Bagaimanakah Penerapan Hukuman Pidana Ma

UNIVERSITAS INDONESIA

TUGAS AKHIR
SOSIOLOGI HUKUM
BAGAIMANAKAH PENERAPAN HUKUMAN PIDANA MATI DALAM PERSPEKTIF
HAM DAN SOSIOLOGI HUKUM
DR. RATIH LESTARINI S.H., M.H
ANTONIUS CAHYADI, S.H., LL.M.

DIBUAT OLEH:
RAHMAD AKBAR NUSANTARA

(1706085036)

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI PASCASARJANA ILMU HUKUM PIDANA
DESEMBER 2017
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang

Kejahatan merupakan salah satu bentuk dari perilaku menyimpang (deviant behavior)
yang selalu ada dan melekat (inherent) dalam setiap bentuk masyarakat, seperti matahari
yang setiap bagi terbit dari ufuk timur, atau bak musim yang selalu berganti seiring dengan
irama dalam semesta. Karena itu kejahatan merupakan fenomena sosial yang bersifat
universal (a univerted social phenomenon) dalam kehidupan manusia, dan bahkan dikatan
telah menjadi the oldest social problem of human kind.1
Selain memiliki dimensi lokal, nasional dan regional kejahatan juga dapat menjadi
masalah internasional, karena seiring dengan kemajuan teknologi transportasi, informasi
dan komunikasi yang canggih, modus operandi kejahatan masa kini dalam waktu yang
singkat dan dengan mobilitas yang cepat dapat melintasi batas-batas negara (borderless
countries). Inilah yang dikenal sebagai kejahatan yang berdimensi transnasional
(transnational criminality).2 Salah satu kejahatan tersebut adalah kejahatan terorisme. Di
Indonesia terorisme selalu tumbuh dan berkembang, meskipun para “dedengkot”nya telah
ditangkap dan dijatuhi hukuman, dan terdapat beberapa pelaku yang dijatuhi hukuman mati.
Penjatuhan hukuman mati bagi para teorisme dari segi kemanfaatan, merupakan suatu
upaya agar masyarakat lain merasa jera untuk tidak melakukan kejahatan ini. Akan tetapi
apakah dengan dijatuhi pidana mati, permasalahan yang ingin dituju akan serta merta
terselesaikan, disinilah peran dari sosiologi hukum untuk menjelaskan penerapan hukuman
mati, yang dalam peraturan perundang-undangan sebagai hukuman yang paling berat adanya
pertimbangan-pertimbangan sebelum seorang pelaku dijatuhi hukuman mati, karena hal ini

bagi sebegian golongan dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia.3
Sosiologi Hukum wadah untuk Analisa terhadap hukum. Dalam disiplin sosiologi
hukum,

hukum

dijadikan

objek

penelitianya

dan

disumsikan

sebagai

gejala


social..Sebaliknya,
1

sosiologi di jadikan perspektif di dalam menjelaskan gejala hukum. Keduanya memiliki
11 Dari http://amcran.org/ATLaws/Anti_Terror_Laws_3rd_Ed_Bahasa_2up.pdf, diakses 18 desember 2017
2
Studi Kriminologi Masalah Penyimpangan Sosial di kuti dari http://studi-kriminologi-masalahpenyimpangan.html, diakses 18 Desember 2017
3
Ibid

cirri utama; yang bersifat aplikatif. hukuman mati dalam .perspektif sosiologis dalam
hukum.4 Aplikasinya akan

memperlihatkan

hukuman mati sebagai suatu gejala

hukum dikaitkan dengan efektivitas hukum sebagai obyek kajian sosiologi hukum.
Aliran utilitarianisme (Bentham, Ihering) mempersoalkan konsekuensi sosial dari hukum;
ketidaktepatan


penggunaan

perundang-undangan;

klasifikasi

tujuan

dan

prosessosial. Jika dihubungkan dengan hukuman mati, maka akan diketahui
apakah hukum yang mengatur mengenai hukuman mati memiliki konsekuensi sosial;
apakah

perundang

-

undangan


yang

masih menerapkan

hukuman mati

(UU Terorisme, UU Psikotropika) sudah tepat; apakah tujuan diadakannya hukuman
mati dan proses sosial seperti apa yang hendak dicapai dari adanya hukuman mati tersebut.5
Aliran sociological jurisprudence (Ehrlich, Pound) dan aliran realism hukum
(holmes, Liewellyn, Frank) mempersoalnkan hukum sebagai mekanisme
pengendalian sosil, aspek politik dan kepentingan dari hukum (termasuk
hukum dan stratifikasi social); hubungan antara realitas hukum dengan hukum
dalam buku; hukum dan kebijakan publik ; kajian terhadap keputusan pengadilan dan
tingkah laku di persidangan6. Kaitannya dengan hukuman mati, maka akan terlihat
apakah hukuman mati merupakan suatu bentuk pengendalian sosial, aspek politik dan
kepentingan mana saja yang terlibatdi dalamnya; apakah hukuman mati merupakan
realitas hukum atau hanya merupakan aturan belaka; apakah hukuman mati
merupakan kebijakan publik; bagaimana keputusan pengadilan terhadap hukuman mati. 7
B.


Rumusan Masalah

1. Bagaimana Penerapan Hukuman Mati Bagi Pelaku Terorisme Di Indonesia Dengan
Menggunakan Pendekatan Sosiologi Hukum?
2. Bagaimanakah Pro Kontra Pidana Mati Di Indonesia ?
2

BAB II
PEMBAHASAN
24 Sahlan Albone.S.H., M.H. , Jurnal Penerapan Hukuman Mati Dalam prespektif HAM,
(Jogjakarta, FH UII, 2013) hlm 2
5
Ibid
6
Ibid
7
Ibid

1.


Bagaimana Penerapan Hukuman Mati Bagi Pelaku Terorisme Di Indonesia Dengan
Menggunakan Pendekatan Sosiologi Hukum
Pengunaan

pendekatan

sosiologi

dalam

hukum

mulai

berkembang

pasca

ketidakmampuan pendekatan positivisme hukum yang berkembang pada abad ke 19 untuk

menegakan hukum demi ketertiban dan kesejahteraan masyarakat. dalam memahami hukum
karena hukum bagi aliran ini tidak hanya dimaknai sebagai apa yang tertuang dalam undnagundang atau law in the books, sesuatu pendekatan yang sangat berbeda dari aliran
positivisme yang memandang bahwa hukum adalah apa yang ditentukan oleh penguasa atau
undang-undang sehingga terbebas dari anasir-anasir lain yang berada di luar hukum.8
Analisa Sosiologi yang berdasarkan Metode Pendekatan dan Fungsi Hukum, yang pada
pokoknya adalah terdapatnya unsur-unsur seperti Sosiologi Hukum Pendekatan Intrumental,
Pendekatan Hukum Alam dan Karakteristik Kajian Sosiologi Hukum. Dengan memerlukan
Metode Pendekatan Sosiologi Hukum, Perbandingan Yuridis Empris dengan Yuridis
Normatif, Hukum Sebagai Sosial Kontrol dan Hukum Sebagai Alat Untuk Mengubah
Masyarakat, yang merupakan sebagai tolak ukur terhadap norma-norma atau kaidah-kaidah
yang hidup didalam masyarakat, apakah norma atau kaidah tersebut dipatuhi atau untuk
dilanggar, apabila dilanggar bagaimana penerapan sangsi, sebagai yang melakukan
pelanggaran tersebut.9
Norma atau kaidah yang hidup di dalam masyarakat tersebut dipengaruhi oleh kondisi
internal maupun eksternal dari masyarakat itu sendiri. Terdapat beberapa permasalahan
pokok yaitu10 :
1. Bagaimanakah Pendekatan Intrumentaldan Pendekatan Alam yang dipengaruhi
oleh kondisdi internal maupun eksternal ?, dan
2. Bagaimanakah Perbandingan Yuridis Empris dengan Yuridis Normatif apabila
dilihat darisudut pandang internal maupun eksternal Tujuan dan maksud, dalam

membahas serta menganalisa sampai tentang Sosiologi Hukum yang secara
tidak
3

sadar meresap dan hidup didalam kehidupan masyarakat baik secara internal
maupun secara eksternal didalam melakukan interaksi social, yaitu dengan
menggunakan Metode Pendekatan Sosiologi Hukum dan Perbandingan Yuridis
38 Jawahir Thontowi, Sosiologi Hukum (Jogjakarta, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia 2012)
9
Ibid
10
Umar Sholahudin Hukum dan Keadilan Masyarakat: Perspektif Kajian Sosiologi Hukum, di kutip dari
http:// hukum-dan-keadilan-masyarakat.html, diakses pada tanggal 3 Agustus 2012

Empris dengan Yuridis Normatif adalah yang merupakan standarisasi sebagai
objek pokok pembahasan Sosiologi Hukum.
Pengertian Sosiologi Hukum terlihat dari Difinisi para ahli Sosiologi Hukum seperti
Soejono Soekanto. Sosilogi Hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara
analitis dan empiris yang menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara
hukum dengan gejala-gejala social lainnya dan R. Otje Salaman. Sosiologi hukum (ilmu

yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala social lainnya
secara empiris analistis).11
Jelas terlihat berdasarkan definisi para ahli bahwa sosiologi hukum adalah segala
aktifitasv social manusia yang dilihat dari aspek hukumnya disebut sosiologi hukum. Dasar
sosiologi hukum adalah Anzilotti pada tahun 1882, yang dipengaruhi oleh disiplin ilmu
Filsafat hukum, ilmu hukum dan sosiologi yaitu Filsafat Hukum adalah dimana pokok
bahasannya adalah aliran filsafat hukum, yang menyebakan lahirnya sosiologi hukum yaitu
aliran Positivisme (difinisi Hans Kelsen.“Hukum berhirarkhis”). Dan aliran filsafat hukum
tumbuh dan berkembang berdasarkan12 :
a. Mazhab sejarah yang dipelopori oleh Carl Von Savigny yang mengungkapkan
bahwahukum itu dibuat, akan tetapi tumbuh dan berkembang bersama-sama
dengan masyarakat(volksgeisf).
b. Aliran Utility (Jeremy Bentham) yaitu bahwa hukum harus bermanfaat
bagimasyarakat guna mencapai hidup bahagia.c. Aliran Sociological
Juriprudence (Eugen Ehrlich) yaitu hukum yang dibuat harussesuai dengan
hukum yang hidup didalam masyarakat (living law).d. Aliran Pragmatic Legal
Realism (Roscoe Pound) yaitu “ law as at tool of socialengineering”.
Ilmu Hukum menganggap bahwa hukum sebagai gejala social, banyak mendorong
pertumbuhan sosiologi hukum dan hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir sosiologi
(non yuridis). Sedangkan sosiologi yang berorientasi pada hukum adalah bahwa dalam

setiap masyarakat selalu ada solideritas, ada yang solidaritas mekanis yaitu terdapat dalam
masyarakat sederhana, hukumnya bersifat reprensip13.
4

Ruang Lingkup Sosilogi Hukum, dimana sosiologi hukum di dalam ilmu pengetahuan,
bertolak kepada apa yang disebut disiplin ilmu, yaitu sistem ajaran tentang kenyataan, yang
411 Sahlan Albone.S.H., M.H, Op.Cit, hlm 5
12
Sahlan Albone, mengutip Agus Riawan, Sosiologi Hukum (Kupang, FH Cendana Kupang, 2011)
13
Ibid

meliputi disiplin analitis dan disiplin hukum (perskriptif). Disiplin analitis, contohnya adalah
sosilogis, psikologis, antropologis, sejarah, sedangkan disiplin hukum meliputi : ilmu-ilmu
hukum yang terpecah menjadi ilmu tentang kaidah atau patokan tentang prilaku yang
sepantasnya, seharusnya, ilmu tentang pengertian-pengertian dasar dan system dari pada
hukum dan lain-lain. Terdapatnya pendekatan-pendekatan yang terdiri dari14 :
1. Pendekatan Instrumental adalah menurut pendapat Adam Podgorecki yang dikutip oleh
Soerjono Soekanto yaitu bahwa sosiologi hukum merupakan suatu disiplin Ilmu teoritis
yang umumnya mempelajari ketentraman dari berfungsinya hukum, dengan tujuan disiplin
ilmu adalah untuk mendapatkan prinsip-prinsip hukum dan ketertiban yang didasari secara
rasional dan didasarkan pada dogmatis yang mempunyai dasar yang akurat.
2. Pendekatan Hukum Alam adalah menurut Philip Seznik yaitu bahwa pendekatan
instrumental merupakan tahap menengah dari perkembangan atau pertumbuhan sosiologi
hukum dan tahapan selanjutnya akan tercapai, bila ada otonomi dan kemandirian intelektual.
Tahap tersebut akan tercapai apabila para sosiolog tidak lagi berperan sebagai teknisi, akan
tetapi lebih banyak menaruh perhatian pada ruang lingkup yang lebih luas. Pada tahan ini
seorang sosiolog harus siap untuk menelaah pengertian legalitas agar dapat menentukan
wibawa moral dan untuk menjelaskan peran ilmu social dalam menciptakan masyarakat
yang didasarkan pada keseimbangan hak dan kewajiban yang berorientasi pada keadilan.
( Rule of Law menurut Philip Seznick). Karakteristik Kajian Sosilogi Hukum, adalah
fenomena hukum didalam masyarakat dalam mewujudkan : 1. deskripsi, 2. penjelasan, 3.
Pengungkapan (revealing), dan 4 prediksi yaitu bahwa karekteristik kajian sosiologi hukum
adalah sebagai berikut : 1. Sosilogi Hukum berusaha untuk memberikan deskripsi terhadap
praktek hukum dandapat dibedakan dalam pembuatan Undang-Undang, penerapan dalam
pengadilan, maka mempelajari pula bagaimana praktek yang terjadi pada masing-masing
bidang kegiatan hukum tersebut. 2. Sosiologi hukum bertujuan untuk menjelaskan mengapa
sesuatu praktek-praktek hukum didalam kehidupan social masyarakat itu terjadi, sebabsebabnya, factor-faktor apa yang mempengaruhi. Latar belakang dan sebagainya. Pendapat
Max Weber yaitu “Interpretative Understanding” yaitu cara menjelaskan sebab,
perkembangan serta efek dari tingkah laku social, dimana tingkah laku dimaksud
mempunyai dua segi yaitu luar dan dalam atau internal dan ekternal.
3. Sosiologi hukum senantiasa menguji kesahian empiris dari suatu peraturan atau pernyataan
hukum, sehingga mampu memprediksi suatu hukum yang sesuai dan/atau tidak sesuai
dengan masyarakat tertentu.
4. Sosiologi Hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum, tingkah laku yang mentaati
hukum, sama-sama merupakan obyek pengamatan yang setaraf, tidak ada segi obyektifitas
dan bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap fenomena hukum yang nyata.
Dari gambaran di atas kita bisa mencermati bahwa keberadaan sosiologi hukum yaitu
ingin mencermati hukum dengan cara yang bebeda yaitu bagaimana hukum itu dipraktekan
5

dan hubungannya dengan perilaku-perilaku masyarakat serta keterkaitan dengan nilai-nilai
yang hidup dalam masyarakat, sehingga tidak memadang hukum sebagai sesuatu yang sudah
final, melainkan memandang hukum sebagai sesuatu yang abstrak. Pendekatan sosiologi
514 Muhammad Siddiq Tgk, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum,(Jakarta, Pradnya
Paramita, 2008), Hal. 9

hukum dalam menganalisi sesuatu hanya untuk memberikan suatu gambaran terkait dengan
suatu kondisi yang terjadi atau suatu penjelasan yang memberikan gambaran untuk menjadi
suatu pilihan bagi masyarakat lain untuk menilai. Oleh karena itu, pada penulisan disini
penulis menggunakan metode pendekatan sosiologi hukum untuk melakukan analisa
terhadap eksistensi hukuman pidana mati bagi para pelaku terorisme, sehingga mendapat
gambaran bagaimana penerapan sanksi ini bagi pelaku tindak pidana terorisme.
UU No. 1 Tahun 2002 merupakan suatu pernyataan bahwa Indonesia merupakan salah
satu negara yang mendukung untuk memerangi kejahatan terorisme. Dalam UU tersebut
salah satu hukuman yang dapat diberikan kepada pelaku tindak pidana terorisme
sebagaimana ditentukan dalam pasal 14 yaitu pidana mati. Pemberlakuan tindak pidana mati
memang tidak menjadi pioritas utama sebagai bentuk hukuman, melainkan menjadi upaya
terakhir untuk diberlakukan, sehingga pemberlakuannya bersifat limitatif dan hanya
diberlakukan bagi tindak pidana teorisme yang dianggap.15
Dr. A. Muhammad Asrun, SH. MH, “Pemahaman yang benar terhadap pemberlakukan
hukuman mati terkait dengan kejahatan luar biasa seperti kejahatan narkotika harus dilihat
sebagai upaya perlindungan terhadap “hak hidup” (the right to life) banyak orang. Hukuman
mati sebagaimana diatur dalam Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
harus dilihat dalam konteks perlindungan hak hidup masyarakat luas.16 Sedangkan Prof. Dr.
Achmad Ali, SH menyatakan penerapan hukuman mati sangat dibutuhkan khususnya di
Indonesia, tetapi harus diterapkan secara spesifik dan selektif. Spesifik artinya hukuman
mati diterapkan untuk kejahatan-kejahatan serius (heinous) mencakupi korupsi, pengedar
narkoba, teroris, pelanggar HAM yang berat dan pembunuhan berencana. Dan yang
dimaksudkan dengan selektif adalah bahwa terpidana yang dijatuhi hukuman mati harus
yang benar-benar yang telah terbukti dengan sangat meyakinkan di pengadilan (“beyond
reasonable doubt”) bahwa memang dialah sebagai pelakunya.17
Adapun pihak yang menolak diterapkannya hukuman pidana mati didasarkan kepada
6

berbagai argumentasi. Prof. Dr. Arief Sidharta, SH., berpendapat bahwa sebaiknya hukuman
mati untuk jenis kejahatan apapun sebaiknya dihapuskan, dan diganti dengan hukuman
615 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
16
Sahlan Albone.S.H., M.H. , Jurnal Penerapan Hukuman Mati Dalam prespektif HA,
Mengutip Dr. A. Muhammad Asrun, SH. MH
17
Ibid, mengutip Prof. Dr. Achmad Ali, SH

seumur hidup tanpa kemungkinan memperoleh remisi. Sedangkan, Dr. Soedikno
Mertokusumo,SH., dalam disertasinya tahun 1971 yang berjudul “Sejarah Peradilan &
Perundangundangan di Indonesia sejak tahun 1942 dan apakah manfaatnya bagi kita bangsa
Indonesia”, dalam salah satu lampiran dalil mengatakan bahwa pidana mati agar dihapuskan
karena bertentangan dengan dasar Negara Republik Indonesia Pancasila. 18 Serta, Prof. Mr.
Roeslan Saleh (Guru Besar Hukum Pidana) berpendapat bahwa tidak setuju adanya pidana
mati di Indonesia karena19 :
1) kalau ada kekeliruan putusan hakim tidak dapat diperbaiki lagi.
2) mendasarkan landasan Falsafah Negara Pancasila, maka pidana mati itu dipandang
bertentangan dengan perikemanusiaan
Pro-kontra hukuman mati terkait dengan Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi salah
satu sebab hukuman mati tidak lagi termasuk sebagai hukuman pokok dalam sistem hukum
Indonesia. Menurut Mardjono Reksodiputro, salah seorang anggota tim perumus RUU
KUHP, hukuman mati masih diperlukan tapi bukan pada pidana pokoknya. Hukuman mati
harus menjadi pidana khusus yang diterapkan secara hati-hati, selektif, dikhususkan pada
kasus-kasus berbahaya dan harus ditetapkan secara bulat oleh majelis hakim. 20 Menurut
catatan berbagai lembaga HAM Internasional, jumlah terpidana yang dihukum mati di
Indonesia, termasuk cukup tinggi setelah Cina, Amerika Serikat, Kongo, Arab Saudi dan
Iran. Praktisi hukum Todung Mulya Lubis mengatakan secara global, kecenderungan untuk
menghapuskan hukuman mati lebih besar daripada mempertahankan hukuman tersebut. 21
Total jumlah negara yang sudah menghapuskan hukuman mati mencapai 129, sedangkan
negara yang mempertahankannya hanya 68 negara. Dari 129 negara yang sudah menghapus,
7

88 negara menghapuskan hukuman itu untuk semua jenis kejahatan, sedangkan 11 negara

718 Dr. Soedikno Mertokusumo,SH., Disertasi “Sejarah Peradilan & Perundangundangan di Indonesia
sejak tahun 1942 dan apakah manfaatnya bagi kita bangsa Indonesia” hlm 18
19
Agung Nugroho, Hukuman Mati di Negara Pancasila, di kutip dari
http://atristiyo.multiply.com/journal/item/74/Agung-Nugroho-Hukuman-Mati dan Pancasila?
&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem, diakses
20
Mardjono Reksodiputro, Catatan perkuliahan ‘HAM danam SPP” ( Kuliah Ketiga Magister hukum UI
21 September 2017)
21
Sahlan Albone, Op.Cit

menghapuskan hukuman mati hanya untuk kejahatan biasa, sementara 30 negara lainnya
melakukan moratorium pelaksanaan hukuman mati.22
Kelompok yang tidak setuju hukuman mati berpendapat bahwa hak hidup adalah
hak dasar yang melekat pada diri setiap manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai
karunia Tuhan YME, yang tidak boleh dirampas, diabaikan atau diganggu-gugat oleh
siapapun. Hal itu tercantum dalam TAP MPR No. VXII/MPR/198 tentang sikap dan
pandangan bangsa Indonesia mengenai Hak-hak Asasi Manusia dan juga terangkat dalam
Amandemen ke-2 UUD 1945 pasal 28A yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak
untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya”. 23 Menurut kelompok ini, tidak ada
korelasi antara hukuman mati dengan berkurangnya tingkat kejahatan. Kelompok ini juga
mengemukakan bahwa penolakan grasi sebenarnya sudah merupakan “hukuman tambahan”
bagi terpidana mati maupun mereka yang masih dalam proses hukum, berupa: gangguan
kejiwaan, stress, kekecewaan karena telah sekian lama mendekam di penjara tetapi juga
tetap menjalani hukuman mati, histeris sebelum hukuman mati dilaksanakan dan beban
psikologis berat bagi keluarganya.24 Dalam menyikapi tentang hukuman mati, kelompok
yang setuju mengaitkannya dengan tiga tujuan hukum, yaitu: pertama,Keadilan Dari aspek
keadilan, maka penjatuhan hukuman mati seimbang dengan tindak kejahatan yang
dilakukannya. Kedua, Kepastian hukumDari aspek kepastian hukum, yaitu ditegakkannya
hukum yang ada dan diberlakukan, menunjukkan adanya konsistensi, ketegasan, bahwa apa
yang tertulis bukan sebuah angan-angan, khayalan tetapi kenyataan yang dapat diwujudkan
dengan tidak pandang bulu. Ketiga, dari aspek manfaat, hukuman mati akan membuat efek
jera kepada orang lain yang telah dan akan melakukan kejahatan, serta juga dapat
memelihara wibawa pemerintah.25
Sosiologi selalu melihat sesuatu tampil secara alami, tanpa intervensi pendapat. Cara
8

seperti ini lazim disebut sebagai empirik. Sumbangan yang diberikan oleh sosiolog ialah
822 www.kompas.com, diakses 17 Desember 2017
23
TAP MPR No. VXII/MPR/198 tentang sikap dan pandangan bangsa Indonesia mengenai Hak-hak Asasi
Manusia dan juga terangkat dalam Amandemen ke-2 UUD 1945 pasal 28A
24
Sahlan Albone, Op.Cit
25
Bima Putra, Penolakan Terhadap Hukuman Mati, di kutip dari http://www.kontras.org/index.php?
hal=siaran_pers&id=999, diakses 20 desember 2017

dengan memberikan penjelasan terhadap subyek yang diamati. Demikian pula pada waktu
dihadapkan kepada masalah pidana mati. Sosiologi ingin melihat dulu bagaimana pidana
mati itu muncul, mencari latar belakang dan sebab-sebabnya, sehingga diperoleh
pemahaman sebaik-baiknya. Indonesia masih mencantumkan ancaman hukuman mati
sebagai salah satu bentuk ancaman hukuman dalam hukum positifnya. 26 Oleh sebab itu
maka hukuman mati merupakan satu bentuk hukuman yang secara perundang-undangan
masih sah dilakukan di negeri ini.
Apabila menggunakan sosiologi, maka akan

mempertanyakan kemungkinan-

kemungkinan adanya kematian yang tidak hanya fisik, melainkan juga sosial. Seseorang
dapat disebut masih hidup secara fisik, tetapi sekaligus mengalami kematian sosial. 27 Hal itu
terjadi apabila seseorang berada dalam kondisi sosial sedemikian rupa, sehingga
kebebasannya untuk melakukan aktivitas sosial dirampasi habis28.Apakah penjatuhan
hukuman mati melalui peradilan menjamin kebersihan dalam menjatuhkan pidana itu?
Jawaban dari sosiologi adalah, tidak juga. Jika dikatakan bahwa melalui perundangundangan segalanya sudah diselesaikan dan dikendalikan, maka itu adalah baru sebagian
dari potret sesungguhnya.29
Potret penerapan perundang-undangan dimasyarakat tidak hitam-putih, melainkan
berwarna-warni, tergantung dari politik penegakan hukum dan ideologi di belakangnya.
Tidak hanya itu, melainkan juga ditentukan oleh sosiologi penegakan hukum yang dilakukan
oleh aparat penegak hukum. 30 Statistik pidana mati di Amerika Serikat memberi tahu bahwa
penggunaan pidana mati itu tidak berjalan secara linier dan matematis, melainkan penuh
dengan intervensi ideologis.31 Penelitian hukum Donald Black (1989) ingin mengatakan
bahwa penegakan hukum di Amerika Serikat didasari oleh ideologi keunggulan ras kulit
9

putih. Sebagai contoh, apabila terjadi pembunuhan oleh warga kulit putih terhadap kulit
hitam, maka resiko dijatuhkannya pidana mati mendekati nol.
926 Sahlan Albone, Loc.Cit
27
Ibid
28
Ibid
29
Ibid
30
Ibid
31
Ibid

Emile Durkheim menyatakan bahwa kejahatan merupakan bagian tak terpisahkan
dari kehidupan manusia di dunia. Segala aktivitas manusia baik politik, sosial dan
ekonomi,dapat menjadi kausa kejahatan. Sehingga keberadaan kejahatan tidak perlu disesali,
tapi harus selalu dicari upaya bagaimana menanganinya. Berusaha menekan kualitas dan
kuantitasnya serendah mungkin, maksimal sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. 32
Teori

Max Weber yang menyatakan "kekuatan yang didefinisikan dan didukung oleh

norma-norma sistem sosial dan umumnya diterima oleh mereka yang berpartisipasi dalam
sistem sosial." Saat ini sanksi ganti kerugian tidak hanya merupakan bagian dari hukum
perdata, tetapi juga telah masuk ke dalam hukum pidana. Perkembangan ini terjadi karena
semakin meningkatnya perhatian masyarakat dunia terhadap korban tindak pidana.33
Dan menurut Hans Kelsen Sendiri, suatu aturan hukum harus dalam keadaan valid
terlebih dahulu baru diketahui apakah aturan tersebut dapat efektif. Jika setelah diterapkan
ternyata peraturan yang sebenarnya sudah valid tersebut ternyata tidak dapat diterapkan atau
tidak dapat diterima oleh masyarakat secara maluas, dan atau secara terus-menerus, maka
ketentuan hukum tersebut menjadi hilang unsur validitanya, sehingga berubah sifat dari
aturan yang valid menjadi aturan yang tidak valid. 34 Dari penjelasan hans kelsen tersebut
jelas kalau hukum itu tidak dapat diterima secara terus menerus maka sebenarnya hukum itu
akan hilang validitasnya, seperti hukuman mati itu sendiri.
Tentang keefektifan berlakunya suatu norma hukum, maka terdapat berbagai variasi
pandangan sesuai aliran dan paham yang dianutnya. Bagi kaum positivism atau penganut
Teori hukum (grundnorm), tidak banyak menjadi soal karena suatu norma hukum yang valid
dapat dipaksakan berlakunya karena diikuti dengan sanki-sanki hukum bagi yang
melanggarnya.35 Atau bagi kaum realism hukum versi amerika, seperti yang dianut oleh Karl
10

Lliewellyn, Oliver Wendell holmes, dan Benjamin Cardozo, efektifan suatu aturan hukum
tergantung pada apakah dapat diterapkan oleh hakim-hakim ke dalam kasus konkret, dimana
1032 Ibid
33
Dari, http://citizen6.liputan6.com/read/2367904/kaitan-teori-max-weber-akan-praktik-hukuman-matioleh-pemerintah, Diakses 20 Desember 2017
34
DR. Munir Fuady, S.H., M.H. LL.M, Teori-teori Besar Dalam Hukum: Grand Theory ,(Jakarta, Prenada
Media, 2014), hlm 117
35
Ibid, hlm 118

para hakim baru menerapkan hukum manakalah kaidah hukum tersebut sesuai dengan cita
hukum, seperti kesesuaian dengan prinsip-prinsip keadilan, kepastian hukum, ketertiban
masyarakat, dan lain-lain. Atau bahkan, bag i kaum utilitarian, seperti Jeremy bentham, otto
von jhering, atau david, suatu norma hukum dianggap efektif dan akan diterima oleh
masyarakat manakalah norma hukum tersebut membawa manfaat bagi umat manusia.36
2.Bagaimanakah Pro Kontra Pidana Mati Di Indonesia
Pidana mati merupakan bentuk hukuman yang sejak ratusan tahun lalu telah menuai
pro dan kontra. Pro dan kontra tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, namun terjadi
hampir di seluruh Negara yang ada pada saat ini. Setiap ahli hukum, aktivis hak asasi
manusia dan lain sebagainya selalu menyandarkan pendapat pro dan kontra pada lembaga
pidana mati dengan alasan yang logis dan rasional.37
Kecendrungan para ahli yang setuju pidana mati tetap dipertahankan eksistensinya,
umumnya didasarkan pada alasan konvensional yaitu kebutuhan pidana mati sangat
dibutuhkan guna menghilangkan orang-orang yang dianggap membahayakan kepentingan
umum atau negara dan dirasa tidak dapat diperbaiki lagi, sedangkan mereka yang kontra
terhadap pidana mati lazimnya menjadikan alasan pidana mati bertentangan dengan hak asasi
manusia dan merupakan bentuk pidana yang tidak dapat lagi diperbaiki apabila setelah
eksekusi dilakukan diemukan kesalahan atas vonis yang dijatuhkan hakim.38
Adapun beberapa ahli maupun tokoh yang mendukung eksistensi pidana mati ialah
Jonkers, Lambroso, Garofalo, Hazewinkel Suringa, Van Hanttum, Barda Namawi Arief,
Oemar Senoadji, dan T.B Simatupang.39 Jonkers mendukung pidana mati dengan
pendapatnya bahwa “alasan pidana tidak dapat ditarik kembali, apabila
11

sudah dilaksanakan” bukanlah alasan yang dapat diterima untuk menyatakan ”pidana mati
tak dapat diterima. Sebab di pengadilan putusan hakim biasanya didasarkan alasan-alasan
yang benar.”40
1136 Ibid
37
Putra, Skripsi Hukuman Pidana Mati Dalam Perspektif Ham, (Surakatra, FH UMS, 2015), Diakses 18
Desember 2017
38
Ibid
39
Ibid

Selanjutnya, Lambroso dan Garofalo berpendapat bahwa pidana mati itu adalah alat
yang mutlak yang harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu yang tidak
mungkin dapat diperbaiki lagi.41 Individu itu tentunya adalah orang-orang yang melakukan
kejahatan yang luar biasa serius (extraordinary crime)
Pada kesempatan lain, Suringa berpendapat pidana mati merupakan suatu bentuk
hukuman yang sangat dibutuhkan dalam suatu masa tertentu terutama dalam hal transisi
kekuasaan yang beralih dalam waktu yang singkat. Suringa yang menyatakan bahwa pidana
mati adalah suatu alat pembersih radikal yang pada setiap masa revolusioner kita cepat dapat
mempergunakannya.42
Salah satu pakar hukum pidana dan tokoh pembaharuan hukum pidana nasional Barda
Nawawi Arief secara eksplisit dalam sebuah bukunya menyatakan bahwa pidana mati masih
perlu dipertahankan dalam konteks pembaharuan KUHP Nasional. Hal ini dapat penulis
gambarkan, melalui pendapatnya yang menyatakan43:
“Bahwa walaupun dipertahankan pidana mati terutama didasarkan sebagai upaya
perlindungan masyarakat (jadi lebih menitikberatkan atau berorintasi pada kepentingan
masyarakat), namun dalam penerapannya diharapkan bersifat selektif, hati-hati dan
berorientasi juga pada perlindungan/kepentingan individu (pelaku tindak pidana)”.
Selanjutnya, inkonstitusioanal atau tidaknya pidana mati sebenarnya telah terjawab
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi pada Permohonan Pengujian materil Undang-Undang
Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang
diajukan oleh empat terpidana mati kasus narkotika melalui kuasa hukumnya berkenaan
dengan inkonstitusionalitas pidana mati yang termaktub di dalam Undang-Undang Nomor 22
tahun 1997 Tentang Narkotika44. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, secara
12

tegas dinyatakan bahwa ancaman pidana mati pada Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997
Tentang Narkotika tidaklah bertentangan dengan Konstitusi. Secara analogi dapat ditrik
sebuah kesimpulan bahwa pidana mati bukanlah suatu tindakan inkonstituional.
1240 A. Hamzah & A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan di Masa
Depan, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1985), hlm 25 & 26
41
Ibid
42
Ibid
43
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti,
2005), hlm 89
44
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika

memperkuat argumen di atas, maka itu berkaitan dengan bunyi dari Konklusi dari
Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap permohonan tersebut, yang menyatakan45 :
Ketentuan Pasal 80 Ayat (1) huruf a, Ayat (2) huruf (a), Ayat (3) huruf a; Pasal 81 Ayat
(3) huruf (a); Pasal 82 Ayat (1) huruf a, Ayat 2 (huruf) a dan Ayat (3) huruf a dalam
UU Narkotika, sepanjang yang mengenai ancaman pidana mati, tidak bertentatangan
dengan Pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.
Berdasarkan keterangan tersebut, sebenarnya dapatlah secara jelas bahwa pidana mati
tidaklah bertentangan dengan Konstitusi Negara kita dan masih layak dipertahankan
keberadaannyanya dalam hukum pidana positif. Hanya saja berdasarkan putusan tersebut
pembaharuan hukum pidana yang berkaitan dengan pidana mati hendaknya untuk ke depan
memperhatikan sungguh-sungguh hal sebagai berikut 46:
a. pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang
bersifat khusus dan alternative
b. pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang
apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan penjara seumur hidup
atau selama 20 puluh tahun
c. pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa
d. eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seorang yang sakit jiwa
ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana mati
yang sakit jiwa tersebut sembuh
Jadi, berdasarkan uraian pendapat di atas dapat ditegaskan bahwa para pendukung
pidana mati pada zaman modern ini semata-mata menjadikan pidana mati sebagai instrumen
untuk melindungi masyarakat dan Negara baik dalam bentuk preventif maupun represif.
Represif di sini bukanlah menjadikan mereka yang di perintah menjadi rentan dan lemah
layaknya kekuasaan otoriter yang menjadikan pidana mati sebagai alat untuk menyingkirkan
orang-orang yang bersebrangan dengan penguasa.47 Selain itu, dalam perumusan KUHP
Nasional yang baru, dalam hal pidana mati haruslah memperhatikan bunyi putusan di atas.
Demikian sebaliknya, para ahli dan tokoh yang kontra terhadap pidana mati pun tidaklah
13

sedikit dan menyandarkan argumennya pada sebuah landasan berpikir yang ilmiah. Seorang
tokoh aliran klasik yang sangat terkenal karena kevokalannya menetang pidana mati ialah

1345 Dicky Putra, Skripsi Hukuman Pidana Mati Dalam Perspektif Ham, (Surakatra, FH UMS, 2015),
Diakses 19 Desember 2017
46
Ibid
47
Ibid

seorang berkebangsaan Italia yang bernama Beccaria. Alasan Beccaria menentang pidana
mati ialah proses yang dijalankan dengan cara yang amat buruk sekali terhadap seseorang
yang dituduh membunuh anaknya sendiri (beberapa waktu setelah eksekusi dapat dibuktikan
bahwa putusan tersebut salah).48
Ferri yang juga seorang berkbangsaan Italia dalam hal menentang pidana mati
berpendapat bahwa untuk menjaga orang yang mempunyai pradisposisi untuk kejahatan
cukup dengan pidana penjara seumur hidup, tidak perlu dengan pidana mati.49
Pada putusan Mahkamah Konstitusi dalam Permohonan Pengujian materil Undang-Undang
Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang
menyatakan bahwa pidana mati tidaklah bertentangan dengan konstitusi terdapat empat
pendapat berbeda (dissenting opinion) dari hakim konstituisi.50 Hakim-hakim tersebut adalah
Hakim Konstitusi H. Harjono, Hakim Konstitusi H. Achmad Roestandi, Hakim Konstitusi
H.M. Laica Marzuki, dan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan. Dalam hal ini alasan Hakim
Konstitusi Maruarar Siahaan menolak adanya pidana mati.51:
Bagi hak untuk hidup, tidak terdapat petunjuk yang menyatakan pembatasan hak itu
dapat dilakukan dengan menghilangkan hidup itu sendiri, meskipun diakui dan telah
menjadi bagian dari hak asasi orang lain yang harus pula dihormati, hak untuk hidup
boleh dibatasi karena hukum membutuhuhkan keadilan untuk mengembalikan
keseimbangan yang dicederai oleh pelanggaran yang dilakukannya berupa
pembatasan ruang geraknya dengan ditempatkan dalam tempat khusus serta
menjalani pembinaan-pembinaan tertentu yang diwajibkan.
Jelas pendapat Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menitikberatkan pada konsep hak
asasi manusia. Hal ini sesuai dengan perkembangan penolakan terhadap pidana mati dewasa
ini (masa sebelumnya penolakan pidana mati ditekankan atas pelaksanaan eksekusi yang
kejam dan efektivitas pidana mati tersebut).52 Maka jelaslah, permasalahan pro dan kontra
14

terhadap pidana mati merupakan suatu permasalahan yang tidak mudah untuk
digeneralisirkan dalam satu pola pikir yang sama pada setiap orang.
1448 Barda Nawawi Arief, Op.Cit
49
Ibid
50
Dicky Putra, Op.Cit
51
ibid
52
Ibid

Pidana Mati merupakan hukuman yang dilaksanakan dengan merampas jiwa
seseorang yang melanggar ketentuan undang-undang. Pidana ini juga merupakan hukuman
tertua dan paling kontroversial dari berbagai bentuk pidana lainnya. Tujuan diadakan dan
dilaksanakannya hukuman mati supaya masyarakat memperhatikan bahwa pemerintah tidak
menghendaki adanya gangguan terhadap ketentaraman yang sangat ditakuti oleh umum.53
Perdebatan

hukum

terhadap absah

tidaknya pidana mati berangkat dari perbedaan

pendapat mengenai hukum mati dalam pandangan HAM, yang pada satu sisi masih
mengakui pidana mati dan sisi lain mengakui hak hidup. Bagi pihak yang menolak pidana
mati, berpendapat bahwa pidana mati secara hukum adalah inkonstitusional, karena
bertentangan dengan konstitusi.

54

Dalam tata urutan peraturan perundangan di Indonesia,

setiap peraturan yang berada di bawah tidak boleh bertentangan dengan yang di atasnya.
Undang-undang yang memuat pidana mati bertentangan dengan konstitusi yang mengakui
hak hidup.55
Karena konstitusi dalam tata hukum Indonesia lebih tinggi dibanding dengan undangundang, maka pidana mati dalam undang-undang itu harus diamandemen. Pro kontra
penerapan Pidana Hukuman Mati di Indonesia secara garis besar mengerucut ke dalam dua
bagian besar yaitu56;

1) Bahwa hukuman mati tidak melanggar HAM karena pelaku telah melanggar HAM
korban dan HAM masyarakat. Parahnya tudingan mengenai hukuman mati melangar
HAM dinilai sebagai sebuah pernyataan sepihak yang tidak melihat bagaimana
HAM korban kejahatan itu dilanggar.

2) Hukuman mati dinilai melanggar HAM karena dicabutnya hak hidup seseorang yang
sebetulnya hak itu sangat dihargai dan tiada seorangpun yang boleh mencabutnya.
Oleh karena itu hukuman mati harus dihapuskan dalam perundang-undangan yang
ada
15

Sedangkan Bambang Poernomo menyatakan, hukuman mati merupakan salah satu hukuman
yang tertua sehingga sudah tidak sesuai dengan kehendak zaman. Meski demikian, sampai
1553 Ibid
54
Ibid
55
Ibid
56
Ibid

saat ini belum ditemukan alternatif lain sebagai penggantinya.Tujuan hukuman mati
berdasarkan teori yang bersifat preventif-intimidatif dan yang sekaligus bersifat represifdepresif, yaitu upaya mengembalikan rasa keadilan masyarakat. Pelaku kejahatan harus
ditimpa derita yang berupa pidana atau hukuman yang sekaligus sebagai pengajaran agar
pelaku kejahatan menjadi jera.45
Hukuman mati juga mencegah adanya tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat
kepada pelaku kejahatan. Terakhir, hukuman mati berfungsi sebagai pelajaran bagi setiap
anggota masyarakat untuk tidak melakukan kejahatan, agar tidak ditimpakan hukum yang
setimpal dengan perbuatannya. Sementara itu, menurut teori persuasif-preventif, hukuman
mati merupakan upaya mendidik pelaku kejahatan agar ia menyadari kesalahan dan mau
bertobat serta mendidik masyarakat agar tidak mencoba melakukan kejahatan yang akan
merugikan dirinya sendiri serta orang lain.46
Dan Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia menyatakan, bahwa

47

: “pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan

seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak
disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi,
membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang
dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak
memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang
berlaku.jadi seharusnya kita tidak boleh melanggar hak asasi manusia apapun sebabnya.48
16

BAB III
PENUTUP
1657 Yon Artiono Arba’I,AKU MENOLAK HUKUMAN MATI, (Jakarta: KPG(Kepustakaan Populer
Gramedia), 2012).Hlm 5
58
Ibid
59
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
60
Ibid

C.

Kesimpulan
Dari penjelasan dan pemaparan dalam bab pembahasan, maka dapat disimpulkan
bahwa HAM merupakan hak-hak kodrati yang diperoleh setiap manusia berkat pemberian
Tuhan semesta alam, sesungguhnnya tidak dapat dipisahkan dari hakikatnnya oleh karena
itu setiap manusia berhak mendapat kehidupan yang layak, kebebesan, keselamatan dan
kebahagiaan.
Dan benar apa yang dikatakan oleh Emile Durkheim menyatakan bahwa kejahatan

merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia di dunia. Segala aktivitas
manusia baik politik, sosial dan ekonomi,dapat menjadi kausa kejahatan. Sehingga
keberadaan kejahatan tidak perlu disesali, tapi harus selalu dicari upaya bagaimana
menanganinya. Berusaha menekan kualitas dan kuantitasnya serendah mungkin, maksimal
sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.
Dan dalam sebuah aturan menurut Hans Kelsen Sendiri, suatu aturan hukum harus
dalam keadaan valid terlebih dahulu baru diketahui apakah aturan tersebut dapat efektif. Jika
setelah diterapkan ternyata peraturan yang sebenarnya sudah valid tersebut ternyata tidak
dapat diterapkan atau tidak dapat diterima oleh masyarakat secara maluas, dan atau secara
terus-menerus, maka ketentuan hukum tersebut menjadi hilang unsur validitanya, sehingga
berubah sifat dari aturan yang valid menjadi aturan yang tidak valid.

Jadi Sebenarnya Pidana Mati juga tidak valid, karena merupakan hukuman yang
dilaksanakan dengan merampas jiwa seseorang yang melanggar ketentuan undang-undang.
Pidana ini juga merupakan hukuman tertua dan paling kontroversial dari berbagai bentuk
pidana lainnya. Tujuan diadakan dan dilaksanakannya hukuman mati supaya masyarakat
memperhatikan bahwa pemerintah tidak menghendaki adanya gangguan terhadap
ketentaraman yang sangat ditakuti oleh umum.

Perdebatan hukum terhadap absah tidaknya pidana mati berangkat dari perbedaan
pendapat mengenai hukum mati dalam pandangan HAM, yang pada satu sisi masih
mengakui pidana mati dan sisi lain mengakui hak hidup. Bagi pihak yang menolak pidana

mati, berpendapat bahwa pidana mati secara hukum adalah inkonstitusional, karena
bertentangan dengan konstitusi. Dalam tata urutan peraturan perundangan di Indonesia,
setiap peraturan yang berada di bawah tidak boleh bertentangan dengan yang di atasnya.
Undang-undang yang memuat pidana mati bertentangan dengan konstitusi yang mengakui
hak hidup. Karena konstitusi dalam tata hukum Indonesia lebih tinggi dibanding dengan
undang-undang, maka pidana mati dalam undang-undang itu harus diamandemen. Pro
kontra penerapan Pidana Hukuman Mati di Indonesia secara garis besar mengerucut ke
dalam dua bagian besar yaitu;
1) Bahwa hukuman mati tidak melanggar HAM karena pelaku telah melanggar
HAM korban dan HAM masyarakat. Parahnya tudingan mengenai hukuman
mati melangar HAM dinilai sebagai sebuah pernyataan sepihak yang tidak
melihat bagaimana HAM korban kejahatan itu dilanggar.
2) Hukuman mati dinilai melanggar HAM karena dicabutnya hak hidup
seseorang yang sebetulnya hak itu sangat dihargai dan tiada seorangpun
yang boleh mencabutnya. Oleh karena itu hukuman mati harus dihapuskan
dalam perundang-undangan yang ada.
3) Nilai-Nilai Hak Asasi Manusia di Indonesia bersumber dan bermuara pada
Pancasila. Hak Asasi Manusia mendapat jaminan yang kuat dari falsafah
bangsa, yaitu Pancasila. Selain itu Konstitusi yang ada di Indonesia pada
dasarnya mengatur hak asasi manusia yang bersumber pada Pancasila dan
perkembangan pengaturan secara umum
4) Penerapan Hukuman Mati dalam sistem hukum di Indonesia bertentangan
dengan hak asasi manusia yaitu hak untuk hidup yang tercantum dalam
nilainilai pancasila dan dijamin oleh UndangUndang Dasar 1945

D. Saran

1. Perlu dilakukan kajian mendalam sehubungan dengan sinkronisasi antara
penerapan Hukuman Mati dengan pengaturan HAM dalam sistem konstitusi
Indonesia.
2. Hukuman Mati sebaiknya diganti dengan penjara seumur hidup yang lebih
relevan dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan lebih
memposisikan manusia itu sendiri sebagai makluk yang mulia
3. Bagi aparat penegak hukum, khususnya bagi para pembuat produk hukum
hendaknya lebih memperhatikan aspek kemanusiaan dalam hal membuat suatu
rumusan yang berisi tentang pidana mati, dan juga terhadap aparat penegak
hukum harus lebih memperhatikan aspek kedepan beserta alasan tentang
penerapan pidana mati.
4. Bagi seluruh masyarakat hendaknya mematuhi hukum yang bertujuan untuk
mencapai keadilan dal ketertiban, karena dengan tertibnya hukum dapat tercipta
suatu kondisi yang nyaman, serta memperhatikan ketentuan internasional hak
asasi manusia dalam penerapan pidana mati.
5. Pemerintah Indonesia sebelum membuat undang-undang harus memperhatikan
hak-hak yang melekat disetiap diri manusia.

Daftar pustaka

Dari http://amcran.org/ATLaws/Anti_Terror_Laws_3rd_Ed_Bahasa_2up.pdf, diakses 18
desember 2017
Studi Kriminologi Masalah Penyimpangan Sosial di kuti dari http://studi-kriminologimasalah-penyimpangan.html, diakses 18 Desember 2017
Sahlan Albone.S.H., M.H. , Jurnal Penerapan Hukuman Mati Dalam prespektif HAM,
(Jogjakarta, FH UII, 2013) hlm 2
Jawahir Thontowi, Sosiologi Hukum (Jogjakarta, Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia 2012)
Umar Sholahudin Hukum dan Keadilan Masyarakat: Perspektif Kajian Sosiologi
Hukum, di kutip dari http:// hukum-dan-keadilan-masyarakat.html, diakses pada tanggal 3
Agustus 2012
Muhammad Siddiq Tgk, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum,(Jakarta, Pradnya
Paramita, 2008), Hal. 9
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Dr. Soedikno Mertokusumo,SH., Disertasi “Sejarah Peradilan & Perundangundangan di
Indonesia sejak tahun 1942 dan apakah manfaatnya bagi kita bangsa Indonesia” hlm 18
Agung

Nugroho, Hukuman

Mati

di

Negara

Pancasila,

http://atristiyo.multiply.com/journal/item/74/Agung-Nugroho-Hukuman-Mati

di

kutip

dari

dan Pancasila?

&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem, diakses
Mardjono Reksodiputro, Catatan perkuliahan ‘HAM danam SPP” ( Kuliah Ketiga
Magister hukum UI 21 September 2017)
Dari www.kompas.com, diakses 17 Desember 2017
TAP MPR No. VXII/MPR/198 tentang sikap dan pandangan bangsa Indonesia mengenai
Hak-hak Asasi Manusia dan juga terangkat dalam Amandemen ke-2 UUD 1945 pasal 28A
Bima

Putra, Penolakan

Terhadap

Hukuman

Mati, di

kutip

dari

http://www.kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=999, diakses 20 desember 2017
Dari,

http://citizen6.liputan6.com/read/2367904/kaitan-teori-max-weber-akan-praktik-

hukuman-mati-oleh-pemerintah, Diakses 20 Desember 2017

DR. Munir Fuady, S.H., M.H. LL.M, Teori-teori Besar Dalam Hukum: Grand Theory ,
(Jakarta, Prenada Media, 2014), hlm 117
A. Hamzah & A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan di
Masa Depan, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1985), hlm 25 & 26
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung, PT. Citra
Aditya Bakti, 2005), hlm 89
Dicky Putra, Skripsi Hukuman Pidana Mati Dalam Perspektif Ham, (Surakatra, FH
UMS, 2015), Diakses 19 Desember 2017
Yon Artiono Arba’I,AKU MENOLAK HUKUMAN MATI, (Jakarta: KPG(Kepustakaan
Populer Gramedia), 2012).Hlm 5
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999