Kasih dalam Iman Kristen dengan contoh k
Kasih dalam Iman Kristen dengan contoh kasus Mengampuni1
Abraham Silo Wilar2
“Dan yang paling besar di antaranya ialah kasih”
(1 Korintus 13:13b)
Pengantar
Kasih di dalam iman Kristen memiliki tempat sentral. Sentralitas itu
berakar di dalam kehadiran Yesus di dalam dunia ini (Yohanes 3:16). Artinya,
sejak awal, iman Kristen dan Kasih tidak dapat dipisahkan. Dengan kata‐lain,
Yang ilahi –yang hadir di dalam wujud manusia bernama Yesus, demikian
keyakinan iman Kristen—adalah kasih (1 Yohanes 4:16) dan mereka yang
tinggal di dalam kasih berada di dalam Allah.
Tulisan ini akan memberikan perhatian khusus kepada mengampuni
sebagai suatu realisasi dari kasih. Sebelum membahas fokus khusus tersebut,
tulisan ini akan secara singkat menguraikan terlebih dahulu Kasih dalam Teologi
Kristen. Di bagian ketiga, tulisan ini akan membahas aspek praktis dari
mengampuni.
Bagian Pertama:
Kasih dalam Teologi Kristen
Thomas Jay Oord menguraikan keutamaan Kasih di iman Kristen dalam
relasinya dengan “teologi terbuka.” Artinya: Oord melihat bahwa Kasih di dalam
iman Kristen adalah suatu bentuk “teologi terbuka”di mana Allah
dipresentasikan sebagai “Kasih” sehingga Allah ‐‐yang hadir di dalam wujud
manusia Yesus—dapat berinteraksi dengan manusia dan manusia dapat
merespon komunikasi tersebut (Oord, 2010:87‐88). Kehadiran “Kasih” di dalam
manusia membawa manusia
Untuk sampai ke “teologi terbuka”, Oord melihat tiga istilah Yunani yang
akrab di khazanah iman Kristen, yaitu: Agape, Philia dan Eros. Dalam iman
1 Materi ini disampaikan pada tanggal 31 Desember 2016 pada acara Dialog
Akhir Tahun 2016 yang diselenggarakan oleh Lyceum Philosophy Institute,
Makassar, Sulawesi Selatan.
2 Pendeta di Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat; Dosen Teologi di
Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah.
Kristen, Agape dipandang berada pada tingkat terutama: primus interpares. Lalu,
selanjutnya, Philia dipandang berada pada tahap kedua, dan kemudian diikuti
oleh Eros. Agape sebagai yang utama dipandang sebagai “Kasih Allah”di mana
natur dari Agape adalah “Kemurnian”dan Ilahi atau divine love; sementara itu
Philia lebih berorientasi pada praktek kasih dengan sesama atau friendship love
(Oord, 2010:50); dan eros berorientasi pada praktek mengasihi sesuatu atau
desiring love, misalnya Paulus meminta Kristen di Filipi untuk mencari apa yang
adil, murni, menyenangkan dan penuh kehormatan (Oord, 2010:49‐50). Namun
demikian, Oord juga mencatat bahwa ketiga istilah tersebut secara umum sering
digunakan secara tumpang‐tindih.
Setelah membahas ketiga istilah kunci tersebut, langkah selanjutnya Oord
mulai mengurai elemen‐elemen yang menyusun teologi kasih. Elemen‐elemen
tersebut meliputi 1. Tuhan yang mengambil inisiatif untuk bersekutu dengan
ciptaan; 2. Tuhan adalah sumber bagi ciptaan mengungkapkan kasih; 3. Kasih
adalah atribut esensial dari sifat Tuhan (Oord, 2010:53‐55); 4. Definisi Kasih
sebagai “mempromosikan well‐being”.
Setelah menguraikan elemen‐elemen dari teologi kasih, Oord memandang
teologi kasih sebagai teologi terbuka (Oord, 2010:85). Dan teologi kasih ini,
dalam iman Kristen, terungkap melalui kehadiran Yesus. Perhatikan 1 Yohanes
4:8‐9.
Bagian Kedua
Kasih sebagai Perspektif Beragama: Kasus Mengampuni
Menempatkan kasih sebagai perspektif beragama berarti: 1). Cara‐
pandang beragama berbasiskan Kasih; dan 2). Cara keberadaan memancarkan
Kasih. Itu berarti Kasih menjadi dasar dan mewarnai pikiran, perasaan dan
tindakan di dalam beragama. Untuk lebih jelasnya, berikut ini adalah contoh
yang dapat menjelaskan realisasi dari “kasih sebagai perspektif beragama”.
1. Matius 18:22
Teks Matius 18:22 memberi bentuk realisasi tersebut di dalam hal
mengampuni. Mengampuni di teks ini disebutkan “tujuh‐puluh kali tujuh‐kali
atau 70 x 7. Angka 70 x 7 ini adalah suatu ungkapan alegoris yang
menghubungkan kisah Penciptaan dengan hal mengampuni. Sehingga, dengan
koneksi tersebut, angka 7 yang ada di kisah Penciptaan (Kejadian 2:2‐3)
digunakan secara sengaja di Matius 18:22 untuk menggambarkan bahwa
mengampuni itu adalah tindakan mencipta dan tindakan kesempurnaan.
Untuk dapat memahami mengapa mengampuni sejajar dengan Kisah
Penciptaan, atau mengampuni adalah tindakan mencipta dan tindakan
kesempurnaan, kita harus melihat kembali ke sosok Yesus dalam iman Kristen.
Secara singkat, kehadiran Tuhan dalam wujud manusia, berdaging dan bertubuh,
adalah suatu hal yang baru; dalam arti, selama ini manusia mengenal tiga format
relasi Tuhan dengan manusia, yaitu 1). Fenomena alam; 2). Para Nabi; dan 3).
Avatar/Gambar Spiritual tertentu. Hadirnya Tuhan dalam wujud manusia adalah
format baru yang melewati ketiga format yang sudah ada. Tuhan yang berwujud
manusia tidak ada di ketiga format di atas.
2. Matius 6:12 dan Lukas 11:4
Kedua teks di atas memuat Doa Bapa Kami yang di dalam Doa itu terdapat
ajaran Yesus tentang mengampuni. Sehingga, dengan demikian, mengampuni
dalam iman Kristen adalah suatu imperatif kategoris; artinya, ia adalah suatu
keharusan moral. Sebagai suatu keharusan moral, mengampuni mengatasi
kemarahan, dan ketidak‐adilan. Dengan demikian, mengampuni melampaui soal
keadilan dari tindakan yang tidak adil dan melampaui soal kebenaran dari
tindakan yang tidak‐benar; mengampuni adalah hal kesempurnaan. Bukan adil
dan benar tetapi kesempurnaan dari ketidaksempurnaan.
Doa Bapa Kami adalah Doa yang mengajarkan Kesempurnaan, melampaui
adil dan benar. Secara khusus, Kesempurnaan di dalam berdoa. Secara umum,
Kesempurnaan di dalam menjalani hidup: menguduskan Tuhan, menanti
kehendak‐Nya, meminta sesuai kebutuhan/tidak tamak, mengampuni seperti
Allah mengampuni, memohon perlindungan dari Allah saja, dan mengakui kuasa
Tuhan. Itulah hidup sempurna.
Ketika Mengampuni terjadi
Sebagai suatu tindakan mencipta dan kesempurnaan, mengampuni atau
pengampunan memiliki tiga hal berikut:
1. Pengampunan adalah Penciptaan
Tindakan mengampuni adalah tindakan mencipta, bukan sekedar
mengampuni suatu tindakan‐salah. Tetapi, mengampuni adalah mencipta dunia
baru bagi pihak yang mengampuni dan pihak yang diampuni. Masing‐masing
memasuki suatu dunia baru di mana relasi yang lama berada di belakang mereka
dan relasi baru menanti kedua‐belah pihak.
Untuk menggambarkan tindakan mengampuni adalah tindakan mencipta,
iman Kristen memakai ungkapan “manusia‐baru”; suatu istilah yang berkaitan
erat dengan “ritus baptisan” dan “pertobatan” (Anthony Bash, 2007:82). Dengan
kata‐lain, tindakan mengampuni memiliki proses secara internal di setiap orang
dan proses internal tersebut berlangsung di dalam ritus baptisan dan
pertobatan. Artinya, setiap orang yang telah dibaptis dan bertobat adalah orang‐
orang yang mengampuni, ciptaan baru.
2. Pengampunan adalah Kesempurnaan
Hal ini terjadi karena di saat mengampuni, orang yang mengampuni
disempurnakan kemanusiaannya; dan orang‐yang‐diampuni dipulihkan
martabatnya, kembali menjadi sempurna. Bila selama ini manusia menempatkan
hal yang terkait kesempurnaan adalah dunia Yang‐Ilahi atau “monopoli‐Tuhan”,
maka kini manusia yang tidak sempurna via mengampuni diberi ruang untuk
berpartisipasi di dalam dunia Yang‐Ilahi.
3. Pengampunan Menciptakan Manusia berkarakter Ilahi dan Dunia
berkarakter Penebusan
Ketika manusia yang identik dengan ketidaksempurnaan via mengampuni
diberi ruang untuk berpartisipasi di dalam dunia Yang‐Ilahi, itu berarti
sebenarnya Manusia berkarakter Ilahi muncul sebagai suatu ciptaan baru. Tidak
hanya manusia, tetapi dunia yang selama ini identik stigma kepekatan,
kegelapan dan kesesatan ternyata dunia ini via mengampuni menjadi ciptaan
baru: dunia berkarakter penebusan.
Bagian Ketiga
Mengampuni di masa teror kebencian dan kematian
Kisah Trinity Hutahaen (4 tahun), korban bom di Samarinda yang terjadi
pada 13 November 2016 silam, telah menjadi preseden yang sempurna bagi kita
melihat bagaimana mengampuni di masa teror kebencian dan kematian. Tidak
mudah bicara pengampunan di masa seperti ini. Tidak mudah juga melakukan
pengampunan. Tetapi, keluarga Trinity Hutahaen memaafkan pelaku teror
kebencian dan kematian, Juhanda.
Tindakan mengampuni yang dilakukan oleh keluarga Trinity Hutahaean
adalah contoh sempurna bahwa manusia berkarakter Ilahi dan dunia
berkarakter penebusan adalah hal yang mungkin terjadi di tengah‐tengah dunia
yang solicitous. Berikut ini perkataan Roina Simanjuntak, anggota keluarga dari
Trinity Hutahaean, tentang mengampuni yang dilakukan oleh keluarga Trinity
Hutahaean: “Tuhan lah yang akan memberi balasan karena pelaku telah
menyakiti anak‐anak yang tidak berdosa. Pihak keluarga tidak mengutuk pelaku
teror tersebut. Namun, pihaknya menyerahkan segalanya kepada Tuhan karena
Tuhan mengajarkan untuk memaafkan dan bukan membalas kejahatan”.3
Hanya orang‐orang yang mampu mengampuni yang dapat menjadi
epifania dari kehadiran Yang‐Ilahi. Sebab, hanya Tuhan sendiri yang mampu
melakukan pengampunan. Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh keluarga
Trinity Hutahaean karena Tuhan hadir di tengah keluarga. Sehingga, walaupun
terluka dan berduka atas penderitaan yang dialami oleh Trinity, sesuatu yang
tidak adil dan tidak benar, keluarga ini berjalan melampaui kategori adil‐benar
untuk menuju ke kesempurnaan.
Hal lain yang perlu dicatat adalah teror Kristen‐phobia atas umat
Kristiani yang dilakukan oleh ormas Islam tertentu, yaitu FPI dan MUI. Ini juga
adalah suatu panggilan spiritual untuk umat Kristiani melampaui kategori adil‐
benar dari ketidak‐adilan dan ketidak‐benaran demi menuju ke kesempurnaan.
Dalam bingkai inilah, apa yang dilakukan dipandang tidak perlu dibalas dengan
menebar teror kebencian yang serupa: mengampuni. Tidak hanya itu. Hal ini
adalah panggilan spiritual yang memotivasi umat Kristiani untuk berbagi
hospitalitas terhadap para pelaku teror.
Respon Prof. Jan S. Aritonang atas Fatwa no.56 tahun 2016 yang
dikeluarkan oleh MUI adalah contoh bagaimana teror Kristen‐phobia direspon
3
http://regional.kompas.com/read/2016/11/15/12545501/keluarga.trinity.me
maafkan.pelaku.pengeboman.di.samarinda . Diakses 31 Desember 2016.
dengan ajakan untuk berdiskusi tentang sebutan kafir bagi orang‐Kristen.
Singkatnya, teror kebencian harus direspon dengan keramah‐tamahan dan
pengampunan. Ini adalah aplikasi dari pemahaman dan praktek kasih di dalam
iman Kristen.
Penutup:
Menuju dunia berkarakter penebusan
Stigma bahwa dunia yang kelam ini adalah dunia yang tidak dapat
berubah ditantang oleh Kasih; sebab, meski kejahatan terlihat sangat massif dan
budaya kematian mengepung, Kasih bekerja melalui manusia yang berkarakter
Ilahi untuk melawan stigma tersebut. Hasilnya: gerak dunia yang tidak dapat
berubah menuju dunia berkarakter penebusan. Artinya, dunia yang kelam ini
dapat berubah. Dan perubahan itu dimulai oleh Kasih yang mengubah individu‐
individu yang berkarakter duniawi menjadi manusia berkarakter Ilahi.
Tahun 2017 adalah ruang dan waktu untuk perubahan itu terjadi. Oleh
karena itu, mari menuju ke kesempurnaan agar Sang Sempurna berkenan hadir
di hari‐hari baru di tahun 2017 yang akan kita masuki. Selamat Tahun Baru
2017. Tuhan beserta kita!
Abraham Silo Wilar2
“Dan yang paling besar di antaranya ialah kasih”
(1 Korintus 13:13b)
Pengantar
Kasih di dalam iman Kristen memiliki tempat sentral. Sentralitas itu
berakar di dalam kehadiran Yesus di dalam dunia ini (Yohanes 3:16). Artinya,
sejak awal, iman Kristen dan Kasih tidak dapat dipisahkan. Dengan kata‐lain,
Yang ilahi –yang hadir di dalam wujud manusia bernama Yesus, demikian
keyakinan iman Kristen—adalah kasih (1 Yohanes 4:16) dan mereka yang
tinggal di dalam kasih berada di dalam Allah.
Tulisan ini akan memberikan perhatian khusus kepada mengampuni
sebagai suatu realisasi dari kasih. Sebelum membahas fokus khusus tersebut,
tulisan ini akan secara singkat menguraikan terlebih dahulu Kasih dalam Teologi
Kristen. Di bagian ketiga, tulisan ini akan membahas aspek praktis dari
mengampuni.
Bagian Pertama:
Kasih dalam Teologi Kristen
Thomas Jay Oord menguraikan keutamaan Kasih di iman Kristen dalam
relasinya dengan “teologi terbuka.” Artinya: Oord melihat bahwa Kasih di dalam
iman Kristen adalah suatu bentuk “teologi terbuka”di mana Allah
dipresentasikan sebagai “Kasih” sehingga Allah ‐‐yang hadir di dalam wujud
manusia Yesus—dapat berinteraksi dengan manusia dan manusia dapat
merespon komunikasi tersebut (Oord, 2010:87‐88). Kehadiran “Kasih” di dalam
manusia membawa manusia
Untuk sampai ke “teologi terbuka”, Oord melihat tiga istilah Yunani yang
akrab di khazanah iman Kristen, yaitu: Agape, Philia dan Eros. Dalam iman
1 Materi ini disampaikan pada tanggal 31 Desember 2016 pada acara Dialog
Akhir Tahun 2016 yang diselenggarakan oleh Lyceum Philosophy Institute,
Makassar, Sulawesi Selatan.
2 Pendeta di Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat; Dosen Teologi di
Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah.
Kristen, Agape dipandang berada pada tingkat terutama: primus interpares. Lalu,
selanjutnya, Philia dipandang berada pada tahap kedua, dan kemudian diikuti
oleh Eros. Agape sebagai yang utama dipandang sebagai “Kasih Allah”di mana
natur dari Agape adalah “Kemurnian”dan Ilahi atau divine love; sementara itu
Philia lebih berorientasi pada praktek kasih dengan sesama atau friendship love
(Oord, 2010:50); dan eros berorientasi pada praktek mengasihi sesuatu atau
desiring love, misalnya Paulus meminta Kristen di Filipi untuk mencari apa yang
adil, murni, menyenangkan dan penuh kehormatan (Oord, 2010:49‐50). Namun
demikian, Oord juga mencatat bahwa ketiga istilah tersebut secara umum sering
digunakan secara tumpang‐tindih.
Setelah membahas ketiga istilah kunci tersebut, langkah selanjutnya Oord
mulai mengurai elemen‐elemen yang menyusun teologi kasih. Elemen‐elemen
tersebut meliputi 1. Tuhan yang mengambil inisiatif untuk bersekutu dengan
ciptaan; 2. Tuhan adalah sumber bagi ciptaan mengungkapkan kasih; 3. Kasih
adalah atribut esensial dari sifat Tuhan (Oord, 2010:53‐55); 4. Definisi Kasih
sebagai “mempromosikan well‐being”.
Setelah menguraikan elemen‐elemen dari teologi kasih, Oord memandang
teologi kasih sebagai teologi terbuka (Oord, 2010:85). Dan teologi kasih ini,
dalam iman Kristen, terungkap melalui kehadiran Yesus. Perhatikan 1 Yohanes
4:8‐9.
Bagian Kedua
Kasih sebagai Perspektif Beragama: Kasus Mengampuni
Menempatkan kasih sebagai perspektif beragama berarti: 1). Cara‐
pandang beragama berbasiskan Kasih; dan 2). Cara keberadaan memancarkan
Kasih. Itu berarti Kasih menjadi dasar dan mewarnai pikiran, perasaan dan
tindakan di dalam beragama. Untuk lebih jelasnya, berikut ini adalah contoh
yang dapat menjelaskan realisasi dari “kasih sebagai perspektif beragama”.
1. Matius 18:22
Teks Matius 18:22 memberi bentuk realisasi tersebut di dalam hal
mengampuni. Mengampuni di teks ini disebutkan “tujuh‐puluh kali tujuh‐kali
atau 70 x 7. Angka 70 x 7 ini adalah suatu ungkapan alegoris yang
menghubungkan kisah Penciptaan dengan hal mengampuni. Sehingga, dengan
koneksi tersebut, angka 7 yang ada di kisah Penciptaan (Kejadian 2:2‐3)
digunakan secara sengaja di Matius 18:22 untuk menggambarkan bahwa
mengampuni itu adalah tindakan mencipta dan tindakan kesempurnaan.
Untuk dapat memahami mengapa mengampuni sejajar dengan Kisah
Penciptaan, atau mengampuni adalah tindakan mencipta dan tindakan
kesempurnaan, kita harus melihat kembali ke sosok Yesus dalam iman Kristen.
Secara singkat, kehadiran Tuhan dalam wujud manusia, berdaging dan bertubuh,
adalah suatu hal yang baru; dalam arti, selama ini manusia mengenal tiga format
relasi Tuhan dengan manusia, yaitu 1). Fenomena alam; 2). Para Nabi; dan 3).
Avatar/Gambar Spiritual tertentu. Hadirnya Tuhan dalam wujud manusia adalah
format baru yang melewati ketiga format yang sudah ada. Tuhan yang berwujud
manusia tidak ada di ketiga format di atas.
2. Matius 6:12 dan Lukas 11:4
Kedua teks di atas memuat Doa Bapa Kami yang di dalam Doa itu terdapat
ajaran Yesus tentang mengampuni. Sehingga, dengan demikian, mengampuni
dalam iman Kristen adalah suatu imperatif kategoris; artinya, ia adalah suatu
keharusan moral. Sebagai suatu keharusan moral, mengampuni mengatasi
kemarahan, dan ketidak‐adilan. Dengan demikian, mengampuni melampaui soal
keadilan dari tindakan yang tidak adil dan melampaui soal kebenaran dari
tindakan yang tidak‐benar; mengampuni adalah hal kesempurnaan. Bukan adil
dan benar tetapi kesempurnaan dari ketidaksempurnaan.
Doa Bapa Kami adalah Doa yang mengajarkan Kesempurnaan, melampaui
adil dan benar. Secara khusus, Kesempurnaan di dalam berdoa. Secara umum,
Kesempurnaan di dalam menjalani hidup: menguduskan Tuhan, menanti
kehendak‐Nya, meminta sesuai kebutuhan/tidak tamak, mengampuni seperti
Allah mengampuni, memohon perlindungan dari Allah saja, dan mengakui kuasa
Tuhan. Itulah hidup sempurna.
Ketika Mengampuni terjadi
Sebagai suatu tindakan mencipta dan kesempurnaan, mengampuni atau
pengampunan memiliki tiga hal berikut:
1. Pengampunan adalah Penciptaan
Tindakan mengampuni adalah tindakan mencipta, bukan sekedar
mengampuni suatu tindakan‐salah. Tetapi, mengampuni adalah mencipta dunia
baru bagi pihak yang mengampuni dan pihak yang diampuni. Masing‐masing
memasuki suatu dunia baru di mana relasi yang lama berada di belakang mereka
dan relasi baru menanti kedua‐belah pihak.
Untuk menggambarkan tindakan mengampuni adalah tindakan mencipta,
iman Kristen memakai ungkapan “manusia‐baru”; suatu istilah yang berkaitan
erat dengan “ritus baptisan” dan “pertobatan” (Anthony Bash, 2007:82). Dengan
kata‐lain, tindakan mengampuni memiliki proses secara internal di setiap orang
dan proses internal tersebut berlangsung di dalam ritus baptisan dan
pertobatan. Artinya, setiap orang yang telah dibaptis dan bertobat adalah orang‐
orang yang mengampuni, ciptaan baru.
2. Pengampunan adalah Kesempurnaan
Hal ini terjadi karena di saat mengampuni, orang yang mengampuni
disempurnakan kemanusiaannya; dan orang‐yang‐diampuni dipulihkan
martabatnya, kembali menjadi sempurna. Bila selama ini manusia menempatkan
hal yang terkait kesempurnaan adalah dunia Yang‐Ilahi atau “monopoli‐Tuhan”,
maka kini manusia yang tidak sempurna via mengampuni diberi ruang untuk
berpartisipasi di dalam dunia Yang‐Ilahi.
3. Pengampunan Menciptakan Manusia berkarakter Ilahi dan Dunia
berkarakter Penebusan
Ketika manusia yang identik dengan ketidaksempurnaan via mengampuni
diberi ruang untuk berpartisipasi di dalam dunia Yang‐Ilahi, itu berarti
sebenarnya Manusia berkarakter Ilahi muncul sebagai suatu ciptaan baru. Tidak
hanya manusia, tetapi dunia yang selama ini identik stigma kepekatan,
kegelapan dan kesesatan ternyata dunia ini via mengampuni menjadi ciptaan
baru: dunia berkarakter penebusan.
Bagian Ketiga
Mengampuni di masa teror kebencian dan kematian
Kisah Trinity Hutahaen (4 tahun), korban bom di Samarinda yang terjadi
pada 13 November 2016 silam, telah menjadi preseden yang sempurna bagi kita
melihat bagaimana mengampuni di masa teror kebencian dan kematian. Tidak
mudah bicara pengampunan di masa seperti ini. Tidak mudah juga melakukan
pengampunan. Tetapi, keluarga Trinity Hutahaen memaafkan pelaku teror
kebencian dan kematian, Juhanda.
Tindakan mengampuni yang dilakukan oleh keluarga Trinity Hutahaean
adalah contoh sempurna bahwa manusia berkarakter Ilahi dan dunia
berkarakter penebusan adalah hal yang mungkin terjadi di tengah‐tengah dunia
yang solicitous. Berikut ini perkataan Roina Simanjuntak, anggota keluarga dari
Trinity Hutahaean, tentang mengampuni yang dilakukan oleh keluarga Trinity
Hutahaean: “Tuhan lah yang akan memberi balasan karena pelaku telah
menyakiti anak‐anak yang tidak berdosa. Pihak keluarga tidak mengutuk pelaku
teror tersebut. Namun, pihaknya menyerahkan segalanya kepada Tuhan karena
Tuhan mengajarkan untuk memaafkan dan bukan membalas kejahatan”.3
Hanya orang‐orang yang mampu mengampuni yang dapat menjadi
epifania dari kehadiran Yang‐Ilahi. Sebab, hanya Tuhan sendiri yang mampu
melakukan pengampunan. Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh keluarga
Trinity Hutahaean karena Tuhan hadir di tengah keluarga. Sehingga, walaupun
terluka dan berduka atas penderitaan yang dialami oleh Trinity, sesuatu yang
tidak adil dan tidak benar, keluarga ini berjalan melampaui kategori adil‐benar
untuk menuju ke kesempurnaan.
Hal lain yang perlu dicatat adalah teror Kristen‐phobia atas umat
Kristiani yang dilakukan oleh ormas Islam tertentu, yaitu FPI dan MUI. Ini juga
adalah suatu panggilan spiritual untuk umat Kristiani melampaui kategori adil‐
benar dari ketidak‐adilan dan ketidak‐benaran demi menuju ke kesempurnaan.
Dalam bingkai inilah, apa yang dilakukan dipandang tidak perlu dibalas dengan
menebar teror kebencian yang serupa: mengampuni. Tidak hanya itu. Hal ini
adalah panggilan spiritual yang memotivasi umat Kristiani untuk berbagi
hospitalitas terhadap para pelaku teror.
Respon Prof. Jan S. Aritonang atas Fatwa no.56 tahun 2016 yang
dikeluarkan oleh MUI adalah contoh bagaimana teror Kristen‐phobia direspon
3
http://regional.kompas.com/read/2016/11/15/12545501/keluarga.trinity.me
maafkan.pelaku.pengeboman.di.samarinda . Diakses 31 Desember 2016.
dengan ajakan untuk berdiskusi tentang sebutan kafir bagi orang‐Kristen.
Singkatnya, teror kebencian harus direspon dengan keramah‐tamahan dan
pengampunan. Ini adalah aplikasi dari pemahaman dan praktek kasih di dalam
iman Kristen.
Penutup:
Menuju dunia berkarakter penebusan
Stigma bahwa dunia yang kelam ini adalah dunia yang tidak dapat
berubah ditantang oleh Kasih; sebab, meski kejahatan terlihat sangat massif dan
budaya kematian mengepung, Kasih bekerja melalui manusia yang berkarakter
Ilahi untuk melawan stigma tersebut. Hasilnya: gerak dunia yang tidak dapat
berubah menuju dunia berkarakter penebusan. Artinya, dunia yang kelam ini
dapat berubah. Dan perubahan itu dimulai oleh Kasih yang mengubah individu‐
individu yang berkarakter duniawi menjadi manusia berkarakter Ilahi.
Tahun 2017 adalah ruang dan waktu untuk perubahan itu terjadi. Oleh
karena itu, mari menuju ke kesempurnaan agar Sang Sempurna berkenan hadir
di hari‐hari baru di tahun 2017 yang akan kita masuki. Selamat Tahun Baru
2017. Tuhan beserta kita!