengikuti jejak Kristus. Pemahaman ini akan memberi bobot makna pada iman yang dihidupi dalam doa, dalam perayaan liturgi, dalam katekese dan dalam berbagai aspek kehidupan sehari- hari. Dengan demikian, dinamika hidup beriman tidak tereduksi pada insting afektivitas, melainkan juga mengenal pokok-pokok iman katolik.

Dengan pernyataan ini hendak ditekankan pertama-tama adalah isi dari pewartaan dan disusul dengan metodologinya. Tiga keterangan waktu yang mengikuti identitas Yesus menunjukkan titik orientasi tetap dan tidak berubah sepanjang masa. Dialah

16 batu penjuru 17 dan batu karang bagi mereka yang percaya kepada-Nya. Demikianlah dahulu, sekarang dan yang akan datang. Dengan kata lain, Yesus itu tetap sama dan

tidak akan berubah. Keteguhan doktrin ini kemudian disusul dengan ajakan untuk tidak disesatkan oleh berbagai-bagai ajaran asing 18 , tidak diombang-ambingkan oleh

rupa-rupa angin pengajaran 19 , tidak memberikan diri pada berbagi peraturan duniawi 20 , bersikap waspada melawan doktrin yang menyesatkan dan ajaran dari si

21 jahat 22 atau injil-injil yang lain .

1.4 Agen evangelisasi

Dari pihak penerima warta, diminta sikap kritis berkaitan dengan pewarta Sabda Allah. Tidak semua dari kelompok pembawa warta mewartakan Yesus dengan tujuan

14 Bdk. CDF, «Doctrinal note on some aspects of evangelization», n° 2. 15 Kis 4, 20 16 Bdk. Mt 21,42 17 Bdk. Mt 7,24-25 18 Bdk. Ibr 13,9. 19 Bdk. Ef 4,14. 20 Bdk. Kol 2,22. 21 Bdk. 1Tim 4,1. 22 Bdk. Gal 1,7-9.

6 Extension Course Teologi STFD: Model-model evangelisasi alternatif

murni pewartaan. Tidak jemu-jemunya Petrus meminta kewaspadaan di hadapan para

nabi palsu 24 , sementara Yohanes menyebut mereka sebagai penyesat . Dalam konteks modern, figur ini teraktualisasi di dalam diri para pewarta yang

tidak siap dan tidak disiapkan sungguh-sungguh, para pewarta yang menekankan aspek sentimentalisme di dalam pewartaan dengan memainkan orang yang berada dalam status psikologi yang lemah. Dampaknya, sambil menjanjikan sebuah impian kebahagiaan, kelompok pewarta ini tetap mengikat orang kepada kesepian dan

kesendirian yang lebih besar 25 . Dalam sebuah kunjungan ke Siprus, Paus Benediktus XVI menyatakan bahwa

«Gereja membutuhkan para imam yang baik, yang kudus dan yang dipersiapkan dengan baik […] Gereja membutuhkan imam – religius yang berserah diri seutuhnya

pada Allah dan mengabdikan dirinya untuk memperluas Kerajaan Allah di dunia» 26 . Inilah karakter figur pelaku evangelisasi, yang sebelum mewartakan apa yang

diimaninya, dia telah mengkomunikasikan terlebih dahulu injil yang hendak dia sampaikan dengan kehidupannya. Pada akhirnya, relasi yang terjalin antara pewarta dan penerima pewartaan membuka pintu «metanoia», pada pertobatan, yaitu transformasi mentalitas sebagai ungkapan pada kehidupan baru di dalam Kristus

menuju pada sebuah «imitatio Christi» 27 .

23 Bdk. 2Pt 2,1. 24 Bdk. 2Yoh 2,7. 25 Bdk. F ISICHELLA , R., La nuova evangelizzazione: una sfida per uscire dall’indifferenza, Milano 2011, 51. 26 Bdk B ENEDIKTUS , PP. XVI, «Meeting with the catholic community of Cyprus», 5 juni 2010 di http://www.vatican.va/

holy_father/benedict_xvi/speeches/ 2010/june/documents/hf_ben-xvi_spe_20100605_comunita-cattolica_it.html 27 Bdk. Gal 2, 20.

Konteks dunia evangelisasi

2.1 Visi tentang dunia

Kardinal G. Ravasi, dalam sebuah intervensi di dalam sinode tentang evangelisasi baru di Roma, mengilustrasikan beberapa visi tentang dunia evangelisasi yang tidak

bisa dihindari oleh semua saksi Kristus, semua pewarta, semua orang beriman 28 . Pertama berkaitan dengan bahasa. Bahasa merupakan sarana ekspresi jatidiri

manusia kepada manusia yang lain. Awal milenium ketiga ini ditandai dengan sebuah transisi dimana agen evangelisasi ditantang untuk memahami kanon-kanon baru komunikasi digital berikut nilai positif dan ancaman yang dibawanya, karena tidak hanya model berkomunikasi yang sedang dirubah, melainkan komunikasi itu sendiri. Maka, bisa dikonfirmasi bahwa saat ini, dunia sedang berada dalam sebuah transformasi budaya yang amat luas, yang tidak menyentuh satu atau dua benua,

agama, suku dan partai politik, melainkan semua 29 . Berikutnya adalah cakrawala sekularisasi. Ideologi ini tidak sanggup menghapus

pertanyaan-pertanyaan dasar yang dimiliki oleh manusia, keinginan dasar manusia akan perjumpaan dengan Yang Ilahi maupun nilai-nilai moral dasar yang ada di dalam lubuk hati manusia. I l “Cortile dei Gentili” yang diupayakan oleh Paus Benediktus XVI, dengan seruannya tentang «Tuhan yang tidak dikenal, tapi dicari

oleh banyak orang tidak beriman» sedang menunjukkan buahnya 30 . Aspek ketiga yang memegang peranan penting dalam evangelisasi adalah

kesenian. «Sebuah karya seni adalah buah dari kemampuan kreatif manusia, dimana ketika dihadapkan pada sebuah realitas terlihat, dia berusaha untuk bertanya, menguak makna terdalam dan mengkomunikasikan permenunganya melalui bahasa

bentuk, warna dan suara» 31 . Dunia ini perlu ditata kembali sesuai dengan gaya bahasa baru dan gaya berekspresi seni kontemporer tanpa kehilangan relasi dengan sakralitas

iman katolik.

28 Disarikan dari: R AVASI , G., «Intervento del Card. Ravasi al Sinodo della nuova evangelizzazione», 12 Oktober 2012, di http://www.vatican.va/news_services/press/sinodo/documents/bollettino_25_xiii-ordinaria-2012/xx_plurilingue/b12_

xx.html#-_S._Em._R._Card._Gianfranco_RAVASI,_Presidente_del_Pontificio_Consiglio_della_Cultura_%28CITT %C3%80_DEL_VATICANO%29.

29 Bdk. B ENEDIKTUS , PP. XVI., «Verità, annuncio e autenticità di vita nell’era digitale: Messaggio per la XLV giornata mondiale delle comunicazioni sociali», 5 juni 2011, di http://www.vatican.va/holy_father/benedict_xvi/messages/

communications/documents/hf_ben-xvi_mes_20110124_45th-world-communications-day_it.html

30 «Il cortile dei gentili» mengacu pada sebuah ruang terbuka di dataran yang luas di dekat Kuil Yerusalem, yang memungkinkan siapa saja yang bukan pemeluk agama Yahudi untuk mendekati Bait Allah dan bertanya tentang agama

ini. Di ruang terbuka ini, mereka bisa bertemu dengan ahli Taurat, berbicara tentang iman dan bahkan berdoa kepada Allah yang tidak dikenal. Bdk. B ENEDIKTUS , PP. XVI, «Video-messaggio nella serata conclusiva del Cortile dei gentili», 25 maret 2011, di http://www.vatican.va/holy_father/benedict_xvi/messages/pont-messages/2011/documents/ hf_ben-xvi_mes_20110325_parvis-gentils_it.html

31 Kadang-kadang di depan patung, lukisan, beberapa ayat dari sebuah puisi, atau karya musik, manusia mengalami emosi yang intim, rasa sukacita, memperoleh sebuah pemahaman atau kesadaran bahwa di depannya hadir tidak hanya

sebuah benda, sepotong marmer atau perunggu, kanvas dilukis, satu jajaran huruf atau kombinasi suara, melaikan sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang "berbicara", yang mampu menyentuh hati, mengkomunikasikan pesan bahkan mengangkat jiwa. B ENEDETTO , PP. XVI, «Udienza generale», 31 agustus 2011, di http://www.vatican.va/ holy_father/benedict_xvi/audiences/2011/ documents/hf_ben-xvi_aud_20110831_it.html

8 Extension Course Teologi STFD: Model-model evangelisasi alternatif

Aspek terakhir yang disodorkan oleh Kard. Ginfranco Ravasi adalah dunia ilmu pengetahuan dan teknologi yang mulai menjelajah di seluruh bumi. Kemajuan di bidang ini tidak hanya menciptakan sebuah dunia baru, melainkan sebuah kebudayaan baru. Bahkan cara berpikir, bertindak, cara mengidentifikasikan jatidiri dan struktur manusia pun berubah. Dalam dunia semacam ini, evangelisasi tidak boleh menutup sebelah mata. Saat ini mata kita bisa terbelalak penuh keterpesonaan pada kemampuan manusia untuk bekerja di dalam dunia dan upaya untuk menaklukkannya.

2.2 Visi tentang manusia: antropologi cultural

«Tanggalkanlah kasutmu dari kakimu, sebab tempat dimana engkau berdiri itu, adalah tanah yang kudus» 32 . Tradisi melepaskan sandal untuk masuk ke dalam rumah

yang bersih atau tempat yang sakral sering disertai dengan sebuah naluri untuk tidak mengotori tempat tersebut dengan kehadiran si pengunjung sendiri. Perintah Allah kepada Musa menyodorkan sebuah refleksi yang lebih menyentuh pada subyek. Bukan soal tempat dan ruang, melainkan karena pribadi yang hadir di tempat itulah yang merupakan penyebab utama mengapa dia harus menanggalkan kasut. Daya ilahi yang muncul dari subyek menyebar dan seolah-olah menguduskan tempat, ruang dan waktu di sekitarnya.

Ketika manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah 33 , ada sebuah unsur keilahian yang «mengikat» manusia kepada-Nya. St. Agustinus menuliskan ikatan itu

dalam sebuah puisi yang menggambarkan kerinduan untuk tinggal bersama dan terikat bersama dengan Allah.

Terlambat aku mencintaimu, Keindahan yang begitu antik dan begitu baru; terlambat aku mencintaimu. Engkau telah berada di dalam diriku, namun aku ada di luar. Aku berusaha mencarimu di sini dalam ketimpangan, sambil melemparkan diriku pada keindahan mahluk- mahluk ciptaan-Mu. Ketika engkau berada bersama denganku, aku tidak ada bersama dengan- Mu. Ciptaan-ciptaan-Mu itu telah menahanku jauh dari padamu. Seandainya jika mereka tidak ada di dalam Engkau, mereka tidak ber - ada sama sekali. Engkau telah memanggilku. Teriakmu telah menerobos ketulianku. Engkau bersinar dan cahaya-Mu menyilaukan kebutaanku. Engkau menyebarkan arum wangi-Mu, dan aku telah menghirupnya. Dan sekarang, aku mendambakan- Mu. Aku telah mengecap-Mu dan sekarang aku lapar dan haus akan Dikau. Engkau telah

menyentuhku dan sekarang aku terbakar oleh kerinduan akan kedamaian-Mu 34 .

Perjumpaan Musa dan St. Agustinus dengan Allah menyiratkan nilai sakralitas pribadi orang lain. Mereka, yang kepadanya manusia berelasi, itu sakral. Maka, «melepaskan kasut» merupakan prasyarat setiap perjumpaan. Setiap perjumpaan yang autentik selalu ditandai dengan semangat kemiskinan, saling «membuka kasut» untuk menghargai pribadi yang ada di depan kita. Kadang seseorang harus menjadikan dirinya kecil, melupakan diri dan menarik diri ke samping, agar «yang lain» bisa memunculkan jati diri yang real dalam integritasnya yang menyeluruh. Hanya dengan

32 Kel 3,5. 33 Bdk. Kej 1, 26-27. 34 Bdk. A GOSTINO , «Le confessioni», lib. XIII. X, 27, Alba 1978, 337-338.

Konteks dunia evangelisasi

cara seperti inilah manusia dapat mempersiapkan diri pada sebuah adven (kedatangan) yang baru 35 .

Dengan latar belakang ini, saya hendak merangkum tiga tipologi manusia di dalam konteks evangelisasi menurut Bevans dan Schroeder 36 . Tipologi pertama melihat

manusia sebagai ciptaan yang jatuh karena dosa asal. Akibatnya, manusia ini tidak sanggup untuk berelasi dengan Allah. Yang baik dari dia hanyalah roh. Diaplikasikan pada konteks evangelisasi, hal ini berdampak pada ketidakpercayaan akan kebaikan- kebaikan natural yang ada di dalam diri manusia, yang kepada mereka para saksi Injil diutus. Maka, yang menjadi sikap dasar dari para saksi iman ini adalah sikap superioritas paternalistik dalam relasi dengan orang lain. Dengan demikian, gambar Yesus yang dibawa oleh mereka tidak lain adalah sebuah Allah yang menebus mereka dari jurang kegelapan. Tipologi kedua memberikan kepercayaan kepada pengalaman dan akal budi manusia untuk mencapai Kebenaran. Terbalik dari tipologi pertama, di sini ada konsepsi bahwa segala sesuatu yang bercorak manusiawi itu baik. Dinamika pengetahuan manusia sanggup memilah-milah informasi, membangun sebuah konsep yang dia sudah kenal, merelasikannya satu sama lain dan pada akhirnya manusia diperbaharui dan diperkaya olehnya. Dalam konteks tipologi ini, evangelisasi berarti mendidik, membawa orang kepada Terang, membantu orang untuk mengenal apa yang sudah ada dan membawa dia keluar dari kegelapan. Latar belakang tipologi ketiga adalah Konstitusi GS 12 dan 13, yang menempatkan manusia sebagai puncak penciptaan, diciptakan seturut gambar dan rupa Allah dan memiliki perutusan untuk menaklukkan dunia. Keindahan ini dinodai oleh dosa yang

men-disorientasi kesatuan jatidiri sosialnya untuk berelasi dengan orang lain 37 . Namun demikian, manusia masih sanggup untuk merangkai sebuah pengalaman

38 transendensi untuk memahami kebenaran 39 , melakukan tindakan bermoral dan bertindak secara bebas 40 . Dengan demikian, tepatlah apa yang disampaikan oleh Paus

Yohanes Paulus II yang menyatakan bahwa «manusia adalah jalan yang harus dilalui oleh Gereja, jika ia berkeinginan untuk memenuhi amanat evangelisasi» 41 .

Bagaimana ketiga tipologi manusia ini berziarah di milenium ketiga? Dunia sekularisasi menyodorkan sebuah gaya hidup «etsi Deus non daretur», seolah-olah Tuhan tidak ada. Tekanan sosial ini perlahan-lahan membisukan keinginan alamiah manusia dalam lubuk terdalam untuk menyingkap wajah Allah. Maka, wajah yang tampak dalam diri manusia yang tersisa tidak lain adalah wajahnya sendiri. Tidak mengherankan bila narsisisme makin menyeruak ke permukaan lewat berbagai macam media sosial yang menjamur di awal milenium ini. Inilah drama kehidupan yang membuat manusia mati sebelum waktunya. Relasi dengan sesama menjadi

35 Bdk. M ETZ , J.B., Armut im Geiste. Passion und Passionen, Aschendorff Verlag 2006, (Terj. Italia) Povertà nello spirito , Brescia 2007, 58-60.

36 Bdk. B EVANS , S. –S CHROEDER , R.P., Constant in context. A theology of mission for today, (Terj. Italia) Teologia per la misione oggi. Costanti nel contesto , Brescia 2010, 72-140.

37 Bdk. GS 14. 38 Bdk. GS 15. 39 Bdk. GS 16. 40 Bdk. GS 17. 41 Redemptor Hominis 14.

10 Extension Course Teologi STFD: Model-model evangelisasi alternatif

kerdil karena manusia tidak sanggup melihat sakralitas mereka, tidak sanggup melihat jatidiri kemanusiaan di dalam diri manusia itu sendiri dan yang tersisa tinggal individu yang bercermin pada dirinya sendiri. Maka, upaya mengenal diri sendiri maupun berelasi dengan orang lain menjadi kurang bermakna karena Allah, yang merupakan cermin untuk mengenal jatidiri autentik manusia, disembunyikan di salah

satu sudut rumah atau dijauhkan dalam sisi kegelapan dari hatinya 42 . Sekularisme membawa juga sebuah mentalitas terkotak-kotak di dalam tantanan

sosial. Relasi dengan Allah, dengan sesama, dengan diri sendiri, di rumah, di kantor, di Gereja, di lingkungan tempat tinggal merupakan ruang dan tempat yang dihidupi dengan topeng-topeng. Manusia tidak menjadi autentik, karena dia akan memiliki berpuluh-puluh topeng demi sebuah penampilan yang baik di hadapan orang lain. Pertanyaannya adalah, apakah Allah juga memiliki satu kotak tersendiri seperti kotak-kotak yang lain? Apakah ketika manusia berelasi dengan-Nya, dia mengesampingkan dan menutupi historisitasnya? Apakah manusia harus bertopeng juga dengan Allah? Maka, desakan untuk membawa Allah ke dalam kehidupan manusia di awal millennium ketiga ini tidak lagi merupakan sebuah kebutuhan, namun tanggapan gawat darurat. Jika para saksi iman tidak ingin membawa motif religius, paling tidak aspek antropologis yang integral bisa membantu manusia yang terkotak-kotak, yang mengalami depresi, selalu cemas dan bimbang dengan pencarian makna dan jatidirinya sendiri. Bukannya Tuhan telah pergi, lalu Dia kembali ke tengah-tengah manusia, melainkan menusialah yang telah meninggalkannya dan rindu untuk kembali.

Salah satu visi tentang manusia yang terkotak-kotak adalah kelekatan pada cacat jiwa. Evagrio Pontico, yang lahir sekitar tahun 345 di Pontus, mencoba menorehkan beberapa tulisan berkaitan dengan kualitas beberapa aspek manusiawi di dalam peziarahan manusia menuju Allah. Salah satu dari karyanya berbicara tentang delapan cacat jiwa, yang kemudian oleh tradisi gereja katolik roma disederhanakan

menjadi tujuh, dengan mengurangi kesedihan 43 . Situasi dunia yang terpecah-pecah, makin menyuburkan ketujuh cacat jiwa ini

dalam berbagai modalitasnya yang bervariasi. Dalam bentuk yang baru, seolah-olah subyek menerima tekanan sosial untuk mengaktualiassikan kecenderungan ini. Di dalam cacat jiwa yang baru, subyek seolah-olah terjebak dan «dipaksa» untuk mengikuti proses. Keterpisahan dari relasi sosial akan membatasinya, jika dia tidak ikut arus perubahan. Umberto Galimberti menyebutnya sebagai cacat-cacat jiwa modern seperti konsumerisme, konformisme, rasa tidak tahu malu, seksmania,

sociopatia, diniego (penyangkalan) dan kekosongan 44 . Di dalam dunia cyber, yang

42 Bdk. F ISICHELLA , R., La nuova evangelizzazione, 32-33. 43 Cacat jiwa adalah kebalikan keutamaan, yaitu kecenderungan-kecenderungan yang menumpulkan suara hati dan

membujuk manusia untuk berbuat dosa. Semua cacat jiwa itu dapat dihimpun seputar tujuh dosa yang biasa disebut dosa utama. (KGK § 398). Kedelapan cacad jiwa ini berkaitan dengan kerakusan, hawa nafsu, ketamakan, kemarahan, kesedihan, kemalasan, iri hati dan kesombongan. Bdk. P ONTICO , E., Sentenze gli otti spiriti della malvagità, Roma 2010, 78-98.

44 G ALIMBERTI , U., I vizi capitali e i nuovi vizi, Milano, 2009.

Konteks dunia evangelisasi

menjadi karakter khas dari awal milenium ketiga, ketujuh cacat jiwa ini juga memiliki implementasi yang cukup signifikan 45 .

Namun, struktur manusia di zaman teknologi juga membawa dampak positif bagi manusia, meskipun fenomena jarak, ruang dan waktu menjadi relatif. Dua insan atau keluarga masih bisa berkomunikasi meski terpisah dalam jarak yang amat jauh. Kerinduannya untuk terus berelasi dan mengekspresikan dirinya melalui social media

mendapat tempat yang lebih luas 46 . Untuk mendeskripsikan struktur manusia zaman ini, Schillebeeckx membuat sebuah sistem tujuh koordinat tentang identitas personal,

dimana kebudayaan sosial menjadi titik fokusnya 47 . Kondisi-kondisi ini merupakan jalan-jalan dimana keselamatan bisa masuk dan menjadi karakter identitas manusia.

Pertama , menjadi manusia menyiratkan sebuah relasi dengan kebertubuhan, alam dan lingkungan. Kekurangan minat untuk memperhatikan dimensi kebertubuhan dan penghargaan terhadap alam telah mendorong upaya menaklukkan alam semesta yang mengancam berbagai bentuk kehidupan di dunia. Maka, visi antroposentris mulai digeser dengan menekankan aspek geosentris yang lebih menempatkan manusia pada posisinya di dalam skema penciptaan. Kedua, menjadi manusia berarti ada bersama dengan orang lain. Melalui relasi yang terjalin dengan tinggal bersama amat membantu manusia menyingkap identitasnya. Ketiga, pribadi manusia tidak ditempatkan hanya dalam relasi interpersonal dengan sesamanya, melainkan juga dalam relasi dengan struktur sosial dan institusional. Dengan kata lain, lingkungan dimana manusia itu tinggal mempengaruhi pembentukan jati dirinya sendiri. Keempat , pribadi dan kebudayaan manusia juga dipengaruhi oleh situasi historis dan geografis. Pengalaman iman pun menjadi materi utama dalam metode spiritualitas katolik. Kelima, relasi timbal balik antara teori dan praktek. Ketika teori membawa dampak konkret pada kehidupan manusia, maka praktek kehidupan menjadi kunci refleksi kritis untuk mengevaluasi teori itu sendiri. Keenam, dimensi religius dan transenden merupakan bagian pokok jatidiri manusia. Namun, aspek kerohanian manusia dewasa ini cenderung memiliki berbagai ekspresi iman katolik, yang berbeda dari visi teosentris, yang berpuncak pada misteri inkarnasi Yesus kristus. Terakhir , keenam unsur ini membentuk sebuah sintesis yang tidak bisa direduksi secara idealis, dengan menekankan unsur rohaninya saja, maupun secara materialis, dengan berpusat pada kondisi material dengan mengorbankan kebutuhan akan makna atau kebebasan. Inilah figur manusia yang kepada mereka para saksi iman diutus.

45 Beberapa modalitas penyimpangan dari ketujuh cacat jiwa ini ditemukan juga di dalam dunia cyber misalnya pemahaman tentang waktu digital dan waktu real, ketergantungan, narsisisme, keinginan untuk selalu hadir dimana-

mana, identitas ganda, kekerasan dan relativisme nilai-nilai. Bdk. W IDHIWIRYAWAN , A., «Le 7 vie dei vizi capitali della nuova piattaforma», di http://digitalspirituality.blogspot.com/#!/2011/08/le-7-vie-delle-vizi-capitali-della.html

46 Bdk. B ENEDIKTUS , PP. XVI., «Nuove tecnologie, nuove relazioni. Promuovere una cultura di rispetto, di dialogo, di amicizia: Per la XLIII giornata mondiale delle comunicazioni sociali», 24 mei 2009, di http://www.vatican.va/

holy_father/benedict_xvi/messages/communications/documents/hf_ben-xvi_mes_20090124_43rd-world-communicati ons-day_it.html

47 Bdk. S CHILLEBEECKX , E., Christ: the experience of Jesus as the Lord, New York 1981, 734-743 dan R UFFING , J.K., «Antropologia teologica», di B ORIELLO , L., Nuovo dizionario di spiritualità, Città del Vaticano 2003,73-77.

12 Extension Course Teologi STFD: Model-model evangelisasi alternatif

Karya evangelisasi Gereja berkarakter universal. Kesatuan evangelisasi terletak pada tujuannya, yaitu mewartakan Kebenaran yang sama, yang tidak pernah berubah dan tidak akan pernah berubah: Yesus Kristus. Hanya ada satu perubahan yang perlu,

yaitu mengubah metode penyampaiannya menurut situasi yang terberikan 48 . Jika lebih dipersempit lagi, ada «missio ad Gentes»: sebuah pewartaan pertama kepada

orang yang belum mengenal Yesus Kristus, ada «evangelisasi» yang dikaitkan dengan beberapa aspek pastoral secara umum dan «evangelisasi baru» yang berkaitan

dengan pewartaan di daerah yang memiliki tradisi dan kebudayaan katolik kuno 49 . Strategi mana yang paling tepat digunakan? Tidak bisa hanya mengandalkan satu

saja untuk semua konteks. Ibarat sebuah pertandingan sepak bola, seorang pelatih yang baik tidak mungkin memiliki satu strategi untuk memenangkan pertandingan. Perubahan-perubahan perlu dibuat sesuai dengan proses pertandingan yang sedang berlangsung. Demikian pula ketika berbicara tentang model-model evangelisasi alternatif. Tidak bisa para saksi iman mengaplikasikan sebuah metode, tanpa melihat struktur dunia dan manusia yang kepadanya mereka diutus.

Sebagai contoh, sinode tentang evangelisasi baru memberikan pesan tentang model evangelisasi kepada berbagai Gereja di seluruh dunia berdasarkan situasi setempat. Gereja timur dianjurkan untuk menciptakan perdamaian dan kebebasan beragama; Gereja di Afrika dianjurkan untuk mengembangkan evangelisasi dan mempertemukannya dengan budaya lama dan baru, sambil menyerukan kepada pemerintah-pemerintah untuk menghentikan konflik dan kekerasan; Gereja di Amerika Utara dianjurkan untuk memperhatikan pertobatan baru, terbuka dan menerima para pengungsi dan imigran; Gereja di Amerika Latin diundang untuk menghadapi tantangan sepanjang masa, yaitu kemiskinan, kekerasan dan dialog dengan berbagai aliran kepercayaan; Gereja di Asia, dimana masih tetap merupakan kelompok minoritas dan kerap mendapat diskriminasi, diharapkan tetap berteguh dalam iman; Gereja di Eropa diharapkan terus membangun martabat manusia dan

bene comune, Gereja di Oceania dianjurkan untuk memperkaya pewartaan Injil 50 . Maka, menuju pada unsur-unsur praktis evangelisasi, beberapa paradigma untuk

membangun sebuah model evangelisasi alternatif akan diuraikan di sini. Dengan demikian, bercermin pada model evangelisasi di atas, paper ini tidak memberikan sebuah model yang siap pakai, melainkan mendesak para saksi iman untuk membaca situasi umat dan mengolah beberapa paradigma ini menjadi sebuah model yang baru.

3.1 Evangelisasi berpusat pada manusia

Seorang pewarta pertama-tama adalah seorang beriman yang memberikan waktu untuk berdoa dan berefleksi. Dia membiarkan dirinya diinterogasi oleh relasinya

48 Bdk. F ISICHELLA , R., La nuova evangelizzazione, 75. 49 Bdk. RM 34. 50 Bdk. XIII O RDINARY G ENERAL A SSEMBLY OF THE S YNOD OF B ISHOPS , «Message of The New Evangelization for the

Transmission of the Christian Faith», 26 November 2012, di http://www.vatican.va/news_services/press/sinodo/ documents/bollettino_25_xiii-ordinaria-2012/02_inglese/b30_02.html

Beberapa kerangka model alternatif

kepada Allah dan realitas konkret historis dimana dia tinggal. Dalam proses ini nampak bahwa karya evangelisasi merupakan luapan keindahan tinggal bersama dengan Allah. Maka, tidak ada personalisasi keselamatan bagi orang-orang tertentu karena pengalaman iman itu terbuka pada dunia dan mendorong pertumbuhan sebuah komunitas umat beriman bernafas universal. Keselamatan bukanlah sebuah realitas religius belaka, namun terbuka pada totalitas pengalaman manusiawi. Maka, dampak evangelisasi memberi kemungkinan pada penerima Sabda Allah untuk membebaskan diri dari berbagai belenggu, yang menjeratnya untuk bertumbuh dewasa secara penuh sebagai manusia.

Misalnya, ketika berbagai iklan selalu menyodorkan figur satu tipe manusia, yang muda dan cantik, ketika berbagai manifestasi sosial menampilkan model yang selalu indah dan menggairahkan untuk menjual produk dan jasa, apakah evangelisasi terkena imbasnya juga? Karya evangelisasi tidak pilih-pilih orang. Yesus berjumpa dan mendekatkan diri pada semua orang dari berbagai golongan: anak-anak kecil, remaja, kaum muda, wanita, orang tua, yang sakit, yang cacat, yang tersingkir dan terbuang dst. Menempatkan manusia sebagai pusat dari evangelisasi berarti bekerja keras agar semua pihak yang terlibat, dalam kasus ekstrem bisa dipahami sebagai pihak yang penindas maupun yang tertindas, makin memahami makna «jatidiri sebagai manusia».

Demikian juga dengan Gereja sebagai sebuah komunitas, dimana satu sama lain saling berbagi layaknya sebuah keluarga. Bentuk pastoral semacam ini membuka pintu bagi semua untuk bertanggung jawab dan solider terhadap karya evangelisasi bagi semua orang dan tempat yang lebih membutuhkan. Ketika ikatan persaudaraan berkarakter lebih universal, lebih terbuka daripada ikatan darah, kelompok dan egoisme, maka di situ akan lebih banyak orang yang terlibat untuk menawarkan berbagai jenis pelayanan bagi kehidupan menggereja bermasyarakat.

3.2 Model Gereja apa yang hendak dibangun?

Secara garis besar ada dua model Gereja secara umum. Yang pertama lebih berkarakter vertikal, maka merupakan sebuah bentuk «pelarian» dari dunia dan yang

lain menekankan aspek horizontal, maka lebih diwarnai dengan «aktivis sosial» 51 . Model pertama merupakan cermin dari sebuah komunitas yang menspiritualisasi

iman mereka hingga tidak memiliki minat akan realitas konkret duniawi. Mereka ini yakin bahwa kehidupan beriman itu tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan «di luar Gereja sana». Hal ini bisa diintuisikan pada model-model kehidupan menggereja yang melarikan diri pada ekspresi iman yang dualistik, yang mempertentangkan kehidupan rohani dengan duniawi, yang tidak berani berkonfrontasi dengan problema kerja, keadilan sosial, hukum, politik, ekonomi, pendidikan, kebudayaan, mass media, kemiskinan dst.

Model berikutnya justru mereduksi kehidupan beriman dan menggereja pada tujuan sosial. Dalam model ini, semua ekspresi iman itu ada «di sini», bukan «di

51 Bdk. D’A MBROSIO , R., «La Gaudium et Spes e il rilancio del magistero sociale della Chiesa Cattolica», di

M C D ONALD , D., ed., Dottrina sociale della Chiesa: alcune sfide globali, Trapani 2010, 121-134.

14 Extension Course Teologi STFD: Model-model evangelisasi alternatif

sana». Maka, Gereja pun tak jauh beda dengan sebuah LSM, kehidupan komuniter pun direduksi menjadi sebuah organisasi demi tindak sosial di dalam masyarakat.

Konsili Vatikan kedua mencoba menjembatani dua model ini karena komunitas umat beriman hidup di dalam dunia, maka tidak bisa lari daripadanya karena Yesus

datang untuk menyelamatkannya 52 . Gereja tidak mengidentifikasikan dirinya dengan komunitas umum dan juga tidak bisa direduksi pada sebuah tindakan sosial saja.

Kedua model ini bisa dijabarkan lebih lanjut pada semangat yang mendorong karakter sebuah Gereja. Perubahan apa yang bisa diusulkan sebagai sebuah model evangelisasi baru di dalam komunitas? Pertama, dari sebuah Gereja yang berpusat pada diri sendiri menuju sebuah Gereja missioner, yang terbuka pada dunia, pada mereka yang berbeda budaya, ideologi, agama, suku, warna kulit, bahasa dst. Apakah Gereja dimana saya tinggal itu peka akan kebutuhan paling mendesak di lingkungan sekitar? Kedua, dari sebuah Gereja yang berpusat pada upacara liturgis (babtis, pernikahan, pemakaman, misa …) menuju sebuah Gereja yang memainkan peranan

tegas untuk mewartakan Injil. Model evangelisasi di sini bisa mengadopsi tria munera : menguduskan, mengajar dan menggembalakan. Maka, pelayanan pastoral di Gereja bisa makin diperluas dengan memperhatikan ketiga tugas injil tersebut. Ketiga , dari sebuah komunitas katolik berkarakter klerikal, berpusat pada pastor

paroki yang otoriter, menuju kepada sebuah komunitas basis katolik yang memiliki rasa memiliki dan co-responsability di dalam tugas-tugas pastoral. Evangelisasi tidak bisa direduksi menjadi sebuah praktek propaganda, melainkan pelayanan pada Sabda Allah. Maka, para awam pun diundang untuk lebih mendengarkan Sabda Allah dan tanggap untuk membaca perubahan dan tanda-tanda zaman. Undangan untuk bekerjasama ini hendaknya juga didampingi dengan persiapan yang memadai agar mereka bisa mengaktualisasikan bakat, minat dan kemampuan mereka semaksimal mungkin untuk pelayanan evangelisasi. Harus dihindari bahwa kehadiran mereka terbatas menjadi tambal sulam dinamika kehidupan menggereja, atau sebuah rekaman kaset yang mengulang kembali rumusan-rumusan tanpa melibatkan pengalaman

iman 53 . Namun, bagi mereka yang memiliki problem kedewasaan manusiawi, iman dan moral hendaknya tidak menjadi penanggungjawab sebuah pelayanan. Dengan

demikian, model ketiga ini hendak menekankan rasa memiliki dan tanggung jawab bersama dari awam terhadap komunitas dimana dia tinggal 54 . Keempat, dari sebuah

katekese yang berpusat pada persiapan penerimaan sakramen menuju pada sebuah katekese dewasa dan kepada orang dewasa, yang merupakan tujuan dari pewartaan Injil juga. Apakah katekese iman itu mendapat perhatian yang serius? Apakah dalam berkatekese, diperhatikan aspek peziarahan iman, dimana umat beriman (misalnya anak-anak komuni pertama, calon krisma, peserta KPP) secara bertahap, dihantar untuk mengalami Yesus Kristus di dalam pengalaman konkret kehidupannya, untuk memperkaya dan terus memupuk imannya, agar melalui tahapan ini, secara perlahan dia dihantar untuk menjadi bagian di dalam Gereja? Kelima, dari sebuah karya pastoral bercorak umum menuju kepada sebuah pastoral lebih spesifik, konkret dan

52 «Mereka tinggal di dalam dunia, namun bukan dari dunia» (Yoh 17). 53 Bdk. C ARAMAZZA , G., Dio pensa positivo: fondamenti e prospettive della missione ai popoli, Bologna 2012, 108-112

54 Bdk. C H L 32-35.

Beberapa kerangka model alternatif

seiring dengan arah dasar yang hendak dicapai. Sebuah model evangelisasi alternatif hendaknya juga melibatkan arah dasar keuskupan. Karena apa? Makna alternatif bukan saja berarti sebuah model baru yang belum pernah dicoba maka akan direalisasikan, melainkan sebuah strategi agar Injil bisa sampai ke dalam hati orang. Arah dasar keuskupan merupakan sebuah refleksi kritis bersama «untuk merancang

perkembangan iman dari tahun ke tahun menuju keadaan yang dicita-citakan» 55 . Maka, model ini bisa menjadi paling alternatif, bila situasi di dalam komunitas

dimana kita tinggal itu tidak menyentuh gerak pastoral yang lebih spesifik dan konkret dalam menjawab kebutuhan-kebutuhan yang lebih mendesak.

3.3 Model pendekatan budaya

Seorang saksi iman yang berkarya dalam situasi interkultural harus memiliki sarana untuk menganalisis budaya dimana dia tinggal. Memahami nilai-nilai, mengenal pola pikir massa, mengenal cara mengungkapkan perasaan dan model bertindak merupakan beberapa bagian dari akulturasi yang harus dijalani oleh saksi iman. Namun, proses akulturasi bukanlah sebuah sikap penerimaan total pada budaya yang berbeda, bukan juga penghapusan budaya asal. Bisa dikatakan bahwa hanya mereka yang mengenal betul identitas budaya sendirilah yang kemungkinan besar sanggup berkonfrontasi dengan tantangan interkulturalitas.

Beberapa model bisa disebut seperti Matteo Ricci dengan evangelisasi budaya di Cina, Dante Alighieri dengan mahakarya «Divina Commedia» yang mencoba memahami iman dan menangkap kehadiran Tuhan di dalam kehidupan sosial, Charles de Foucauld yang menjadi mártir di antara para Tuareg di gurun Sahara dan masih banyak para saksi iman yang bisa menjadi contoh, termasuk para misionaris asing yang setia pada Injil dan peka untuk membaca tanda-tanda zaman.

Modalitas yang lain dari proses ini adalah mengumpulkan berbagai kisah dan cerita dari para tetua dan dari kisah-kisah yang diceritakan secara oral dalam tradisi lisan, mengumpulkan dan mengevaluasi asal mula sebuah kelompok masyarakat atau suku, mengkritisi budaya lokal, mengenal bahasa daerah, menyusun sebuah tata bahasa lokal untuk menyelamatkan bahasa ini dari kepunahan, mempersiapkan buku-buku liturgi yang cocok dengan kultural setempat dst. Model pendekatan budaya adalah sebuah model yang panjang, melelahkan dan sering tidak nampak di ujung hasilnya.

Oleh sebab itu, perlu perencanaan program untuk menjaga kesinambungannya 56 .

3.4 Evangelisasi dunia digital

Budaya digital menghadirkan tantangan-tantangan baru bagi Gereja untuk mampu berbicara dan mendengar dalam bahasa yang baru. Dalam hal ini, perspektif digital akan dipersempit pada dunia internet, terutama sosial media. Bidang yang lain akan ditinjau secara sekilas saja.

Sebuah fenomen yang menandai era digital ini adalah bahwa siapapun yang memiliki HP atau terkoneksi dengan internet, akan selalu terlacak dan terjangkau

55 Bdk. KAJ, «Arah dasar pastoral 2011-2015 KAJ» di http://www.kaj.or.id/keuskupan-agung-jakarta/arah-dasar- pastoral-kaj-2010-2015

56 Bdk. C ARAMAZZA , G., Dio pensa positivo, 111-114.

16 Extension Course Teologi STFD: Model-model evangelisasi alternatif

dimanapun mereka berada. Maka, pertanyaan reflektif awal adalah: perubahan apa yang dibawa oleh kemajuan teknologi ini? Bagaimana munculnya platform media baru (misalnya, blog, facebook, twitter dll) memperbaharui cara berpikir manusia tentang fungsi media dalam kegiatan penginjilan? Jika para saksi iman masa dean adalah mereka dari generasi yang lahir dengan HP dan Tablet di bawah bantal, bagaimana media ini bisa memfasilitasi dinamika kehidupan beriman mereka dan membantu mereka untuk memahami peran mereka di dalam Gereja? Sejauh mana internet mempengaruhi struktur manusia, cara berpikir, bertindak dan ber-ada-nya?

Daftar pertanyaan di atas akan semakin berlipat jika dunia internet dipahami sebagai sebuah rangkaian kompleks dari kabel-kabel, mesin-mesin, fiber optik, jaringan dan listrik yang menjalankan itu semua. Namun, realitas fisik ini tidak