Pengkajian Nilai nilai Budaya Islami dal
Pengkajian
Nilai-nilai
Budaya
Islami
dalam
Pengembangan
Pariwisata Budaya1
Oleh: Drs. Agus Budi Wibowo, M.Si2
A. Pendahuluan
Sektor Pariwisata saat ini semakin berperan dafam menunjang
pembangunan nasional maupun daerah. Sejak tahun 1997 diharapkan
sektor pariwisata menjadi sumber andalan devisa negara di luar sektor
nonmigas. Pemerintah dalam pengembangan pariwisata menegaskan
bahwa : "Dalam rangka pembangunan Nasional, guna rneningkatkan
kesejahteraan rakyat, GBHN telah menetapkan bahwa pembangunan
kepariwisataan dilanjutkan dan ditingkatkan dengan mengembangkan
dan mendayagunakan sumber dan potensi kepariwisataan Nasional
menjadi kegiatan ekonorni yang diandalkan untuk memperbesar
penerimaan devisa, memperluas dan meratakan kesempatan berusaha
dari lapangan kerja terutama bagi masyarakat setempat, rnendorong
pembangunan daerah serta memperkenalkan alam, nilai dan budaya
bangsa" (Rostiyati, 2004: 1). Untuk mencapai target tersebut, maka
kegiatan pariwisata perlu ditingkatkan, karena selain menambah devisa
negara, juga memperluas lapangan Kerja dan memperkenalkan
keanekaragaman kebudayaan serta alam Indonesia yang indah.
Seperti juga daerah lain di Indonesia, Aceh mempunyai potensi
yang besar dalam pengembangan pariwisata, karena selain memliki
alam yang indah juga aneka ragam budaya dan adat istiadat.
Sayangnya, potensi mi belum tergarap secara optimal, mungkin karena
alasan dana atau sumber daya manusianya yang belum siap. Selain itu
juga karenaakonfik yang berkepanjangan diikuti dengan gempa serta
tsunami tahun 2004 yang lalu telah mengakibatkan dunia pariwisata
Aceh makin terpuruk. Untuk itu, pemerintah saat ini mulai berupaya
rnenggali potensi alam atau budaya yang bisa dipakai sebagai tujuan
1
Makalah ini disampaikan pada acara seminar dengan tema Pelestarian dan Aktualisasi
Adat Budaya Daerah menjadikan Banda Aceh Kota Bermartabat tanggal 1 Desember 2007 di Aula
Komplek Baperis yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banda Aceh.
2
Drs. Agus Budi Wibowo, M.Si adalah peneliti muda pada Balai Pelestarian Sejarah dan
Nilai Tradisional Banda Aceh.
1
wisata. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui
pengkajian-pengkajian sehingga semua aspek potensi pariwisata dan
pengembangannya dapat diketahui. Kemudian, langkah lebih lanjut
adalah pembangunan dunia pariwisata sesuai dengan hasil kajian yang
telah dilakukan.
B. Konsep Nilai Budaya
Merujuk pada tema yang diminta oleh panitia kegiatan, maka
apabila kita berbicara nilai-nilai budaya, kita harus membuka dahulu
ruang untuk menyamakan pandangan tentang konsep nilai budaya
dengan budaya. Nilai budaya adalah bagian dari budaya. Sedangkan
budaya merupakan sebuah konsep lebih luas daripada sekedar nilai
budaya. Untuk itu, sebelum membahas tentang nilai budaya ada
baiknya kita bahas terlebih dahulu konsep tentang budaya. Dengan
demikian, pemahaman kita tentang budaya/nilai budaya menjadi lebih
fokus.
Budaya
(kebudayaan/kultur)
seringkali
diartikan
oleh
beranekaragam arti atau makna. Antara satu makna dengan makna
yang lain dapat berbeda. Antara orang awan dan akademisi pun dapat
berbeda pendapat tentang arti budaya ini. Bahkan di antara akademisi
mempunyai pandangan yang tidak sama. Kenyataannya, budaya
memang adalah sebuah konsep yang bermakna beranekaragam. Ada
yang memaknainya secara luas dan ada pula yang memaknainya secara
sempit. Bagi mereka yang memaknai sempit/terbatas, budaya diartikan
hanya sekedar sebuah seni, candi, tari-tarian, kesusastraan, dn
sebagainya. Padahal bagian dari arti-arti seperti disebutkan adalah
bagian dari budaya.
Dalam tulisan ini, konsep budaya dipahami sebagai konsep yang
didefinisikan oleh Koentjaraningrat (1981: 180) yaitu
“Keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia
dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia dengan belajar”.
Sistem gagasan atau sistem ide milik satu masyarakat yang dijadikan
acuan tingkah laku dalam kehidupan sosial dari masyarakat yang
bersangkutan merupakan wujud kebudayaan itu yang bersifat abstrak,
sedangkan perilaku/tindakan dan hasil karya (benda-benda/“benda
budaya”) merupakan “gejala-gejala kebudayaan” saja.
2
Selanjutnya, konsep budaya dapat dikembangkan dalam suatu
perincian untuk mendapatkan pemahaman atau makna yang lebih
operasional. Perincian itu terdiri dari unsur-unsur gagasan tadi yang
terkait dalam suatu sistem yang dikenal dengan konsep “sistem budaya”
(cultural system). Sistem budaya itu sendiri adalah seperangkat
pengetahuan yang meliputi pandangan hidup, keyakinan, nilai, norma,
aturan, hukum yang menjadi milik suatu masyarakat melalui proses
belajar, yang kemudian diacu sebagai pedoman untuk menata, menilai,
menginterpretasi sejumlah benda dan peristiwa dalam beragam aspek
kehidupan
dalam
kehidupan
lingkungan
masyarakat
yang
bersangkutan. Keseluruhan unsur tadi terkait dalam satu sistem yang
dapat disebut “roh” dari kehidupan satu masyarakat. Yang terpenting di
antaranya adalah nilai atau nilai budaya (cultural value) yang
merupakan suatu konsepsi abstrak yang dianggap baik dan amat
bernilai tinggi dalam hidup, yang menjadi pedoman tertinggi kelakuan
dalam kehidupan satu masyarakat (Junus Melalatoa, 2005).
Bagan 1: Pemerincian Kebudayaan
Nilai budaya yang dimiliki satu masyarakat dapat terdiri dari
beberapa kategori nilai, yaitu nilai pengetahuan, nilai religi, nilai sosial,
nilai seni, dan nilai ekonomi. Dalam kategori nilai sosial ada sejumlah
nilai, misalnya nilai tertib, setia kawan, harga diri, tolong-menolong,
rukun, kompetitif, disiplin, dan sebagainya. Nilai disiplin juga
merupakan unsur nilai religi, di samping takwa, iman, yang menjadi
unsur nilai seni di samping indah, melankolis, halus, riang, dinamis,
kreatif, dan lain-lain. Dengan kata lain, sebuah atau beberapa nilai
tersebar sebagai unsur dalam kategori nilai-nilai: pengetahuan, religi,
sosial, seni, dan ekonomi. Keseluruhan nilai-nilai itu terkait satu dengan
3
yang lain, sehingga merupakan satu sistem nilai budaya (cultural value
system).
Adapun unsur-unsur kebudayaan universal mencakup tujuh
unsur yang terdapat pada tiap kebudayaan di dunia adalah Bahasa,
Sistem Pengetahuan, Organisasi Sosial, Sistem Peralatan Hidup dan
Teknologi, Sistem Mata Pencaharian Hidup, Sistem Religi, dan Kesenian.
Ke dalam setiap unsur tersebut terdapat tiga wujud budaya, yaitu:
wujud sistem budaya, sistem sosial, dan wujud kebudayaan fisik.
Bagan 2: Kerangka Kebudayaan
C. Dimensi Nilai-nilai Budaya Aceh
Pada bagian di atas telah di bahas tentang konsep nilai-nilai
budaya. Dalam konteks keacehan dapat dipertanyakan bahwa nilai-nilai
budaya yang bagaimanakah yang dimiliki oleh masyarakat Aceh ? Aceh
yang terletak di jalur padat Selat Malaka merupakan tempat
persinggahan berbagai bangsa dalam aktivitas perdagangan, selain Aceh
sendiri telah menjalin kerjasama perdagangan dengan berbagai daerah
di Semenanjung dan India (Van Leur, 1983). Posisi dan aktivitas ini
memperlihatkan keterbukaan Aceh dengan dunia luar sehingga tidak
jarang ACEH disebut sebagai singkatan dari Arab, Cina, Eropa, dan
Hindia/Hindustan. Melihat pada posisi geografis dan sejarah Aceh yang
pada masa Kesultanan Iskandar Muda melakukan ekspansi ke wilayah
barat Sumatera, maka Aceh merupakan daerah modal yang penting
dalam konstelasi sosial ekonomi dan politik nasional. Sumbangan Aceh
dalam bentuk pesawat kepada Presiden Soekarno, yang kemudian
menjadi cikal bakal Garuda Indonesia pertama, menandakan suatu
bentuk nasionalisme dan dukungan modal Aceh dalam perkembangan
negara kesatuan.
4
Berdasarkan kodisi semacam ini dapat disebutkan, paling tidak,
menurut pandangan Abdullah (2007: 2-3) terdapat empat ikon nilainilai budaya Islami yang menandakan kehadiran orang Aceh.
Pertama, Aceh dikenal sebagai tempat di mana agama dan adat
menjadi dua pilar penting dalam penataan sosial, "Adat bak Po
Teumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala" (Sufi dan Wibowo, 2004). Sisisisi kehidupan sosial budaya Aceh dibangun atas dasar agama dan adat
ini yang membentuk suatu sumber dalam penataan sosial yang
berlangsung di Aceh. Keberadaan ulama merupakan manifestasi dari
adanya pilar agama dan adat yang perannya sangat penting hingga pada
masa Belanda. Hingga saat ini agama masih dianggap sebagai bagian
terpenting kehidupan orang Aceh, walaupun mulai tampak adanya
kesenjangan antara kaum muda dan kaum tua di mana kaum tua
cenderung melakukan romantisasi terhadap agama, sebagaimana
pemberlakuan Syariah Islam, sementara Aceh semakin bergerak ke arah
sekuler.
Kedua, orang Aceh dikenal sebagai pemberani yang mendapatkan
pembenaran historis pada Perang Aceh sejak maklumat perang
disampaikan Belanda pada 26 Maret 1873. Perang yang memakan
waktu hampir 70 tahun memperlihatkan keteguhan hati orang Aceh
dalam mempertahankan wilayah dan sesuatu yang diyakini benar,
khususnya jika itu menyangkut kebenaran agama, seperti ideologi
Perang Sabil yang disosialisasikan pada masyarakat dalam usaha
melawan Belanda. Patriotisme orang Aceh, misalnya, mendapatkan
pengakuan yang luas seperti yang disampaikan Zentgraaf :
"Yang sebenarnya adalah bahwa orang-orang Aceh, baik pria
maupun wanita, pada umumnya telah berjuang dengan gigih
sekali untuk sesuatu yang mereka pandang sebagai kepentingan
nasional atau agama mereka. Di antara pejuang itu terdapat
banyak sekali pria dan wanita yang menjadi kebanggaan setiap
bangsa; mereka tidak kalah gagahnya daripada tokoh-tokoh
terkenal kita" (Wibowo, 2004: 75).
Keberanian dalam berjuang memperlihatkan kesetiaan pada cita-cita
dan pemimpin yang adil, suatu sifat yang diutamakan dalam
masyarakat Aceh. Dalam masyarakat Aceh, keadilan dan tatanan sosial
yang baik adalah sesuatu yang harus diperjuangkan dan harus dicapai
dengan segala cara.
5
Ketiga, orang Aceh juga memiliki keyakinan dan kepercayaan
diri yang tinggi yang disebabkan oleh adanya kebanggaan sebagai
orang Aceh. Kebanggaan ini tentu saja bersumber dari sejarah dan
hikayat yang terus menerus dikomunikasikan dari generasi ke generasi.
Hikayat menceritakan kejayaan Aceh dan keberhasilan perang melawan
Belanda. Simbol-simbol masjid, demikian juga tempat-tempat bersejarah
dan peninggalan budaya telah ikut mendorong kebanggaan dan rasa
percaya diri yang tinggi pada orang Aceh. Sejarah perang dan kekayaan
budaya Aceh telah menjadi kekuatan psikologis yang membentuk suatu
identitas dan memberikan kebanggaan.
Keempat, orang Aceh menjunjung tinggi nilai-nilai kolektif. Hal
ini tampak dari kebiasaan orang Aceh untuk berkumpul, dari fenomena
warung kopi, saling kunjung, kenduri, serta ucapara-upacara yang
melibatkan banyak orang (Wibowo, 2004). Dalam kumpulan sernacarn
ini sosialisasi nilai keacehan dan identitas bersama dibangun, tumbuh
melalui kesenian-kesenian. Seudati, Saman, Debus, Rapa’I dan berbagai
tarian Aceh menegaskan kekayaan seni budaya dan pranata sosial yang
melibatkan banyak orang di dalam setiap aktivitas kebudayaan. Basis
komunal dalam berbagai kegiatan, upacara adat, perkawinan,
pertemuan kampung, musyawarah adat, dan berbagai ucapara
lingkaran hidup Aceh memperlihatkan pentingnya komunalisme di Aceh
di mana nilai-nilai dibangun, dikembangkan, dan diadaptasikan secara
kolektif dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, meunasah atau masjid
memiliki fungsi penting di Aceh sebagai ruang bersama (common space)
untuk berbagai kegiatan. Musyawarah desa berlangsung di meunasah
atau masjid.
D.
Pengkajian
Nilai-nilai
Budaya
Pengembangan Pariwisata Budaya
Islami
Dalam
Rangka
Perkembangan dunia pariwisata. dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan yang pesat. Jumlah foreign tourist(wisatawan asing) yang
berkunjung ke Indonesia tak pernah surut. Bahkan bagi masyarakat
Indonesia sendiri kesadaran untuk melakukan perjalanan dari suatu
daerah ke daerah lain semakin menjadi suatu kebutuhan yang harus
direalisasikan. Tentu banyak alasan. mengapa orang-orang baik secara
6
individual maupun kelompok, melakukan suatu perjalanan ke suatu
tempat yang diidamkan. Mereka melakukan wisata ada yang disebabkan
mgin menikmati keadaan suatu daerah, baik budaya ataupun pesona
alamnya. Atau juga berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya spiritual,
yang jelas dorongan untuk melakukan suatu perjalanan ke daerah jauh
dari tempat tinggal selalu ada pada setiap orang. Pada dasarnya,
manusia itu memang senang bertualang, rnelihat keindahan alam,
menyaksikan atraksi seni budaya, shopping ke tempat-tempat yang bisa
menjadi suatu kebanggaan, atau mengoleksi kenangan dari sekian
banyak daerah dengan keanekaragaman identitas kultural.
Bagi negara-negara yang memiliki potensi objek wisata yang bisa
dijual, maka sektor pariwisata menajdi bagian terpenting dari devisa
negara. Bahkan Indonesia mempertegas dengan "dekade Kunjungan
Indonesia" (Dekuni) 1993-2000. Tentu saja Indonesia termasuk negara
yang memiliki potensi objek wisata yang ideal; beragam adat istiadat,
beragam seni budaya, dan beragam pesona alam. Memang Bali masih
menjadi primadona wisatawan asing, tapi dalam perkembangannya
sekarang ini, wisatawan asing sudah lebih banyak mengenal kekuatan
objek wisata Indonesia secara menyeluruh.
Menurut Theobald (1994) pariwisata merupakan industri yang
kompleks bahkan merupakan industri terbesar di dunia, meliputi :
persoalan pendapatan, nilai tambah, penanaman modal, lapangan kerja,
dan pajak. Dalam tahun 1992 pengeluaran diperkirakan mencapai USD
2,5 triliun, lebih 12% dari semua pengeluaran yang lain, Industri
perjalanan dan pariwisata menggunakan jumlah tenaga pengelola yang
banyak di dunia, terdiri atas 130 juta jenis pekerjaan, memerlukan
hampir 7% dari jumlah semua pegawai, Industri ini juga menghasilkan
lebih dari 6% gross national product dunia, dengan inventasi lebih dari
USD 422 miliar, dan menyumbangkan hampir USD 400 miliar macammacam pajak per tahun" (Rostiyati, 2004:3-4).
Di Indonesia sendiri pengembangan pariwisata bisa dilihat di Bali.
Dulu, masih banyak yang lebih mengenal Bali daripada Indonesia.
Harus diakui, Bali memang bisa dijadikan contoh pengkajian ideal bagi
acuan pengembangan pariwisata di Indonesia. Bali memang memiliki
kelebihan secara alami, yakni adanya harmonisasri antara alam,
manusia dan kulturnya. Masyarakat Bali enerima kehadiran wisatawan
asing. bukan lagj "sesuatu yang asing", melainkan menempatkan
sebagai tamu karib yang datang silih berganti.
7
Manusia dan alam mernang merupakan komponen yang serasi
dan merupakan suatu kesatuan yang penting untuk pariwisata. Salah
satu tantangan yang dihadapi sekian banyak objek wisata yang potensial
di luar Bali, adalah membina harmonisasi tersebut. Dengan sendirinya
selain alam diperlukan Sumber Daya Manusia (SDM) yang mampu
rnemiliki wawasan untuk mewujudkan usaha ke arah itu.
Tidak kalah dengan daerah-daerah lain di Indonesia, Aceh
termasuk propinsi yang memliki potensi obyek wisata yang menarik atau
bisa dijual, baik alam maupun dikelilingi oleh kehijauan bukit dan
gunung yang banyak ditumbuhi beraneka ragam fora dan fauna.
Bahkan, Sabang sudah dapat dikatakan daerah yang menjadi
kunjungan wisatawan lokal dan asing. Oleh sebab itu Aceh sejak lama
dijadikan mata rantai tujuan wisata karena rnemiliki potensi budaya
dan alam yang mempesona. Dengan kondisi alam tersebut menjadikan
Aceh sebagai salah satu tujuan wisatawan baik dari dalam rnaupun luar
negeri.
Membangun industri pariwisata memang tidak hanya cukup
dengan keindahan alam dan keragaman budaya saja, melainkan juga
harus didukung oleh sarana lainnya seperti jasa usaha, transportasi,
penting adalah faktor kesiapan sumber daya manusia dalam menunjang
pariwisata. Betapa pentingnya keterlibatan masyarakat dalam
menunjang pariwisata tersebut. Daya tarik dan potensi daerah tujuan
wisata akan berhasil dengan dukungan prasarana, sarana dan kesiapan
masyarakat sebagai sumber daya manusia yang terlibat dalam industri
pariwisata. Sebab bagaimanapun juga kegiatan pariwisata merupakan
pariwisata sosial budaya yang melibatkan unsur manusia di dalamnya
(Linberg,1976:102).
Menurut Donald untuk mewujudkan masyarakat industri
pariwisata perlu didukung oleh sikap perilaku dan nilai-nilai budaya
yang mendukung kegiatan tersebut. Oleh sebab itu dalam indusiri
pariwisata, unsur manusia menjadt sentral perhatian baik dia sebagai
obyek maupun subyek. Kemasan pariwisata tidak bisa ditampilkan
terpilah-pilah atau terlepas darj unsur manusianya, melainkan harus
merupakan suatu kesatuan yang utuh yang diwujudkan dengan
pelayanan yang baik, keramah tamahan, kebersihan, keamanan,
keindahan dan ketertiban yang ditampilkan oleh masyarakat
pendukungnya. Untuk menuju sebuah harus dimulai dengan sebuah
perencanaan yang didukung oleh data dan fakta yang sahih yang
diperoleh dari lapangan.
8
Adalah sangat sulit dan bahkan tidak mungkin sama sekali untuk
memperoleh data yang sangat terpecaya yang dapat digunakan dalam
perecanaan pembangunan, jika penelitian/pengkajian tidak pernah
dilaksanakan serta kenyataan-kenyataan tidak pernah diuji lebih
dahulu melalui penelitian. Tidak ada satu negara yang sudah maju dan
berhasil dalam pembangunan, tanpa melibatkan banyak daya dan dana
dalam bidang penelitian.
Di
negara-negara
maju
apresiasi
terhadap
karya
penelitian/pengkajian sudah begitu melembaga dan penggunaan dana
untuk keperluan penelitian tidak pernah dipertanyakan lagi manfaatnya.
Pengeluaran negara untuk penelitian mencapai 1-2 persen dari total
pengeluaran negara. Amerika Serikat, misalnya, menggunakan 0,27
persen dari total pendapatan negara untuk keperluan penelitian antara
tahun 1940-1944 dan meningkat menjadi 1 persen di tahun 1953 dan
naik lagi menjadi 1,3 persen di tahun 1955. Dari keseluruhan
pembiayaan tersebut 94 persen digunakan untuk penelitian terapan dan
6 persen untuk penelitian dasar. Banyak studi menyimpulkan bahwa
kontribusi dari penelitian/pengkajian mempunyai nilai yang lebih tinggi
dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan (Nazir, 1999: 27).
Aceh merupakan salah satu daerah yang pernah menjadi field
study dari banyak sarjana/pakar dari berbagai bidang ilmu. Tujuan dari
para pakar adalah bermacam-macam, ada yang melakukan penelitian
murni dan ada pula penelitian yang terapan. Terdapat hal yang menarik
bahwa Snouck Hurgronje pernah mendapat “pesanan” dari pemerintah
kolonial Belanda untuk melakukan penelitian tentang sosial budaya
masyarakat Aceh. Hasil penelitian tersebut digunakan untuk mencari
jawaban atas penyebab begitu lamanya ureung Aceh ditaklukan oleh
Belanda, sehingga Belanda dapat meredam perlawanan yang dilakukan
ureung Aceh.
Belajar dari manfaat dan pentingnya penelitian/pengkajian dalam
rangka menjawab berbagai permasalahan, maka pengkajian nilai-nilai
budaya Islami perlu dilaksanakan dalam rangka pengembangan
pariwisata budaya di Aceh. Masih banyak masalah yang melingkupi
dalam pengembangan pariwisata di daerah ini, yaitu:
Pertama, konsep ideal dalam pengembangan pariwisata yang
berbasis nilai-nilai budaya Islami. Berbeda dengan daerah lain yang
belum mendeklarasikan bahwa daerahnya menjalankan syariat Islam,
pengembangan wisata di daerah ini harus memperhatikan nilai-nilai
9
Islami yang dianut oleh masyarakat Aceh. Apabila tidak memperhatikan
hal tersebut, maka akan terjadi benturan-benturan antara investor,
wisatawan, dan masyarakat di objek wisata. Pernah ada wacana dari
Dinas Pariwisata Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam bahwa untuk
membuka zona khusus bagi turis asing (Amoer, 2006: 13). Diharapkan
dengan model seperti ini turis asing dapat ke Aceh dengan tetap
dilaksanakannya syariat Islam di suatu objek wisata. Namun wacana
masih belum final dan perlu kajian lebih mendalam.
Kedua, “Pemanfaatan” secara positif atas potensi-potensi nilainilai budaya Islami yang dimiliki oleh masyarakat Aceh dalam rangka
pengembangan pariwisata budaya. Untuk itu, dalam pemanfaatan ini
harus dapat dibedakan antara nilai-nilai budaya yang sifatnya profan
dengan nilai-nilai budaya yang sakral. Dengan demikian, nilai-nilai
budaya tersebut tidak tercemari oleh nuansa komersialisasi dan nilainilai luar yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya yang ada pada
masyarakat. Misalnya, Kalau kita masuk ke Masjid Raya Baiturrahman
Banda Aceh, maka semua pengunjung, baik laki-laki maupun
perempuan, diwajibkan berpakaian yang memenuhi syariat Islam;
pemanfaatan kegiatan kenduri maulid akbar, makmeugang sebagai
event tetap yang “dijual” sebagai daya tarik pariwisata.
Ketiga, pemberdayaan masyarakat, lembaga adat, dan objek
dalam rangka pengembangan pariwisata. Pemberdayaan yang dilakukan
agar nilai-nilai budaya yang melandasi pengembangan pariwisata
budaya tetap lestari dan masyarakat dapat menerima manfaat dari
pengembangan pariwisata budaya tersebut.
Permasalahan yang disebutkan dapat dijawab apabila kita
melakukan pengkajian dengan seksama dan berkesinambungan.
Rumusan yang dihasilkan dapat dijadikan pengambilan kebijakan
terhadap pengembangan pariwisata budaya di Aceh. Dengan demikian,
pengembangan pariwisata budaya di daerah ini didasarkan pada bukti
dan penemuan empiris di lapangan, bukan sekedar kebijakan yang
didasarkan pada kepentingan sesaat. Apabila kita salah dalam
pengambilan keputusan dalam pengembangan wisata budaya tidak
hanya merugikan masyarakat, tetapi juga asset yang ada di Aceh.
Kusudianto (1996) pernah mengingatkan bahwa
“... terdapat cukup banyak contoh tentang bagaimana tidak
terencananya suatu pembangunan pariwisata dilakukan semenamena dan oleh orang yang tidak memiliki pengetahuan sehingga
10
pariwisata tidak memberikan hasil yang memuaskan bahkan
menimbulkan kerusakan lingkungan, pengikisan nilai-nilai
agama, budaya, dan adat istiadat” (Ali, 2006: 18).
Terkait dengan masalah pertama Balai Pelestarian Sejarah dan
Nilai Tradisional Banda Aceh telah melaksanakan penelitian tentang
pengetahuan, sikap dan perilaku Masyarakat terhadap Pariwisata
dengan mengambil lokasi penelitian di Banda Aceh, Aceh Besar, dan
Sabang. Di antara hasil kesimpulan tersebut penelitian tersebut adalah
Aceh memiliki potensi yang cukup besar, baik dalam aspek wisata alam,
wisata budaya/sejarah, dan wisata bahari; masyarakat bersikap positif
terhadap pembangunan pariwisata di Aceh dengan harapan tetap
memperhatikan nilai-nilai budaya masyarakat Aceh; dan hambatan
terhadap pengembangan pariwisata meliputi dana (Wibowo dkk, 2006:
143-144).
D. Penutup
Aceh dengan segala potensi yang dimilikinya dapat menjadi
daerah yang sangat potensial dikembangkan dalam pembangunan
pariwisata. Perjalanan sejarah yang panjang yang pernah dilalui
masyarakat Aceh telah membentuk karakter nilai-nilai budaya
masyarakat yang kemudian melahirkan pembangunan pariwisata yang
berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Karakter pembangunan
pariwisata di daerah ini menuntut adanya penerapan syariat Islam
secara kafah. Untuk menuju pembangunan pariwisata Aceh seperti
yang diidam-idamkan, pembangunan pariwisata memerlukan sebuah
perencanaan
matang
dengan
pelaksanaan
yang
terus
berkesinambungan.
Pasca MOU Helsinki dan Gempa serta Tsunami tahun 2004 yang
lalu merupakan moment penting bagi kebangkitan dunia pariwisata
Aceh. Moment penting ini akan berlalu tanpa makna apabila kita tidak
raih dengan sebaik-baiknya.
Daftar Rujukan
11
Abdullah, Irwan. 2007. “Potret Retak Komunalisme Aceh”. Makalah
Bahan Perbicangan Masa Depan Aceh di Aceh Institute tanggal 8
Juni 2007.
Ali, Helmi. 2006. “Perlu Reformasi Sistem Pembangunan Pariwisata
Aceh”. Dalam Aceh Economic Review edisi III/Mei 2006.
Jaroet, Amoer. 2006. “Perlukah “Zona Khusus” Buat Turis Asing Yang
Berkunjung ke Aceh”. Dalam Aceh Economic Review edisi III/Mei
2006.
Koentjaraningrat. 1981. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta. Rineka
Cipta.
Linberg, Donald E. 1976. “The Tourist Business”.
Nazir, Moh. 1999. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Rostiyati, Ani dkk. 2004. Potensi Wisata Di Daerah Pameungpeuk
Kabupaten Garut. Bandung: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai
Tradisional Bandung.
Sufi, Rusdi dan Agus Budi Wibowo. 2004. Aneka Budaya Aceh. Banda
Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Van Leur, J. 1983. Indonesia Trade and Society. Dordrecht: Foris
Publications.
Wibowo, Agus Budi. 2004. “Hikayat dalam Perspektif Sejarah” dalam
Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo, Ragam Sejarah Aceh. Banda
Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Wibowo, Agus Budi dkk. 2006. “Pariwisata: Sikap, Perilaku, dan
Kepercayaan Masyarakat”. Laporan Penelitian. Banda Aceh: Balai
Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh
12
Nilai-nilai
Budaya
Islami
dalam
Pengembangan
Pariwisata Budaya1
Oleh: Drs. Agus Budi Wibowo, M.Si2
A. Pendahuluan
Sektor Pariwisata saat ini semakin berperan dafam menunjang
pembangunan nasional maupun daerah. Sejak tahun 1997 diharapkan
sektor pariwisata menjadi sumber andalan devisa negara di luar sektor
nonmigas. Pemerintah dalam pengembangan pariwisata menegaskan
bahwa : "Dalam rangka pembangunan Nasional, guna rneningkatkan
kesejahteraan rakyat, GBHN telah menetapkan bahwa pembangunan
kepariwisataan dilanjutkan dan ditingkatkan dengan mengembangkan
dan mendayagunakan sumber dan potensi kepariwisataan Nasional
menjadi kegiatan ekonorni yang diandalkan untuk memperbesar
penerimaan devisa, memperluas dan meratakan kesempatan berusaha
dari lapangan kerja terutama bagi masyarakat setempat, rnendorong
pembangunan daerah serta memperkenalkan alam, nilai dan budaya
bangsa" (Rostiyati, 2004: 1). Untuk mencapai target tersebut, maka
kegiatan pariwisata perlu ditingkatkan, karena selain menambah devisa
negara, juga memperluas lapangan Kerja dan memperkenalkan
keanekaragaman kebudayaan serta alam Indonesia yang indah.
Seperti juga daerah lain di Indonesia, Aceh mempunyai potensi
yang besar dalam pengembangan pariwisata, karena selain memliki
alam yang indah juga aneka ragam budaya dan adat istiadat.
Sayangnya, potensi mi belum tergarap secara optimal, mungkin karena
alasan dana atau sumber daya manusianya yang belum siap. Selain itu
juga karenaakonfik yang berkepanjangan diikuti dengan gempa serta
tsunami tahun 2004 yang lalu telah mengakibatkan dunia pariwisata
Aceh makin terpuruk. Untuk itu, pemerintah saat ini mulai berupaya
rnenggali potensi alam atau budaya yang bisa dipakai sebagai tujuan
1
Makalah ini disampaikan pada acara seminar dengan tema Pelestarian dan Aktualisasi
Adat Budaya Daerah menjadikan Banda Aceh Kota Bermartabat tanggal 1 Desember 2007 di Aula
Komplek Baperis yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banda Aceh.
2
Drs. Agus Budi Wibowo, M.Si adalah peneliti muda pada Balai Pelestarian Sejarah dan
Nilai Tradisional Banda Aceh.
1
wisata. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui
pengkajian-pengkajian sehingga semua aspek potensi pariwisata dan
pengembangannya dapat diketahui. Kemudian, langkah lebih lanjut
adalah pembangunan dunia pariwisata sesuai dengan hasil kajian yang
telah dilakukan.
B. Konsep Nilai Budaya
Merujuk pada tema yang diminta oleh panitia kegiatan, maka
apabila kita berbicara nilai-nilai budaya, kita harus membuka dahulu
ruang untuk menyamakan pandangan tentang konsep nilai budaya
dengan budaya. Nilai budaya adalah bagian dari budaya. Sedangkan
budaya merupakan sebuah konsep lebih luas daripada sekedar nilai
budaya. Untuk itu, sebelum membahas tentang nilai budaya ada
baiknya kita bahas terlebih dahulu konsep tentang budaya. Dengan
demikian, pemahaman kita tentang budaya/nilai budaya menjadi lebih
fokus.
Budaya
(kebudayaan/kultur)
seringkali
diartikan
oleh
beranekaragam arti atau makna. Antara satu makna dengan makna
yang lain dapat berbeda. Antara orang awan dan akademisi pun dapat
berbeda pendapat tentang arti budaya ini. Bahkan di antara akademisi
mempunyai pandangan yang tidak sama. Kenyataannya, budaya
memang adalah sebuah konsep yang bermakna beranekaragam. Ada
yang memaknainya secara luas dan ada pula yang memaknainya secara
sempit. Bagi mereka yang memaknai sempit/terbatas, budaya diartikan
hanya sekedar sebuah seni, candi, tari-tarian, kesusastraan, dn
sebagainya. Padahal bagian dari arti-arti seperti disebutkan adalah
bagian dari budaya.
Dalam tulisan ini, konsep budaya dipahami sebagai konsep yang
didefinisikan oleh Koentjaraningrat (1981: 180) yaitu
“Keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia
dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia dengan belajar”.
Sistem gagasan atau sistem ide milik satu masyarakat yang dijadikan
acuan tingkah laku dalam kehidupan sosial dari masyarakat yang
bersangkutan merupakan wujud kebudayaan itu yang bersifat abstrak,
sedangkan perilaku/tindakan dan hasil karya (benda-benda/“benda
budaya”) merupakan “gejala-gejala kebudayaan” saja.
2
Selanjutnya, konsep budaya dapat dikembangkan dalam suatu
perincian untuk mendapatkan pemahaman atau makna yang lebih
operasional. Perincian itu terdiri dari unsur-unsur gagasan tadi yang
terkait dalam suatu sistem yang dikenal dengan konsep “sistem budaya”
(cultural system). Sistem budaya itu sendiri adalah seperangkat
pengetahuan yang meliputi pandangan hidup, keyakinan, nilai, norma,
aturan, hukum yang menjadi milik suatu masyarakat melalui proses
belajar, yang kemudian diacu sebagai pedoman untuk menata, menilai,
menginterpretasi sejumlah benda dan peristiwa dalam beragam aspek
kehidupan
dalam
kehidupan
lingkungan
masyarakat
yang
bersangkutan. Keseluruhan unsur tadi terkait dalam satu sistem yang
dapat disebut “roh” dari kehidupan satu masyarakat. Yang terpenting di
antaranya adalah nilai atau nilai budaya (cultural value) yang
merupakan suatu konsepsi abstrak yang dianggap baik dan amat
bernilai tinggi dalam hidup, yang menjadi pedoman tertinggi kelakuan
dalam kehidupan satu masyarakat (Junus Melalatoa, 2005).
Bagan 1: Pemerincian Kebudayaan
Nilai budaya yang dimiliki satu masyarakat dapat terdiri dari
beberapa kategori nilai, yaitu nilai pengetahuan, nilai religi, nilai sosial,
nilai seni, dan nilai ekonomi. Dalam kategori nilai sosial ada sejumlah
nilai, misalnya nilai tertib, setia kawan, harga diri, tolong-menolong,
rukun, kompetitif, disiplin, dan sebagainya. Nilai disiplin juga
merupakan unsur nilai religi, di samping takwa, iman, yang menjadi
unsur nilai seni di samping indah, melankolis, halus, riang, dinamis,
kreatif, dan lain-lain. Dengan kata lain, sebuah atau beberapa nilai
tersebar sebagai unsur dalam kategori nilai-nilai: pengetahuan, religi,
sosial, seni, dan ekonomi. Keseluruhan nilai-nilai itu terkait satu dengan
3
yang lain, sehingga merupakan satu sistem nilai budaya (cultural value
system).
Adapun unsur-unsur kebudayaan universal mencakup tujuh
unsur yang terdapat pada tiap kebudayaan di dunia adalah Bahasa,
Sistem Pengetahuan, Organisasi Sosial, Sistem Peralatan Hidup dan
Teknologi, Sistem Mata Pencaharian Hidup, Sistem Religi, dan Kesenian.
Ke dalam setiap unsur tersebut terdapat tiga wujud budaya, yaitu:
wujud sistem budaya, sistem sosial, dan wujud kebudayaan fisik.
Bagan 2: Kerangka Kebudayaan
C. Dimensi Nilai-nilai Budaya Aceh
Pada bagian di atas telah di bahas tentang konsep nilai-nilai
budaya. Dalam konteks keacehan dapat dipertanyakan bahwa nilai-nilai
budaya yang bagaimanakah yang dimiliki oleh masyarakat Aceh ? Aceh
yang terletak di jalur padat Selat Malaka merupakan tempat
persinggahan berbagai bangsa dalam aktivitas perdagangan, selain Aceh
sendiri telah menjalin kerjasama perdagangan dengan berbagai daerah
di Semenanjung dan India (Van Leur, 1983). Posisi dan aktivitas ini
memperlihatkan keterbukaan Aceh dengan dunia luar sehingga tidak
jarang ACEH disebut sebagai singkatan dari Arab, Cina, Eropa, dan
Hindia/Hindustan. Melihat pada posisi geografis dan sejarah Aceh yang
pada masa Kesultanan Iskandar Muda melakukan ekspansi ke wilayah
barat Sumatera, maka Aceh merupakan daerah modal yang penting
dalam konstelasi sosial ekonomi dan politik nasional. Sumbangan Aceh
dalam bentuk pesawat kepada Presiden Soekarno, yang kemudian
menjadi cikal bakal Garuda Indonesia pertama, menandakan suatu
bentuk nasionalisme dan dukungan modal Aceh dalam perkembangan
negara kesatuan.
4
Berdasarkan kodisi semacam ini dapat disebutkan, paling tidak,
menurut pandangan Abdullah (2007: 2-3) terdapat empat ikon nilainilai budaya Islami yang menandakan kehadiran orang Aceh.
Pertama, Aceh dikenal sebagai tempat di mana agama dan adat
menjadi dua pilar penting dalam penataan sosial, "Adat bak Po
Teumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala" (Sufi dan Wibowo, 2004). Sisisisi kehidupan sosial budaya Aceh dibangun atas dasar agama dan adat
ini yang membentuk suatu sumber dalam penataan sosial yang
berlangsung di Aceh. Keberadaan ulama merupakan manifestasi dari
adanya pilar agama dan adat yang perannya sangat penting hingga pada
masa Belanda. Hingga saat ini agama masih dianggap sebagai bagian
terpenting kehidupan orang Aceh, walaupun mulai tampak adanya
kesenjangan antara kaum muda dan kaum tua di mana kaum tua
cenderung melakukan romantisasi terhadap agama, sebagaimana
pemberlakuan Syariah Islam, sementara Aceh semakin bergerak ke arah
sekuler.
Kedua, orang Aceh dikenal sebagai pemberani yang mendapatkan
pembenaran historis pada Perang Aceh sejak maklumat perang
disampaikan Belanda pada 26 Maret 1873. Perang yang memakan
waktu hampir 70 tahun memperlihatkan keteguhan hati orang Aceh
dalam mempertahankan wilayah dan sesuatu yang diyakini benar,
khususnya jika itu menyangkut kebenaran agama, seperti ideologi
Perang Sabil yang disosialisasikan pada masyarakat dalam usaha
melawan Belanda. Patriotisme orang Aceh, misalnya, mendapatkan
pengakuan yang luas seperti yang disampaikan Zentgraaf :
"Yang sebenarnya adalah bahwa orang-orang Aceh, baik pria
maupun wanita, pada umumnya telah berjuang dengan gigih
sekali untuk sesuatu yang mereka pandang sebagai kepentingan
nasional atau agama mereka. Di antara pejuang itu terdapat
banyak sekali pria dan wanita yang menjadi kebanggaan setiap
bangsa; mereka tidak kalah gagahnya daripada tokoh-tokoh
terkenal kita" (Wibowo, 2004: 75).
Keberanian dalam berjuang memperlihatkan kesetiaan pada cita-cita
dan pemimpin yang adil, suatu sifat yang diutamakan dalam
masyarakat Aceh. Dalam masyarakat Aceh, keadilan dan tatanan sosial
yang baik adalah sesuatu yang harus diperjuangkan dan harus dicapai
dengan segala cara.
5
Ketiga, orang Aceh juga memiliki keyakinan dan kepercayaan
diri yang tinggi yang disebabkan oleh adanya kebanggaan sebagai
orang Aceh. Kebanggaan ini tentu saja bersumber dari sejarah dan
hikayat yang terus menerus dikomunikasikan dari generasi ke generasi.
Hikayat menceritakan kejayaan Aceh dan keberhasilan perang melawan
Belanda. Simbol-simbol masjid, demikian juga tempat-tempat bersejarah
dan peninggalan budaya telah ikut mendorong kebanggaan dan rasa
percaya diri yang tinggi pada orang Aceh. Sejarah perang dan kekayaan
budaya Aceh telah menjadi kekuatan psikologis yang membentuk suatu
identitas dan memberikan kebanggaan.
Keempat, orang Aceh menjunjung tinggi nilai-nilai kolektif. Hal
ini tampak dari kebiasaan orang Aceh untuk berkumpul, dari fenomena
warung kopi, saling kunjung, kenduri, serta ucapara-upacara yang
melibatkan banyak orang (Wibowo, 2004). Dalam kumpulan sernacarn
ini sosialisasi nilai keacehan dan identitas bersama dibangun, tumbuh
melalui kesenian-kesenian. Seudati, Saman, Debus, Rapa’I dan berbagai
tarian Aceh menegaskan kekayaan seni budaya dan pranata sosial yang
melibatkan banyak orang di dalam setiap aktivitas kebudayaan. Basis
komunal dalam berbagai kegiatan, upacara adat, perkawinan,
pertemuan kampung, musyawarah adat, dan berbagai ucapara
lingkaran hidup Aceh memperlihatkan pentingnya komunalisme di Aceh
di mana nilai-nilai dibangun, dikembangkan, dan diadaptasikan secara
kolektif dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, meunasah atau masjid
memiliki fungsi penting di Aceh sebagai ruang bersama (common space)
untuk berbagai kegiatan. Musyawarah desa berlangsung di meunasah
atau masjid.
D.
Pengkajian
Nilai-nilai
Budaya
Pengembangan Pariwisata Budaya
Islami
Dalam
Rangka
Perkembangan dunia pariwisata. dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan yang pesat. Jumlah foreign tourist(wisatawan asing) yang
berkunjung ke Indonesia tak pernah surut. Bahkan bagi masyarakat
Indonesia sendiri kesadaran untuk melakukan perjalanan dari suatu
daerah ke daerah lain semakin menjadi suatu kebutuhan yang harus
direalisasikan. Tentu banyak alasan. mengapa orang-orang baik secara
6
individual maupun kelompok, melakukan suatu perjalanan ke suatu
tempat yang diidamkan. Mereka melakukan wisata ada yang disebabkan
mgin menikmati keadaan suatu daerah, baik budaya ataupun pesona
alamnya. Atau juga berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya spiritual,
yang jelas dorongan untuk melakukan suatu perjalanan ke daerah jauh
dari tempat tinggal selalu ada pada setiap orang. Pada dasarnya,
manusia itu memang senang bertualang, rnelihat keindahan alam,
menyaksikan atraksi seni budaya, shopping ke tempat-tempat yang bisa
menjadi suatu kebanggaan, atau mengoleksi kenangan dari sekian
banyak daerah dengan keanekaragaman identitas kultural.
Bagi negara-negara yang memiliki potensi objek wisata yang bisa
dijual, maka sektor pariwisata menajdi bagian terpenting dari devisa
negara. Bahkan Indonesia mempertegas dengan "dekade Kunjungan
Indonesia" (Dekuni) 1993-2000. Tentu saja Indonesia termasuk negara
yang memiliki potensi objek wisata yang ideal; beragam adat istiadat,
beragam seni budaya, dan beragam pesona alam. Memang Bali masih
menjadi primadona wisatawan asing, tapi dalam perkembangannya
sekarang ini, wisatawan asing sudah lebih banyak mengenal kekuatan
objek wisata Indonesia secara menyeluruh.
Menurut Theobald (1994) pariwisata merupakan industri yang
kompleks bahkan merupakan industri terbesar di dunia, meliputi :
persoalan pendapatan, nilai tambah, penanaman modal, lapangan kerja,
dan pajak. Dalam tahun 1992 pengeluaran diperkirakan mencapai USD
2,5 triliun, lebih 12% dari semua pengeluaran yang lain, Industri
perjalanan dan pariwisata menggunakan jumlah tenaga pengelola yang
banyak di dunia, terdiri atas 130 juta jenis pekerjaan, memerlukan
hampir 7% dari jumlah semua pegawai, Industri ini juga menghasilkan
lebih dari 6% gross national product dunia, dengan inventasi lebih dari
USD 422 miliar, dan menyumbangkan hampir USD 400 miliar macammacam pajak per tahun" (Rostiyati, 2004:3-4).
Di Indonesia sendiri pengembangan pariwisata bisa dilihat di Bali.
Dulu, masih banyak yang lebih mengenal Bali daripada Indonesia.
Harus diakui, Bali memang bisa dijadikan contoh pengkajian ideal bagi
acuan pengembangan pariwisata di Indonesia. Bali memang memiliki
kelebihan secara alami, yakni adanya harmonisasri antara alam,
manusia dan kulturnya. Masyarakat Bali enerima kehadiran wisatawan
asing. bukan lagj "sesuatu yang asing", melainkan menempatkan
sebagai tamu karib yang datang silih berganti.
7
Manusia dan alam mernang merupakan komponen yang serasi
dan merupakan suatu kesatuan yang penting untuk pariwisata. Salah
satu tantangan yang dihadapi sekian banyak objek wisata yang potensial
di luar Bali, adalah membina harmonisasi tersebut. Dengan sendirinya
selain alam diperlukan Sumber Daya Manusia (SDM) yang mampu
rnemiliki wawasan untuk mewujudkan usaha ke arah itu.
Tidak kalah dengan daerah-daerah lain di Indonesia, Aceh
termasuk propinsi yang memliki potensi obyek wisata yang menarik atau
bisa dijual, baik alam maupun dikelilingi oleh kehijauan bukit dan
gunung yang banyak ditumbuhi beraneka ragam fora dan fauna.
Bahkan, Sabang sudah dapat dikatakan daerah yang menjadi
kunjungan wisatawan lokal dan asing. Oleh sebab itu Aceh sejak lama
dijadikan mata rantai tujuan wisata karena rnemiliki potensi budaya
dan alam yang mempesona. Dengan kondisi alam tersebut menjadikan
Aceh sebagai salah satu tujuan wisatawan baik dari dalam rnaupun luar
negeri.
Membangun industri pariwisata memang tidak hanya cukup
dengan keindahan alam dan keragaman budaya saja, melainkan juga
harus didukung oleh sarana lainnya seperti jasa usaha, transportasi,
penting adalah faktor kesiapan sumber daya manusia dalam menunjang
pariwisata. Betapa pentingnya keterlibatan masyarakat dalam
menunjang pariwisata tersebut. Daya tarik dan potensi daerah tujuan
wisata akan berhasil dengan dukungan prasarana, sarana dan kesiapan
masyarakat sebagai sumber daya manusia yang terlibat dalam industri
pariwisata. Sebab bagaimanapun juga kegiatan pariwisata merupakan
pariwisata sosial budaya yang melibatkan unsur manusia di dalamnya
(Linberg,1976:102).
Menurut Donald untuk mewujudkan masyarakat industri
pariwisata perlu didukung oleh sikap perilaku dan nilai-nilai budaya
yang mendukung kegiatan tersebut. Oleh sebab itu dalam indusiri
pariwisata, unsur manusia menjadt sentral perhatian baik dia sebagai
obyek maupun subyek. Kemasan pariwisata tidak bisa ditampilkan
terpilah-pilah atau terlepas darj unsur manusianya, melainkan harus
merupakan suatu kesatuan yang utuh yang diwujudkan dengan
pelayanan yang baik, keramah tamahan, kebersihan, keamanan,
keindahan dan ketertiban yang ditampilkan oleh masyarakat
pendukungnya. Untuk menuju sebuah harus dimulai dengan sebuah
perencanaan yang didukung oleh data dan fakta yang sahih yang
diperoleh dari lapangan.
8
Adalah sangat sulit dan bahkan tidak mungkin sama sekali untuk
memperoleh data yang sangat terpecaya yang dapat digunakan dalam
perecanaan pembangunan, jika penelitian/pengkajian tidak pernah
dilaksanakan serta kenyataan-kenyataan tidak pernah diuji lebih
dahulu melalui penelitian. Tidak ada satu negara yang sudah maju dan
berhasil dalam pembangunan, tanpa melibatkan banyak daya dan dana
dalam bidang penelitian.
Di
negara-negara
maju
apresiasi
terhadap
karya
penelitian/pengkajian sudah begitu melembaga dan penggunaan dana
untuk keperluan penelitian tidak pernah dipertanyakan lagi manfaatnya.
Pengeluaran negara untuk penelitian mencapai 1-2 persen dari total
pengeluaran negara. Amerika Serikat, misalnya, menggunakan 0,27
persen dari total pendapatan negara untuk keperluan penelitian antara
tahun 1940-1944 dan meningkat menjadi 1 persen di tahun 1953 dan
naik lagi menjadi 1,3 persen di tahun 1955. Dari keseluruhan
pembiayaan tersebut 94 persen digunakan untuk penelitian terapan dan
6 persen untuk penelitian dasar. Banyak studi menyimpulkan bahwa
kontribusi dari penelitian/pengkajian mempunyai nilai yang lebih tinggi
dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan (Nazir, 1999: 27).
Aceh merupakan salah satu daerah yang pernah menjadi field
study dari banyak sarjana/pakar dari berbagai bidang ilmu. Tujuan dari
para pakar adalah bermacam-macam, ada yang melakukan penelitian
murni dan ada pula penelitian yang terapan. Terdapat hal yang menarik
bahwa Snouck Hurgronje pernah mendapat “pesanan” dari pemerintah
kolonial Belanda untuk melakukan penelitian tentang sosial budaya
masyarakat Aceh. Hasil penelitian tersebut digunakan untuk mencari
jawaban atas penyebab begitu lamanya ureung Aceh ditaklukan oleh
Belanda, sehingga Belanda dapat meredam perlawanan yang dilakukan
ureung Aceh.
Belajar dari manfaat dan pentingnya penelitian/pengkajian dalam
rangka menjawab berbagai permasalahan, maka pengkajian nilai-nilai
budaya Islami perlu dilaksanakan dalam rangka pengembangan
pariwisata budaya di Aceh. Masih banyak masalah yang melingkupi
dalam pengembangan pariwisata di daerah ini, yaitu:
Pertama, konsep ideal dalam pengembangan pariwisata yang
berbasis nilai-nilai budaya Islami. Berbeda dengan daerah lain yang
belum mendeklarasikan bahwa daerahnya menjalankan syariat Islam,
pengembangan wisata di daerah ini harus memperhatikan nilai-nilai
9
Islami yang dianut oleh masyarakat Aceh. Apabila tidak memperhatikan
hal tersebut, maka akan terjadi benturan-benturan antara investor,
wisatawan, dan masyarakat di objek wisata. Pernah ada wacana dari
Dinas Pariwisata Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam bahwa untuk
membuka zona khusus bagi turis asing (Amoer, 2006: 13). Diharapkan
dengan model seperti ini turis asing dapat ke Aceh dengan tetap
dilaksanakannya syariat Islam di suatu objek wisata. Namun wacana
masih belum final dan perlu kajian lebih mendalam.
Kedua, “Pemanfaatan” secara positif atas potensi-potensi nilainilai budaya Islami yang dimiliki oleh masyarakat Aceh dalam rangka
pengembangan pariwisata budaya. Untuk itu, dalam pemanfaatan ini
harus dapat dibedakan antara nilai-nilai budaya yang sifatnya profan
dengan nilai-nilai budaya yang sakral. Dengan demikian, nilai-nilai
budaya tersebut tidak tercemari oleh nuansa komersialisasi dan nilainilai luar yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya yang ada pada
masyarakat. Misalnya, Kalau kita masuk ke Masjid Raya Baiturrahman
Banda Aceh, maka semua pengunjung, baik laki-laki maupun
perempuan, diwajibkan berpakaian yang memenuhi syariat Islam;
pemanfaatan kegiatan kenduri maulid akbar, makmeugang sebagai
event tetap yang “dijual” sebagai daya tarik pariwisata.
Ketiga, pemberdayaan masyarakat, lembaga adat, dan objek
dalam rangka pengembangan pariwisata. Pemberdayaan yang dilakukan
agar nilai-nilai budaya yang melandasi pengembangan pariwisata
budaya tetap lestari dan masyarakat dapat menerima manfaat dari
pengembangan pariwisata budaya tersebut.
Permasalahan yang disebutkan dapat dijawab apabila kita
melakukan pengkajian dengan seksama dan berkesinambungan.
Rumusan yang dihasilkan dapat dijadikan pengambilan kebijakan
terhadap pengembangan pariwisata budaya di Aceh. Dengan demikian,
pengembangan pariwisata budaya di daerah ini didasarkan pada bukti
dan penemuan empiris di lapangan, bukan sekedar kebijakan yang
didasarkan pada kepentingan sesaat. Apabila kita salah dalam
pengambilan keputusan dalam pengembangan wisata budaya tidak
hanya merugikan masyarakat, tetapi juga asset yang ada di Aceh.
Kusudianto (1996) pernah mengingatkan bahwa
“... terdapat cukup banyak contoh tentang bagaimana tidak
terencananya suatu pembangunan pariwisata dilakukan semenamena dan oleh orang yang tidak memiliki pengetahuan sehingga
10
pariwisata tidak memberikan hasil yang memuaskan bahkan
menimbulkan kerusakan lingkungan, pengikisan nilai-nilai
agama, budaya, dan adat istiadat” (Ali, 2006: 18).
Terkait dengan masalah pertama Balai Pelestarian Sejarah dan
Nilai Tradisional Banda Aceh telah melaksanakan penelitian tentang
pengetahuan, sikap dan perilaku Masyarakat terhadap Pariwisata
dengan mengambil lokasi penelitian di Banda Aceh, Aceh Besar, dan
Sabang. Di antara hasil kesimpulan tersebut penelitian tersebut adalah
Aceh memiliki potensi yang cukup besar, baik dalam aspek wisata alam,
wisata budaya/sejarah, dan wisata bahari; masyarakat bersikap positif
terhadap pembangunan pariwisata di Aceh dengan harapan tetap
memperhatikan nilai-nilai budaya masyarakat Aceh; dan hambatan
terhadap pengembangan pariwisata meliputi dana (Wibowo dkk, 2006:
143-144).
D. Penutup
Aceh dengan segala potensi yang dimilikinya dapat menjadi
daerah yang sangat potensial dikembangkan dalam pembangunan
pariwisata. Perjalanan sejarah yang panjang yang pernah dilalui
masyarakat Aceh telah membentuk karakter nilai-nilai budaya
masyarakat yang kemudian melahirkan pembangunan pariwisata yang
berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Karakter pembangunan
pariwisata di daerah ini menuntut adanya penerapan syariat Islam
secara kafah. Untuk menuju pembangunan pariwisata Aceh seperti
yang diidam-idamkan, pembangunan pariwisata memerlukan sebuah
perencanaan
matang
dengan
pelaksanaan
yang
terus
berkesinambungan.
Pasca MOU Helsinki dan Gempa serta Tsunami tahun 2004 yang
lalu merupakan moment penting bagi kebangkitan dunia pariwisata
Aceh. Moment penting ini akan berlalu tanpa makna apabila kita tidak
raih dengan sebaik-baiknya.
Daftar Rujukan
11
Abdullah, Irwan. 2007. “Potret Retak Komunalisme Aceh”. Makalah
Bahan Perbicangan Masa Depan Aceh di Aceh Institute tanggal 8
Juni 2007.
Ali, Helmi. 2006. “Perlu Reformasi Sistem Pembangunan Pariwisata
Aceh”. Dalam Aceh Economic Review edisi III/Mei 2006.
Jaroet, Amoer. 2006. “Perlukah “Zona Khusus” Buat Turis Asing Yang
Berkunjung ke Aceh”. Dalam Aceh Economic Review edisi III/Mei
2006.
Koentjaraningrat. 1981. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta. Rineka
Cipta.
Linberg, Donald E. 1976. “The Tourist Business”.
Nazir, Moh. 1999. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Rostiyati, Ani dkk. 2004. Potensi Wisata Di Daerah Pameungpeuk
Kabupaten Garut. Bandung: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai
Tradisional Bandung.
Sufi, Rusdi dan Agus Budi Wibowo. 2004. Aneka Budaya Aceh. Banda
Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Van Leur, J. 1983. Indonesia Trade and Society. Dordrecht: Foris
Publications.
Wibowo, Agus Budi. 2004. “Hikayat dalam Perspektif Sejarah” dalam
Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo, Ragam Sejarah Aceh. Banda
Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Wibowo, Agus Budi dkk. 2006. “Pariwisata: Sikap, Perilaku, dan
Kepercayaan Masyarakat”. Laporan Penelitian. Banda Aceh: Balai
Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh
12