Asuhan Keperawatan Asma Bronkial Askep
Asuhan Keperawatan Asma Bronkial ( Askep )
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
Asma Bronkhial
1. Definisi Asma
Asma adalah kondisi jangka panjang yang mempengaruhi saluran napas-saluran kecil yang
mengalirkan udara masuk ke dan keluar dari paru-paru. Asma adalah penyakit inflamasi
(peradangan). Saluran napas penyandang asma biasanya menjadi merah dan meradang. Asma
sangat terkait dengan alergi. Alergi dapat memperparah asma. Namun demikian, tidak semua
penyandang asma mempunyai alergi, dan tidak semua orang yang mempunyai alergi
menyandang asma (Bull & Price, 2007).
Pada penderita asma, saluran napas menjadi sempit dan hal ini membuat sulit bernapas.
Terjadi beberapa perubahan pada saluran napas penyandang asma, yaitu dinding saluran napas
membengkak; adanya sekumpulan lendir dan sel-sel yang rusak menutupi sebagian saluran
napas; hidung mengalami iritasi dan mungkin menjadi tersumbat; dan otot-otot saluran napas
mengencang tetapi semuanya dapat dipulihkan ke kondisi semula dengan terapi yang tepat.
Selama terjadi serangan asma, perubahan dalam paru-paru secara tiba-tiba menjadi jauh lebih
buruk, ujung saluran napas mengecil, dan aliran udara yang melaluinya sangat jauh berkurang
sehingga bernapas menjadi sangat sulit (Bull & Price, 2007).
2. Klasifikasi Asma
Berkaitan dengan gangguan saluran pernapasan yang
berupa
peradangan
dan
bronkokonstriksi, beberapa ahli membagi asma dalam 2 golongan besar, seperti yang dianut
banyak dokter ahli pulmonologi (penyakit paru-paru) dari Inggris, yakni:
a) Asma Ekstrinsik
Asma ekstrinsik adalah bentuk asma yang paling umum, dan disebabkan karena reaksi alergi
penderitanya terhadap hal-hal tertentu (alergen), yang tidak membawa pengaruh apa-apa
terhadap mereka yang sehat. Kecenderungan alergi ini adalah “kelemahan keturunan”. Setiap
orang dari lahir memiliki sistem imunitas alami yang melindungi tubuhnya terhadap serangan
dari luar. Sistem ini bekerja dengan memproduksi antibodi.
Pada saat datang serangan, misalnya dari virus yang memasuki tubuh, sistem ini akan
menghimpun antibodi untuk menghadapi dan berusaha menumpas sang penyerang. Dalam
proses mempertahankan diri ini, gejala-gejala permukaan yang mudah tampak adalah naiknya
temperatur tubuh, demam, perubahan warna kulit hingga timbul bercak-bercak, jaringan-jaringan
tertentu memproduksi lendir, dan sebagainya (Hadibroto & Alam, 2006).
b) Asma Intrinsik
Asma intrinsik tidak responsif terhadap pemicu yang berasal dari alergen. Asma jenis ini
disebabkan oleh stres, infeksi, dan kondisi lingkungan seperti cuaca, kelembapan dan suhu
tubuh. Asma intrinsik biasanya berhubungan dengan menurunnya kondisi ketahanan tubuh,
terutama pada mereka yang memiliki riwayat kesehatan paru-paru yang kurang baik, misalnya
karena bronkitis dan radang paru-paru (pneumonia). Penderita diabetes mellitus golongan lansia
juga mudah terkena asma intrinsik. Penderita asma jenis ini kebanyakan berusia di atas 30 tahun
(Hadibroto & Alam, 2006).
Namun penting dicatat, bahwa dalam prakteknya, asma adalah penyakit yang kompleks,
sehingga tidak selalu dimungkinkan untuk menentukan secara tegas, golongan asma yang
diderita seseorang. Sering indikasi asma ekstrinsik dan intrinsik bersama-sama dideteksi ada
pada satu orang.
Sebagai contoh, dalam kasus asma bronkial (termasuk jenis ekstrinsik) yang kronis, pada saat
menangani terjadinya serangan, dokter akan sering mendiagnosa hadirnya faktor-faktor
kecemasan dan rasa panik. Keduanya adalah emosi yang sifatnya naluriah pada saat seseorang
harus berjuang agar bisa bernapas. Selanjutnya rasa cemas dan panik ini meneruskan lingkaran
setan dan memperparah gejala serangan. Juga akan tercatat, bahwa bahan-bahan iritan
(pengganggu) dari luar seperti asap rokok dan hairspray akan memperparah kondisi penderita.
Kesimpulannya adalah, dari asal asma bronkial (termasuk asma ekstrinsik) akan terlihat juga
hadirnya faktor asma intrinsik.
Demikian pula, seseorang yang punya sejarah bronkitis di masa kanak-kanak sering tumbuh
menjadi orang dewasa yang cenderung menderita asma yang alergik, sebagai akibat kelemahan
bawaan dari masa kanak-kanaknya (Hadibroto & Alam, 2006).
Klasifikasi tingkat penyakit asma dapat dibagi berdasarkan frekuensi kemunculan gejala
(Hadibroto & Alam, 2006).
1. Intermitten, yaitu sering tanpa gejala atau munculnya kurang dari 1 kali dalam seminggu dan
gejala asma malam kurang dari 2 kali dalam sebulan. Jika seperti itu yang terjadi, berarti faal
(fungsi) paru masih baik.
2. Persisten ringan, yaitu gejala asma lebih dari 1 kali dalam seminggu dan serangannya sampai
mengganggu aktivitas, termasuk tidur. Gejala asma malam lebih dari 2 kali dalam sebulan.
Semua ini membuat faal paru realatif menurun.
3. Persisten sedang, yaitu asma terjadi setiap hari dan serangan sudah mengganggu aktivitas, serta
terjadinya 1-2 kali seminggu. Gejala asma malam lebih dari 1-2 kali seminggu. Gejala asma
malam lebih dari 1 kali dalam seminggu. Faal paru menurun.
4. Persisten berat, gejala asma terjadi terus-menerus dan serangan sering terjadi. Gejala asma
malam terjadi hampir setiap malam. Akibatnya faal paru sangat menurun.
Klasifikasi tingkat penyakit asma berdasarkan berat ringannya gejala (Hadibroto & Alam,
2006):
1. Asma akut ringan, dengan gejala: rasa berat di dada, batuk kering ataupun berdahak, gangguan
tidur malam karena batuk atau sesak napas, mengi tidak ada atau mengi ringan, APE (Arus
2.
Puncak Aspirasi) kurang dari 80%.
Serangan asma akut sedang, dengan gejala: sesak dengan mengi agak nyaring, batuk
3.
kering/berdahak, aktivitas terganggu, APE antara 50-80%.
Serangan asma akut berat, dengan gejala: sesak sekali, sukar berbicara dan kalimat terputusputus, tidak bisa barbaring, posisi harus setengan duduk agar dapat bernapas, APE kurang dari
50%.
3. Etiologi
Menurut The Lung Association of Canada, ada dua faktor yang menjadi pencetus asma
(Hadibroto & Alam, 2006):
1. Pemicu (trigger) yang mengakibatkan mengencang atau menyempitnya saluran pernapasan
(bronkokonstriksi). Umumnya pemicu yang mengakibatkan bronkokonstriksi termasuk stimulus
sehari-hari seperti perubahan cuaca dan suhu udara dimana cuaca lembab dan hawa pegunungan
yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor
pemicu terjadinya serangan asma. Serangan asma kadang-kadang berhubungan dengan musim,
seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan). Selain itu polusi
udara dari luar dan dalam ruang serta asap rokok yang terhirup oleh penderita asma dapat juga
memicu terjadinya serangan asma. Ditambah lagi penderita asma yang memiliki riwayat infeksi
saluran pernapasan misalnya sinusitis dapat mengakibatkan eksaserbasi serangan asma. Penderita
asma harus menjaga kestabilitas dari emosi/stresnya, karena gangguan emosi/stres dapat menjadi
pencetus serangan asma, selain itu juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada.
Selain itu, jangan berolahraga secara berlebihan. Bagi beberapa orang, jenis olahraga tertentu
dapat menyebabkan udara terperangkap di dalam saluran napas dan membuat sulit bernapas.
Kadang-kadang olahraga dapat menyebabkan serangan asma (Bull & Price, 2007).
2. Penyebab (inducer) yang mengakibatkan peradangan (inflammation) pada saluran pernapasan.
Umumnya penyebab (inducer) asma adalah alergen, yang tampil dalam bentuk ingestan dimana
alergen masuk ke tubuh melalui mulut (dimakan/diminum) terutama makanan dan obat-obatan.
Selain itu, bisa juga dalam bentuk inhalan yaitu alergen yang masuk ke tubuh melalui hidung
atau mulut. Jenis alergen inhalan yang utama adalah tepung sari (serbuk) bunga, tanaman, pohon,
tungau, serpihan dan kotoran binatang, serta jamur. Bentuk lainnya yaitu kontak langsung
dengan kulit seperti memakai perhiasan, logam dan jam tangan.
Beberapa faktor orang memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk menyandang asma
dibandingkan orang lain (Bull & Price, 2007), di antaranya memiliki riwayat asma atau alergi
lainnya dalam keluarga (keturunan) karena asma dapat diwariskan-diturunkan dari satu anggota
keluarga ke anggota keluarga berikutnya. Beberapa faktor genetik (keturunan) dapat
mempengaruhi perkembangan asma. Jika salah satu orangtua menyandang asma, peluang
berkembangnya asma pada anak-anaknya sekitar dua kali dibandingkan anak-anak yang
orangtuanya tidak menyandang asma. Merokok ketika hamil dimana asap rokok berhubungan
dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan
dengan efek berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa
asma pada usia dini. Baik perokok aktif maupun pasif semasa kanak-kanan. Selain itu pilek atau
infeksi virus dan terpapar iritan di tempat kerja juga dapat mengakibatkan peradangan
(inflammation) pada saluran pernapasan yang berakibat pada terjadinya serangan asma (Ayres,
2003).
Aspek-aspek potensi risiko kemunculan penyakit asma (Widjadja, 2009), antara lain aspek
genetik, kemungkinan alergi dan saluran napas yang memang mudah terserang.
4. Patofisiologi
Berkaitan
dengan
gangguan
saluran
pernapasan
yang
berupa
peradangan
dan
bronkokonstriksi, beberapa ahli membagi asma dalam 2 golongan besar yakni asma ekstriksi dan
asma intrinsik (Hadibroto & Alam, 2006). Berdasarkan klasifikasi tersebut akan dijabarkan
masing-masing dari patofisiologinya.
a) Asma Ekstrinsik
Pada asma ekstrinsik alergen menimbulkan reaksi yang hebat pada mukosa bronkus yang
mengakibatkan konstriksi otot polos, hiperemia serta sekresi lendir putih yang tebal. Mekanisme
terjadinya reaksi ini telah diketahui dengan baik, tetapi sangat rumit. Penderita yang telah
disensitisasi terhadap satu bentuk alergen yang spesifik, akan membuat antibodi terhadap alergen
yang dihirup itu. Antibodi ini merupakan imunoglobin jenis IgE. Antibodi ini melekat pada
permukaan sel mast pada mukosa bronkus. Sel mast tersebut tidak lain daripada basofil yang kita
kenal pada hitung jenis leukosit. Bila satu molekul IgE yang terdapat pada permukaan sel mast
menangkap satu molekul alergen, sel mast tersebut akan memisahkan diri dan melepaskan
sejumlah bahan yang menyebabkan konstriksi bronkus. Salah satu contoh yaitu histamin, contoh
lain ialah prostaglandin. Pada permukaan sel mast juga terdapat reseptor beta-2 adrenergik. Bila
reseptor beta-2 dirangsang dengan obat anti asma Salbutamol (beta-2 mimetik), maka pelepasan
histamin akan terhalang.
Pada mukosa bronkus dan darah tepi terdapat sangat banyak eosinofil. Adanya eosinofil
dalam sputum dapat dengan mudah diperlihatkan. Dulu fungsi eosinofil di dalam sputum tidak
diketahui, tetapi baru-baru ini diketahui bahwa dalam butir-butir granula eosinofil terdapat enzim
yang menghancurkan histamin dan prostaglandin. Jadi eosinofil memberikan perlindungan
terhadap serangan asma. Dengan demikian jelas bahwa kadar IgE akan meninggi dalam darah
tepi (Herdinsibuae dkk, 2005).
b) Asma Intrinsik
Terjadinya asma intrinsik sangat berbeda dengan asma ekstrinsik. Mungkin mula-mula akibat
kepekaan yang berlebihan (hipersensitivitas) dari serabut-serabut nervus vagus yang akan
merangsang bahan-bahan iritan di dalam bronkus dan menimbulkan batuk dan sekresi lendir
melalui satu refleks. Serabut-serabut vagus, demikian hipersensitifnya sehingga langsung
menimbulkan refleks konstriksi bronkus. Atropin bahan yang menghambat vagus, sering dapat
menolong kasus-kasus seperti ini. Selain itu lendir yang sangat lengket akan disekresikan
sehingga pada kasus-kasus berat dapat menimbulkan sumbatan saluran napas yang hampir total,
sehingga berakibat timbulnya status asmatikus, kegagalan pernapasan dan akhirnya kematian.
Rangsangan yang paling penting untuk refleks ini ialah infeksi saluran pernapasan oleh flu
(common cold), adenovirus dan juga oleh bakteri seperti hemophilus influenzae. Polusi udara
oleh gas iritatif asal industri, asap, serta udara dingin juga berperan, dengan demikian merokok
juga sangat merugikan (Herdinsibuae dkk, 2005).
5. Sel Inflamasi
Sel-sel inflamasi yang terlibat dalam patofisiologi asma terutama adalah sel mast, limfosit,
dan eosinofil.
a) Sel mast
Sel ini sudah lama dikaitkan dengan penyakit asma dan alergi, karena ia dapat melepaskan
berbagai mediator inflamasi, baik yang sudah tersimpan atau baru disintesis, yang bertanggungjawab terhadap beberapa tanda asma dan alergi. Berbagai mediator tersebut antara lain adalah
histamine (yang disintesis dan disimpan di dalam granul sel dan dilepas secara cepat ketika sel
mast teraktivasi), prostaglandin PGD2 dan leukotrien LTC4 (yang baru disintesis setelah ada
aktivasi), dan sitokin (yang disintesis dalam waktu yang lebih lambat dan berperan dalam reaksi
fase lambat). Sel mast diaktivasi oleh alergen melalui ikatan suatu alergen dengan IgE yang telah
melekat pada reseptornya (Fcereceptor) di permukaan sel mast. Adanya ikatan cross-linking
antara alergen dengan IgE tersebut memicu serangkaian biokimia didalam Sel yang kemudian
menyebabkan terjadinya degranulasi sel mast. Degranulasi adalah peristiwa pecahnya sel mast
yang menyebabkan pelepasan berbagai mediator inflamasi.
Sel mast terdapat pada lapisan epithelial saluran nafas, dan karenanya dapat berespon
terhadap allergen yang terhirup. Terdapatnya peningkatan jumlah sel mast pada cairan
bronkoalveolar pasien asma mengindasikan bahwa sel ini terlibat dalam patofisiologi asma.
Selain itu, pada pasien asma yang dijumpai penigkatan kadar histamine dan triptase pada cairan
bronkoalveolarnya, yang diduga kuat berasal dari sel mast yang terdegranulasi. Beberapa obat
telah dikembangkan untuk menstabilkan sel mast agar tidak mudah terdegranulasi. Peran sel
mast pada reaksi alergi fase lambat masih belum diketahui secara pasti. Namun,sel mast juga
mengandung faktor kemotatik yang dapat menarik eosinofil dan neutrofil ke saluran nafas.
b) Limfosit
Peran limfosit dalam asma semakin banyak mendapat dukungan fakta, antara lain dengan
terdapatnya produk-produk limfosit yaitu sitokin pada biopsy bronchial pasien asma. Selain itu,
sel-sel limfosit juga dijumpai pada cairan bronkoalveolar pasien asma pada reaksi fase lambat.
Limfosit sendiri terdiri dari dua tipe yaitu limfosit T dan limfosit B. Limfosit T masih terbagi lagi
menjadi dua subtipe yaitu Th1 dan Th2 (T helper 1 dan T helper 2). Sel Th2 memproduksi
berbagai sitokin yang berperan dalam reaksi inflamasi sehingga disebut sitokin prainflamasi,
seperti IL-3, IL-4, IL-6, IL-9, dan IL-13. Sitokin-sitokin ini nampaknya berfungsi dalam
pertahanan tubuh terhadap pathogen ekstrasel. IL-4 dan IL-13 misalnya, dia bekerja
mengaktivasi sel limfosit B untuk memproduksi IgE, yang nantinya akan menempel pada sel-sel
inflamasi sehingga terjadi pelepasan berbagai mediator inflamasi.
c) Eosinofil
Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa eosinofil berkontribusi terhadap patofisiologi
penyakit alergi pada saluran nafas. Dijumpai adanya kaitan yang erat antara keparahan asma
dengan keberadaan eosinofil di saluran nafas yang terinflamasi, sehiingga inflamasi pada asma
atau alergi sering disebut juga inflamasi eosinofilia. Eosinofil mengandung berbagai protein
granul seperti: major inflamasi eosinifilia (MBP), eosinophil peroxidase(EPO), dan eosinophil
cationic probasic protein (ECP), yang dapat menyebabkan kerusakan epitelium saluran nafas,
menyebabkan hiperresponsivitas bronkus, sekresi mediatorbdari sel mast dan basofil, serta secara
langsung menyebabkan kontraksi otot polos saluran nafas (Bussed an Reed, 1993). Selain itu,
beberapa produk eosinofil seperti LCT4, PAF, dan metabolit oksigen toksik dapat menambah
keparahn asma.
6. Manifestasi Klinis
a) Tanda
Sebelum muncul suatu episode serangan asma pada penderita, biasanya akan ditemukan
tanda-tanda awal datangnya asma. Tanda-tanda awal datangnya asma memiliki sifat-sifat sebagai
berikut, yaitu sifatnya unik untuk setiap individu, pada individu yang sama, tanda-tanda
peringatan awal bisa sama, hampir sama, atau sama sekali berbeda pada setiap episode serangan
dan tanda peringatan awal yang paling bisa diandalkan adalah penurunan dari angka prestasi
penggunaan “Preak Flow Meter”.
Beberapa contoh tanda peringatan awal (Hadibroto & Alam, 2006) adalah perubahan dalam
pola pernapasan, bersin-bersin, perubahan suasana hati (moodiness), hidung mampat, batuk,
gatal-gatal pada tenggorokan, merasa capai, lingkaran hitam dibawah mata, susah tidur, turunnya
toleransi tubuh terhadap kegiatan olahraga dan kecenderungan penurunan prestasi dalam
penggunaan Preak Flow Meter.
b) Gejala
(1) Gejala Asma Umum
Perubahan saluran napas yang terjadi pada asma menyebabkan dibutuhkannya usaha yang
jauh lebih keras untuk memasukkan dan mengeluarkan udara dari paru-paru. Hal tersebut dapat
memunculkan gejala berupa sesak napas/sulit bernapas, sesak dada, mengi/napas berbunyi
(wheezing) dan batuk (lebih sering terjadi pada anak daripada orang dewasa).
Tidak semua orang akan mengalami gejala-gelaja tersebut. Beberapa orang dapat
mengalaminya dari waktu ke waktu, dan beberapa orang lainya selalu mengalaminya sepanjang
hidupnya. Gelaja asma seringkali memburuk pada malam hari atau setelah mengalami kontak
dengan pemicu asma (Bull & Price, 2007). Selain itu, angka performa penggunaan Preak Flow
Meter menunjukkan rating yang termasuk “hati-hati” atau “bahaya” (biasanya antara 50%
sampai 80% dari penunjuk performa terbaik individu) (Hadibroto & Alam, 2006).
(2) Gejala Asma Berat
Gejala asma berat (Hadibroto & Alam, 2006) adalah sebagai berikut yaitu serangan batuk
yang hebat, napas berat “ngik-ngik”, tersengal-sengal, sesak dada, susah bicara dan
berkonsentrasi, jalan sedikit menyebabkan napas tersengal-sengal, napas menjadi dangkal dan
cepat atau lambat dibanding biasanya, pundak membungkuk, lubang hidung mengembang
dengan setiap tarikan napas, daerah leher dan di antara atau di bawah tulang rusuk melesak ke
dalam, bersama tarikan napas, bayangan abu-abu atau membiru pada kulit, bermula dari daerah
sekitar mulut (sianosis), serta angka performa penggunaan Preak Flow Meter dalam wilayah
berbahaya (biasanya di bawah 50% dari performa terbaik individu).
7. Komplikasi Asma
Penyakit asma yang tidak ditangani dengan baik lambat-laun akan berakibat pada terjadinya
komplikasi (Mansjoer, 2008) dimana dapat menyebabkan beberapa penyakit sebagai berikut
yaitu, terjadinya pneumotorak, pneumomediastinum, emfisema subkutis, aspergilosis, atelektasis,
gagal napas, bronkitis, fraktur iga, dan bronkopulmonar alergik.
8. Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan Laboratorium
(1) Pemeriksaan Sputum
Adanya badan kreola adalah karakteristik untuk serangan asma yang berat, karena hanya
reaksi yang hebat saja yang menyebabkan transudasi dari edema mukosa, sehingga terlepaslah
sekelompok sel-sel epitel dari perlekatannya. Pewarnaan gram penting untuk melibat adanya
bakteri, cara tersebut kemudian diikuti kultur dan uji resistensi terhadap beberapa antibiotik
(Muttaqin, 2008).
(2) Pemeriksaan Darah (Analisa Gas Darah/AGD/astrub)
(a) Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi
hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.
(b) Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
(c) Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm 3 dimana
menandakan terdapatnya suatu infeksi.
(3) Sel Eosinofil
Sel eosinofil pada klien dengan status asmatikus dapat mencapai 1000-1500/mm 3 baik asma
intrinsik ataupun ekstrinsik, sedangkan hitung sel eosinofil normal antara 100-200/mm 3.
Perbaikan fungsi paru disertai penurunan hitung jenis sel eosinofil menunjukkan pengobatan
telah tepat (Muttaqin, 2008).
b) Pemeriksaan Penunjang
(1) Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan menunjukan
gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga
intercostalis, serta diafragma yang menurun.
(2) Pemeriksaan Tes Kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat menimbulkan
reaksi yang positif pada asma.
(3) Scanning Paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama
serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.
(4) Spirometer
Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga untuk menilai
beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
(5) Peak Flow Meter/PFM
Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat tersebut digunakan untuk
mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal,
dalam menegakkan diagnosis asma diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau
PFM). Spirometer lebih diutamakan dibanding PFM karena PFM tidak begitu sensitif dibanding
FEV. Untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama saluran napas besar,
PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis
untuk penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1.
(6) X-ray Dada/Thorax
Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma.
(7) Pemeriksaan IgE
Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik pada kulit.
Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif
tidak selalu merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara
radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada
dermographism).
(8) Petanda Inflamasi
Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak berdasarkan atas
penilaian obyektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan spirometri bukan merupakan
petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran napas dapat dilakukan
melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang
dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara
jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat
asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi
jarang atau sulit dilakukan di luar riset.
9. Web of Caution (WOC) secara Teorits
10. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan
a) Penatalaksanaan Medis
(1) Terapi Obat
Penatalaksanaan medis pada penderita asma bisa dilakukan dengan pengguaan obat-obatan
asma dengan tujuan penyakit asma dapat dikontrol dan dikendalikan. Karena belum terlalu lama
ini, yakni baru sejak pertengahan tahun 1990-an mulai mengental keyakinan di kalangan
kedokteran bahwa asma yang tidak terkendali dalam jangka panjang bisa menyebabkan
kerusakan pada saluran pernapasan dan paru-paru.
Cara menangani asma yang reaktif, yakni hanya pada saat datangnya serangan sudah
ketinggalan zaman. Hasil penelitian medis menunjukkan bahwa para penderita asma yang
terutama menggantungkan diri pada obat-obatan pelega (reliever/bronkodilator) secara umum
memiliki kondisi yang buruk dibandingkan penderita asma umumnya. Selanjutnya prosentase
keharusan kunjungan ke unit gawat daruat (UGD), keharusan mengalami rawat inap, dan risiko
kematiannya karena asma juga lebih tinggi.
Hal ini membuktikan bahwa pasa asma ekstrinsik, penyebab asma yang mereka derita adalah
karena peradangan (inflamasi), dan bukan karena bronkokonstriksi. Dengan demikian, dokter
masa kini menggunakan obat peradangan sebagai senjata utama, sedang obat-obatan pelega
sebagai pendukung. Keyakinan ini sangat disokong oleh penemuan obat-obatan pencegah
peradangan saluran pernapasan, yang aman untuk digunakan dalam jangka panjang.
Menurut AAAI (Amerika Academy of Allergy, Asthma & Immunology) penggolongan obat
asma (Hadibroto & Alam, 2006) adalah sebagai berikut:
a) Obat-obat anti peradangan (preventer)
(1) Usaha pengendalian asma dalam jangka panjang
(2) Golongan obat ini mencegah dan mengurangi peradangan, pembengkakan saluran napas, dan
produksi lendir
(3) Cara kerjanya adalah dengan mengurangi sensitivitas saluran pernapasan terhadap pemicu asma
yang berupa alergen.
(4) Penggunaannya harus teratur dalam jangka panjang
(5) Daya kerja lambat/gradual, biasanya mengambil waktu sekitar dua minggu baru terlihat
efektivitasnya ayang terukur.
Contoh obat anti peradangan adalah beclometasone [Becotide®], budesonide [Pulmicort®],
fluticasone [Flixotide®], mometasone [Asmanex®], dan montelukast [Singulair®] secara
bertahap mengurangi peradangan saluran napas dan (jika digunakan secara teratur) akan
mengontrol penyakit asma. Obat pencegah biasanya tersedia dalam bentuk inhaler berwarna
cokelat, putih, merah, atau oranye, meskipun beberapa (misalnya montelukast) tersedia dalam
tablet.
b) Obat-obat pelega gejala berjangka panjang
Obat-obat pelega gejala berjangka panjang dalam nama generik yang ada di pasaran adalah
salmeterol hidroksi naftoat (salmeterol xinafoate) dan teofilin (theophylline).
(1) Salmeterol
Obat ini adalah bronkodilator yang bekerja perlahan dimana obat ini bekerja dengan
mengendurkan oto-otot yang mengelilingi saluran pernapasan. Obat ini paling efektif bila
dikombinasikan dengan suatu obat kortikosteroid hirup, dan tidak dapat berfungsi sebagai pelega
seketika dalam hal terjadi serangan asma.
Obat ini umumnya bekerja setelah setengah jam dan daya kerjanya bertahan hingga 12 jam.
Obat ini disajikan dalam bentuk obat hirup dosis terukut dan obat hirup bubuk kering. Obat ini
tidak dapat digunakan untuk anak-anak di bawah 12 tahun.
(2) Teofilin
Obat ini termasuk satu golongan dengan kafein (zat aktif yang terdapat dalam secangkir
kopi) dan termasuk bronkodilator yang lama daya kerjanya. Efek samping obat ini sama seperti
kafein sehingga tidak dianturkan untuk pasien hiperaktif.
(3) Albuterol Sulfat atau Salbutamol.
Bronkolidarot yang paling populer dan disajikan dalam bentuk obat hirup dosis terukur, obat
hirup bubuk kering, larutan untuk alat nebulizer, sirup, tablet biasa, tablet lepas-tunda (extendedreliase). Bentuk hirup bekerja lebih karena langsung menuju saluran pernapasan yang
bermasalah, ketimbang harus lewat lambung dulu. Efek samping obat ini dapat menyebabkan
stimulasi, jantung berdebar, dan pusing.
Merek yang paling populer adalah Ventolin dan Proventil yang disajikan sebagai obat hirup
dosis terukur. Proventil HFA sebagai obat hirup bubuk kering. Ventolin terdaftar di Indonesia
dalam bentuk sediaan tablet, sirup, nebulizer, dan spray. Merek lain adalah Ascolen.
c) Obat-obat pelega gejala asma (reliever/bronkodilator)
Misalnya salbutamol [Ventolin®], terbutaline [Bricanyl®], formoterol [Foradil®, Oxis®],
dan salmeterol [Serevent®] secara cepat mengembalikan saluran napas yang menyempit yang
terjadi selama serangan asma ke kondisi semula. Obat pereda/pelega biasanya tersedia dalam
bentuk inhaler berwarna biru atau abu-abu.
d) Obat-obatan kortikosteroid oral
Kortikosteroid oral adalah obat yang ampuh untuk mengatasi pembengkakan dan peradangan
yang mencetuskan serangan asma. Obat ini membutuhkan enam hingga delapan jam untuk
bekerja, sehingga makin cepat digunakan makin cepat pula daya kerja yang dirasakan.
Malam hari termasuk waktu dimana serangan asma paling sering terjadi, karena fungsi paruparu berada pada titik yang paling rendah di tengan malam. Dari hasil penelitian terbukti bahwa
dosis kortikosteroid oral yang diberikan di siang hari bisa membantu mereka yang mengalami
serangan asma untuk tidur pada malam harinya.
Di sisi lain, efek samping penggunaan kortikosteroid oral juga cukup nyata, seperti
perubahan suasana hati (mood changes), meningkatnya selera makan, perubahan berat badan,
dan gejala demam yang ditekan. Akan tetapi, efek samping dari penggunaan kortikosteroid ini
tidak perlu dikhawatirkan jika penggunaannya hanya dalam jangka pendek dan kadangkala saja.
(1) Prednison (Prednisone)
Prednison adalah preparat kortikosteroid oral yang paling umum digunakan. Obat ini
disajikan dalam bentuk pil maupun sirup.
(2) Prednisolon (Prednisolone)
Prednisolon adalah kortikosteroid oral yang sangat mirip prednisone, dengan kelebihan
rasanya yang lebih bisa diterima anak-anak. Dengan merek Prelone disajikan sebagai sirup 15
mg per 5 ml. Prediaped disajikan sebagai sirup 5 mg per 5 ml.
(3) Metilprednisolon (Methylprednisolone)
Sangat mirip dengan prednisolon, tetapi harganya lebih mahal. Biasanya digunakan di rumah
sakit dengan cara intravenuous.
(4) Deksametason (Dexamethasone)
Dengan merek Decadron, satu dosis tunggalnya berdaya kerja dua hingga tiga kali lebih lama
dibandingkan preparat kortikosteroid yang lain. Cocok untuk pasien anak-anak yang sulit minum
obat.
(2) Alat-alat hirup
Alat hirup dosis terukur atau Metered Dose Inhaler (MDI) disebut juga inhaler atau puffer
adalah alat yang paling banyak digunakan untuk menghantar obat-obatan ke saluran pernapasan
atau paru-paru pemakainnya. Alat ini menyandang sebutan dosis terukur (metered-dose) karena
memang menghantar suatu jumlah obat yang konsisten/terukur dengan setiap semprotan.
Sebagai hasil teknologi mutakhir, alat hirup dosis terukur kini bisa digunakan oleh segala
tingkatan usia, mulai dari balita hingga lansia. Alat hirup dosis terukur memuat obat-obatan dan
cairan tekan (pressurized liquid), biasanya chlorofluorocerbous/CFC, yang mengembang
menjadi gas ketika melewati moncongnya. Cairan yang sebutan populernya adalah propelan
tersebut memecah obat-obatan yang dikandung menjadi butiran-butiran atau kabut halus, dan
mendorongnya keluar dari moncong masuk ke saluran pernapasan atau paru-paru pemakainya.
b) Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan yang dapat dilakukan pada penderita asma adalah sebagai
berikut, yaitu memberikan penyuluhan (pendidikan kesehatan), pemberian cairan, fisiotherapy,
dan beri O2 bila perlu.
11. Kemungkinan Diagnosa Keperawatan
a) Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen
(bronkospasme), penumpukan sekret, sekret kental.
b) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan gangguan suplai oksigen (bronkospasme).
c) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen (bronkuspasme).
d) Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuat imunitas.
No
1
Diagnosa
Tujuan/Kriteri
Keperawatan
a Hasil
Tidak
Pencapaian
efektifnya
bersihan
jalan
bersihan
napas
nafas kriteria
1.
jalan
dengan
hasil
berhubungan sebagai berikut:
2.
1.
dengan
Mempertahanka
gangguan
n jalan napas
suplai
paten
dengan
oksigen
bunyi
napas
(bronkospas
bersih
atau
me),
3.
jelas.
penumpukan
2.
Menunjukan
sekret, sekret
perilaku untuk
kental
memperbaiki
bersihan
jalan
nafas misalnya
4.
batuk
efektif
dan
mengeluarkan
Intervensi
Mandiri 1.
Auskultasi bunyi
nafas,
catat
adanya
bunyi
Rasional
Beberapa derajat
spasme
bronkus
terjadi
dengan
obstruksi jalan nafas
nafas, ex: mengi
dan
dapat/tidak
Kaji/pantau
dimanifestasikan
frekuensi
adanya
nafas
pernafasan, catat
advertisius.
rasio
2. Tachipnea biasanya
inspirasi/ekspirasi
ada pada beberapa
.
derajat dan dapat
Catat adanya
ditemukan
pada
derajat dispnea,
penerimaan
atau
ansietas, distress
selama
pernafasan,
stress/adanya proses
penggunaan obat
infeksi akut.
bantu.
3.
Disfungsi
Tempatkan posisi
pernafasan adalah
yang
nyaman
variable
yang
pada
pasien,
tergantung
pada
contoh:
sekret.
meninggikan
kepala
tahap proses akut
tempat yang menimbulkan
tidur, duduk pada perawatan di rumah
sandara
tempat sakit.
4. Peninggian kepala
tidur.
5.
Pertahankan tempat
tidur
polusi lingkungan memudahkan fungsi
minimum,
pernafasan
contoh:
dengan
debu, menggunakan
asap dll.
gravitasi.
6.
Tingkatkan
5. Pencetus tipe alergi
masukan
sampai
3000
sesuai
jantung
cairan pernafasan
dengan mentriger
dapat
episode
ml/
hari akut.
6. Hidrasi membantu
toleransi
menurunkan
memberikan
air
kekentalan
sekret,
penggunaan cairan
hangat.
Kolaborasi
hangat
dapat
7.
Berikan obat
menurunkan
sesuai
indikasi
kekentalan sekret,
bronkodilator.
penggunaan cairan
hangat
dapat
menurunkan spasme
bronkus.
7. Merelaksasikan otot
halus
dan
menurunkan spasme
jalan nafas, mengi,
dan
produksi
mukosa.
2
Pola
nafas Perbaikan pola
Mandiri
1.
Membantu pasien
tidak efektif nafas
dengan
1.
berhubungan kriteria
dengan
gangguan
1.
suplai
oksigen
(bronkospas
me)
Ajarkan pasien memperpanjang
hasil pernapasan
waktu
ekspirasi
sebagai berikut: dalam.
sehingga
pasien
2. Tinggikan kepala
akan bernapas lebih
Mempertahanka dan
bantu
efektif dan efisien.
n
ventilasi mengubah posisi.
2.
Duduk
tinggi
adekuat dengan Berikan
posisi memungkinkan
menunjukan
semi fowler.
ekspansi paru dan
Kolaborasi
RR:16-20
memudahkan
3. Berikan oksigen
x/menit
dan
pernapasan.
tambahan.
3.
Memaksimalkan
irama
napas
bernapas
dan
teratur.
2.
Tidak
menurunkan kerja
mengalami
sianosis
tanda
3.
napas.
atau
hipoksia
lain.
Pasien dapat
melakukan
pernafasan
3
Gangguan
dalam.
Perbaikan
Mandiri 1.
1. Kaji/awasi secara
pertukaran
pertukaran gas
rutin kulit dan
gas
dengan kriteria
membrane
berhubungan hasil
sebagai
mukosa.
dengan
berikut:
2. Palpasi fremitus.
1.
Perbaikan
gangguan
3.
Awasi tandaventilasi.
suplai
tanda vital dan
2.
Perbaikan
2.
oksigen
irama jantung.
oksigen
Kolaborasi
(bronkuspas
jaringan
4. Berikan oksigen
me)
adekuat.
tambahan sesuai
dengan
Sianosis mungkin
perifer atau sentral
keabu-abuan
sianosis
dan
sentral
mengindikasikan
beratnya
hipoksemia.
Penurunan getaran
vibrasi
diduga
adanya pengumplan
cairan/udara.
indikasi
3.
Tachicardi,
hasil AGDA dan disritmia,
toleransi pasien.
dan
perubahan
tekanan
darah
dapat
menunjukan
efek
hipoksemia sistemik
pada fungsi jantung.
4. Dapat memperbaiki
atau
mencegah
memburuknya
4
hipoksia.
1.
Demam
Risiko tinggi Tidak terjadinya
Mandiri
dapat
1. Awasi suhu.
terhadap
infeksi dengan
terjadi
karena
2.
Diskusikan
infeksi
kriteria
hasil
infeksi dan atau
adekuat
berhubungan sebagai berikut:
dehidrasi.
kebutuhan nutrisi.
1.
2.
Malnutrisi dapat
dengan tidak
Kolaborasi
Mengidentifikas
3.
Dapatkan mempengaruhi
adekuat
ikan intervensi specimen sputum kesehatan
umum
imunitas
untuk
dengan batuk atau dan
menurunkan
mencegah atau pengisapan untuk tahanan
terhadap
menurunkan
pewarnaan gram, infeksi.
3.
Untuk
resiko infeksi.
kultur/sensitifitas.
2. Perubahan pola
mengidentifikasi
hidup
untuk
organisme penyabab
meningkatkan
dan
lingkungan
terhadap
yang nyaman.
anti microbial.
BAB III
KASUS
ASUHAN KEPERAWATAN Nn. G
DENGAN DIAGNOSA ASMA BRONKHIAL
DI RUMAH SAKIT UMUM ARIFIN AHMAD
kerentanan
berbagai
A. Uraian Kasus
Nn. G 23 tahun suku minang datang dengan keluhan napasnya sesak sewaktu bangun pagi dan
semakin meningkat ketika beraktivitas, klien juga batuk berdahak. Dari hasil pengkajian klien
mengeluh sesak, batuk berdahak dengan dahak berwarna putih, dan klien merasa sesaknya
berkurang setelah dilakukan pengasapan (nebulizer). Klien juga mengatakan mempunyai riwayat
asma sejak kelas 6 SD dan klien mengatakan bahwa ada salah satu anggota keluarganya yang
memiliki riwayat asma, yaitu ibunya. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan hasil: rongga dada
simetris, retraksi dinding dada (+), taktil fremitus simetris antara kiri dan kanan, suara napas
klien terdengar wheezing, resonan pada perkusi dinding dada, dan sputum berwarna putih kental.
Dari hasil observasi didapatkan hasil: tingkat kesadaran: kompos mentis, dan hasil TTV: TD =
130/70 mmHg, RR = 36x/menit, HR = 76x/menit, suhu = 37 o C. Dari hasil pemeriksaan
laboratorium didapatkan hasil: Hb = 15,5 gr%, leukosit = 17.000/mm 3, trombosit 260.000/mm3,
Ht = 47vol%. Klien saat ini mendapatkan terapi: IVFD RL 20 tts/i, Pulmicort, Ventolin, Bisolvon
dan O2 dengan nasal kanul 2 L. Pada pemeriksaan penunjang X-ray dada/thorax, didapatkan
hasil paru dalam batas normal.
B. Pengkajian
1. Anamnesa
Identitas Klien
Nama
: Nn. G
Umur
: 23 tahun
Alasan Masuk (Keluhan Utama)
Klien masuk rumah sakit dengan keluhan napasnya sesak sewaktu bangun pagi dan semakin
meningkat ketika beraktivitas, serta batuk berdahak.
Riwayat Penyakit Dahulu
Klien mengatakan mempunyai riwayat asma sejak kelas 6 SD
Riwayat penyakit Sekarang
Klien mengeluh sesak, batuk berdahak dengan dahak berwarna putih.
Riwayat Penyakit Keluarga
Klien mengatakan bahwa ada salah satu anggota keluarganya yang memiliki riwayat asma, yaitu
ibunya.
2. Pemeriksaan Fisik
a) Tingkat Kesadaran: Compos mentis
b) TTV:
(1)
(2)
(3)
(4)
c)
BP : 130/70 mmHg
RR: 36 x/menit
HR: 76 x/menit
T : 37oC
Hasil pengkajian:
Inspeksi
Rongga dada simetris, retraksi dinding dada (+), dan sputum berwarna putih kental.
Palpasi
Taktil fremitus simetris antara kiri dan kanan.
Perkusi
Resonan dikedua lapang paru.
Auskultasi
Suara napas klien terdengar wheezing.
3. Pemeriksaan Penunjang dan Laboratorium
Pada pemeriksaan penunjang
X-ray dada/thorax, didapatkan hasil paru dalam batas normal.
-
Pemeriksaan laboratorium
Hb = 15,5 gr%
Leukosit = 17.000/mm3
Trombosit 260.000/mm3
Ht = 47vol%.
4. Terapi Pengobatan Saat Ini
IVFD RL 20 tts/i, Pulmicort, Ventolin, Bisolvon dan O2 dengan nasal kanul 2 L.
C. Analisa Data
N
o
1
DS:
1.
Data
Etiologi
Klien
mengatakan
batuk
dengan
berdahak
dahak
berwarna putih.
2.
Klien merasa
sesak.
DO:
Pencetus serangan
(alergen)
↓
Reaksi antigen & antibodi
↓
Dikeluarkannya substansi
vasoaktif (histamin,
bradikinin, & anafilaksin)
↓
↑ permeabilitas kapiler
↓
Masalah
Keperawatan
Tidak
efektifnya
bersihan
nafas
jalan
1.
Tanda-tanda Kontraksi otot polos
Edema mukosa
vital:
Hipersekresi
BP=130/70
↓
mmHg
Obstruksi jalan nafas
RR=36 x/menit
↓
HR=76x/menit
Tidak efektifnya bersihan
T=37oC
jalan nafas
2.
Klien tampak
sesak
nafas
disertai
batuk
berdahak,
berwarna
3.
agak kental.
Suara napas
klien
4.
putih
terdengar
wheezing.
Terapi
yang
diberikan:
oksigen 2L,
IVFD RL 20 tts/i,
Pulmicort,
Ventolin,
Bisolvon.
2
1.
DS:
Klien
merasa
sesak
DO:
1.
Tanda-tanda
vital:
BP=130/70
mmHg
RR=36 x/menit
HR=76x/menit
T=37oC
2.
Klien tampak
Pencetus serangan
(alergen)
↓
Reaksi antigen & antibodi
↓
Dikeluarkannya substansi
vasoaktif (histamin,
bradikinin, & anafilaksin)
↓
Kontraksi otot polos
↓
Bronkospasme
↓
Suplai O2 menurun
Pola nafas tidak
efektif
sesak
nafas
disertai
batuk
sentral (spons dan medulla
berdahak,
berwarna
putih
agak kental.
3.
Suara napas
klien
4.
terdengar
wheezing.
Terapi
yang
diberikan:
oksigen 2L,
IVFD RL 20 tts/i,
Pulmicort,
Ventolin,
Bisolvon.
D. Web of Caution (WOC)
↓
Merangsang kemoreseptor
oblongata)
↓
Hiperventilasi
↓
Sesak
↓
Pola nafas tidak efektif
E. Asuhan Keperawatan
N
Diagnosa
o
1.
Keperawatan
Tidak
a Hasil
Pencapaian
efektifnya
bersihan jalan
bersihan jalan
napas dengan
nafas
kriteria hasil
berhubungan
sebagai berikut:
dengan
Tujuan/Kriteri
suplai oksigen
(bronkospasm
e),
penumpukan
sekret, sekret
kental.
Rasional
Mandiri
1. Auskultasi 1. Beberapa
1.
gangguan
Intervensi
bunyi nafas,
derajat spasme
catat adanya
bronkus terjadi
bunyi nafas,
dengan
ex: mengi
obstruksi jalan
Mempertahanka
nafas dan
n jalan napas
dapat/tidak
paten dengan
dimanifestasika
bunyi napas
n adanya nafas
bersih atau
jelas.
2. Menunjukan
perilaku untuk
memperbaiki
bersihan jalan
nafas misalnya
batuk efektif
dan
mengeluarkan
2. Kaji/pantau
frekuensi
advertisius.
2. Tachipnea
pernafasan,
biasanya ada
catat rasio
pada beberapa
inspirasi/ekspi derajat dan
rasi.
dapat
ditemukan pada
penerimaan atau
selama
sekret.
stress/adanya
proses infeksi
3. Catat adanya
akut.
derajat
dispnea,
3. Disfungsi
ansietas,
pernafasan
distress
adalah variable
pernafasan,
yang tergantung
penggunaan
pada tahap
obat bantu.
proses akut
yang
menimbulkan
4. Tempatkan
posisi yang
perawatan di
rumah sakit.
nyaman pada
4. Peninggian
pasien,
kepala tempat
contoh:
tidur
meninggikan
memudahkan
kepala tempat
fungsi
tidur, duduk
pernafasan
pada sandara
dengan
tempat tidur.
menggunakan
5. Pertahankan
gravitasi.
polusi
lingkungan
minimum,
contoh: debu,
5. Pencetus tipe
asap dll.
alergi
pernafasan
6. Tingkatkan
dapat mentriger
masukan
episode akut.
cairan sampai
dengan 3000
6. Hidrasi
ml/ hari sesuai
membantu
toleransi
menurunkan
jantung
kekentalan
memberikan
sekret,
air hangat.
penggunaan
cairan hangat
dapat
menurunkan
kekentalan
sekret,
Kolaborasi
7. Berikan obat
sesuai
penggunaan
cairan hangat
dapat
indikasi
menurunkan
bronkodilator.
spasme
bronkus.
7. Merelaksasikan
otot halus dan
menurunkan
spasme jalan
nafas, mengi,
dan produksi
mukosa.
2
Pola nafas
Perbaikan pola
Mandiri
tidak efektif
nafas dengan 1. Tinggikan
berhubungan
kriteria hasil
kepala dan
1. Duduk tinggi
memungkinkan
dengan suplai sebagai berikut:
1.
oksigen
Mempertahanka
berkurang
n ventilasi
(bronkospasm
adekuat dengan
e)
menunjukan
2.
RR=16-20
x/menit dan
irama napas
teratur.
2. Tidak
bantu
ekspansi paru
mengubah
dan
posisi.
memudahkan
Berikan posisi
pernapasan.
semi fowler.
Ajarkan
pasien
pernapasan
2. Membantu
dalam.
memperpanjang
waktu ekspirasi
mengalami
sehingga pasien
sianosis atau
akan bernapas
tanda hipoksia
lebih efektif dan
lain.
3. Pasien dapat
melakukan
pernafasan
dalam.
pasien
efisien.
Kolaborasi 3.
3. Berikan
Memaksimalka
oksigen
n bernapas dan
tambahan.
menurunkan
kerja napas
F. Penatalaksanaan Farmakologi dan Non Farmakologi
1. Penatalaksanan Farmakologi
Belum terlalu lama, yakni baru sejak pertengahan tahun 1990-an mulai mengental keyakinan
di kalangan kedokteran bahwa asma yang tidak terkendali dalam jangka panjang bisa
menyebabkan kerusakan pada saluran pernapasan dan paru-paru. Cara menangani asma yang
reaktif, yakni hanya pada saat datangnya serangan sudah ketinggalan zaman. Hasil penelitian
medis menunjukkan bahwa para penderita asma yang terutama menggantungkan diri pada obatobatan pelega (reliever/bronkodilator) secara umum memiliki kondisi yang buruk dibandingkan
penderita asma umumnya. Selanjutnya prosentase keharusan kunjungan ke unit gawat daruat
(UGD), keharusan mengalami rawat inap, dan risiko kematiannya karena asma juga lebih tinggi.
Hal ini membuktikan bahwa pasa asma ekstrinsik, penyebab asma yang mereka derita adalah
karena peradangan (inflamasi), dan bukan karena bronkokonstriksi. Dengan demikian, dokter
masa kini menggunakan obat peradangan sebagai senjata utama, sedang obat-obatan pelega
sebagai pendukung. Keyakinan ini sangat disokong oleh penemuan obat-obatan pencegah
peradangan saluran pernapasan, yang aman untuk digunakan dalam jangka panjang.
Menurut AAAI (Amerika Academy of Allergy, Asthma & Immunology) penggolongan obat
asma (Hadibroto & Alam, 2006) adalah sebagai berikut:
a) Obat-obat anti peradangan (preventer)
(1) Usaha pengendalian asma dalam jangka panjang
(2) Golongan obat ini mencegah dan mengurangi peradangan, pembengkakan saluran napas, dan
produksi lendir
(3) Cara kerjanya adalah dengan mengurangi sensitivitas saluran pernapasan terhadap pemicu asma
yang berupa alergen.
(4) Penggunaannya harus teratur dalam jangka panjang
(5) Daya kerja lambat/gradual, biasanya mengambil waktu sekitar dua minggu baru terlihat
efektivitasnya ayang terukur.
Contoh obat anti peradangan adalah beclometasone [Becotide®], budesonide [Pulmicort®],
fluticasone [Flixotide®], mometasone [Asmanex®], dan montelukast [Singulair®] secara
bertahap mengurangi peradangan saluran napas dan (jika digunakan secara teratur) akan
mengontrol penyakit asma. Obat pencegah biasanya tersedia dalam bentuk inhaler berwarna
cokelat, putih, merah, atau oranye, meskipun beberapa (misalnya montelukast) tersedia dalam
tablet.
b) Obat-obat pelega gejala berjangka panjang
Obat-obat pelega gejala berjangka panjang dalam nama generik yang ada di pasaran adalah
salmeterol hidroksi naftoat (salmeterol xinafoate) dan teofilin (theophylline).
(1) Salmeterol
Obat ini adalah bronkodilator yang bekerja perlahan dimana obat ini bekerja dengan
mengendurkan oto-otot yang mengelilingi saluran pernapasan. Obat ini paling efektif bila
dikombinasikan dengan suatu obat kortikosteroid hirup, dan tidak dapat berfungsi sebagai pelega
seketika dalam hal terjadi serangan asma.
Obat ini umumnya bekerja setelah setengah jam dan daya kerjanya bertahan hingga 12 jam.
Obat ini disajikan dalam bentuk obat hirup dosis terukut dan obat hirup bubuk kering. Obat ini
tidak dapat digunakan untuk anak-anak di bawah 12 tahun.
(2) Teofilin
Obat ini termasuk satu golongan dengan kafein (zat aktif yang terdapat dalam secangkir
kopi) dan termasuk bronkodilator yang lama daya kerjanya. Efek samping obat ini sama seperti
kafein sehingga tidak dianturkan untuk pasien hiperaktif.
(3) Albuterol Sulfat atau Salbutamol.
Bronkolidarot yang paling populer dan disajikan dalam bentuk obat hirup dosis terukur, obat
hirup bubuk kering, larutan untuk alat nebulizer, sirup, tablet biasa, tablet lepas-tunda (extendedreliase). Bentuk hirup bekerja lebih karena langsung menuju saluran pernapasan yang
bermasalah, ketimbang harus lewat lambung dulu. Efek samping obat ini dapat menyebabkan
stimulasi, jantung berdebar, dan pusing.
Merek yang paling populer adalah Ventolin dan Proventil yang disajikan sebagai obat hirup
dosis terukur. Proventil HFA sebagai obat hirup bubuk kering. Ventolin terdaftar di Indonesia
dalam bentuk sediaan tablet, sirup, nebulizer, dan spray. Merek lain adalah Ascolen.
c) Obat-obat pelega gejala asma (reliever/bronkodilator)
Misalnya salbutamol [Ventolin®], terbutaline [Bricanyl®], formoterol [Foradil®, Oxis®],
dan salmeterol [Serevent®] secara cepat mengembalikan saluran napas yang menyempit yang
terjadi selama serangan asma ke kondisi semula. Obat pereda/pelega biasanya tersedia dalam
bentuk inhaler berwarna biru atau abu-abu.
d) Obat-obatan kortikosteroid oral
Kortikosteroid oral adalah obat yang ampuh untuk mengatasi pembengkakan dan peradangan
yang mencetuskan serangan asma. Obat ini membutuhkan enam hingga delapan jam untuk
bekerja, sehingga makin cepat digunakan makin cepat pula daya kerja yang dirasakan.
Malam hari termasuk waktu dimana serangan asma paling sering terjadi, karena fungsi paruparu berada pada titik yang paling rendah di tengan malam. Dari hasil penelitian terbukti bahwa
dosis kortikosteroid oral yang diberikan di siang hari bisa membantu mereka yang mengalami
serangan asma untuk tidur pada malam harinya.
Di sisi lain, efek samping penggunaan kortikosteroid oral juga cukup nyata, seperti
perubahan suasana hati (mood changes), meningkatnya selera makan, perubahan berat badan,
dan gejala demam yang ditekan. Akan tetapi, efek samping dari penggunaan kortikosteroid ini
tidak perlu dikhawatirkan jika penggunaannya hanya dalam jangka pendek dan kadangkala saja.
(1) Prednison (Prednisone)
Prednison adalah preparat kortikosteroid oral yang paling umum digunakan. Obat ini
disajikan dalam bentuk pil maupun sirup.
(2) Prednisolon (Prednisolone)
Prednisolon adalah kortikosteroid oral yang sangat mirip prednisone, dengan kelebihan
rasanya yang lebih bisa diterima anak-anak. Dengan merek Prelone disajikan sebagai sirup 15
mg per 5 ml. Prediaped disajikan sebagai sirup 5 mg per 5 ml.
(3) Metilprednisolon (Methylprednisolone)
Sangat mirip dengan prednisolon, tetapi harganya lebih mahal. Biasanya digunakan di rumah
sakit dengan cara intravenuous.
(4) Deksametason (Dexamethasone)
Dengan merek Decadron, satu dosis tunggalnya berdaya kerja dua hingga tiga kali lebih lama
dibandingkan preparat kortikosteroid yang lain. Cocok untuk pasien anak-anak yang sulit minum
obat.
e) Alat-alat hirup
Alat hirup dosis terukur atau Metered Dose Inhaler (MDI) disebut juga inhaler atau puffer
adalah alat yang paling banyak digunakan untuk menghantar obat-obatan ke saluran pernapasan
atau paru-paru pemakainnya. Alat ini menyandang sebutan dosis terukur (metered-dose) karena
memang menghantar suatu jumlah obat yang konsisten/terukur dengan setiap semprotan.
Sebagai hasil teknologi mutakhir, alat hirup dosis terukur kini bisa digunakan oleh segala
tingkatan usia, mulai dari balita hingga lansia. Alat hirup dosis terukur memuat obat-obatan dan
cairan tekan (pressurized liquid), biasanya chlorofluorocerbous/CFC, yang mengembang
menjadi gas ketika melewati moncongnya. Cairan yang sebutan populernya adalah propelan
tersebut memecah obat-obatan yang dikandung menjadi butiran-butiran atau kabut halus, dan
f)
mendorongnya keluar dari moncong masuk ke saluran pernapasan atau paru-paru pemakainya.
Peak Flow Meter
Alat ini memegang peranan yang sangat penting dalam usaha dan program pengendalian
asma, terutama untuk mendeteksi gejala akan datangnya serangan asma. Berpegang pada prinsip
bahwa untuk menatalaksana segala sesuatu dengan baik harus ada tolok ukurnya, maka orangtua
anak penderita asma, maupun anak-anak dan orang dewasa penderita asma sendiri harus
menguasai cara mengukur fungsi paru-paru mereka. Tindakan selanjutnya kemudian adalah
mengambil langkah yang sesuai dengan hasil pengukuran tersebut.
Peak Flow Meter adalah alat sederhana yang bisa digunakan di rumah, termasuk oleh anakanak berumur lima tahun ke atas. Alat ini mengukur kekuatan embusan napas pemakainya. Ada
tiga hal yang mempengaruhi kekuatan embusan napas seseorang, yaitu ukuran paru-parunya,
besar usahanya dalam mengembus; dan bukaan (lebar atau sempitnya) saluran pernapasannya.
Untuk menggunakannya, si pemakai menarik napas dan mengisi paru-parunya sepenuh mungkin,
kemudian meniup ke dalam Peak Flow Meter secepatnya dengan sekuat-kuatnya. Seseorang
yang saluran pernapasannya menyempit, tidak akan bisa meniup sekuat bila saluran
pernapasannya terbuka sempurna. Pertanda pertama dari datangnya serangan asma bisanya
terlihat dari menurunnya ukuran catatan Peak Flow Meter seseorang. Ini bahkan sebelum muncul
gejala-gejala yang lain seperti batuk, lendir yang berlebihan, atau sesak napas.
Untuk mengetahui kondisi bukaan saluran pernapasan seseorang, kita membandingkan hasil
pengukuran sesaat dengan patokan ukuran terbaik dari orang tersebut. Untuk memperoleh
patokan terbaik seseorang, lakukan pengukuran dengan Peak Flow Meter pada waktu orang
tersebut berada dalam kondisi asmanya terkendali dengan baik, dan catat hasilnya.
Kondisi asma seseorang dianggap terkendali baik jika hasil pengukuran sesaat ada dalam
rentang 80-100% dari kondisi terbaiknya (masuk zona hijau); antara 60-80% dari kondisi terbaik
ia memasuki
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
Asma Bronkhial
1. Definisi Asma
Asma adalah kondisi jangka panjang yang mempengaruhi saluran napas-saluran kecil yang
mengalirkan udara masuk ke dan keluar dari paru-paru. Asma adalah penyakit inflamasi
(peradangan). Saluran napas penyandang asma biasanya menjadi merah dan meradang. Asma
sangat terkait dengan alergi. Alergi dapat memperparah asma. Namun demikian, tidak semua
penyandang asma mempunyai alergi, dan tidak semua orang yang mempunyai alergi
menyandang asma (Bull & Price, 2007).
Pada penderita asma, saluran napas menjadi sempit dan hal ini membuat sulit bernapas.
Terjadi beberapa perubahan pada saluran napas penyandang asma, yaitu dinding saluran napas
membengkak; adanya sekumpulan lendir dan sel-sel yang rusak menutupi sebagian saluran
napas; hidung mengalami iritasi dan mungkin menjadi tersumbat; dan otot-otot saluran napas
mengencang tetapi semuanya dapat dipulihkan ke kondisi semula dengan terapi yang tepat.
Selama terjadi serangan asma, perubahan dalam paru-paru secara tiba-tiba menjadi jauh lebih
buruk, ujung saluran napas mengecil, dan aliran udara yang melaluinya sangat jauh berkurang
sehingga bernapas menjadi sangat sulit (Bull & Price, 2007).
2. Klasifikasi Asma
Berkaitan dengan gangguan saluran pernapasan yang
berupa
peradangan
dan
bronkokonstriksi, beberapa ahli membagi asma dalam 2 golongan besar, seperti yang dianut
banyak dokter ahli pulmonologi (penyakit paru-paru) dari Inggris, yakni:
a) Asma Ekstrinsik
Asma ekstrinsik adalah bentuk asma yang paling umum, dan disebabkan karena reaksi alergi
penderitanya terhadap hal-hal tertentu (alergen), yang tidak membawa pengaruh apa-apa
terhadap mereka yang sehat. Kecenderungan alergi ini adalah “kelemahan keturunan”. Setiap
orang dari lahir memiliki sistem imunitas alami yang melindungi tubuhnya terhadap serangan
dari luar. Sistem ini bekerja dengan memproduksi antibodi.
Pada saat datang serangan, misalnya dari virus yang memasuki tubuh, sistem ini akan
menghimpun antibodi untuk menghadapi dan berusaha menumpas sang penyerang. Dalam
proses mempertahankan diri ini, gejala-gejala permukaan yang mudah tampak adalah naiknya
temperatur tubuh, demam, perubahan warna kulit hingga timbul bercak-bercak, jaringan-jaringan
tertentu memproduksi lendir, dan sebagainya (Hadibroto & Alam, 2006).
b) Asma Intrinsik
Asma intrinsik tidak responsif terhadap pemicu yang berasal dari alergen. Asma jenis ini
disebabkan oleh stres, infeksi, dan kondisi lingkungan seperti cuaca, kelembapan dan suhu
tubuh. Asma intrinsik biasanya berhubungan dengan menurunnya kondisi ketahanan tubuh,
terutama pada mereka yang memiliki riwayat kesehatan paru-paru yang kurang baik, misalnya
karena bronkitis dan radang paru-paru (pneumonia). Penderita diabetes mellitus golongan lansia
juga mudah terkena asma intrinsik. Penderita asma jenis ini kebanyakan berusia di atas 30 tahun
(Hadibroto & Alam, 2006).
Namun penting dicatat, bahwa dalam prakteknya, asma adalah penyakit yang kompleks,
sehingga tidak selalu dimungkinkan untuk menentukan secara tegas, golongan asma yang
diderita seseorang. Sering indikasi asma ekstrinsik dan intrinsik bersama-sama dideteksi ada
pada satu orang.
Sebagai contoh, dalam kasus asma bronkial (termasuk jenis ekstrinsik) yang kronis, pada saat
menangani terjadinya serangan, dokter akan sering mendiagnosa hadirnya faktor-faktor
kecemasan dan rasa panik. Keduanya adalah emosi yang sifatnya naluriah pada saat seseorang
harus berjuang agar bisa bernapas. Selanjutnya rasa cemas dan panik ini meneruskan lingkaran
setan dan memperparah gejala serangan. Juga akan tercatat, bahwa bahan-bahan iritan
(pengganggu) dari luar seperti asap rokok dan hairspray akan memperparah kondisi penderita.
Kesimpulannya adalah, dari asal asma bronkial (termasuk asma ekstrinsik) akan terlihat juga
hadirnya faktor asma intrinsik.
Demikian pula, seseorang yang punya sejarah bronkitis di masa kanak-kanak sering tumbuh
menjadi orang dewasa yang cenderung menderita asma yang alergik, sebagai akibat kelemahan
bawaan dari masa kanak-kanaknya (Hadibroto & Alam, 2006).
Klasifikasi tingkat penyakit asma dapat dibagi berdasarkan frekuensi kemunculan gejala
(Hadibroto & Alam, 2006).
1. Intermitten, yaitu sering tanpa gejala atau munculnya kurang dari 1 kali dalam seminggu dan
gejala asma malam kurang dari 2 kali dalam sebulan. Jika seperti itu yang terjadi, berarti faal
(fungsi) paru masih baik.
2. Persisten ringan, yaitu gejala asma lebih dari 1 kali dalam seminggu dan serangannya sampai
mengganggu aktivitas, termasuk tidur. Gejala asma malam lebih dari 2 kali dalam sebulan.
Semua ini membuat faal paru realatif menurun.
3. Persisten sedang, yaitu asma terjadi setiap hari dan serangan sudah mengganggu aktivitas, serta
terjadinya 1-2 kali seminggu. Gejala asma malam lebih dari 1-2 kali seminggu. Gejala asma
malam lebih dari 1 kali dalam seminggu. Faal paru menurun.
4. Persisten berat, gejala asma terjadi terus-menerus dan serangan sering terjadi. Gejala asma
malam terjadi hampir setiap malam. Akibatnya faal paru sangat menurun.
Klasifikasi tingkat penyakit asma berdasarkan berat ringannya gejala (Hadibroto & Alam,
2006):
1. Asma akut ringan, dengan gejala: rasa berat di dada, batuk kering ataupun berdahak, gangguan
tidur malam karena batuk atau sesak napas, mengi tidak ada atau mengi ringan, APE (Arus
2.
Puncak Aspirasi) kurang dari 80%.
Serangan asma akut sedang, dengan gejala: sesak dengan mengi agak nyaring, batuk
3.
kering/berdahak, aktivitas terganggu, APE antara 50-80%.
Serangan asma akut berat, dengan gejala: sesak sekali, sukar berbicara dan kalimat terputusputus, tidak bisa barbaring, posisi harus setengan duduk agar dapat bernapas, APE kurang dari
50%.
3. Etiologi
Menurut The Lung Association of Canada, ada dua faktor yang menjadi pencetus asma
(Hadibroto & Alam, 2006):
1. Pemicu (trigger) yang mengakibatkan mengencang atau menyempitnya saluran pernapasan
(bronkokonstriksi). Umumnya pemicu yang mengakibatkan bronkokonstriksi termasuk stimulus
sehari-hari seperti perubahan cuaca dan suhu udara dimana cuaca lembab dan hawa pegunungan
yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor
pemicu terjadinya serangan asma. Serangan asma kadang-kadang berhubungan dengan musim,
seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan). Selain itu polusi
udara dari luar dan dalam ruang serta asap rokok yang terhirup oleh penderita asma dapat juga
memicu terjadinya serangan asma. Ditambah lagi penderita asma yang memiliki riwayat infeksi
saluran pernapasan misalnya sinusitis dapat mengakibatkan eksaserbasi serangan asma. Penderita
asma harus menjaga kestabilitas dari emosi/stresnya, karena gangguan emosi/stres dapat menjadi
pencetus serangan asma, selain itu juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada.
Selain itu, jangan berolahraga secara berlebihan. Bagi beberapa orang, jenis olahraga tertentu
dapat menyebabkan udara terperangkap di dalam saluran napas dan membuat sulit bernapas.
Kadang-kadang olahraga dapat menyebabkan serangan asma (Bull & Price, 2007).
2. Penyebab (inducer) yang mengakibatkan peradangan (inflammation) pada saluran pernapasan.
Umumnya penyebab (inducer) asma adalah alergen, yang tampil dalam bentuk ingestan dimana
alergen masuk ke tubuh melalui mulut (dimakan/diminum) terutama makanan dan obat-obatan.
Selain itu, bisa juga dalam bentuk inhalan yaitu alergen yang masuk ke tubuh melalui hidung
atau mulut. Jenis alergen inhalan yang utama adalah tepung sari (serbuk) bunga, tanaman, pohon,
tungau, serpihan dan kotoran binatang, serta jamur. Bentuk lainnya yaitu kontak langsung
dengan kulit seperti memakai perhiasan, logam dan jam tangan.
Beberapa faktor orang memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk menyandang asma
dibandingkan orang lain (Bull & Price, 2007), di antaranya memiliki riwayat asma atau alergi
lainnya dalam keluarga (keturunan) karena asma dapat diwariskan-diturunkan dari satu anggota
keluarga ke anggota keluarga berikutnya. Beberapa faktor genetik (keturunan) dapat
mempengaruhi perkembangan asma. Jika salah satu orangtua menyandang asma, peluang
berkembangnya asma pada anak-anaknya sekitar dua kali dibandingkan anak-anak yang
orangtuanya tidak menyandang asma. Merokok ketika hamil dimana asap rokok berhubungan
dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan
dengan efek berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa
asma pada usia dini. Baik perokok aktif maupun pasif semasa kanak-kanan. Selain itu pilek atau
infeksi virus dan terpapar iritan di tempat kerja juga dapat mengakibatkan peradangan
(inflammation) pada saluran pernapasan yang berakibat pada terjadinya serangan asma (Ayres,
2003).
Aspek-aspek potensi risiko kemunculan penyakit asma (Widjadja, 2009), antara lain aspek
genetik, kemungkinan alergi dan saluran napas yang memang mudah terserang.
4. Patofisiologi
Berkaitan
dengan
gangguan
saluran
pernapasan
yang
berupa
peradangan
dan
bronkokonstriksi, beberapa ahli membagi asma dalam 2 golongan besar yakni asma ekstriksi dan
asma intrinsik (Hadibroto & Alam, 2006). Berdasarkan klasifikasi tersebut akan dijabarkan
masing-masing dari patofisiologinya.
a) Asma Ekstrinsik
Pada asma ekstrinsik alergen menimbulkan reaksi yang hebat pada mukosa bronkus yang
mengakibatkan konstriksi otot polos, hiperemia serta sekresi lendir putih yang tebal. Mekanisme
terjadinya reaksi ini telah diketahui dengan baik, tetapi sangat rumit. Penderita yang telah
disensitisasi terhadap satu bentuk alergen yang spesifik, akan membuat antibodi terhadap alergen
yang dihirup itu. Antibodi ini merupakan imunoglobin jenis IgE. Antibodi ini melekat pada
permukaan sel mast pada mukosa bronkus. Sel mast tersebut tidak lain daripada basofil yang kita
kenal pada hitung jenis leukosit. Bila satu molekul IgE yang terdapat pada permukaan sel mast
menangkap satu molekul alergen, sel mast tersebut akan memisahkan diri dan melepaskan
sejumlah bahan yang menyebabkan konstriksi bronkus. Salah satu contoh yaitu histamin, contoh
lain ialah prostaglandin. Pada permukaan sel mast juga terdapat reseptor beta-2 adrenergik. Bila
reseptor beta-2 dirangsang dengan obat anti asma Salbutamol (beta-2 mimetik), maka pelepasan
histamin akan terhalang.
Pada mukosa bronkus dan darah tepi terdapat sangat banyak eosinofil. Adanya eosinofil
dalam sputum dapat dengan mudah diperlihatkan. Dulu fungsi eosinofil di dalam sputum tidak
diketahui, tetapi baru-baru ini diketahui bahwa dalam butir-butir granula eosinofil terdapat enzim
yang menghancurkan histamin dan prostaglandin. Jadi eosinofil memberikan perlindungan
terhadap serangan asma. Dengan demikian jelas bahwa kadar IgE akan meninggi dalam darah
tepi (Herdinsibuae dkk, 2005).
b) Asma Intrinsik
Terjadinya asma intrinsik sangat berbeda dengan asma ekstrinsik. Mungkin mula-mula akibat
kepekaan yang berlebihan (hipersensitivitas) dari serabut-serabut nervus vagus yang akan
merangsang bahan-bahan iritan di dalam bronkus dan menimbulkan batuk dan sekresi lendir
melalui satu refleks. Serabut-serabut vagus, demikian hipersensitifnya sehingga langsung
menimbulkan refleks konstriksi bronkus. Atropin bahan yang menghambat vagus, sering dapat
menolong kasus-kasus seperti ini. Selain itu lendir yang sangat lengket akan disekresikan
sehingga pada kasus-kasus berat dapat menimbulkan sumbatan saluran napas yang hampir total,
sehingga berakibat timbulnya status asmatikus, kegagalan pernapasan dan akhirnya kematian.
Rangsangan yang paling penting untuk refleks ini ialah infeksi saluran pernapasan oleh flu
(common cold), adenovirus dan juga oleh bakteri seperti hemophilus influenzae. Polusi udara
oleh gas iritatif asal industri, asap, serta udara dingin juga berperan, dengan demikian merokok
juga sangat merugikan (Herdinsibuae dkk, 2005).
5. Sel Inflamasi
Sel-sel inflamasi yang terlibat dalam patofisiologi asma terutama adalah sel mast, limfosit,
dan eosinofil.
a) Sel mast
Sel ini sudah lama dikaitkan dengan penyakit asma dan alergi, karena ia dapat melepaskan
berbagai mediator inflamasi, baik yang sudah tersimpan atau baru disintesis, yang bertanggungjawab terhadap beberapa tanda asma dan alergi. Berbagai mediator tersebut antara lain adalah
histamine (yang disintesis dan disimpan di dalam granul sel dan dilepas secara cepat ketika sel
mast teraktivasi), prostaglandin PGD2 dan leukotrien LTC4 (yang baru disintesis setelah ada
aktivasi), dan sitokin (yang disintesis dalam waktu yang lebih lambat dan berperan dalam reaksi
fase lambat). Sel mast diaktivasi oleh alergen melalui ikatan suatu alergen dengan IgE yang telah
melekat pada reseptornya (Fcereceptor) di permukaan sel mast. Adanya ikatan cross-linking
antara alergen dengan IgE tersebut memicu serangkaian biokimia didalam Sel yang kemudian
menyebabkan terjadinya degranulasi sel mast. Degranulasi adalah peristiwa pecahnya sel mast
yang menyebabkan pelepasan berbagai mediator inflamasi.
Sel mast terdapat pada lapisan epithelial saluran nafas, dan karenanya dapat berespon
terhadap allergen yang terhirup. Terdapatnya peningkatan jumlah sel mast pada cairan
bronkoalveolar pasien asma mengindasikan bahwa sel ini terlibat dalam patofisiologi asma.
Selain itu, pada pasien asma yang dijumpai penigkatan kadar histamine dan triptase pada cairan
bronkoalveolarnya, yang diduga kuat berasal dari sel mast yang terdegranulasi. Beberapa obat
telah dikembangkan untuk menstabilkan sel mast agar tidak mudah terdegranulasi. Peran sel
mast pada reaksi alergi fase lambat masih belum diketahui secara pasti. Namun,sel mast juga
mengandung faktor kemotatik yang dapat menarik eosinofil dan neutrofil ke saluran nafas.
b) Limfosit
Peran limfosit dalam asma semakin banyak mendapat dukungan fakta, antara lain dengan
terdapatnya produk-produk limfosit yaitu sitokin pada biopsy bronchial pasien asma. Selain itu,
sel-sel limfosit juga dijumpai pada cairan bronkoalveolar pasien asma pada reaksi fase lambat.
Limfosit sendiri terdiri dari dua tipe yaitu limfosit T dan limfosit B. Limfosit T masih terbagi lagi
menjadi dua subtipe yaitu Th1 dan Th2 (T helper 1 dan T helper 2). Sel Th2 memproduksi
berbagai sitokin yang berperan dalam reaksi inflamasi sehingga disebut sitokin prainflamasi,
seperti IL-3, IL-4, IL-6, IL-9, dan IL-13. Sitokin-sitokin ini nampaknya berfungsi dalam
pertahanan tubuh terhadap pathogen ekstrasel. IL-4 dan IL-13 misalnya, dia bekerja
mengaktivasi sel limfosit B untuk memproduksi IgE, yang nantinya akan menempel pada sel-sel
inflamasi sehingga terjadi pelepasan berbagai mediator inflamasi.
c) Eosinofil
Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa eosinofil berkontribusi terhadap patofisiologi
penyakit alergi pada saluran nafas. Dijumpai adanya kaitan yang erat antara keparahan asma
dengan keberadaan eosinofil di saluran nafas yang terinflamasi, sehiingga inflamasi pada asma
atau alergi sering disebut juga inflamasi eosinofilia. Eosinofil mengandung berbagai protein
granul seperti: major inflamasi eosinifilia (MBP), eosinophil peroxidase(EPO), dan eosinophil
cationic probasic protein (ECP), yang dapat menyebabkan kerusakan epitelium saluran nafas,
menyebabkan hiperresponsivitas bronkus, sekresi mediatorbdari sel mast dan basofil, serta secara
langsung menyebabkan kontraksi otot polos saluran nafas (Bussed an Reed, 1993). Selain itu,
beberapa produk eosinofil seperti LCT4, PAF, dan metabolit oksigen toksik dapat menambah
keparahn asma.
6. Manifestasi Klinis
a) Tanda
Sebelum muncul suatu episode serangan asma pada penderita, biasanya akan ditemukan
tanda-tanda awal datangnya asma. Tanda-tanda awal datangnya asma memiliki sifat-sifat sebagai
berikut, yaitu sifatnya unik untuk setiap individu, pada individu yang sama, tanda-tanda
peringatan awal bisa sama, hampir sama, atau sama sekali berbeda pada setiap episode serangan
dan tanda peringatan awal yang paling bisa diandalkan adalah penurunan dari angka prestasi
penggunaan “Preak Flow Meter”.
Beberapa contoh tanda peringatan awal (Hadibroto & Alam, 2006) adalah perubahan dalam
pola pernapasan, bersin-bersin, perubahan suasana hati (moodiness), hidung mampat, batuk,
gatal-gatal pada tenggorokan, merasa capai, lingkaran hitam dibawah mata, susah tidur, turunnya
toleransi tubuh terhadap kegiatan olahraga dan kecenderungan penurunan prestasi dalam
penggunaan Preak Flow Meter.
b) Gejala
(1) Gejala Asma Umum
Perubahan saluran napas yang terjadi pada asma menyebabkan dibutuhkannya usaha yang
jauh lebih keras untuk memasukkan dan mengeluarkan udara dari paru-paru. Hal tersebut dapat
memunculkan gejala berupa sesak napas/sulit bernapas, sesak dada, mengi/napas berbunyi
(wheezing) dan batuk (lebih sering terjadi pada anak daripada orang dewasa).
Tidak semua orang akan mengalami gejala-gelaja tersebut. Beberapa orang dapat
mengalaminya dari waktu ke waktu, dan beberapa orang lainya selalu mengalaminya sepanjang
hidupnya. Gelaja asma seringkali memburuk pada malam hari atau setelah mengalami kontak
dengan pemicu asma (Bull & Price, 2007). Selain itu, angka performa penggunaan Preak Flow
Meter menunjukkan rating yang termasuk “hati-hati” atau “bahaya” (biasanya antara 50%
sampai 80% dari penunjuk performa terbaik individu) (Hadibroto & Alam, 2006).
(2) Gejala Asma Berat
Gejala asma berat (Hadibroto & Alam, 2006) adalah sebagai berikut yaitu serangan batuk
yang hebat, napas berat “ngik-ngik”, tersengal-sengal, sesak dada, susah bicara dan
berkonsentrasi, jalan sedikit menyebabkan napas tersengal-sengal, napas menjadi dangkal dan
cepat atau lambat dibanding biasanya, pundak membungkuk, lubang hidung mengembang
dengan setiap tarikan napas, daerah leher dan di antara atau di bawah tulang rusuk melesak ke
dalam, bersama tarikan napas, bayangan abu-abu atau membiru pada kulit, bermula dari daerah
sekitar mulut (sianosis), serta angka performa penggunaan Preak Flow Meter dalam wilayah
berbahaya (biasanya di bawah 50% dari performa terbaik individu).
7. Komplikasi Asma
Penyakit asma yang tidak ditangani dengan baik lambat-laun akan berakibat pada terjadinya
komplikasi (Mansjoer, 2008) dimana dapat menyebabkan beberapa penyakit sebagai berikut
yaitu, terjadinya pneumotorak, pneumomediastinum, emfisema subkutis, aspergilosis, atelektasis,
gagal napas, bronkitis, fraktur iga, dan bronkopulmonar alergik.
8. Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan Laboratorium
(1) Pemeriksaan Sputum
Adanya badan kreola adalah karakteristik untuk serangan asma yang berat, karena hanya
reaksi yang hebat saja yang menyebabkan transudasi dari edema mukosa, sehingga terlepaslah
sekelompok sel-sel epitel dari perlekatannya. Pewarnaan gram penting untuk melibat adanya
bakteri, cara tersebut kemudian diikuti kultur dan uji resistensi terhadap beberapa antibiotik
(Muttaqin, 2008).
(2) Pemeriksaan Darah (Analisa Gas Darah/AGD/astrub)
(a) Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi
hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.
(b) Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
(c) Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm 3 dimana
menandakan terdapatnya suatu infeksi.
(3) Sel Eosinofil
Sel eosinofil pada klien dengan status asmatikus dapat mencapai 1000-1500/mm 3 baik asma
intrinsik ataupun ekstrinsik, sedangkan hitung sel eosinofil normal antara 100-200/mm 3.
Perbaikan fungsi paru disertai penurunan hitung jenis sel eosinofil menunjukkan pengobatan
telah tepat (Muttaqin, 2008).
b) Pemeriksaan Penunjang
(1) Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan menunjukan
gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga
intercostalis, serta diafragma yang menurun.
(2) Pemeriksaan Tes Kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat menimbulkan
reaksi yang positif pada asma.
(3) Scanning Paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama
serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.
(4) Spirometer
Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga untuk menilai
beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
(5) Peak Flow Meter/PFM
Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat tersebut digunakan untuk
mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal,
dalam menegakkan diagnosis asma diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau
PFM). Spirometer lebih diutamakan dibanding PFM karena PFM tidak begitu sensitif dibanding
FEV. Untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama saluran napas besar,
PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis
untuk penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1.
(6) X-ray Dada/Thorax
Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma.
(7) Pemeriksaan IgE
Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik pada kulit.
Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif
tidak selalu merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara
radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada
dermographism).
(8) Petanda Inflamasi
Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak berdasarkan atas
penilaian obyektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan spirometri bukan merupakan
petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran napas dapat dilakukan
melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang
dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara
jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat
asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi
jarang atau sulit dilakukan di luar riset.
9. Web of Caution (WOC) secara Teorits
10. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan
a) Penatalaksanaan Medis
(1) Terapi Obat
Penatalaksanaan medis pada penderita asma bisa dilakukan dengan pengguaan obat-obatan
asma dengan tujuan penyakit asma dapat dikontrol dan dikendalikan. Karena belum terlalu lama
ini, yakni baru sejak pertengahan tahun 1990-an mulai mengental keyakinan di kalangan
kedokteran bahwa asma yang tidak terkendali dalam jangka panjang bisa menyebabkan
kerusakan pada saluran pernapasan dan paru-paru.
Cara menangani asma yang reaktif, yakni hanya pada saat datangnya serangan sudah
ketinggalan zaman. Hasil penelitian medis menunjukkan bahwa para penderita asma yang
terutama menggantungkan diri pada obat-obatan pelega (reliever/bronkodilator) secara umum
memiliki kondisi yang buruk dibandingkan penderita asma umumnya. Selanjutnya prosentase
keharusan kunjungan ke unit gawat daruat (UGD), keharusan mengalami rawat inap, dan risiko
kematiannya karena asma juga lebih tinggi.
Hal ini membuktikan bahwa pasa asma ekstrinsik, penyebab asma yang mereka derita adalah
karena peradangan (inflamasi), dan bukan karena bronkokonstriksi. Dengan demikian, dokter
masa kini menggunakan obat peradangan sebagai senjata utama, sedang obat-obatan pelega
sebagai pendukung. Keyakinan ini sangat disokong oleh penemuan obat-obatan pencegah
peradangan saluran pernapasan, yang aman untuk digunakan dalam jangka panjang.
Menurut AAAI (Amerika Academy of Allergy, Asthma & Immunology) penggolongan obat
asma (Hadibroto & Alam, 2006) adalah sebagai berikut:
a) Obat-obat anti peradangan (preventer)
(1) Usaha pengendalian asma dalam jangka panjang
(2) Golongan obat ini mencegah dan mengurangi peradangan, pembengkakan saluran napas, dan
produksi lendir
(3) Cara kerjanya adalah dengan mengurangi sensitivitas saluran pernapasan terhadap pemicu asma
yang berupa alergen.
(4) Penggunaannya harus teratur dalam jangka panjang
(5) Daya kerja lambat/gradual, biasanya mengambil waktu sekitar dua minggu baru terlihat
efektivitasnya ayang terukur.
Contoh obat anti peradangan adalah beclometasone [Becotide®], budesonide [Pulmicort®],
fluticasone [Flixotide®], mometasone [Asmanex®], dan montelukast [Singulair®] secara
bertahap mengurangi peradangan saluran napas dan (jika digunakan secara teratur) akan
mengontrol penyakit asma. Obat pencegah biasanya tersedia dalam bentuk inhaler berwarna
cokelat, putih, merah, atau oranye, meskipun beberapa (misalnya montelukast) tersedia dalam
tablet.
b) Obat-obat pelega gejala berjangka panjang
Obat-obat pelega gejala berjangka panjang dalam nama generik yang ada di pasaran adalah
salmeterol hidroksi naftoat (salmeterol xinafoate) dan teofilin (theophylline).
(1) Salmeterol
Obat ini adalah bronkodilator yang bekerja perlahan dimana obat ini bekerja dengan
mengendurkan oto-otot yang mengelilingi saluran pernapasan. Obat ini paling efektif bila
dikombinasikan dengan suatu obat kortikosteroid hirup, dan tidak dapat berfungsi sebagai pelega
seketika dalam hal terjadi serangan asma.
Obat ini umumnya bekerja setelah setengah jam dan daya kerjanya bertahan hingga 12 jam.
Obat ini disajikan dalam bentuk obat hirup dosis terukut dan obat hirup bubuk kering. Obat ini
tidak dapat digunakan untuk anak-anak di bawah 12 tahun.
(2) Teofilin
Obat ini termasuk satu golongan dengan kafein (zat aktif yang terdapat dalam secangkir
kopi) dan termasuk bronkodilator yang lama daya kerjanya. Efek samping obat ini sama seperti
kafein sehingga tidak dianturkan untuk pasien hiperaktif.
(3) Albuterol Sulfat atau Salbutamol.
Bronkolidarot yang paling populer dan disajikan dalam bentuk obat hirup dosis terukur, obat
hirup bubuk kering, larutan untuk alat nebulizer, sirup, tablet biasa, tablet lepas-tunda (extendedreliase). Bentuk hirup bekerja lebih karena langsung menuju saluran pernapasan yang
bermasalah, ketimbang harus lewat lambung dulu. Efek samping obat ini dapat menyebabkan
stimulasi, jantung berdebar, dan pusing.
Merek yang paling populer adalah Ventolin dan Proventil yang disajikan sebagai obat hirup
dosis terukur. Proventil HFA sebagai obat hirup bubuk kering. Ventolin terdaftar di Indonesia
dalam bentuk sediaan tablet, sirup, nebulizer, dan spray. Merek lain adalah Ascolen.
c) Obat-obat pelega gejala asma (reliever/bronkodilator)
Misalnya salbutamol [Ventolin®], terbutaline [Bricanyl®], formoterol [Foradil®, Oxis®],
dan salmeterol [Serevent®] secara cepat mengembalikan saluran napas yang menyempit yang
terjadi selama serangan asma ke kondisi semula. Obat pereda/pelega biasanya tersedia dalam
bentuk inhaler berwarna biru atau abu-abu.
d) Obat-obatan kortikosteroid oral
Kortikosteroid oral adalah obat yang ampuh untuk mengatasi pembengkakan dan peradangan
yang mencetuskan serangan asma. Obat ini membutuhkan enam hingga delapan jam untuk
bekerja, sehingga makin cepat digunakan makin cepat pula daya kerja yang dirasakan.
Malam hari termasuk waktu dimana serangan asma paling sering terjadi, karena fungsi paruparu berada pada titik yang paling rendah di tengan malam. Dari hasil penelitian terbukti bahwa
dosis kortikosteroid oral yang diberikan di siang hari bisa membantu mereka yang mengalami
serangan asma untuk tidur pada malam harinya.
Di sisi lain, efek samping penggunaan kortikosteroid oral juga cukup nyata, seperti
perubahan suasana hati (mood changes), meningkatnya selera makan, perubahan berat badan,
dan gejala demam yang ditekan. Akan tetapi, efek samping dari penggunaan kortikosteroid ini
tidak perlu dikhawatirkan jika penggunaannya hanya dalam jangka pendek dan kadangkala saja.
(1) Prednison (Prednisone)
Prednison adalah preparat kortikosteroid oral yang paling umum digunakan. Obat ini
disajikan dalam bentuk pil maupun sirup.
(2) Prednisolon (Prednisolone)
Prednisolon adalah kortikosteroid oral yang sangat mirip prednisone, dengan kelebihan
rasanya yang lebih bisa diterima anak-anak. Dengan merek Prelone disajikan sebagai sirup 15
mg per 5 ml. Prediaped disajikan sebagai sirup 5 mg per 5 ml.
(3) Metilprednisolon (Methylprednisolone)
Sangat mirip dengan prednisolon, tetapi harganya lebih mahal. Biasanya digunakan di rumah
sakit dengan cara intravenuous.
(4) Deksametason (Dexamethasone)
Dengan merek Decadron, satu dosis tunggalnya berdaya kerja dua hingga tiga kali lebih lama
dibandingkan preparat kortikosteroid yang lain. Cocok untuk pasien anak-anak yang sulit minum
obat.
(2) Alat-alat hirup
Alat hirup dosis terukur atau Metered Dose Inhaler (MDI) disebut juga inhaler atau puffer
adalah alat yang paling banyak digunakan untuk menghantar obat-obatan ke saluran pernapasan
atau paru-paru pemakainnya. Alat ini menyandang sebutan dosis terukur (metered-dose) karena
memang menghantar suatu jumlah obat yang konsisten/terukur dengan setiap semprotan.
Sebagai hasil teknologi mutakhir, alat hirup dosis terukur kini bisa digunakan oleh segala
tingkatan usia, mulai dari balita hingga lansia. Alat hirup dosis terukur memuat obat-obatan dan
cairan tekan (pressurized liquid), biasanya chlorofluorocerbous/CFC, yang mengembang
menjadi gas ketika melewati moncongnya. Cairan yang sebutan populernya adalah propelan
tersebut memecah obat-obatan yang dikandung menjadi butiran-butiran atau kabut halus, dan
mendorongnya keluar dari moncong masuk ke saluran pernapasan atau paru-paru pemakainya.
b) Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan yang dapat dilakukan pada penderita asma adalah sebagai
berikut, yaitu memberikan penyuluhan (pendidikan kesehatan), pemberian cairan, fisiotherapy,
dan beri O2 bila perlu.
11. Kemungkinan Diagnosa Keperawatan
a) Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen
(bronkospasme), penumpukan sekret, sekret kental.
b) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan gangguan suplai oksigen (bronkospasme).
c) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen (bronkuspasme).
d) Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuat imunitas.
No
1
Diagnosa
Tujuan/Kriteri
Keperawatan
a Hasil
Tidak
Pencapaian
efektifnya
bersihan
jalan
bersihan
napas
nafas kriteria
1.
jalan
dengan
hasil
berhubungan sebagai berikut:
2.
1.
dengan
Mempertahanka
gangguan
n jalan napas
suplai
paten
dengan
oksigen
bunyi
napas
(bronkospas
bersih
atau
me),
3.
jelas.
penumpukan
2.
Menunjukan
sekret, sekret
perilaku untuk
kental
memperbaiki
bersihan
jalan
nafas misalnya
4.
batuk
efektif
dan
mengeluarkan
Intervensi
Mandiri 1.
Auskultasi bunyi
nafas,
catat
adanya
bunyi
Rasional
Beberapa derajat
spasme
bronkus
terjadi
dengan
obstruksi jalan nafas
nafas, ex: mengi
dan
dapat/tidak
Kaji/pantau
dimanifestasikan
frekuensi
adanya
nafas
pernafasan, catat
advertisius.
rasio
2. Tachipnea biasanya
inspirasi/ekspirasi
ada pada beberapa
.
derajat dan dapat
Catat adanya
ditemukan
pada
derajat dispnea,
penerimaan
atau
ansietas, distress
selama
pernafasan,
stress/adanya proses
penggunaan obat
infeksi akut.
bantu.
3.
Disfungsi
Tempatkan posisi
pernafasan adalah
yang
nyaman
variable
yang
pada
pasien,
tergantung
pada
contoh:
sekret.
meninggikan
kepala
tahap proses akut
tempat yang menimbulkan
tidur, duduk pada perawatan di rumah
sandara
tempat sakit.
4. Peninggian kepala
tidur.
5.
Pertahankan tempat
tidur
polusi lingkungan memudahkan fungsi
minimum,
pernafasan
contoh:
dengan
debu, menggunakan
asap dll.
gravitasi.
6.
Tingkatkan
5. Pencetus tipe alergi
masukan
sampai
3000
sesuai
jantung
cairan pernafasan
dengan mentriger
dapat
episode
ml/
hari akut.
6. Hidrasi membantu
toleransi
menurunkan
memberikan
air
kekentalan
sekret,
penggunaan cairan
hangat.
Kolaborasi
hangat
dapat
7.
Berikan obat
menurunkan
sesuai
indikasi
kekentalan sekret,
bronkodilator.
penggunaan cairan
hangat
dapat
menurunkan spasme
bronkus.
7. Merelaksasikan otot
halus
dan
menurunkan spasme
jalan nafas, mengi,
dan
produksi
mukosa.
2
Pola
nafas Perbaikan pola
Mandiri
1.
Membantu pasien
tidak efektif nafas
dengan
1.
berhubungan kriteria
dengan
gangguan
1.
suplai
oksigen
(bronkospas
me)
Ajarkan pasien memperpanjang
hasil pernapasan
waktu
ekspirasi
sebagai berikut: dalam.
sehingga
pasien
2. Tinggikan kepala
akan bernapas lebih
Mempertahanka dan
bantu
efektif dan efisien.
n
ventilasi mengubah posisi.
2.
Duduk
tinggi
adekuat dengan Berikan
posisi memungkinkan
menunjukan
semi fowler.
ekspansi paru dan
Kolaborasi
RR:16-20
memudahkan
3. Berikan oksigen
x/menit
dan
pernapasan.
tambahan.
3.
Memaksimalkan
irama
napas
bernapas
dan
teratur.
2.
Tidak
menurunkan kerja
mengalami
sianosis
tanda
3.
napas.
atau
hipoksia
lain.
Pasien dapat
melakukan
pernafasan
3
Gangguan
dalam.
Perbaikan
Mandiri 1.
1. Kaji/awasi secara
pertukaran
pertukaran gas
rutin kulit dan
gas
dengan kriteria
membrane
berhubungan hasil
sebagai
mukosa.
dengan
berikut:
2. Palpasi fremitus.
1.
Perbaikan
gangguan
3.
Awasi tandaventilasi.
suplai
tanda vital dan
2.
Perbaikan
2.
oksigen
irama jantung.
oksigen
Kolaborasi
(bronkuspas
jaringan
4. Berikan oksigen
me)
adekuat.
tambahan sesuai
dengan
Sianosis mungkin
perifer atau sentral
keabu-abuan
sianosis
dan
sentral
mengindikasikan
beratnya
hipoksemia.
Penurunan getaran
vibrasi
diduga
adanya pengumplan
cairan/udara.
indikasi
3.
Tachicardi,
hasil AGDA dan disritmia,
toleransi pasien.
dan
perubahan
tekanan
darah
dapat
menunjukan
efek
hipoksemia sistemik
pada fungsi jantung.
4. Dapat memperbaiki
atau
mencegah
memburuknya
4
hipoksia.
1.
Demam
Risiko tinggi Tidak terjadinya
Mandiri
dapat
1. Awasi suhu.
terhadap
infeksi dengan
terjadi
karena
2.
Diskusikan
infeksi
kriteria
hasil
infeksi dan atau
adekuat
berhubungan sebagai berikut:
dehidrasi.
kebutuhan nutrisi.
1.
2.
Malnutrisi dapat
dengan tidak
Kolaborasi
Mengidentifikas
3.
Dapatkan mempengaruhi
adekuat
ikan intervensi specimen sputum kesehatan
umum
imunitas
untuk
dengan batuk atau dan
menurunkan
mencegah atau pengisapan untuk tahanan
terhadap
menurunkan
pewarnaan gram, infeksi.
3.
Untuk
resiko infeksi.
kultur/sensitifitas.
2. Perubahan pola
mengidentifikasi
hidup
untuk
organisme penyabab
meningkatkan
dan
lingkungan
terhadap
yang nyaman.
anti microbial.
BAB III
KASUS
ASUHAN KEPERAWATAN Nn. G
DENGAN DIAGNOSA ASMA BRONKHIAL
DI RUMAH SAKIT UMUM ARIFIN AHMAD
kerentanan
berbagai
A. Uraian Kasus
Nn. G 23 tahun suku minang datang dengan keluhan napasnya sesak sewaktu bangun pagi dan
semakin meningkat ketika beraktivitas, klien juga batuk berdahak. Dari hasil pengkajian klien
mengeluh sesak, batuk berdahak dengan dahak berwarna putih, dan klien merasa sesaknya
berkurang setelah dilakukan pengasapan (nebulizer). Klien juga mengatakan mempunyai riwayat
asma sejak kelas 6 SD dan klien mengatakan bahwa ada salah satu anggota keluarganya yang
memiliki riwayat asma, yaitu ibunya. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan hasil: rongga dada
simetris, retraksi dinding dada (+), taktil fremitus simetris antara kiri dan kanan, suara napas
klien terdengar wheezing, resonan pada perkusi dinding dada, dan sputum berwarna putih kental.
Dari hasil observasi didapatkan hasil: tingkat kesadaran: kompos mentis, dan hasil TTV: TD =
130/70 mmHg, RR = 36x/menit, HR = 76x/menit, suhu = 37 o C. Dari hasil pemeriksaan
laboratorium didapatkan hasil: Hb = 15,5 gr%, leukosit = 17.000/mm 3, trombosit 260.000/mm3,
Ht = 47vol%. Klien saat ini mendapatkan terapi: IVFD RL 20 tts/i, Pulmicort, Ventolin, Bisolvon
dan O2 dengan nasal kanul 2 L. Pada pemeriksaan penunjang X-ray dada/thorax, didapatkan
hasil paru dalam batas normal.
B. Pengkajian
1. Anamnesa
Identitas Klien
Nama
: Nn. G
Umur
: 23 tahun
Alasan Masuk (Keluhan Utama)
Klien masuk rumah sakit dengan keluhan napasnya sesak sewaktu bangun pagi dan semakin
meningkat ketika beraktivitas, serta batuk berdahak.
Riwayat Penyakit Dahulu
Klien mengatakan mempunyai riwayat asma sejak kelas 6 SD
Riwayat penyakit Sekarang
Klien mengeluh sesak, batuk berdahak dengan dahak berwarna putih.
Riwayat Penyakit Keluarga
Klien mengatakan bahwa ada salah satu anggota keluarganya yang memiliki riwayat asma, yaitu
ibunya.
2. Pemeriksaan Fisik
a) Tingkat Kesadaran: Compos mentis
b) TTV:
(1)
(2)
(3)
(4)
c)
BP : 130/70 mmHg
RR: 36 x/menit
HR: 76 x/menit
T : 37oC
Hasil pengkajian:
Inspeksi
Rongga dada simetris, retraksi dinding dada (+), dan sputum berwarna putih kental.
Palpasi
Taktil fremitus simetris antara kiri dan kanan.
Perkusi
Resonan dikedua lapang paru.
Auskultasi
Suara napas klien terdengar wheezing.
3. Pemeriksaan Penunjang dan Laboratorium
Pada pemeriksaan penunjang
X-ray dada/thorax, didapatkan hasil paru dalam batas normal.
-
Pemeriksaan laboratorium
Hb = 15,5 gr%
Leukosit = 17.000/mm3
Trombosit 260.000/mm3
Ht = 47vol%.
4. Terapi Pengobatan Saat Ini
IVFD RL 20 tts/i, Pulmicort, Ventolin, Bisolvon dan O2 dengan nasal kanul 2 L.
C. Analisa Data
N
o
1
DS:
1.
Data
Etiologi
Klien
mengatakan
batuk
dengan
berdahak
dahak
berwarna putih.
2.
Klien merasa
sesak.
DO:
Pencetus serangan
(alergen)
↓
Reaksi antigen & antibodi
↓
Dikeluarkannya substansi
vasoaktif (histamin,
bradikinin, & anafilaksin)
↓
↑ permeabilitas kapiler
↓
Masalah
Keperawatan
Tidak
efektifnya
bersihan
nafas
jalan
1.
Tanda-tanda Kontraksi otot polos
Edema mukosa
vital:
Hipersekresi
BP=130/70
↓
mmHg
Obstruksi jalan nafas
RR=36 x/menit
↓
HR=76x/menit
Tidak efektifnya bersihan
T=37oC
jalan nafas
2.
Klien tampak
sesak
nafas
disertai
batuk
berdahak,
berwarna
3.
agak kental.
Suara napas
klien
4.
putih
terdengar
wheezing.
Terapi
yang
diberikan:
oksigen 2L,
IVFD RL 20 tts/i,
Pulmicort,
Ventolin,
Bisolvon.
2
1.
DS:
Klien
merasa
sesak
DO:
1.
Tanda-tanda
vital:
BP=130/70
mmHg
RR=36 x/menit
HR=76x/menit
T=37oC
2.
Klien tampak
Pencetus serangan
(alergen)
↓
Reaksi antigen & antibodi
↓
Dikeluarkannya substansi
vasoaktif (histamin,
bradikinin, & anafilaksin)
↓
Kontraksi otot polos
↓
Bronkospasme
↓
Suplai O2 menurun
Pola nafas tidak
efektif
sesak
nafas
disertai
batuk
sentral (spons dan medulla
berdahak,
berwarna
putih
agak kental.
3.
Suara napas
klien
4.
terdengar
wheezing.
Terapi
yang
diberikan:
oksigen 2L,
IVFD RL 20 tts/i,
Pulmicort,
Ventolin,
Bisolvon.
D. Web of Caution (WOC)
↓
Merangsang kemoreseptor
oblongata)
↓
Hiperventilasi
↓
Sesak
↓
Pola nafas tidak efektif
E. Asuhan Keperawatan
N
Diagnosa
o
1.
Keperawatan
Tidak
a Hasil
Pencapaian
efektifnya
bersihan jalan
bersihan jalan
napas dengan
nafas
kriteria hasil
berhubungan
sebagai berikut:
dengan
Tujuan/Kriteri
suplai oksigen
(bronkospasm
e),
penumpukan
sekret, sekret
kental.
Rasional
Mandiri
1. Auskultasi 1. Beberapa
1.
gangguan
Intervensi
bunyi nafas,
derajat spasme
catat adanya
bronkus terjadi
bunyi nafas,
dengan
ex: mengi
obstruksi jalan
Mempertahanka
nafas dan
n jalan napas
dapat/tidak
paten dengan
dimanifestasika
bunyi napas
n adanya nafas
bersih atau
jelas.
2. Menunjukan
perilaku untuk
memperbaiki
bersihan jalan
nafas misalnya
batuk efektif
dan
mengeluarkan
2. Kaji/pantau
frekuensi
advertisius.
2. Tachipnea
pernafasan,
biasanya ada
catat rasio
pada beberapa
inspirasi/ekspi derajat dan
rasi.
dapat
ditemukan pada
penerimaan atau
selama
sekret.
stress/adanya
proses infeksi
3. Catat adanya
akut.
derajat
dispnea,
3. Disfungsi
ansietas,
pernafasan
distress
adalah variable
pernafasan,
yang tergantung
penggunaan
pada tahap
obat bantu.
proses akut
yang
menimbulkan
4. Tempatkan
posisi yang
perawatan di
rumah sakit.
nyaman pada
4. Peninggian
pasien,
kepala tempat
contoh:
tidur
meninggikan
memudahkan
kepala tempat
fungsi
tidur, duduk
pernafasan
pada sandara
dengan
tempat tidur.
menggunakan
5. Pertahankan
gravitasi.
polusi
lingkungan
minimum,
contoh: debu,
5. Pencetus tipe
asap dll.
alergi
pernafasan
6. Tingkatkan
dapat mentriger
masukan
episode akut.
cairan sampai
dengan 3000
6. Hidrasi
ml/ hari sesuai
membantu
toleransi
menurunkan
jantung
kekentalan
memberikan
sekret,
air hangat.
penggunaan
cairan hangat
dapat
menurunkan
kekentalan
sekret,
Kolaborasi
7. Berikan obat
sesuai
penggunaan
cairan hangat
dapat
indikasi
menurunkan
bronkodilator.
spasme
bronkus.
7. Merelaksasikan
otot halus dan
menurunkan
spasme jalan
nafas, mengi,
dan produksi
mukosa.
2
Pola nafas
Perbaikan pola
Mandiri
tidak efektif
nafas dengan 1. Tinggikan
berhubungan
kriteria hasil
kepala dan
1. Duduk tinggi
memungkinkan
dengan suplai sebagai berikut:
1.
oksigen
Mempertahanka
berkurang
n ventilasi
(bronkospasm
adekuat dengan
e)
menunjukan
2.
RR=16-20
x/menit dan
irama napas
teratur.
2. Tidak
bantu
ekspansi paru
mengubah
dan
posisi.
memudahkan
Berikan posisi
pernapasan.
semi fowler.
Ajarkan
pasien
pernapasan
2. Membantu
dalam.
memperpanjang
waktu ekspirasi
mengalami
sehingga pasien
sianosis atau
akan bernapas
tanda hipoksia
lebih efektif dan
lain.
3. Pasien dapat
melakukan
pernafasan
dalam.
pasien
efisien.
Kolaborasi 3.
3. Berikan
Memaksimalka
oksigen
n bernapas dan
tambahan.
menurunkan
kerja napas
F. Penatalaksanaan Farmakologi dan Non Farmakologi
1. Penatalaksanan Farmakologi
Belum terlalu lama, yakni baru sejak pertengahan tahun 1990-an mulai mengental keyakinan
di kalangan kedokteran bahwa asma yang tidak terkendali dalam jangka panjang bisa
menyebabkan kerusakan pada saluran pernapasan dan paru-paru. Cara menangani asma yang
reaktif, yakni hanya pada saat datangnya serangan sudah ketinggalan zaman. Hasil penelitian
medis menunjukkan bahwa para penderita asma yang terutama menggantungkan diri pada obatobatan pelega (reliever/bronkodilator) secara umum memiliki kondisi yang buruk dibandingkan
penderita asma umumnya. Selanjutnya prosentase keharusan kunjungan ke unit gawat daruat
(UGD), keharusan mengalami rawat inap, dan risiko kematiannya karena asma juga lebih tinggi.
Hal ini membuktikan bahwa pasa asma ekstrinsik, penyebab asma yang mereka derita adalah
karena peradangan (inflamasi), dan bukan karena bronkokonstriksi. Dengan demikian, dokter
masa kini menggunakan obat peradangan sebagai senjata utama, sedang obat-obatan pelega
sebagai pendukung. Keyakinan ini sangat disokong oleh penemuan obat-obatan pencegah
peradangan saluran pernapasan, yang aman untuk digunakan dalam jangka panjang.
Menurut AAAI (Amerika Academy of Allergy, Asthma & Immunology) penggolongan obat
asma (Hadibroto & Alam, 2006) adalah sebagai berikut:
a) Obat-obat anti peradangan (preventer)
(1) Usaha pengendalian asma dalam jangka panjang
(2) Golongan obat ini mencegah dan mengurangi peradangan, pembengkakan saluran napas, dan
produksi lendir
(3) Cara kerjanya adalah dengan mengurangi sensitivitas saluran pernapasan terhadap pemicu asma
yang berupa alergen.
(4) Penggunaannya harus teratur dalam jangka panjang
(5) Daya kerja lambat/gradual, biasanya mengambil waktu sekitar dua minggu baru terlihat
efektivitasnya ayang terukur.
Contoh obat anti peradangan adalah beclometasone [Becotide®], budesonide [Pulmicort®],
fluticasone [Flixotide®], mometasone [Asmanex®], dan montelukast [Singulair®] secara
bertahap mengurangi peradangan saluran napas dan (jika digunakan secara teratur) akan
mengontrol penyakit asma. Obat pencegah biasanya tersedia dalam bentuk inhaler berwarna
cokelat, putih, merah, atau oranye, meskipun beberapa (misalnya montelukast) tersedia dalam
tablet.
b) Obat-obat pelega gejala berjangka panjang
Obat-obat pelega gejala berjangka panjang dalam nama generik yang ada di pasaran adalah
salmeterol hidroksi naftoat (salmeterol xinafoate) dan teofilin (theophylline).
(1) Salmeterol
Obat ini adalah bronkodilator yang bekerja perlahan dimana obat ini bekerja dengan
mengendurkan oto-otot yang mengelilingi saluran pernapasan. Obat ini paling efektif bila
dikombinasikan dengan suatu obat kortikosteroid hirup, dan tidak dapat berfungsi sebagai pelega
seketika dalam hal terjadi serangan asma.
Obat ini umumnya bekerja setelah setengah jam dan daya kerjanya bertahan hingga 12 jam.
Obat ini disajikan dalam bentuk obat hirup dosis terukut dan obat hirup bubuk kering. Obat ini
tidak dapat digunakan untuk anak-anak di bawah 12 tahun.
(2) Teofilin
Obat ini termasuk satu golongan dengan kafein (zat aktif yang terdapat dalam secangkir
kopi) dan termasuk bronkodilator yang lama daya kerjanya. Efek samping obat ini sama seperti
kafein sehingga tidak dianturkan untuk pasien hiperaktif.
(3) Albuterol Sulfat atau Salbutamol.
Bronkolidarot yang paling populer dan disajikan dalam bentuk obat hirup dosis terukur, obat
hirup bubuk kering, larutan untuk alat nebulizer, sirup, tablet biasa, tablet lepas-tunda (extendedreliase). Bentuk hirup bekerja lebih karena langsung menuju saluran pernapasan yang
bermasalah, ketimbang harus lewat lambung dulu. Efek samping obat ini dapat menyebabkan
stimulasi, jantung berdebar, dan pusing.
Merek yang paling populer adalah Ventolin dan Proventil yang disajikan sebagai obat hirup
dosis terukur. Proventil HFA sebagai obat hirup bubuk kering. Ventolin terdaftar di Indonesia
dalam bentuk sediaan tablet, sirup, nebulizer, dan spray. Merek lain adalah Ascolen.
c) Obat-obat pelega gejala asma (reliever/bronkodilator)
Misalnya salbutamol [Ventolin®], terbutaline [Bricanyl®], formoterol [Foradil®, Oxis®],
dan salmeterol [Serevent®] secara cepat mengembalikan saluran napas yang menyempit yang
terjadi selama serangan asma ke kondisi semula. Obat pereda/pelega biasanya tersedia dalam
bentuk inhaler berwarna biru atau abu-abu.
d) Obat-obatan kortikosteroid oral
Kortikosteroid oral adalah obat yang ampuh untuk mengatasi pembengkakan dan peradangan
yang mencetuskan serangan asma. Obat ini membutuhkan enam hingga delapan jam untuk
bekerja, sehingga makin cepat digunakan makin cepat pula daya kerja yang dirasakan.
Malam hari termasuk waktu dimana serangan asma paling sering terjadi, karena fungsi paruparu berada pada titik yang paling rendah di tengan malam. Dari hasil penelitian terbukti bahwa
dosis kortikosteroid oral yang diberikan di siang hari bisa membantu mereka yang mengalami
serangan asma untuk tidur pada malam harinya.
Di sisi lain, efek samping penggunaan kortikosteroid oral juga cukup nyata, seperti
perubahan suasana hati (mood changes), meningkatnya selera makan, perubahan berat badan,
dan gejala demam yang ditekan. Akan tetapi, efek samping dari penggunaan kortikosteroid ini
tidak perlu dikhawatirkan jika penggunaannya hanya dalam jangka pendek dan kadangkala saja.
(1) Prednison (Prednisone)
Prednison adalah preparat kortikosteroid oral yang paling umum digunakan. Obat ini
disajikan dalam bentuk pil maupun sirup.
(2) Prednisolon (Prednisolone)
Prednisolon adalah kortikosteroid oral yang sangat mirip prednisone, dengan kelebihan
rasanya yang lebih bisa diterima anak-anak. Dengan merek Prelone disajikan sebagai sirup 15
mg per 5 ml. Prediaped disajikan sebagai sirup 5 mg per 5 ml.
(3) Metilprednisolon (Methylprednisolone)
Sangat mirip dengan prednisolon, tetapi harganya lebih mahal. Biasanya digunakan di rumah
sakit dengan cara intravenuous.
(4) Deksametason (Dexamethasone)
Dengan merek Decadron, satu dosis tunggalnya berdaya kerja dua hingga tiga kali lebih lama
dibandingkan preparat kortikosteroid yang lain. Cocok untuk pasien anak-anak yang sulit minum
obat.
e) Alat-alat hirup
Alat hirup dosis terukur atau Metered Dose Inhaler (MDI) disebut juga inhaler atau puffer
adalah alat yang paling banyak digunakan untuk menghantar obat-obatan ke saluran pernapasan
atau paru-paru pemakainnya. Alat ini menyandang sebutan dosis terukur (metered-dose) karena
memang menghantar suatu jumlah obat yang konsisten/terukur dengan setiap semprotan.
Sebagai hasil teknologi mutakhir, alat hirup dosis terukur kini bisa digunakan oleh segala
tingkatan usia, mulai dari balita hingga lansia. Alat hirup dosis terukur memuat obat-obatan dan
cairan tekan (pressurized liquid), biasanya chlorofluorocerbous/CFC, yang mengembang
menjadi gas ketika melewati moncongnya. Cairan yang sebutan populernya adalah propelan
tersebut memecah obat-obatan yang dikandung menjadi butiran-butiran atau kabut halus, dan
f)
mendorongnya keluar dari moncong masuk ke saluran pernapasan atau paru-paru pemakainya.
Peak Flow Meter
Alat ini memegang peranan yang sangat penting dalam usaha dan program pengendalian
asma, terutama untuk mendeteksi gejala akan datangnya serangan asma. Berpegang pada prinsip
bahwa untuk menatalaksana segala sesuatu dengan baik harus ada tolok ukurnya, maka orangtua
anak penderita asma, maupun anak-anak dan orang dewasa penderita asma sendiri harus
menguasai cara mengukur fungsi paru-paru mereka. Tindakan selanjutnya kemudian adalah
mengambil langkah yang sesuai dengan hasil pengukuran tersebut.
Peak Flow Meter adalah alat sederhana yang bisa digunakan di rumah, termasuk oleh anakanak berumur lima tahun ke atas. Alat ini mengukur kekuatan embusan napas pemakainya. Ada
tiga hal yang mempengaruhi kekuatan embusan napas seseorang, yaitu ukuran paru-parunya,
besar usahanya dalam mengembus; dan bukaan (lebar atau sempitnya) saluran pernapasannya.
Untuk menggunakannya, si pemakai menarik napas dan mengisi paru-parunya sepenuh mungkin,
kemudian meniup ke dalam Peak Flow Meter secepatnya dengan sekuat-kuatnya. Seseorang
yang saluran pernapasannya menyempit, tidak akan bisa meniup sekuat bila saluran
pernapasannya terbuka sempurna. Pertanda pertama dari datangnya serangan asma bisanya
terlihat dari menurunnya ukuran catatan Peak Flow Meter seseorang. Ini bahkan sebelum muncul
gejala-gejala yang lain seperti batuk, lendir yang berlebihan, atau sesak napas.
Untuk mengetahui kondisi bukaan saluran pernapasan seseorang, kita membandingkan hasil
pengukuran sesaat dengan patokan ukuran terbaik dari orang tersebut. Untuk memperoleh
patokan terbaik seseorang, lakukan pengukuran dengan Peak Flow Meter pada waktu orang
tersebut berada dalam kondisi asmanya terkendali dengan baik, dan catat hasilnya.
Kondisi asma seseorang dianggap terkendali baik jika hasil pengukuran sesaat ada dalam
rentang 80-100% dari kondisi terbaiknya (masuk zona hijau); antara 60-80% dari kondisi terbaik
ia memasuki