Ada Apa di balik Wacana Tax Haven Indone

Fadli Jihad Dahana Setiawan
1606891772

Ada Apa di balik Wacana Tax Haven Indonesia?
I.

Latar Belakang

Pada tahun 2016, Menteri Keuangan Republik Indonesia saat itu, Bambang
Brojonegoro pernah memunculkan suatu wacana untuk membentuk kawasan suaka
pajak atau yang lebih dikenal sebagai Tax Haven. Tax Haven adalah suatu kawasan
dimana pajak yang dibebankan kepada perusahaan-perusahaan yang beroperasi di
kawasan tersebut berada dibawah standar internasional sehingga bersifat sangat
menguntungkan bagi para pelaku usaha yang memusatkan usahanya di sana. Wacana
tersebut mendapatkan berbagai respon baik positif maupun negatif dari berbagai
pihak. Presiden Jokowi menyatakan dukungannya terhadap wacana tersebut pada
bulan Agustus 2016 karena dinilai dapat menambah PDB dan daya saing Indonesia di
mata global yang semakin kompetitif1.
Namun, sejatinya wacana tersebut memiliki lebih banyak dampak negatif yang
sangat memungkinkan untuk terjadi. Sifatnya yang memanjakan para pelaku usaha
tersebut menghasilkan banyak perilaku transfer pricing atau pengalokasian laba usaha

ke teritori milik perusahaan yang memiliki beban pajak yang lebih rendah yang sangat
berpotensi untuk menimbulkan hilangnya potensi pendapatan suatu negara dari
perpajakan. Bahkan, menurut TJN (2010), ditenggarai bahwa sekitar 60-70%
perusahaan multi-nasional melakukan praktik transfer pricing2. Karena tax havens
juga memungkinkan untuk dibangun disuatu kawasan otonomi khusus (bukan hanya
di suatu negara secara nasional), maka negara yang menjadi super-ordinat dari
kawasan tersebut juga sangat potensial untuk mendapatkan kehilangan pendapatan
1

http://nasional.kompas.com/read/2016/08/10/08193651/jokowi.indonesia.juga.bisa.bikin.tax.haven.kita
.punya.banyak.pulau.
2

Maftuchan. (2013) Transparansi Perpajakan Global: Memperkuat Peran Indonesian dalam
Penindakan Praktik Transfer Pricing (International NGO Forum on Indonesian Development (INFID),
kertas kerja untuk “Peer Review Paper untuk Advokasi G20” yang diselenggarakan tanggal 19 Februari
2013 di Jakarta).

dari sektor perpajakan, Indonesia dapat menjadi contoh yang konkrit apabila wacana
pembangunan tax havens tersebut direalisasikan.

Selain itu, tentu saja praktik penghindaran pajak menimbulkan dampak negatif
terhadap masyarakat. Pendapatan negara melalui perpajakan yang dapat dialokasikan
untuk membangun lebih banyak fasilitas yang menunjang kesejahteraan masyarakat
seperti infrastruktur, sarana kesehatan, hingga social safety nets menjadi terdeprivasi.
Sebagai tambahan, adanya ketidakadilan bagi para individu maupun perusahaan skala
kecil dan medium yang tidak mampu melakukan mobilisasi global agar terhindar dari
beban pajak yang tinggi juga menjadi suatu dampak negatif tersendiri3.
Dampak negatif lainnya adalah adanya prinsip non-transparansi yang dianut
beberapa havens yang sangat memungkinkan adanya proteksi bagi berbagai praktik
keuangan negatif seperti pencucian uang, kolusi, hingga penyalahgunaan uang negara
atau korupsi4. Meskipun berbagai hal negatif dari para havens ini seperti
penghindaran praktik transfer pricing, penetapan standar perpajakan, hingga prinsip
non transparensi telah ditentang dan dituntut oleh OECD (Organization for Economic
Cooperation and Development) sekitar tahun 2000, tercatat hanya 6 dari sekitar 65
havens tercatat yang menunjukan adanya komitmen untuk meregulasi sistem
perpajakannya5.
Literatur Studi di Negara Lain

Praktik tax haven sudah sangat banyak tersebar di berbagai negara. Bermuda,
Hongkong, Kepulauan Cayman, hingga Labuan (distrik di Malaysia) adalah beberapa

contoh dari kawasan tax haven yang ternama di dunia. Menurut jurnal yang terbit
tahun 2015 mengenai peran OECD dalam menangani penghindaran pajak di
kepulauan Cayman, terungkap bahwa memang telah banyak praktik penghindaran
pajak dan juga berbagai tindakan tidak bertanggung jawab seperti korupsi dan
pencucian uang di kawasan tersebut. OECD berhasil untuk memaksa kawasan
tersebut untuk menandatangani perjanjian pertukaran informasi perpajakan yang
3

Rawlings, Gregory. (2017) Shifting Profits and Hidden Accounts: Regulating Tax Havens. (ANU
Press).
4
Johannesen, Niels. (2014) The End of Bank Secrecy? An Evaluation of the G20 Tax Haven
Crackdown. (American Economic Journal: Economic Policy, Vol.6, No.1 (February 2014), Pp. 65-91)
5
Rawlings, Gregory. (2017) Shifting Profits and Hidden Accounts: Regulating Tax Havens. (ANU
Press).

disebut sebagai Tax Information Exchange Agreement pada tahun 2010 sehingga
permasalahan transparansi bisa diselesaikan6.
Hal tersebut menunjukan bahwa kawasan tax haven secara umum memang

menganut prinsip non transparansi dan proteksi terhadap pemungutan pajak para
pengusaha yang berdomisili di kawasannya.

II.

Studi Kasus dan Analisa Stakeholder

Dari definisi serta analisa diatas, dapat disimpulkan bahwa tax haven memiliki
berbagai dampak yang merugikan secara umum. Namun, mengapa Indonesia masih
memiliki keinginan untuk mewujudkan wacana mengenai tax haven tersebut?
Jawabannya tentu saja karena pembangunan tax haven sebenarnya memiliki beberapa
keuntungan yang hanya dapat dirasakan oleh beberapa pihak. Kasus tersebut dapat
dianalisa melalui salah satu perangkat kerangka kerja ekonomi politik yaitu
stakeholder mapping matrix yang menganalisa seberapa besar interest dan juga
influence yang dimiliki setiap stakeholder yang terlibat di dalam suatu isu.
Di dalam kasus mengenai pembangunan suaka pajak atau tax haven di
Indonesia, setidaknya terdapat pihak yang terlibat dan memiliki kepentingannya
masing-masing. Mereka adalah masyarakat, perusahaan swasta, pemerintah pro tax
haven, pemerintah kontra tax haven, lembaga-lembaga sosial dan keadilan, dan
lembaga-lembaga regulasi internasional seperti PBB dan World Bank. Adapun pihak

pemerintah dibagi menjadi dua karena terdapat perdebatan di kalangan pemerintahan
itu sendiri mengenai wacana tersebut.
II.I Masyarakat (High Interest, Weak Influence)
Salah satu pihak yang memiliki kepentingan tinggi di dalam isu tax haven adalah
masyarakat. Kesejahteraan masyarakat yang dapat ditingkatkan oleh pemerintah
melalui pembangunan berbagai infrastruktur penunjang menjadi ter deprivasi karena
adanya pengurangan pendapatan dari pihak pemerintah itu sendiri disebabkan oleh
hilangnya pendapatan yang diambil dari perpajakan. Selain itu, dengan adanya tax
6

Fetreya, Bene. (2015) Peran OECD (Organization for Economic Cooperation and Development)
Dalam Menangani Penghindaran Pajak Internasional Melalui Negara Tax Haven Yaitu Kepulauan
Cayman. (JOM FISIP Vol.2 No.2 – Oktober 2015)

haven di Indonesia yang menjunjung prinsip non transparansi juga menjadi kerugian
tersendiri di masyarakat karena tindakan-tindakan tidak bertanggung jawab seperti
korupsi dan sebagainya menjadi semakin merajalela. Adapun tindakan tidak
bertanggung jawab seperti korupsi tersebut sejatinya adalah penyelewengan uang
negara ataupun perusahaan yang seharusnya dapat didayagunakan menjadi jauh lebih
bermanfaat bagi masyarakat. Sehingga tindakan korupsi, kolusi, mupun pencucian

uang sejatinya adalah suatu tindakan kecurangan yang menimbulkan kerugian bagi
masyarakat secara umum. Meskipun beberapa perusahaan melakukan CSR sebagai
timbal balik atas kerugian yang dialami masyarakat, namun seringkali timbal balik
tersebut tidak sesuai atas apa yang mereka dapatkan7.
Namun, masyarakat itu sendiri (terutama yang berada di kalangan menengah
ke bawah) tidak memiliki kekuatan atau influence yang besar di dalam proses
pengambilan keputusan pemerintah. Meskipun terdapat representatif masyarakat di
pemerintahan, tidak semua dari mereka menolak adanya pembangunan kawasan suaka
pajak di Indonesia (akan dijelaskan lebih lanjut di bagian III.III dan III.IV), ini
menjadi cerminan nyata atas adanya paradoks antara rakyat dan para “perwakilan”
rakyat.
II.II Perusahaan Swasta (High Interest, Weak Influence)
Perusahaan swasta baik yang berada di dalam maupun luar negeri memiliki
kepentingan di dalam isu suaka pajak karena beberapa dari mereka memiliki niatan
yang kuat untuk membangun pusat perusahaan di daerah yang diproyeksikan tersebut.
Banyak perusahaan lokal yang cukup besar dan memiliki niat untuk menghindari
pajak namun tidak memiliki dana yang cukup untuk membangun pusat usaha di
kawasan tax haven di luar negeri, sehingga ketika dibangun haven di Indonesia, pasti
mereka dengan sigap akan melakukan transfer pricing dengan memindahkan dana
mereka ke haven tersebut. Ini membuat pendapatan Indonesia dari sektor pajak akan

menjadi sangat potensial untuk menurun. Selain itu, perusahaan swasta dalam negeri
yang telah beroperasi di havens luar negeri juga akan tertarik untuk memindahkan
dananya ke Indonesia agar probabilitas untuk terdeteksi menjadi kecil karena mereka
beroperasi di negaranya sendiri dan mengurangi kecurigaan berbagai pihak. Beberapa
7

Preuss, Lutz. (2012) Responsibility in Paradise? The Adoption of CSR Tools by Companies
Domiciled in Tax Havens. (Journal of Business Ethics, Vol. 110, No.1 (September 2012), Pp. 1-14)

perusahaan swasta asing yang beroperasi di Indonesia yang merupakan negara yang
konsumtif juga memiliki potensi yang sangat tinggi untuk pindah ke kawasn suaka
pajak Indonesia untuk mengurangi biaya logistik dan transportasi sembari
menghindari beban pajak yang akan berujung di tingginya penerimaan yang mereka
dapatkan.
Adapun perusahaan-perusahaan tersebut tidak memiliki pengaruh yang cukup
signifikan di dalam isu tersebut karena beberapa dari mereka sudah berada di luar
negeri dan sudah merasa aman, dan beberapa lagi tidak memiliki akses yang kuat ke
pemerintahan sehingga mereka hanya berperan sebagai “price taker”. Adapun
mengenai beberapa perusahaan yang memiiliki koneksi yang kuat dengan pemerintah
akan dijelaskan di bagian III.III

II.III Pemerintah Pro Tax Haven (High Interest, High Influence)
Sebagai pembuat kebijakan, sebenarnya pemerintah memiliki kepentingan dan juga
pengaruh yang terbesar di dalam isu tersebut. Namun, di dalam isu suaka pajak,
pemerintah terbagi menjadi dua kubu, yang pro terhadap pembangunan suaka pajak
dan yang kontra. Di bagian ini akan dibahas terlebih dahulu mengenai yang pro
terhadap pembangunan suaka pajak. Pemerintah yang pro terhadap pembangunan
suaka pajak memiliki potensi yang sangat kuat untuk didorong oleh kepentingan
sejumlah pihak yang berada di “balik layar” yaitu beberapa perusahaan swasta yang
menginginkan adanya kawasan suaka pajak di Indonesia karena dapat meningkatkan
pendapatannya dan juga mendapatkan keamanan untuk melakukan berbagai tindakan
kecurangan. Sebenarnya banyak pengusaha asal Indonesia yang telah memiliki pusat
usaha di berbagai havens. Beberapa dari mereka telah terekspos oleh media pada
bulan Oktober 2017 melalui “Paradise Papers” yang diterbitkan oleh kantor media
asal Jerman Süddeutsche Zeitung, beberapa nama besar yang
memiliki koneksi sangat kuat dengan pemerintah seperti Prabowo
Subianto dan Sandiaga Uno terekspos di dalam pembocoran
informasi tersebut8. Ini menunjukan adanya indikasi kuat bahwa
adanya beberapa pihak swasta yang beberapa dari mereka
merupakan pihak pemerintah juga yang memiliki kepentingan
tinggi mengenai isu tersebut.

8

https://nasional.tempo.co/read/1031425/perusahaan-prabowo-dan-sandiaga-tersangkut-paradisepapers

II.IV Pemerintah Kontra Tax Haven (High Interest, High Influence)
Bagi pemerintah yang kontra terhadap pembangunan suaka pajak, jelas kepentingan
mereka adalah karena mereka menginginkan adanya pendapatan dari sektor
perpajakan yang stabil sehingga dapat dialokasikan untuk berbagai kegiatan
pemerintah yang lebih bermanfaat. Meskipun begitu, kedua belah pihak pemerintah
(yang pro dan yang kontra) memiliki pengaruh yang sejajar di dalam pemerintahan
sehingga sulit untuk mengunggui satu sama lain ketika keduanya beradu di dalam
audiensi ataupun rapat-rapat dan siding mengenai isu terkait.
Selain itu, pemerintah yang kontra terhadap wacana tax haven juga menyadari
bahwa pembangunan haven tersebut hanya akan menambah dampak buruk bagi
masyarakat dan juga pemerintah. Perlu diketahui bahwa tax to GDP ratio Indonesia
berada di bawah 14%9, angka ini merupakan angka yang sangat kecil karena rata-rata
negara berkembang lainnya berada di atas 14%, dan angka ini berpotensi untuk turun
lagi ketika wacana tax haven direalisasikan.
II.V Lembaga-Lembaga Sosial dan Keadilan (Weak Interest, Weak Influence)
Lembaga-lembaga sosial yang memiliki tujuan untuk memberdayakan keadilan sosial

bagi masyarakat memiliki kepentingan yang kecil karena beberapa dari mereka
kurang aware terhadap isu yang terjadi sehingga mereka juga kurang memiliki
kepentingan. Mereka pun sebagai lembaga non-pemerintah memiliki pengaruh yang
rendah terhadap proses pengambilan kebijakan meskipun di suatu saat mereka aware
terhadap isu yang terjadi dan melakukan berbagai tindakan untuk menyuarakan
pendapat rakyat.
II.VI Lembaga-Lembaga Regulasi Internasional (Weak Interest, High Influence)
Lembaga-lembaga yang memiliki otoritas untuk membuat regulasi skala internasional
seperti World Bank dan PBB sejatinya memiliki pengaruh yang sangat kuat karena
merekalah yang berhak menderegulasi berbagai peraturan internasional, termasuk
mengenai tax haven. Namun, sayangnya mereka memiliki kepentingan yang sangat
rendah di dalam isu pembangunan tax haven di Indonesia karena mereka memiliki
9

Maftuchan. (2013) Transparansi Perpajakan Global: Memperkuat Peran Indonesian dalam
Penindakan Praktik Transfer Pricing (International NGO Forum on Indonesian Development (INFID),
kertas kerja untuk “Peer Review Paper untuk Advokasi G20” yang diselenggarakan tanggal 19 Februari
2013 di Jakarta).

orientasi terhadap isu-isu lain sebagai pemegang otoritas global. Hingga saat ini,

organisasi internasional yang menaruh minat terhadap pemberantasan para tax havens
hanyalah OECD (Organization for Economic Cooperation and Development)10, dan
itupun memiliki tingkat efektivitas yang sangat kurang.

Gambar 1.1: Stakeholder Mapping Matrix

Dari Stakeholder Mapping Matrix diatas, dapat kita simpulkan bahwa terdapat dua
kekuatan besar yang keduanya memiliki kepentingan yang besar juga yang beradu di
dalam pembangunan tax haven di Indonesia, yaitu pemerintah yang pro tax haven
yang juga didukung sebagian kecil pengusaha swasta yang berkepentingan untuk
menaikkan keuntungannya dan jua pemerintah yang kontra tax haven yang
menghendaki adanya penerimaan pemerintah dari sektor perpajakan yang stabil.
Adapun pihak yang juga berkepentingan namun tidak memiliki pengaruh yang kuat
adalah masyarakat yang berpotensi untuk dirugikan melalui pengurangan penerimaan
pemerintah yang bisa dialokasikan untuk kesejahteraan mereka dan perusahaan
swasta yang dapat menjadi “peserta” di kawasan suaka pajak tersebut. Pihak-pihak
yang memiliki kepentingan rendah adalah lembaga-lembaga sosial dan keadilan yang
memiliki pengaruh yang kecil namun sebenarnya tetap dapat menyuarakan suara
10

Fetreya, Bene. (2015) Peran OECD (Organization for Economic Cooperation and Development)
Dalam Menangani Penghindaran Pajak Internasional Melalui Negara Tax Haven Yaitu Kepulauan
Cayman. (JOM FISIP Vol.2 No.2 – Oktober 2015)

masyarakat dan lembaga regulasi internasional seperti PBB yang memiliki otoritas
global sehingga memiliki pengaruh yang sangat kuat namun memiliki sangat sedikit
awareness mengenai isu pembangunan kawasan tax haven di Indonesia.

III.

Rekomendasi

Setelah melihat stakeholder mapping matrix di atas, maka rekomendasi saya
untuk para aktor atau stakeholder yang terlibat untuk mencapai keputusan yang
menguntungkan untuk semua pihak adalah:
-

Masyarakat harus memperdalam pengetahuan dan wawasan mengenai isu
terkait dan cara-cara efektif agar suara mereka didengar oleh pemerintah
seperti melakukan audiensi atau caralainnya sehingga tercipta awareness yang
tinggi dan juga kemampuan untuk mengkomunikasikan aspirasinya.

-

Perusahaan swasta hendaklah melakukan usaha secara jujur dan taat kepada
hukum yang berlaku demi kepentingan bersama. Niat untuk melakukan tindak
kecurangan seperti penghindaran pajak, praktik penyalahgunaan uang dan
sebagainya.

-

Pemerintah yang pro terhadap wacana tersebut hendaklah mengurungkan
usahanya untuk mencapai kepentingan kelompok tertentu. Pihak pemerintah
tersebut haruslah ingat akan kewajibannya untuk menjadi representasi rakyat
yang baik dan menyuarakan apa yang memang menjadi suara rakyat.

-

Pemerintah yang kontra terhadap wacana tersebut hendaklah memperkuat
argumentasi dan seecpatnya membuat regulasi yang kuat mengenai sistem
perpajakan di Indonesia. Meskipun telah dicapai suatu regulasi mengenai
keadilan perpajakan, yaitu pada UU no. 7/1983 mengenai Pajak Penghasilan
(PPh) pasal 9 ayat 1 yang mengatur mengenai pembayaran secara wajar,
namun temuan-temuan yang didapatkan adalah banyaknya indikasi untuk
melanggar aturan tersebut11 (salah satunya adalah wacana pembangunan tax
haven ini) sehingga regulasi tersebut harus diperbaharui, diperkuat, dan
dipublikasikan secepatnya.

11

Maftuchan. (2013) Transparansi Perpajakan Global: Memperkuat Peran Indonesian dalam
Penindakan Praktik Transfer Pricing (International NGO Forum on Indonesian Development (INFID),
kertas kerja untuk “Peer Review Paper untuk Advokasi G20” yang diselenggarakan tanggal 19 Februari
2013 di Jakarta).

-

Lembaga-lembaga sosial dan keadilan hendaklah turut serta menyuarakan hakhak rakyat untuk menerima hasil dari perpajakan secara adi. Meskipun mereka
memiliki pengaruh yang kecil karena pendapatnya tidak selalu didengar oleh
pemerintah, namun tidak ada salahnya untuk menjalankan tindakan mulia
tersebut.

-

Lembaga-lembaga regulasi internasional hendaklah turut serta menangani isuisu yang terlihat kecil namun sebenarnya memiliki dampak yang cukup
signifikan terhadap perekonomian global, salah satunya adalah isu mengenai
tax haven tersebut. Lembaga-lembaga tersebut harus membuat suatu regulasi
yang jelas mengenai keadilan perpajakan di seluruh dunia dan melarang segala
bentuk penghindaran pajak di dunia yang kemudian akan diratifikasi menjadi
Undang-undang yang konkrit di negara-negara anggotanya.

IV.

Kesimpulan

Isu mengenai pembangunan tax haven di Indonesia yang dapat menimbulkan berbagai
kerugian, khususnya bagi masyarakat, dapat dianalisa melalui kerangka kerja
ekonomi politik. Mengapa demikian? Karena dibalik kegiatan ekonomi yang
bertujuan untuk neingkatkan daya saing Indonesia di mata global tersebut, sejatinya
memiliki dimensi politik dengan adanya berbagai pihak yang dapat memperoleh
keuntungan dari ditindaklanjutinya program pembangunan tersebut. Melalui metode
stakeholder mapping matrix, terlihat jelas siapa saja pihak-pihak yang memiliki
pengaruh di dalam isu tersebut dan juga kepentingannya masing-masing.
Pihak-pihak tersebut haruslah menjalankan rekomendasi-rekomendasi yang
ada di atas atau cara-cara lain yang dapat dilakukan untuk mencapai penyelesaian
masalah yang terbaik, yaitu yang menguntungkan semua pihak. Langkah-langkah
tersebut pun harus dibarengi dengan komitmen yang tinggi agar keadilan tercapai
secara konsisten.

Jumlah kata (tidak termasuk referensi, footnote, judul, dan identitas): 2.187 kata
REFERENSI

UTAMA
Preuss, Lutz. (2012) Responsibility in Paradise? The Adoption of CSR Tools by
Companies Domiciled in Tax Havens. (Journal of Business Ethics, Vol. 110, No.1
(September 2012), Pp. 1-14)
Rawlings, Gregory. (2017) Shifting Profits and Hidden Accounts: Regulating Tax
Havens. (ANU Press)
Johannesen, Niels. (2014) The End of Bank Secrecy? An Evaluation of the G20 Tax
Haven Crackdown. (American Economic Journal: Economic Policy, Vol.6, No.1
(February 2014), Pp. 65-91)
Fetreya, Bene. (2015) Peran OECD (Organization for Economic Cooperation and
Development) Dalam Menangani Penghindaran Pajak Internasional Melalui Negara
Tax Haven Yaitu Kepulauan Cayman. (JOM FISIP Vol.2 No.2 – Oktober 2015)
Maftuchan. (2013) Transparansi Perpajakan Global: Memperkuat Peran Indonesian
dalam Penindakan Praktik Transfer Pricing (International NGO Forum on Indonesian
Development (INFID), kertas kerja untuk “Peer Review Paper untuk Advokasi G20”
yang diselenggarakan tanggal 19 Februari 2013 di Jakarta)
TAMBAHAN
http://nasional.kompas.com/read/2016/08/10/08193651/
jokowi.indonesia.juga.bisa.bikin.tax.haven.kita.punya.banyak.pulau.
https://nasional.tempo.co/read/1031425/perusahaan-prabowo-dan-sandiaga-tersangkut-paradise-papers