Sistem Politik mana yang paling kejam di

Sistem Politik mana yang paling kejam di dunia ?
Oleh. N.Faqih Syarif H
Abstraksi :
Dalam artikel ini penulis akan membahas ada tiga sistem politik yang dipakai oleh negara-negara di dunia
yaitu : 1. Sistem Diktator, di mana hukum yang berlaku di suatu negara bersumber dari satu atau sekelompok
orang tertentu, hukum akan tunduk kepada elit pembuatnya, rakyat secara mayoritas akan tertindas sistem itu
di sebut sistem Kerajaan atau Monarchi.2. Sistem Super Diktator, di mana hukum yang berlaku di suatu negara
bersumber dari seorang raja yang berkolusi dengan pendeta, dan pendeta mengatasnamakan wakil Tuhan di
dunia, hukum yang dibuat tidak mungkin salah, menentang berarti berdosa,rakyat sangat tertindas sistem itu
disebut Theokrasi. 3. Sistem Politik Demokrasi di mana hukum harus mengikuti kehendak rakyat secara
mayoritas, Bagaimana caranya agar kehendak mayoritas rakyat dapat diwujudkan? Maka harus ada
perwakilan rakyat , yang membuat hukum di sebut legislatif, yang pelaksana hukum di sebut eksekutif dan
penegak hukum di sebut yudikkatif. Sistem itu di sebut Sistem politik Demokrasi. Sistem politik mana yang
paling kejam di dunia ini? Adakah sistem politik alternatif yang bisa membawa kesejahteraan dan keamanan
bagi semua manusia di alam ini? Bagaimana dengan Sistem Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah?
Kata kunci : Monarchi, Theokrasi, Demokrasi, Khilafah.

Sistem Politik yang pernah diterapkan di dunia hingga saat ini.
Jika kita mengkaji dan mengamati sisten politik saat ini yang dipakai oleh negara-negara di dunia, kita akan
mendapati setidaknya ada tiga sistem politik :
1.


Sistem monarchi ; Monarki berasal dari bahasa Yunani monos (μονος) yang berarti satu,

dan archein (αρχειν) yang berarti pemerintah. Monarki merupakan sejenis
pemerintahan yang dipimpin oleh seorang penguasa monarki. Monarki atau sistem
pemerintahan kerajaan adalah sistem tertua di dunia. Pada awal kurun ke-19,
terdapat lebih 900 tahta kerajaan di dunia, tetapi menurun menjadi 240 dalam abad
ke-20. Sedangkan pada dekade kedelapan abad ke-20, hanya 40 takhta saja yang
masih ada. Dari jumlah tersebut, hanya empat negara mempunyai penguasa monarki
yang mutlak dan selebihnya terbatas kepada sistem konstitusi. Sistem Diktator, di mana
hukum yang berlaku di suatu negara bersumber dari satu atau sekelompok orang tertentu,
hukum akan tunduk kepada elit pembuatnya, rakyat secara mayoritas akan tertindas sistem
itu di sebut sistem Kerajaan atau Monarchi. Pada dasarnya, terdapat 3 jenis sistem
pemerintahan Monarki yaitu Monarki Konstitusional, Monarki Mutlak dan Monarki
Semikonstitusional. Dalam sistem Monarki Mutlak atau Monarki Absolut, Seorang Raja atau
Ratu memiliki kekuasaan penuh dalam memerintah Negaranya, dalam hal ini Raja atau Ratu
adalah Kepala Negara dan juga merupakan Kepala Pemerintahaan. Sedangkan Kepala
Pemerintahaan pada sistem Monarki Konstitusional dipimpin oleh seorang Perdana Menteri
yang dipilih oleh Rakyat. Raja atau Ratu pada sistem Monarki Konstitusional hanya sebagai
Kepala Negara yang bersifat ketua simbolis dan memiliki kekuasaan yang sangat terbatas.

Berbeda dengan Presiden yang memiliki masa jabatannya, masa jabatan Raja atau Ratu
sebagai Kepala Negara adalah seumur hidup dan tahtanya dapat diwariskan. Hingga saat ini,
masih ada 6 negara yang mengadopsi sistem pemerintahan Monarki Mutlak diantaranya
adalah Brunei, Oman, Qatar, Saudi Arabia, Swaziland dan Vatikan. Sedangkan beberapa

Negara yang mengadopsi sistem pemerintahaan Monarki Konstitusional diantaranya seperti
Jepang, Inggris (Britania Raya), Malaysia, Thailand dan masih banyak lagi.
2.

Sistem Theokrasi ; bentuk pemerintahan di mana prinsip-prinsip Ketuhanan memegang peran

utama.Kata "teokrasi" berasal dari bahasa Yunani θεοκρατία (theokratia). θεος (theos)
artinya “tuhan” dan κρατειν (kratein) “memerintah”. Teokrasi artinya “pemerintahan oleh
wakil tuhan”1. Teokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana dijalankan berdasarkan prinsip
Ketuhanan. Sistem Super Diktator, di mana hukum yang berlaku di suatu negara bersumber
dari seorang raja yang berkolusi dengan pendeta, dan pendeta mengatasnamakan wakil
Tuhan di dunia, hukum yang dibuat tidak mungkin salah, menentang berarti
berdosa,rakyat sangat tertindas sistem itu disebut Theokrasi. Pada negara Teokrasi, identik
dengan pemusatan kekuasaan pada tokoh tokoh spiritual yang sekaligus sebagai Kepala
Negara. Dalam Negara Teokrasi, Kepala Negara yang sekaligus tokoh spiritual, biasanya

dianggap sebagai keturunan Dewa, manusia setengah Tuhan, dan manusia pilihan Tuhan,
bahkan juga dianggap sebagai reinkarnasi dari orang suci. Negara Teokrasi ini populer pada
abad pertengahan dan sebelumnya. Salah satu contoh Negara Teokrasi pada masa sebelum
masehi adalah Negara Mesir Kuno. Mesir Kuno, dipimpin oleh kepala negara yang diberi
gelar Fir’aun. Dalam hal ini, Fir’aun dianggap jelmaan Dewa oleh rakyatnya. Sehingga apa
yang diucapkan Fir’aun diakui sebagai hukum oleh rakyat.
3.

Sistem politik Demokrasi ; Sebuah ideologi yang ditata dengan memadukan nilai-nilai liberal
kebebasan individu, persamaan, martabat, dan persaudaraan, rule of law serta proses politik yang
demokratis (The International Relation Dictionary, Jack C. Plano).Demokrasi : pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (Abraham Lincoln) . Sistem Politik Demokrasi di mana hukum
harus mengikuti kehendak rakyat secara mayoritas, Bagaimana caranya agar kehendak mayoritas
rakyat dapat diwujudkan? Maka harus ada perwakilan rakyat , yang membuat hukum di sebut
legislatif, yang pelaksana hukum di sebut eksekutif dan penegak hukum di sebut yudikkatif. Sistem itu
di sebut Sistem politik Demokrasi

Sekarang mari kita perhatikan sistem apa yang dipakai oleh bangsa Indonesia. Ada juga sistem monarchi –
kerajaan tapi hanya sebagai simbol budaya tanpa punya kedaulatan dan kekuasaan misalnya ; kerajaan
ngayogjakarta, kesultanan-kesultanan di nusantara yang hanya simbol budaya saja. Sistem pemerintahan yang

diterapkan di indonesia adalah sistem Politik Demokrasi. Ketika para ilmuwan barat membahas ketiga
sistem di atas, dan dianggap sistem Monarchi dan Sistem Theokrasi adalah menindas rakyat dan kejam
maka kemudian mereka membuat gagasan untuk menjawab agar tidak menindas rakyat dimunculkan
sistem politik demokrasi. Mereka menganggap bahwa inilah puncak dari “Kesempurnaan “ sisitem politik
yang ada di dunia. Demokrasi dianggap sistem politik yang paling lengkap dan sempurna.Sistem demokrasi
dianggap sebagai akhir dari puncak peradaban manusia. Sistem demokrasi akan diterima oleh siapa pun
juga, apa pun agamannya, bangsanya, rasnya, sukunya, bahkan warna kulitnya, pasti akan menerima
demokrasi...

Fakta Demokrasi : Anda bisa lihat di diagram berikut mengenai Fakta demokrasi apakah rakyat
akan bahagia? Rakyatlah yang memilih wakil rakyat yang menduduki Dewan Perwakilan Rakyat
melalui keberadaan Partai Politik yang menyodorkan orang-orang yang untuk dipilih oleh rakyat.
Demikian juga rakyatlah yang memilih pemimpin dengan keberadaan Partai politik yang
menyodorkan nama-nama pemimpin kepada rakyat untuk dipilih dengan mengatasnamakan rakyat.
Padahal sejatinya yang berkuasa dan yang membiayai Parpol-parpol lebih banyak dan dominan
para pemilik modal atau kaum kapitalis. Pertanyaannya sekarang adalah ketika para anggota dewan
atau Pemimpin yang jadi atau terpilih mengabdi kepada rakyatkah? Atau pada kaum kapitalis yang
mendanai mereka? Mereka juga akhirnya menindas rakyat sialnya juga mengatasnamakan rakyat.
1


Sumber Wikipedia

Mantan Mendagri Gamawan Fauzi : "Minimal biaya yang dikeluarkan seorang calon Rp 20 miliar,
akan tetapi untuk daerah yang kaya, biayanya bisa sampai Rp 100 hingga Rp 150 miliar. Kalau
ditambah dengan ongkos untuk berperkara di MK, berapa lagi yang harus dicari. (kompas.com,
5/7/2010). Contoh : Gaji Gubernur (Jabar) 8 Juta/Bulan, Setahun 96 juta, 4 tahun = 384 Juta .
“Penghasilan” : Gubernur Provinsi Jawa Barat mendapat Rp 603 juta dan wakil gubernur Rp 584 juta
(Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA)16/12/2012) . Sehingga Antara yang
dikeluarkan dengan yang didapatkan berupa gaji dan tunjangan sangat jauh dengan modal yang
dikeluarkan. Maka jangan heran mereka akan menerapkan pola wirosableng – 212 – Yaitu 2 tahun
kalau jadi, gimana caranya untuk mengembalikan modal, syukur-syukur 1 tahun bekerja untuk
rakyat, dan 2 tahun persiapan untuk pemilu berikutnya. Maka menurut data di kementerian dalam
negeri ada lebih dari 65 % kepala daerah baik Gubernur atau wali kota dan bupati tersangka kasus
korupsi atau berurusan dengan KPK. Data yang dirilis oleh KPK juga menyatakan mereka yang
tersangka kasus Korupsi yang paling banyak adalah para Anggota dewan yang didominasi oleh partaipartai besar, termasuk pejabat –pejabat negara.
Ternyata semakin jelas bahwa demokrasi adalah sistem ilusi dan penuh kebohongan. Menjamin
Kesejahteraan Rakyat ? Bohong. Menjamin Stabilitas dan Integrasi ? Bohong.Menjamin Keadilan
ekonomi ? Bohong . Menjamin hak-hak dasar manusia ? Bohong.Berpihak kepada Rakyat ? Bohong.
Jalan untuk menegakkan Islam ? Bohong.
Bahkan mereka yang dulu mengidolakan dan menggagas bahwa demokrasi peradaban modern yang

hebat berbalik mengkritisi ; Demokrasi menghitung jumlah kepala tanpa memperhatikan isi kepala
(Muhammad Iqbal), Pemerintahan yang didasarkan pada pilihan orang banyak (demokrasi)dapat
mudah dipengaruhi oleh para demagog dan akhirnya akan merosot menjadi kediktatoran
(Aristoteles), Demokrasi adalah kemungkinan terburuk dari sebuah bentuk pemerintahan (Winston
Churchil, PM Inggris), Demokrasi hanyalah alam yang amat mencolok untuk melanggengkan
kepentingan ideologis dan ekonomi Barat yang sempit (Chandra Muzzaffar, intelektual Malaysia).
Ternyata di AS demokrasi sudah tidak dipakai dan hanya digunakan oleh mereka sebagai alat
penjajahan dan menghegemoni negara-negara dunia ke-3. Thomas Jefferson (1743 – 1826),
“Demokrasi tak berbeda dengan hukum rimba, dimana lima puluh satu persen bagian dari rakyat
boleh mengambil hak dari empat puluh sembilan persen bagian lainnya.” John Adams, Presiden
Amerika Serikat kedua, “Ingatlah bahwa demokrasi tidak akan pernah bertahan lama. Ia akan segera
dibuang, kehilangan kekuatan, dan akan menghabisi dirinya sendiri. Tidak akan pernah ada sebuah
sistem demokrasi yang tidak menghabisi dirinya sendiri”
Demokrasi dalam krisis :The Guardian merujuk (6/07/2012) laporan Democratic Audid
memperingatkan penurunan jangka panjang demokrasi di Inggris. Dalam artikel British democracy
in terminal decline, warns report, disebutkan ada indikasi yang menunjukkan hal itu.Pertama
menguatnya pengaruh korporasi (perusahaan bisnis). Kedua, politisi yang semakin tidak mewakili
konstituennya dan ketiga, semakin menurunnya tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu bahkan
untuk mendiskusikan persoalan-persoalan kekinian sebagai bentuk kekecewaan terhadap demokrasi.
Hal itu nampak jelas sebagaimana yang dinyatakan Bush dalamnya : “ Jika kita mau melindungi

negara kita dalam jangka panjang, hal terbaik yang dilakukan adalah menyebarkan kebebasan dan
demokrasi” (Kompas, 6/11/2004).

Pertanyaan berikutnya kalau begitu Sistem Politik mana yang paling kejam? Sistem monarchi kejam
karena menindas rakyatnya mengatas-namakan dirinya. Sistem Theokrasi kejam karena menindas
rakyatnya mengatasnamakan Tuhan. Sedangkan Sistem politik Demokrasi lebih kejam lagi menindas
rakyatnya mengatasnamakan Rakyatnya sendiri bukankah ini paling kejam.
Adakah sistem politik alternatif dan bisa membawa kebaikan pada kesejahteraan dan keamanan
manusia secara umum? Ya itu adalah Sistem Khilafah ‘Ala minhaj an- nubuwwah.

Sistem Khilafah .
Negara Khilafah Islam bukan negara Teokrasi, sebab Khalifah (kepala negara) diakui sebagai manusia
biasa yang tidak lepas dari kesalahan. Sumber hukum Negara Khilafah bukan dari Khalifah, namun
bersumber dari Qur’an dan Sunnah.
Khilafah dapat disebut juga “negara Islam” (ad dawlah al islamiyah) atau “sistem pemerintah Islam”
(nizham al hukm fi al islam). Meskipun Khilafah adalah ajaran Islam yang asli (genuine), namun
banyak umat Islam yang kurang memahaminya. Keaslian ajaran Khilafah itu dapat dibuktikan dari
pandangan Islam mengenai relasi (hubungan) agama dan negara (kekuasaan). Pandangan Islam ini
dirumuskan dalam kalimat “Al Islam diin wa minhu ad daulah.” (Isam adalah agama, di antaranya
adalah ajaran tentang bernegara). Ini berbeda dengan konsep sekularisme dari Barat yang

memisahkan agama dan negara (fashlud diin ‘an ad daulah). Agama dan negara dalam ajaran Islam
tidak terpisah, karena dua sebab berikut;
Pertama, karakter Rasulullah SAW yang menyatukan fungsi kenabian (nubuwwah) dan
kepemimpinan (ri`asah).
Setelah hijrah ke Madinah (622 M), Rasulullah SAW bukan hanya berkedudukan sebagai nabi
(penyampai risalah), namun juga berkedudukan sebagai kepala negara (ra`is ad dawlah). Terbukti
Rasulullah SAW menjalankan fungsi-fungsi kepala negara, seperti mengadakan perjanjian,

mengumumkan perang, mengirim atau menerima duta besar, dan seterusnya. Setelah Rasulullah
SAW wafat, fungsi kenabian (nubuwwah) berakhir, yakni tak ada nabi lagi, tapi fungsi kepemimpinan
(ri`asah) tetap diteruskan oleh para khalifah (kepala negara) selanjutnya.[1]
Ini berbeda dengan karakter Nabi Isa AS, yang menjadi panutan beragama (dan dipertuhankan) bagi
kaum Nasrani di Barat. Nabi Isa AS hanya menjalankan fungsi kenabian (nubuwwah), tapi tidak
mempunyai fungsi kepemimpinan (ri`asah). Hal ini karena pada saat itu Nabi Isa AS hidup di bawah
Kerajaan Romawi. Maka dari itu wajar, orang Barat menganggap agama dan negara terpisah, karena
Nabi Isa AS sendiri memang hanya seorang nabi, tidak menjalankan fungsi sebagai penguasa.
Kedua, karakter agama Islam itu sendiri yang bersifat komprehensif (syumuliah), yaitu tidak hanya
mengatur aspek ibadah ritual, tapi mengatur segala aspek kehidupan. (Lihat QS Al Ma`idah [5] : 3 ;
QS An Nahl [16] : 89). Karenanya Islam membutuhkan eksistensi negara atau kekuasaan untuk
menjalankan hukum-hukum Islam secara menyeluruh.

Maka dari itu, agama dan negara (kekuasaan) tak terpisah, perhatikan misalnya sabda Rasulullah
SAW :
“Ingatlah, sesungguhnya Al Kitab (Al Qur`an) dan kekuasaan (as sulthan) akan terpisah, maka (jika
hal itu terjadi) janganlah kamu berpisah dari Al Kitab (Al Qur`an).” (HR Thabrani).
Sabda Rasulullah SAW ini juga menegaskan konsep kekuasaan sebagai bagian ajaran Islam :
“Sungguh akan terurai simpul-simpul Islam satu demi satu, maka setiap satu simpul terurai, orangorang akan bergelantungan pada simpul yang berikutnya (yang tersisa). Simpul yang pertama kali
terurai adalah kekuasaan (pemerintahan) sedang yang paling akhir terurai adalah shalat.” (HR
Ahmad, Ibnu Majah, dan Al Hakim).
Karakter agama Islam yang komprehensif ini (termasuk mengajarkan aspek kekuasaan) berbeda
dengan karakter agama Nasrani yang tidak komprehensif, yaitu hanya mengatur persoalan aqidah
dan akhlak. Agama Nasrani bukan sistem kehidupan (system of life) dan tak punya konsep bernegara,
karena itu agama Nasrani dapat terlaksana tanpa ditopang sebuah negara. Perjanjian Baru sendiri
dengan tegas memisahkan aspek agama dan negara, sebagaimana disebutkan dalam
Matius,”Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar, dan berikanlah kepada Tuhan apa
yang menjadi milik Tuhan.” (Matius 22:21).
Jelaslah bahwa agama dan negara dalam Islam tidak terpisah, berbeda dengan pandangan
sekularisme Barat yang memisahkan agama dari negara. Kitab yang berjudul Al Islam wa Ushul Hukm
karya Ali Abdur Raziq (1926) yang berusaha membuktikan terpisahnya agama (Islam) dari negara,
adalah kitab yang batil karena nyata-nyata memalsukan ajaran Islam yang asli tentang ajaran
bernegara.


Takrif (Definisi) Khilafah
Dalam kitab-kitab fiqih dan ushuluddin, Khilafah disebut juga dengan istilah Imamah. Imam Nawawi
menegaskan dalam kitabnya Al Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab (Juz 15 hlm. 517), bahwa Imamah
atau Khilafah atau Imarah Al Mukminin adalah sinonim (mutaradif).[6]

Banyak definisi tentang Khilafah. Definisi Khilafah menurut Taqiyuddin An Nabhani (pendiri Hizbut
Tahrir) adalah sebagai berikut :
“Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslimin seluruhnya di dunia untuk menegakkan
hukum-hukum Syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.”[7]
Dari definisi Khilafah di atas, dapat dipahami tiga poin penting :
Pertama, bahwa Khilafah itu adalah suatu kepemimpinan umum bagi kaum muslimin seluruhnya di
dunia. Jadi Khilafah bukan kepemimpinan khusus (ri`asah khashash), seperti kepemimpinan seorang
wali (gubernur) di suatu wilayah (propinsi), atau seperti kepemimpinan khusus pada bidang tertentu,
misalnya kepemimpinan seorang Qadhi Qudhat dalam bidang peradilan Islam (Al Qadha`). Dapat
dipahami juga Khilafah adalah institusi politik pemersatu umat Islam, sebab kepemimpinan Khilafah
bersifat umum bagi umat Islam seluruh dunia, tanpa melihat lagi batas-batas negara-bangsa (nation
state) yang ada sekarang ini.
Kedua, bahwa fungsi pertama Khilafah adalah menerapkan Syariah Islam dalam segala aspek
kehidupan, baik itu politik (pemerintahan), ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, politik luar negeri,

dan sebagainya. Penerapan syariah ini adalah politik dalam negeri dari negara Khilafah.
Ketiga, bahwa fungsi kedua Khilafah adalah mengemban (menyebarkan) dakwah Islam ke seluruh
dunia. Metode untuk mengemban dakwah ini adalah dengan menjalankan jihad fi sabilillah ke
negara-negara lain. Mengemban dakwah dengan jalan jihad fi sabilillah inilah yang menjadi dasar
politik luar negeri dari negara Khilafah.
Maka dari itu, dengan keberadaan Khilafah, akan dapat terwujud paling tidak 3 (tiga) hal sbb;
pertama, persatuan umat dalam satu negara, yang telah diwajibkan Islam (lihat misalnya QS Ali
‘Imran : 103). Kedua, penerapan syariah Islam secara menyeluruh (kaaffah), yang telah diwajibkan
Islam (lihat misalnya QS Al Baqarah : 208; QS Ali ‘Imran : 85). Ketiga, penyebarluasan Islam sebagai
rahmat bagi seluruh manusia dan seluruh alam, yang menjadi karakter agama Islam (lihat misalnya
QS Al Anbiya` : 107).
Sebaliknya, dengan tiadanya Khilafah, akan terjadi keburukan dan dosa bagi umat Islam paling tidak
dalam 3 (tiga) hal sbb; Pertama, umat Islam akan terpecah belah dan tercerai berai, seperti
kenyataan sekarang yang terpecah menjadi 50-an negara lebih. Hal ini menimbulkan kondisi yang
tidak dibenarkan Islam, yaitu dominasi kafir penjajah atas umat Islam (QS An Nisaa` : 141). Kedua,
syariah Islam tidak dapat diterapkan secara menyeluruh, tapi hanya sebagiannya saja. Hal ini
menimbulkan kondisi yang tidak dibenarkan Islam, yaitu dominasi hukum non Islam (hukum
jahiliyah) atas umat Islam (QS Al Maaidah : 50). Ketiga, karakter agama Islam sebagai agama dan
rahmat bagi seluruh umat manusia tidak dirasakan lagi. Yang dirasakan adalah kebalikannya, yaitu
penderitaan dalam segala bidang akibat dominasi kapitalisme yang menindas dan menghisap umat
manusia di seluruh dunia. Kondisi buruk ini tak dibenarkan Islam (QS Thahaa : 123-125).
Kewajiban Khilafah (Imamah)
Kewajiban adanya Khilafah telah disepakati oleh seluruh ulama dari seluruh mazhab. Tidak ada
khilafiyah (perbedaan pendapat) dalam masalah ini, kecuali dari segelintir ulama yang tidak
teranggap perkataannya (laa yu’taddu bihi).

Disebutkan dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah Juz 6 hlm. 164:
“Umat Islam telah sepakat mengenai wajibnya akad Imamah [Khilafah], juga telah sepakat bahwa
umat wajib mentaati seorang Imam [Khalifah] yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di
tengah mereka, yang mengatur urusan mereka dengan hukum-hukum Syariah Islam yang dibawa
oleh Rasulullah SAW. Tidak ada yang keluar dari kesepakatan ini, orang yang teranggap
perkataannya saat berbeda pendapat.”
Syaikh Abdul Qadim Zallum (Amir kedua Hizbut Tahrir) menyebutkan,”Mengangkat seorang khalifah
adalah wajib atas kaum muslimin seluruhnya di segala penjuru dunia. Melaksanakan kewajiban ini sebagaimana kewajiban manapun yang difardhukan Allah atas kaum muslimin- adalah perkara yang
pasti, tak ada pilihan di dalamnya dan tak ada toleransi dalam urusannya. Kelalaian dalam
melaksanakannya termasuk sebesar-besar maksiat, yang akan diazab oleh Allah dengan azab yang
sepedih-pedihnya.”
Kewajiban Khilafah ini bukan hanya pendapat Hizbut Tahrir, tapi pendapat seluruh ulama. Imam Ibnu
Hazm menyebutkan bahwa, “Telah sepakat semua Ahlus Sunnah, semua Murji`ah, semua Syiah, dan
semua Khawarij akan wajibnya Imamah [Khilafah]…”[1]
Khusus dalam lingkup empat mazhab Ahlus Sunnah, Syaikh Abdurrahman Al Jaziri
menyebutkan,”Para imam mazhab yang empat [Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, dan Ahmad]
rahimahumullah, telah sepakat bahwa Imamah [Khilafah] itu fardhu, dan bahwa kaum muslimin itu
harus mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang akan menegakkan syiar-syiar agama dan menolong
orang yang dizalimi dari orang zalim. Mereka juga sepakat bahwa kaum muslimin dalam waktu yang
sama di seluruh dunia, tidak boleh mempunyai dua imam, baik keduanya sepakat atau
bertentangan.”
Dalil-Dalil Kewajiban Khilafah
Para ulama menerangkan bahwa dalil-dalil kewajiban Khilafah ada 4 (empat), yaitu : Al Qur`an, As
Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qaidah Syar’iyyah.
Dalil Al Qur`an, antara lain firman Allah SWT :

       
  
“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-NYa, dan Ulil Amri di antara
kamu.” (QS An-Nisaa` : 59)
Wajhul Istidlal (cara penarikan kesimpulan dari dalil) dari ayat ini adalah, ayat ini telah
memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati Ulil Amri di antara mereka, yaitu para Imam
(Khalifah). Perintah untuk mentaati Ulil Amri ini adalah dalil wajibnya mengangkat Ulil Amri, sebab
tak mungkin Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk mentaati sesuatu yang tidak ada. Dengan
kata lain, perintah mentaati Ulil Amri ini berarti perintah mengangkat Ulil Amri. Jadi ayat ini
menunjukkan bahwa mengangkat seorang Imam (Khalifah) bagi umat Islam adalah wajib hukumnya.
Dalil Al Qur`an lainnya, adalah firman Allah SWT :

           
 
“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS
Al Maidah : 48)
Wajhul Istidlal dari ayat ini adalah, bahwa Allah telah memerintahkan Rasulullah SAW untuk
memberikan keputusan hukum di antara kaum muslimin dengan apa yang diturunkan Allah (Syariah
Islam). Kaidah ushul fiqih menetapkan bahwa perintah kepada Rasulullah SAW hakikatnya adalah
perintah kepada kaum muslimin, selama tidak dalil yang mengkhususkan perintah itu kepada
Rasulullah SAW saja. Dalam hal ini tak ada dalil yang mengkhususkan perintah ini hanya kepada
Rasulullah SAW, maka berarti perintah tersebut berlaku untuk kaum muslimin seluruhnya hingga Hari
Kiamat nanti. Perintah untuk menegakkan Syariah Islam tidak akan sempurna kecuali dengan adanya
seorang Imam (Khalifah). Maka ayat di atas, dan juga seluruh ayat yang memerintahkan berhukum
dengan apa yang diturunkan Allah, hakikatnya adalah dalil wajibnya mengangkat seorang Imam
(Khalifah), yang akan menegakkan Syariah Islam itu.
Dalil Al Qur`an lainnya, adalah ayat-ayat yang memerintahkan qishash (QS Al Baqarah : 178), hudud
(misal had bagi pelaku zina dalam QS An Nuur : 2; atau had bagi pencuri dalam QS Al Maidah : 38),
dan ayat-ayat lainnya yang pelaksanaannya bergantung pada adanya seorang Imam (Khalifah). Ayatayat semisal ini, berarti adalah dalil untuk wajibnya mengangkat seorang Imam (Khalifah), sebab
pelaksanaan ayat-ayat tersebut bergantung pada keberadaan Imam itu.
Dalil As Sunnah, banyak sekali, antara lain sabda Nabi SAW :
“Barangsiapa yang mati sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada seorang imam/khalifah),
maka matinya adalah mati jahiliyah.” (HR Muslim, no 1851).
Dalalah (penunjukkan makna) dari hadis di atas jelas, bahwa jika seorang muslim mati jahiliyyah
karena tidak punya baiat, berarti baiat itu wajib hukumnya. Sedang baiat itu tak ada kecuali baiat
kepada seorang imam (khalifah). Maka hadis ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang imam
(khalifah) itu wajib hukumnya.
Dalil lain dari As Sunnah misalnya sabda Nabi SAW :
“Jika ada tiga orang yang keluar dalam suatu perjalanan, maka hendaklah mereka mengangkat
salah seorang dari mereka untuk menjadi amir (pemimpin).” (HR Abu Dawud).
Imam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa jika Islam mewajibkan pengangkatan seorang amir
(pemimpin) untuk jumlah yang sedikit (tiga orang) dan urusan yang sederhana (perjalanan), maka
berarti Islam juga mewajibkan pengangkatan amir (pemimpin) untuk jumlah yang lebih besar dan
untuk urusan yang lebih penting. (Ibnu Taimiyah, Al Hisbah, hlm. 11).
Dengan demikian, untuk kaum muslimin yang jumlahnya lebih dari satu miliar seperti sekarang ini,
dan demi urusan umat yang lebih penting dari sekedar perjalanan, seperti penegakan hukum Syariah
Islam, perlindungan umat dari penjajahan dan serangan militer kafir penjajah, maka mengangkat
seorang Imam (Khalifah) adalah wajib hukumnya.
Adapun dalil Ijma’ Shahabat, telah disebutkan oleh para ulama, misalnya Ibnu Khaldun sebagai
berikut :

“Mengangkat seorang imam (khalifah) wajib hukumnya, dan kewajibannya dapat diketahui dalam
Syariah dari ijma’ (kesepakatan) para shahabat dan tabi’in…” (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm.
191).
Imam Ibnu Hajar Al Haitami berkata :
“Ketahuilah juga, bahwa para shahabat -semoga Allah meridhai mereka- telah bersepakat bahwa
mengangkat seorang imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib, bahkan
mereka menjadikannya sebagai kewajiban paling penting ketika mereka menyibukkan diri dengan
kewajiban itu dengan meninggalkan kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah SAW.” (Ibnu Hajar
Al Haitami, As Shawa’iqul Muhriqah, hlm. 7).
Adapun dalil Qaidah Syar’iah, adalah kaidah yang berbunyi :
“Jika suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula
hukumnya.”
Sudah diketahui bahwa terdapat kewajiban-kewajiban syariah yang tidak dapat dilaksanakan secara
sempurna oleh individu, seperti kewajiban melaksanakan hudud, seperti hukuman had bagin pelaku
zina dalam QS An Nuur : 2; atau hukuman had bagi pencuri dalam QS Al Maidah : 38, kewajiban jihad
untuk menyebarkan Islam, kewajiban memungut dan membagikan zakat, dan sebagainya. Kewajibankewajiban ini tak dapat dan tak mungkin dilaksanakan secara sempurna oleh individu, sebab
kewajiban-kewajiban ini membutuhkan suatu kekuasaan (sulthah), yang tiada lain adalah Khilafah.
Maka kaidah syariah di atas juga merupakan dalil wajibnya Khilafah.
Berdasarkan penjelasan di atas, Khilafah hukumnya wajib berdasarkan 4 (empat) dalil, yaitu : Al
Qur`an, As Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qaidah Syar’iyyah.
Empat Pilar Negara Khilafah
Khilafah mempunyai empat pilar (qaidah) yang mutlak wajib ada demi keberadaan dan kelangsungan
keberadaan Khilafah. Jika salah satu pilar ini tidak ada, berarti Khilafah tidak ada atau telah berubah
menjadi bentuk negara atau sistem pemerintahan lain yang tidak Islami. Kedudukan empat pilar ini
seperti halnya rukun-rukun shalat, yang jika salah satu rukun itu tidak ada, maka shalatnya tidak sah
dan tidak diterima oleh Allah SWT.
Keempat pilar Khilafah ini adalah sebagai berikut 2 :
Pertama, kedaulatan di tangan syariah, bukan di tangan rakyat.
Kedua, kekuasaan di tangan umat.
Ketiga, mengangkat satu orang khalifah adalah wajib atas seluruh kaum muslimin.

2

Lihat pembahasan empat pilar Khilafah dalam Mahmud Abdul Majid Al Khalidi, Qawa’id Nizham Al Hukm fi Al
Islam, (Kuwait : Darul Buhuts Al Ilmiyah), 1980. Kitab ini adalah pengembangan dari konsep Hizbut Tahrir yang
terdapat dalam kitab-kitab Hizbut Tahrir, seperti Nizham Al Hukm fi Al Islam, 2002; atau Muqaddimah Ad
Dustur, 2010, dan sebagainya. Pada gilirannya, kitab Mahmud Abdul Majid Al Khalidi itu lalu dirujuk oleh ulama
lain, seperti Dr. Shalah as Shawi, dalam kitabnya Nazhariyah As Siyadah.

Keempat, hanya khalifah saja yang berhak melegislasikan hukum-hukum syara’, dan khalifah saja
yang berhak melegislasi UUD dan segenap UU.
Pilar pertama, kedaulatan adalah ditangan syariah (as siyadah li as syar’i), dengan kata lain ialah
bahwa yang berhak mengatur manusia hanyalah Syariah Islam, bukan hukum yang lain. Sebab
definisi kedaulatan (as siyadah, sovereignty) adalah otoritas tertinggi yang bersifat mutlak yang
merupakan satu-satunya pihak yang berhak mengeluarkan hukum untuk mengatur perbuatan
manusia dan benda-benda yang digunakan manusia. 3
Tak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dan seluruh umat Islam, bahwa kedaulatan di tangan
syariah, sebab kedaulatan di tangan syariah itu artinya adalah hanya Allah SWT saja yang berhak
menetapkan hukum bagi manusia (lihat misalnya QS Al An’am : 57; QS Asy Syura : 10).
Jika pilar pertama tentang kedaulatan ini hilang, yakni kedaulatan berubah menjadi di tangan rakyat,
berarti Khilafah itu dengan sendirinya sudah hancur dan berubah menjadi sistem demokrasi. Dalam
demokrasi, kedaulatan di tangan rakyat, yang berarti bahwa satu-satunya pihak yang berhak
mengatur hidup manusia adalah manusia itu sendiri, bukan Allah SWT. Inilah perbedaan paling
mendasar antara sistem Khilafah dan sistem demokrasi. Dalam Khilafah, kedaulatan di tangan
syariah. Sedang dalam demokrasi, kedaulatan di tangan rakyat. Jelas demokrasi adalah paham kufur
yang sangat bertentangan dengan Islam.
Pilar kedua, menetapkan kekuasaan ada di tangan umat (as sulthan li al ummah). Kekuasaan (as
sulthan) didefinisikan sebagai otoritas untuk menerapkan hukum-hukum dan perundang-undangan.
Pilar kekuasaan ada di tangan umat (as sulthan li al ummah) ini mengandung arti bahwa umatlah
yang berhak memilih pemimpin yang dikehendakinya untuk menjalankan kekuasaan. Hal ini dapat
dipahami dari hadis-hadis tentang baiat, bahwa seseorang tak menjadi pemimpin (khalifah), kecuali
dibaiat (dipilih) oleh umat. Juga dapat dipahami dari hadis tentang pengangkatan pemimpin (ta`miir),
yakni bahwa dalam perjalanan oleh tiga orang, harus diangkat pemimpin (amir) oleh pihak yang
dipimpin (yakni umat). Inilah dalil-dalil yang menunjukkan bahwa kekuasaan dalam Islam itu ada di
tangan umat (as sulthan li al ummah). 4
Jika pilar tentang kekuasaan ini hilang, yaitu kekuasaan tak lagi di tangan umat, misalnya berubah
menjadi di tangan keluarga atau suku tertentu, berarti Khilafah itu sudah hancur dan berubah
menjadi sistem monarki (kerajaan). Contoh sistem monarki adalah Kerajaan Saudi Arabia yang
kekuasaannya berada di tangan keluarga Ibnu Saud secara eksklusif. Inilah perbedaan mendasar
Khilafah dengan sistem monarki. Dalam Khilafah, kekuasaan di tangan umat. Sedang dalam sistem
monarki, kekuasaan secara eksklusif dimiliki oleh keluarga tertentu.
Pilar ketiga Khilafah, menetapkan bahwa mengangkat satu orang khalifah adalah wajib atas seluruh
kaum muslimin. Pilar ini mempunyai dua dimensi pengertian. Pertama, khalifah yang diangkat wajib
satu orang saja, tidak boleh lebih. Kedua, mengangkat khalifah itu sendiri adalah wajib hukumnya,
bukan sunnah, mubah, dan sebagainya. 5

3

Mahmud Abdul Majid Al Khalidi, Qawa’id Nizham Al Hukm fi Al Islam, (Kuwait : Darul Buhuts Al Ilmiyah),
1980, hlm. 24; lihat kitabnya yang lain, Naqdh An Nizham Ad Dimuqrathi, (Beirut : Darul Jiil; Amman :
Maktabah Al Muhtasib), 1984, hlm. 30. Lihat juga Shalah As Shawi, Nazhariyah As Siyadah wa Atsaruha ‘Ala
Syar’iyyah Al Anzhimah Al Wadh’iyyah, hlm. 10.

4

Abdul Qadim Zallum, Nizham Al Hukm fi Al Islam, 2002, hlm. 41-42.

Jika pilar ini hilang dalam negara Khilafah, misalnya khalifah yang diangkat ada dua orang, maka
otomatis Khilafah telah hancur dan berubah menjadi sistem lain. Sebab Syariah Islam telah
mengharamkan membaiat dua orang khalifah pada waktu yang sama, sesuai sabda Nabi SAW,”Jika
dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR Muslim).
Jadi pilar ketiga ini memastikan persatuan umat di bawah satu kepemimpinan. Maka dari itu, jelas
kelitu sekali kondisi umat Islam yang terpecah belah dipimpin oleh banyak pemimpin sebagaimana
dalam sistem negara-bangsa (nation state) sekarang ini. Demikian pula juga suatu kekeliruan jika
mengangkat khalifah tidak lagi dianggap sebagai kewajiban, atau malah dianggap perbuatan criminal.
Pilar keempat, menegaskan bahwa Khalifah mempunyai hak khusus dalam melegislasikan hukum
syara’ menjadi undang-undang yang berlaku umum dan bersifat mengikat. Hal ini didasarkan pada
Ijma’ Shahabat yang melahirkan kaidah syar’iyah yang termasyhur, ”Amrul Imam yarfa’ul khilaf.”
(Perintah Imam [khalifah] menghilangkan perbedaan pendapat. Juga kaidah syar’iyah lain yang tak
kalah masyhur, ”Lil Imam an yuhditsa minal aqdhiyati bi qadri maa yahdutsu min musykilat.” (Imam
[khalifah] berhak menetapkan keputusan baru sejalan dengan persoalan-persoalan baru yang
terjadi).6
Jika pilar keempat ini tidak ada, misalnya hak legislasi diserahkan kepada lembaga legislatif, bukan
menjadi hak khusus khalifah, maka Khilafah hakikatnya sudah hancur dan berubah menjadi sistem
demokrasi yang menetapkan hak legislasi ada di tangan lembaga legislatif.

Sistem Khilafah itu manusiawi.
Sebagai sistem yang dipraktikkan oleh manusia, sistem Khilafah adalah sistem politik yang
manusiawi. Karena itu, dalam berbagai praktik dalam sistem Khilafah, bisa saja terjadi kekeliruan.
Namun, yang penting dicatat di sini, penyimpangan yang dilakukan oleh Khalifah atau pejabat negara,
bukan berarti menunjukkan bahwa sistem Khilafahnya salah dan keliru. Tidaklah relevan
menyalahkan sistem yang ideal dengan melihat kesalahan dari pelaku sistem yang ideal tersebut.
Contoh sederhana adalah memandang Islam sebagai agama yang buruk hanya karena melihat
perilaku sebagian para pemeluknya saat ini. Di Indonesia, misalnya, sebagai besar pelaku kriminal
adalah orang Islam; banyak pelaku korupsi juga orang Islam; banyak orang Islam yang tidak menjaga
kebersihan dan lingkungannya. Namun, tentunya tidak disimpulkan bahwa Islam adalah agama yang
menganjurkan pemeluknya melakukan perilaku-perilaku negatif seperti itu.
Islam harus dilihat dari sumber-sumbernya. Tidak ada satu dalil pun di dalam al-Quran dan asSunnah yang memerintahkan seperti itu. Sebaliknya, sistem Islam melarang dan menghukum para
pelaku kriminal dan korupsi. Islam juga mengajarkan pemeluknya untuk menjaga kebersihan
lingkungan. Artinya, fakta-fakta yang salah tersebut justru diakibatkan karena pemeluk Islam
meninggalkan ajaran Islam, bukan karena syariat Islam itu sendiri. Sama halnya dengan fakta-fakta
buruk dalam sistem Khilafah, bukan disebabkan oleh sistem Khilafah itu sendiri, tetapi justru bentuk
penyimpangn dari syariat Islam yang seharusnya diterapkan secara konsekuen dalam sistem Khilafah
oleh rakyat dan penguasanya.
Sebagai contoh, ketika Muawiyah memaksa rakyat untuk membaiat anaknya, Yazid, sebagai khalifah,
maka itu merupakan bentuk penyimpangan dari syariat Islam. Sebab, dalam Islam Khalifah adalah
5

Abdul Qadim Zallum, Nizham Al Hukm fi Al Islam, 2002, hlm. 43-44

6

Abdul Qadim Zallum, Nizham Al Hukm fi Al Islam, 2002, hlm. 44-45.

hasil pilihan dan kerelaan rakyat. Jadi, yang menyimpang adalah tindakan Muawiyahnya, bukan
sistem Khilafahnya. Karena itu, tidak bisa kemudian dikatakan bahwa sistem Khilafah adalah sistem
yang otoriter berdasarkan sejarah di era Muawiyah ini.
Kedua, terjebak pada generalisasi. Menyimpulkan sistem Khilafah sebagai sistem yang buruk hanya
dengan mengungkap beberapa fakta sejarah adalah keliru. Beberapa fakta sejarah tentang sikap
Khalifah tidaklah mencerminkan keseluruhan dari sistem Khilafah tersebut. Apalagi yang dilakukan
oleh Khalifah tersebut adalah bentuk penyimpangan dari sistem Khilafah yang ideal. Tentu keliru
menggambarkan masa pemerintahan Bani Umayah dengah hanya memfokuskan sejarah seorang
Yazid atau menggambarkan masa pemerintahan Bani Abbas hanya dengan mengambil sebagian
peristiwa dan tingkah laku para khalifahnya. Apalagi yang menjadi fakta sejarah itu adalah buku-buku
sejarah yang dibuat oleh musuh-musuh Islam yang nyata kebenciannya terhadap Islam.
Keliru juga menggambarkan pemerintahan Bani Abbas dengan membaca kitab al-Aghani yang
dikarang untuk menceritakan tingkah laku para biduan, para pemabuk, penyair, dan sastrawan; atau
membaca buku-buku tasawuf yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Yang perlu diperhatikan,
cerita-cerita tentang para penguasa dan pejabatnya banyak ditulis oleh pihak-pihak yang tidak bisa
dipertanggungjawabkan. Sebagian besar mereka adalah pencela atau pemuja yang tidak bisa
diterima periwayatannya.
Sumber sejarah yang bisa diterima adalah yang bisa dipertanggungjawabkan periwayatnya sehingga
sumber-sumbernya layak diterima. Persis sama dengan cara yang ditempuh dalam periwayatan
hadis. Cara penulisan seperti ini antara lain bisa dilihat dalam kitab Tarikh ath-Thabari dan Sirah Ibnu
Hisyam.

Mekanisme Islam Mencegah Penyimpangan Khalifah
Dalam syariat Islam, sudah ada mekanisme, yang kalau diterapkan, akan mencegah konflik.
Secara garis besar Islam, misalnya, mengharamkan saling membunuh dan saling menzalimi
antara penguasa dan rakyat; Islam mewajibkan kaum Muslim menjaga persatuan dan
melarang bughat (memberontak). Secara lebih rinci, Islam juga mengatur bagaimana
mencegah penyimpangan Khalifah, antara lain:
1. Dengan membangun kesadaran Politik masyarakat. Dalam sistem apapun, penerapan
sistem itu bergantung pada orang-orangnya. Terjadinya kemunduran dalam
masyarakat Islam disebabkan karena buruknya penerapan Islam di tengah
masyarakat. Lemahnya kesadaran masyarakat akan membuat terjadinya
penyimpangan. Karena itu, dalam sistem Khilafah, upaya membangun dan
memelihara kesadaran masyarakat tentang Islam adalah sangat penting. Tugas
negaralah untuk melakukan pendidikan politik Islam di tengah masyarakat. Partai
politik Islam juga memiliki tanggung jawab yang sama. Inilah langkah mendasar yang
dilakukan untuk mencegah penyimpangan Khalifah. Lewat kesadaran politik Islam ini,
masyarakat akan tetap konsisten memelihara sistem Khilafah dan tidak membiarkan
sedikit pun penyimpangan terhadap syariat Islam yang dilakukan oleh Khalifah.
2. Dengan membaiat Khalifah atas dasar kerelaan dan pilihan. Dalam Islam, Khalifah
adalah pilihan rakyat yang dilakukan bukan dalam kondisi tertekan. Karena itu, rakyat
tidak boleh dipaksa untuk memilih seseorang yang tidak dia senangi. Langkah ini
tentu saja bisa mencegah munculnya penguasa zalim yang diketahui oleh rakyat
memiliki tingkah laku yan buruk.
3. Dengan mewajibkan kaum Muslim untuk melakukan kontrol dan koreksi terhadap
penguasa. (Lihat: Qs. Ali-Imran [3]: 103). Islam mensejajarkan kedudukan orang yang

mengkoreksi penguasa yang menyimpang dengan dengan pemimpin para syuhada
dan menyebutkannya sebaik-baik jihad. Koreksi ini bisa dilakukan secara terorganisasi
oleh partai-partai politik yang bebas berdiri dalam sistem Khilafah, bisa juga
dilakukan secara individual. Tugas ini juga dilakukan oleh wakil-wakil rakyat di Majelis
Umat yang sentiasa memperjuangkan aspirasi rakyatnya.
4. Dengan keberadaan Mahkamah Mazhalim yang mengadili perselisihan antara rakyat
dan penguasa (Khalifah). Mahkamah ini bahkan memiliki wewenang untuk
memberhentikan Khalifah yang dianggap telah melakukan pelanggaran berat, yang
mengharuskan dirinya layak diberhentikan sebagai khalifah.
5. Dengan memerangi Khalifah jika proses koreksi/kontrol tidak jalan, demikian juga
fungsi Mahkamah Mazalim. Dalam hal ini, rakyat berhak mengangkat senjata untuk
menurunkan Khalifah. Hanya saja syaratnya adalah bahwa Khalifah, tersebut terbukti
telah melakukan kekufuran yang nyata (kufran bawahan) seperti menolak syariat
Islam dan menggantikannya dengan sistem kufur. Bisa disebut inilah benteng terakhir
untuk mencegah munculnya penguasa yang zalim.
Lima mekanisme di atas, kalau benar-benar dijalankan, tentu akan mencegah munculnya
penguasa zalim yang mensengsarakan rakyat. Karena itu, terjadinya penyimpangan bisa jadi
disebabkan karena kelima mekanisme di atas tidak berjalan dengan baik. Jika ini terjadi,
tentu bukan sistem Khilafahnya yang salah, tetapi orang-orang yang melaksanakannya yang
salah. Sistem seideal apapun kalau tidak dilaksanakan oleh orang-orangnya secara
konsekuen tentu saja akan menyebabkan kekacauan.
Keberhasilan Sistem Khilafah
Menutup mata terhadap keberhasilan sistem Khilafah adalah kebodohan yang nyata.
Siapapun kalau berpikir obyektif akan melihat keberhasilan dari sistem ini saat dijalankan
secara benar. Hal ini tidak bisa dipungkiri. Sistem Khilafah yang mengemban qiyadah fikriyah
(kepemimpinan ideologis) Islam di seluruh dunia telah berhasil mengubah bangsa Arab
secara keseluruhan dari yang memiliki taraf berpikir yang rendah menjadi bangsa yang
terpandang, bahkan di seluruh dunia.
Sistem Khilafah berhasil membawa kesejahteraan bagi manusia di seluruh dunia, baik
Muslim maupun non-Muslim. Sistem Khilafah ini juga memainkan peranan penting dalam
membawa Islam ke seluruh pelosok dunia lewat dakwah dan jihad; menyatukan jazirah Arab,
Persia, Afrika, serta sebagian Eropa dan Asia.
Di bawah sistem Khilafah umat Islam menjadi umat yang terkemuka dalam peradabannya.
Hal ini tercatat dalam tinta emas para sejarawan yang jujur dan obyektif. Ini dapat dibuktikan
dari: banyaknya penemuan-penemuan sains dan teknologi di era Kekhilafahan; banyaknya
buku-buku yang bermutu yang dikarang oleh ulama dan ilmuwan Muslim yang hingga kini
masih bisa dilihat; banyaknya peninggalan-peninggalan yang sifatnya fisik yang masih bisa
dilihat kemegahannya hingga kini.

Keagungan sistem Islam ini secara jujur disampaikan Carleton S, Chairman and Chief
Executive Officer, Hewlett-Packard Company, saat mengomentari peradaban Islam dari tahun
800 hingga 1600 (masa Kekhilafahan). Dia menyatakan, Peradaban Islam merupakan
peradaban yang paling besar di dunia. Peradaban Islam sanggup menciptakan sebuah negara
adidaya kontinental (continental super state) yang terbentang dari satu samudera ke
samudera lain; dari iklim utara hingga tropik dan gurun, dengan ratusan juta orang tinggal di
dalamnya; dengan perbedaan kepercayaan dan asal suku.Tentaranya merupakan gabungan
dari berbagai bangsa yang melindungi perdamaian dan kemakmuran yang belum dikenal
sebelumnya. (Ceramah tanggal 26 September 2001, dengan judul, Technology, Business, and
Our way of Life: What Next, www. khilafah.com).
Sebagai penutup dalam makalah yang singkat ini, maka penulis menyerukan dan mengajak para
tokoh ulama dan cendekia untuk bersama-sama (1) Menjadikan perjuangan penegakkan Khilafah
sebagai agenda bersama. Dan (2)Konsisten mengikuti metode dakwah Rasulullah saw. Takbir !
Allahu Akbar !
( Spiritual Motivator - Dr. N. Faqih Syarif H, M.Si. Penulis Buku The Power of Spirituality – Meraih
Sukses Tanpa Batas. Anggota Lajnah Khusus Intelektual DPD 1 HTI Jawa Timur )