Artikel tentang ruu keuangan negara

Artikel 1
Uji Materi UU Keuangan Negara, Ujian bagi Kredibilitas MK
Senin, 25 November 2013 | 16:28 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Uji materi UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU
No. 15/2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dinilai sebagai ujian bagi kredibilitas
Mahkamah Konstitusi (MK) yang sedang terpuruk. MK dinilai harus menolak uji materi tersebut
karena akan berdampak buruk bagi masa depan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
"(Uji materi) ini ujian bagi kredibilitas MK. MK sedang diuji sejauh mana visi negarawan
hakim-hakim itu dalam memandang masalah ini," kata pemerhati sosial Benny Sasetyo di Kantor
Indonesia Corruption Watch, Jakarta (Senin (25/11/2013).
Menurut Benny, MK harus sangat berhati-hati dalam mengambil putusannya. MK diminta tidak
hanya mengambil kesimpulan dari fakta yang kelihatannya logis dan masuk akal. Lebih jauh
lagi, MK diminta melihat apa motif dari Uji Materi tersebut.
"Apa tujuannya benar untuk bikin BUMN lebih profesional dan lebih baik, atau menyelamatkan
dari intervensi KPK dan lembaga pengawas negara?" lanjut Benny.
Jika nantinya MK menolak uji materi ini, maka menurut Benny, secara perlahan MK akan
berhasil menaikkan kredibilitasnya. Namun jika MK menerimanya, maka lembaga 9 pilar
tersebut dinilai telah melanggar konstitusi karena tidak mempertimbangkan kepentingan rakyat
dalam mengambil putusannya.
Hal serupa disampaikan Aktivis ICW Emerson Juntho. Bahkan Emerson mengkhawatirkan kasus
yang menimpa Mantan Ketua MK Akil Mochtar beberapa waktu lalu kembali akan terulang

dalam uji materi keuangan negara ini. Kekhawatiran Emerson itu, tidak lain dilatarbelakangi

karena uji materi ini dianggapnya dapat menghasilkan keuntungan yang besar bagi pihak-pihak
yang memanfaatkan.
"Kita semua berharap, MK bisa mengambil keputusan dengan hati-hati. Kita berharap MK tidak
masuk angin lagi seperti kemarin," kata Emerson.
Uji materi ini dimohonkan oleh Forum BUMN, Biro Hukum Kementerian BUMN dan Pusat
Pengkajian Masalah Strategis Universitas Indonesia. Pasal yang diminta untuk diuji materi
adalah pasal 2 huruf g dan I UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pada intinya, uji
materi tersebut menyatakan bahwa kekayaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak lagi
masuk dalam lingkup keuangan negara.

Artikel 2
DPR Usulkan Revisi Undang-Undang Keuangan Negara
Dewan Perwakilan Rakyat mengusulkan revisi atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara. Rancangan revisi itu sudah disepakati dalam sidang paripurna pada
16 Mei lalu sebagai inisiatif Dewan.
Inisiatif Dewan ini, menurut anggota Badan Legislasi DPR, Agus Purnomo, muncul untuk
mewujudkan check and balance politik antarlembaga tinggi negara, yakni lembaga eksekutif,
legislatif, dan yudikatif. Keseimbangan itu, kata dia, pun seharusnya terlihat dalam pengelolaan

anggaran.
Agus menuturkan konsep dari revisi ini adalah penguatan secara berimbang dari fungsi
kekuasaan eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Kemudian pengelolaan keuangan ketiga lembaga
ini dilakukan secara otonomi dan proporsional.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 menempatkan presiden, selaku kepala eksekutif,
memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara. Sehingga, kata Agus, DPR dan Mahkamah
Agung merasa selama ini pengelolaan anggaran negara terlalu executive heavy.
Pemerintah terlalu menentukan, kata dia kepada Tempo pekan lalu di Jakarta. Padahal
perimbangan kekuatan juga dicerminkan dari anggarannya.
Agus menunjukkan betapa tidak seimbangnya pengelolaan anggaran pada tiga lembaga yang
dimaksud. Pada tahun anggaran 2006, Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan
kehakiman (yudikatif) hanya memperoleh Rp 1,3 triliun dari kebutuhannya sebesar Rp 6 triliun.
Sedangkan DPR hanya Rp 1,1 triliun atau 0,04 persen dari anggaran pendapatan dan belanja
negara.
Di Amerika Serikat, kata Agus, parlemen mendapat hak mengelola anggaran sendiri sekitar 1
persen dari APBN-nya. Hasilnya, parlemen Amerika memiliki posisi yang kuat dan mampu

berperan optimal karena punya anggaran yang cukup. Mereka bisa mengangkat staf sendiri dan
penasihat ahli, tutur dia. Sementara itu, di DPR (hal itu) jauh panggang dari api.
Selain itu, ujar dia lebih lanjut, pengelolaan anggaran di DPR dan MA dilakukan oleh sekretaris

jenderal yang notabene adalah aparatur eksekutif di bawah Sekretariat Negara. Akibatnya,
bermacam usul dari Dewan untuk mengelola anggaran tetap harus minta ke Sekretariat Negara,
dan selanjutnya harus disetujui oleh Menteri Keuangan untuk pencairannya.
Ini sama artinya legislatif dan yudikatif tidak independen, Agus menegaskan. Tapi di bawah
kendali eksekutif.
Kepala Badan Pengkajian Ekonomi Keuangan dan Kerja Sama Internasional Anggito Abimanyu
mengakui adanya usul revisi Undang-Undang Keuangan Negara dari Dewan. Namun, dia enggan
memberi tanggapan. Saya tidak mau berkomentar dulu, kata Anggito kepada koran ini.
Sumber Tempo mengungkapkan revisi Undang-Undang Keuangan Negara ini sensitif. Sebab,
pemerintah sudah pasti tidak ingin kewenangannya dikurangi. Di sisi lain, kata dia, DPR tidak
ingin inisiatif revisi ini sebagai isu besar. Dewan takut revisi ini dilihat sebagai alat untuk
meningkatkan kesejahteraan anggota, ujar sumber di pemerintah ini. AGUS SUPRIYANTO
Tuntutan Dewan dalam Revisi Undang-Undang Keuangan Negara:
1.

Otonomi

pengelolaan

anggaran


lembaga

yudikatif

dan

legislatif.

2.

Komposisi anggaran untuk yudikatif dan legislatif diperbesar. Dewan meminta

anggaran parlemen dinaikkan dari 0,04 persen menjadi 0,5 persen dari APBN.
3.

Sekretaris Jenderal DPR tidak lagi di bawah otoritas Sekretariat Negara, tapi

sebagai alat kelengkapan Dewan dan bertanggung jawab kepada pemimpin parlemen.
Sumber: Koran Tempo, 12 Juni 2006


Artikel 3
Himpun Masukan RUU Keuangan Negara, Pansus Datangi Polri
28 Februari 2014
Dalam rangka pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Keuangan Negara, Pansus RUU
Keuangan Negara menghimpun masukan dari Kepolisian Republik Indonesia. Pertemuan
berlangsung di Markas Besar Polri, dan diterima langsung oleh Kapolri Jenderal (pol) Sutarman
dan jajarannya.
“Kunjungan ke Polri ini untuk mengetahui sejauh mana pengelolaan keuangan negara, terutama
tingkat kebocoran keuangan di Kepolisian. Kami ingin menyusun RUU ini lebih detail lagi.
Selain itu, direncanakan kami juga akan mendatangi Kejaksaan Agung, KPK, dan BPK agar
nanti ketika menyusun draft RUU ini, betul-betul sempurna,” jelas Ketua Pansus RUU Keuangan
Negara Achsanul Qosasi, Kamis (27/02).
Politisi Demokrat ini menegaskan, Tim Pansus ingin mengetahui secara detail tentang kebocoran
anggaran yang sering terjadi, agar nantinya keuangan negara tidak diakali oleh para koruptor Ia
mengapresiasi berbagai masukan yang telah disampaikan oleh Kapolri.
“Dalam pertemuan, disampaikan oleh Kapolri, ada sejumlah kasus dengan modus operandi.
Kapolri juga menyampaikan langkah-langkah dan usulan RUU ini, yang kira-kira dapat
mencegah adanya tindakan kriminal yang merugikan negara. Kapolri memberikan masukan yang
sangat bermanfaat, dan akan kami pertimbangkan untuk masuk ke dalam pasal-pasal di RUU. Ini

rapat yang sangat produktif, dan teman-teman Pansus sangat mengapresiasi,” tambah Achsanul.
Hal senada disampaikan oleh Anggota Pansus Bukhori. Ia mengapresiasi masukan dari Polri
terkait dengan Single Identity Number. Dengan adanya sistem ini, diharapkan dapat
meminimalisir terjadinya penyimpangan keuangan negara.
“Polri juga memberi masukan tentang pentingnya Single Identity Number. Ini menjadi salah satu
upaya penyelesaian secara preventif dari segala sektor penyimpangan, penyimpangan terkait

dengan masalah perpajakan, penyimpangan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM),
ini adalah hal-hal yang sangat mendasar,” jelas Bukhori.
Politisi PKS ini berharap, RUU dapat memberikan suatu guide yang besar, terkait dengan
keuangan negara. Selain itu, dapat mencerminkan aspek preventifitas masalah-masalah
penyimpangan keuangan negara, bukan hanya penindakan.
“Juga akan membentuk postur keuangan negara itu. Selama ini sektor penerimaan keuangan
negara itu kecil, maka dengan adanya UU Keuangan Negara ini, diharapkan penerimaan negara
itu semakin besar,” tambah Anggota Komisi III juga ini.
Sejatinya, saat ini masih berlaku UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Namun,
masih ditemukan berbagai celah penyimpangan, sehingga muncul inisiatif dari DPR untuk
merevisinya.
“Jadi ini memang merevisi UU yang sudah ada, yaitu UU No 17 tentang Keuangan Negara yang
saat ini sudah existing. Karena kita melihat masih ditemukan kelemahan-kelemahan dalam UU

ini, khususnya dalam penanganan penyimpangan keuangan. Karena masih ditemukan celah
kelemahan seperti korupsi, sehingga mendorong DPR untuk merevisi UU ini,” ujar Bukhori.
Dalam kesempatan yang sama, Kapolri Jenderal Sutarman mengaku pihaknya telah melakukan
berbagai tindakan untuk mengatasi berbagai penyelewengan keuangan negara. Diantaranya
dengan tindakan preventif, represif, koordinatif, dan melibatkan peran serta masyarakat.
“Sistem pencegahan korupsi yang diterapkan sekarang belum diterapkan secara komprehensif,
mengingat perbuatan korupsi sudah sangat kompleks dan terjadi di semua lini. Sistem yang
diterapkan harus komprehensif, baik dari segi sistem, pengaturan dan struktur serta perlu adanya
komitmen dari pemangku jabatan,” jelas Sutarman. (sf), foto : hr/parle/sofyan efendi*

Artikel 4
DPR minta masukan Bali soal RUU Keuangan
Rabu, 26 Februari 2014 01:40 WIB
Pewarta: Ni Luh Rhismawati
Denpasar (ANTARA News) - Panitia Khusus DPR RI meminta masukan dari pemerintah daerah
dan berbagai pemangku kepentingan di Bali terkait Rancangan Undang-Undang Keuangan
Negara sebagai tindak lanjut revisi UU No 17 tahun 2003.
"Kami melihat pada UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara memang terdapat
beberapa masalah yang menjadi kendala dan hambatan," kata Ketua Rombongan Pansus RUU
Keuangan Negara DPR RI, Edwin Kawilarang, saat berkunjung ke Kantor Gubernur Bali, di

Denpasar, Selasa.
Menurut dia, setidaknya ada 12 permasalahan dalam UU Keuangan Negara sebelumnya yang
diinventarisasi di antaranya kesejahteraan rakyat seringkali tidak tergambar dalam pengelolaan
keuangan negara yang berwujud APBN dan posturnya tergerus pada biaya rutin pemerintah,
tidak jelasnya pengaturan mengenai pengelolaan dana pihak ketiga atau perwalian seperti dana
haji.
"Selain itu belum sinerginya antara perencanaan dan penganggaran karena dalam penyusunan
APBN lebih mengutamakan egosektoral dan bukan berdasarkan kinerja tahun sebelumnya. Di
samping itu, ketidakjelasan pengaturan mengenai sumber-sumber pembiayaan untuk menutup
defisit anggaran dan berbagai masalah lainnya," ujarnya.
Ia menambahkan, dengan mendapat masukan dari Pemprov Bali dan berbagai pemangku
kepentingan terkait dari Pulau Dewata diharapkan mampu menyempurnakan rumusan RUU
Keuangan Negara.

Sementara itu Ketua Pansus Achsanul Qosasi mengatakan memang sudah waktunya supaya
dalam UU hasil revisi nanti menyesuaikan dengan kepentingan daerah.
Ia juga melihat selama ini dalam UU Keuangan Negara belum mengakomodasi kepentingan
pembangunan yang direncanakan dan terkumpul lewat Bappenas. Hal itulah yang menyebabkan
sering tidak tercapainya sinergitas antara hasil musrenbang dari bawah dengan alokasi APBN.


Pihaknya juga seringkali mendapat keluhan dari pemerintah daerah karena sempitnya waktu
menyiapkan APBD padahal mereka ingin diberi waktu yang cukup untuk melakukan improvisasi
anggaran.
Sedangkan Kepala Perwakilan BPKP Provinsi Bali, Didik Krisdiyanto, berpandangan selama ini
anggaran masih terkesan "berbaju kinerja". Tekanannya masih pada "output" atau keluaran dan
belum pada manfaat atau hasilnya (outcome).
"Masih banyak kegiatan yang belum bermanfaat demi kesejahteraan rakyat. Demikian juga
hubungan pengawas internal dengan eksternal perlu diatur dalam UU," ujarnya.
Wakil Gubernur Bali Ketut Sudikerta mendesak supaya dalam revisi Undang-Undang No 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dapat mengakomodasi kekhususan Pulau Dewata untuk
mendapatkan dana perimbangan yang berkeadilan.
Ia mengemukakan, devisa yang dihasilkan Bali per tahun selama ini sekitar Rp41 triliun,
sayangnya

hanya

dikembalikan

ke


Bali

sekitar

Rp900

miliar.

"Kami sangat berharap agar Bali dikhususkan atau dana perimbangan dikecualikan supaya lebih
berkeadilan, minimal daerah kami bisa mendapatkan sampai Rp10 triliun per tahun," ujar
Sudikerta.
Ada juga masukan dari Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana Prof Dr Wairocana yang
mengatakan dalam revisi UU itu harus dihindarkan dari norma yang kabur, norma kosong,
konflik norma, kewenangan yang begitu luas tanpa rambu-rambu dan sebagainya.

Masih banyak lagi masukan yang disampaikan oleh kalangan akademisi, perwakilan Polda Bali,
Wakajati Bali, pimpinan Bank Indonesia, pimpinan Bank Pembangunan Daerah Bali, Bappeda
Bali dan sebagainya.
Selain Achsanul Qosasi dan A Edwin Kawilarang, anggota Pansus RUU Keuangan Negara
lainnya yang datang dalam kunjungan tersebut yakni , Harry Azhari Azis, Sayed Muhammad

Muliady, Buchory Yusuf, A Muhajir, dan Mustofa Assegaf.
Editor: Aditia Maruli
Sumber : http://www.antaranews.com/berita/420987/dpr-minta-masukan-bali-soal-ruu-keuangan

Artikel 5
UU Keuangan Negara Harus Direvisi

JAKARTA (Suara Karya): Pemerintah harus mengubah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara untuk memperbaiki kinerja penggunaan dan penyerapan anggaran
pendapatan dan belanja negara (APBN). Kebijakan ini diperlukan karena setiap tahunnya
penyerapan di kementerian dan lembaga negara tidak mengalami perbaikan, baik dari sisi
kuantitas maupun kualitas. Bahkan bisa dikatakan terus memburuk.
"Kalau masih mengacu pada UU Keuangan Negara yang ada saat ini, penyerapan anggaran tidak
akan pernah benar dan pasti akan rendah. Maksimalnya baru di akhir tahun, namun kualitasnya
jeblok. Jelas, ini bukan hal yang membanggakan, karena tentunya kegiatan yang dilakukan
akibat penyerapan anggaran hanya bersifat asal jalan saja. Bagi kementerian atau lembaga
negara, yang penting anggaran yang diberikan oleh negara bisa terserap," kata Wakil Ketua
Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Golkar Harry Azhar Azis kepada Suara Karya di Jakarta,
Kamis (8/9).
Permasalahan penyerapan di akhir tahun ini, menurut dia, hanya akan menghasilkan dampak
negatif dan tidak memberikan manfaat luas bagi masyarakat. Alasannya, karena penyerapan
anggaran dilakukan hanya untuk mencari keuntungan semata oleh oknum-oknum tertentu. Atau
bahkan bisa memperkaya pundi-pundi pemegang proyek atau pemberi proyek yang dibiayai oleh
negara tersebut.
"Tentu anggaran yang diberikan negara bisa habis dengan cepat. Tapi, hasil dari pekerjaannya
sangat buruk karena faktor yang penting anggarannya habis," tuturnya.
Terkait hal ini, dia mengaku akan mengusulkan perubahan UU Keuangan Negara kepada
pemerintah. Dengan perubahan ini, nantinya bisa memaksa kementerian atau lembaga negara
melakukan transparansi dalam penyerapan anggaran dan pelaporan kemajuan kegiatan yang
dilakukan kepada publik setiap tiga bulan.

"Undang-undang harus memerintahkan diwajibkannya pelaporan secara resmi terkait
penggunaan keuangan negara. Ini bisa disampaikan oleh Menteri Keuangan kepada publik setiap
tiga bulan," tutur Harry Azhar.
Kondisi ini tentunya juga akan memaksa menteri-menteri lain memperbaiki kinerjanya. Kalau di
UU Keuangan Negara saat ini evaluasinya enam bulan sekali, tetapi tidak ada neraca dan
realisasi anggarannya. Dengan ketentuan yang baru nantinya, neraca keuangan negara harus bisa
dipublikasikan ke publik setiap tiga bulan. Hal ini akan merangsang setiap kementerian untuk
bekerja lebih giat serta menggunakan anggaran sesuai dengan apa yang diprogramkan.
"Jadi tidak ada keterlambatan penggunaan. Karena ini juga telah dilakukan oleh pemerintah
daerah dengan peraturan Mendagri. Mereka melaporkan neraca keuangan dan realisasi APBD,
meski baru setiap tahun," ujarnya.
Harry Azhar Azis juga mengatakan, penyerapan belanja modal yang baru 26,9 persen per
Agustus 2011 menunjukkan ada proses birokrasi yang buruk.
"Kalau baru terserap di bawah 30 persen, bahaya itu. Itu makin menunjukkan bahwa birokrasi
jelek. Bisa juga seperti dikatakan banyak instansi, berbelit-belit, terutama kalau menyangkut
belanja modal, seperti infrastruktur," katanya.
Terkait hal ini, Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan, adanya dugaan terlalu
berbelitnya birokrasi dalam pencairan anggaran bukan menjadi alasan rendahnya penyerapan
anggaran belanja modal. Apalagi menyebabkan proses pencairan anggaran kementerian dan
lembaga negara menjadi lebih lama. Agus justru menyarankan untuk dilakukannya peningkatan
kualitas atau kapabilitas sumber daya manusia di kementerian dan lembaga negara. Hal ini
terkait dengan proses penetapan program dan pelaksanaannya.
"Penyerapan belanja modal yang rendah juga dipengaruhi faktor lain, salah satunya kontraktor
dan vendor yang sudah menyelesaikan pekerjaannya, namun belum melakukan penagihan
kepada negara," ujarnya.

Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara Kementerian Keuangan Agus Suprijanto mengatakan,
kualitas realisasi penyerapan anggaran belanja pemerintah juga belum memuaskan. Hingga 26
Agustus 2011, realisasi penyerapan anggaran masih didominasi oleh belanja untuk subsidi dan
belanja pegawai. Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara Kementerian Keuangan mencatat,
realisasi penyerapan belanja kementerian atau lembaga dan pemerintah daerah sebesar Rp 677,52
triliun.
Jumlah ini sekitar 51,3 persen dari target belanja negara dalam anggaran pendapatan dan belanja
negara perubahan (APBNP) 2011 sebesar Rp 1.320,7 triliun. Jika dibandingkan dengan tahun
lalu, maka rasio realisasi penyerapan anggaran ini lebih tinggi sedikit dari 2010 yang hanya
sebesar 49 persen.
"Namun, penyerapan anggaran belanja ini ditopang oleh belanja subsidi dan belanja pegawai.
Belanja modal masih rendah yakni 26,9 persen. Hampir sama dengan tahun lalu sebesar 27
persen," katanya.
Agus lantas memperkirakan penyerapan belanja modal akan melonjak pada kuartal IV tahun ini.
Pada saat itu, kementerian/lembaga negara akan menggenjot realisasi penyerapan anggaran.
Akibat penyerapan belanja yang masih rendah, Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara
mencatat adanya surplus anggaran mencapai Rp 41,1 triliun. Padahal, tahun ini, pemerintah
sudah mematok defisit anggaran sebesar 2,1 persen dari produk domestik bruto. (Bayu)

Sumber: http://hharryazharazis.com/detail/1044/.cnet