Sejarah Perkembangan Studi Hadis Pada Ta

STUDI HADIS
Oleh : Syahrul Budiman
NIM : 12 PEDI 2832
A.

PENDAHULUAN
Hadis adalah sumber hukum Islam yang kedua setelah Alquran. Selain
sebagai sumber, hadis juga berfungsi sebagai penjelas dan penafsir Alquran.
Berdasarkan hal tersebut, maka kajian tentang hadis memiliki kedudukan
yang penting di dalam studi ilmu-ilmu sumber dalam Islam.
Sepeninggalnya Rasulullah SAW., perhatian terhadap hadis terus
berkembang, dimulai periwayatan secara lisan, ditulis serta dibukukan,
meng-isnad dan sampai pada klasifikasi dan susunan dari kitab-kitab hadis.
Seiring dengan perkembangan hal di atas, muncul pula hadis-hadis palsu,
yang melatarbelakangi kegiatan pemeliharaan hadis, sehingga sangat perlu
dilakukan studi hadis.
Dalam makalah ini penulis akan mencoba memaparkan tentang studi
hadis, langkah awal yang akan dibahas mencakup pada pengertian Hadis,
Sunnah, Khabar dan Atsar, Sanad, Matan, Rawi, Perkembangan awal Studi
Hadis, Pendekatan utama dalam Studi Hadis, Perkembangan Mutakhir dan
kritik terhadap Studi Hadis, Referensi Utama dalam Studi Hadis, serta

Konstribusi Sarjana Barat dalam Studi Hadis.

B.

PENGERTIAN HADIS, SUNNAH, KHABAR DAN ATSAR, SANAD,
MATAN, RAWI.
1. Hadis
Menurut

Ibn

Manzur

sebagaimana

dikutip

oleh

M.Agus


Solahuddin dan Agus Suyadi, bahwa kata “Hadis” berasal dari bahasa
Arab, yaitu al-hadits, jamaknya al-ahadits, al-ahaditsan, dan al-hudtsan.
Secara etimologis, kata ini memiliki banyak arti, diantaranya al-jadid

1

(yang baru) lawan dari al-qadim (yang lama), dan al-khabar, yang
berarti kabar atau berita.1
Menurut Muhammad Mustafa Azami sebagaimana yang dikutip
Nawir Yuslem, Hadis Secara etimologis berarti “komunikasi, cerita,
percakapan, baik dalam konteks agama atau duniawi, atau dalam konteks
sejarah atau peristiwa dan kejadian aktual”.2
Didalam Alquran, terdapat 23 kali penggunaan kata hadis dalam
bentuk mufrad atau tunggal, dan 5 kali dalam bentuk jamak.
Keseluruhannya adalah dalam pengertiannya secara etimologis diatas,
hal berikut dapat dilihat dalam beberapa contoh berikut :3
1) Pengertiannya dalam konteks komunikas religius, wahyu atau
Alquran.


Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al
quran….(QS.al-Zumar [39]: 23).

Maka serahkanlah (ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang
yang mendustakan Aquran ini…..(QS.Al-Qalam [68]: 44)
2) Dalam konteks cerita duniawi atau cerita secara umum.

Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayatayat

kami,

maka

tinggalkanlah

mereka

sehingga

mereka


membicarakkan pembicaraan yang lain….(QS. Al-Anam [6]: 68).
1
M.Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis (Bandung:CV. Pustaka Setia,
2011) h. 13.
2
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta:PT.Mutiara Sumber Widya,2001), h. 31
3
Ibid, h.32-33

2

3) Dalam konteks sejarah atau kisah masa lalu.
    
Dan apakah telah sampai kepadamu kisah Musa ? (QS. Thaha [20]:
9)
4) Dalam konteks cerita atau percakapan aktual.

Dan ingatlah ketika Nabi SAW membicarakan suatu rahasia kepada
(hafsah) salah seorang dari istri-istri beliau….(QS. Al-Tahrim [66]:

3)
Menurut Subhi al-Shalih sebagaimana yang dikutip Nawir Yuslem,
kata hadis juga merupakan bentuk isim dari tahdits, yang mengandung
arti: memberitahukan, mengabarkan. Berdasarkan pengertian inilah,
selanjutnya setiap perkataan, perbuatan, atau penetapan (taqrir) yang
disandarkan kepada Nabi SAW dinamai dengan Hadis. 4
2. Sunnah
Menurut bahasa, Sunnah adalah,

.‫الطريقة محمودة كانت أو مذ مومة‬
Jalan yang dilalui, baik terpuji atau tercela.5
Sunnah dalam pengertian etimologi lainnya, dapat dilihat dalam
Alquran surat al-Kahfi [18] ayat 55; surat Fathir [35] ayat 43; surat alAnfal [8] ayat 38; surat al-Hijr [15] ayat 3; dan surat al-Ahzab [33] ayat
38 dan ayat 62. Sedangkan Sunnah secara terminologi seperti yang
dikemukakan oleh Muhammad Ajaj al-Khatib sebagaimana yang dikutip
oleh Atang Abd.Hakim, adalah :
4
5

Ibid, h. 36

Sholahuddin, Hadis, h. 17

3

‫كل ما أثر عن الر سسسول صسسلى اللسسه عليسسه وسسسلم‬
‫من قول او فعل او تقرير اوصفة خلقية او خلقيسسة‬
‫او سيرة اكان ذلك قبل البعثة ام بعدها‬
Segala yang bersumber dari Rasulullah SAW, baik berupa perkataan
perbuatann, taqrir, sifat khalaqah atau khuluqiyah maupun perjalana
hidupnya sebelum atau sesudah ia diangkat menjadi rasul.6
3. Khabar dan Atsar
Khabar menurut bahasa adalah semua berita yang disampaikan
oleh seseorang kepada orang lain. Menurut ulama ahli hadis, Khabar
sama artinya dengan hadis. Keduanya dapat dipakai untuk sesuatu yang
marfu’, mauquf, dan maqtu’, dan mencakup segala sesuatu yang datang
dari Nabi Muhammad SAW, sahabat dan tabi’in. Sebahagian ulama
mengatakan bahwa khabar adalah sesuatu yang datang, selain dari Nabi
Muhammad SAW, karena yang datang dari Nabi Muhammad SAW
disebut hadis, sebahagian ulama lainnya mengatakan bahwa hadis lebih
umum dari khabar, sehingga tiap hadis dapat dikatakan khabar, tetapi

tidak setiap khabar dapat dikatakan hadis.7
4. Sanad
Sanad dari segi bahasa berarti ‫ لمااأرتفع لمن الرأض‬, yaitu bagian bumi
yang menonjol, sesuatu yang berada dihadapan anda dan yang jauh dari
kaki bukit ketika anda memandangnya. Adapun tentang pengertian Sanad
menurut terminologi, para ahli hadis memberikan defenisi yang beragam,
diantaranya :
6

Atang Abd.Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam (Bandung:PT.Remaja
Rosdakarya, 2011) h. 84-85.
7
Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung:CV.Pustaka Setia, 2005), h. 32

4

‫الطأيقة اللموصلة الى اللمرن‬
Jalan yang menyampaikan kepada matan hadis
yakni rangkaian para perawi yang memindahkan matan dari sumber
primernya. Jalur ini adakalanya disebut sanad, adakalanya karena

periwayat bersandar kepadanya dalam menisbatkan matan kepada
sumbernya, dan adakalanya karena hafidz bertumpu kepada yang
menyebutkan sanad dalam mengetahui sahih atau dhaif suatu hadis.8
‫سلسلة الأجال اللموصلة لللمرن‬
Silsilah orang-orang yang menghubungkan kepada matan hadis
Silsilah orang-orang maksudnya adalah susunan atau rangkaian
orang-orang yang menyampaikan materi hadis tersebut, sejak yang
disebut pertama sampai kepada Rasul SAW., yang perkataan dan
perbuatan, taqrir, dan lainnya merupakan materi atau matan hadis.9
Al-Tahanawi mengemukakan definisi sanad sebagaimana yang
dikutip oleh Nawir Yuslem adalah sebagai berikut :
‫ أي أسلماء أواره لمأربة‬, ‫الطأيق اللموصلة الى اللمرن‬
Sanad adalah : Jalan yang menyampaikan kepada matan Hadis, yaitu
nama-nama perawinya secara berurutan.
5. Matan
Kata matan atau al-matn menurut bahasa berarti mairtafa’a min alardi (tanah yang meninggi), sedangkan menurut istilah adalah :
‫لمايسرتى اليه السسند لمن الكلما‬
Artinya : Suatu kalimat tempat berakhirnya sanad.
Adalagi redaksi yang lebih sederhana lagi, yang menyebutkan bahwa
matan adalah ujung sanad (gayah as-sanad). Semua pengertian diatas

menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan matan ialah materi hadis
atau lafal hadis itu sendiri.10

8

Solahuddin, Hadis, h. 89
Ibid, h. 90.
10
Mudasir, Hadis, h. 62.
9

5

6. Rawi
Kata rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau
memberikan hadis (Naqil Al-Hadis). Sebenarnya antara sanad dan rawi
itu merupakan dua istilah yang hampir sama. Sanad-sanad hadis pada
tiap-tiap tingkatannya juga disebut rawi, jika yang dimaksud dengan
rawi adalah orang yang meriwayatkan dan memindahkan hadis. Akan
tetapi yang membedakan antara kedua istilah diatas, jika dilihat lebih

lanjut, adalah dalam dua hal, yaitu: pertama, dalam hal pembukuan
hadis.

Orang-orang

yang

menerima

hadis-hadis,

kemudian

menghimpunnya dalam satu kitab disebut dengan rawi.
C.

PERKEMBANGAN AWAL STUDI HADIS
Membicarakan sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis
bertujuan untuk mengangkat fakta dan peristiwa yang terjadi pada masa
Rasulullah SAW, kemudian secara periodik pada masa-masa sahabat dan

tabi’in serta masa-masa berikutnya. Diantara para ulama terdapat perbedaan
dalam menyusun periodesasi pertumbuhan dan perkembangan hadis ini, ada
yang membaginya dalam tiga periode saja, yaitu masa Rasulullah SAW,
sahabat dan tabi’in, namun ada yang membaginya dalam periodesasi lain
yang lebih terperinci, yaitu lima hingga tujuh periode dengan spesifikasi
yang cukup jelas.
Dalam makalah ini akan dijelaskan dengan singkat periodesasi
perkembangan studi hadis dengan enam periode awal sebagai berikut :
1). Periode Pertama; Perkembangan Hadis pada Masa Rasulullah
SAW.
Apabila membicarakan hadis pada masa Rasulullah SAW, berarti
membicarakan

hadis

pada

awal

pertumbuhannya.

Ada

suatu

keistimewaan pada masa Rasulullah SAW yang membedakannya
dengan masa lainnya, yaitu umat Islam dapat secara langsung
memperoleh hadis dari Rasulullah SAW, sebagai sumber hadis, tidak

6

ada jarak atau penghambat yang dapat menghalangi bertemu dengan
Rasulullah SAW.11
Dalam riwayat Bukhari, disebutkan Ibnu Mas’ud pernah bercerita
bahwa Rasulullah SAW, menyampaikan hadisnya dengan berbagai cara
sehingga para sahabat selalu ingin mengikuti pengajiannya, dan tidak
mengalami kejenuhan. Ada beberapa cara Rasulullah SAW dalam
menyampaikan hadis kepada sahabat, yaitu : Pertama, melalui para
jamaah yang berada dipusat pembinaan atau majelis al-ilmi. Kedua,
Rasulullah SAW menyampaikan hadisnya melalui para sahabat tertentu,
kemudian mereka menyampaikannya pada orang lain. Ketiga, caralain
yang dilakukan Rasulullah SAW dalam menyampaikan hadis adalah
melalui ceramah tau pidato ditempat terbuka, seperti ketika haji
wada’.12
Pada masa Rasulullah SAW, kepandaian baca tulis dikalangan para
sahabat sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Karena
kecakapan baca tulis dikalangan sahabat masih kurang, Nabi
menekankan untuk menghafal, memahami, memelihara, mematerikan
dan

memantapkan

hadis

dalam

amalan

sehari-hari,

serta

menyampaikannya pada orang lain. Tidak ditulisnya hadis pada
Rasulullah SAW, bukan berarti tidak ada sahabat yang menulis hadis.
Dalam sejarah penulisan hadis terdapat nama-nama sahabat yang
menulis hadis, diantaranya, Abdullah Ibn Amr Ibn ‘Ash, Shahifahnya
disebut As-Shadiqah, selanjutnya Ali Ibn Abi Thalib, penulis hadis
tentag hukum diyat, hukum keluarga dan lain-lain, kemudian Anas Ibn
Malik.13
2) Periode Kedua; Perkembangan Hadis pada Masa Khulafa’ ArRasyidin (11 H – 40H).

11

Mudasir, Hadis, h. 87-88.
Ibid, h. 88-89
13
Sholahuddin, Hadis, h. 34
12

7

Periode ini disebut masa membatasi dan menyedikitkan riwayat.
Nabi SAW wafat pada tahun 11 H, kepada umatnya, beliau meninggalka
dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Alquran dan
Hadis yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat. Pada
masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadis tersebar secara
terbatas, penulisan hadis pun masih terbatas dan belum dilakukan secara
resmi,

bahkan

saat

itu

Umar

melarang

para

sahabat

untuk

memperbanyak meriwayatkan hadis, Umar menekankan agar para
sahabat mengerahkan perhatiannya untuk menyebarluaskan Alquran.14
3). Periode Ketiga; Perkembangan pada Masa Sahabat Kecil dan
Tabi’in.
Periode ini disebut, masa berkembang dan meluasnya periwayata,
hadis. Pada masa ini, daerah Islam sudah meluas, yakni ke negeri Syam,
Irak, Mesir, Samarkand, bahkan pada tahun 93 H, meluas sampai ke
Spanyol. Hal ini bersamaan dengan berangkatnya para sahabat ke
daerah-daerah tersebut, terutama dalam rangka tugas memangku jabatan
pemerintahan dan penyebaran ilmu hadis. Karena meningkatnya
periwayatan hadis, muncullah bendaharawan dan lembaga-lembaga
hadis di berbagai daerah di seluruh negeri. Diantara bendaharawan hadis
yang banyak menerima, menghafal dan mengembangkan atau
meriwayatkan hadis adalah :
1. Abu Hurairah, menurut Ibn Al-Jauzi beliau meriwayatkan 5.347
hadis, sedangkan menurut Al-Kirmany, beliau meriwayatkan 5.364
hadis.
2. ‘Abdullah Ibn Umar meriwayatkan 2.630 hadis
3. ‘Aisyah, Istri Rasulullah SAW, meriwayatkan 2.276 hadis
4. ‘Abdullah Ibn ‘Abbas meriwayatkan 1.660 hadis
5. Jabir Ibn ‘Abdullah meriwayatkan 1.540 hadis
6. Abu Sa’id Al-Khudri meriwayatkan 1.170 hadis.15
14
15

Ibid, h. 35
Ibid, h. 36-37

8

Tercatat beberapa kota yang menjadi pusat pembinaan dalam
periwayatan hadis sebagai tempat tujuan para tabi’in dalam mencari
hadis, yaitu Madinah Al-Munawarah, Mekah Al-Mukaramah, Kufah,
Basrah, Syam, Mesir, Maghrib dan Andalas, Yaman dan Khurasan.
Pusat pembinaan pertama adalah Madinah karena disinilah Rasulullah
SAW, disini pula Rasulullah SAW membina masyarakat Islam yang
terdiri dari Muhajirin dan Anshor.16
Beberapa Tokoh penting dalam pengembangan, hadis pada
lembaga-lembaga pembinaan periwayatan hadis diantaranya adalah
sebagai berikut :17
a) Madinah, Tokohnya adalah : Abu Bakar, Umar, Alu, Abu Hurairah,
‘Aisyah, Ibn Umar, Sa’id Al-Khudri, Zaid Ibn Tsabit (dari kalangan
sahabat), Urwah, Sa’id Az-Zuhri, Abdullah Ibn Umar, Al-Qasim
Ibn Muhammad Ibn Abi Bakar, Nafi’, Abu Bakar Ibn Abd AlRahman Ibn Hisyam, dan Abu Zinab (dari kalangan tabi’in).
b) Mekah, Tokohnya adalah : Ali, ‘Abdullah Ibn Mas’ud, Sa’ad Ibn
Abi Waqas, Sa’id Ibn Zaid, Khabbah Ibn A’Arat, Salman Alfarisi,
Abu Juhaifat (Sahabat), Masruq, Ubaididah, Al-Aswad, Syuraih,
Ibrahim, Sa’id Ubn Jubair, Amir Ibn Syurahil, Asy-Sya’bi (tabiin)
c) Basrah, Tokohnya adalah : Anas Ibn Malik, ‘Utbah, Imran Ibn
Husain, Abu Barzah, Ma’qil Ibn Yasar, Abu Bakrah, Abd ArRahman Ibn Sumirah, dll.
d) Syam, Tokohnya adalah : Mu’adz Ibn Jabbal, Ubaidah Ibn Tsamit,
Abu Darda (sahabat), Abu Idris al-Khaulani, Qasibah Ibn
Dzuaib,Makhul, Raja’ Ibn Haiwah (tabiin).
e) Mesir, Tokohnya adalah : ‘Abdullah Ibn Amr, Uqbah Ibn Amir,
Kharijah, dll.
Pada periode ketiga ini mulai muncul usaha pemalsuan oleh orangorang yang tidak bertanggungjawab. Hal ini terjadi setelah wafatnya Ali
16

Mudasir, Hadis, h.101-102
Solahuddin, Hadis, h. 37-38.

17

9

RA, pada masa ini umat Islam mulai terpecah-pecah menjadi beberapa
golongan: Pertama, golongan Ali Ibn Abi Thalib, yang kemudian
dinamakan

golongan

Syiah. Kedua, golongan

Khawarij, yang

menentang Ali, Ketiga, golongan Jumhur (golongan pemerintah pada
masa itu).18
4). Preriode Keempat; Perkembangan Hadis Pada Abad II dan III
Hijriah.
Dapat kita simpulkan bahwa pada periode pertama sampai ketiga
hadis diriwayatkan hanya melalalui mulut ke mulut dan masing-masing
perawi meriwayatkan berdasarkan kekuatan hafalan-hafalan. Kemudian
pada periode keempat ini, dimana kekhalifahan dipegang oleh khalifah
Umar Ibn Abdul Aziz dari dinasti amawiyah, hadis mulai dibukukan.
Orang yang dipercaya waktu itu adalah Abu Bakar Ibn Hazm dan buku
hadis tertulis pertama kali adalah tulisan beliau. Sedangkan kitab yang
paling tua dewasa ini dan masih ada adalah kitab al-Muwatha’ karangan
Imam Malik. Sistem pembukuan pada periode ini masih bersifat
temporer, yakni masih berbaur antara Sunnah Nabi SAW., fatwa-fatwa
sahabat, juga fatwa-fatwa tabi’in sehingga muncullah istilah hadis
marfu’, mauquf, dan maqthu’. 19
Tokoh-tokoh yang masyhur pada abad kedua hijriah ini adalah
Malik, Yahya Ibn Sa’id Al-Qaththan, Waki Ibn al-Jarrah, Sufyan AtsTsauri, Ibnu Uyainah, Syu’bah Ibnu Hajjaj, Abdul Ar-Rahman Ibn
Mahdi, Al-Auza’I, Al-Laits, Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i.20
5). Periode Kelima; Masa Men-tashih-kan Hadis dan Penyusunan
Kaidah-kaidahnya.

18

Ibid, h. 38.
Muhaimin, Studi Islam, Dalam Ragam Dimensi & Pendekatan (Jakarta:Kencana
Prenada Media Group, 2012), h. 150.
20
Solahuddin, Hadis, h. 42.
19

10

Pada periode ini para Ulama Hadis mulai memisahkan mana hadis
dan mana fatwa sahabat dan tabiin, demikian juga memilah dan memilih
mana hadis shahih, hasan maupun yang dhaif . Disamping itu juga
menerapkan kaidah-kaidah hadis, ilat-ilat hadis dan tafsir sejumlah
perawi-perawi hadis sehingga muncullah Ilmu Dirayah hadis yang
banyak macamnya disamping Ilmu Riwayah hadis.21
Ulama hadis yang mula-mula menyaring dan membedakan hadishadis yang shahih dari yang palsu dan yang lemah adalah Ishaq Ibn
Rahawaih, seorang Imam hadis yang sangat termasyhur.Pekerjaan yang
mulia ini kemudian diselenggarakan oleh Imam Al-Bukhari. Al-Bukhari
menyusun kitab-kitabnya yang terkenal dengan nama Al-Jamius Shahih.
Di dalam kitabnya, ia hanya membukukan hadis-hadis yang dianggap
shahih, kemudian usaha Al-Bukhari ini diikuti oleh muridnya yang
sangat alim, yaitu Imam Muslim. Tokoh-tokoh hadis yang lahir dalam
masa ini adalah : Ali Ibnul Madany, Abu Hatim Ar-Razy, Muhammad
Ibn Jarir Ath-Thabari, Muhammad Ibn Sa’ad, Ishaq Ibnu Ruhawaih,
Ahmad, Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’I, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu
Majah, Ibu Qutaibah Ad-Dainuri. 22
6). Periode Keenam; Dari Abad IV hingga Tahun 656 H
Para Muhaddisin yang hidup pada abad kedua dan ketiga
dinamakan “mutaqaddimin” sedang yang hidup pada abad keempat
dinamakan “mutaakhirin” dan kebanyakan hadis yang mereka
kumpulkan adalah dari petikan atau nukilan dari kitab-kitab
mutaqaddimin.23
Pada Periode keenam ini muncul kitab-kitab shahih yang tidak
terdapat dalam kitab shahih abad ketiga. Kitab-kitab ini antara lain : AsShahih, susunan Ibnu Khuzaimah, At-Taqsim wa Anwa’, susunan Ibnu
Hibban, Al-Mustadrok, susunan Al-Hakim, Ash-Shalih, susunan Abu

21

Muhaimin, Islam, h. 151
Solahuddin, Hadis, h. 43-44
23
Muhaimin, Islam, h.153.
22

11

‘Awanah, Al-Muntaqa, susunan Ibnu Jarud, Al-Mukhtarah, susunan
Muhammad Ibnu Abdul Wahid Al Maqdisy.24
Sistematika susunan hadis pada periode ini laebih baik dari periode
sebelumnya, karena upaya ulama pada periode ini bukan mencari,
namun hanya mengumpulkan dan selanjutnya mensistematisasi menurut
kehendak pengarang sendiri. Ada yang mensistematisasi dengan
mendahulukan bab thaharah, wudhu, kemudian shalat dan seterusnya,
ada juga yang mensistematisasi denga bagian-bagian, yaitu bagian
seruan, larangan, khabar, ibadah dan af’al. Demikian pula ada yang
menyusun berdasarkan abjad hijaiyah, seperti kitab al-Jami’ shaghir
oleh al-Syuyuthi.25
D.

PENDEKATAN UTAMA DALAM STUDI HADIS.
Perhatian umat Islam cukup besar terhadap hadis Nabi Saw., sejak
masa sahabat mereka berusaha mengumpulkannya semaksimal mungkin dan
menyampaikannya kepada orang lain sebagaimana mestinya. Oleh karena
itu hadis yang disampaikan tersebut harus benar-benar terjaga kesahihannya.
Dalam studi hadis ada beberapa pendekatan dan metodologi yang
ditempuh, yakni pendekatan dari segi sanad dan matan. Kedudukan sanad
dalam riwayat hadis sangat penting sekali, sehingga para ulama hadis tidak
akan menerima sebuah berita yang dinyatakan sebagai hadis apabila tidak
ada sanadnya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Abd.Allah Ibn al-Mubarak
(w.181 H/ 797 M) seperti yang dikutip oleh Nawir Yuslem, bahwa : Sanad
hadis merupakan bahagian dari Agama. Sekiranya sanad hadis tidak ada,
maka siapa saja akan dapat mengatakan (atas nama Nabi SAW) apa saja
yang dikehendakinya.26
Penelitian matan pada dasarnya dapat dilakukan dengan pendekatan
dari segi kandungan hadis dengan menggunakan rasio, sejarah, dan prinsip24
25
26

Solahuddin, Hadis, h.45-46
Muhaimin, Islam, h. 153
Nawir Yuslem, Metodologi Penelitian Hadis (Bandung:Citapustaka Media Perintis,

2008), h. 4

12

prinsip ajaran Islam. Sedangkan pendekatan sanad dilakukan karena
keadaan dan kualitas sanad merupakan hal yang pertama diperhatikan dan
dikaji oleh para ulama hadis dalam melakukan penelitian.
Dari kedua unsur inilah –sanad dan matan- menjadi sebagai
pendekatan utama dalam studi hadis yang nantinya akan menimbulkan
cabang ilmu yang banyak. Sanad, sebagaimana telah dijelaskan defenisinya
terdahulu, adalah tempat bersandarnya suatu hadis. Tanpa sanad, maka
hadis itu akan tertolak keabsahannya. Sedangkan matan adalah lafal-lafal
hadis yang dikandung, yang memiliki makna-makna tertentu.
Upaya mengetahui kualitas hadis melalui dua unsur ini, dapat
dilakukan berbagai pendekatan, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.

Pendekatan Ilmu Hadis Riwayah
Kata riwayah artinya periwayatan atau cerita, secara bahasa Ilmu
hadis riwayah berarti ilmu hadis yang berupa periwayatan. Para ulama
berbeda-beda dalam mendefenisikan ilmu hadis riwayah, namun yang
paling terkenal diantara defenisi-defenisi tersebut adalah defenisi Ibnu
Al-Akhfani, yaitu : Ilmu Hadis Riwayah adalah ilmu yang membahas
ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan Nabi SAW., periwayatannya,
pencatatannya, dan penelitian lafazh-lafazhnya.27 Dengan kata lain,
ilmu hadis riwayah adalah ilmu tentang hadis itu sendiri. Tokoh perintis
pertama dari ilmu hadis riwayah ini adalah Muhammad bin Shihab alZuhri (w. 124 H).

2.

Pendekatan Ilmu Hadis Dirayah
Dirayah artinya mengetahui, atau ilmu untuk mengetahui
bagaimana kedudukan hadis, Hasbi Ash-Shidiqi dalam karyanya yang
berjudul Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, sebagaimana dikutip oleh
Totok Jumantara, Ilmu Hadis Dirayah adalah Ilmu untuk mengetahui
keadaan sanad dan matan dari jurusan diterima atau ditolak dan yang
bersangkut paut dengan itu.28

27
28

Solahuddin, Hadis, h. 106
Totok Jumantara, Kamus Ilmu Hadis (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), h. 40-41.

13

Dengan kata lain ilmu Hadis Dirayah merupakan kumpulan kaidah
untuk mengetahui dan mengkaji permasalahan sanad dan matan serta
yang berkaitan dengan kualitasnya. Tujuannya adalah untuk mengetahui
hadis yang dapat diterima dari hadis yang ditolak. Ilmu ini mulai dirintis
dalam garis-garis besar sejak pertengahan abad ke-3. Kemudian sekitar
abad ke-4 ilmu ini dibukukan sejajar dengan ilmu-ilmu lain. Ilmu hadis
dirayah bersama dengan ilmu hadis riwayah adalah merupakan ilmu
utama yang digunakan dalam studi hadis.
3.

Pendekatan Ilmu Rijalul Hadis
Ilmu ini mempelajari hal ihwal para perawi, baik dari kalangan
sahabat, tabiin maupun generasi sesudahnya. Ilmu ini mempelajari
sejarah kehidupan para rawi, akhlaknya, keadaannya dalam menerima
hadis serta mazhab yang dianutnya dan sebagainya yang terkait dengan
rijal yang dilakukan secara mendalam. Ilmu ini mempunyai kedudukan
yang sangat penting dalam ranah kajian ilmu hadis karena kajian ilmu
hadis pada dasarnya terletak pada dua hal, yaitu sanad dan matan. Ilmu
Rijal al-hadis mengambil tempat yang khusus mempelajari persoalanpersoalan sekitar sanad maka mengetahui keadaan rawi yang menjadi
sanad merupakan separuh dari pengetahuan.29

4.

Pendekatan Ilmu Jarh dan Ta’dil
Secara Bahasa kata jarh artinya cacat atau luka, ta’dil artinya
mengadilkan atau menyamakan.30 Jadi Ilmu Jarh dan ta’dil yaitu ilmu
yang secara khusus mempelajari keadaan perawi hadis dari segi sifatsifat baik dan sifat jeleknya, serta kuat tidak hafalannya yang akan
mempengaruhi diterima atau ditolak periwayatannya.

5.

Pendekatan Ilmu Gharib al-Hadis
Gharib al-Hadis adalah ilmu yang menerangkan makna kalimat
yang terdapat dalaam matan hadis yang sukar diketahui maknanya dan
29
30

Solahuddin, Hadis, h. 111-112
Ibid, h. 112

14

jarang terpakai oleh umum.31 yang dimaksudkan dalam ilmu hadis ialah
bertujuan untuk menjelaskan satu hadis yang dalam matan-nya terdapat
lafaz yang pelik, dan yang susah untuk dipahami, karena jarang dipakai
(lafal-lafalnya sudah terlalu lama sehingga tidak lagi digunakan oleh
masyarakat Arab), sehingga ilmu ini akan membantu dalam memahami
hadis tersebut. Orang yang pertama menyusun dalam gharib al-hadis
adalah Abu Ubaidah Ma’mar ibn al-Mutsanna (w. 210 H).
6.

Pendekatan Ilmu ‘Illah al-Hadits
‘Illah menurut istilah ahli hadis adalah suatu sebab yang
tersembunyi yang dapat mengurangi status kesahihan hadis padahal
dhahirnya tidak nampak ada cacat. Ilmu ini membahas sebab-sebab
tersembunyinya yang dapat menyebabkan cacatnya hadis secara lahiriah
mungkin tidak kelihatan. Oleh karena itu, ilmu ini mempunyai cara-cara
pembahasan yang lebih halus dan mendalam.

7.

Pendekatan Ilmu Asbab al-Wurud
Asbab al-Wurud menjadi sangat penting dalam memahami hadis.
Karena, terkadang Nabi mengeluarkan hadisnya sebagai jawaban atas
masalah-masalah tertentu. Sehingga ia memberikan pemahaman khusus,
yakni berkaitan dengan masalah itu.

8.

Pendekatan Ilmu Nasikh dan Mansukh
Ilmu Nasikh wa mansukh yaitu ilmu yang membahas hadis-hadis
yang antara satu dengan lainnya saling bertentangan maknanya yang
tidak mungkin dapat dikompromikan. Karena itu ilmu ini mempelajari
manakah hadis-hadis tersebut yang lebih dahulu datang dan mana yang
kemudian. Hadis yang lebih dahulu datang dinyatakan tidak berlaku lagi
(mansukh) dan kedudukannya digantikan dengan hadis yang kemudian
(nasikh).32

31
32

Ibid, h. 117
Ibid, h. 119

15

E.

PERKEMBANGAN MUTAKHIR (TAHUN 1900 S/D SEKARANG)
DAN KRITIK TERHADAP STUDI HADIS
Berbeda dengan Alquran, keotentikan hadis seringkali dipersoalkan.
Sejumlah kritikan ditujukan kepada hadis dan bahkan ada yang menolaknya.
Kendatipun telah sekian lama melengkapi sumber ajaran Islam (Alquran),
hadis sekiranya masih perlu diuji keabsahan dan validitasnya. Satu diantara
beberapa penyebabnya adalah selain tidak adanya jaminan yang tegas
tentang kesahihannya, juga akibat keterlambatan penulisan hadis itu sendiri.
Sehingga sangat mungkin diduga periwayatan hadis banyak yang palsu.
Mengapa kritik hadis itu perlu dilakukan, karena banyak silang pendapat,
perbedaan, serta konflik di tengah kehidupan masyarakat muslim akibat
hadis-hadis yang mengundang interpretatif, baik dari sanad maupun matannya.
Dengan statusnya sebagai sumber kedua dari ajaran Islam, tentunya
hadis yang dimaksud bukanlah hadis sembarangan, yaitu hadis yang kadar
sanad dan matan-nya tidak jelas dan tidak memiliki sandaran yang kuat.
Untuk mengukur ke-dhabitan (kevalidan) hadis, biasanya dikalangan
akademis lebih memilih istilah kritik hadis, yaitu sebuah upaya untuk
menilai dan menimbang hadis dari berbagai sisi, baik dari segi sanad
maupun matan-nya yang memungkinkan diterimanya keabsahan dan kedhabitan hadis tersebut.
Kritik matan dan terutama sanad ini terus berlangsung pada generasigenerasi

sesudah

sahabat,

sampai

terbentuknya

buku-buku

yang

menceritakan (“mencaci” atau “memuji”) para perawi (sanad) hadis.
Walaupun banyak ketimpangan (tidak seimbangnya antara kritik sanad dan
matan) pada masa itu, namun perkembangan studi hadis hari ini
menselaraskan antara kritik sanad dan matan. Hal ini telah diusung oleh
Ahmad Amin dalam Fajrul Islam-nya, walaupun beliau banyak menuai
kritik dari pemikir Islam kontemporer. Berikutnya, perkembangan mutakhir
dalam kritik studi hadis, tidak hanya di kritik matan dan sanad saja, bahkan
sudah sampai pada keberadaan hadis itu sendiri sebagai sumber hukum

16

Islam yang kedua. Hal yang paling ringan dan mungkin juga bisa kita
terima, ketika sebagian pemikir mengeluarkan statement, “Tidak semua
yang datang dari Rasul dianggap hadis atau wahyu”. Dr. Yusuf el-Qordhawi
pernah dikritik ketika beliau mengungkapkan bahwa Nabi juga berijtihad
dan pernah salah dalam Ijtihadnya. Dengan ungkapan lain, tidak semua
yang datang dari nabi itu wahyu. Jadi agaknya, kalau hadis dianggap wahyu
Tuhan, maka perlu ada pembatasan dalam mendefinisikannya, bukan seperti
definisi konvesional yang meng-umum-kan definisi hadis sehingga
mencakup segala hal dari Nabi. Kita harus membedakan antara Nabi sebagai
Ibnu Abdullah (manusia biasa) dan Nabi sebagai Rasulullah. Namun, kalau
hadis dianggap bukan sebagai wahyu, maka timbul masalah baru, yakni ada
hadis yang tidak wajib dijadikan teladan bagi umat manusia.33
Untuk menegaskan hal ini, Yusuf Qardhawi mengungkapkan beberapa
kasus yang terjadi di masa Rasul SAW. Pertama, kasus Ibnu Ummu
Maktum ketika datang pada Rasul, lalu dicueki oleh Rasul, dan Rasul lebih
mementingkan untuk melayani pemuka kafir Quraisy. Allah SWT menegur
Muhammad dengan wahyu (QS. ‘Abasa [80]: 1-10), dan mencela
perlakuannya kepada Ibnu Ummu Maktum. Kedua, kasus ketika
Muhammad memberi izin kepada orang munafik untuk mundur dari perang
Tabuk tanpa alasan. Allah juga menegur Muhammad dengan wahyu-Nya
(QS. At-Taubah [9]: 43-45). Ketiga, kasus ketika beliau tidak setuju dengan
cara penyerbukan pohon kurma di Madinah, dan terbukti kemudian, beliau
salah dalam ketidaksetujuannya itu. Beliau bersabda, “Aku hanya
berprasangka, dan jangan ambil prasangkaku itu. Tapi ambillah apa yang
aku ceritakan kepada kalian yang wahyu dari Allah, karena aku tidak akan
pernah berbohong terhadap Allah. Dan kamu lebih tahu urusan duniamu.”
(HR. Muslim dari Aisyah dan Anas). Kasus-kasus seperti ini (Nabi
berijtihad) juga terjadi di nabi-nabi yang lain, seperti Nabi Daud dan
Sulaiman, sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Anbiya’ [21]: 78-79; Nabi
33

http://arifin-jahari.blogspot.com/2011/02/makalah-studi-hadis-bagian-v.html,
diunggah tanggal 22 Februrai 2013, pukul 16.00 wib

17

Musa, sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Kahf [18]: 60-82; Nabi Yunus
ketika meningalkan kaumnya dalam keadaan marah, lalu beliau ditelan ikan
dan berdoa seperti tercantum dalam QS. Al-Anbiya’ [21]: 87. Lebih jauh,
dalam buku yang sama Yusuf el-Qardhawi, melegalkan ijtihad Nabi bahkan
sampai pada hal-hal yang berkaitan dengan agama. Beliau mengutip
beberapa pendapat ulama sebelumnya beserta dengan argumen-argumen
mereka yang kuat.34
Kalau di atas ada usaha untuk menolak sebagian hadis sebagai
wahyu, jauh lebih berani, Goldziher dan konconya berkomentar, bahwa
hadis bukan berasal dari Muhammad Saw., melainkan sesuatu yang lahir
pada abad pertama dan kedua Hijriah. Para pemikir Islam kontemporer
“sibuk”

menghadapi

pemikiran

orientalis

yang

satu

ini.

Mereka

mengeluarkan buku, sebagai balasan dan bantahan atas statemen Goldziher
tersebut. Seperti buku as-Sunnah Qablat Tadwin, karya Dr. Muhammad
Ajjaj al-Khatib; buku Difa’un ‘anis Sunnah, karya Dr. Muhammad bin
Muhammad Abu Syuhbah; buku as-Sunnatu wa Makanatuha fi at-Tasyri’il
Islami, karya Dr. Mushthafa as-Siba’i; dll.35
Menurut Muhammad al-Ghazali, ulama telah sepakat menempatkan
Alquran sebagai sumber hukum dan perundang-undangan Islam, sementara
hadis sebagai implementasinya. Oleh karena itu Alquran haruslah dijadikan
sebagai ukuran kesahihan suatu hadis. Hadis yang sejalan dengan Alquran
dapatlah dinyatakan sebagai hadis sahih dan hadis yang tidak sejalan dengan
Alquran haruslan ditinggalkan.36
Tidak hanya dari kalangan ummat Islam, kritik terhadap hadis yang
bisa disebut sebagai perkembangan mutahir dari studi hadis adalah adanya
kritikan dari para orientalis akan orisinilitas hadis sebagai sumber hukum
kedua dalam Islam. Menurut Syamsuddin Arif, gugatan orientalis terhadap
hadis bermula pada pertengahan abad ke-19 Masehi tatkala hampir seluruh
34

Ibid
Ibid
36
Bustamin, dan M.Isa A. Salam, Metodologi Kritik Hadis (Jakarta; PT. Raja Grafindo
Persada, 2004), h. 111.
35

18

bagian dunia Islam telah masuk cengkeraman kolonialisme bangsa-bangsa
Eropa. Adalah Alois Sprenger (orientalis asal Jerman yang pernah lama
tingal di India), yang pertama kali mempersoalkan status hadis dalam Islam.
Dalam pendahuluan bukunya mengenai riwayat Nabi Muhammad Saw., ia
mengklaim bahwa hadis merupakan anekdot (cerita-cerita bohong tapi
menarik).37
Klaim tersebut diamini oleh William Muir, seorang orientalis asal
Inggris yang menyebutkan bahwa dalam literature hadis, nama Nabi
Muhammad Saw. sengaja dicatut untuk menutupi bermacam-macam
kebohongan dan keganjilan (“…the name of Mahomet was abused to
support all possible lies and absurdities”).38 Kemudian muncul Ignaz
Goldziher, yang pendapatnya tentang hadis jauh lebih negatif dibandingkan
para pendahulunya.
Menurut Goldziher, hadis lebih merupakan refleksi interaksi dan
konflik pelbagai aliran dan kecenderungan yang muncul kemudian di
kalangan masyarakat muslim pada periode kematangannya, ketimbang
sebagai dokumen sejarah awal perkemangan Islam: “Das Hadith wird uns
nicht als Document fur die Kindheitsgeschichte des Islam, sondern als
Abdruck der in der Gemeinde hervortretenden Bestrebungen aus der Zeit
seiner reifen Entwicklungsstadien dienen”.39
Ini berarti menurutnya, hadis adalah produk buatan masyarakat Islam
beberapa abad setelah Nabi Muhammad Saw. wafat, bukan berasal dan tidak
asli dari beliau. Pendapat menyesatkan ini telah disanggah oleh sejumlah
ilmuan seperti Syaikh Musthafa al-Siba’i, Muhammad Abu Shuhbah, dan
Abd al-Ghani Abd al-Khaliq.
Pada intinya gugatan para orientalis terhadap hadis pada awalnya
adalah

mempersoalkan

ketiadaan

data

historis

dan

bukti

tercatat

(documentary evidence) yang dapat memastikan otensitas hadis, sehingga
37

Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani, 2008),

38

Ibid, h. 28.
Ibid, h. 29.

h. 28.
39

19

sejumlah pakar melakukan penelitian intensif perihal sejarah literatur hadis
guna mematahkan argumen orientalis yang mengatakan bahwa hadis baru
dicatat pada abad kedua dan ketiga hijriah. Maka penelitian tersebut pada
akhirnya pasti membutuhkan referensi utama dan pendukung untuk
melakukan studi terhadap hadis tersebut.
F.

REFERENSI UTAMA DALAM STUDI HADIS.
Untuk melakukan studi hadis, tentunya dibutuhkan referensi dan
literatur yang akan mendukung setiap aspek dari pengkajian yang dilakukan.
Referensi utama yang digunakan pada pengkajian dan studi hadis, tentu
adalah kitab-kitab hadis itu sendiri.
Cukup banyak kitab-kitab hadis yang banyak ditemukan dalam
khasanah kajian Islam, beberapa diantaranya adalah kitab-kitab hadis yang
sudah sangat populer bagi umat Islam karena digunakan di banyak lembaga
pendidikan Islam seperti di Pondok Pesantren serta di madrasah-madrasah
pendidikan agama Islam lainnya, seperti: Shahih Bukhari, Shahih Muslim,
Sunan Abu Daud, Sunan al-Tarmidzi, Sunan al-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah,
Al-Muwaththa’ Imam Malik, Musnad Imam Ahmad, Musnad Abu Daud
Sulaiman al-Tayalisi (133 – 203 H), Al-Kabir; Al-Wasith, Al-Shaghir
ketiganya karya Imam at-Tabrani, Al-Mustadrak Imam al-Hakin alNaisaburi, Al-Mustakhraj Abu Bakar al-Isma’ili, Syu’abul Iman al-Baihaqi;
dll.
Karya-karya terkenal lainnya dalam ilmu musthalah al-hadits
adalah:40

1.

Al-Muhaddits al-Fashil Baina al-Rawi wa al-Wa’i,
karya al-Qadhi Abu Musa al-Hasan bin Abd al-Rahman bin Khallad alRamahurmuzy (w. 360 H), tetapi tidak mencakup semua pembahasan
musthalah.

2.

Ma’rifatu’Ulum al-Hadits, karya Abu Abdillah
Muhammad bin Abdillah al-Hakim al-Naisabury (w. 405 H), hanya saja
40

Solahuddin, Hadis, h. 127

20

pembahasan-pembahasannya belum diperbaiki dan tidak disusun dengan
menarik dan sistematik.

3.

Al-Mustakhraj ‘ala Ma’rifati ‘Ulumil Hadits, karya
Abu Nu’aim Ahmad bin Abdillah al-Ashbahani (w. 430 H), di dalamnya
ia melengkapi apa yang ditulis oleh al-Hakim al-Naisaburi dalam
kitabnya Ma’rifatu ‘Ulum al-Hadits.

4.

Al-Kifayah fi Ilmi al-Riwayah, karya Abu Bakar
Ahmad bin Ali bin Tsabit al-Khatib al-Baghdadi yang mashur (w. 463
H).

5.

Al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi wa Adabi al-Sami’,
karya al-Khatib al-Baghdadi.

6.

Al-Ilma’ ila Ma’rifati Ushul al-Riwayah wa
Taqyidu al-Sami’, karya al-Qadhi ‘Iyadh bin Musa al-Yakhshuby (w. 544
H).

7.

Maa Laa Yasa’u al-Muhadditsu Jahluhu, karya Abu
Hafsh Umar bin Abd al-Majid al-Mayanji (w. 580 H).

8.

Ulum al-Hadits, karya Abu Amr Utsman bin Abd
al-Rahman al-Syahrazuri yang masyhur dengan sebutan Ibn al-Shalah (w.
634 H), dan kitabnya terkenal dengan nama “Muqaddimah Ibn alShalah”, yang merupakan kitab terbaik dalam ilmu mushtalah. Dalam
kitab ini, penyusun mengumpulkan apa yang terpisah dalam karya alKhatib dan ulama sebelumnya. Kitab ini kemudian menjadi pedoman
bagi para ulama sesudahnya,

9.

Al-Taqrib wa al-Taisir li Ma’rifati Sunan al-Basyiri
wa al-Nadzir, karya Muhyiddin Yahya bin Syaraf al-Nawawi (w. 676
H).

10.

Perkembangan

kajian

ilmu

Hadis

mencapai

puncaknya ketika Abu Amr Usman bin Abd al-Rahman al-Syahrazuri.
Nama yang terakhir disebut ini lebih populer dengan nama Ibnu Shalah
(w. 643 H) yang menulis karya ilmiah sangat monumental dan

21

fenomenal, berjudul Ulum al-Hadis, yang kemudian kondang dengan
sebutan Muqaddimah Ibn al-Shalah. Kitab ini merupakan upaya yang
sangat maksimal dalam melengkapi kelemahan di sana-sini karya-karya
sebelumnya, seperti karya-karya al-Khatib dan ulama lainnya. Dalam
kitabnya itu, ia menyebutkan secara lengkap 65 cabang ilmu Hadis dan
menuangkan segala sesuatunya dengan detail.41
Kitab-kitab tersebut, hanya sedikit dari ribuan kitab yang menjadi referensi
dalam studi hadis. Masih terdapat ratusan atau bahkan ribuan lagi jumlah
kitab yang dapat dipelajari dan dikaji oleh para peminat studi hadis.
G.

KONSTRIBUSI SARJANA BARAT DALAM STUDI HADIS
Pasca terbitnya buku “Orientalism” karya Edward Said, kecurigaan
negatif terhadap karya-karya sarjana barat yang meneliti dunia timur
semakin menguat. Kecurigaan terhadap karya ilmiah barat tidak lagi
dipandang sebagai hal yang tulus. Peneliti barat yang mengkaji timur kini
dicurigai membawa agenda terselubung yang akan merugikan dunia timur.
Peneliti barat yang ingin meneliti timur, terutama Islam harus diperiksa
terlebih dulu niatnya, apakah untuk menjelek-jelekkan nama Islam atau
penaklukan kolonialisme. Padahal beberapa orientalis Barat memberikan
kontribusi yang besar terhadap perkembangan khazanah timur, terutama
Islam. Orientalis barat dianggap tidak bisa dijadikan representasi dari karya
dan kajian Islam karena bukan dari kalangan Islam sendiri. Edward Said
berhasil menjadikan kata “orientalisme” sebagai kata yang ditakuti oleh para
pengkaji dunia timur. Setelah beberapa tahun pasca penulisan tersebut, kini
berkembang aliran baru orientalisme yang disebut post-orientalisme. Untuk
membahas hal ini, Jaringan Islam Liberal mengadakan diskusi bulanan yang
membahas perihal post-orientalisme tersebut bersama Muhammad Ali,
Asisten Professor di University of California, AS dan Luthfi Assyaukanie,
41

Ali Mustafa Yaqub (Guru Besar Ilmu Hadis IIQ Jakarta dan Imam Besar Masjid
Istiqlal Jakarta), dari situs http://www.idhamlim.com/2009/09/perkembangan-ilmu-hadis.html,
diunggah pada tanggal 22 Februari 2013, pukul 16.20 wib.

22

dosen Universitas Paramadina, Jakarta. Edward Said adalah seorang
kelahiran Palestina. Pernah belajar di Mesir, tetapi pada usia yang masih
belia sudah pindah ke Amerika Serikat. Sehingga Said bahkan tidak bisa
bahasa Arab sama sekali. Padahal, orientalis yang dikritik oleh Said sangat
mahir dalam berbahasa Arab (arabisist). Namun menurut Ali, Said tidak
pernah menganggap dirinya sebagai orang Arab. Said menganggap dirinya
hibrid, dan lebih senang mengaku sebagai seorang humanis dan lepas dari
dikotomi timur-barat. Pemikiran Said tidak sedikit mendapatkan kritikan
tajam dari para orientalis. Misalnya Bernard Lewis, seorang orientalis
sejarah Arab dan Islam yang mengkritik Said paling keras. Ada dua poin
kritik Lewis terhadap Said. Pertama, bahwa kritikan Said terhadap Barat
sebenarnya balik mengkritik pemikiran dia sendiri, karena pendekatan yang
digunakan oleh Said adalah pendekatan Barat. Kedua, pendekatan
generalisasi bahwa semua orientalis buruk dan bertujuan untuk kolonialisme
sangat tidak masuk akal. Lewis mencontohkan para orientalis Jerman yang
mempunyai banyak kajian tentang dunia timur, tapi sama sekali bukan
negara kolonial. Lewis juga menyayangkan pendekatan Said yang
menyerang struktur daripada hasil dari karya orientalisme. Nah, menurut Ali
gagasan post-orientalisme ingin merespon perdebatan ini.42
Post-orientalisme tidak menjadi antitesa bagi orientalisme, tetapi
menjadi bagian atau lanjutan dari orientalisme. Namun ada beberapa
perbedaan antara orientalisme dan post-orientalisme. Pertama, postorientalisme menggunakan self-criticism yang cenderung tidak digunakan
oleh para sarjana orientalis. Para penggiat post-orientalisme sadar bahwa
ada beberapa hal yang mereka harus akui dalam mengkaji dunia timur,
misalnya pra-konsepsi, tujuan, dan seterusnya. Kedua, bila orientalisme
cenderung lebih mengutamakan kajian pada bahasa dan teks, maka kajian
42

Rofi Uddarojat, Reportase Diskusi Bulanan Jaringan Islam Liberal Kajian Islam Pasca
Orientalisme (http://islamlib.com/id/artikel/kajian-islam-pasca-orientalisme) diunggah pada
tanggal 22 februari 2013, pukul 18.30 wib.

23

post-orientalisme lebih cenderung mengkaji masyarakat Islam (life Islam)
atau Islam yang sudah dipraktekkan. Oleh karena itu pendekatan yang
digunakan adalah social science, seperti antropologi, ilmu politik, teori
kritis, gender studies, cultural studies, dst. Jadi post-orientalisme lebih dekat
dengan ilmu sosial dan melepas fokus kajian tentang asal usul agama.
Ketiga, pendekatan yang digunakan adalah kosmopolitanisme yakni tidak
ada pemisahan dan pembedaan antar manusia. Sehingga tidak ada lagi
dikotomi negara timur-barat, Islam-non Islam, dst. Keempat, postorientalisme juga mengkritik pendekatan pencerahan (enlightment) yang
terkesan universal dan trans-historis. Sehingga dalam hal ini postorientalisme juga berperan sebagai post-enlightment. Ali mencontohkan
kritik Talal Asad tentang anggapan bahwa Islam hanya dipahami sebagai
agama (religion), padahal banyak juga masyarakat Islam yang menganggap
bahwa Islam tidak hanya agama tetapi way of life, syariat, dll. Sehingga
pendekatan era pencerahan yang universal dan trans-historis tidak lagi
relevan, karena tidak lokal dan spesifik.43
Kemudian Luthfi menyebutkan salah satu kritik Said terhadap
orientalisme, yaitu bahwa barat mengkritik Islam berdasarkan pra-konsepsi
yang dibuat barat sendiri. Menurut Luthfi awal sejarah orientalisme bukan
dari sejarah tulisan, tetapi sejarah lukisan. Pada saat itu medium informasi
tentang dunia timur di barat hanya lewat lukisan. Baru pada abad 17
mediumnya berubah menjadi tulisan. Menurut Luthfi, yang dimaksud oleh
Said adalah informasi tentang dunia timur lewat lukisan yang terbatas. Pada
saat itu perjumpaan antara timur-barat memang sangat terbatas. Kalaupun
ada perjumpaan antara dunia barat-timur, maka itupun perjumpaan yang
antagonistik, permusuhan, dan konflik. Kritik lain Said terhadap
orientalisme adalah bahwa orientalisme berkaitan erat dengan kepentingan
barat dalam imperialisme, yang oleh para penganut post-kolonialisme
sebagai relasi kekuasaan dan pengetahuan. Said mengkritik orientalis
Inggris dan Prancis yang pada saat itu negaranya sedang gencar berekspansi
43

Ibid

24

ke dunia timur. Menurut Luthfi banyak sekali kritikan terhadap Edward
Said, bahkan jauh lebih banyak daripada yang membelanya. Menanggapi
kritikan Bernard Lewis tentang Jerman, Said menulis secara khusus dan
menjelaskan bahwa kasus Jerman adalah kasus yang unik. Dan ini yang
menurut Luthfi awal dari keruntuhan tesis Said terhadap orientalisme.
Bahwa cara generalisasi dan esensialis yang dibawa oleh Said sangat lemah.
Kesalahan lain dari Said dengan mengabaikan fakta bahwa orientalisme
sudah terjadi jauh sebelum gagasan kolonialisme itu muncul. Luthfi
mencontohkan misalnya Roger Bacon yang pergi ke Maghribi di Andalusia
pada abad 15 menerjemahkan karya-karya disana ke bahasa latin dan
prancis. Dan itu sekali lagi tidak ada hubungannya dengan kolonialisme.44
Di akhir diskusi Luthfi berbicara tentang sumbangan besar para
orientalis barat terhadap dunia Islam. Menurut Luthfi, kalau tidak ada
orientalisme mungkin umat Islam tidak secepat ini bisa mengakses kitabkitab klasik. Pada akhir tahun 80-an kitab-kitab hadits, tafsir dan fiqh di
Arab hampir semuanya di edit (tahqiq) oleh para orientalis. Baru belakangan
ini setelah ada upaya dari pemerintah dan perguruan tinggi Arab,
bermunculanlah pengedit yang berasal dari kalangan Islam sendiri.
Penjelasan akan hal ini, menurut Luthfi karena pada abad 19 tidak ada
muslim yang bisa men-tahqiq buku. Maka orang-orang seperti Goldziherlah yang men-tahqiq kitab-kitab klasik. Ada satu orientalis yang sangat
berjasa terhadap khazanah Arab-Islam yaitu Gustaf Flugel. Dia men-tahqiq
dan menerbitkan buku “Al-Fihris Ibnu Nadim” yang ditulis pada 3 H. Buku
tersebut berisi buku-buku yang terbit dan yang hilang pada saat itu. Kalo
tidak ada jasa-jasa orientalis seperti Flugel, mungkin akses umat Islam
modern terhadap karya klasik akan terlambat. Selain itu, jasa orientalis
lainnya terhadap Islam adalah mengembangkan studi kritis terhadap Islam.
Sebelumnya studi Islam tidak bisa bersifat kritis karena ada pandangan
konservatif seperti sesat atau kafir. Luthfi mencontohkan orientalis seperti
Arthur Jeffery yang mengkaji Al-Quran terutama Al-Fatihah yang sangat
44

Ibid

25

detail. Hasilnya pun sangat mencengangkan. Jeffery mengkaji kenapa AlFatihah tidak dicantumkan dalam mushaf Ibnu Mas’ud. Kemudian Jeffery
mengkaji secara antropologis dan hasilnya dia menemukan bahwa bacaan
sembahyang masyarakat syiria dulu sangat mirip dengan bacaan Al-Fatihah.
Dan cara studi seperti ini menurut Luthfi sangat sehat untuk umat Islam
dalam mengembangkan pengetahuan.45
H.

PENUTUP
Akhirnya, makalah singkat ini menghantarkan kepada beberapa
kesimpulan, yaitu: Hadis adalah adalah segala berita yang dinukilkan dari
Nabi Muhammad Saw. baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir,
pengajaran sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik yang demikian itu sebelum
Nabi Saw. diangkat menjadi Rasul, maupun setelahnya.
Studi hadis tidak terlepas dari berbagai pendekatan sebagai ilmu bantu ke
arah pengkajian intensif. Beberapa di antara pendekatan dan ilmu bantu
tersebut adalah: ilmu hadis dirayah, ilmu hadis riwayah, ilmu rijalul hadis,
ilmu jarh dan ta’dil, gharibul hadis, nasikh dan mansukh, mukhtaliful hadis,
dll. Kemudian yang perlu dipahami adalah bahwa semua ilmu tersebut
terkonsentrasi pada dua unsur pokok hadis, yaitu sanad dan matan.
Dalam perkembangannya secara ke kinian, keotentikan hadis seringkali
dipersoalkan. Banyak kritikan ditujukan kepada hadis, bahkan ada yang
menolaknya. Bahwa kendatipun telah sekian lama melengkapi sumber ajaran
Islam (Alquran), hadis sekiranya masih perlu diuji keabsahan dan
validitasnya. Satu diantara beberapa penyebabnya adalah selain tidak adanya
jaminan yang tegas tentang kesahihannya, juga akibat keterlambatan penulisan
hadis itu sendiri. Sehingga sangat mungkin diduga periwayatan hadis banyak
yang palsu. Kritik terhadap hadis itu memang perlu dilakukan, karena banyak
silang pendapat, perbedaan, serta konflik di tengah kehidupan masyarakat
muslim akibat hadis-hadis yang mengundang interpretatif, baik dari sanad
maupun matan-nya banyak kritik yang dilontarkan oleh para pemikir, apakah
45

Ibid

26

dari barat atau bahkan dari timur sendiri, terhadap studi hadis. Hal ini ada baik
dan jeleknya, ada sisi positif dan negatif, tergantung pada motif dan tujuan
kritik itu.
Dalam melakukan studi hadis, supaya kajian yang dilakukan lebih dapat
dipertanggungjawabkan dan tentunya supaya kritik studi hadis juga dapat
lebih objektif serta penolakan terhadap kritik hadis juga dapat lebih beralasan,
maka salah satu langkah yang mesti ditempuh adalah dengan merujuk kepada
referensi utama dalam kajian hadis, dimana beberapa diantara referensi
tersebut telah dipaparkan di atas.
Sumbangan besar para orientalis barat terhadap dunia Islam. Menurut
Luthfi, kalau tidak ada orientalisme mungkin umat Islam tidak secepat ini bisa
mengakses kitab-kitab klasik. Pada akhir tahun 80-an kitab-kitab hadits, tafsir
dan fiqh di Arab hampir semuanya di edit (tahqiq) oleh para orientalis. Baru
belakangan ini setelah ada upaya dari pemerintah dan perguruan tinggi Arab,
bermunculanlah pengedit yang berasal dari kalangan Islam sendiri. Penjelasan
akan hal ini, menurut Luthfi karena pada abad 19 tidak ada muslim yang bisa
men-tahqiq buku. Maka orang-orang seperti Goldziher-lah yang men-tahqiq
kitab-kitab klasik. Ada satu orientalis yang sangat berjasa terhadap khazanah
Arab-Islam yaitu Gustaf Flugel. Dia men-tahqiq dan menerbitkan buku “AlFihris Ibnu Nadim” yang ditulis pada 3 H. Buku tersebut berisi buku-buku
yang terbit dan yang hilang pada saat itu. Kalo tidak ada jasa-jasa orientalis
seperti Flugel, mungkin akses umat Islam modern terhadap karya klasik akan
terlambat.
Selain itu, jasa orientalis lainnya terhadap Islam adalah mengembangkan
studi kritis terhadap Islam. Sebelumnya studi Islam tidak bisa bersifat kritis
karena ada pandangan konservatif seperti sesat atau kafir. Luthfi
mencontohkan orientalis seperti Arthur Jeffery yang mengkaji Al-Quran
terutama Al-Fatihah yang sangat detail. Hasilnya pun sangat mencengangkan.
Jeffery mengkaji kenapa Al-Fatihah tidak dicantumkan dalam mushaf Ibnu
Mas’ud. Kemudian Jeffery mengkaji secara antropologis dan hasilnya dia
menemukan bahwa bacaan sembahyang masyarakat syiria dulu sangat mirip

27

dengan bacaan Al-Fatihah. Dan cara studi seperti ini menurut Luthfi sangat
sehat untuk umat Islam dalam mengembangkan pengetahuan.

DAFTAR PUSTAKA

Abd.Hakim, Atang dan Jaih Mubarok,
Bandung:PT.Remaja Rosdakarya, 2011.

Metodologi

Studi

Islam,

28

Arif,Syamsuddin, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani,
2008.
Bustamin, dan M.Isa A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, Jakarta;
Grafindo Persada, 2004.

PT. Raja

http://arifin-jahari.blogspot.com/2011/02/makalah-studi-hadis-bagian-v.html,
diunggah tanggal 22 Februrai 2013, pukul 16.00 wib
Mudasir, Ilmu Hadis, Bandung:CV.Pustaka Setia, 2005.
Muhaimin, Studi Islam, Dalam Ragam Dimensi & Pendekatan, Jakarta:Kencana
Prenada Media Group, 2012.
Solahuddin, M.Agus, dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, Bandung:CV. Pustaka
Setia, 2011
Uddarojat,Rofi, Reportase Diskusi Bulanan Jaringan Islam Liberal Kajian Islam
Pasca
Orientalisme
(http://islamlib.com/id/artikel/kajian-islam-pascaorientalisme) diunggah pada tanggal 22 februari 2013, pukul 18.30 wib.
Yaqub,Ali Mustafa (Guru Besar Ilmu Hadis IIQ Jakarta dan Imam Besar Masjid
Istiqlal Jakarta), dari situs
http://www.idhamlim.com/2009/09/perkembangan-ilmu-hadis.html,
diunggah pada tanggal 22 Februari 2013, pukul 16.20 wib.
Yuslem, Nawir, Ulumul Hadis, Jakarta:PT.Mutiara Sumber Widya,2001.
Yuslem, Nawir, Metodologi Penelitian Hadis, Bandung: Citapustaka Media
Perintis, 2008.

29

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

FENOMENA INDUSTRI JASA (JASA SEKS) TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL ( Study Pada Masyarakat Gang Dolly Surabaya)

63 375 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45