MANUSIA dan PENDIDIKAN inklusif dinas
Landasan Pendidikan
Kelompok 1 :
Amani Fadhilah (1504164)
Reka Putra Pandega (150)
Anysa (150)
Tiara Arfah (150)
Octaviani Lanberta (1501002)
MANUSIA
DAN
PENDIDIKAN
A. Hakikat Manusia
1. Manusia adalah Makhluk Tuhan YME
Aliran
Bagaimanakah asal-usul alam semesta
dan asal-usul keber-ada-an dirinya
sendiri ????
Evolusionesim
e
Kreasionisme
Menurut J.D Butler, 1968
Menurut Evolusionisme
Manusia adalah hasil puncak dari
mata rantai evolusi yang terjadi
di alam semesta. Manusiasebagaimana halnya alam
semesta-ada dengan sendirinya
berkembang dari alam itu
sendiri, tanpa Pencipta
Menurut Kreasionisme
Asal-usul manusia
sebagaimana halnya alam
semesta adalah ciptaan
suatu Creative Cause atau
Personality, yaitu Tuhan
YME.
4 argumen penolakan
secara filosofis :
Argumen Ontologis
Argumen Kosmologis
Argumen Teleologis
Argumen Moral
Argumen ontologis
Semua manusia memiliki ide tentang
Tuhan. Sementara itu, bahwa realitas
(kenyataan) lebbih sempurna
daripada ide manusia. Sebab itu,
Tuhan pasti ada dan realitas ada-Nya
itu pasti lebih sempurna daripada ide
manusia tentang Tuhan.
Argumen Kosmologis
Manusia bermoral, ia dapat
membedakkan perbuatan yang
baik dan yang jahat, dsb. Ini
menunjukkan adanya dasar,
sumber dan tujuan moralitas.
Dasar, sumber, dan tujuan
moralitas itu adalah Tuhan.
Argumen Teleologis
Segala sesuatu yang ada mesti mempunyai
suatu sebab. Adanya alam semesta
termasuk manusia adalah sebagai akibat. Di
alam semesta terdapat rangkaian sebabakibat, namun tentunya mesti ada Sebab
Pertama yang tidak disebabkan oleh yang
lainnya. Sebab pertama adalahh sumber
bagi sebab-sebab yang lainnya, tidak berada
sebagai materi, melainkan sebagai “Pribadi”
atau “khalik”.
Argumen Moral
Segala sesuatu memiliki tujuan
(contoh; mata untuk melihat,
kaki untuk berjalan dsb.).
Sebab itu, segala sesuatu
(realitas) tidak terjadi dengan
sendirinya melainkan
diciptakan oleh Pengatur tujuan
2. Manusia sebagai
Kesatuan Badani-Rohani
Julien de La Mettrie
dan Feuerbach
Plato
Rene Descartes
E.F. Schumacher
Julien de La Mettrie dan Feuerbach
Bahwa esensi manusia semata-mata
bersifat badani (tubuh/fisiknya). Sebab itu,
segala hal yang bersifat kejiwaan/spiritual
dipandang hanya sebagai resonansi dari
berfungsinya badan/organ tubuh. Tubuhlah
yang mempengaruhi jiwa. Pandangan
hubungan antara badan dan jiwa seperti
itu dikenal sebagai Epiphenomenalisme
(J.D. Bulter, 1968).
Plato
Bahwa esensi manusia bersifta
kejiwaan/spiritual/rohaniah. Menurut plato jiwa
mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada
badan. Jiwa berperan sebagai pemimpin
badan, jiwalah yang mempengaruhi badan,
karena itu badan mempunyai ketergantungan
kepada jiwa. Pandangan tentang hubungan
badan dan jiwa seperti itu dikenal sebagai
Spiritualisme (J.D. Bulter, 1968).
Rene Descartes
Pandangan ini secara tegas bersifat dualistik.
Esensi manusia terdiri atas 2 substansi, yaitu
badan dan jiwa. Maka dalam gagasannya ia
berpendapat bahwa antara keduanya tidak
terdapat hubungan saling mempengaruhi (S.E.
Frost Jr., 1957). Namun dalam pikiran
commonsense-nya bahwa setiap peristiwa
kejiwaan selalu pararel dengan peristiwa badaniah,
atau sebaliknya. Pandangan hubungan antara
badan dan jiwa seperti itu dikenal sebagai
Paralelisme (J.D. Bulter, 1968).
E.F. Schumacher
Semua pandangan tesebut dibantah oleh
pandangan bahwa manusia adalah kesatuan
dari yang bersifat badani dan rohani yang
secara prinsipal berbeda daripada benda,
tumbuhan, hewan, maupun Tuhan. Sejalan
dengan ini Abdurahman Sholih Abdullah
(1991) menegaskan: “meski manusia
merupakan perpaduan 2 unsur yang berbeda,
ruh dan badan, namun ia merupakan pribadi
yang integral”.
3. Individualitas/personalitas
Manusia memiliki perbedaaan dengan
yang lainnya sehingga setiap individu
bersifat unik. Setiap manusia memiliki
subjektivitas (ke-diri-sendirian), maka
hakikatnya pribadi. Adapun
pribadi/subjek, setiap manusia bebas
mengambil tindakan atas pilihan serta
tanggung jawab sendiri (otonom)
untuk menandaskan keberadaannya di
dalam lingkungan. Jadi dapat
disimpulkan bahwa manusia dalah
individu/pribadi, artinya menusia
adalah satu kesatuan yang tak dapat
dibagi, memiliki perbedaan dengan
yang lainnya sehingga bersifat unik
dan merupakan subjek yang otonom.
4. Sosialitas
Manusia tidak mungkin hidup sendirian.
Manusia harus hidup bersama dengan
sesamanya (bermasyarakat), setiap
individu menepati kedudukan (status)
tertentu, mempunyai dunia dan
tujuannya masing-masing. Sehubungan
dengan ini aristoteles menyebut manusia
sebagai makhluk sosial dan makhluk
bermasyarakat (Ernst Cassirer, 1987).
Ernst menyatakan: “manusia takkan
menemukan diri, manusia takkan
menyadari individualitasnya kecuali
melalui perantara pergaulan sosial”.
Adapun Theo Hujibers mengemukakan:
“dunia hidupku dipengaruhi oleh orang
kain sedemikian rupa, sehingga demikian
mendapat arti sebenarnya dari aku
bersama orang lain itu”.
Karena setiap manusia adalah
pribadi/individu, dan karena
terdapat hubungan pengaruh
timbal balik antara individu
dengan sesamanya, maka
idealnya situasi hubungan
antaranya itu tidak merupakan
hubungan antara subjek dengan
objek, melainkan subjek dengan
subjek yang oleh Martin Buber
disebut hubungan I-Thou/ Aku
Engkau (Maurice S. Friedman,
1954). Selain itu, hendaknya
terdapat keseimbangan antara
individualitas dan sosialitas
pada setiap manusia.
5. Keberbudayaan
Kebudayaan adalah “keseluruhan sistem
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia
dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik manusia dengan belajar”
(Koentjaraningrat, 1985). Ada 3 jenis wujud
kebudayaan, yaitu:
sebagai kompleks dari ide-ide, ilmu
pengetahuan, nilai-nilai, norma-norma,
peraturan-peraturan, dsb;
sebagai kompleks aktivitas kelakuan
berpola dari manusia dalam masyarakat.
sebagai benda-benda hasil karya
manusia
Manusia menggunakan kebudayaan dalam
ranga memenuhi berbagai kebutuhannya
atau untuk berbagai tujuannya. Bahkan
manusia baru menjadi manusia karena dan
bersama dengan kebudayaannya.
Didalam kebudayaan dan dengan
kebudayaan itu manusia menemukan dan
mewujudkan diri. Ernst menegaskan:
“Manusia tidak menjadi manusia karena
sebuah faktor didalam dirinya, misalnya
naluri atau akal budi, melainkan fungsi
kehidupannya, yaitu pekerjaannya,
kebudayaannya”. (C.A. Van Peursen,
1988).
Itu menunjukkan bahwa kebudayaan
memiliki fungsi positif bagi kemungkinan
eksistensi manusia, namun apabila
manusia kurang bijaksana dalam
mengembangkannya maka kebudayaan
dapat menimbulkan kekuatan-kekuatan
yang mengancam eksistensi manusia.
Kebudayaan tidak besifat statis,
melainkan dinamis. Kodrat dinamika pada
diri manusia membuat adanya perubahan
dan pembaruan kebudayaan. Hal ini
didukung oleh pengaruh kebudayaan luar.
6. Moralitas
Manusia memiliki kata hati yang
dapat membedakan antara baik
dan jahat. Menurut Immanuel
Kant pada manusai terdapat
rasio praktis yang memberikan
perintah mutlak (categorial
imperative). Sebagai subjek
yang otonom manusia selalu
dihadapkan pada suatu
alternatif tindakan/perbuatan
yang harusnya dipilih.
Kebebasan untuk bertindak itu
selalu berhubungan dengan
norma-norma moral dan nilai-
7. Keberagaman
Merupakan salah satu karakteristik
esensial eksistensi manusia yang
terungkap dalam bentuk pengakuan
atau keyakinan akan kebenaran suatu
agama. Manusia memiliki potensi untuk
mampu beriman dan bertakwa kepada
Tuhan YME. Tuhan pun telah menurunkan
wahyu melalui Utusan-utusan-Nya, dan
telah menggelar tanda-tanda di alam
semesta untuk dipikirkan oleh manusia
agar manusia beriman dan bertaqwa
kepada-Nya. Dalam keberagamaan ini
hidup manusia akan bermakna dan
manusia akan menemukan asal-usulnya,
dasar hidupnya, tata cara hidupnya, dan
menjadi jelas pula ke mana arah tujuan
hidupnya.
8. Historisitas
Artinya bahwa keberadaan manusia pada saat
ini terpaut kepada masa lalunya,. Historisitas
memiliki fungsi dalam eksistensi manusia. Karl
Jaspers menyatakan: “Manusia harus tahu
siapa dia tadinya, untuk menjadi sadar
kemungkinan menjadi apa dia nantinya. Masa
lampaunya yang historis adalah faktor dasar
yang tidak dapat dihindarkan bagi masa
depannya”. (Fuad Hasan, 1973). Tujuan hidup
manusia mencakup 3 dimensi, yaitu:
1) Dimensi ruang (di sini – disana, dunia –
akhirat)
2) Dimensi waktu (masa sekarang-masa
datang)
3) Dimensi nilai (baik-tidak baik)
Tujuan hidup manusia tiada lain adalah untuk
mencapai keselamatan/kebahagiaan di dunia
dan di akhirat, atau untuk mendapatkan ridho
Tuhan YME.
9. Komunikasi/Interakasi
Komunikasi/interaksi ini
dilakukannya baik secara
vertikal, yaitu dengan TuhanNya; secara horizontal yaitu
dengan alam dan sesama
manusia serta budayanya;
dan bahkan dengan “dirinya
sendiri”. Demikianlah
interaksi/komunikasi tersebut
bersifat multi dimensi.
10. Dinamika
N. Drijarkara S.J. (1986) menyatakan bahwa
manusia mempunyai atau berupa dinamika
(manusia sebagai dinamika), artinya
manusia tidak pernah berhenti, selalu dalam
keaktifan, baik dalam aspek fisiologik
maupun spiritualnya. Dinamika arah
horisontal maupun arah transendental.
Dinamika itu adalah untuk penyempurnaan
diri baik dalam hubungannya dengan
sesama, dunia dan Tuhan. Karena manusia
subjek, ia dapat mengontrol dinamikanya,
namun karena manusia dibekali nafsu
sebagai insan sosial mamka dinamika itu
tidak sepenuhnya selalu dapat dikuasainya.
Terkadang muncul dorongan dan pengaruh
negatif. Sehubungan dengan itu, idealnya
manusia harus secara sengaja dan secara
prinsipal menguasai dirinya agar
dinamikanya itu betul-betul sesuai dengan
arah yang seharusnya.
11. Eksistensi Manusia adalah
untuk Menjadi Manusia
Eksistensi manusia bersifat dinamis.
Bereksistensi artinya merencanakan,
berbuat dan menjadi. Eksistensi manusia
tiada lain adalah untuk menjadi manusia.
Tegasnya ia harus menjadi manusia ideal.
Idealitas ini bersumber dari Tuhan melalui
ajaran agama yang diturunkan-Nya, dan dari
sesamaa dan budayanya, bahkan dari diri
manusia itu sendiri. Adapun manusia ideal
yang dimaksud adalah manusia yang
mampu mewujudkan berbagai potensinya
secara optimal, sehingga beriman dan
bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak
mulia, sehat, cerdas, berperasaan,
berkemauan, dan mampu berkarya; mampu
memenuhi berbagai kebutuhannya secara
wajar, mampu mengendalikan hawa
nafsunya; berkepribadian, bermasyarakat
dan berbudaya.
B. Prinsip-Prinsip Antropologis
Keharusan Pendidikan: Manusia
sebagai Makhluk yang perlu Didik
dan Mendidik Diri
Prinsip Historisitas
Prinsip Idealitas
Prinsip Posibilitas/aktualitas
Prinsip Historitas
Manusia terpaut dengan masa lalunya
sekaligus mengarah ke masa depan
untuk mencapai tujuan hidupnya.
Manusia berada dalam perjalanan
hidup, dalam perkembangan dan
pengembangan diri. Ia adalah manusia
tetapi sekaligus “belum selesai”
mewujudkan dirinya sebagai manusia.
Prinsip Idealitas
Manusia mengemban tugas untuk
menjadi manusia ideal. Sosok manusia
ideal merupakan gambaran manusia
yang dicita-citakannya aau yang
seharusnya. Sebab itu, sosok manusia
ideal tersebut belum terwujudkan
melainkan harus diupayakan untuk
mewujudkannya.
Prinsip Posibilitas/Aktualitas
Perkebambangan manusia bersifat terbuka.
Manusia memang telah dibekali berbagai
potensi untuk mampu menjadi manusia. Namun
setelah kelahirannya, bahwa berbagai potensi
tesebut mungkin terwujud, mungkin kurang
terwujud, atau mungkin pula tidak terwujud.
Manusia mungkin berkembang sesuai kodrat
dan martabat kemanusiaannya, sebaliknya
mungkin pula ia berkembang ke arah yang
kurang atau tidak sesuai dengan kodrat dan
martabat kemanusiaannya. Contoh: Dalam
kehidupan sehari-hari, kita menemukan
Perkembangan manusia bersifat terbuka atau serba
mungkin, dan hal ini didukung bukti. Inilah prinsip
posibilitas/prinsip aktualitas. Dapat dipahami bahwa berbagai
kemampuan yang seharusnya dilakukan manusia tidak di
bawa sejak kelahirannya, melainkan harus diperoleh setelah
kelahirannya dalam perkembangan menuju kedewasaannya.
Tapi mungkin saja diperoleh manusia melalui upaya bantuan
dari pihak lain. Mungkin dalam bentuk pengasuhan,
pengajaran, latihan, bimbingan, dan berbagai bentuk
kegiatan lainnya yang dapat dirangkumkan dalam istilah
pendidikan. Manusia juga harus belajar atau harus mendidik
diri. Mengapa manusia harus belajar??? Sebab, dalam
eksistensi yang harus meng-ada-kan/mnejadikan diri itu
hakikatnya adalah manusia itu sendiri. Tetapi apabila
seseorang tersebut tidak mau mendidik diri, maka upaya
bantuan tersebut tidak akan memberikan kontribusi bagi
kemungkinan seseorang tadi untuk menjadi manusia.
Menurut Immanuel Kant, manusia belum selesai
menjadi manusia, ia dibebani keharusan untuk
menjadi manusia tetapi ia tidak dengan sendirinya
menjadi manusia, untuk menjadi manusia ia perlu
dididik dan mendidik diri. “Manusia dapat menjadi
manusia hanya melalui pendidikan”. Berdasarkan
uraian tersebut disimpulka bahwa manusia adalah
makhluk yang perlu dididik dan mendidik diri.
Terdapat tiga prinsip antropologis yang menjadi
asumsi perlunya manusia mendapatkan pendidikan
dan perlu mendidik diri, yaitu:
1) Prinsip historisitas.
2) Prinsip idelaitas.
3) Prinsip posibilitas/aktualitas.
C. Prinsip-Prinsip
Kemungkinan Pendidikan:
Manusia sebagai Makhluk
Dapat Dididik
Prinsip Potensialitas
Prinsip Dinamika
Prinsip Individualitas
Prinsip Sosialitas
Prinsip Moralitas
Prinsip Potensialitas
Pendidikan bertujuan agar seseorang menjadi manusia
ideal. Antara lain adalah manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan YME, bermoral/berakhlak
muliar, cerdas, berperasaan, berkemauan, mampu
berkarya, dst. Manusia memiliki potensi, yaitu:
1) Potensi untuk berima dan bertaqwa kepada Tuhan
YME.
2) Potensi untuk mampu berbuat baik.
3) Potensi cipta, rasa, karsa.
4) Potensi karya.
Prinsip Dinamika
Manusia (peserta didik) itu sendiri memiliki dinamika
untuk menjadi ideal. Manusia selalu aktif baik dalam
aspek fisiologik maupun spiritualnya. Manusia selalu
menginginkan dan mengejar segala hal yang lebih
dari apa yang telah ada atau yang dicapainya.
Manusia berupaya untuk mengaktualisasikan diri
agar menjadi manusia ideal, baik dalam rangka
interaksi/komunikasinya secara horisontal maupun
vertikal. Karena itu dinamika manusia
mengimplikasikan bahwa ia akan dapat dididik.
Prinsip Individualitas
Praktek pendidikan merupakan upaya pendidik
memfasilitasi manusia yang antara lain
diarahkan agar ia mampu menjadi dirinya
sendiri (menjadi seseorang/pribadi). Manusia
(peserta didik) adalah individu yang memiliki
ke-diri-sendirian (subyektivitas), bebas dan aktif
berupaya untuk menjadi dirinya sendiri. Sebab
itu individualitas mengimpilikasikan bahwa
manusia akan dapat dididik.
Prinsip Sosialitas
Pendidikan hakikatnya berlangsung dalam
interaksi/komunikasi antar sesama manusia. Melalui
interaksi/komunikasi pengaruh pendidikan
disampaikan oleh pendidik dan diterima oleh peserta
didik. Pada hakikatnya, manusia adalah makhluk
sosial, ia hidup bersama dengan sesamanya. Akan
terjadi hubungan timbal balik dimana setiap individu
akan menerima pengaruh dari individu yang lainnya.
Sebab itu sosialitas mengimpilikasikan bahwa
manusia akan dapat dididik.
Prinsip Moralitas
Pendidikan bersifat normatif, artinya dilaksanakan
berdasarkan sistem norma dan nilai tertentu.
Pendidikan juga bertujuan agar manusia berakhlak
mulia; agar manusia berperilaku sesuai dengan nilainilai dan norma-norma yang bersumber dari agama,
masyarakat dan budayanya. Manusia mampu
membedakan yang baik dan jahat. Atas dasar itu,
jelas bahwa manusia akan dapat dididik. Dengan
mengacu pada asumsi bahwa manusia akan dapat
dididik diharapkan manusia menjadi sabar dan tabah
melaksanakan pendidikan,
D. Pendidikan Sebagai
Humanisasi
Definisi
Pendidikan,
keharusan
manusia , sebagimana dinyatakan Karl
Japers bahwa: “to be a man is to become
a man” / ada sebagai manusia adalah
menjadi manusia (Fuad Hasan, 1973).
Adapun manusia akan dapat menjadi
manusia hanya melalui pendidikan.
Impilikasinya maka pendidikan tiada lain
adalah humanisasi (upaya memanusiakan
manusia).
Sasaran Pendidikan hakikatnya adalah
manusia
sebagai
kesatuan
yang
terintegrasi.
Jika
tidak
demikian,
pendidikan tidak akan dapat membantu
kita
demi
mewujudkan
(mengembangkan) manusia seutuhnya
Sebagai Humanisasi, pendidikan
mengandung pengertian yang sangat
luas. Karena itu, pendidikan hendaknya
tidak direduksi menjadi sebatas
pengajaran saja. Pendidikan jangan
direduksi menjadi sebatas latihan saja.
Pendidikan jangan pula direduksi hanya
menjadi sebatas sosialisasi saja. Sebagai
humanisasi pendidikan seharusnta
meliputi berbagai bentuk kegiatan
dalam upaya mengembangkan berbagai
potensi manusia dalam konteks dimensi
keberagamaan, moralitas, individualitas,
sosialitas, dan keberbudayaan secara
menyeluruh dan terintergrasi.
Pendidikan adalah bagi siapapun,
berlangsung dimanapun, melalui
berbagai bentuk kegiatan, dan
kapanpun. Pentingnya pendidikan bukan
hanya pada masa kanak-kanak saja.
Prinsip sosialitas mengimplikasi bahwa
pendidik mempunyai kemungkinan untuk
dapat mempengaruhi peserta didik.
tetapi, humanisasi bukanlan
pembentukkan peserta didik atas dasar
kehendak sepihak dari pendidik.
Alasanya, karena peserta didik
hakikatnya adalah subjek yang otonom.
Sekuat apapun upaya yang dilakukan
pendidik, apabila dilakukan dengan
melanggar prinsio individualitas dari
peserta didik, maka upaya itu tidak akan
berhasil. Implikasinya peranan pendidik
bukanlah membentuk peserta didik,
melainkan membantu atau memfasilitasi
peserta didik untuk mewujudkan dirinya
dengan mengacu kepada semboyan
ingarso sung tulodo (memberikan
teladan), ing madya mangun karso
(membangkitkan semangat), dan tut wuri
handayani (membimbing).
Sifat pendidik yang normatif dan
dimensi moralitas
mengimplikasikan bahwa
pendidikan hanyalah bagi
manusia, tidak ada pendidikan
bagi hewan. Karena manusia
memiliki potensi untuk mampu
berbuat baik, dan dibekali kata
hati. Sementara hewan, tidak
memiliki kemampuan untuk
membedakkan baik/tidak
baiknay suatu perbuatan,
tingkah laku hewan tidak dapat
dinilai baik ataupun jahat. Sebab
itu, istilah dan makna pendidikan
tidak berlaku untuk hewa.
Tujuan dan fungsi pendidikan,
pendidikan diupayakan berawal
dari
manusia
apa
adanya
(aktualitas)
dengan
mempertimbangkan
berbagai
kemungkinan yang ada padanya
(potensialitas), dan diarahkan
menuju terwujudnya manusia
yang seharusnya/ dicita-citakan.
Sosok manusia yang dicitacitakan atau yang menjadi
tujuan
pendidikan
adalah
manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan YME,
berakhlak mulia, sehat, cerdas,
berperasaan, berkemauan, dan
Terimakasih ya
Kelompok 1 :
Amani Fadhilah (1504164)
Reka Putra Pandega (150)
Anysa (150)
Tiara Arfah (150)
Octaviani Lanberta (1501002)
MANUSIA
DAN
PENDIDIKAN
A. Hakikat Manusia
1. Manusia adalah Makhluk Tuhan YME
Aliran
Bagaimanakah asal-usul alam semesta
dan asal-usul keber-ada-an dirinya
sendiri ????
Evolusionesim
e
Kreasionisme
Menurut J.D Butler, 1968
Menurut Evolusionisme
Manusia adalah hasil puncak dari
mata rantai evolusi yang terjadi
di alam semesta. Manusiasebagaimana halnya alam
semesta-ada dengan sendirinya
berkembang dari alam itu
sendiri, tanpa Pencipta
Menurut Kreasionisme
Asal-usul manusia
sebagaimana halnya alam
semesta adalah ciptaan
suatu Creative Cause atau
Personality, yaitu Tuhan
YME.
4 argumen penolakan
secara filosofis :
Argumen Ontologis
Argumen Kosmologis
Argumen Teleologis
Argumen Moral
Argumen ontologis
Semua manusia memiliki ide tentang
Tuhan. Sementara itu, bahwa realitas
(kenyataan) lebbih sempurna
daripada ide manusia. Sebab itu,
Tuhan pasti ada dan realitas ada-Nya
itu pasti lebih sempurna daripada ide
manusia tentang Tuhan.
Argumen Kosmologis
Manusia bermoral, ia dapat
membedakkan perbuatan yang
baik dan yang jahat, dsb. Ini
menunjukkan adanya dasar,
sumber dan tujuan moralitas.
Dasar, sumber, dan tujuan
moralitas itu adalah Tuhan.
Argumen Teleologis
Segala sesuatu yang ada mesti mempunyai
suatu sebab. Adanya alam semesta
termasuk manusia adalah sebagai akibat. Di
alam semesta terdapat rangkaian sebabakibat, namun tentunya mesti ada Sebab
Pertama yang tidak disebabkan oleh yang
lainnya. Sebab pertama adalahh sumber
bagi sebab-sebab yang lainnya, tidak berada
sebagai materi, melainkan sebagai “Pribadi”
atau “khalik”.
Argumen Moral
Segala sesuatu memiliki tujuan
(contoh; mata untuk melihat,
kaki untuk berjalan dsb.).
Sebab itu, segala sesuatu
(realitas) tidak terjadi dengan
sendirinya melainkan
diciptakan oleh Pengatur tujuan
2. Manusia sebagai
Kesatuan Badani-Rohani
Julien de La Mettrie
dan Feuerbach
Plato
Rene Descartes
E.F. Schumacher
Julien de La Mettrie dan Feuerbach
Bahwa esensi manusia semata-mata
bersifat badani (tubuh/fisiknya). Sebab itu,
segala hal yang bersifat kejiwaan/spiritual
dipandang hanya sebagai resonansi dari
berfungsinya badan/organ tubuh. Tubuhlah
yang mempengaruhi jiwa. Pandangan
hubungan antara badan dan jiwa seperti
itu dikenal sebagai Epiphenomenalisme
(J.D. Bulter, 1968).
Plato
Bahwa esensi manusia bersifta
kejiwaan/spiritual/rohaniah. Menurut plato jiwa
mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada
badan. Jiwa berperan sebagai pemimpin
badan, jiwalah yang mempengaruhi badan,
karena itu badan mempunyai ketergantungan
kepada jiwa. Pandangan tentang hubungan
badan dan jiwa seperti itu dikenal sebagai
Spiritualisme (J.D. Bulter, 1968).
Rene Descartes
Pandangan ini secara tegas bersifat dualistik.
Esensi manusia terdiri atas 2 substansi, yaitu
badan dan jiwa. Maka dalam gagasannya ia
berpendapat bahwa antara keduanya tidak
terdapat hubungan saling mempengaruhi (S.E.
Frost Jr., 1957). Namun dalam pikiran
commonsense-nya bahwa setiap peristiwa
kejiwaan selalu pararel dengan peristiwa badaniah,
atau sebaliknya. Pandangan hubungan antara
badan dan jiwa seperti itu dikenal sebagai
Paralelisme (J.D. Bulter, 1968).
E.F. Schumacher
Semua pandangan tesebut dibantah oleh
pandangan bahwa manusia adalah kesatuan
dari yang bersifat badani dan rohani yang
secara prinsipal berbeda daripada benda,
tumbuhan, hewan, maupun Tuhan. Sejalan
dengan ini Abdurahman Sholih Abdullah
(1991) menegaskan: “meski manusia
merupakan perpaduan 2 unsur yang berbeda,
ruh dan badan, namun ia merupakan pribadi
yang integral”.
3. Individualitas/personalitas
Manusia memiliki perbedaaan dengan
yang lainnya sehingga setiap individu
bersifat unik. Setiap manusia memiliki
subjektivitas (ke-diri-sendirian), maka
hakikatnya pribadi. Adapun
pribadi/subjek, setiap manusia bebas
mengambil tindakan atas pilihan serta
tanggung jawab sendiri (otonom)
untuk menandaskan keberadaannya di
dalam lingkungan. Jadi dapat
disimpulkan bahwa manusia dalah
individu/pribadi, artinya menusia
adalah satu kesatuan yang tak dapat
dibagi, memiliki perbedaan dengan
yang lainnya sehingga bersifat unik
dan merupakan subjek yang otonom.
4. Sosialitas
Manusia tidak mungkin hidup sendirian.
Manusia harus hidup bersama dengan
sesamanya (bermasyarakat), setiap
individu menepati kedudukan (status)
tertentu, mempunyai dunia dan
tujuannya masing-masing. Sehubungan
dengan ini aristoteles menyebut manusia
sebagai makhluk sosial dan makhluk
bermasyarakat (Ernst Cassirer, 1987).
Ernst menyatakan: “manusia takkan
menemukan diri, manusia takkan
menyadari individualitasnya kecuali
melalui perantara pergaulan sosial”.
Adapun Theo Hujibers mengemukakan:
“dunia hidupku dipengaruhi oleh orang
kain sedemikian rupa, sehingga demikian
mendapat arti sebenarnya dari aku
bersama orang lain itu”.
Karena setiap manusia adalah
pribadi/individu, dan karena
terdapat hubungan pengaruh
timbal balik antara individu
dengan sesamanya, maka
idealnya situasi hubungan
antaranya itu tidak merupakan
hubungan antara subjek dengan
objek, melainkan subjek dengan
subjek yang oleh Martin Buber
disebut hubungan I-Thou/ Aku
Engkau (Maurice S. Friedman,
1954). Selain itu, hendaknya
terdapat keseimbangan antara
individualitas dan sosialitas
pada setiap manusia.
5. Keberbudayaan
Kebudayaan adalah “keseluruhan sistem
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia
dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik manusia dengan belajar”
(Koentjaraningrat, 1985). Ada 3 jenis wujud
kebudayaan, yaitu:
sebagai kompleks dari ide-ide, ilmu
pengetahuan, nilai-nilai, norma-norma,
peraturan-peraturan, dsb;
sebagai kompleks aktivitas kelakuan
berpola dari manusia dalam masyarakat.
sebagai benda-benda hasil karya
manusia
Manusia menggunakan kebudayaan dalam
ranga memenuhi berbagai kebutuhannya
atau untuk berbagai tujuannya. Bahkan
manusia baru menjadi manusia karena dan
bersama dengan kebudayaannya.
Didalam kebudayaan dan dengan
kebudayaan itu manusia menemukan dan
mewujudkan diri. Ernst menegaskan:
“Manusia tidak menjadi manusia karena
sebuah faktor didalam dirinya, misalnya
naluri atau akal budi, melainkan fungsi
kehidupannya, yaitu pekerjaannya,
kebudayaannya”. (C.A. Van Peursen,
1988).
Itu menunjukkan bahwa kebudayaan
memiliki fungsi positif bagi kemungkinan
eksistensi manusia, namun apabila
manusia kurang bijaksana dalam
mengembangkannya maka kebudayaan
dapat menimbulkan kekuatan-kekuatan
yang mengancam eksistensi manusia.
Kebudayaan tidak besifat statis,
melainkan dinamis. Kodrat dinamika pada
diri manusia membuat adanya perubahan
dan pembaruan kebudayaan. Hal ini
didukung oleh pengaruh kebudayaan luar.
6. Moralitas
Manusia memiliki kata hati yang
dapat membedakan antara baik
dan jahat. Menurut Immanuel
Kant pada manusai terdapat
rasio praktis yang memberikan
perintah mutlak (categorial
imperative). Sebagai subjek
yang otonom manusia selalu
dihadapkan pada suatu
alternatif tindakan/perbuatan
yang harusnya dipilih.
Kebebasan untuk bertindak itu
selalu berhubungan dengan
norma-norma moral dan nilai-
7. Keberagaman
Merupakan salah satu karakteristik
esensial eksistensi manusia yang
terungkap dalam bentuk pengakuan
atau keyakinan akan kebenaran suatu
agama. Manusia memiliki potensi untuk
mampu beriman dan bertakwa kepada
Tuhan YME. Tuhan pun telah menurunkan
wahyu melalui Utusan-utusan-Nya, dan
telah menggelar tanda-tanda di alam
semesta untuk dipikirkan oleh manusia
agar manusia beriman dan bertaqwa
kepada-Nya. Dalam keberagamaan ini
hidup manusia akan bermakna dan
manusia akan menemukan asal-usulnya,
dasar hidupnya, tata cara hidupnya, dan
menjadi jelas pula ke mana arah tujuan
hidupnya.
8. Historisitas
Artinya bahwa keberadaan manusia pada saat
ini terpaut kepada masa lalunya,. Historisitas
memiliki fungsi dalam eksistensi manusia. Karl
Jaspers menyatakan: “Manusia harus tahu
siapa dia tadinya, untuk menjadi sadar
kemungkinan menjadi apa dia nantinya. Masa
lampaunya yang historis adalah faktor dasar
yang tidak dapat dihindarkan bagi masa
depannya”. (Fuad Hasan, 1973). Tujuan hidup
manusia mencakup 3 dimensi, yaitu:
1) Dimensi ruang (di sini – disana, dunia –
akhirat)
2) Dimensi waktu (masa sekarang-masa
datang)
3) Dimensi nilai (baik-tidak baik)
Tujuan hidup manusia tiada lain adalah untuk
mencapai keselamatan/kebahagiaan di dunia
dan di akhirat, atau untuk mendapatkan ridho
Tuhan YME.
9. Komunikasi/Interakasi
Komunikasi/interaksi ini
dilakukannya baik secara
vertikal, yaitu dengan TuhanNya; secara horizontal yaitu
dengan alam dan sesama
manusia serta budayanya;
dan bahkan dengan “dirinya
sendiri”. Demikianlah
interaksi/komunikasi tersebut
bersifat multi dimensi.
10. Dinamika
N. Drijarkara S.J. (1986) menyatakan bahwa
manusia mempunyai atau berupa dinamika
(manusia sebagai dinamika), artinya
manusia tidak pernah berhenti, selalu dalam
keaktifan, baik dalam aspek fisiologik
maupun spiritualnya. Dinamika arah
horisontal maupun arah transendental.
Dinamika itu adalah untuk penyempurnaan
diri baik dalam hubungannya dengan
sesama, dunia dan Tuhan. Karena manusia
subjek, ia dapat mengontrol dinamikanya,
namun karena manusia dibekali nafsu
sebagai insan sosial mamka dinamika itu
tidak sepenuhnya selalu dapat dikuasainya.
Terkadang muncul dorongan dan pengaruh
negatif. Sehubungan dengan itu, idealnya
manusia harus secara sengaja dan secara
prinsipal menguasai dirinya agar
dinamikanya itu betul-betul sesuai dengan
arah yang seharusnya.
11. Eksistensi Manusia adalah
untuk Menjadi Manusia
Eksistensi manusia bersifat dinamis.
Bereksistensi artinya merencanakan,
berbuat dan menjadi. Eksistensi manusia
tiada lain adalah untuk menjadi manusia.
Tegasnya ia harus menjadi manusia ideal.
Idealitas ini bersumber dari Tuhan melalui
ajaran agama yang diturunkan-Nya, dan dari
sesamaa dan budayanya, bahkan dari diri
manusia itu sendiri. Adapun manusia ideal
yang dimaksud adalah manusia yang
mampu mewujudkan berbagai potensinya
secara optimal, sehingga beriman dan
bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak
mulia, sehat, cerdas, berperasaan,
berkemauan, dan mampu berkarya; mampu
memenuhi berbagai kebutuhannya secara
wajar, mampu mengendalikan hawa
nafsunya; berkepribadian, bermasyarakat
dan berbudaya.
B. Prinsip-Prinsip Antropologis
Keharusan Pendidikan: Manusia
sebagai Makhluk yang perlu Didik
dan Mendidik Diri
Prinsip Historisitas
Prinsip Idealitas
Prinsip Posibilitas/aktualitas
Prinsip Historitas
Manusia terpaut dengan masa lalunya
sekaligus mengarah ke masa depan
untuk mencapai tujuan hidupnya.
Manusia berada dalam perjalanan
hidup, dalam perkembangan dan
pengembangan diri. Ia adalah manusia
tetapi sekaligus “belum selesai”
mewujudkan dirinya sebagai manusia.
Prinsip Idealitas
Manusia mengemban tugas untuk
menjadi manusia ideal. Sosok manusia
ideal merupakan gambaran manusia
yang dicita-citakannya aau yang
seharusnya. Sebab itu, sosok manusia
ideal tersebut belum terwujudkan
melainkan harus diupayakan untuk
mewujudkannya.
Prinsip Posibilitas/Aktualitas
Perkebambangan manusia bersifat terbuka.
Manusia memang telah dibekali berbagai
potensi untuk mampu menjadi manusia. Namun
setelah kelahirannya, bahwa berbagai potensi
tesebut mungkin terwujud, mungkin kurang
terwujud, atau mungkin pula tidak terwujud.
Manusia mungkin berkembang sesuai kodrat
dan martabat kemanusiaannya, sebaliknya
mungkin pula ia berkembang ke arah yang
kurang atau tidak sesuai dengan kodrat dan
martabat kemanusiaannya. Contoh: Dalam
kehidupan sehari-hari, kita menemukan
Perkembangan manusia bersifat terbuka atau serba
mungkin, dan hal ini didukung bukti. Inilah prinsip
posibilitas/prinsip aktualitas. Dapat dipahami bahwa berbagai
kemampuan yang seharusnya dilakukan manusia tidak di
bawa sejak kelahirannya, melainkan harus diperoleh setelah
kelahirannya dalam perkembangan menuju kedewasaannya.
Tapi mungkin saja diperoleh manusia melalui upaya bantuan
dari pihak lain. Mungkin dalam bentuk pengasuhan,
pengajaran, latihan, bimbingan, dan berbagai bentuk
kegiatan lainnya yang dapat dirangkumkan dalam istilah
pendidikan. Manusia juga harus belajar atau harus mendidik
diri. Mengapa manusia harus belajar??? Sebab, dalam
eksistensi yang harus meng-ada-kan/mnejadikan diri itu
hakikatnya adalah manusia itu sendiri. Tetapi apabila
seseorang tersebut tidak mau mendidik diri, maka upaya
bantuan tersebut tidak akan memberikan kontribusi bagi
kemungkinan seseorang tadi untuk menjadi manusia.
Menurut Immanuel Kant, manusia belum selesai
menjadi manusia, ia dibebani keharusan untuk
menjadi manusia tetapi ia tidak dengan sendirinya
menjadi manusia, untuk menjadi manusia ia perlu
dididik dan mendidik diri. “Manusia dapat menjadi
manusia hanya melalui pendidikan”. Berdasarkan
uraian tersebut disimpulka bahwa manusia adalah
makhluk yang perlu dididik dan mendidik diri.
Terdapat tiga prinsip antropologis yang menjadi
asumsi perlunya manusia mendapatkan pendidikan
dan perlu mendidik diri, yaitu:
1) Prinsip historisitas.
2) Prinsip idelaitas.
3) Prinsip posibilitas/aktualitas.
C. Prinsip-Prinsip
Kemungkinan Pendidikan:
Manusia sebagai Makhluk
Dapat Dididik
Prinsip Potensialitas
Prinsip Dinamika
Prinsip Individualitas
Prinsip Sosialitas
Prinsip Moralitas
Prinsip Potensialitas
Pendidikan bertujuan agar seseorang menjadi manusia
ideal. Antara lain adalah manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan YME, bermoral/berakhlak
muliar, cerdas, berperasaan, berkemauan, mampu
berkarya, dst. Manusia memiliki potensi, yaitu:
1) Potensi untuk berima dan bertaqwa kepada Tuhan
YME.
2) Potensi untuk mampu berbuat baik.
3) Potensi cipta, rasa, karsa.
4) Potensi karya.
Prinsip Dinamika
Manusia (peserta didik) itu sendiri memiliki dinamika
untuk menjadi ideal. Manusia selalu aktif baik dalam
aspek fisiologik maupun spiritualnya. Manusia selalu
menginginkan dan mengejar segala hal yang lebih
dari apa yang telah ada atau yang dicapainya.
Manusia berupaya untuk mengaktualisasikan diri
agar menjadi manusia ideal, baik dalam rangka
interaksi/komunikasinya secara horisontal maupun
vertikal. Karena itu dinamika manusia
mengimplikasikan bahwa ia akan dapat dididik.
Prinsip Individualitas
Praktek pendidikan merupakan upaya pendidik
memfasilitasi manusia yang antara lain
diarahkan agar ia mampu menjadi dirinya
sendiri (menjadi seseorang/pribadi). Manusia
(peserta didik) adalah individu yang memiliki
ke-diri-sendirian (subyektivitas), bebas dan aktif
berupaya untuk menjadi dirinya sendiri. Sebab
itu individualitas mengimpilikasikan bahwa
manusia akan dapat dididik.
Prinsip Sosialitas
Pendidikan hakikatnya berlangsung dalam
interaksi/komunikasi antar sesama manusia. Melalui
interaksi/komunikasi pengaruh pendidikan
disampaikan oleh pendidik dan diterima oleh peserta
didik. Pada hakikatnya, manusia adalah makhluk
sosial, ia hidup bersama dengan sesamanya. Akan
terjadi hubungan timbal balik dimana setiap individu
akan menerima pengaruh dari individu yang lainnya.
Sebab itu sosialitas mengimpilikasikan bahwa
manusia akan dapat dididik.
Prinsip Moralitas
Pendidikan bersifat normatif, artinya dilaksanakan
berdasarkan sistem norma dan nilai tertentu.
Pendidikan juga bertujuan agar manusia berakhlak
mulia; agar manusia berperilaku sesuai dengan nilainilai dan norma-norma yang bersumber dari agama,
masyarakat dan budayanya. Manusia mampu
membedakan yang baik dan jahat. Atas dasar itu,
jelas bahwa manusia akan dapat dididik. Dengan
mengacu pada asumsi bahwa manusia akan dapat
dididik diharapkan manusia menjadi sabar dan tabah
melaksanakan pendidikan,
D. Pendidikan Sebagai
Humanisasi
Definisi
Pendidikan,
keharusan
manusia , sebagimana dinyatakan Karl
Japers bahwa: “to be a man is to become
a man” / ada sebagai manusia adalah
menjadi manusia (Fuad Hasan, 1973).
Adapun manusia akan dapat menjadi
manusia hanya melalui pendidikan.
Impilikasinya maka pendidikan tiada lain
adalah humanisasi (upaya memanusiakan
manusia).
Sasaran Pendidikan hakikatnya adalah
manusia
sebagai
kesatuan
yang
terintegrasi.
Jika
tidak
demikian,
pendidikan tidak akan dapat membantu
kita
demi
mewujudkan
(mengembangkan) manusia seutuhnya
Sebagai Humanisasi, pendidikan
mengandung pengertian yang sangat
luas. Karena itu, pendidikan hendaknya
tidak direduksi menjadi sebatas
pengajaran saja. Pendidikan jangan
direduksi menjadi sebatas latihan saja.
Pendidikan jangan pula direduksi hanya
menjadi sebatas sosialisasi saja. Sebagai
humanisasi pendidikan seharusnta
meliputi berbagai bentuk kegiatan
dalam upaya mengembangkan berbagai
potensi manusia dalam konteks dimensi
keberagamaan, moralitas, individualitas,
sosialitas, dan keberbudayaan secara
menyeluruh dan terintergrasi.
Pendidikan adalah bagi siapapun,
berlangsung dimanapun, melalui
berbagai bentuk kegiatan, dan
kapanpun. Pentingnya pendidikan bukan
hanya pada masa kanak-kanak saja.
Prinsip sosialitas mengimplikasi bahwa
pendidik mempunyai kemungkinan untuk
dapat mempengaruhi peserta didik.
tetapi, humanisasi bukanlan
pembentukkan peserta didik atas dasar
kehendak sepihak dari pendidik.
Alasanya, karena peserta didik
hakikatnya adalah subjek yang otonom.
Sekuat apapun upaya yang dilakukan
pendidik, apabila dilakukan dengan
melanggar prinsio individualitas dari
peserta didik, maka upaya itu tidak akan
berhasil. Implikasinya peranan pendidik
bukanlah membentuk peserta didik,
melainkan membantu atau memfasilitasi
peserta didik untuk mewujudkan dirinya
dengan mengacu kepada semboyan
ingarso sung tulodo (memberikan
teladan), ing madya mangun karso
(membangkitkan semangat), dan tut wuri
handayani (membimbing).
Sifat pendidik yang normatif dan
dimensi moralitas
mengimplikasikan bahwa
pendidikan hanyalah bagi
manusia, tidak ada pendidikan
bagi hewan. Karena manusia
memiliki potensi untuk mampu
berbuat baik, dan dibekali kata
hati. Sementara hewan, tidak
memiliki kemampuan untuk
membedakkan baik/tidak
baiknay suatu perbuatan,
tingkah laku hewan tidak dapat
dinilai baik ataupun jahat. Sebab
itu, istilah dan makna pendidikan
tidak berlaku untuk hewa.
Tujuan dan fungsi pendidikan,
pendidikan diupayakan berawal
dari
manusia
apa
adanya
(aktualitas)
dengan
mempertimbangkan
berbagai
kemungkinan yang ada padanya
(potensialitas), dan diarahkan
menuju terwujudnya manusia
yang seharusnya/ dicita-citakan.
Sosok manusia yang dicitacitakan atau yang menjadi
tujuan
pendidikan
adalah
manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan YME,
berakhlak mulia, sehat, cerdas,
berperasaan, berkemauan, dan
Terimakasih ya