Mengenal Bentuk Dan Konsep Otonomi Desa
MENGENAL BENTUK DAN KONSEP OTONOMI DESA
SEBELUM DAN SESUDAH UU NO 6 TAHUN 2016
Negara kesatuan Republik Indonesia tidak akan pernah berdiri tegak, seandainya
perjuangan untuk menegakkan kemerdekaan tidak didukung oleh rakyat di desa-desa dan
diseluruh tanah air. Maka dari itu, meminjam pendapat Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H 1, Desa
dan kehidupan masyarakat desa adalah fondasi atau tiang utama kehidupan bernegara
Indonesia.
Sebagai sebuah entitas yang memiliki hak otonomi asli dan bersifat istimewa 2,
Keberadaan Desa sebagai kesatuan masyarakat yang memiliki keistimewaan tersendiri yang
tidak bisa disamakan dengan keistimewaan kesatuan pemerintahan daerah (Provinsi Aceh,
DKI jakarta atau Yogyakarta). Hal ini dikarenakan Desa mempunyai Otonomi asli, bulat dan
utuh yang ke-otonomi-annya bukan merupakan pemberian ataupun penyerahan wewenang
dari pemerintah, melainkan berasalkan dari asal-usul dan adat istiadatnya yang
keberadaannya jauh lebih dulu ada sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia itu sendiri
terbentuk.
Mengenai bentuk dan konsep otonomi desa itu sendiri, ada baiknya jika diketahui
terlebih dahulu, pengertian atau apa yang dimaksud sebagai desa. Menurut Soetardjo
kartohadikusoemo3, desa merupakan suatu kesatuan hukum, dimana bertempat tinggal
suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri. Sementara itu menurut
Prof. Dr. Hazairin, S.H.4, bahwa desa di jawa dan di madura, nagari diminangkabau
merupakan masyarakat hukum adat, yang merupakan kesatuan-kesatuan kemasyarakatan
yang memiliki kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu memiliki
1 Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta Barat; PT.
BHUANA ILMU POPULER, hlm.49
2 Lihat penjelasan pasal 18 pada Penjelasan UUD NRI 1945 sebelum perubahan, pada point II berbunyi “Dalam
territori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zelfbesturende landschappen” dan
“Volksgemeenschappen”, seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di
Palembang, dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan Asli dan oleh karenanya dapat dianggap
sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah
istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal
usul daerah tersebut”.
3 Soetardjo kartohadikusoemo, 1953, Desa, Yogyakarta. Hlm. 2
4 Hazairin, 1970, Demokrasi Pancasila, Jakarta; Tintamas, Hlm. 44
kesatuan hukum, kesatuan penguasa, dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak
sesama atas tanah dan air bagi semua anggotanya.
Sehingga dengan demikian, apa yang dimaksud “..daerah-daerah yang bersifat
istimewa.” dalam pasal 18 UUD NRI 1945 (sebelum perubahan) ialah “Zelfbesturende
landschappen” dan “Volksgemeenschappen”, seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau,
dusun dan marga di Palembang, dan sebagainya, merupakan daerah yang bersifat istimewa yang
keistimewaannya itu terletak pada susunan aslinya dan pengaturan daerahnya yang ditentukan oleh
hukum adat setempat.
Adapun sejarah perjalanan peraturan yang mengatur terkait pengaturan desa, baik
sebelum Indonesia merdeka dan berdaulat maupun setelah Indonesia merdeka, merupakan
suatu proses kristalisasi norma yang bisa dibilang cukup lama seiring dengan kompleksitas
dan keberagaman jenis desa yang di Indonesia. hal ini bisa dilihat pada sejarah
perkembangan pengaturan terkait desa, yang sangat dinamis dan kompleks, yang
kebanyakan dari pengaturan tersebut, sangat jarang ditemukan dalam suatu peraturan
Undang-Undang khusus atau Undang-Undang tersendiri yang mengatur secara ekslusif
mengenai Desa. Kebanyakan sari peraturan tersebut di selipkan pada pengaturan mengenai
Pemerintahan Desa, seperti pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Tentang Penetapan
Aturan-Aturan Pokok Mengenai pemerintahan Sendiri Di Daerah-Daerah Yang Berhak
Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang PokokPokok Pemerintahan di Daerah, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, dan kemudian Lalu setelah amandemen kedua UUD NRI 1945 pada
tahun 20005, pengaturan mengenai Desa diatur pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah.
Terkecuali, ditahun 1965 dan di tahun 1974, terdapat Undang-Undang yang
mengatur secara khusus mengenai desa, seperti Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965
tentang Desa Praja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah
5 Dalam amandemen tersebut, pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat (keberadaan desa)
dipertegas dalam UUD NRI 1945 dengan penambahan pasal pada pasal 18, yaitu pasal 18B ayat (2) yang
berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”
Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979
tentang Pemerintahan Desa
Adapun Sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia merdeka, Di masa penjajahan
pemerintah Hindia belanda misalnya, terdapat juga peraturan yang mengatur secara khusus
mengenai desa, yaitu pada tahun 1906 dengan Staatsblad nomor 3, Pemerintah Belanda
menetapkan Inlandsche Gemente Ordonantie (I.G.O.), dan pada tahun 1938, Inlandsche
Gemente Ordonantie Buitengewesten (I.G.O.B.). Kedua Ordonatie ini di maksudkan untuk
mengatur desa sebagai kesatuan masyarakat Hukum adat, yang terhadap jawa dan madura
berlaku Inlandsche Gemente Ordonantie (I.G.O.), dan terhadap di luar jawa dan madura
berlaku Inlandsche Gemente Ordonantie Buitengewesten (I.G.O.B.).
Kembali pada pembahasan mengenai bentuk dan otonomi desa, jika kita lihat pada
keseluruhan pengaturan peraturan Undang-Undang terkait desa, baik yang diselipkan di
dalam pengaturan terkait pemerintah, maupun di atur secara khusus dalam suatu UndangUndang tertentu, bisa kita lihat seperti apa bentuk dan otonomi bentuk yang diakui oleh
Negara Kesatuan Republik Indonesia kepada Desa.
Seperti pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Tentang Penetapan AturanAturan Pokok Mengenai pemerintahan Sendiri Di Daerah-Daerah Yang Berhak Mengatur dan
Mengurus Rumah Tangganya Sendiri, bentuk keistimewaan dan otonomi yang diakui oleh
Negara kepada Desa, terletak pada penentuan Kepala daerahnya. Yang dimana di dalam
penjelasannya6, ditentukan bahwa Kepala Daerah yang ditentukan, di angkat oleh
pemerintah dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu dengan syarat-syarat
kecakapan, kejujuran dan kesetiaan dan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu.
Sehingga dengan demikian, daerah-daerah tersebut di tegaskan dalam undang-undang ini
ditetapkan sebagai daerah istimewa otonom.
Namun setelah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Tentang Penetapan AturanAturan Pokok Mengenai pemerintahan Sendiri Di Daerah-Daerah Yang Berhak Mengatur dan
Mengurus Rumah Tangganya Sendiri, digantikan oleh beberapa peraturan perundangundangan berupa Undang-Undang setelahnya secara berangsur, seperti yang dimulai pada
6 Penjelasan pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok
Mengenai pemerintahan Sendiri Di Daerah-Daerah Yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya
Sendiri
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, lalu
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, dan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok- Pokok Pemerintahan di Daerah,
terlihat seperti adanya upaya pengkaburan susunan asli dan otonomi yang dimiliki desa,
berupa upaya yang terlihat seperti “pemaksaan” untuk mengubah bentuk desa yang berupa
daerah yang berdasar hukum adat-istiadat menjadi daerah administratif yang diperistilahkan
dengan daerah tingkat III dibawah daerah tingkat I (provinsi) dan daerah tingkat II
(kabupaten)7, apalagi setelah di keluarkannya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa yang semakin menjadikan nasib dan susunan keaslian Desa semakin
dramatis8. Kedramatisan itu bisa terlihat pada ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa, hendak melakukan Unifikasi Hukum atau
penyeragaman terhadap desa di Indonesia yang sejatinya beraneka ragam, tentunya jika
diperhatikan, hal ini sangat bertentangan dengan semangat yang dibangun pada pasal 18
UUD NRI 1945 (sebelum perubahan) yang hendak membiarkan desa, gempong, huta nagari,
marga, dan sebagainya dapat tumbuh dan berkembang dalam suasan keanekaragaman atau
kebhinekaan9.
Barulah setelah di keluarkannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Desa, Desa sebagai daerah asli yang mempunyai sifat keisitmewaan dan
memiliki hak otonomi asli, berangsur kembali menemukan tempatnya di susunan
ketatanegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia. hal itu bisa dilihat dari usaha yang
dilakukan oleh Negara dalam hal ini Pemerintah Pusat yang berusaha meredefinisi
pengertian Desa yang menjadi
sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
7 Seperti yang terlihat pada beberapa ketentuan didalam peraturan perundang-undang berupa UndangUndang yang menyinggung persoalan desa didalam Undang-Undang pemerintahan desa, seperti pada
penjelasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, lalu pada pasal 4 ayat 2
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang membuka peluang pembentukan
daerah administratif desa sebagai kecamatan, dan pada pasal 88 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang PokokPokok Pemerintahan di Daerah yang menegaskan bentuk pemerintahan desa sebagai kecamatan melalui pembentukan
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.
8 Pada pasal 1 Undang-Undang ini menjelaskan bahwa “Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh
sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah
tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”, yang tentunya dengan pendefinisian ini,
terjadi kerancuan dan percampuradukan makna antara makna desa yang sesungguhnya dan daerah
administratif yang dibuat oleh negara.
9 Jimly Asshiddiqie, Op.cit, hlm. 495.
asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan
berada di Daerah Kabupaten10. Selain itu juga didalam Undang-Undang ini di atur juga
mengenai Badan Perwakilan Desa berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat Peraturan
Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan
terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa11. Selain itu ditetapkannya juga kewenangan
Desa didalam Undang-undang ini yang antara lain mencakup12;
a. kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul Desa;
b. kewenangan yang oleh peraturan perundang-perundangan yang berlaku
belum dilaksanakan oleh Daerah dan Pemerintah;
c. dan Tugas Pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan/atau
Pemerintah Kabupaten.
Kemudian diatur juga mengenai kewenangan mengadakan kerja sama dalam lingkup
antar desa untuk kepentingan Desa 13 yang sebagaimana kita jika lihat, ketentuan ini belum
pernah diatur sama sekali oleh Undang-Undang sebelumnya yang mengatur terkait Desa.
Lalu pada keberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah, yang mencabut dan menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, di atur
mengenai kewenangan kemudian menjadi Kewenangan Desa didalam pasal 206. adapun
kewenangan tersebut mencakup;
a. urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa;
b. urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang
diserahkan pengaturannya kepada desa;
c. tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau
pemerintah kabupaten/kota;
d. urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan
diserahkan kepada desa.
Terhadap kewenangan yang dapat diadakan oleh Desa, yang semula pada Undangundang sebelumnya hanya terbatas pada kerjasama antardesa, diperluas dengan
10 Lihat bunyi pasal 1 huruf O Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, “Desa atau yang disebut
dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui
dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten.”
11 Lihat pasal 104 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
12 Lihat pasal 99 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.
13 Lihat pasal109 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.
dimungkinkannya diadakan kerjasama dengan pihak ketiga. Namun, apa yang kemudian
dimaksud dengan pihak ketiga ini dalam Undang-undang ini, tidak terdapat penjelasan lebih
lanjut, baik itu didalam ketentuan pasal terkait kerjasama ini maupun didalam penjelasan
terhadap Undang-Undang ini.
Lalu sejak tahun 2014 (sampai sekarang), di Undangkan suatu peraturan
perundangan-undangan berupa Undang-Undang yang secara khusus dan ekslusif mengatur
mengenai Desa, yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Menarik untuk
diperhatikan pada Undang-Undang ini, dimana ketentuan mengenai Desa, diatur lebih rinci
dibandingkan dengan Undang-Undang yang mengatur terkait pengaturan desa sebelumnya.
Salah satunya bisa dilihat pada Undang-undang ini yang menegaskan jenis Desa dengan
membaginya terdiri dari Desa dan Desa Adat, yang penggunaannya disesuaikan dengan
penyebutan yang berlaku didaerah setempat14. Adapun mengenai kewenangan Desa yang
ditentukan didalam Undang-Undang ini, meliputi kewenangan dibidang penyelenggaraan
Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa,
dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan
adat istiadat Desa15. Adapun kewenangannya meliputi antara lain16;
a. kewenangan berdasarkan hak asal usul;
b. kewenangan lokal berskala Desa;
c. kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,
atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan
d. kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Kemudian ada juga ditetapkan kewenangan yang menjadi kewenangan desa adat
dalam Undang-Undang ini, berdasar pada hak asal usul dan prinsip keberagaman,
kewenangan desa adat meliputi17;
a. pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli;
b. pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat;
c. pelestarian nilai sosial budaya Desa Adat;
14 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
15 Pasal 18
16 Pasal 19
17 Pasal 103
d. penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa
Adat dalam wilayah yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia dengan
mengutamakan penyelesaian secara musyawarah;
e. penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan Desa Adat sesuai dengan
f.
ketentuan peraturan perundang-undangan;
pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban
masyarakat
Desa
Adat
berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat; dan
g. pengembangan kehidupan hukum adat sesuai dengan kondisi sosial budaya
masyarakat Desa Adat.
Lalu mengenai kerjasama yang dapat diadakan desa, pada undang-undang ini juga
mengatur hal itu, baik kerjasama antar desa, dan dengan pihak ketiga. Namun
perbedaan yang menjadi pembeda dengan undang-undang sebelumnya, jika pada
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah mengatur
kerja sama antar desa yang prosesi kesepakatannya diatur dengan keputusan
bersama dan diberitahukan kepada camat18, dan pada Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah mengatur hubungan kerja sama, baik
antar desa maupun kepada pihak ketiga, prosesi keputusannya di putuskan bersama
kemudian dilaporkan kepada bupati/walikota melalui camat 19, pada Undang-undang
Nomor 6 tahun 2014 tentang desa, mengatur hubungan kerja sama baik itu terhadap
kerja sama antar-desa maupun kerjasama kepada pihak ketiga, tidak diatur adanya
ketentuan khusus seperti pada undang-undang sebelumnya seperti mengenai
pelaporan khusus ke bupati/walikota maupun camat untuk kesepakatannya. Adapun
kesepakatan yang diatur pada undang-undang terbaru ini, jika kerja sama tersebut
diadakan antar desa, disepakati berdasarkan kesepakatan musyawarah antar-desa 20,
dan jika diadakan bersama pihak ketiga, disepakati berdasarkan kesepakatan
musyawarah desa21.
18 Pasal 109 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah
19 Pasal 204 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah
20 Pasal 92 ayat 2 Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang desa
21 Pasal 93 ayat 2
SEBELUM DAN SESUDAH UU NO 6 TAHUN 2016
Negara kesatuan Republik Indonesia tidak akan pernah berdiri tegak, seandainya
perjuangan untuk menegakkan kemerdekaan tidak didukung oleh rakyat di desa-desa dan
diseluruh tanah air. Maka dari itu, meminjam pendapat Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H 1, Desa
dan kehidupan masyarakat desa adalah fondasi atau tiang utama kehidupan bernegara
Indonesia.
Sebagai sebuah entitas yang memiliki hak otonomi asli dan bersifat istimewa 2,
Keberadaan Desa sebagai kesatuan masyarakat yang memiliki keistimewaan tersendiri yang
tidak bisa disamakan dengan keistimewaan kesatuan pemerintahan daerah (Provinsi Aceh,
DKI jakarta atau Yogyakarta). Hal ini dikarenakan Desa mempunyai Otonomi asli, bulat dan
utuh yang ke-otonomi-annya bukan merupakan pemberian ataupun penyerahan wewenang
dari pemerintah, melainkan berasalkan dari asal-usul dan adat istiadatnya yang
keberadaannya jauh lebih dulu ada sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia itu sendiri
terbentuk.
Mengenai bentuk dan konsep otonomi desa itu sendiri, ada baiknya jika diketahui
terlebih dahulu, pengertian atau apa yang dimaksud sebagai desa. Menurut Soetardjo
kartohadikusoemo3, desa merupakan suatu kesatuan hukum, dimana bertempat tinggal
suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri. Sementara itu menurut
Prof. Dr. Hazairin, S.H.4, bahwa desa di jawa dan di madura, nagari diminangkabau
merupakan masyarakat hukum adat, yang merupakan kesatuan-kesatuan kemasyarakatan
yang memiliki kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu memiliki
1 Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta Barat; PT.
BHUANA ILMU POPULER, hlm.49
2 Lihat penjelasan pasal 18 pada Penjelasan UUD NRI 1945 sebelum perubahan, pada point II berbunyi “Dalam
territori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zelfbesturende landschappen” dan
“Volksgemeenschappen”, seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di
Palembang, dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan Asli dan oleh karenanya dapat dianggap
sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah
istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal
usul daerah tersebut”.
3 Soetardjo kartohadikusoemo, 1953, Desa, Yogyakarta. Hlm. 2
4 Hazairin, 1970, Demokrasi Pancasila, Jakarta; Tintamas, Hlm. 44
kesatuan hukum, kesatuan penguasa, dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak
sesama atas tanah dan air bagi semua anggotanya.
Sehingga dengan demikian, apa yang dimaksud “..daerah-daerah yang bersifat
istimewa.” dalam pasal 18 UUD NRI 1945 (sebelum perubahan) ialah “Zelfbesturende
landschappen” dan “Volksgemeenschappen”, seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau,
dusun dan marga di Palembang, dan sebagainya, merupakan daerah yang bersifat istimewa yang
keistimewaannya itu terletak pada susunan aslinya dan pengaturan daerahnya yang ditentukan oleh
hukum adat setempat.
Adapun sejarah perjalanan peraturan yang mengatur terkait pengaturan desa, baik
sebelum Indonesia merdeka dan berdaulat maupun setelah Indonesia merdeka, merupakan
suatu proses kristalisasi norma yang bisa dibilang cukup lama seiring dengan kompleksitas
dan keberagaman jenis desa yang di Indonesia. hal ini bisa dilihat pada sejarah
perkembangan pengaturan terkait desa, yang sangat dinamis dan kompleks, yang
kebanyakan dari pengaturan tersebut, sangat jarang ditemukan dalam suatu peraturan
Undang-Undang khusus atau Undang-Undang tersendiri yang mengatur secara ekslusif
mengenai Desa. Kebanyakan sari peraturan tersebut di selipkan pada pengaturan mengenai
Pemerintahan Desa, seperti pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Tentang Penetapan
Aturan-Aturan Pokok Mengenai pemerintahan Sendiri Di Daerah-Daerah Yang Berhak
Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang PokokPokok Pemerintahan di Daerah, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, dan kemudian Lalu setelah amandemen kedua UUD NRI 1945 pada
tahun 20005, pengaturan mengenai Desa diatur pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah.
Terkecuali, ditahun 1965 dan di tahun 1974, terdapat Undang-Undang yang
mengatur secara khusus mengenai desa, seperti Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965
tentang Desa Praja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah
5 Dalam amandemen tersebut, pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat (keberadaan desa)
dipertegas dalam UUD NRI 1945 dengan penambahan pasal pada pasal 18, yaitu pasal 18B ayat (2) yang
berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”
Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979
tentang Pemerintahan Desa
Adapun Sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia merdeka, Di masa penjajahan
pemerintah Hindia belanda misalnya, terdapat juga peraturan yang mengatur secara khusus
mengenai desa, yaitu pada tahun 1906 dengan Staatsblad nomor 3, Pemerintah Belanda
menetapkan Inlandsche Gemente Ordonantie (I.G.O.), dan pada tahun 1938, Inlandsche
Gemente Ordonantie Buitengewesten (I.G.O.B.). Kedua Ordonatie ini di maksudkan untuk
mengatur desa sebagai kesatuan masyarakat Hukum adat, yang terhadap jawa dan madura
berlaku Inlandsche Gemente Ordonantie (I.G.O.), dan terhadap di luar jawa dan madura
berlaku Inlandsche Gemente Ordonantie Buitengewesten (I.G.O.B.).
Kembali pada pembahasan mengenai bentuk dan otonomi desa, jika kita lihat pada
keseluruhan pengaturan peraturan Undang-Undang terkait desa, baik yang diselipkan di
dalam pengaturan terkait pemerintah, maupun di atur secara khusus dalam suatu UndangUndang tertentu, bisa kita lihat seperti apa bentuk dan otonomi bentuk yang diakui oleh
Negara Kesatuan Republik Indonesia kepada Desa.
Seperti pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Tentang Penetapan AturanAturan Pokok Mengenai pemerintahan Sendiri Di Daerah-Daerah Yang Berhak Mengatur dan
Mengurus Rumah Tangganya Sendiri, bentuk keistimewaan dan otonomi yang diakui oleh
Negara kepada Desa, terletak pada penentuan Kepala daerahnya. Yang dimana di dalam
penjelasannya6, ditentukan bahwa Kepala Daerah yang ditentukan, di angkat oleh
pemerintah dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu dengan syarat-syarat
kecakapan, kejujuran dan kesetiaan dan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu.
Sehingga dengan demikian, daerah-daerah tersebut di tegaskan dalam undang-undang ini
ditetapkan sebagai daerah istimewa otonom.
Namun setelah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Tentang Penetapan AturanAturan Pokok Mengenai pemerintahan Sendiri Di Daerah-Daerah Yang Berhak Mengatur dan
Mengurus Rumah Tangganya Sendiri, digantikan oleh beberapa peraturan perundangundangan berupa Undang-Undang setelahnya secara berangsur, seperti yang dimulai pada
6 Penjelasan pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok
Mengenai pemerintahan Sendiri Di Daerah-Daerah Yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya
Sendiri
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, lalu
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, dan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok- Pokok Pemerintahan di Daerah,
terlihat seperti adanya upaya pengkaburan susunan asli dan otonomi yang dimiliki desa,
berupa upaya yang terlihat seperti “pemaksaan” untuk mengubah bentuk desa yang berupa
daerah yang berdasar hukum adat-istiadat menjadi daerah administratif yang diperistilahkan
dengan daerah tingkat III dibawah daerah tingkat I (provinsi) dan daerah tingkat II
(kabupaten)7, apalagi setelah di keluarkannya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa yang semakin menjadikan nasib dan susunan keaslian Desa semakin
dramatis8. Kedramatisan itu bisa terlihat pada ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa, hendak melakukan Unifikasi Hukum atau
penyeragaman terhadap desa di Indonesia yang sejatinya beraneka ragam, tentunya jika
diperhatikan, hal ini sangat bertentangan dengan semangat yang dibangun pada pasal 18
UUD NRI 1945 (sebelum perubahan) yang hendak membiarkan desa, gempong, huta nagari,
marga, dan sebagainya dapat tumbuh dan berkembang dalam suasan keanekaragaman atau
kebhinekaan9.
Barulah setelah di keluarkannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Desa, Desa sebagai daerah asli yang mempunyai sifat keisitmewaan dan
memiliki hak otonomi asli, berangsur kembali menemukan tempatnya di susunan
ketatanegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia. hal itu bisa dilihat dari usaha yang
dilakukan oleh Negara dalam hal ini Pemerintah Pusat yang berusaha meredefinisi
pengertian Desa yang menjadi
sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
7 Seperti yang terlihat pada beberapa ketentuan didalam peraturan perundang-undang berupa UndangUndang yang menyinggung persoalan desa didalam Undang-Undang pemerintahan desa, seperti pada
penjelasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, lalu pada pasal 4 ayat 2
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang membuka peluang pembentukan
daerah administratif desa sebagai kecamatan, dan pada pasal 88 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang PokokPokok Pemerintahan di Daerah yang menegaskan bentuk pemerintahan desa sebagai kecamatan melalui pembentukan
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.
8 Pada pasal 1 Undang-Undang ini menjelaskan bahwa “Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh
sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah
tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”, yang tentunya dengan pendefinisian ini,
terjadi kerancuan dan percampuradukan makna antara makna desa yang sesungguhnya dan daerah
administratif yang dibuat oleh negara.
9 Jimly Asshiddiqie, Op.cit, hlm. 495.
asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan
berada di Daerah Kabupaten10. Selain itu juga didalam Undang-Undang ini di atur juga
mengenai Badan Perwakilan Desa berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat Peraturan
Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan
terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa11. Selain itu ditetapkannya juga kewenangan
Desa didalam Undang-undang ini yang antara lain mencakup12;
a. kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul Desa;
b. kewenangan yang oleh peraturan perundang-perundangan yang berlaku
belum dilaksanakan oleh Daerah dan Pemerintah;
c. dan Tugas Pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan/atau
Pemerintah Kabupaten.
Kemudian diatur juga mengenai kewenangan mengadakan kerja sama dalam lingkup
antar desa untuk kepentingan Desa 13 yang sebagaimana kita jika lihat, ketentuan ini belum
pernah diatur sama sekali oleh Undang-Undang sebelumnya yang mengatur terkait Desa.
Lalu pada keberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah, yang mencabut dan menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, di atur
mengenai kewenangan kemudian menjadi Kewenangan Desa didalam pasal 206. adapun
kewenangan tersebut mencakup;
a. urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa;
b. urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang
diserahkan pengaturannya kepada desa;
c. tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau
pemerintah kabupaten/kota;
d. urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan
diserahkan kepada desa.
Terhadap kewenangan yang dapat diadakan oleh Desa, yang semula pada Undangundang sebelumnya hanya terbatas pada kerjasama antardesa, diperluas dengan
10 Lihat bunyi pasal 1 huruf O Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, “Desa atau yang disebut
dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui
dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten.”
11 Lihat pasal 104 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
12 Lihat pasal 99 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.
13 Lihat pasal109 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.
dimungkinkannya diadakan kerjasama dengan pihak ketiga. Namun, apa yang kemudian
dimaksud dengan pihak ketiga ini dalam Undang-undang ini, tidak terdapat penjelasan lebih
lanjut, baik itu didalam ketentuan pasal terkait kerjasama ini maupun didalam penjelasan
terhadap Undang-Undang ini.
Lalu sejak tahun 2014 (sampai sekarang), di Undangkan suatu peraturan
perundangan-undangan berupa Undang-Undang yang secara khusus dan ekslusif mengatur
mengenai Desa, yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Menarik untuk
diperhatikan pada Undang-Undang ini, dimana ketentuan mengenai Desa, diatur lebih rinci
dibandingkan dengan Undang-Undang yang mengatur terkait pengaturan desa sebelumnya.
Salah satunya bisa dilihat pada Undang-undang ini yang menegaskan jenis Desa dengan
membaginya terdiri dari Desa dan Desa Adat, yang penggunaannya disesuaikan dengan
penyebutan yang berlaku didaerah setempat14. Adapun mengenai kewenangan Desa yang
ditentukan didalam Undang-Undang ini, meliputi kewenangan dibidang penyelenggaraan
Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa,
dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan
adat istiadat Desa15. Adapun kewenangannya meliputi antara lain16;
a. kewenangan berdasarkan hak asal usul;
b. kewenangan lokal berskala Desa;
c. kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,
atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan
d. kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Kemudian ada juga ditetapkan kewenangan yang menjadi kewenangan desa adat
dalam Undang-Undang ini, berdasar pada hak asal usul dan prinsip keberagaman,
kewenangan desa adat meliputi17;
a. pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli;
b. pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat;
c. pelestarian nilai sosial budaya Desa Adat;
14 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
15 Pasal 18
16 Pasal 19
17 Pasal 103
d. penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa
Adat dalam wilayah yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia dengan
mengutamakan penyelesaian secara musyawarah;
e. penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan Desa Adat sesuai dengan
f.
ketentuan peraturan perundang-undangan;
pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban
masyarakat
Desa
Adat
berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat; dan
g. pengembangan kehidupan hukum adat sesuai dengan kondisi sosial budaya
masyarakat Desa Adat.
Lalu mengenai kerjasama yang dapat diadakan desa, pada undang-undang ini juga
mengatur hal itu, baik kerjasama antar desa, dan dengan pihak ketiga. Namun
perbedaan yang menjadi pembeda dengan undang-undang sebelumnya, jika pada
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah mengatur
kerja sama antar desa yang prosesi kesepakatannya diatur dengan keputusan
bersama dan diberitahukan kepada camat18, dan pada Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah mengatur hubungan kerja sama, baik
antar desa maupun kepada pihak ketiga, prosesi keputusannya di putuskan bersama
kemudian dilaporkan kepada bupati/walikota melalui camat 19, pada Undang-undang
Nomor 6 tahun 2014 tentang desa, mengatur hubungan kerja sama baik itu terhadap
kerja sama antar-desa maupun kerjasama kepada pihak ketiga, tidak diatur adanya
ketentuan khusus seperti pada undang-undang sebelumnya seperti mengenai
pelaporan khusus ke bupati/walikota maupun camat untuk kesepakatannya. Adapun
kesepakatan yang diatur pada undang-undang terbaru ini, jika kerja sama tersebut
diadakan antar desa, disepakati berdasarkan kesepakatan musyawarah antar-desa 20,
dan jika diadakan bersama pihak ketiga, disepakati berdasarkan kesepakatan
musyawarah desa21.
18 Pasal 109 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah
19 Pasal 204 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah
20 Pasal 92 ayat 2 Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang desa
21 Pasal 93 ayat 2