PROGAM KONSELING KOGNITIF PERILAKU UNTUK

PROGAM KONSELING KOGNITIF PERILAKU UNTUK MEREDUKSI GEJALA
TECHNOSTRESS PADA REMAJA
Proposal Skripsi

Oleh :
Isman R Yusron
0906502

JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2012

A. JUDUL
“PROGAM KONSELING KOGNITIF PERILAKU UNTUK MEREDUKSI GEJALA
TECHNOSTRESS PADA REMAJA”
B. LATAR BELAKANG MASALAH
Seiring perkembangan zaman telah menghantarkan masyarakat pada era yang semakin
moderen dan global. Berbagai perubahan dalam kehidupan masyarakat semakin terlihat pesat
di berbagai sisi baik pola sosial, kebiasaan, hingga karakteristik perilaku. Hal ini dipicu oleh
semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah menjadi ciri

khas dari peradaban modern.
Teknologi merupakan hasil dari kebudayaan manusia. Menurut Clayde Kluckhohn dalam
bukunya Universal Categories of Culture (1953), teknologi di klasifikasikan kedalam salah
satu unsur dari kebudayaan. Teknologi adalah sebuah alat yang digunakan masyarakat yang
bersangkutan untuk memudahkan kegiatan-kegiatan dalam hidupnya. Dari definisi tentang
teknologi tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa teknologi muncul dari kebutuhan
manusia. Kebutuhan manusia yang tak pernah habis melahirkan sebuah teknologi yang
bertujuan untuk memudahkan dan menunjang segala kebutuhan dan kegiatan hidup manusia.
Dalam era peradaban posmodern dengan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, memicu munculnya sebuah era kesejagatan yang menghilangkan batasan-batasan
geografis di seluruh dunia. Era yang populer disebut globalisasi ini muncul dengan
karakteristik meningkatnya hubungan dan ketergantungan antar bangsa, sehingga masyarakat
dituntut untuk dapat beradaptasi dalam kondisi tersebut.
Kebutuhan manusia dalam era globalisasi ini memicu tumbuhnya suatu alat untuk
menunjang dan memudahkan tuntutan tersebut. Teknologi Informasi dan Komunikasi
merupakan salah satu jawaban dari tuntutan era globaliasi. Setelah penemuan mikro-prosesor
komputer dan kalkulator saku pada 1971, homo sapiens (penghuni bumi era posmodern)
menjalani kehidupan dengan kecepatan informasi, komunikasi instan dan perubahan
berkelanjutan sebagai kecenderungan utama (Rafsanjani, Pikiran Rakyat 2011)
Menurut Rogers M. Everett (1986) teknologi informasi diartikan sebagai perangkat keras

yang bersifat organisatoris, dan meneruskan nilai-nilai sosial dengan siapa individu atau
2

khalayak mengumpulkan, memproses, dan saling mempertukarkan informasi dengan individu
atau khalayak lain. Teknologi informasi di era sekarang menjadi sebuah kebutuhan yang
sangat penting, sehingga masyarakat dituntut untuk cepat menguasainya.
Berbagai inovasi dalam ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya teknologi informasi
berkembang dengan sangat cepat, hingga masyarakat dituntut beradaptasi dengan berbagai
kemajuan sepesat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kini, perangkat keras
teknologi informasi menjamur dan dijadikan alat keseharian oleh masyarakat dunia. Macammacam perangkat teknologi informasi yang populer digunakan saat ini ialah telepon seluler
(Ponsel), Personal Computer (PC), Laptop, Smartphone, Internet dan perangkat lainnya.
Di Indonesia, menurut data yang di rilis Telkom, IDC, dan Nokia Siemens Network
Intellegence (sharingvision.biz, 2012) menunjukan angka fantastis pengguna teknologi
informasi. Pengguna Internet tahun 2012 diperkirakan mencapai 70 juta pengguna, pengguna
layanan HSDPA (High Speed Downlink Packet Access) tercatat 24,7 juta orang, pengguna
jaringan tetap 6 juta, pasar komputer 9,5 juta, dan pasar Smartphone 11,9 juta. Dari data
tersebut, dibanding dengan jumlah penduduk indonesia yang berkisar pada angka 259 juta
jiwa (Kompas, 2011), diperkirakan sekitar 27 %-30% masyarakat indonesia menjadi
pengguna teknologi informasi.
Data diatas dapat memetakan bagaimana pesatnya penggunaan teknologi informasi di

Indonesia. Jika dibandingkan dengan hasil statistik Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis
pada tahun 2006, pengguna teknologi informasi berada pada kisaran 19,96% dari sekitar 218
juta jiwa, atau sekitar 43,5 juta pengguna. Dalam kurun waktu 6 tahun, di tahun 2012
pengguna teknologi informasi naik sekitar 62,1%. Berdasarkan data tersebut dapat penulis
simpulkan bahwa perkembangan teknologi yang pesat mendorong masyarakat indonesia
dengan cepat beradaptasi mengikuti percepatan tersebut. Hal ini terbukti dengan naik begitu
pesatnya persentase pengguna teknologi informasi seperti Ponsel, Internet, PC dan perangkat
lainnya di Indonesia.
Dalam Gempuran percepatan teknologi yang menyusup pada hampir semua lini
kehidupan, memunculkan dampak-dampak signifikan dalam kehidupan baik fisik maupun
psikologis. Dampak yang dimunculkan dari perkembangan teknologi memiliki nilai positif
dan juga negatif bagi kehidupan. Teknologi pada awalnya dirancang untuk memudahkan
masyarakat dalam berkegiatan dan memenuhi kebutuhan hidup. Namun kini yang terjadi
3

adalah

teknologi

menuntut


masyarakat

untuk

mengejar

pesatnya

kemajuan

dan

perkembangannya.
Rafsanjani (Pikiran Rakyat, 2011) mengatakan bahwa akselarasi luar biasa ini
membentuk suatu pengaruh mutual (forceful interplay) antara ilmu pengetahuan (IPTEK) dan
masyarakat. Hal itu menjadikan bertambahnya tuntutan bahkan tekanan dari perkembangan
zaman –yang

melahirkan teknologi, terhadap kompetensi yang dimiliki manusia. Pada


akhirnya, manusia tergusur mengikuti percepatan teknologi yang semakin tak terkejar.
Gambaran tersebut merupakan titik negatif dari semakin pesatnya kemajuan teknologi
informasi. Teknologi informasi masa kini, yang diidentikkan dengan perangkat komputasi
(Komputer, Ponsel, Internet, dll) menorehkan sebuah identitas peradaban di era posmoderen.
Sehingga, masyarakat era kekinian indentik dengan masyarakat komputer. Dengan identitas
tersebut, menjadikan masyarakat terdorong untuk menguasai teknologi tak hanya sebatas
aplikasi, namun juga mendapatkan ruang dalam faktor-faktor psikologis seperti kebiasaan,
pola fikir, bahkan sampai pada taraf pemenuhan kebutuhan. Craig Brod dalam Questioning
Technology menyatakan :
The computer and the work it generates have created not merely a new era
in history but with it a new psychological space as well.(Zerzan&Carnes,
1991)
Betapa tidak, penguasaan teknologi kini telah menjadi tuntutan keseluruhan kehidupan
masyarakat. Masyarakat era global memiliki gaya yang serba teknologis dalam berbagai
kegiatan hidupnya. Yang paling muncul kepermukaan ialah gaya berkomunikasi antar
individu. Penggunaan teknologi informasi dalam berkomunikasi telah menjadi hal lumrah
bahkan sedikit banyak mengeliminasi komunikasi tatap muka antar indvidu yang dianggap
sudah tidak efektif. Komunikasi yang mensyaratkan adanya interaksi menjadi tak berlaku lagi
seiring perkembangan teknologi informasi. Kini, masyarakat lebih memanfaatkan Ponsel,

Smartphone, atau Internet ketimbang berinteraksi secara langsung. Hal ini berawal dari
tuntutan efektifitas dalam berkomunikasi yang dahulu terikat dengan tempat dan waktu. Akan
tetapi, penggunaan perangkat teknologi informasi menjadi jembatan yang menghilangkan
jarak serta waktu dalam berkomunikasi.

4

Penggunaan teknologi informasi sebagai alat untuk berkomunikasi antar individu terbukti
efektif dan efisien dari berbagai sisi. Perkembangan fitur serta fasilitas dari waktu ke waktu
semakin memudahkan masyarakat pengguna teknologi informasi, bahkan menjadikan tidak
ada bedanya antara menggunakan teknologi informasi dengan berinteraksi secara langsung.
Dari berbagai kemudahan yang diberikan oleh perangkat teknologi menjadikan hal tersebut
bagian dari keseharian masyarakat. Sehingga, masyarakat kekinian tak dapat lagi terpisahkan
dari teknologi informasi.
Dijadikannya teknologi informasi sebagai bagian dari keseharian masyarakat tak hanya
melahirkan kemudahan saja, akan tetapi juga melahirkan permasalahan baru khususnya dari
aspek dinamika psikologis. Berbagai permasalahan muncul akibat dari penggunaan teknologi
yang kecepatannya melebihi batas-batas kemampuan manusiawi. Kecepatan yang tak terkejar
tersebut memicu adanya ketidak seimbangan psikologis. Bahkan, hal tersebut berdampak
pada pola perilaku serta gangguan mental individu.

Fenomena-fenomena terkait dengan dampak dari penggunaan teknologi bermunculan di
berbagai media massa maupun elektronik. Dampak yang muncul paling banyak berada pada
aspek dinamika psikologis pengguna teknologi informasi. Salah satu contohnya tercerminkan
pada hasil penelitian Dr.Scott Frank di Amerika Serikat yang melakukan survei terhadap 4200
siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) di Cleveland, AS yang dirilis www.dailymail.co.uk/
(kompas.com, 2010). Dari hasil temuan dengan objek penelitian para remaja tersebut,
terungkap bahwa satu dari lima siswa tergolong kepada Hyper-texter. Hyper-texter ialah
perilaku pengguna ponsel dengan mengirim Short Message Service (SMS) lebih dari 120 kali
dalam sehari. Juga, dalam survei yang sama menemukan satu dari sembilan siswa tergolong
pada Hyper-networker. Remaja yang tergolong Hyper-Networker ini ialah mereka yang
menghabiskan waktu lebih dari tiga jam di Facebook atau situs jejaring sosial lainnya.
Temuan pada remaja di Cleveland tersebut lebih menarik dengan terungkapnya fakta
bahwa remaja yang tergolong hyper-texter ternyata lebih rentan terhadap pergaulan bebas dan
kecanduan alkohol serta narkoba dibanding dengan remaja dengan frekuensi mengirim SMS
yang biasa saja. Dalam temuan yang sama juga terungkap bahwa remaja yang tergolong pada
hyper-networker rentan terlibat perilaku kecanduan alkohol dan perkelahian. Dan temuan itu
mengungkap bahwa remaja yang tergolong hyper-texter maupun hyper-networker adalah
remaja dari orang tua berpendidikan rendah dan orang tua tunggal. Karakteristik remaja

5


tersebut biasanya memiliki karakter impulsif dan tidak tahan terhadap tekanan teman
sebayanya.
Kaum remaja memang yang paling banyak mengalami dampak dari kemajuan teknologi
informasi dan berkembangnya alat komunikasi digital. Selain dari temuan di AS, tak
terkecuali dampak tersebut menerjang para remaja Indonesia. Di Indonesia, hasil temuan
penelitian pada tahun 2006 (kompas.com, 2010) bahkan menyebutkan angka 67% anak usia
menjelang remaja yang duduk di kelas 4-6 Sekolah Dasar mengaku pernah mengakses konten
pornografi melalui alat komunikasi ponsel Smartphone yang diberikan orang tuanya. Temuan
ini sangat mengkhawatirkan, karena ternyata para remaja bahkan di fase yang lebih dini telah
menyalahgunakan gadget teknologi informasi. Temuan ini, menurut Psikolog Universitas
Paramadina, Elly Risman diakibatkan oleh keteledoran orang tua yang memberikan ponsel
berteknologi tinggi kepada anaknya.
Tingginya akses pornografi melalui media teknologi oleh remaja menimbulkan efek
negatif bagi remaja khususnya pada perilaku seksual remaja. Hasil survei Komisi
Perlindungan Anak (KPA) terhadap 4500 remaja di 12 kota besar Indonesia yang disebutkan
oleh Menteri Komunikasi dan Informasi, Tifatul Sembiring menyebutkan angka 93% remaja
pernah berciuman, 67,7 % pernah berhubungan badan, dan 21% pernah melakukan aborsi.
Penyalahgunaan Ponsel masih tergolong dari segelintir permasalahan yang diakibatkan
oleh pesatnya kemajuan teknologi. Dalam data lain menyebutkan, di Indonesia penggunaan

Internet oleh remaja sering memunculkan dampak negatif. Sejak diluncurkannya jejaring
sosial Facebook pada 4 Februari 2004 oleh Mark Zuckerberg, sekarang ini telah menjadi
fenomena yang paling digandrungi oleh remaja Indonesia saat ini. Terbukti dengan data yang
menyebutkan bahwa Indonesia berada pada peringkat ketiga penyumbang akun Facebook
terbanyak. Laporan Kontan menuliskan, Agustus 2010 lalu akun Facebook di Indonesia
berjumlah 26 juta (kompas.com, 2010). Dampak negatif akibat Facebook ini banyak
dilaporkan dan menjadi sorotan di Indonesia.
Misalnya, pada Maret tahun 2011 warga di Kota Denpasar, Bali terlibat bentrok
perkelahian dan perusakan rumah. Kejadian tersebut dipicu oleh hal sepele akibat tersinggung
oleh ejekan salah seorang pemuda di status jejaring sosial Facebook. Selain itu, kasus lain
ialah data yang disebutkan KPAI pada bulan Februari 2010 menunjukkan ada 7 kasus
penculikan di setiap bulannya yang diakibatkan oleh komunikasi melalui jejaring sosial
6

Facebook. Selain itu, laporan lainnya yang disinyalir akibat munculnya jejaring sosial
Facebook ialah dari laporan Pengadilan Agama Wonosari, Gunung Kidul pada 2010 yang
mendeteksi lonjakan permohonan pernikahan dini, dan peningkatan pernikahan dini tersebut
diakibatkan oleh Facebook. Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Wonosari, Siti
Haryanti mengatakan setiap pemohon rata-rata mengenal pasangannya dari Facebook dan
rata-rata yang berumur 14-16 tahun telah hamil diluar nikah (kompas.com, 2011).

Himpunan data diatas merupakan beberapa dari sekian banyak fakta dampak negatif
penggunaan teknologi informasi Internet. Temuan-temuan tersebut penulis yakini tidak hanya
merupakan dampak utama dari penyalahgunaan teknologi informasi. Semuanya harus
ditelusuri dari mulai gejala-gejala psikologis yang muncul akibat penggunaan teknologi
informasi. Jonathan Kimak (cracked.com, 2009) Menyebutkan ada 6 gangguan psikologis
yang sering muncul akibat penggunaan teknologi Internet. Penulis anggap bahwa hal ini
penting di identifikasi karena hal ini merupakan akar dari timbulnya fenomena-fenomena
negatif yang telah dipaparkan sebelumnya. Keenam gangguan psikologis yang muncul akibat
penggunaan Internet tersebut antara lain : (1) Online Intermittent Explosive Disorder (OIED),
yaitu gangguan kepribadian berupa emosi yang meledak-ledak yang muncul secara tiba-tiba
dan sering juga mudah tersinggung karena menggunakan Internet. Hal ini diakibatkan karena
karakteristik Internet yang dapat menyembunyikan identitas asli sehingga hasrat untuk
melampiaskan emosi akan lebih leluasa dibandingkan di dunia nyata yang lebih terbatas oleh
lingkungan sosial. (2) Low Forum Frustation Tolerance (LFFT), yaitu toleransi rendah
terhadap kekalahan dalam forum. Hal ini menyebabkan hilangnya rasa toleransi jika
mendapat kritik dari orang lain, sehingga akan segera mencari banyak argumen yang
mematahkan kritik tersebut bahkan sering kali menggunakan argumen yang tidak logis. (3)
Munchausen Syndrom, yaitu tukang cerita untuk membangkitkan rasa kasihan. Munchausen
Syndrome (MS), suatu istilah yang diambil dari nama seorang tentara Jerman, Baron
Munchausen (Karl Friedrich Hieronymus Freiherr von Munchausen, 1720-1797) yang

mengaku mempunyai banyak pengalaman fantastik dan petualangan-petualangan yang
mustahil, oleh Rudolf

Raspe kemudian dituliskan dalam sebuah buku berjudul The

Surprising Adventures Baron Munchausen. MS adalah suatu kondisi di mana seseorang
dengan sengaja membuat kebohongan, menirukan, menambah buruk suatu keadaan, atau
mempengaruhi diri sendiri agar sakit dengan tujuan diperlakukan seperti orang sakit. (4)
Online Obsessive-Compulsive Personality Disorder (OOCPD), yaitu gangguan kepribadian
yang tergoda untuk memaksa orang lain. Gangguan kepribadian jenis ini bisa dijelaskan
7

dengan contoh kegilaan akan tata bahasa. Ketika orang menemukan suatu kesalahan tata
bahasa atau penulisan kata yang keliru dari orang lain dalam sebuah posting atau komentar,
maka dia langsung menyerang dan dengan keras memprotesnya. (5) Low Cyber Self-Esteem
(LCSE), yaitu penghargaan terhadap diri sendiri yang rendah. Biasanya yang terkena LCSE
ini akan merasa dibenci oleh semua orang yang sebenarnya tak ada yang meninggalkannya.
Pada kehidupan nyata perilaku ini seperti mencari perhatian dan kasihani orang lain. (6)
Internet Asperger’s Syndrome, yaitu kondisi dimana hilangnya semua aturan sosial dan empati
pada diri seseorang. Hal ini disebabkan karena seseorang ketika berinternet hanya
menghadapi benda mati seperti monitor, laptop dan keyboard saja, sehingga kehilangan
posisinya didalam dunia nyata yang menuntut untuk mengikuti aturan sosial dan empati
terhadap manusia lainnya. Biasanyanya yang terkena Internet Asperger’s Syndrom ini akan
kehilangan kemampuan melihat respon dan mimik wajah atau ekspresi non-verbal pada diri
orang lain.
Sebuah situasi yang menggambarkan masyarakat di era teknologi ini ialah bertambahnya
tuntutan dan pekerjaan yang bermacam-macan dan harus dilakukan dan diselesaikan dalam
waktu yang bersamaan. Dering ponsel, notifikasi surat elektronik, obrolan melalui Internet
(Chatting), SMS, interaksi melalui jejaring sosial dan interaksi nyata, ditambah pekerjaan
lainnya dapat dalam satu waktu datang bertubi-tubi. Hal itu sebuah keadaan yang sangat
niscaya dalam kehidupan masyarakat pengguna teknologi, tak jarang hal tersebut
menimbulkan sebuah ketidaknyamanan psikologis bahkan sampai menimbulkan kegilaan
karena terlalu banyak hal yang harus dikerjakan. Kondisi tersebut menurut Salvucci &
Taatgen (2011: 4) sebagai multitasking. Multitasking adalah “thrust upon us by the everchanging technology and increasingly hurried nature of today’s world; at the same time, we
ourselves contribute to the multitasking frenzy through countless actions in our everyday
lives”. Multitasking adalah tuntutan kemampuan untuk melakukan beberapa pekerjaan secara
bersamaan. Multitasking ini adalah ciri dari pengguna teknologi, karena perkembangannya
memberikan sebuah kemudahan dalam mengakses beberapa hal dalam satu alat dan satu
waktu. Ini merupakan terobosan yang sangat canggih karena berbasis efisienitas dan
efektifitas dalam pekerjaan. Akan tetapi keadaan tersebut jika tak terbendung dan teratur oleh
penggunanya maka akan menimbulkan kegilaan karena banyaknya pekerjaan yang disebut
sebagai “multitasking madness”. Dan hal ini pula lah titik dari munculnya dampak negatif
yang diakibatkan oleh percepatan teknologi.

8

Semua hal diatas bisa jadi merupakan penyebab kenapa muncul berbagai fenomena sosialpsikologis yang negatif akibat penggunaan teknologi khususnya Internet. Dan dari kesemua
gangguan psikologis diatas mengarah pada suatu gejala psikologis yang diakibatkan oleh
teknologi. Gejala psikologis yang diakibatkan oleh penggunaan teknologi ini, seperti yang
disebutkan pakar psikologi dari California State University, AS, Larry D. Rosen, PhD dan
Michelle M. Weil, PhD sebagai Technostress.
Istilah Technostress awalnya dicetuskan oleh Craig Brod pada tahun 1982 yang
dilatarbelakangi oleh semakin digandrunginya teknologi komputer yang sedikit demi sedikit
mempengaruhi pola perilaku, sikap dan norma masyarakat moderen. Istilah ini menunjuk
pada aspek psikologis dari penggunaan teknologi komputer yang berkembang secara pesat
namun tidak diimbangi oleh penggunaan yang sesuai.
Weil dan Rosen (1997) mendefinisikan Technostress sebagai dampak negatif secara
langsung maupun tidak langsung penggunaan teknologi terhadap perilaku manusia, pikiran,
sikap dan psikologis. Brod (1982) mendefinisikan Technostress sebagai penyakit adaptasi
modern yang disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menguasai teknologi komputer terbaru
dengan cara yang sehat. Ia juga mendefinisikan bahwa Technostress merupakan situasi yang
memperlihatkan kesulitan dalam beradaptasi, juga ketidak kuasaan dalam membendung
penggunaan teknologi baru oleh individu atau organisasi (Coklar, 2011). Namun, Weil dan
Rosen (Ahmad, 2010) memberikan kritik bahwa sebenarnya Technostress bukan merupakan
sebuah penyakit, akan tetapi hanya sebatas dampak negatif saja. Brillhart (2004)
mendefinisikan Technostress sebagai stress seseorang yang dihasilkan dari ketergatungan
seseorang pada alat-alat teknologi atau kecemasan secara terus menerus karena merasa
terkoneksi kepada teknologi (Hayasi, 2009).
Dari definisi diatas dapat penulis simpulkan bahwa Technostress merupakan sebuah
dampak psikologis yang negatif yang disebabkan oleh ketidak mampuan seseorang dalam
mengejar, mengikuti, serta menggunakan teknologi yang semakin canggih sehingga
memunculkan perilaku salah guna dan salahsuai terhadap teknologi dan kadang juga
memunculkan kecemasan psikologis dan stress. Rafsanjani (Pikiran Rakyat, 2011)
menyebutkan bahwa setidaknya ada lima aspek yang menjadi derivasi Technostress, yakni (1)
techno-overload situasi ketika kita dipaksa untuk bekerja lebih cepat dan lebih lama. (2)
techno-invasion saat kita selalu merasa "terkoneksi" setiap waktu, sehingga terjadi
kebingungan antara suasana kerja dan kehidupan personal. (3) techno-complexity ketika kita
9

merasa tidak mampu menjalankan teknologi yang kompleks, sehingga kita dipaksa
meluangkan lebih banyak waktu demi meningkatkan kemampuan. (4) techno-insecurity
ketika merasa terancam kehilangan pekerjaan, akibat teknologi terbaru atau orang-orang baru
yang lebih mahir menggunakan teknologi tersebut (5) techno-uncertainty adalah situasi
merasa selalu menghadapai ketidakjelasan dan ketidakmapanan, akibat perubahan teknologi
yang terus terjadi setiap hari.
Fenomena dan dampak yang muncul sesuai dengan definisi diatas kian merebak pada
masyarakat posmodern. Percepatan teknologi pada era posmodern yang semakin hari semakin
canggih menyajikan berbagai kemudahan serta tantangan tersendiri terhadap kompetensi
masyarakat. Salah satu hasil dari perkembangan teknologi informasi yang paling fenomenal
memperkenalkan masyarakat pada era teknologi Web 2.0. Web 2.0 menurut Monica T Whitty
(Young, 2011: 202) telah membawakan kepada Internet yang lebih interaktif (menggunakan
aplikasi yang memperluas interaksi), dan ini akan berlanjut pada pengembangan yang lebih
canggih. Situs jejaring sosial dan aplikasi ponsel adalah salah satu contoh dari bagaimana
Web telah mengubah kepada yang lebih interaktif. Andrew Keen (Rosen, 2010)
mengungkapkan fenomena ini bahwa web 2.0 dan penggunanya menjadikan media sebagai
pendorong kita untuk mempopulerkan diri kita sendiri.
Remaja merupakan fase dimana individu mengalami transisi dari masa kanak-kanak
menuju masa dewasa. Karakteristik yang menonjol dalam fase ini selain berbagai perubahan
pada aspek fisik dan biologis, remaja mengalami masa krisis psikologis sebagai sebuah fase
kematangan menuju kedewasaan. Dalam kondisi ini remaja berusaha menemukan identitas
dirinya. Usaha dalam pencarian identitas diri remaja seringkali menunjukkan perilakuperilaku mencoba-coba, identifikasi dan imitasi. Remaja sering dikatakan sebagai masa
pencarian jati diri.Yang dimaksud dengan pencarian identitas diri adalah proses menjadi
seorang yang unik dengan peran yang penting dalam hidup (Erikson dalam Papalia & Olds,
2001). Menurut Hurlock (1980:208) salah satu cara untuk mencoba mengangkat diri sendiri
sebagai individu, remaja menggunakan simbol status dalam bentuk mobil, pakaian, dan
pemilikan barang-barang lain yang mudah terlihat. Kondisi ini mendorong remaja untuk terus
mengeksplorasi dan mencoba hal yang bersifat baru dan mengejar gaya hidup yang
berkembang pada masanya. Remaja akan merasa terasing atau terisolasi jika tidak dapat
mengikuti perkembangan gaya hidup dalam jamannya atau teman sebayanya. Conger (1991)
dan Papalia & Olds (2001) mengemukakan bahwa kelompok teman sebaya merupakan

10

sumber referensi utama bagi remaja dalam hal persepsi dan sikap yang berkaitan dengan gaya
hidup. Sehingga, remaja seringkali salah kaprah dalam mengartikan kondisi serta gaya hidup
yang didentifikasinya. Hal ini menyebabkan seringnya muncul perilaku salah suai dan
penyimpangan-penyimpangan pada remaja.
Pada diri remaja, pengaruh lingkungan dalam menentukan perilaku diakui cukup kuat.
Walaupun remaja telah mencapai tahap perkembangan kognitif yang memadai untuk
menentukan tindakannya sendiri, namun penentuan diri remaja dalam berperilaku banyak
dipengaruhi oleh tekanan dari kelompok teman sebaya. Bagi remaja, teman-teman menjadi
sumber informasi misalnya mengenai bagaimana cara berpakaian yang menarik, musik atau
film apa yang bagus, dan sebagainya (Conger, 1991).
Gaya hidup pada era pos modern sangat kental dengan gaya hidup yang serba teknologi.
Hal ini pula mendorong remaja untuk mengikuti segala hal yang berkaitan dengan
perkembangan teknologi. Penggunaan ponsel pintar (Smartphone), Internet dan berbagai
gadget teknologi informasi telah menjadi gaya hidup yang khususnya digandrungi oleh para
remaja. Sehingga, remaja akan senantiasa mengeksplorasi berbagai kemajuan yang
berkembang dalam perkembangan teknologi. Remaja menurut peneliti dari Pusat Kajian
Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Kahardityo
(kompas.com, 2010) merupakan golongan masyarakat yang digital native. Digital Native
adalah penduduk asli di dunia digital. Mereka lahir dan tumbuh di era digital yang menjadikan
mereka memiliki cara berpikir, berbicara dan bertindak, berbeda dengan generasi sebelumnya.
Dari karakteristik baru ini remaja akan sangat banyak kesehariannya bersentuhan dengan alatalat teknologi. Dapat dikatakan, remaja yang paling responsif dalam mengikuti segala
perkembangan teknologi dan menjadi pengguna teknologi paling massif .
Dengan munculnya karakteristik baru dari remaja yang sedikit diurai sebelumnya, maka
dapat dikatakan remaja merupakan subjek individu yang paling akan rentan terkena gangguan
psikologis akibat teknologi. Ciri masa remaja menurut G. Stanley Hall (1904) berada pada
masa “Storm and Stess”, masa yang sangat rentan sekali terkena gejala stress. Hal ini
berkaitan dengan masa remaja yang berada pada masa perkembangan kematangan kognitif
dan emosional. Maka dari itu, remaja dan berbagai karakter yang melekat didalamnya
merupakan subjek individu yang akan sangat rentan terjangkit gejala Technostress.

11

Remaja merupakan masa penting dalam tahap perkembangan hidup individu. Sering kali
dinyatakan bahwa apa yang dialami pada masa ini akan berpengaruh terhadap karakteristik
kepribadiannya di masa mendatang. Dimasa ini identitas kehidupan seseorang didapatkan.
Namun, di era serba teknologi dan segala resikonya, menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi
masa remaja kekinian. Maka dari itu, perlu adanya sebuah solusi yang akan menyelesaikan
permasalahan psikologis baru bagi remaja di zaman teknologi ini. Khususnya solusi untuk
menyelesaikan persoalan dampak negatif dari penggunaan teknologi yaitu Technostress.
Mencari penanganan yang tepat untuk yang terkena dampak negatif dari teknologi yaitu
Technostress, dapat berangkat dari definisi Technostress itu sendiri. Menurut Rosen dan Weil
Technostress merupakan dampak negatif secara langsung maupun tidak langsung penggunaan
teknologi terhadap perilaku manusia, pikiran, sikap dan psikologis. Dari definisi tersebut yang
menjadi titik serang dari Technostress ialah perilaku manusia, pikiran, sikap dan psikologis.
Dalam ruang lingkup teori konseling, intervensi yang tepat untuk mengatasi gejala yang
menyerang perilaku dan fikiran adalah konseling Cognitive-Behavioral Therapy atau Terapi
Kognitif-Perilaku. Beck (Taylor, 2006) mengartikan bahwa :
“Cognitive behavioral therapy is a structured form of therapy guided by the
cognitive model. The cognitive model proposes that dysfunctional thinking and
unrealistic cognitive appraisals of certain life events can negatively influence
feelings and behavior and that this process is reciprocal, generative of further
cognitive impairment, and common to all psychological problems”.
Menurut Dobson dan Dozios (Taylor, 2006) wilayah yang dapat ditangani oleh Terapi
Kognitif Perilaku ialah dengan asumsi (1) Kognisi mempengaruhi perilaku, (2) Kognisi dapat
dipantau dan dirubah, (3) Perubahan Perilaku dimediasi oleh perubahan kognitif. Terapi
kognitif perilaku selalu melibatkan mediasi kognitif sebagai inti yang mendasar dalam
penanganan.

Pendekatan cognitive-behavioral therapy

digunakan untuk mereduksi

Technostess didasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Beck, Freman (1999)
yang mengungkapkan konseling cognitive behavioral therapy mampu menyelesaikan
permasalahan-permasalahan individu yang berhubungan dengan gangguan kepribadian,
gangguan kecemasan dan gangguan obsesi-kompulsi.
Menurut Bush (2003 :1) Konseling cognitive-behavioral therapy membantu individu
belajar merubah perilaku, menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik,
12

berfikir lebih jelas dan membantu belajar membuat keputusan yang tepat . Karena
karakteristik yang ditimbulkan Technostress sesuai dengan tujuan intervensi cognitivebehavioral therapy dan berada pada ranah yang mempengaruhi kognisi dan perilaku
seseorang, sehingga intervensi yang berfokus pada aspek kognitif dan perilaku dipandang
sebagai

pendekatan yang tepat. Akan tetapi, hal ini perlu diuji kembali sejauh mana

efektifitas intervensi ini dalam mereduksi Technostress.
Berdasarkan hal diatas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang berjudul
“PROGAM KONSELING KOGNITIF PERILAKU UNTUK MEREDUKSI GEJALA
TECHNOSTRESS PADA REMAJA”
C. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan diatas, rumusan masalah dari
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Pada kondisi mana para remaja terjangkit dampak negatif penggunaan teknologi
Technostress?
2. Apa sajakah yang menyebabkan remaja terjangkit Technostress?
3. Gejala apa saja yang muncul dalam kehidupan remaja yang terindikasi Technostress?
4. Bagaimana rancangan konseling terapi kognitif-perilaku untuk mereduksi
Technostress?
5. Bagaimana proses

intervensi

konseling

kognitif-perilaku

untuk

mereduksi

Technostress?
6. Apakah konseling kognitif perilaku efektif dalam mereduksi remaja terkena
Technostress?
7. Kategori Technostress manakah yang lebih efektif diatasi dengan konseling kognitif
perilaku?
D. TUJUAN PENELITIAN
Secara umum, tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui gambaran sejauh mana remaja terjangkit dampak negatif penggunaan
teknologi Technostress.
2. Untuk mengetahui apa saja penyebab remaja terjangkit Technostress.
3. Untuk mengetahui perilaku apa saja yang muncul dari remaja yang terjangkit
Technostress.

13

4. Merumuskan rancangan program konseling kognitif-perilaku untuk mereduksi
Technostress.
5. Mendapatkan formulasi yang tepat serta melaksanakan konseling kognitif-perilaku untuk
mereduksi Technostress.
6. Untuk mengetahui sejauh mana efektifitas program konseling kognitif perilaku dalam
mereduksi gejala Technostress.
7. Untuk mengetahui kategori Technostress mana yang efektif diatasi oleh konseling
kognitif perilaku.
E. MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi berbagai pihak diantaranya :
1. Bagi Peneliti, penelitian ini menambah wawasan peneliti mengenai gejala apa saja yang
muncul ketika individu remaja terjangkit Technostress. Juga wawasan peneliti tentang
efektifitas intervensi konseling kognitif perilaku dalam mereduksi gejala Technostress pada
remaja.
2. Bagi Konselor, hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan dalam mengidentifikasi perilaku
apa saja yang menunjukan gejala Technostress sekaligus menjadi rujukan bagaimana
mengatasi gejala Technostress yang dialami oleh remaja.
4. Bagi Konseli, dapat mengatasi masalah gejala Technostress yang tengah dialaminya.
5. Bagi Pemerintah, hasil penelitian ini dapat dijadikan titik pijak dalam mengatasi persoalan
yang tengah melanda bangsa Indonesia yang berkaitan dengan dampak negatif penggunaan
teknologi khususnya dikalangan generasi muda Indonesia.
F. DEFINISI OPERASIONAL
Untuk menghindari penafsiran yang berbeda mengenai penelitian ini, diberikan beberapa
penjelasan istilah sebagai berikut :
1. Program, dalam KBBI diartikan sebagai rancangan mengenai asas serta usaha yang
akan dijalankan. Program disini tidak diartikan sebagai sebuah perintah dalam
pemrosesan komputer, akan tetapi dimaknai sebagai suatu rancangan sebuah upaya
yang akan dilakukan.

14

2. Konseling, adalah suatu proses layanan yang bersifat tatap muka untuk tujuan
membantu individu dalam memecahkan suatu permasalahan. Menurut Myrick (1993)
istilah konseling digunakan oleh seseorang dalam profesi konseling untuk
menjelaskan sebuah jenis khusus dalam proses bantuan terhadap seseorang lainnya.
Konseling merupakan sebuah hubungan secara langsung yang memiliki tujuan untuk
memberikan bantuan dalam merubah sikap dan tingkah laku terhadap individu yang
mengalami suatu permasalahan.
3. 2.Terapi Kognitif –Perilaku, adalah sebuah pendekatan atau intervensi seorang
konselor yang mengkombinasikan teknik konseling kognitif dan konseling behavioral,
yang menekankan kepada pentingnya penggunaan pikiran dalam perasaan dan
tindakan individu. Aaron T. Beck (1964) mendefinisikan CBT sebagai pendekatan
konseling yang dirancang untuk menyelesaikan permasalahan konseli pada saat ini
dengan cara melakukan restrukturisasi kognitif dan perilaku yang menyimpang. Beck
(Taylor, 2006) mengatakan bahwa terapi kognitif perilaku adalah sebuah bentuk yang
disusun dari terapi yang berpedoman pada model kogintif.
4. Reduksi, diartikan sebagai pengurangan atau suatu proses mengurangi atau juga
menurunkan. Dalam definisi ini reduksi merupakan sebuah upaya untuk mengurangi
gejala atau efek yang telah muncul sehingga hal tersebut dapat berkurang ataupun
hilang.
5. Gejala, adalah perihal (keadaan, peristiwa, dsb) yg tidak biasa dan patut diperhatikan
(ada kalanya menandakan akan terjadi sesuatu) atau suatu keadaan yg menjadi tandatanda akan timbulnya (terjadinya, berjangkitnya) sesuatu (KBBI, 2008).
6. Technostress, adalah dampak negatif secara langsung maupun tidak langsung
penggunaan teknologi terhadap perilaku manusia, pikiran, sikap dan psikologis
(Weil&Rosen, 1997). Technostress juga didefinisikan sebagai stress seseorang yang
dihasilkan dari ketergantungan seseorang pada alat-alat teknologi atau kecemasan
secara terus menerus karena merasa terkoneksi kepada teknologi (Hayasi, 2009).
7. Remaja, menurut Piaget (Hurlock, 1980) adalah usia dimana individu mulai
berintegrasi dengan masyarakat dewasa. Menurut Zakiah Daradjat (Willis, 2005)
remaja adalah usia transisi dimana seorang individu meninggalkan usia kanak-kanak,
tetapi belum mampu beranjak ke usia dewasa yang kuat dan penuh tanggung jawab.
Mendefinisikan remaja akan beranjak pada karakteristik, dan klasifikasi periode usia
yang pada saat itu muncul ciri-ciri khas dari remaja. Hurlock (1973) memberi batasan
masa remaja berdasarkan usia kronologis, yaitu antara 13 hingga 18 tahun. Namun,
definisi remaja untuk masyarakat indonesia menurut Sarlito W. Sarwono (1989)

15

berada pada rentang usia 11-24 tahun. Dan remaja merupakan periode yang penting
karena ditandai dengan pesatnya pertumbuhan dan kematangan baik fisik maupun
psikologis.
G. ASUMSI PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan didasarkan pada beberapa asumsi penting yang menjadi
pijakan dalam pelaksanaan penelitian, diantaranya :
1. Semakin pesatnya kemajuan teknologi informasi, memunculkan tantangan baru yang
berkaitan dengan psikologis manusia. Perangkat komputasi yang digunakan dalam
aplikasi teknologi informasi, tidak sebatas melahirkan sebuah era yang baru dalam
sejarah akan tetapi dengan ruang psikologis yang baru pula.(Zerzan&Carnes, 1991)
2. Akselarasi teknologi informasi yang luar biasa membentuk suatu pengaruh mutual
(forceful interplay) antara ilmu pengetahuan (iptek) dan masyarakat. Hal itu
menjadikan bertambahnya tuntutan bahkan tekanan dari perkembangan zaman –yang
melahirkan teknologi, terhadap kompetensi yang dimiliki manusia. (Rafsanjani, 2011)
3. Remaja merupakan masa pencarian identitas. Identitas diri yang dicari remaja berupa
usaha untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa peranannya dalam masyarakat. Salah
satu cara untuk mencoba mengangkat diri sendiri sebagai individu adalah dengan
menggunakan simbol status dalam bentuk mobil, pakaian, dan pemilikan barangbarang lain yang mudah terlihat. (Hurlock, 1980)
4. Kesulitan dalam beradaptasi, juga ketidak kuasaan dalam membendung penggunaan
teknologi baru oleh individu atau organisasi akan memunculkan sebuah situasi yang
disebut Technostress.(Coklar, 2011)
5. Technostress merupakan dampak negatif secara langsung maupun tidak langsung
penggunaan teknologi terhadap perilaku manusia, pikiran, sikap dan psikologis.
(Weil&Rosen, 1997)
6. Ketergatungan seseorang pada alat-alat teknologi dan merasa terkoneksi kepada
teknologi akan menghasilkan stress atau kecemasan secara terus menerus dan hal
tersebut juga didefinisikan sebagai Technostress. (Hayasi, 2009)
7. Konseling cognitive-behavioral therapy merupakan sebuah pendekatan yang
mengkombinasikan konseling kognitif dan konseling behavioral yang pada
pelaksanaannya, konseling cognitive-behavioral therapy merupakan bentuk konseling
yang menekankan kepada pentingnya penggunaan pikiran dalam perasaan dan
tindakan individu. Konseling cognitive-behavioral therapy (CBT) membantu individu
belajar merubah perilaku, menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih
16

baik, berfikir lebih jelas dan membantu belajar membuat keputusan yang tepat (Bush,
2003: 1)
8. Konseling cognitive-behavioral therapy mampu menyelesaikan permasalahanpermasalahan individu yang berhubungan dengan gangguan kepribadian, gangguan
kecemasan dan gangguan obsesi-kompulsi.
H. METODE DAN DESAIN PENELITIAN
Secara umum metode penelitian diartikan sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan
data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2010). Menurut Nazir (2005) metode
penelitian merupakan pemandu peneliti tentang urutan bagaimana penelitian dilakukan.
Penelitian tentang penggunaan program konseling kognitif-perilaku untuk mereduksi
gejala Technostress ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitaif untuk
mengetahui tingkat gejala Technostress di kalangan remaja. Metode penelitian yang
digunakan yaitu pra eksperimen, dengan desain pra tes-pasca test satu kelompok atau OneGroup Pretest-Potstest Design.
Desain penelitian pra eksperimen, kelompok tidak diambil secara acak atau pasangan,
juga tidak ada kelompok pembanding, tetapi diberi tes awal dan tes akhir di samping
perlakuan. Metode pra eksperimen digunakan untuk mengetahui ketepatan konseling
kognitif-perilaku dalam mereduksi gejala Technostress pada remaja. Adapun pola desain
penelitian tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1
One Group Pretest-Posttest Design
O1

X

Catatan :
O1 = Nilai pretest (sebelum diberi treatment)
O2 = Nilai posttest (setelah diberi treatment)
X = Treatment yang diberikan (Variabel dependen)
Sugiyono (2010:111)

17

O2

I. POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN
Dalam pelaksanaan penelitian ini diperlukan suatu sumber data atau objek yang
ditangani dan diteliti. Objek tersebut pada umumnya diseut sebagai populasi dan sampel
penelitian. Menurut Arikunto (1998 : 115) populasi adalah seluruh subjek penelitian. Objek
pada populasi diteliti, hasilnya dianalisis, disimpulkan dan kesimpulan itu berlaku untuk
seluruh populasi. Berdasarkan pengertian tersebut maka populasi dalam penelitian ini adalah
remaja yang memiliki rentang usia 11-24 tahun (Sarwono,1989).
Sedangkan sampel penelitian menurut Arikunto (1998 : 117) adalah sebagian atau
bagian atau wakil dari populasi yang diteliti. Oleh karena itu sampel yang diambil dari
populasi harus betul-betul representatif (mewakili). Adapun dalam penelitian ini pengambilan
sampel penelitian digunakan metode Nonprobability Sampling dengan teknik Purposive
Sampling. Penentuan sampelnya ditentukan dengan kriteria pengguna peralatan teknologi
informasi.
J. INSTRUMEN PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan data primer yang diambil dari alat ukur berupa kuesioner
dan instrumen pengungkap tingkat (Rating Scale). Instrumen tersebut bertujuan mengungkap
gejala yang muncul dan tingkat dari gejala yang dialami.
Dalam pre test, sample akan diberikan instrumen untuk mengetahui apakah memasuki
kriteria objek penelitian atau tidak. Dan dari sana pula mendapat data sejauh mana tingkat
relevansinya dalam objek penelitian. Dan test akan dilakukan lagi setelah adanya tindakan
atau treatment bagi sampel yang diberikan tindakan. Sehingga, dari data tersebut dapat
diketahui hasilnya dan sejauh mana keefektifan konseling kognitif-perilaku dalam mereduksi
gejala Technostress.
K. PROSEDUR PENELITIAN
1. Tahap Persiapan
Kegiatan yang dilakukan dalam tahap persiapan ini ialah :
a. Studi literatur mengenai Technostress dan konseling kognitif-perilaku
b. Mengidentifikasi permasalahan
18

c. Menginventarisir data dan fakta penelitian.
d. Studi pendahuluan dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data mengenai
kondisi lapangan yang mencakup: kondisi lokasi penelitian, sampel, sarana
dan prasarana, alat-alat bantu, dan alat-alat untuk keperluan pelaksanaan
penelitian.
e. Mempersiapkan instrumen penelitian.
f. Menyusun rencana pelaksanaan tahap per tahap mulai dari target sampel, olah
data, waktu pelaksanaan sampai pada evaluasi.
2. Tahap Pelaksanaan
a. Memilih sampel penelitian
b. Menyebar angket penelitian
c. Mengolah data penelitian
d. Menghubungi sampel yang akan diteliti dan membuat perjanjian konseling
e. Mengujicobakan teknik konseling kognitif-perilaku dalam beberapa
pertemuan.
f. Melakukan evaluasi konseling
g. Menyebar angket post test
h. Setelah data terkumpul, dilakukan pengolahan data tentang sejauh mana
keberhasilan konseling kognitif perilaku dalam mereduksi gejala Technostress.
3. Tahap akhir
a. Pengolahan dan analisis data hasil eksperimen
b. Pembahasan dan menyimpulkan hasil penelitian sehingga akan dapat
disimpulkan apakah teknik konseling kognitif-perilaku efektif dalam
mereduksi gejala Technostress
Gambar 1
Prosedur Penelitian

L. TEKNIK ANALISIS DATA
Langkah-langkah analisis data pra eksperimen dengan model pretest-posttest design,
sebagai berikut :
1) Mencari rerata nilai tes awal (O1).
2) Mencari rerata nilai tes akhir (O2).
3) Menghitung perbedaan rerata dengan uji-t, dengan rumus:
19

t=
Keterangan:
t
= harga t untuk sampel berkorelasi
Ð
= (difference), perbedaan antara skor tes awal dengan skor tes akhir
untuk setiap individu
D
= rerata dari nilai perbedaan (rerata dari Ð)
D2
= kuadrat dari D
N
= banyaknya subjek penelitian
Subjek penelitian pada desain pretest-posttest merupakan sampel yang oleh Donald
Ary (Suharsimi Arikunto, 2003: 509) disebut sebagai non-independet sample, disebut
demikian karena yang diuji perbedaannya adalah rerata dari dua nilai yang dimiliki oleh
subjek yang sama.
M. JADWAL KEGIATAN
No

Kegiatan

1
2

Bimbingan dan penyusunan Bab 1-3
Penyusunan Instrumen
Membuat program treatmentt konseling

3
4
5
6
7
8
9
10

1

kognitif-perilaku.
Judgment Instrumen dan Program
Pelaksanaan penelitian, treatmentt

2

Minggu
3 4

5

6

7

dan

pengumpulan data
Pengolahan dan analisis data
Pembuatan laporan penelitian
Masa pembinbingan
Penyempurnaan laporan penelitian
Penggandaan laporan penelitian

N. DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, U.N., Amin, S.M.,& Ismail, W.K. Technostress and Organisational Commitment:
A Proposed Framework. Malysian Management Review (MMR), Vol.45,
No.1,January-June,
pp.35-50, 2010.
20

Brillhart, P.E. Technostress in the Workplace Managing Stress in the Electronic
Workplace.
Journal of American Academy of Business, Cambridge, 5, ½,
September, pp.302-307, 2004.
Brod, C. Technostress: the Human Cost of the Computer Revolution (Reading, Mass.:
Addison-Wesley, 1984).
Catherall, D.R. (2005). Family Stressors Interventions for Stress and Trauma Series
in Psychosocial Stress. New York : Taylor & Francis Books, Inc.
Coklar, A.N., Sahin, Y.L. Technostress Levels of Social Network Users Based on ICTs in
Turkey. European Journal of Social Sciences, Vol. 23, No.2, 2011.
Everett, R, M. (1986). Communication Technology- The New Media in Society. New
York : The Free Press, A. Dursion of Macmillan, Inc.
Everly, G.S.Jr. (1989) A Clinical Guide to the Treatment of the Human Stress
Response. New York: Plenum Press.
Gordon, R.S. (2007). Information Tomorrow: Reflections on Technology and the Future of
Public and Academic Libraries. New Jersey : Information Today, Inc.
Hayashi, A. Understanding The Impact Of Management Factors On Technostress In Erp
Adoption And Use. M.Sc, Thesis. B.S., University Of California, Davis,
1996.
Kompas.com.(2010). 62.7 Persen Remaja Indonesia Pernal ML [Online].09/05/2010.
Tersedia :
http://health.kompas.com/read/2010/05/09/19005745/62.7.Persen.Remaja.Indone
sia.Pernah.ML (18 Oktober 2011)
Kompas.com.(2011). Kecanduan Facebook dan Twitter Ganggu
Mental[Online].01/07/2011.
Tersedia:http://health.kompas.com/read/2011/07/01/12075823/Kecanduan.Facebo
ok.dan.Twitter.Ganggu.Mental (18 Oktober 2011)
Kompas.com.(2011). Facebook Picu Pernikahan Dini [Online].31/03/2011. Tersedia :
http://health.kompas.com/read/2011/03/31/10382586/Facebook.Picu.Pernikahan.
Dini. (18 Oktober 2011)
Kompas.com.(2011). Gara-gara Facebook Warga pun Bentrok [Online].13/03/2011.
Tersedia: http://health.kompas.com/read/2011/03/13/22263877/Garagara.Facebook.Warga.Pun.Bentrok (18 Oktober 2011)
Kompas.com.(2011). Tiap Menit Cek Ponsel Kebiasaan Baru Pemakai Ponsel
[Online].15/08/2011.
Tersedia:http://health.kompas.com/read/2011/08/15/1149573/Tiap.Menit.Cek.Pon
sel.Kebiasaan.Baru.Pemakai.Ponsel (18 Oktober 2011)
Kompas.com.(2011). Bahaya Facebook untuk Remaja [Online].09/08/2011. Tersedia :
http://health.kompas.com/read/2011/08/09/15014293/Bahaya.Facebook.untuk.Re
maja (18 Oktober 2011)

21

Kompas.com.(2010). FB dan SMS Picu Seks Bebas Remaja[Online].10/11/2010. Tersedia :
http://health.kompas.com/read/2010/11/10/13242380/FB.dan.SMS.Picu.Seks.Beb
as.Remaja. (18 Oktober 2011)
Sharingvision.biz. (2012). Stagnasi 2012 Survei Prediksi Pasar IT Indonesia.26/12/2011.
Tersedia: http://www.sharingvision.biz/2011/12/26/stagnansi-2012-surveiprediksi-pasar-it-indonesia-2012/. (5 Desember 2011)
Kupersmith,J. Technostress in the Bionic Library. Originally published in Cheryl
LaGuardia, ed., Recreating the Academic Library: Breaking Virtual Ground,
(New York: Neal-Schuman, 1998), pp. 23-47.
Rosen, L.D. (2007). Me, My Space and I. New York : Palgrave Macmillan.
Rosen, L.D., Carrier, L.M., and Cheever, N.A. (2010). Rewired Understanding the
iGeneration and the Way They Learn. New York : Palgrave Macmillan.
Salvucci, D.D., Taatgen, N.A. (2011). The Multitasking Mind. New York : Oxford
University Press, Inc.
Spielberger, C.D., Sarason, I.G. (2005). Stress and Emotion Vol. 17 Anxiety Anger
and Curiosity Stress and Emotion. New York : Taylor & Francis Group
Trauth, E.M.(2006). Encyclopedia of Gender And Information Technology. Hershey :
Idea Group Reference.
Weil, M.M. & Rosen, L.D. (1997). TechnoStress: Coping With Technology @WORK
@HOME @PLAY. John Wiley and Sons.
Young, K.S., Abreu, C.N. (2011). Internet Addiction : A Handbook and Guide to
Evaluation and Treatment. New Jersey : John Wiley & Sons, Inc.
Zerzan,J.,Carnes,A. (1991). Questioning Technology. Philadelphia : New Society
Publisher.

22