Peninggalan Arkeologis masa Islam di Jog

1

Sejarah berdirinya Mataram islam di Pulau Jawa tidak lepas dari eksistensi Kasultanan
Pajang setelah Kasultanan Demak hancur. Yaitu Sultan Hadiwijaya yang menghadiahkan kepada
Ki Ageng Pamanahan di Hutan mentaok dan ki Penjawi di Pati sebagai tanah perdikan, karena
atas jasanya menaklukkan Arya Penangsang seorang Adipati Jipang Panolan (Purwadi : 2004). Ki
Ageng Pemanahan mempunyai seorang anak bernama Sutawijaya yang bergelar Ngabehi Loring
Pasar. Sutawijaya diangkat sebagai anak oleh Sultan Hadiwijaya dan diberi gelar Senopati Ing
Alaga Sayidin Panatagama (Adrisijanti : 2000).
Setelah berhasil membangun hutan Mentaok, kawasan itu diberi nama Kotagede. Dengan
binaan ki Ageng Pemanahan wilayah tersebut menjadi wilayah yang maju dan hampir menyaingi
Kasultanan Pajang pada waktu itu. Setelah lama tinggal di Kotagede kemudian Ki Ageng
Pemanahan menamakan dirinya ki Ageng Mataram. De Graaf menyatakan bahwa pada tahun
1577 M, Ki Ageng Pemanahan sudah menempati Mataram lalu meninggal pada tahun 1583 M
dan dimakamkan di sebelah barat Masjid. Sebagai gantinya ialah putranya yang bernama
Sutawijaya dan bergelar Panembahan Senopati.
Pada waktu itu Kasultanan Pajang yang sudah berganti kekuasaan yaitu oleh Pangeran
Benowo, dia memberikan haknya kepada Panembahan Senopati untuk membina Mataram.
Selama Panembahan Senopati berkuasa sedikit demi sedikit Keraton Kotagede mulai dibangun,
pembangunan benteng kota dari bahan bata serta pembuatan parit yang lebar (Adrisijanti : 2000).
Masjid Agung Kotagede diselesaikan pada tahun 1511 Jawa / 1589 M, dan setelah itu

Senopati menyuruh untuk membangun Pemakaman di Kota Gede dalam Babad Momana (
Adrisijanti : 2000). Selain itu Panembahan Senopati juga banyak melakukan ekspansi ke daerahdaerah di Jawa Timur. Panembahan Senopati wafat pada 1522 çaka / 1601 M dan dimakamkan di
sebelah barat ayahandanya.
Sebelum Panembahan Senopati wafat, orang-orang Belanda pimpinan Cornelis De
Houtman lewat Pelabuhan Banten mereka menginjakkan kakinya di Jawa pada tahun 1596 M.
Lalu setelah Panembahan Senopati wafat, Mataram diberikan kepada putranya Pangeran Jolang.
Walaupun Pangeran Jolang bukan anak tertua dari Panembahan Senopati tetapi dia tetap menjadi
raja, sedangkan anak tertua dari Panembahan Senopati bernama Pangeran Puger, dia diangkat
menjadi Adipati Demak. Dalam pemerintahannya Raja membangun Prabayaksa ,Taman
Danalaya dan segaran (Adrisijanti : 2000). Dalam catatan Babad Tanah Jawi, Panembahan
Anyakrawati / Pangeran Jolang meninggal dunia pada tahun 1535 çaka / 1613 M dan dimakamkan
di Astana Pura Kota gede.
Setelah itu kekuasaan Mataram generasi ketiga diwarisi oleh R.M Jatmiko atau Pangeran
Rangsang yang ketika menjadi raja Mataram bergelar Sultan Agung Senapati ing Alaga Ngabdur
Rahman

yang berkuasa pada tahun 1613 M – 1646 M. Pada masa Pemerintahannya Sultan

2


Agung melakukan beberapa pembangunan di kota Mataram, yaitu membangun Keraton di Karta
pada tahun 1617 – 1629 M yang terdiri dari bangunan Prabayaksa dan Siti-Inggil, membuat
Pemakaman di Girilaya pada tahun 1632 M, membuka hutan di bukit Merak pada tahun 1637 M
lalu juga membuat bendungan di sungai Opak, tahun 1643 dilakukan pembangunan Segaran /
Segarayasa di Plered, dan yang terakhir adalah membangun Pemakaman di Imagiri di bukit
Merak pada tahun 1645 M. Sultan Agung wafat pada tahun 1646 di istana Kerta, setahun setelah
didirikannya Pemakaman itu ( Graaf : 1986).
Pemerintahan selanjutnya oleh Amangkurat I yang berkuasa dari 1646 – 1677 M.
Pembangunan Keraton baru di Plered dengan nama Purarya lalu membuat pagar keliling dan
Masjid Ageng dalam kurun waktu 4 tahun. Pembangunan di Plered setidaknya berjalan sampai
tahun 1668 M. Lalu pada tahun 1677 Sunan Amangkurat I wafat dalam pelariannya karena
pemberontakan Trunojoyo.
Lalu setelah itu pemerintahan Selanjutnya oleh :
-Susuhunan Amangkurat II ( 1677 – 1703 M ) – memindahkan Kraton Plered ke Kraton
Kartosuro (Wanakarta) pada tahun 1680 M.
-Susuhunan Amangkurat III ( 1703 – 1708 M ) – Dalam pemerintahan Amangkurat III
terdapat perebutan tahta kekuasaaan oleh Pangeran Puger (adik Amangkurat II) yang nantinya
bergelar Paku Buwono I.
-Susuhunan Pakubuwono I ( 1704 – 1719 M ) – Diangkat menjadi raja atas bantuan VOC, pada
waktu pemerintahannya banyak pemberontakan yang terjadi sampai akhir hayatnya.

-Susuhunan Amangkurat IV ( 1719 – 1726 M ) – Dari sinilah silsilah raja – raja Mataram
Surakarta, Mataram Yogyakarta dan Mangkunegaran berasal yaitu Pangeran Adipati Anom,
Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Mangkunegoro adalah anak dari Amangkurat IV.
-Susuhunan Paku Buwono II ( 1726 – 1749 M ) – Adalah raja termuda yang diangkat dalam
sejarah Mataram, ketika itu Pangeran Adipati Anom masi berusia 16 tahun dan diangkat menjadi
Raja. Sehingga pada waktu itu Patih Danurejo dan ibu Suri menjadi tokoh yang lebih berperan.
Pada tahun 1740 – 1743 terjadi geger Pacinan yang menyebabkan keraton rusak parah dan berhasil
diduduki oleh musuh. Lalu pada tahun 1746 M Keraton dipindahkan ke Desa Sala dan menjadi
Keraton Surakarta.
Pada masa Pemerintahan Paku Buwono II, hubungannya dengan VOC yang sangat dekat
membuat putra dari Pangeran Mangkunegoro yang bernama R.M Said / Pangeran Sambernyawa
melakukan pemberontakan sehingga Susuhunan memerintahkan Pangeran Mangkubumi untuk
menghentikan pemberontakan tersebut dan dijanjikan akan diberi tanah di Sukowati. Tetapi
Susuhunan Paku Buwono II karena bujukan patih Pringgoloyo sehingga membatalkan hadiah
tersebut. Sehingga pada akhirnya RM Said dan Mangkubumi bekerjasama tetapi pada akhirnya

3

tahta Mataram diperebutkan sampai pada tahun 1749 M Paku Buwono II wafat dan R.M Suryadi
diangkat menjadi raja Surakarta begelar Paku Buwono III oleh Van Hohendorff

(Poerwokoesoemoe : 1985). Sedangkan pada saat yang bersamaan Pangerang Mangkubumi dan
R.M Said sudah dinobatkan oleh pengikutnya menjadi Sunan.
Perang terus berlangsung sampai pada akhirnya perjanjian Giyanti 1755 memecah
Mataram menjadi dua yaitu Surakarta yang dirajai oleh Paku Buwono III dan Yogyakarta
dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi yang bergelar Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan
Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah
yang medirikan Keraton di Hutan Beringan. Lalu dua tahun setelah itu terjadi perjanjian Salatiga
tahun 1757 M antara R.M Said dan Pakubuwono III yang memecah Mataram Surakarta menjadi
Praja Mangkunegaran dan R.M Said bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangku
Nagara Senopati Ing Ayudha. Di susul pada tahun 1813 M setelah VOC bubar dan digantikan
Inggris, Pangeran Nata Kusuma anak dari Hamengku Buwono I melepaskan diri dari Kasultanan
Yogyakarta menjadi Kadipaten Pakualaman dan bergelar Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya
Paku Alam.
Selama perpindahan Keraton dari Kotagede sampai Surakarta banyak bangunan –
bangunan yang dibangun pada masa itu, tentunya juga menarik jika melihat bangunan
peninggalan Mataram dari Kerajaan pecahan Mataram.
Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta dibangun pada saat pemerintahan Sultan
Hamengkubuwono I tahun 1773 M sedangkan Masjid Agung Pakualaman dibangun oleh Adipati
Paku Alam II tepatnya pada tahun 1839 M.
Melihat dari latar belakang sejarah tersebut maka kita bisa mengetahui latar dari bangunan

Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta dan Masjid Agung Pakualaman, serta Pemakaman Kotagede
dan Pemakaman Pajimatan di Imagiri. Dari penggalan sejarah diatas sudah diketahui sejarah dari
Pemakaman Kotagede dan Pemakaman Imagiri tetapi untuk Masjid Gede Kauman dan Masjid
Agung Pakualaman adalah Masjid yang dibangun setelah Mataram mengalami perpecahan.

4

!

5

Masjid Kuno di Jawa menurut Sutjipto berasal dari bangunan tardisional yang bernama
pendopo. Istilah pendopo ini sendiri didapat dari kata "mandapa" yang dalam bahasa sansekerta
mengacu pada suatu bagian di kuil Hindu yang berbentuk persegi dan dibangun langsung diatas
tanah. Di Jawa bangunan ini mengalami suatu proses penggabungan budaya sehingga menurut
Sutjipto bangunan "pendopo" ini adalah cikal bakal dasar arsitektur bangunan Masjid di Jawa
(Sugiyanti :1999).
Menurut G.F Fijper ciri khas Masjid Ageng kuno milik Keraton di Jawa antara lain sebagai
berikut (Sugiyanti:1999) (gambar denah 01);
1. Fondasi bangunan yang berbentuk persegi dan masif yang agak tinggi,

2. Berdiri diatas tanah yang padat, atapnya meruncing ke atas dengan jumlah ganjil,
mempunyai ruangan tambahan di barat untul mihrab,
3. Halaman sekeliling Masjid dibatasi oleh tembok dengan satu pintu masuk dari depan
yang disebut gapura.
4. Mempunyai serambi di depan atau di samping kedua sisinya(utara &selatan),
5. Denahnya segiempat, dibangun di sisi barat alun-alun,
6. Mihrab tidak menghadap ke kiblat,
7. Dibangun dari bahan yang mudah rusak,
8. Terdapat "parit"/"blumbang" di sekeliling atau didepan Masjid
Dari beberapa deskripsi diatas tentang bagaimana pola/denah Masjid Jawa akan diamati
Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta dan Masjid Ageng Pakualaman yang merupakan contoh
bangunan Masjid Keraton di Yogyakarta. Apakah konsep bangunan Masjid masih bertahan sesuai
dengan fungsinya atau sudahkah mengalami perubahan karena perkembangan jaman.
Pengamatan ini difokuskan pada bangunan ke-air-an dan bangunan yang menyimbolkan
Mikrokosmos dan Makrokosmos.

6

Den
enah Masjid kuno jawa secara umum


Keterangan

:

MASJID GEDHE
G
KAUMAN NGAYOGYAKARTA

Foto Masjid Gedhe Kauman
Masjid ini dibangun pada
da masa Pemerintahan Hamengku Buwono I dengan arsiteknya
bernama K.Wiryokusumo. seper
erti pada umumnya Masjid ini berada di bara
arat alun-alun utara
Keraton. Dengan mempertahank
nkan arsitektur tradisional jawa. Konsep tata ru
ruang seperti halnya
Masjid-masjid jawa pada umumny
nya memiliki beberapa komponen utama.

Masjid Gedhe Kauman
n Yogyakarta
Y
ini adalah milik Kasultanan Yog
ogyakarta berfungsi
sebagai tempat untuk beribadah.
h. Sebagai
S
wujud hubungan antara manusia deng
ngan Tuhan.
Kompleks Masjid Gedhe
he Kauman memiliki luas keseluruhan ±16.000
00 m². Tidak hanya
Masjid Gedhe saja tetapi juga memiliki
me
halaman yang luas dengan pagar kelil
eliling dan bangunan
yang mengelilingi Masjid Gedhe
he yaitu Pagongan, 2 buah Pajagan, Pengulon
lon ( rumah ulama),

Makam, Kantor Sekretariat, Dew
ewan Takmir dan kantor urusan agama. Sedang
ngkan Masjid Gedhe
sendiri luasnya 2578 m² yang terd
erdiri dari serambi, ruang utama, mimbar dan pa
pawastren (Sugiyanti
: 1999).
Masjid Gedhe Kauman
n telah
te
mengalami renovasi beberapa kali akibat
at Gempa yaitu pada
tahun 1867 M Serambi Masjid
jid runtuh sehingga dibangun lagi dengan m
memberikan bahan
kagungan dalem "Surambi Mu
unara Agung" yang digunakan untuk memb
mbangun Pagelaran
Keraton pada tahun 1868 M, lu
luasnya pun 2 kali lipatnya. Lalu pada tahun

n 1917 M dibangun
Gedung Pajagan. Pada tahun 1933
193 atap sirap yang terbuat dari kayu diganti dengan
d
seng wiron,

lantai Serambi dari batu kali hitam diganti tegel kembang dan lantai ruang utama diganti marmer
dari Itali.
Pada awal masuk ke dalam halaman dalam dari Masjid akan menemui blumbang / kolam
keliling yang mengintari serambi Masjid. Pada awalnya Blumbang ini berukuran 4 m setelah
dilakukan renovasi, blumbang ini berukuran lebar 1,25 m (Hidayah : 1995), nampaknya konsep air
dan tempat suci masih dipertahankan sebagai konsep makrokosmos dalam suatu peribadatan baik
dari agama pendahulunya (Hindu). Tentunya selain untuk mencucikan diri sebelum masuk
Masjid sedangkan yang lainnya adalah untuk bercermin diri untuk menghadap Tuhan (Hidayah :
1995). Tetapi sekarang Blumbang itu tidak ada airnya dan menurut Informasi Blumbang itu
dulunya mengalir air yang bersih dari suatu sumber air, yaitu dari Kali Larangan dan disalurkan
dengan pipa-pipa sehingga airnya akan selalu bersih, agar jika para jamaah masuk ke Masjid selalu
dalam keadaan yang bersih. Sumber air dari Kali Larangan itu menurut informasi juga sebagai
sumber air di Taman Sari.


Blumbang th 1900-an (kitlv.nl)

Blumbang th. 2012 (dok.pribadi)

Setelah itu jika masuk ke Serambi Utama akan menjumpai hiasan ornament-ornamen yang
indah dan ruangan yang terbuka, sedangkan Serambi Pabongan di sebelah utara Masjid dengan
bangunan yang tertutup biasanya digunakan untuk kegiatan Khitanan.
Ruang utama Masjid ditopang oleh empat buah soko guru utama dan 12 tiang soko rowo.
Yang disangga oleh soko guru ini adalah kronstruksi atap utama berbentuk tumpang atap tiga.
Selain itu di dalam ruang utama Masjid ini terdapat Mihrab dengan bentuk relung setengah
lingkaran berhias bunga dan tulisan arab, Mimbar yang terbuat dari kayu jati, Maksurah (sebagai
tempat salat raja), Pawestren yang terletak disebelah kanan ruang ruang utama dan beratap
limasan. Bangunan lainnya yang berada didekat Masjid berupa Makam dan tempat Wudlu.
Tempat Wudlu pria yang berada di sebelah utara dari Masjid, sedangkan untuk wanita di sebelah
selatan Masjid.

Sementara itu Masjid yang mempunyai atap berbentuk tumpang tiga dengan kemuncak
berbentuk Daun Kluwih yang berarti Keistimewaan dan Gadha yang melambangkan "alif" yang
artinya Esa. Atap tumpang pada masa Hindu juga diartikan sebagai konsep Gunungan atau
konsepsi dari Mahameru.
Untuk konsep air pada bangunan Masjid agung ini nampaknya masih dipertahankan
walaupun hanya berwujud bendawi saja tetapi makna dari adanya kolam tersebut sudah hilang.
Sumber air dari kolam tersebut juga sudah mati, yang seharusnya kolam tersebut mengalir air yang
bersih kini hanya bersumber pada air hujan saja. Terlebih lagi ukuran kolam tersebut sudah
mengecil dari ukuran aslinya.

MASJID AGUNG PURO PAKUALAM

Masjid AgungPuro Pakualam

Masjid Agung Puro Pakualaman dibangun setelah berakhirnya perang Diponegoro ,
Pembangunan Masjid ini dimulai oleh Pangeran Natadiningrat (Adipati Pakualam II) pada tahun
1839 M. Mengenai bentuk arsitektur dari Masjid ini seperti pada umunya memiliki komponen
seperti yang sudah dijelaskan diatas, hanya letak dari Masjid ini berada di barat daya dari Istana
Pura Pakualam.

Masjid Agung ini mempunyai ukuran yang relatif kecil dibandingkan Masjid Agung yang
lain, luas Masjid utamanya 144 m² dan mempunyai empat serambi yang luasnya 438 m². Di dalam
serambi tengah terdapat lemari perpustakaan dan beduk sedangkan di sebelah timurnya disangga
oleh 12 tiang tanpa tembok (Zein : 1999).
Dari data diatas dan hasil pengamatan di lapangan diperoleh data jika serambi disisi
selatan, utara serambi ditutup oleh tembok. Dikatakan bahwa Masjid ini berbentuk segiempat dan
serambinya dahulunya berukuran kecil lalu ditambah serambi samping dan kini telah diperluas
dengan halaman masjid yang dijadikan serambi. Dikatakan juga bahwa dahulu di depan, di
samping Masjid tersebut terdapat Blumbangan yang airnya Melimpah, namun kini Blumbangan
air tersebut telah diratakan utuk bangunan dan lantai halaman (Zein : 1999).
Dari Pengamatan setelah berkunjung di Masjid Puro Pakualam, saat masuk dari arah
timur melewati Gapura Padureksan yang arsitekturnya sudah islam, setelah itu langsung
berhadapan dengan Kelir. Jarak antara Masjid dan Kelir sekarang tampaknya sangat berdekatan,
dimungkinkan Bangunan disebelah barat Kelir merupakan bangunan tambahan baru mengingat
sempitnya ruang antara tersebut. Kemungkinan dahulu benar apa yang dikatakan oleh Zein
dimana "di depan dan di samping Masjid Masjid tersebut digenangi blumbangan yang airnya
melimpah".
Seperti Masjid-masjid Jawa Kuno yang lainnya Masjid ini memiliki Maksurah,Mimbar
dan mihrab. Dari keseluruhan bangunan warna yang paling dominan di Masjid ini adalah warna
kuning. Sedangkan atap dari Masjid ini mempunyai atap tumpang berbahan dari genteng dan
mempunyai Mustaka.

Atap Masjid puro Pakualam

Masjid utama dominan warna kuning

Menurut pengamatan Maasjid ini telah mengalami renovasi yang telah
ah mengubah bentuk
asli dari semula untuk keperluan
an perluasan Masjid yang jamaahnya sudah mu
ulai banyak. Bagian
blumbang telah hilang dimana seharusnya
seh
ini adalah sebuah kesatuan dari konse
nsep bangunan suci .

denah
h Masjid
M
Agung Pakualam
Keterangan :

!

13

Makam secara umum adalah tempat peristirahat terakhir bagi seseorang yang sudah
meninggal. Tetapi di Jawa suatu kompleks makam lebih dikenal dengan nama Hastana atau
Pasarean seperti di Kota Gede dikenal oleh masyarakat jawa dengan nama "Hastana Kitha Ageng"
dan diImogiri dengan nama "Pasarean Ing Nata Padjimatan Imogiri".
Dari segi lokasi, Pemakaman - pemakaman kuno biasanya bisa ditempatkan di suatu
tempat dan dengan pola tertentu,yaitu ; 1) di belakang Masjid Agung : Makam raja Demak,
Makam raja Banten, Makam Laweyan 2) di atas bukit : makam Sunan Gunung Jati, makam Sunan
Giri, makam Sultan Cirebon 3) Makam yang tidak memiliki konteks tertentu : Makam
Amangkurat I, dan makam-makam yang tua lainnya. Dari penjelasan diatas nomor 1 dan nomor 2
adalah makam yang memiliki suatu konsep sedangkan nomor 3 bisa dikatakan makam yang belum
memiliki suatu konsep atau makam tersebut karena suatu hal maka maka ditempatkan di tempat
tersebut.
Pada konsep 1 dan 2 untuk kasus makam Kota Gede dan makam Imogiri walaupun
mempunyai konsep yang berbeda namun yang bisa dilihat kesamaannya adalah dari segi tata
bangunan memiliki suatu konsep bangunan yang berhubungan dengan "air".

14

MAKAM KOTA GEDE

komplek
leks makam kota gede ( sumber : kitlv.nl )
Makam Kota Gede terlet
letak di sebelah barat Masjid. Sejarahnya pada
ada waktu Ki Ageng
Pemanahan memperoleh tanah di Hotan Mentaok sebagai tanah perdikan dari
ri Sultan Hadiwijaya
( Pajang). Masjid dibangun seba
bagai Masjid Mataram, lalu setelah Ki Ageng
ng Pemanahan wafat
beliau dimakamkan di barat Masjid
Ma
pada tahun 1583 M. Setelah itu Pane
nembahan Senopati
berkuasa dan mendeklarasikan daerah
da
tersebut menjadi Kerajaan Mataram, dala
alam babad Momana
dijelaskan tentang pembangunan
an Masjid yang selesai pada tahun 1589 M dan
n setelah
s
itu komplek
pemakaman Kota Gede mulai dib
ibangun (Adrisijanti : 2000). Sementara itu Pan
anembahan Senapati
meninggal pada tahun 1601 M dan dimakamkan di sebelah Barat ayahnya.
Dari hasil pengamatan di lapangan bahwa sebelum memasuki kawasan
san Masjid Kotagede
ada gapura dan didalamnya 1 bu
buah pohon ringin yang besar. Dan sebelum
m masuk ke Masjid
terdapat Gapura Padureksan dan
da kelir yang hanya mempunyai satu jalan
n ke arah utara. Di
halaman Masjid nampak Tugu
u Jam
J
yang bertuliskan Pakubuwono X dan di ujungnya terdapat
motif Mahkota. Sedangkan Mas
asjid Kotagede seperti layaknya arsitektur Maasjid pada Keraton
islam di Jawa. Masjid ini juga memiliki
me
Blumbang / kolam, tetapi di Masjid K
Kotagede kolam ini
dibatasi oleh pagar.

Gapura Padureksan Masj
asjid

Kolam keliling Masjid Kotaa ge
gede

te
Gapura Padureksan yang terdapat ha
halaman yang cukup
Lalu di sebelah Selatan terdapat
luas dengan kelir yang mempun
unyai jalan ke timur. Lalu Gapura Padureksan
an selanjutnya Kelir
mempunyai dua arah jalan ke ara
rah selatan dan utara. Di Halaman selanjutnya
nya tersebut terdapat
pendopo-pendopo kecil yang ber
erfungsi sabagai rumah kuncen untuk berjaga.
a. Di sebelah selatan
halaman tersebut terdapat senda
dang kakung dan pawestren. Belum diketahui
ui secara pasti fungsi
dari kedua sendang ini, tetapi kemungkinan
kem
besar kedua sendang ini berhubun
ungan dengan ritual
pensucian diri sebelum masuk kee dalam
d
Makam para pendiri Mataram.

Gapura pertama Makam

Gapura Kedua Makam

Lalu sebelum masuk kee Kompleks
K
Pemakaman itu orang yang akan
n masuk diwajibkan
untuk mengenakan pakaian adat
ada Jawa. Di gerbang pintu masuk Makam
m terdapat Gapura

Padureksan yang pintunya tertutup berbeda dengan yang sebelumnya. Dari bahan juga bisa dilihat
bahwa di Gapura makam halaman kedua menggunakan bahan dari batu bata sedangkan di Gapura
pertama dan Gapura makam Agung lebih banyak menggunakan batu putih sebagai bahan dasar.
Di Padureksan makam Agung ini tidak mempunyai Kelir sehingga makam bisa terlihat dari luar.
Terlihat bahwa disetiap masing-masing padureksan memiliki hiasan ornament "kala" yang
ukurannya kecil dan hiasan sayap. Hiasan kala pada masa Hindu pada candi juga digunakan
sebagai pintu masuk di sebuah candi. Nampaknya ornament ini masih diteruskan sampai jaman
kerajaan islam walaupun mengalami pengecilan ukuran. Sedangkan sayap pada samping gapura
merupakan simbol dari dari sesuatu yang berada diatas.
Dari pengamatan tersebut bisa dikatakan bahwa makam ini mempunyai dua halaman dan
di halaman kedua terdapat sendang di sebelah selatan. Adanya sendang ini adalah terkait dengan
bangunan tata air sebagai konsep dari tata bangunan air di sebuah makam, mungkin dahulu orang
yang akan masuk ke dalam makam harus membersihkan badan dahulu untuk berziarah. Jika
ditilik, ternyata konsep air sebagai penyucian tidak hanya terdapat pada Masjid tetapi juga
terdapat pada makam, tetapi sepertinya konsep itu sekarang disalah artikan bahwa sendang itu
mempunyai makna yang berbeda yaitu untuk mencari berkah, menurut informasi sumber air di
salah satu sendang itu bersumber dari makam Panembahan Senopati.
Di dalam makam belum sempat dilakukan pengamatan, tetapi beberapa informasi yang
diperoleh bahwa di jumlah makam di kompleks makam tersebut adalah 627 makam, makam yang
tertua dilindungi oleh satu cungkup besar yang terdiri dari tiga bagian dan didalam tersebut
terdapat 81 makam. adapun tokoh-tokoh pendiri Mataram yang dimakamkan antara lain : Ki
Ageng Pemanahan dan Panembahan Senopati.

Sketsa kompleks makam Kota gede dari timur ( kitlv.nl)
Sedangkan di cungkup yang paling belakang adalah adalah Nyai Ageng Henis,
Panembahan Jayaprana dan Kyai Datuk Palembang (Sultan Pajang). Mereka adalah tokoh tetua

dari Mataram.Tokoh Nyai Agen
eng Henis adalah ibu dari Ki Ageng Pemana
nahan sedangkan Ki
Ageng Henis kiranya dimakamka
kan di Belakang Masjid Laweyan di Surakartaa yyang letaknya tidak
jauh dari bekas Keraton Pajang.

Gapu
apura Padureksan Makam
Di dalam kompleks maka
kam tesebut juga terdapat makam Sultan Ham
mengku Buwono II,
Adipati Pakualam I sampai IV. Dan
D yang menarik adalah makam Ki Ageng M
Mangir yang bagian
makamnya berada di dalam cungk
gkup dan di luar cungkup, konon itu pertanda b
bahwa beliau adalah
keluarga sekaligus musuh dari Pan
anembahan Senopati.
Dari data diatas diperoleh
leh kesimpulan bahwa makam utama dari pendi
diri makam tersebut
tidak selalu berada di paling belak
lakang. Konsep air masih ada pada sendang Kaakung dan Sendang
putri sebagai wujud dari tempatt penyucian
p
sebelum masuk ke dalam makam.. Kedua
K
Sendang ini
letaknya lebih rendah dibandingk
gkan masjid dan makam, jalur masuknya pun ha
harus turun melewati
tangga. Kemungkinan sendang
g ini
i sengaja dibuat dengan mengurangi tanah
ah untuk mendapat
sumber air.

Ilustrasi kotagede tahun 1970 (kitlv.nl)

19

MAK
KAM PADJIMATAN IMOGIRI

Replika Komplek
leks Makam Imogiri (museum Radya Pustaka)
Makam ini terletak di Bukit
Bu Merak Imogiri. Menurut informasi bahw
hwa Sultan Agung
pada awalnya membangun makam
am di Girilaya dan sudah hampir selesai, tetapii karena
k
suatu hal
seorang yang memimpin pemban
bangunan di Girilaya tersebut meninggal dan
n dimakamkan
d
di
pemakaman yang sudah dibang
ngun oleh Sultan Agung. Dan untuk itu se
setahun sebelum
kematiam Sultan Agung di dalam
lam istana, beliau menyuruh membangun pema
makaman di bukit
Merak sebelah selatan dari Girilay
ilaya.
Hastana Imogiri dibangun
gun pada tahun 1645 M, dengan makam utama
ma adalah Sultan
Agung yang berada di bukit palin
ling atas.. Menurut informasi bangunan Proboye
oyekso (bangunan
sebagai peneduh makam Sultan A
Agung) berbentuk Tajuk dan bermahkota darii bahan tembaga,
bahan bangunan dari kayu Wun
unglen, ukuran bangunan 14,20 X 12,50, lan
lantai batu putih.
Sedangkan makam Sultan Agun
ung mempunyai hiasan yang lebih sederhana
ana dibandingkan
dengan makam para raja peneru
rus Mataram lainnya. Makam Sultan Agung b
berada ditempat
yang paling tinggi dan berada di paling belakang dari makam yang lainnya.
a. Makam Sultan
Agung berada di dalam cungku
kup dengan bahan kayu Wunglen (Adrisijant
nti : 2000). Dari
informasi juru makam diceritaka
kan bahwa makam sultan Agung di dalam ruan
angan yang gelap
dan pengap sehingga sulit untuk
k melihat
m
makam tersebut.
Di dalam laporan De Graa
raaf pernah disinggung bahwa ada tiga kapal dar
ari Surabaya yang
mengambil kayu dari Palembang.
ng. Menurutnya kayu tersebut untuk bahan ban
angunan cungkup
Sultan Agung. Dia juga menga
gatakan bahwa orang-orang Jawa sering mem
embeli kayu dari
Palembang untuk dijadikan cungk
ngkup makam (Adrisijanti : 2000).

Makam
M
Sultan Agung ( kitlv.nl)
Sebelum sampai ke kompl
pleks makam Imogiri terdapat setidaknya adaa 345
3 anak tangga
(Atmosudiro : 2007). Pada anak
ak tangga Sultan Agungan di bagian tengah aada sebuah batu
hitam pekat di antara Gapura Sup
upit Urang, menurut cerita disitu adalah makam
kam Tumenggung
Endranata yang dianggap telah
lah mengkhianati Mataram ketika Sultan Ag
Agung berperang
melawan Belanda.
Sebelum masuk ke Komp
mpleks makam ini terdapat Masjid Masyhad yang dibangun
sejaman dengan pembangunan Kompleks
K
makam ini. Secara umum Masjid ini
in beratap Sirap,
tetapi sekarang bagian atapnyaa sudah
s
diganti oleh seng. Terdapat pawastren
ren dan Kolam di
halaman di depan (Atmosudiro
iro : 2007) , kolam yang dimaksud adalah
ah tempat untuk
mensucikan diri sebelum masu
asuk Masjid. Terdapat bedug yang dibuatt semasa
s
dengan
masjidnya, Masjid ini disangga ol
oleh saka guru yang berumpak persegi dari batu
atu kali, saka guru
tersebut berbahan kayu jati. Mih
ihrab berupa relung di dinding barat dan mim
imbar mempunyai
hiasan ukiran yang diantaranya menyerupai
m
kala.

Masjid Masyhad Imogiri

Menarik bila dilihat bahw
hwa Masjid ini terdapat kolam walaupun ukura
rannya yang kecil
dan sebagai Masjid masyhad, dulu
dul fungsi dari kolam ini adalah untuk menga
gambil air wudhu
(Zein : 1999). Sedangkan untuk
k kondisi
k
Masjid ini sudah mengalami beberapa
pa renovasi tetapi
dari atapnya mempunyai mustak
taka yang berbentuk bunga kenanga dan atap
tap Masjid utama
bertumpang dua. Di depan Masjid
Ma
ini terdapat sebuah pendopo yang be
berfungsi sebagai
peneduh bagi abdi dalam dan seba
ebagai pemantau pada tamu yang ingin naik men
enuju makam.
Setelah menaiki tanggaa yang sekarang tangga di imogiri ini meng
ngalami renovasi
dulunya tangga hanya tersusun
n dari
d bata merah saja tetapi sekarang sudah
hd
di lapisi semen.
Sebelum masuk ke Komplek mak
akam Sultan Agungan tepatnya sebelum supit
pit urang terdapat
kolam air. Unsur air juga ditemuk
ukan di Komplek makam ini, walaupun tempatn
atnya tinggi tetapi
unsur air masih dipertahankan sebagai
s
bagian dari bangunan suci. Berbedaa d
dengan sendang
kakung dan putri di Makam Kota
Ko gede yang kemungkinan besar menguran
angi tanah untuk
mendapatkan sumber air.

Bent
entuk atap Masjid Masyhad Imogiri
Sebelum menuju ke kolam
am tadi di sebelah timur adalah kompleks makam
am para raja yang
memerintah dari Plered, Kartos
osuro dan Yogyakarta sedangkan di bagian ba
barat merupakan
makam dari raja dari trah Surakar
arta (lihat denah 03).
Di Depan gerbang Makam
kam Kasultananagungan terdapat 4 buah temp
payan berukuran
besar. Tempayan di sisi paling
g kiri bernama Nyai Danumurti yang berasal
sal dari Sriwijaya
(Palembang). Di sebelah kanan
annya diberi nama Kyai Danumaya yang bera
erasal dari Aceh.
Tempayan berikutnya bernamaa Kyai Mendhung, berasal dari Ngerum, Istambul
Ist
(Turki).

Tempayan di sisi paling kanan
an bernama Nyai Siyem yang berasal dari Si
Siam (Thailand).
Keempat tempayan ini hanya diku
ikuras setahun sekali pada bulan Sura atau Muha
harram.

Foto Kolam
m sebelum masuk makam th.1901 (kitlv.nl)
Beberapa raja Mataram ya
yang tidak dimakamkan di Imogiri adalah Raja
aja Amangkurat I
yang dimakamkan di Tegal dika
karenakan bahwa pada saat itu Keraton Plered
ed sedang banyak
pemberontakan terutama pember
berontakan Trunojoyo yang menyebabkan Ama
mangkurat I pergi
meninggalkan istana dan padaa saat
s
perjalanan tersebut raja meninggal lalu
lu pada akhirnya
dimakamkan di Tegal. Sedangk
gkan yang kedua adalah Sultan Hamengku B
Buwono II yang
dimakamkan di Kota Gede, Sul
ultan yang banyak mendirikin pesanggrahan
n iini adalah satusatunya keturunan dari Yogyakar
karta yang mandatnya agar dimakamkan di Kot
ota Gede dengan
para pendiri Mataram.
Sementara seperti Mang
ngkunegaran dan Pakualam yang merupakan
an pecahan dari
Mataram mempunyai kompekss pemakaman sendiri. Dari Mangkunegaran
n mulai dari Sri
Mangkunegoro I dimakamkan
n di
d Astana Mangadeg yang berada di bukit
it M
Mangadeg kaki
Gunung Lawu. Lalu dari pakuala
alaman juga membangun Astana Giriganda yang
ang dibangun oleh
KGPAA Paku Alam V.
Nampaknya unsur air pun
un tidak pada bangunan makam Imogiri, darii M
Masjid masyhad,
kolam sebelum masuk ke komp
pleks makam Sultan Agungan dan beberapa
apa gentong yang
merupakan suatu hal yang tidak
ak bisa dipungkiri adanya. Air mempunyai ked
edudukan sebagai
tempat untuk menyucikan dirii ssebelum masuk ke dalam kompleks yang pa
paling suci. Tapi
nampaknya tradisi terbut sekaran
rang sudah mulai luntur. Hanya saja pada seti
etiap tanggal satu
suro terdapat tradisi nguras gento
ntong, dimana air di dalam gentong tersebut men
enurut informasi
yang ada mempunyai berkah. Han
anya itu saja yang tersisa mengenai bagaimanaa ccara mensucikan

diri sebelum masuk ke makam belum ditemukan data, karena kolam tersebut dibangun sebuah
jembatan. Dan untuk aliran air dari kolam tersebut dari informasi dikatakan bahwa air tersebut
bersumber dari air yang mengalir, tetapi belum diketahui dari mana sumber air tersebut.
Mungkin dari bukit merak itu sendiri.

24

SKET
ETSA KOMPLEK MAKAM PADJIMATAN IMOGIRI

Sketsa Makam tahun 1800-an (kitlv.nl)

Sketsa Makam Tahun
hun 2012 (Buku Pemandu abdi dalem)

25

26